Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

AL-FARABI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam


Dosen Pengampu : Dr. H. Hasan Basri, M.Ag.

Disusun oleh :
KELOMPOK 3
Della Milaniar Anggraini (1172020048)
Derry Setiawan (1172020050)
Dian Indriani (1172020057)
Fajar Maulana (1172020074)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tugas makalah dari mata
kuliah Filsafat Islam yang berjudul "Al-Farabi".
Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Saw. Sang
pembawa rahmat bagi seluruh alam, sosok tauladan yang patut kita tiru sebagai
bekal kita menempuh perjalanan di dunia dan akhirat.
Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menyusun makalah ini dan semoga makalah yang sederhana ini bisa
bermanfaat bagi semua orang khususnya bagi penulis.
Mungkin dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang
perlu dikoreksi baik dari segi susunan tata bahasa maupun materi yang dibahas.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kemajuan di masa yang akan datang.

Bandung, 27 September 2019

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Biografi Al-Farabi ........................................................................................ 2
B. Karya-karya Al-Farabi ................................................................................. 4
C. Pemikiran Filsafat Al-Farabi ........................................................................ 6
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 17
A. Kesimpulan ................................................................................................ 17
B. Rekomendasi .............................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Filsafat Islam pada haikatnya adalah filsafat yang bercorak Islami.
Islam menempati posisi sebagai sifat, corak dan karakter filsafat. Filsafat
Islam buka filsafat tentang Islam, bukan philosopy of Islam. Filsafat Islam
artinya berfikir dengan bebas dan radikal namun tetap berada dalam taraf
makna, yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan
dan memberi kedamaian hati.1
Merujuk pada periodisasi yang dicetuskan Harun Nasution,
perkembangan kajian filsafat Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode,
yaitu periode klasik yaitu antara 650-1250 M, periode pertengahan yakni
antara kurun tahun 1250-1800 M, periode modern atau kontemporer
berlangsung sejak kurun tahun 1800an hingga saat ini.
Banyak tokoh dari filsuf klasik yang kita kenal. Tetapi hanya satu saja
yang akan kita bahas dalam makalah ini, yaitu seorang filsuf yang
memiliki gelar “Guru kedua” setelah Aristoteles, ia adalah seorang muslim
yang kita terkenal dengan nama Al-Farabi. Disini kita akan membahas
mengenai biografinya, karya-karya dan juga pemikirannya tentang
berbagai bidang pengetahuan khususnya dalam perspektif Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa Al-Farabi
2. Apa saja karya Al-Farabi
3. Dalam hal apa saja pemikiran Al-Farabi
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi Al-Farabi
2. Untuk mengetahui karya Al-Farabi
3. Untuk mengetahui pemikiran Al-Farabi

1
Zaprulkhan. Hlm. 5

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Muhammad ibn Muhammad Ibn
Tatkhan ibn Auzalagh. Beliau lahir di Wasij, distrik Farab (sering dikenal dengan
kota Atrar/Transoxiana) Turkistan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya seorang
jenderal kebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.2 Di kalangan orang-
orang Latin abad tengah, Al-Farabi dikenal dengan Abu Nashr, sedangkan sebutan
nama Al-Farabi diambil dari kota Farab, tempat ia dilahirkan.3
Sejak kecil, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa
dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain, bahasa Iran,
Turkestan, dan Kurdistan. Munawir Sjadzali4 mengatakan bahwa Al-Farabi dapat
berbicara dalam tujuh macam bahasa, tetapi yang dia kuasai dengan aktif ada
empat bahasa : Arab, Persia, Turki dan Kurdi.
Pada masa mudanya, Al-Farabi pernah belajar bahasa dan sastra Arab di
Baghdad kepada Abu Bakar As-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr
Mattitus ibn Yunus, seorang kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan
filsafat Yunani, dan belajar kepada Yuhana ibn Hailam. Kemudian ia pindah ke
Harram, pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil dan berguru kepada Yuhana ibn
Jilad. Tak begitu lama, kemudian ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam
filsafat dan menetap selama 20 tahun5. Di Baghdad, ia juga membuat ulasan
terhadap buku-buku filsafat Yunani dan mengajar. Diantara muridnya yang
terkenal adalah Yahya ibn ‘Adi, seorang filsuf Kristen.
Pada tahun 330 H (945 M) saat usianya 75 tahun, ia pindah ke Damaskus
dan berkenalan dengan Saif ad-Daulah al-Hamdani, sultan dinasti Hamdan di
Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan
tunjangan yang sangat besar, namun Al-Farabi memilih hidup sederhana (zuhud)

2
Hasyimsah Nasution. 2002. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. Cet. ke-3 hlm. 32.
3
Poerwantana, dkk. 1998. Seluk-beluk Filsafat Islam. Bandung: Rosdakarya. Cet. Ke-1, hlm. 133.
4
Munawir Sjadzali. 1993. Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran. Jakarta: UI Press,
, Cet. Ke-5. hlm. 49.
5
Ibid. Hasyimsah Nasution. hlm. 32.

2
dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat
dirham saja setiap hari untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari. Sisa
tunjangan jabatan yang diterimanya, dibagikan kepada fakir miskin dan amal
sosial di Damaskus dan Aleppo.
Di Damaskus Al-Farabi bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa,
ahli fiqh dan kaum cendikiawan lainnya. Lebih dari 10 tahun Al-Farabi tinggal di
Aleppo dan Damaskus secara berpindah-pindah akibat hubungan penguasa kedua
kota ini semakin memburuk, sehingga Saif Ad-Daulah menyerbu kota Damaskus
yang kemudian berhasil menguasainya. Al-Farabi diikutsertakan dalam
penyerbuan ini, sehingga pada bulan Desember 950 M (339 H) ia meninggal
dunia dalam usia 80 tahun.
Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam
banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh
serta mengupasnya dengan sempurna,sehingga filsuf yang datang setelahnya
seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas system
filsafatnya.
Beliau adalah seorang tabib yang kenamaan, seorang ahli ilmu pasti dan
seorang filsuf yang ulung. Ia juga terkenal sebagai ahli dalam bahasa-bahasa
Yunani, Arab, Persi, Suria, dan Turki. Beliau melebihi Al-Kindi baik memberi
penjelasan dan tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan menyusun
kembali dari sisi kitab-kitab filsafat Yunani. Dengan demikian maka beliau
dianggap sebagai yang paling terpelajar dari para komentator Aristoteles.
Karangan beliau tidak kurang dari 128 buah kitab, yang banyak ialah mengenai
filsafat Yunani. Dalam karyanya Ihsan ul-Ulum (Ecyclopaedia of Science) beliau
memberikan suatu tunjauan umum dari segala sains. Buku ini terkenal di Barat
sebagai scientiss dan terjemahan Latin oleh Gerard Cremona.6
Pada abad pertengahan, Al-Farabi sangat dikenal sehingga orang-orang
Yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangan atau risalah-risalahnya yang
disalin kedalam bahasa Ibarani. Hingga sekarang, salinan tersebut masih
tersimpan diperpustakaan Eropa.

6
Sudarsono. 1997. Filsafat islam. Jakarta: PT.Rineka Cipta. Hlm.31

3
Al Farabi hidup pada zaman ketika situasi politik dan kekuasaan Abbasiyah
diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan, dan pemberontakan. Al-Farabi
lahir pada masa pemerintahan Al-Mu’taadid (870-893M) dan meninggal pada
masa Muti’. Suatu periode paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama
sekali. Saat itu timbul berbagai macam tantangan hingga pemberotakan terhadap
kekuasaan Abbasiyah dengan motif: agama, suku dan kebendaan.
Dengan situasi politik yang sangat kisruh, Al-Farabi gemar berkhalwat,
menyendiri dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan
bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal.7 Al-Farabi dalam hidupnya tidak
dekat dengan penguasa dan tidak menduduki salah satu jabatan pemerintahan. Hal
tersebut merupakan salah satu keuntungan, karena dengan demikian Al-Farabi
memiliki “kebebasan” untuk berpikir tanpa harus berusaha menyesuaikan
gagasannya dengan pola dan situasi politik pada saat itu. Akan tetapi dilain pihak
merupakan kerugian karena ia tidak memiliki peluang untuk belajar dari
pengalaman dalam pengelolaan kenegaraan, dan untuk menguji teorinya dengan
kenyataan politik yang ada dalam kehidupan bernegara pada zamannya.
B. Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar yang memiliki keahlian
dalam berbagai bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia,
astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqh dan manthiq. Oleh
karena itu banyak karya yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karya tersebut tidak
banyak diketahui seperti karya Ibnu Sina. Hal ini karena karya-katya Al-Farabi
hanya berupa risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku besar
yang mendalam pembicaraannya.
Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan terhadap
filsafar Aristoteles, Plato dan Galenus dalam bidang-bidang logika, fisik dan
metafisika. Meskipun banyak tokoh yang diulas pemikirannya, namun ia lebih
terkenal sebagai pengulas Aristoteles.8 Diantara judul karyanya adalah sebagai
berikut :

7
Ibid. MunawirSjadzali. hlm. 51.
8
Ibid. Sudarsono. Hlm. 31

4
1. Al-Jam’ubaina Ra’yay Al-Hakimain Aflatunwa Aristhu
2. Tahqiq Ghardh Aristhu fi KiatabBa’daAth-Thabi’ah
3. Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani
4. At-Ta’liqat
5. Risalah fima Yajibu Ma’firat Qabla Ta’allumi Al-Falsafah
6. KitabTashil As-Sa’adah
7. Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah
8. ‘Uyun Al-Masa’il
9. Ara ‘Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah
10. Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita
11. Maqalah fi Ma’ani Al-Aql
12. Fushul Al-Hukm
13. Risalah Al-Aql
14. As-Siyasah Al-Madaniyah
15. Al-Masa ‘il Al-Falsafahwa Al-AjwibahAnha.
Dari kitab-kitab di atas dengan berbagai objek kajian yang ditulis Al-Farabi,
terlihat bahwa ia adalah sosok filsuf, ilmuwan, dan cendikiawan dunia yang
ilmunya sangat luas dan mendalam. Massignon, ahli ketimuran Prancis
mengatakan bahwa Al-Farabi adalah seorang filsuf Islam pertama. Sebelum dia,
Al-kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam. Akan tetapi, Al-
Kindi tidak menciptakan system filsfat tertentu dan persoalan-persoalan yang
dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang
memuaskan. Sebaliknya, Al-Farabi telah menciptakan suatu system filsafat yang
lengkap seperti peranan yang dimiliki Plotinus bagi dunia barat.
Al-Farabi juga menjadi guru Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan filsuf-filsuf lain
setelahnya. Sehingga ia mendapat gelar “Guru Kedua” (Al-mu’allim al-Tsani)
sebagai kelanjutan Aristoteles yang mendapat gelar “Guru Pertama” (Al-Mu’allim
Al-Awwal).9
Julukan guru kedua yang disematkan kepada al-Farabi antara lain dengan
alasan; Pertama, sangat menonjol dalam Ilmu Logika (manthīq) yang menjadi

9
Zaprulkhan. 2014. Filsafat Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

5
pondasi semua cabang ilmu, terutama Ilmu Filsafat dan Logika yang dibangun
Aristoteles dijelaskan kembali dalam karyanya fi al-‘Ibārat, penguasaannya
terhadap Ilmu Logika dalam usia yang relatif sangat muda, bahkan mampu
mengungguli gurunya Abu Bisyir Matta bin Yunus yang kala itu termasuk orang
termasyhur bidang logika di Baghdad. Kedua, al-Farabi filosof terbesar setelah
filosof Yunani yang berhasil mengharmoniskan pemikiranpemikiran Aristoteles
dan Neo-Platonis. Ketiga, kepiawaiannya menyusun rambu-rambupengetahuan
filsafat sehingga mudah dikaji orang orang sesudahnya, ia tuangkan dalam kitab
Ihshā’ul ‘Ulūm10
C. Pemikiran Filsafat Al-Farabi
Struktur pemikiran filsafat Al-Farabi difahami sebagai upaya pemaduan
filsafat Plato (Kiblat Idealisme) dan Aristoteles (kiblat realisme) yang dipadukan
pemikiran keislaman Aliran Syiah Imamiyah. Upaya pemaduan ini sudah bermula
sejak pendahulunya, Al-Kindi membawa filsafat Yunani ke Dunia Islam. Upaya
yang dilakukan oleh Al-Farabi membuat sebagian kalangan menganggapnya
sebagai filosof sinkretisme yang memadukan antara filsafat dan agama. Bukti
nyata dari upaya ini tercantum dalam karyanya Al-Jam’u Baina Ra’yay Al-
Hakimaini Aflathun Al-Ilahiwa Aristhu. Ketika para filosof memperebutkan ihwal
perbedaan doktrin fundamental antara pemikiran plato dan Aristoteles, Al-Farabi
Justru berusaha menemukan kesamaan Kedua pemikiran tersebut. Menurutnya
tidak ada pertentangan antara pemikiran Plato dengan Aristoteles dalam tujuan
Filsafat keduanya sama-sama menegakan kebenaran umum walaupun dengan
corak yang berbeda.
Dengan menggunakan Interpretasi batin danTakwil, Al-Farabi melakukan
kerja pemaduan dua corak pemikiran Plato dan Aristoteles. Jika Plato bersikeras
bahwa idea mempunyai dunia Otonom dan Mengendalikan “Kebenaran” maka
Aristoteles lewat pemilahan benda ke dalam ‘substansi’ dan “aksidensi” juga
meyakini Eksistensi Idea. Hanya saja, porsi perhatian Aristoteles terhadap sifat
Aksidensi benda memang lebih besar dan membuatnya seakan tidak peduli
dengan Otonom dunia Idea, dalam hal ini, Al-Farabi menyebutkan tiga

10
M. Wiyono. Pemikiran filsafat al-Farabi. 2016. Jurnal substansia. Vol.18. 1. Hlm.67

6
kemungkinan yang menyebabkan orang menemukan perbedaan antara plato dan
Aristoteles yakni:
1. Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar
Menurut Al-Farabi, definisi yang diberikan kedua tokoh Filsafat klasik
Yunani tidaklah berbeda. Ketidak berbedaan definisi yang diyakini kedua
tokoh tentu saja mengugurkan kemungkinan pertama yang diajukan oleh
Al-Farabi sebelumnya
2. Pendapat orang tentang pemikiran Filosofis masih dangkal
Menurut Al-Farabi, Ia lebih menilai pendapat orang banyak mengenai
Filosofis tentu keduanya tidak perlu diragukan lagi, semua pemikir dari
beragam latar kajian mengklaim bahwa keduanya telah menghasilkan
filsafat yang gemilang Plato menjadi rujukan kaum idealis dan Aristoteles
menjadi rujukan kaum realis. Jika dua kemungkinan pertama telah
dianggap gugur maka yang tersisa adalah satu kemungkinan terakhir yakni
pengetahuan manusia yang barangkali tidak benar.
3. Pengetahuan manusia tentang perbedaan itu tidak benar karena filsafat
keduanya memiliki batasan yang sama
Kemungkinan ketiga yang ditawarkan oleh Al-Farabi dalam upaya
pemaduan pemikiran plato dan Aristoteles adalah menerima perbedaan kedua
tokoh yang mungkin dapat dilacak melalui:
a. Pembacaan atas cara hidup kedua tokoh dalam melahirkan
pemikirannya.
b. Pembacaan atas gaya bahasa kedua tokoh dalam karya-karya keduanya
c. Pembacaan atas sistematika pemikiran Filsafat keduanya.
Dengan melakukan pembacaan ulang atas tiga poin tersebut, Al-farabi
mengemukakan keyakinanya bahwa tidak ada perbedaan substansial antara
Filsafat Plato yang menaruh hormat pada otonomi idea dengan Filsafat Aristoteles
yang member perhatian lebih pada persoalan bentuk dalam realitas, Al-Farabi
Telah berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk mempertemukan kedua aliran
Filsafat tersebut dengan menggunakan metode Ilmiah, sebagian kalangan
meragukan validitas kesimpulan, dikerenakan Al-Farabi mendasari keseluruhan

7
kerja ilmiah ini hanya pada asumsi yang diyakininya benar, ada juga yang menilai
bahwa Al-farabi ceroboh dalam merujuk karya Aristoteles. Dalam hal ini
Aristoteles menemukan buku Theologi karangan Plotinus yang disangkanya milik
Aristototeles.
Terlepas dari keraguan sebagian kalangan akan Validitas kesimpulan yang
diajukan Al-farabi dalam memadukan Filsafat Plato dan Aristoteles, Al-Farabi
memang berhutang pada para pemikir Yunani. Pemikiran Filsafat Al-Farabi
disusun melalui penyesuaian Filsafat Yunani dengan kondisi lingkungan dan
kebudayaan islam pada waktu itu. Kemampuan logika yang dimiliki oleh Al-
Farabi membuatnya mampu menyusun Filsafatnya secara sistematis dengan
argumentasi yang logis. Doktrin dan ajaran inti Filsafat Al-Farabi ditemukan
melalui penelusuran atas karya-karya logika Al-Farabi.
a) Pemikiran Tentang Logika
Sebagian karya Al-Farabi adalah persoalan logika, Al-Farabi
menyatakan bahwa “seni logika memberikan aturan-aturan berfikir yang bila
diikuti akan menghasilkan pemikiran yang besar” logika dapat mengarahkan
manusia secara langsung kepada kebanaran dan menjauhkan dari kesalahan.
Aturan logika Al-farabi bersandar kepada logika tradisional Aristoteles.
Salah satu objek perhatian Al-Farabi dalam Karya-karya logikanya
adalah hubungan antara logika filsafat dengan tata bahasa umum. Realitas
sejarah masuknya Filsafat kedalam bahasa arab dan kebudayaan lain
memunculkan kesukaran dan kesulitan tertentu, kebutuhan akan kosa kata
arab yang dipandang refresentatif untuk kosa kata filsafat Yunani menjadi
kebutuhan yang mendesak, mendadak seperti isu yang cepat menyebar dan
membutuhkan jawaban. Meski memandang logika dan tata bahasa sebagai
kajian Filsafat Bahasa yang didasarkan pada kaidah-kaidah tertentu, Al-
Farabi tetap membedakan antara logika dan tata bahasa, tata bahasa
berkaitan dengan kata-kata sedangkan logika berkaitan dengan arti kata-kata
yang merupakan penjelmaan makna dari sesuatu yang diungkapkan lewat
bahasa lebih lanjut, Al-Farabi berkeyakinan bahwa tata bahasa akan selalu

8
menempati ruang nisbi karena ragam bahasa juga berbeda sementara logika
mengarah pada kesepakatan universal.
Karya-karya logika Al-Farabi tidak terhenti sampai diranah
linguistik saja. Al-Farabi juga mencurahkan pemikiran kepada aspek-aspek
logika formal seperti silogisme, teori demonstrasi dan masalah-masalah
epistimologis logika. Bahasan yang paling menonjol dalam logika dan
Epistimologi Al-farabia adalah pada pengadopsian interpretasi tingkatan
silogistik (termasuk retorika dan puisi) yang menunjukan fakta bahwa
demonstrasi merupakan metode filsafat yang paling tepat dan dapat menjaga
akurasi.
Sumbangan besar Al-Farabi dibidang logika terbentuk dalam dua
cakupan, pertama, Al-Farabi berhasil menjelaskan secara tepat dan akurat
maksud-maksud penerapan logika yang dikenalkan oleh aristoteles kepada
pengguna bahasa arab, terutama tentang silogisme Aristoteles. Kedua, Al-
Farabi meletakan landasan bagi 5 bagian penalaran berikut:
1. Demontrasi, bagian penalaran yang mumpuni untuk menghasilkan
kepastian dalam kesimpulan yang dituju
2. Dialektika, bagian penalaran yang dapat menghasilkan kesamaan
keyakinan dalam kesimpulan jika diawali dengan niat yang baik.
3. Sofistika, penalaran yang mengarah pada kesamaan kesimpulan lewat
niat buruk dan kesalahan
4. Retorika, bagian penalaran yang membolehkan kemunculan aneka
pendapat yang bersifat mungkin, tanpa jaminan kepastian.
5. Puitika, bagian penalaran yang membawa kepada imajinasi yang
menyenangkan atau juga menyakitkan.
b) Pemikiran Tentang Tuhan
Sebelum membicarakan tentang hakikat tuhan dan sifat-sifat-Nya, ia
terlebih dahulu memberikan wujud yang ada kepada dua bagian:
1. Wujud yang mumkin, atau wujud yang nyata karena lainnya (Wajibul-
wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau
sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya

9
bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau dalam perkataan lain cahaya
adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud
yang nyata (wajib) karena matahari. Wujud yang mumkin tersebut
menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan) karena segala yang
mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang
pertama kali ada. Bagaimanapun juga panjangnya rangkaian wujud
yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang
mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri.
2. Wujud yang nyata dengan dirinya sendiri (wajibul-wujud li dzatihi)
wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-
Nya, yaitu wujud yang diperkirakan tidak ada, maka akan timbul
kemuslihatan sama sekali. Ia adalah sebab yang pertama bagi semua
wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan tuhan (Allah).11
a. Konsep Emanasi12
Kata emanasi, berasal dari bahasa Inggris emanation yang
berarti proses munculnya sesuatu dari pemancaran, bahwa yang
dipancarkan, substansinya sama dengan yang memancarkan.
Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah: proses terjadinya wujud
yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa
atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala
sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada
karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.1 Emanasi
juga berarti: realitas yang keluar dari sumber (Tuhan, seperti cahaya
keluar dari matahari).
Konsep emanasi merupakan konsep penciptaan sebagai hasil
pancaran Tuhan. istilah emanasi ini berubah menjadi faham Emanasi,
dimana istilah Emanasi dimulai oleh filsafat Plotinus (284-269). Yang
lahir di Lykopolis (Mesir).4 Secara ringkas Plotinus adalah filosof
pertama yang mengajukan teori penciptaan alam semesta.5 Yang

11
Ibid. Sudarsono. Hlm. 33-34
12
Amirudin. 2019. Memahami otentisitas konsep tuhan. Jurnal Kaca. Vol 9. No.1

10
kemudian muncul istilah Emanasi. Didalam teori penciptaan alamnya
Plotinus, nampaknya mendapat pengaruh dari Plato.
Dalam pemikiran Islam, Konsep emanasi hampir di kemukakan
oleh mayoritas filosof muslim, di antaranya adalah Al-Farabi, Al-
Kindi, Ibnu Miskawaih dan Ibnu Sina.
Konsep emanasi Al-Farabi yang menjelaskan bahwa jika alam
ini diciptakan dari tidak ada mengindikasikan pengertin bahwa adanya
hubungan langsung dengan Allah yang Maha Esa. dengan alam yang
beraneka sehingga dapat mengakibatkan perubahan pada zat Allah.
Dari sini kemudian, Mu’tazilah mengatakan bahwa alam ini dijadikan
Allah dari ma’dūm yang artinya syai’un wa dzāun wa ‘ainun (sesuatu,
zat dan hakikat). Singkatnya, menurut mereka alam ini kadim karena
ia telah ada lebih dulu dalam bentuk tertentu sebelum terwujud dalam
kenyataan ini. Pada titik ini, teori emanasi Al-Farabi menemukan
relevansinya. Ia menyatakan bahwa alam ini terjadi karena limpahan
dari Yang Esa (the one).
b. Pembuktian Adanya Tuhan
Dalam membuktikan adanya tuhan ada beberapa dalil yang dapat
dugunakan sebagai dalil ontologi dalil teologi dan dalil kosmologi. Para
pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut untuk sampai kepada
kesimpulan tentang adanya tuhan. Hal seperti itu, diikuti pula oleh para
pemikir Islam.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua
keadaan , pertama ada sebagai kemungkinan disebut wujud yang
mungkin, kedua ada sebagai keharusan disebut wujud yang wajib. Dalam
keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh ada yang lain, dan
keadaan yang kedua adanya tanpa sesuatu yang lain atau ada dengan
sendirinya dan sebagai keharusan.13
c) Pemikiran Tentang Kenabian

13
Ibid, Sudarsono. hlm.37

11
Dalam catatan Ibrahim Madkur, filsafat kenabian al-Farabi erat
kaitannya antara nabi dan filosof dalam kesanggupannya untuk
mengadakan komunikasi dengan ‘Aql Fa’’al. Motif lahirnya filsafat al-
Farabi ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi kenabian
secara filosofis oleh Ahmad ibn Ishaq al Ruwandi (w. akhir abad III H)
dan Abu Bakr Muhammad ibn Zakariya al-Razi (865-925 M). Di mana
menurut mereka, para filosof berkemampuan untuk mengadakan
komunikasi dengan ‘Aql Fa’’al. 18 Ahmad ibn al-Ruwandi, tokoh yang
berkebangsaan Yahudi ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya
mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Nabi Muhammad
SAW khususnya. Kritiknya ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah
mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat
mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui
perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya.
2. Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya
tawaf di Ka’bah, dan sai di Bukit Shafa dan Marwa dengan tempat-tempat
lain.
3. Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia. Siapa yang dapat menerima batu dapat bertasbih dan serigala
dapat berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam
Perang Badar mengapa dalam Perang Uhud tidak?
4. Al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa
khariq al-‘adah). Orang non-Arab jelas heran dengan balaghah al-Qur’an,
karena mereka kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah
orang yang paling fasih di kalangan orang Arab. Justru karena hal-hal di
atas, daripada membaca kitab suci, lebih berguna membaca buku filsafat
Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku astronomi, logika, serta obat-obatan.
Tentu pandangan Ibn al-Ruwandi di atas tidak dapat dibenarkan,
khususnya dari sisi akidah Islam. Dari sisi pemikiran, arahnya sangat
liberal dan destruktif. Dan ini sangat berbeda dengan pandangan al-Farabi

12
tentang kenabian (al-nubuwwah) yang menjadi dasar dari filsafat
kenabiannya. Pandangannya itu dapat dijelaskan dalam penjabaran berikut
ini. Menurut al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan ‘Aql Fa‘‘al
melalui dua cara, yakni: penalaran atau renungan pemikiran dan imaginasi
atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-
pribadi pilihan yang dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai
cahaya ketuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Perbedaan antara kedua cara tersebut hanya pada tingkatannya, dan tidak
mengenai esensinya. Tentu saja jika yang dipahami sebagai ‘Aql Fa‘‘al itu
adalah Jibril, maka yang dapat berhubungan secara langsung hanyalah
para nabi. Manusia sekelas filosof pun tidak akan dapat mencapai derajat
ini. Konon lagi, jika menggunakan logika sederhana bahwa nabi adalah
filosof, dan filosof bukan nabi. Maka dari sisi tingkatannya pun antara
nabi dan filosof sangat berbeda, yakni filosof berada di bawah nabi.14
d) Pemikiran Tentang Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Al-Farabi, pendidikan merupakan media untuk
mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, dan keterampilan praktis
bagi individu dalam periode dan budaya tertentu. Tujuan akhirnya,
membimbing individu untuk menuju kesempurnaan. Sebab, manusia
diciptakan guna mencapai kesempurnaan. Sementara, kesempurnaan
tertinggi adalah kebahagiaan. Menurut Al-Farabi, manusia yang
sempurna adalah mereka yang telah mengetahui kebajikan secara
teoretis dan menjalankannya dalam praktik keseharian. Pendidikan,
menurut Al-Farabi, harus menggabungkan antara kemampuan teoretis
dari belajar yang diaplikasikan dengan tindakan praktis. Kesempurnaan
manusia, kata beliau, terletak pada tindakannya yang sesuai dengan teori
yang dipahaminya. 15
2. Kurikulum pendidikan
14
Qasim Nursheha Dzulhadi. 2014. Al-Farabi dan Filsafat kenabian. Hikmah. 12. 1. Hlm. 129-131
15
Nur arifin, dkk. 2018. Aliran dan pemikiran pendidikan islam. Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka
Jaya. Hlm. 63

13
Klasifikasi Ilmu menurut al-Farabi disusun dalam karyanya yang
terkenal yaitu “Ihsha al-ulum” al-Farabi membangun klasifikasi ilmu
yang terperinci namun tetap terpadu, berdasarkan tiga pengelompokkan
utama ilmu: Metafisik, Matematik, dan Ilmu-ilmu Alam.
1) Metafisik
2) Matematik. Menurut al-Farabi dibagi menjadi tujuh cabang, yaitu:
aritmatika, geometri, astronomi, musik, optika, ilmu tentang gaya,
alat-alat mekanik.
3) Ilmu-ilmu Alam. Ilmu-illmu alam, yang menyelidiki bendabenda
alami dan aksiden-aksiden yang inheren didalamnya, dibagi menjadi:
(a) Minerologi, yang meliputi kimia, geologi, metalurgi;
(b) Botani yang berkaitan dengan seluruh spesies tumbuhan, dan
sifat umum dan sifat-sifat khusus dari masing-masing
spesies;
(c) Zoologi, yang berhubungan dengan berbagai spesies
binatang yang berbeda-beda, serta sifat-sifat umum dan
sifat-sifat khusus dari masing-masing spesies, termasuk ke
dalam katagori ini adalah:
(1) Psikologi yang membahas daya-daya tumbuhan,
hewan dan manusia;
(2) Kedokteran yang berbicara tetang manusia dari sudut
sehat atau sakitnya.
Arti penting klasifikasi ilmu ini adalah untuk memudahkan
penyusunan kurikulum dari ilmu yang ingin diajarkan kepada murid-
murid. Sebagai ilustrasi dari klasifikasi ilmu yang berdampak positif
pada kurikulum yang dibangun.16
3. Peserta Didik
Al-Farabi menyimpulkan, pendidikan yang berhasil sangat
berkorelasi dengan kondisi moral yang baik. Terkait soal moral ini, ia

16
Ibid. Hlm.63

14
mendefenisikan moral sebagai keadaan pikiran tempat manusia
melakukan perbuatan yang baik yang memiliki sifat etis atau rasional.
Dalam pemikirannya tentang pendidikan, ia pun menekankan agar kaum
terpelajar tak hanya berdiam di menara gading. Tak heran jika Al-Farabi
menyatakan, kesempurnaan teoretis dan praktik dari pengetahuan yang
dimiliki seseorang hanya bisa diperoleh dalam masyarakat. Sebab,
kehidupan di suatu masyarakatlah yang bisa membuat seseorang
mempraktikkan ilmunya. Bila kaum terpelajar memutus sama sekali
kaitan dengan masyarakat dan berada di luar mereka, ujar Al-Farabi,
maka kemungkinan mereka hanya belajar untuk menjadi sosok yang liar
tanpa kendali. Dalam konteks ini, ia ingin mewujudkan masyarakat ideal
melalui pendidikan. Al-Farabi memasukkan pula seni sebagai salah satu
mata pelajaran yang harus diajarkan dalam proses pendidikan. Sebab,
ungkap Al-Farabi, orang bijak adalah mereka yang sangat mahir dalam
bidang seni dan mencapai kesempurnaan di dalamnya. Oeh sebab itu,
sebagaimana tujuan pendidikan menurut Al-Farabi adalah menjadikan
manusia yang benar-benar sempurna. Maka kemungkinan beliau
berharap dunia ini dipegang oleh Islam yang terpelajar dan intelektual
yang mana keduanya merupakan sifat dari pendidik dan peserta didik.17
4. Metode Pendidikan
Al-Farabi mengatakan, ada dua metode dasar pendidikan. Pertama
adalah metode yang disesuaikan untuk rakyat biasa dengan langkah
persuasif. Menurut Al-Farabi, metode persuasi merupakan metode
membujuk pendengar dengan hal-hal yang logis dan memuaskan
pikirannya tanpa mencapai kepastian. Bujukan akan tercapai ketika
pendengar melakukan hal-hal yang dia yakini adalah benar. Dalam
praktiknya, metode persuasif dapat dilakukan melalui pidato dan
kegiatan bersama-sama antara guru dan murid. Metode persuasif cocok
untuk mengajarkan mata pelajaran seni dan kerajinan. Sedangkan,
metode kedua adalah demonstratif. Pengajaran dengan metode kedua ini

17
Ibid. Hlm.65

15
dapat dilakukan melalui pidato. Dengan metode ini, jelas Al-Farabi,
guru berpidato untuk menerangkan mata pelajaran yang diajarkannya,
seperti mengajarkan teori-teori tentang kebajikan dalam masyarakat.
Selain itu, Al-Farabi juga mengadopsi metode filsuf Yunani, Plato. Ia
menggunakan metode dialog atau perdebatan. Ia menekankan pula
pentingnya diskusi dan dialog dalam pengajaran. Dalam konteks ini, ia
memperkenalkan dua hal baru, yaitu argumen dan wacana. Metode
wacana dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
ilmiah tentang suatu hal. Lalu, orang-orang akan didorong untuk
memecahkan masalah ilmiah tersebut. Sedangkan, metode argumen
digunakan untuk memenangkan debat atas lawan bicara. Bahkan,
metode ini juga bertujuan agar lawan bicara memercayai gagasan yang
sebelumnya mereka tolak. Al-Farabi mengungkapkan, metode argumen
cocok untuk mengajar orang-orang yang keras kepala. Untuk mengajar
masyarakat umum, sebaiknya gunakan metode yang paling dipahami.
Al-Farabi menuliskan semua metode pengajaran tersebut dalam bukunya
yang berjudul Al- Alfadz. Ternyata metode yang beliau munculkan
yakni metode persuasif dan demonstratif serta metode wacana dan
argumen, sampai saat ini masih tetap diterapkan di lembaga-lembaga
pendidikan di seluruh Indonesia.18

18
Ibid. Hlm.66

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan, maka dapat diberikan beberapa kesimpulan yaitu:
1. Al-Farabi adalah seorang filosof Muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia
telah menciptakan sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah
memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di
dunia Islam. Ia menjadi anutan/guru dari filosof-filosof Islam
sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
2. Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan,
justru sama-sama membawa kebenaran. Hal ini terbukti dengan
karangannya yang berjudul Al Jami’BainaRa’yani Al Hakimain dengan
maksud mempertemukan pikiran-pikiran Plato dengan Aristoteles.
3. Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan
wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batin).
4. Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling
terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai
(Perpaterik) filosof keilmuan.
5. Al-Farabi merupakan orang pertama yang memberikan uraian
sistematik terhadap hierarki wujud dalam kerangka hierarki intelegensi
dan jiwa serta pemancaran (faidh)-nya dari Tuhan sehingga ia mendapat
gelar Al Mu’allim Al Tsani
6. Al-Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah
sebabnya. Pertama, wujud keberadaannya sama sekali tidak memiliki
sebab, alFarabi menyebut ini sebagai wujud pertama atau sebab
pertama yang merupakan prinsip tertinggi eksistensinya setiap wujud
lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini hanya terbatas pada pengetahuan
tentang hal itu dan bukan prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang
memiliki keempat sebab Aristotelian: material, formal, efisiensi dan
final. Jenis kedua ini mengacu kepada genus-genus benda terindra,
termasuk benda langit. Ketiga,wujud yang sepenuhnya immaterial yang

17
lain daripada wujud benda di dalam atau menempati benda-benda. Atas
dasar tiga skema klasifikasi wujud di atas, maka pembahasan makalah
ini mengecil pada basis ontologis yang khas Faribian.
B. Rekomendasi
Rekomendasi setelah dilakukan penulisan makalah ini adalah kepada
para pembaca sekalian dianjurkan untuk dapat mendalami tentang
pemikiran Al-Farabi ini agar nantinya dapat memahami dan juga
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

18
DAFTAR PUSTAKA

Amirudin. (2019). Memahami Otentisitas Konsep Tuhan. Jurnal Kaca , 71-74.


Dzulhadi, Q. N. (2014). Al-Farabi dan Filsafat Kenabian. Hikmah , 129-131.
Nur Arifin, D. (2018). Aliran dan Pemikiran Pendidikan Islam. Sidoarjo: CV.
Dwiputra Pustaka Jaya.
Sudarsono. (1997). Filsafat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sunarya, Y. (2012). Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV. Arfino Raya.
Supriyadi, D. (2013). Pengantar Filsafat Islam. bandung: CV. Pustaka Setia.
Wiyono, M. (2016). Pemikiran Filsafat Al-Farabi. Substantia , 8.
Zaprulkhan. (2014). Filsafat Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Hasan Basri, Zaenal Mufti. (2012). Filsafat Islam (Sejak Klasik Sampai Modern).
Bandung. CV. Insan Mandiri.

19

Anda mungkin juga menyukai