Anda di halaman 1dari 25

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Filsafat Islam

Dosen Pengampu : Ni’matul Izza, M.Pd.

Disusun oleh:
Ahmad Fahrijal (2017012)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam
dilimpahkan sebanyak-banyaknya kepada rasul yang termulia, Nabi Muhamad Ibnu
Abdullah.  Berkat limpahan dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan
Makalah “Pemikiran Filsafat Al-Farabi”  guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Islam”

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Pemikiran Filsafat
Al-Farabi, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai referensi. Telah saya
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya tidak lupa menyampaikan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik
dari segi penyusunan bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada
dan tangan terbuka saya membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran
dan kritik kepada saya.

Semoga makalah ini memberikan informasi dan manfaat pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuhuan bagi kita semua.

Jakarta, 28 September 2021


21 Safar 1443 H.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I..................................................................................................................................1

PENDAHULUAN..............................................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................................2

BAB II.................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.................................................................................................................3

A. Biografi Al-Farabi...................................................................................................3
B. Filsafat Al-Farabi.....................................................................................................5

BAB III...............................................................................................................................20

PENUTUP..........................................................................................................................20

A. Kesimpulan..............................................................................................................20
B. Saran........................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Munculnya ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh
beberapa tokoh filsafat Yunani kuno yakni diantaranya Heraklitos, Plato, Aristoteles
dan sebagainya telah menjadi sebab lahirnya para filsuf muslim, diantaranya adalah
al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi dan lain-lain.
Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang
berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut
filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong
oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti
bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil
interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran
rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke
dalam Islam.
Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi,
kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-
Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-
Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam
Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru
Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles.
Tujuan filsafat dan agama bagi Al-Farabi adalah sama, yaitu mengetahui
semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan
kepada golongan tertentu, sedangkan agama memakai cara iqna’I (pemuasan
perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran,dan ditujukan kepada semua orang,
bangsa dan negara.
Mengenai pengertian filsafat, ia mengatakan bahwa filsafat adalah mengetahui
semua yang wujud karena ia wujud (al-ilm bil maujudat bimahiya maujudah).

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Al-Farabi dan apa saja karyanya?
2. Bagaimana filsafat Al-Farabi?

C. Tujuan
1. Mengetahui biografi Al-Farabi dan karya-karyanya
2. Mengetahui pemikiran filsafat al farabi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn
Tharkan Ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij. Distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota
Atrar/Transoxiana) Turkinistan pada tahun 257 H (870M). Ayahnya seorang jendral
berkebangsaan Persia, dan Ibunya berkebangsaan Turki1. Di kalangan orang-orang
Latin Abad Tengah, Al-Farabi lebih dikenal sebagai Abu Nasrh (Abunaser),
sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab. Tempat ia
dilahirkan2.
Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, ia hijrah dari negerinya ke kota
Baghdad, yang pada waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar
selama kurang lebih dua puluh tahun. Ia betul-betul memanfaatkan untuk menimba
ilmu pengetahuan kepada: Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta
Ibnu Yunus untuk belajar ilmu mantiq (logika)
Dari Baghdad Al-Farabi mencoba pergi ke Harran sebagai salah satu pusat
kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Disana ia berguru dengan Yohana Ibnu Hailan,
namun tidak lama kemudian, ia meninggalkan kota ini untuk kembali ke kota
Baghdad. Di sini kembali mendalami filsafat. Ia juga mampu mencapai ahli ilmu
mantiq (logika), kemudian ia mendapatkan predikat Guru Kedua, maksudnya, ia
adalah orang yang pertama kali memasukan ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab.
Keahlian ini rupanya yang dialami oleh aristoteles sebagai Guru Pertama, ia
(Aristoteles) orang yang pertama yang menemukan ilmu logika.
Pada tahun 350 H. (941 M), Al-Farabi pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota
ini, kedudukan Al-Farabi sangat diperhatikan secara baik oleh Saif Al-Dullah,
kholifah dinasti Hamdan di Allepo (Hallab). Sampai wafat Al-Farabi berusia 80
tahun. Pengalaman selama di istana Siaf Al-Dullah, Al-Farabi dapat mengembangkan
ilmunya dengan para sastrawan, ahli bahasa, para penyair dan ilmu lainnya.
Menjadilah ia filosuf yang terkenal pada masanya di istana ini. Dalam kepandaian Al-
Farabi di bidang filsafat, membawa pengaruh terhadap kemajuan pemerintah Saif Al-
Dullah, sebagaimana Al-Kindi yang dapat mencermelangkan pemerintahan Al

1
Hasyim Nasution, 2002, “filsafat Islam”. (Jakarta: Gaya Media Pratama). Hal 32
2
Poerwanto dkk, 1988, “Seluk-beluk Filsafat Islam”. (Bandung: Rosdakarya). Hal 133
4

Mu’tasyim. Riwayat lain yang dikemukakan oleh Dr. Fuad Al Ahwani bahwa Al-
Farabi masuk ke Istana pemerintahan Sai Al-Dullah dengan pakaian sufi.
Pemikiran Al-Farabi pun datang banyak dari para ahli. Diantaranya Massignon
(ahli masalah ketimuran dari Prancis), bahwa Al-Farabi merupakan merupan filosuf
Islam yang pertama, dan Al-Kindi adalah orang yang membuka pintu filsafat Yunani
bagi dunia Islam, akan tetapi persoalan-persoalan yang memuaskan. Akan tetapi Al-
Farabi telah menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap. Bahkan Al-Farabi dapat
memerankan peranan penting di dunia Islam. Dalam pengembangan keilmuannya
agar dapat meluas, ia telah memberikan keilmuannya kepada , Ibnu Sina, Ibnu Rasyd
serta filosuf-filosuf lainnya.
Karya Al-Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina
masih kalah dengan jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek yang
berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan
mendalam dalam pembicaraannya. Sebagai karangan Al-Farabi masih diketemukan
dibeberapa perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan
mengabadikan namanya. Ciri khas tertentu yang ada pada karangannya adalah bukan
saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah, namun juga memberi ulasan-
ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy, dan
Plotinus3.
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam
banyak bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi,
kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu, banyak
karya yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karyanya tersebut tidak banyak diketahui
seperti karya Ibnu Sina. Hal ini karena karya-karya Al-Farabi hanya berbentuk
risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang
mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya yang hilang, dan yang masih dapat
dibaca dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun tidak, kurang lebih 30
judul saja. Diantara judul karyanya adalah sebagai berikut:
1. Al-Jam baina Ra ‘ayay Al-Hikimain Aflathun wa Arishur;
2. Thaqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah;
3. Syara Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
4. At-Ta’liqat;
5. Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al-Falsafah;
3
A. Mustofa, 2009, “Filsafat Islam”, (Bandung: CV Pustaka Setia) hal. 125-127
5

6. Kitab Tahsil As-Sa’adah;


7. Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah;
8. ‘Uyun Al-Masa’i;
9. Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
10. Maqalat fi Ma’ani Al-Aql;
11. Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita;
12. Fushul AlHukm;
13. Risalah Al-Aql;
14. As-Syiasah Al-Madaniyah;
15. Al-Masa’il Al-Falsafiyah wwa Al-Ajwibah Anh4a.

B. Filsafat Al-Farabi
1. Rekonsiliasi Al-Farabi
Al-Farabi telah berhasil mengrekonsiliasikan beberapa ajaran filsafat
sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh
karena itu, ia dikenal filosof sinkretisme yang mempercaya kesatuan filsafat.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu
hakikatnya satu, yaitu sama-sama mencari kebenaran yang satu, karena tujuan
filsafat ialah memikirkan kebenaran sedangkan kebenaran itu hanya satu macam
dan serupa pada hakikatnya. Justru semua aliran filsafat  pada prinsipnya  tidak
ada perbedaan. Kalaupun berbeda, hanya pada lahirnya. Upaya ini terealisasikan
ketika ia mendamaikan pemikiran Aristoteles dengan Plato dalam bukunya yang
populer al-Jam ‘bain al-Ra’yai al-Hakimain. Dan antara filsafat dan agama.
Cara Al-Farabi menyatukan kedua filosof di atas ialah dengan mengajukan
pemikiran masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya. Setiap dalam
pembicaran masalah idea yang menjadikan bahan bahasan polemik antara
Aristoteles dan Plato. Filosof yang disebut pertama yang tidak dapat
membenarkannya karena, menurutnya, alam idea hanya terdapat dalam pikiran.
Sedangkan filosof yang disebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
Untuk mempertemukan kedua filosof ini, Al-Farabi menggunakan interpretasi
batini, yakni dengan menggunakan takwil apabila ia menemukan pertentangan
pikiran antara keduanya. Kemudian, ia tegaskan lebih lanjut, sebenarnya
Aritoteles mengakui alam rohani yang teradapat diluar alam ini dan perkataannya
4
Dedi Supriyadi, 2009, “Pengantar Filsafat Islam”,  (Bandung: CV Pustaka Setia). Hal  83-84.
6

yang mengingkari alam rohani tersebut dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof
tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada Zat Allah.
Sebenarnya, Al-Farabi telah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan
antara Aristoteles. Padahal, sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus,
yang berisikan penetapan ala idea terletak bukan pada benda. Dengan demikian,
pada hakikatnya Al-Farabi merekonsiliasikan antara plato dan Plotinus, bukan
antara Plato dan Aristototeles.
Disamping itu telihat pula usaha Al-Farabi merekonsialisasikan antara agama
dan filsafat. Menurutnya para filosof Muslim menyakini, Al-Quran dan hadits
adalah hak dan benar dan filsafat juga adalah benar. Kebenaran itu tidak boleh
lebih dari satu. Justru itu ia tegaskan bahwa antra keduanya tidaklah bertentangan,
bahkan mesti cocok dan serasi karena sumber keduanya sama-sama dari Akal
Aktif, hanya yang berbeda cara memperolehnya. Bagi filosof perantaranya Akal
Mustafad, sedangkan dalam agama perantaranya wahyu disampaikan kepada nabi-
nabi. Kalau ada perlawanan, itu hanya dari segi lahirnya dan tidak sampai
menembus batinnya. Untuk menghilangkan perlawanan itu harus dipakai takwil
filosofis dan tidak meninggalkan pertentangan kata-kata. Filsafat memberikan
kebenaran dan agama juga menjelaskan kebenaran. Oleh karena itu, Al-Farabi
tidaklah berbeda kebenarannya yang disampaikan para nabi dengan kebenaran
yang dimajukan filosof, dan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani. Akan tetapi,
hal ini tidak berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.

2. Ketuhanan
a. Pemikiran Tentang Tuhan
Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengkompromikan
antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-
Awwal (wujud pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada.
Bentuk filsafat neo-Platonisme sendiri praktis telah melaksanakan
penyatuan filsafat plato dan Aristoteles dalam dirinya. Konsep Al-Farabi
ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam.
Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalil
Wajibul al-Wujud dan Mumkin al-Wujud ( De Boar, 1954:162). Dengan
demikian Al-Farabi membagi wujud kepada dua bagian, yaitu:
1) Wujud yang nyata dalam sendirinya (Wajibul-wujud li dzatihi).
7

Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri


menghendaki wujud-Nya. Esensinya adalah wujud yang
sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi
karena lainnya. Ia ada selamanya, wujud yang apabila
diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemuslihatan sama
sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud. Wujud yang
wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
2) Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya.
(wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak
akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu
sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud.
Atau dengan perkataan lain cahaya adalah wujud yang
mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata
(wajib)karena matahari.

Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang


pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada
sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Bagaimanapun juga
panjangnya rangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap
membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena
sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri5.

Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalau
ada sebab bagi-Nya, maka adanya Tuhan tidak sempurna tidak lagi,
berarti adanya Tuhan bergantung pada sebab yang lain. Ia wujud yang
paling dahulu dan paling mulia, yang tidak berawal dan tidak berakhir,
sebagai sebab pertama berarti Tuhan tidak ada yang mengawali dan tidak
memerlukan yang lain. Wujud-Tuhan adalah Zat yang paling azali dan
yang selalu ada. Wujud-Nya tidak terdiri dar Matter (benda) dan from
(bentuk/surah), yaitu dua bagian pada makhluk. Karena kesempurnaan itu,
maka tidak ada sesuatu yang sempurna yang terdapat pada selain-Nya.

Tuhan itu Maha Esa, tidak terbatas dalam segala sesuatunya, bila ada
hal-hal yang membatasi berarti Tuhan tidak Esa lagi. Maka Tuhan tidak

5
Sudarsono,2010, “Filsaft Islam”, (Jakarta: Rineka Cipta). Hal 33
8

dapat dirumuskan sama sekali denagn batasan yang akan memberikan


pengertian pada manusia, sebab suatu batasan berarti suatu penyusunan
yang akan menggunakan golongan dan pembedaan atau digunakan
pengertian zat dan bentuk, seperti memberi definisi kepada sesuatu benda
atau barang.

b. Sifat Tuhan
Dalam metafisikanya tentang ketuhanan Al-Farabi hendak
menunjukkan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya. Juga dijelaskan pula
mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan. Sifat Tuhan
tidak berbeda dari zat-Nya. Karena Tuhan adalah tunggal. Juga zat Tuhan
menjadi obyek pemikiran sendri (ma’qul), karena yang mengahalang-
halangi sesuatu untuk menjadi obyek pemikiran ialah benda itu pula. Jadi
ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal pikiran. Ia tidak
membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan Zat-Nya sendiri tetapi
cukup dengan Zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi obyek pikiran6.
Tuhan juga adalah Zat yang MahaMengetahui (‘alim) tanpa
memerlukansesuatu yang lain untuk dapat mengetahui. Jadi Tuhan cukup
dengan zat-Nya sendiri untuk mengetahui dan diketahui. Ilmu
(pengetahuan) Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain hanyalah zatnya sendiri
juga. Dengan demikian, maka ilmu dan zat yang mempunyai ilmu adalah
satu juga.
Jadi menurut Al-farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan
zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan yang berarti juga substansi Tuhan.
Tuhan sendiri sebenarnya akal, sebab segala sesuatu yang tidak
membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Begitu pula
denga wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu itu
adalah akal (pikiran). Akal adalah zat (substansi) yang berfikir, tetapi
sekaligus juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri.

c. Pembuktian Adanya Tuhan


Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat
digunakan sebagai dalil ontologi, dalil teologi dan kosmologi. Para

6
Hasan basri & Zaenal Mufti , 2009, “Filsafat Islam”,  (Bandung, CV. Insan Mandiri)
9

pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut (ontologi, teologi dan


kosmologi) untuk sampai kepada kesimpulan adanya Tuhan. Hal seperti
itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Di antara dalil yang banyak
dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi  menurut istilah
metofisika.
Dalil kosmologi melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang
terakhir dalam rangkaian sebab akibat. Pada akhirnya hubungan sebab
akibat akan berhenti pada satu sebab pertama, karena pada dasarnya kita
tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang tidak
berkesudahan (berkeputusan). Al-Farabi dalam membuktikan adanya
Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua
keadaan, pertama ada sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin,
kedua ada sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam
keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh ada yang lain, dan keadaan
yang kedua adanya tanpa sesuatu yang lain ada dengan sendirinya dan
sebagai keharusan7.
Pembuktian dengan dalil kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al-
Farabi termasuk dalil yang sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan
dalil ini berpangkal dari suatu keyakinan yang mengharuskan adanya
Tuhan.

3. Emanasi
Al-Farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang
banyak alam ( yang bersifat materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti
materi dam Maha sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta
alam, melaikan Penggerak Pertama (prime cause), seperti yang dikemukakan
Aristoteles. Sementara dalam doktrin ortodok Islam (al-mutakallimin), Allah
adalah Pencipta (shani, Agent), dari menciptakan dari tiada menjadi ada (ceiro ex
nihillo).. untuk mengislamkan doktrin ini Al-Farabi, juga filosof lainnya mencari
bantuan kepada Neoplatonis monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan
penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah pencipta.. dengan arti, Allah
menciptakan alam semenjak alam azali, energi alam berasal dari energi yang
7
Sudarsono,2010, “Filsafat Islam”, (jakarta: Rineka Cipta). Hal 37-38
10

kadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu,
menurut filosof muslim, kun Allah yang temaktub dalam Al-Quran di tunjukan
kepada syai (sesuatu) bukan kepada Iasyai (nihil).
Telah dikemukakan bahwa Allah adalah Aql, Aqil,  dan Ma’qul.  Ia sebut
Allah adalah Aql   karena Allah pencipta dan pengatur alam, yang beredar menurut
aturan yang luar biasa rapi dan teratur tanpa cacat sedikitpun, mestilah suatu
subtansi yang memiliki daya berpikir yang luar biasa. Oleh sebab itu, cara Allah
menciptakan alam ialah dnegan ber-ta’aqqul terhadap zat-Nya dengan proses
sebagai berikut.
Allah Maha sempurna, ia tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam
karena terlalu rendah bagi-Nya untuk memikirkan dan berhubungan dengan alam
yang tidak sempurna. Allah cukup memikirkan – membedakan antara
term aql  dan fikr   dalam terminologi Al-Quran—zat-Nya, maka terciptalah
energi yang maha dasyat secara pancaran dan dari energi inilah terjadinya akal
pertama (juga memandat dalam bentuk materi). Akal pertama berpikir tentang
Allah menghasilkan Akal kedua dan berpikirkan dirinya menghasilkan langit
pertama. Akal kedia berpikir tentang Allah menghasilkan Akal ketiga dan
berpikir  tentang dirinya menghasilkan bintang-bintang. Akal ketiga berpikir
tentang Allah menghasilkan Akal keempat dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Saturnus. Akal keempat berpikir tentang Allah menghasilkan Akal
kelima dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Yupiter. Akal kelima berpikir
tentang Allah menghasilkan akal keenamdan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Mars. Akal keenam berpikir tentang Allah menghasilkan Akal
ketujuh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Matahari. Akal ketujuh
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kedelapan dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Venus. Akal kedelapan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal
kesembilan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Merkuri. Akal kesembilan
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kesepuluh dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Rembulan. akal kesepuluh, karena adanya akal ini sudah lemah,
maka ia tidak dapat lagi menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan
bumi, roh-roh, dan materi pertama menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara,
api, dan tanah. Akal kesepuluh ini disebut dengan Akal Fa’al (Akal aktif)
atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang
mengurusi kehidupan di bumi.
11

Akal-akal dan planet-planet itu terpancar secara beruntutan dalam waktu yang
sama. Hal ini dapat terjadi karena dalam Allah berpikir tentang diri-Nya,
dissebutkan, menghasilkan daya atau energi.
Kalau pada Allah hanya terdapat satu objek pemikiran, yakni zat-Nya,
sedangkan pada akal-akal terdapat objek pemikiran Allah dan akal-akal.
Di sini yang perlu dipertanyakan, faktor apa yang mendorong Al-Farabi
mengemukakan emanasi ini? Tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang
keesaan Allah, bahkan melebihi Al-Kindi. Allah bukan hanya dinegasikan dalam
artian ‘aniah dan mahiah, tetapi juga lebih jauh lagi. Allah adalah Esa sehingga
tidak mungkin Ia berhubungan dengan yang tidak Esa atau yang banyak.
Andaikan alam diciptakan secara langsung oleh Allah, maka mengakibatkan Ia
berhubungan dengan yang tidak sempurna dan ini akan menodai keesaan-Nya
oleh sebab itu, dari Allah hanya timbul satu, yakni Akal pertama berfungsi sebagai
mediator antara Yang Esa dan banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan
antara Yang Esa dan yang banyak.
Emanasionisme Al-Farabi ini jelas cangkokan doktrin Platonius yang
dikombinasikan dengan sistem kosmologi Platomeus sehingga menimbulkan
kesab bahwa Al-Farabi hanya mengalih bahasakan dari bahasa sebelumnya ke
dalam bahasa Arab. Menurut Nurcholish Majid, Al Farabi mempelajari dan
mengambil ramuan asing ini terutama paha ketuhanannya memberikan kesan
tauhid8.

4. Kenabian
Filsafat kenabian Al-Farabi erat kaitannya antara nabi dan filosof dalam
kesanggupanya untuk mengadakannya komunikasi dengan akal fa’al. Motif
lahirnya filsafat Al-Farabi ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap
eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ahmad Inu Ishaq Al-Ruwandi (Akhir
abad III H). Tokoh yang berkebangsaan Yahudi ini menurunkan beberapa karya
tulis yang isinya mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad
Saw. Khususnya kritiknya ini dapat dideksripsikan sebagai berikut:
a. Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia, karena Tuhan telah
mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat

8
Ibid,.. hal 74-77
12

mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nyadan dapat pula mengetahui


perbuatan baikm dan buruk.
b. Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya
thawaf di Ka’bah, dan sa’i di Bukit Shafa dan Marwah dengan tempat-
tempat lain.
c. Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia.
d. Al-Qur’an bukanlah Mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (Al-
khawariqal-adat). Orang yang non Arab jelas saja heran dengan balaghah
Al-Quran, karena mereka tidak kenal dan memgerti Bahsa Arab dan
Muhammad adalah kabilah yang paling fasahah dikalangan orang Arab9.

Dalam suasana yang demikian, Al-Farabi merasa terpanggil untuk menjawab


tantangan tersebut. Karena kenabian adalah asa sentral dalam agama, apabila ia
telah batal, maka akibatnya membawa kebatalan pada agama itu sendiri.

Al-farabi adalah filosof muslim pertama yang mengemukakan filsafat


kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada penambahan oleh filosof-
filosof sesudahnya. Filsafatnya ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang
erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika.

Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (Jibril)


melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau
inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang
dapat menembus alam materi dan dapt mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan
cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.

Telah dimaklumi bahwa ilham-ilham kenabian ada kalanya terjadi waktu tidur
dan waktu bangun. Dengan kata lain, dalam bentuk impian yang benar atau
wahyu. Perbedaan keduanya hanya terletak pada tingkatannya dan tidak
mengenai esensinya. Mimoi yang benar tidak lain adalah satu tanda dari tanda
kenabian.

Menurut Al-Farabi, bila kekuatan imajinasi pada seseorang kuat sekali, objek
indrawi dari luar tidak akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapat

9
H. sirajudin , 2012, “filsafat Islam”, (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada). Hal 78-79
13

berhubungan dengan akal fa’al. Apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai


taraf kesempurnaan, tidak ada halangan bainya menerima peristiwa-peristiwa
sekarang atau mendatang dari Akal Fa’al pada waktu bangun. Dengan adanya
penerimaan demikian maka ia dapat nubuwwat terhadap perkara-perkara
ketuhanan.

Jadi, ciri khas seorang nabi oleh Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi
yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al ia dapat menerima visi dan
kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan
dari Allah melalui Akal Fa’al (Akal kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi
adalah Malaikat Jibril. Sementara itu filosof dapat berkomunikasi dengan Allah
melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga
sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.

Sampai di sini terkesan bahwa kenabian telah menjadi suatu yang dapat
diusahakan (muktasabat). Akan tetapi, jika diamati secara cermat; kesan ini
meleset sama sekali. Hal ini disebabkan nabi adalah pilihan Allah dan
komunikasinya dengan Allah bukan melalui Akal mustafad, tetapi melalui akal
dalam derajad materil. Seorang nabi dianugrahi Allah akal yang mempunyai daya
tangkap yang luas biasa sehingga tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi
langsung dengan akal kesepuluh (Jibril). Akal ini mempunyai kekuatan suci
(qudsiyyat) dan di beri nama hads. Tidak ada akal yang lebih kuat daripada
demikian dan hanya nabi-nabi yang memperoleh akal seperti itu. Sementara itu,
filosof dapat berhubungan dengan akal kesepuluh adalah usaha sendiri, melalui
latihan dan pemikiran. Seorang filosof hanya memiliki akal mustafad (perolehan)
lebih rendah dari pada nabi yang mempunyai akal meteril dan hads. Oleh karena
itu, setiap nabi adalah filosof dan tidak semua filosof itu nabi. Akan tetapi, filosof
tidak bisa menjadi nabi, yang selamanya ia (nabi) tetap manusia Allah.

Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, seperti yang telah disebutkan


sebelumnya, antara filosof dan nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, Al-
Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan
pengetahuan filsafat sebab antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber
yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Demikian pula dengan mukjizat sebagai
bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan
14

hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari
Akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.

Dari uraian di atas terlihat keberhasilan Al-Farabi dalam menjelaskan


kenabian secara filosofis dan menafsirkannya secara ilmiah yang dapat dikatakan
tiada duanya, terutama di “pentas” filsafat Islam10.

5. Kenegaraan dan Politik


Manusia menurut Al-Farabi seperti halnya Plato, Aristoteles dan ibn Abi
Rabi’, bersifat sosial yang tidak mugkin hidup sendiri-sendiri. Makhluk yang
berkecenderungan alami untuk hidup bermasyarakat dan bantu-membantu untuk
kepentingan bersama dalam mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan. Hal ini
karena manusia tidak mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa
bantuan atau kerja sama dengan pihak lain.
Pendapat Al-Farabi tentang tujuan hidup bermasyarakat memperlihatkan
pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang muslim, di samping pengaruh
tradisi Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik dengan moralitas dan etika.
Al-Farabi membagi masyarakat ke dalam dua macam, yakni
a. Masyarakat sempurna, masyarakat sempurna diklasifikasikan menjadi:
 Masyarakat sempurna besar, adalah gabungan banyak bangsa yang
sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama
(perserikatan bangsa-bangsa).
 Masyarakat sempurna sedang, adalah masyarakat yang terdiri atas satu
bangsa yang menghuni disatu wilayah dari bumi ini (negara nasional).
 Masyarakat sempurna kecil, adalah masyarakat yang terdiri atas para
penghunisatu kota (negara kota).
b. masyarakat tidak sempurna atau belum sempurna, adalah penghidupan sosial
di tingkat desa, kampung, lorong dan keluarga. Selanjutnya, di antara tugas
bentuk penghuni sosial itu, keluarga merupakan yang paling tidak sempurna.

Perkembangan dari tidak/kurang sempurna menjadi sempurna menurut Al-


Farabi bertingkat-tingkat. Mula-mula, masyarakat manusia berupa masyarakat
yang terbesar, lalu menjadi masyarakat desa dan kampung, kemudian menuju ke
10
Ibid,.. hal 79-81
15

masyarakat kota yang sempurna dan berpemerintahan. Al-Farabi berpandangan


bahwa masyarakat sempuna itu ialah masyarakat yang mengandung keseimbangan
diantara unsur-unsrunya. Perbedaannya hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat
itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar maka dalam diri manusia
unsur-unsur itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatnya.

Pandangan ini didasari oleh pemikiran filsafatnya bahwa manusia tidak sama
satu sama lainnnya, disebabkan bnayak faktor, antara lain: faktor iklim dan
lingkungan tempat mereka hidup, dan faktor makanan. Faktor-faktor tersebut
banyak berpengaruh dalam pembentukan watak, pola pikir dan perilaku, orientasi
atau kecendurangan serta adat kebiasaan.

Berbeda dengan Al-Farabi, Ibu Sina (370-425H/980-1033M) mempumyai


pandangan berbeda-bedanya manusia dengan sesamanya adalah “anugrah Tuhan”
yang dijadikannya untuk memelihara keselamatan hidup dan perkembangan
kemajuan hidupnya.jika semua manusia bersamaan dalam segala hal, pasyilah
membawa kemusnahan mereka.

Dalam hal filsafat kenegaraan, Al-Farabi membedakan negara menjadi lima


macam:

 Negara utama (al-Madinah al-Fadhilah ) yaitu negara yang penduduknya


berada dalam kebahagiaan. Menurutnya negara terbaik adalah negara yang
dipimpin oleh rosul dan kemudian oleh para filosof.
 Negara orang-orang bodoh ( al-Madinah al-Jahilah ), yaitu negara yang
penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
 Negara orang-orang fasiq ( al-Madinah al-Fasiqah ) yakni negara yang
penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal  ( fa’alal-Madinah al-
Fadilah )   tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang
bodoh.
 Negara yang berubah-ubah( al-Madinah al-Mutabaddilah ) ialah yang
penduduknya semula mempunyai fikiran dan pendapat seperti yang dimiliki
negara utama tetapi kemudain mengalami kerusakan.
 Negara sesat ( al-Madinah al-Dallah ), yaitu negara yang penduduknya
mempunyai konsepsi pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal fa’al, tetpi
16

kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian


menipu orang banyak denagn ucapan dan perbuatan.

Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang
berkuasa mutlak mengatur negaranya. Disini nyata teori kenegaraan iti paralel
dengan filsafat mettafisikanya tentang kejadian alam ( emanasi yang bersumber
pada yang satu ). Al-Farabi menegaskan bahwa negeri yang utama adalah negeri
yang memperjuangkan kemakmuran dan kebhagiaan warga negaranya.

Al-Farabi berpendapat, ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk
tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Kebahagiaan manusia
diperoleh karena perbuatan atau tindakan dan cara hidup yang dijalankannya. Al-
Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki (sebenanya) tidak mungkin
dapat diperoleh sekarang (di dunia ini), tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu
kehidupan akhirat. Namun sekarang ini juga ada kebahagiaan yang nisbi seperti
halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang dapat nampak dan dijadikan
pedoman hidup. Ada dua macam problem politik yaitu:

 Pemerintah atas dasar penegakkan terhadap tindakan-tindakan yang sadar,


cara hidup, disposisi positif dasar ini dapat djadikan upaya untuk mendapat
kebahagiaan. Pemerintah atas dasar demikian disebut pemerintah utama,
dimana sebagai ciri kota-kota dan bangsa-bangsanya tunduk terhadap
pemerintah.
 Pemerintah atas dasar penegakkan terhadap tndakan-tindakan dan watak-
watak dalam rangka mencapai sesuatu yang diperkirakan mendapat suatu
kebahagiaan, maka muncul beraneka ragam bentuk pemerintah, apabila yang
dikejar kejayaan semata dapat dianggap sebagai pemerintah yang rendah, jiak
mengejar kehormatan, disebut pemerintah kehormatan, dan pemerintahan
bergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.

Tujuan lain dari filsafat politik Al-Farabi adalah pembentukan pemimpin-


pemimpin politik yang handal pemimpin politik memiliki fungsi sebagai dokter
yang menyembuhkan jiwa sehingga dengan kepemimpinannya jiwa masyarakat
akan selalu sehat terutama dalam meraih sesuatu yang baikdan menghindar dari
17

yang jahat. Kemampuan politisnya harus digunakan untuk menjaga nilai-nilai


yang mampu mengembangkan masyarakat11.

6. Jiwa
jiwa manusia berasal dari materi asalnya memancar dari akal kesepuluh. Jiwa
adalah jauhar rohani sebagai from bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan
kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai sebstansi
yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia
disebut dengan al-nafs al-nathiqal, berasal dari alam ilahi, sedanglan jasad berasal
dari alam khalq, berbentuk berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala
jasad siap menerimanya. Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya
sebagai berikut:
 Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan,
memelihara, dan berkembang.
 Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang medorong untuk merasakan
dan berimajinasi.
 Daya al-Nathiqat (bepikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara
teoritis dan praktis.

Daya teoritis terdiri dari tiga tingkatan berikut.

 Akal Potensial (al-Hayulani), ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir
dalam arti; melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
 Akal Aktual (al-Aql bi al-fil), akal yang dapat melepaskan arti0arti dari
materinya, dan arti-arti itu telah mempunyau wujud dalam akal dengan
sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi telah dalam bentuk
actual.
 Akal Mustafad (al-Aql al-Mustaafad), akal yang telah dapat menangkap
bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai
kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.

Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan filsafat Negara


utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah,

11
Supriyadi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia). Hal 96-98.
18

maka jiwa ini, menurut Al-Farabi, akan kembali kea lam nufus, (alam kejiwaan)
dan abadidalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara fasiqahi, yakni jiwa
yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan segala perintah allah, ia
kembali kealam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sementara
itu, jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni yang tidak kenal dengan Allah
dan tidak pernah melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan12.

7. Akal
Telah disebutkan bahwa akal, menurut Al-Farabi, ada tiga jenis, pertama,
Allah sebagai Akal; kedua, akal-akal dalam filsafat emanasi satu sampai sepuluh
dan ketiga, akal yang terdapat dalam diri manusia. Akal pada jenis pertama dan
kedua tidak berfisik (materi/rohani) dan tidak menempati fisik, namun antara
keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam. Adapun jenis akal pertama Allah
sebagai Akal adalah Pencipta dan Esa semutlak-mutlaknya, Maha sempurna dan
tidak mengandung pluralitas sebagai zat yang Esa, maka objek ta’aqqul Allah
hanya satu, yakni Zat-Nya. Jika diandaikan objek ta’aqul Allah lebih dari atu,
maka pada pada diri Allah terjadi pluralitas. Hal ini bertentangan dengan prinsip
tauhid. Demikian juga Allah Maha Sempurna tidak berhubungan dengan selain
diri-Nya. Jika dikaitkan Allah berhubungan dengan selain diri-Nya, berarti ia
berhubungan dengan yang tidak sempurna. Hal ini juga merusak citra tauhid. Atas
dasar inilah Al-Farabi menjelaskan bahwa materi asal deiciptakan Allah dari
sesuatu yang sudah ada dan diciptakan secara emanasi sejak azali, karena sifat
Khalik Allah ada sejak Ia wujud (bukan berarti Allah didahului dari tidak ada) dan
semenjak itu pula ia langsung menciptaka. Dari hasil ta’aqqul-Nya muncul dua,
berarti Allah mempunyai dua sisi yang pluralitas.
Adapun jenis akal yang kedua yakni akal-akal pada filsafat emanasi, akal
pertama esa pada zatnya, tetapi dalam dirinya mengandung keenakpotensial. Ia
diciptakan oleh Allah sebagai Akal maka objek ta’aqqul-Nya (juga akal-akal
lainnya) tidaklah lagi satu, tetapi sudah dua; Allah sebagai Wajib al-Wujud dan
dirinya sebagai mukmin al-wujud. Telah dikemukakan ada sepuluh akal dan
sembilan planet. Akal kesepulul (Akal Fa’al), disamping melimpahkan kebenaran
kepada para nabi dan filosof, juga berfungsi mengurusi bumi dan segala isinya.

12
H. sirajudin , 2012, “filsafat Islam”, (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada) hal 87-88
19

Juga telah disebutkan bahwa pendapat Al-Farabi tentang sembilan planet


terpengaruh oleh Atronomi Yunani saat itu yang mengatakan sembilan planet.
Akal jenis ketiga ialah akal sebagai daya berpikir yang terdapat dalam jiwa
manusia. Akal jenis ini juga tidak berfisik, tetapi bertempat pada materi. Akat ini
bertingkat-tingkat, terdiri dari akal potensial, akal aktual, dan akal mustafad. Akal
yang disebutkan terakhir.ini yang dimiliki para filosof yang dapat menangkap
cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam materi melalui Akal kesepuluh (Akal
Fa’al)
Demikian tentang uraian Al-Farabi, kendati ia terpengaruh oleh filsafat
Aristoteles, plato, dan platonius, namun ia telah berhasil mengembangkan dan
memperdalamnya sehingga dapat dikatakan hasil filsafatnya sendiri. Selain itu, ia
juga menciptaka filsafat sendiri yang belum dibicarakan oleh filosof Yunani.
Dengan demikian, ia telah menghasilkan filsafat Islam yang mempunyai watak
dan ciri khas tersendiri. Secara umum, dapat dilihat bahwa filsafat Al-Farabi
begitu kompleks sehingga dapat dibicarakan oleh para filosof muslim sesudahnya
hampir sudah pernah disinggung oleh pewaris logika Aristoteles ini. Melihat
ketajaman pisau analisis dan kepiawaian serta kedalaman filsafatnya, sangat
pantas ia menerima segudang anugrah sanjungan dari berbagai pihak, seperti Al-
Farabi alah filosof muslim terbesar tanpa tanding, Al-Farabi adalah filosof
Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Al-Farabi adalah peletak dasar filsafat
Islam, dan lain-lainnya13.

13
H Sirajuddin,.. Ibid,.. hal 88-90.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nama lengkap Al-Farabi adalah bu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkan
Ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij. Distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota
Atrar/Transoxiana) Turkinistan pada tahun 257 H (870M). Ayahnya seorang jendral
berkebangsaan Persia, dan Ibunya berkebangsaan Turki[14]. Di kalangan orang-orang
Latin Abad Tengah, Al-Farabi lebih dikenal sebagau Abu Nasrh (Abunaser),
sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farb. Tempat ia
dilahirkan.
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam
banyak bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi,
kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu, banyak
karya yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karyanya tersebut tidak banyak diketahui
seperti karya Ibnu Sina. Hali ini karena karya-karya Al-Farabi hanya berbentuk
risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang
mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya yang hilang, dan yang masih dapat
dibaca dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun tidak, kurang lebih 30
judul saja. Diantar judul karyanya adalah sebagai berikut:
 Al-Jam baina Ra ‘ayay Al-Hikimain Aflathun wa Arishur;
 Thaqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah;
  Syara Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
 At-Ta’liqat;
 Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al-Falsafah;
 Kitab Tahsil As-Sa’adah;
 Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah;
 ‘Uyun Al-Masa’i;
 Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
 Maqalat fi Ma’ani Al-Aql;
 Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita;
 Fushul AlHukm;
 Risalah Al-Aql;
21

 As-Syiasah Al-Madaniyah;
 Al-Masa’il Al-Falsafiyah wwa Al-Ajwibah Anha

Adapun pemikiran Filsafat Al-Farabi ialah tentang :

 Rekonsiliasi Al-Farabi
 ketuhanan
 emanasi
 Kenabian
 Kenegaraan
 akal
 Jiwa

B. Saran
Dari Penulisan ini, yang saya kutip dari referensi-referensi yang saya anggap
terpercaya semoga dapat menambah wawasan, terutama bagi penulis dan bagi
pembacanya, di samping itu semoga penulisan ini dapat membawa kita kepada
berbudi pekerti luhur dan dapat menjadi akhlakul karimah. Dan apabila ada kesalahan
dan kesilapan dalam penulisan ini harap di perbaiki dan saya mohon kritikan ke arah
membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Dedi Supriyadi, 2009, “Pengantar Filsafat Islam”, (Bandung: CV Pustaka Setia)

Hasyim Nasution, 2002, “filsafat Islam”. (Jakarta: Gaya Media Pratama)

Mustofa, 2009, “Filsafat Islam”, (Bandung: CV Pustaka Setia)

Poerwanto dkk, 1988, “Seluk-beluk Filsafat Islam”.  (Bandung: Rosdakarya)

Sajudin , 2012, “filsafat Islam”,  (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada)

Sudarsono,2010, “Filsafat Islam”, (jakarta: Rineka Cipta)

Anda mungkin juga menyukai