Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI DALAM ISLAM

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

OLEH :
KELOMPOK X

1. WAHYU LESTARI
NIM : 20.01.0080
2. ROMI ISWANDI, ST
NIM : 20.01.0085

DOSEN PENGAMPUH : FEKY FUJI ASTUTI, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIAH AL-QUR’ANIAH
2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT serta
shalawat dan salam kami sampaikan hanya bagi tokoh dan teladan kita Nabi
Muhammad SAW. Diantara sekian banyak nikmat Allah SWT yang membawa
kita dari kegelapan ke dimensi terang yang memberi hikmah dan yang paling
bermanfaat bagi seluruh umat manusia sehingga oleh karena-Nya kami dapat
menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Materi Pendidikan Agama Islam ini dengan
baik dan tepat waktu.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh Dosen pada Mata Kuliah Materi
Pendidikan Agama Islam. Dalam proses penyusunan tugas ini penulis menjumpai
hambatan, namun berkat dukungan materil dari berbagai pihak dan partisifasi
anggota kelompok, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat
waktu, oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak terkait yang telah
membantu terselesaikannya tugas ini.
Segala sesuatu yang salah datangnya hanya dari manusia dan seluruh hal
yang benar datangnya hanya dari agama berkat adanya nikmat iman dari Allah
SWT, meski begitu tentu tugas ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu
segala saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi perbaikan pada tugas selanjutnya. Besar harapan penulis semoga
Makalah ini bermanfaat khususnya bagi kelompok kami dan bagi pembaca lain
pada umumnya.
Manna, Oktober 2021
Penulis
KELOMPOK X

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar isi ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian teologi islam 3
B. Sejarah munculnya teologi islam 4
C. Aliran-aliran teologi dalam islam 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 15
B. Saran 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu kalam membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap
orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya perlu mempelajari teologi
yang terdapat dalam agama yang di anutnya. Seseorang yang telah memahami
teologi dengan cara mempelajarinya secara mendalam diharapkan bisa
mendapatkan keyakinan dan pedoman yang kokoh dalam beragama. Orang
yang demikian tidak mudah diperdayakan oleh zaman yang selalu berubah.
Setiap gerak langkah, tindakan dan perbuatannya selalu dilandaskan pada
keyakinan yang dijadikan falsafah dalam hidupnya.
Mengkaji ilmu teologi dalam Islam pada dasarnya merupakan upaya
memahami kerangka berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama
alira teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya,
potensi yang dimiliki setiap manusia, baik berupa potensi biologis maupun
potensi psikologis yang secara natural adalah distingtif. Oleh sebab itu,
perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam
mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.
Dalam kaitan ini, para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat
dalam mengkaji suatu masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi
pemicu perbedaan pendapat diantara mereka adalah terdapat beberapa sahabat
yang mendengar ketentuan hukum yang diputuskan oleh Nabi SAW,
sementara yang lainnya tidak. Sahabat yang tidak mendengar keputusan itu
lalu mereka berijtihat. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam
memutuskan suatu ketentuan hukum.
Secara teoritis, perbedaan demikian tampak melalui perbedaan
aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut
dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek
filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada rasul, para
malaikat, hari akhirat dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada
peluang untuk memperdebatkan. Sedangkan persoalan yang masih

1
berpeluang untuk diperdebatkan misalnya tentang kekuasaan Allah dan
kehendak manusia, kedudukan wahyu, akal dan keadilan Tuhan. Perbedaan
itu, kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu’tazilah, Syi’ah,
Khawarij, Jabariyah, Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Oleh karena demikian, penulis mencoba menjelaskan tentang sejarah
dan perkembangan teologi atau aliran kalam yang timbul dalam dunia Islam.
Pembahasan mengenai ini akan dimulai dari latar belakang, selanjutnya akan
dibahas mengenai pokok pembahasan tentang pengertian teologi dan sejarah
aliaran-aliran ilmu kalam dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian teologi islam ?
2. Bagaimana sejarah munculnya ajaran teologi islam ?
3. Apa saja aliran-aliran teologi islam ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian teologi islam
2. Untuk mengetahui sejarah munculnya ajaran teologi islam
3. Untuk mengetahui Apa saja aliran-aliran teologi islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian teologi islam (ilmu kalam)


Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu
“theologia” yang terdiri dari kata “theos” yang berarti tuhan atau dewa, dan
“logos” yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan.
Teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu
serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa teologi merupakan penjelasan tentang keimanan,
perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional. Sedangkan menurut A.
Hanafi mendefinisikan bahwa teologi merupakan suatu ilmu yang membahas
fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara tuhan dan
manusia.
Sedangkan menurut Muhammad Abduh menjelaskan bahwa
pengertian teologi Islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan
segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara rasional. Lebih lanjut, beliau
menjelaskan bahwa “Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah,
tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan
kepada-Nya, sifat-sifat yang sama sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya;
juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan mereka,
meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang boleh di hubungkan
kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya kepada diri
mereka”.
Kalau melihat definisi pertama dapat di pahami bahwa Muhammad
Abduh lebih menekankan pada Ilmu Tauhid/Teologi yaitu pembahasan tentang
Allah dengan segala sifat-Nya, Rasul dan segala sifat-Nya. Menurut pendapat
Murthadha Murthahhari menjelaskab bahwa Untuk mendefinisikan ilmu
kalam, maka cukup dengan mengatakan, “Ilmu kalam merupakan sebuah ilmu
yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam
(Ushuluddin). Ilmu kalam mengidentifikasikan akidah-akidah pokok dan

3
berupaya membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap
akidah-akidah pokok tersebut”.
Ilmu kalam disebut juga dengan ilmu tauhid karena membahas tentang
keesaan Allah Swt. Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid,
tetapi argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika.
Oleh sebeb itu, teolog membedakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid.
Jadi, apabila memperhatikan definisi ilmu kalam di atas, dapat disimpulkan
bahwa pengertian ilmu kalam itu adalah ilmu yang membahas atau ilmu yang
mengandung tentang berbagai masalah-masalah kebutuhan dengan
menggunakan argumentasi logika atau filsafat.

B. Sejarah munculnya teologi islam (aliran kalam)


Pada masa Nabi Saw dan Khulafaurrasyidin, umat Islam bersatu,
mereka satu akidah, satu syariah dan satu akhlakul karimah. Kalau mereka ada
perselisihan pendapat dapat di atasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan
diantara mereka. Awal mula adanya perselisihan dipicu oleh Abdullah bin
Saba’ (seorang Yahudi) pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan
berlanjut pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Awal mula timbulnya gejala
timbulnya aliran-aliran adalah sejah ke khalifahan Usman bin Affan (khalifah
ke 3 setelah wafatnya Rasulullah Saw). Pada masa itu, dilatarbelakangi oleh
adanya kepentingan kelompok yang mengarah terjadinya perselisihan sampai
terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abi
Thalib. Pada masa itu perpecahan di tubuh umat Islam terus berlanjut.
Sesuai dengan pendapat di atas, dalam sumber yang lain dijelaskan
bahwa pada zaman Rasulullah Saw sampai masa pemerintahan Usman bin
Affan (644-656 M) problem teologis di kalangan umat Islam belum muncul.
Problema itu baru timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661
M) dengan munculnya kelompok Khawarij, pendukung Ali yang memisahkan
diri karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima tahkim (arbitrase)
dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur
Syam pada waktu perang Shiffin.

4
Persoalan politik merupakan alasan pertama munculnya persoalan
teologi dalam Islam. Khawarij berpendapat, tahkim adalah penyelesaian
masalah yang tidak didasarkan kepada Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia
sendiri, dan orang yang tidak memutuskan hukum dengan Al-Qur’an adalah
kafir. Dengan demikian orang yang melakukan tahkim dan menerimanya
adalah kafir. Argumen mereka sebenarnya sangat sederhana, Ali, Mu’awiyah
dan pendukung-pendukung mereka semuanya kafir karena mereka “murtakib al
Kabirah” atau pendosa besar.
Dalam perkembangan selanjutnya Khawarij tidak hanya memandang
orang yang tidak menghukumkan sesuatu dengan Al-Qur’an sebagai kafir,
tetapi setiap muslim yang melakukan dosa besar bagi mereka adalah kafir.
Pendapat ini mendapat reaksi keras dari kaum muslimin lain sehingga muncul
aliran baru yang dikenal dengan nama Murji’ah. Menurut pendapat aliran ini,
muslim yang berbuat dosa besar tidak kafir, ia tetap mukmin. Masalah dosa
besar yang dilakukannya terserah Allah, diampuni atau tidak. Belakangan lahir
aliran baru lagi, Mu’tazilah yang berpendapat muslim yang berdosa besar tidak
mukmin dan tidak pula kafir, tapi menempati posisi di antara keduanya (al
manzilah bain al manzilatain). Masuknya filsafat Yunani dan pemikiran
rasional ke dunia Islam pada abad kedua Hijriah membawa pengaruh besar
terhadap perkembangan pemikiran teologis di kalangan umat Islam. Mu’tazilah
mengembangkan pemikirannya secara rasional dengan menempatkan akal di
tempat yang tinggi sehingga banyak produk pemikirannya tidak sejalan dengan
pendapat kaum tradisional. Pertentangan pendapat di antara dua kelompok
inipun terjadi dan mencapai puncaknya ketika Al-Makmun (813-833 M),
khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab
resmi negara dan memaksakan paham Mu’tazilah kepada kaum muslimin.
Sebagai penganut dan pendukung aliran Mu’tazilah Khalifah Al-Makmun
memandang perlu untuk memberikan pelajaran terhadap kelompok Ahli Hadis
karena keteguhan mereka untuk mempertahankan bahwa Al-Qur’an bukanlah
“diciptakan” (makhluq) yang semakin merajalela, khususnya di Baghdad.
Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di Baghdad antara kelompok ahli hadis
dan orang-orang Syi’ah tentu meresahkan keamanan di ibukota tersebut.

5
Sebagai seorang khalifah yang berupaya mendapatkan dukungan
kaum Syi’ah tidak mengherankan kalau ia menunjukkan sikap bermusuhan
terhadap ahli hadis. Al-Qur’an sebagai topik kontroversial mungkin lebih
merupakan alasan yang diciptakan guna memberikan perlawanan terhadap
tokoh-tokoh ahli hadis. Sebaliknya kaum ahli hadis yang semula mendapatkan
banyak kesulitan dengan adanya mihnah kini mendapat angin, walaupun tidak
berarti bahwa mereka menggantikan posisi lawan mereka yang berpengaruh
sebelumnya. Reaksi keras kaum tradisional menentang Mu’tazilah, pada
akhirnya berwujud dalam bentuk sebuah aliran teologi yang dikenal dengan
nama Ahlussunnah waljamaah, dengan tokoh utamanya Abu al Hasan Ali al
Asy’ari dan abu Mansur al Maaturidi.
Terkecuali beberapa aliran teologi sebagaimana disebutkan di atas,
ada lagi beberapa aliran teologi dalam Islam seperti Syiah, Qadariyah dan
Jabariyah. Aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah adalah aliran yang
berkembang pada masa lampau. Sekarang yang dianut mayoritas umat Islam
adalah aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dalam soal iman menganut
paham moderat Murji’ah. Tetapi, pemikiran rasional Eropa yang berasal dari
Islam abad kedua belas itu masuk kembali ke dunia Islam abad kesembilan
belas dan kedua puluh, dan menghidupkan kembali pemikiran rasional
Mu’tazilah masa silam. Dalam pada itu, kaum Syi’ah dari sejak semula tetap
menganut aliran rasional dan filosofis Mu’tazilah.

C. Aliran-aliran teologi dalam islam (aliran kalam)


1. Khawarij
Golongan ini pada mulanya muncul bukan karena persoalan
aqidah, melainkan persoalan politik dimana terjadi peperangan antara
mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib. Saat perang
berkecamuk, seseorang mengangkat Al-Qur’an dengan pedangnya untuk
mengadakan tahkim (arbitrase) yaitu mengangkat seorang hakim yang
bertujuan mengadakan perundingan untuk mengakhiri perang.
Sebagian orang dari barisan Ali menerima tahkim tersebut dan
sebagian lainnya tidak, kemudian memilih keluar dari barisan karena

6
kecewa karena Ali menerima tahkim tersebut. Kata Khawarij berasal dari
bahasa Arab yang berarti keluar. Nama itu dberikan kepada mereka, karena
mereka keluar dari barisan Ali.
Dalam perkembangan selanjutnya, persoalan politik ini melebar ke
arah persoalan aqidah dimana kaum khawarij meyakini hal-hal sebagai
berikut :
a. Bahwa Saidina Ali, Khalifah Ustman dan orang-orang yang melakukan
tahkim, yakni Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari adalah orang-
orang kafir. Demikian juga orang yang menerima keputusan tahkim itu.
Juga para peserta yang ikut dalam perang Jamal melawan Saidina Ali,
seperti Siti Aisyah, Thalhah dan Zubeir.
b. Semua orang muslim yang melakukan dosa besar adalah kafir yang kekal
dalam neraka jika tidak bertobat sebelum mati.
c. Wajib memisahkan diri dari khalifah atau sulthan yang zalim. Dan
khalifah itu boleh dilantik dari orang yang bukan keturunan Quraisy.
Kisah Khawarij berikut ini terdapat pada kitab al-Bidayah wan
Nihayah karya Imam Ibnu Katsir juz 7 halaman 306-322. Ringkasannya
adalah sebagai berikut :
Setelah terjadi peperangan yang cukup panjang antara pihak
Muawiyah bin Abi Sufyan dan Imam Ali bin Abi Thalib di tanah Siffīn
selama beberapa bulan dan kedua belah pihak saling bertukar pikiran
melalui surat.
Akhirnya kedua kelompok tersebut bersepakat untuk
melakukan tahkim, yaitu setiap kelompok mengirimkan satu perwakilan
sebagai juru damai yang akan mencari titik temu bagi kemashlahatan
seluruh umat muslim.
Ali memilih sahabat Abdullah bin Abbas sebagai wakilnya, namun
ditolak oleh para penghapal Alqur’an di antara pengikut beliau. Mereka
berkata, “kami tidak rela kecuali kepada Abu Musa al-Asy‘ari.”
Pada akhirnya Imam Ali menerima pemilihan Abu Musa al-Asy‘ari
sebagai wakilnya. Sedangkan dari pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin
al-‘Ash.

7
Suatu ketika setelah peristiwa pemilihan wakil ini, seorang utusan
Imam Ali, al-Asy‘ats bin Qais, mendatangi satu kelompok dari Bani Tamim
yang berada dalam prajurit Sayyidina Ali untuk membacakan sebuah surat.
Lalu berdiri dari kelompok ini Urwah bin Udzainah yang berkata:
“Apakah engkau akan mewakilkan keputusan menyangkut agama
Allah kepada manusia?”. Lalu dari ucapan orang tersebut, sebagian para
penghapal Alquran yang ikut Imam Ali terpengaruh dan berbalik menentang
beliau karena menurut mereka “tahkim” bertentangan dengan potongan
surah al-Ma’idah ayat 44 :
ٓ
Xَ ِ‫َمن لَّ ْم يَحْ ُكم بِ َمٓا أَنزَ َل ٱهَّلل ُ فَأُو ٰلَئ‬
َ‫ك هُ ُم ْٱل ٰ َكفِرُون‬
Artinya :
“Barangsiapa tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu orang-orang kafir.”
Dan penggalan dari surah Yusuf ayat 40:
ِ ‫إِ ِن ْال ُح ْك ُم إِاَّل هَّلِل‬
Artinya :
“Keputusan (hukum) hanyalah milik Allah semata.”
Mereka seakan berkata bahwa memutuskan dengan cara menunjuk
juru runding (ḥakam) tidak sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah,
yaitu al-Qur’an. Mereka juga meyakini bahwa ayat 40 surah Yusuf di atas
seakan berarti bahwa pemahaman al-Qur’an merekalah yang sesuai dengan
keputusan Allah. Setelah itu mereka mensosialisasikan pemahaman sempit
ini dengan selalu berkoar-koar :
“Lā ḥukma illā lillāh” yang artinya “tidak ada keputusan (ḥukum)
kecuali milik Allah semata”; dalam arti keputusan mereka sendiri yang
benar yang diatasnamakan kepada al-Qur’an adalah yang benar, sedangkan
keputusan Sayyidina Ali ayng didukung banyak sahabat itu keliru.
Menjawab hal ini, Sayyidina Ali berkata, “Wahai mushaf (Alquran)
berbicaralah kepada manusia!”
Seorang dari Khawarij berkata, “Wahai Ali apa yang kau inginkan?
Mushaf ini hanyalah tinta di kertas, kamilah yang berbicara sesuai dengan
pemahaman yang kami peroleh darinya.”

8
Mereka seolah berkata bahwa mereka lebih paham Alquran dari seorang
sahabat dekat Nabi saw, Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Namun Sayyidina
Ali bersabar dan menjelaskan kepada mereka bahwa dalam Alquran surah
an-Nisa ayat 35 Allah berfirman,
Xِ ِّ‫ ٰلَحًا ي َُوف‬X‫ص‬
‫ق‬ ۟ ُ‫ق بَ ْينِ ِهما فَٱ ْب َعث‬
ْ ِ‫دَٓا إ‬X‫ٓا إِن ي ُِري‬Xَ‫ا ِّم ْن أَ ْهلِه‬X‫ا ِّم ْن أَ ْهلِِۦه َو َح َك ًم‬XX‫وا َح َك ًم‬ َ َ ‫َوإِ ْن ِخ ْفتُ ْم ِشقَا‬
‫ٱهَّلل ُ بَ ْينَهُ َمٓا إِ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِي ًما خَ بِيرًا‬
Artinya :
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya (suami istri),
maka kirimlah seorang juru damai yang bijaksana dari keluarga laki-laki
dan seorang juru damai yang bijaksana dari keluarga perempuan. Jika
keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri (itu). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi
Maha Mengenal.”
“Bukankah umat Muhammad itu lebih lebih penting urusan
kehormatan dan darahnya daripada urusan seorang wanita dengan
suaminya?” lanjut Sayyidina Ali dalam rangka menafsirkan ayat tersebut.
Maksudnya adalah bahwa jika urusan rumah tangga yang mau hancur saja,
yang hanya melibatkan dua orang suami dan isteri, Allah memerintahkan
untuk mengutus dua juru damai dari masing-masing pihak, apalagi urusan
yang bersangkutan dengan seluruh umat kanjeng Nabi Muhammad saw,
yang berkaitan dengan pertumpahan darah yang sedang terjadi di antara
mereka. Hal ini lebih penting dan lebih berhak untuk didamaikan, bukan ?
Tetap saja perkara ini berjalan semakin parah hingga selain
mengingkari keputusan Sayydina Ali dalam masalah tahkim, mereka
semakin berani menunjukkan secara terang-terangan pengingkaran ini.
Seorang utusan dari khawarij berkata kepada Sayyidina Ali,
“Wahai Ali, demi Allah, seandainya kamu tidak menolak mewakilkan
keputusan menyangkut agama Allah kepada manusia (tahkim) maka aku
akan membunuhmu karena mencari rida Allah dalam hal ini.”

9
2. Murji’ah
Secara Bahasa : Berasal dari kata ‫ اإلرجاء‬yang berarti dua makna :
Pertama, ta’khir (mengakhirkan Atau menangguhkan), seperti dalam
perkataan seseorang, Arja’tu Kadza, maksudnya adalah, ia ingin
mengakhirkan sesuatu. Di sebutkan dalam firman Allah :

ُ‫قَالُوا أَرْ ِج ْه َوأَخَ اه‬


Artinya :
“ Pemuka-pemuka itu menjawab: “Beri tahuhlah dia dan saudaranya” (Qs.
Al A’raf :111).
Maksudnya ialah pemuka-pemuka fir’aun ingin mengakhirkannya.
Kedua, I’tha’u Ar-rajaa’ (memberikan harapan) , seperti dalam perkataan
seseorang, Arjaitu fulanan,
artinya adalah ia ingin memberikan harapan kepada si fulan. Di sebutkan
dalam firman Allah :
َ ُ‫صالِحًا َوآخَ َر َسيِّئًا َع َسى هَّللا ُ أَ ْن يَت‬
‫وب َعلَ ْي ِه ْم إِ َّن‬ َ ‫م َخلَطُوا َع َمال‬Xْ ‫ بِ ُذنُوبِ ِه‬X‫َوآخَ رُونَ ا ْعتَ َرفُوا‬
‫هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬
Artinya :
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain
yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. At Taubah:102)
Secara Istilah : Di ambil dari arti bahasanya yaitu mengakhirkan
atau meremehkan. Yang dimaksud adalah mengakhirkan amal yang
berkenaan dengan keimanan dan menempatkanya pada kedudukan yang
kedua dari iman dengan kata lain tidak menganggap amal bagian dari iman
sebagaimana perkataan orang-orang yang mengeklaim bahwa maksiat tidak
berpengaruh apapun pada keimanan seseorang begitupula ketaatan tidak
bermanfaat apapun bila yang mengerjakannya adalah seseorang yang kafir.
Seperti halnya kaum khawarij, golongan ini pada mulanya muncul
karena persoalan politik. Sebagaimana disebutkan tentang peristiwa tahkim
antara kelompok Mu’awiyah dan kelompok Ali, kelompok Ali terbelah dua,
sebagian mendukung Ali yang kemudian memunculkan kelompok syi’ah

10
dan sebagian menentangnya yang kemudian memunculkan kelompok
Khawarij. Kedua kelompok ini sama-sama menentang dan mengkafirkan
Mu’awiyah, hanya dengan motifnya yang berbeda.
Dalam suasana pertentangan serupa inilah, timbul suatu golongan
baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir-
mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi
mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang
dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu
mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah,
dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari
perhitungan di depan Tuhan. Nama murji’ah sendiri berasal dari kata arja’a
yang berarti menunda.
Pada umumnya kaum murjiah dapat dibagi dalam dua golongan
besar, golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal
dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya
dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni
dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
Sedangkan golongan yang ekstrim berpendapat bahwa orang islam yang
percaya pada Tuhan dan menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah
mennjadi kafir, karena iman dan kafir tempatnya hanya dalam hati, bukan
dalam bagian yang lain dari tubuh manusia.
3. Jabariyah
Paham ini diajarkan dan dikembangkan oleh Jaham bin Safwan
yang memperoleh banyak pengikut, sehingga ajaran ini juga dikenal dengan
madzhab Jahamiyah. Golongan ini menganut paham bahwa manusia tidak
mempunyai ikhtiar atau pilihan dan kebebasan dalam menentukan nasib dan
perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini. Segala sesuatu telah digariskan
Allah atasnya sejak zaman azali.
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengadung arti
memaksa. Dalam istilah inggris paham ini disebut fatalism atau

11
predestination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula
oleh kada dan kadar Tuhan.
Adapun pendapat yang lain dari golongan ini antara lain :
a. Pengggunaan takwil, artinya Allah tidak dapat disifati dengan sifat-sifat
makhluk. Dan karena itu ia menakwilkan sifat-sifat Allah yang ada
persamaannya dengan sifat manusia.
b. Surga dan neraka tidak kekal, akan datang suatu masa yang padanya
surga dan neraka akan fana dengan segala isinya dan yang tinggal kekal
hanya Allah saja. Selain dari Allah, semuanya akan binasa.
c. Iman, Iman itu adalah makrifah atau pengakuan hati saja akan wujud
Allah dan kerasulan Muhammad SAW, Ucapan lisan dan perbuatan
anggota badan yang lain tidak termasuk dalam iman.
d. Makrifat iman itu wajib berdasarkan akal sebelum turunnya wahyu dan
kedatangan rasul.
4. Qadariyah
Pemuka mazhab ini adalah Ghailan al-Dimasqi, Golongan ini
disebut Qadariyah adalah karena pendapatnya tentang kedudukan manusia
diatas bumi. Golongan ini mengatakan bahwa manusia mempunyai iradah
yang bebas dan kuasa penuh dalam menentukan amal perbuatan yang
dilakukan dan karenanya ia bertanggung jawab atas segala perbuatan yang
dilakukan. Jika amalnya baik, balasannya juga baik, dan jika buruk, maka
balasannya juga buruk. Artinya nasib manusia ditentukan oleh manusia
sendiri dan Tuhan tidak ada kuasa campur tangan dalam hal tersebut.
Selain hal tersebut diatas, golongan ini juga mengatakan hal-hal
sebagai berikut :
a. Menafikan sifat-sifat Allah, karena menurutnya sifat itu identik dengan
dzat, bukan sesuatu yang berbeda dengan dzat.
b. Menafikan bahwa al-Qur’an itu qadim
c. Tentang politik, khalifah atau imam boleh dilantik dari selain kaum
quraisy.

12
5. Mu’tazilah
Penulis Islam klasik, seperti syarastani, al-baghdadi, ar-Razi, ibnu
Khilikan dan lain-lain menyatakan bahwa golongan mu’tazilah lahir dari
majlis pengajian Hasan al-bashri di Bashrah. Beliau ini seorang pemuka
tabiin yang terkenal dan merupakan seorang imam dan guru yang mengajar
agama di Masjid Agung Bashrah pada waktu itu. Nama mu’tazilah
diberikan pertama kali pada Washil bin ‘Ata pada saat terjadi dialog tentang
nasib orang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah masuk neraka atau
tetap dalam surga.
Golongan ini mempunyai lima ajaran, yang terkenal dengan istilah
lima prinsip (‫)أصول الخمسة‬, yaitu :
a. Tauhid (Keesaan Tuhan), yakni pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, seperti yang telah digariskan dalam kalimah tauhid.
b. Al-‘Adlu (keadilan Tuhan), yakni Allah wajib membalas orang mukmin
yang taqwa dengan memasukkan mereka ke dalam surga dan wajib
memasukkan orang kafir ke dalam neraka.
c. Al-Manzilah bain al-Manzilatain (suatu tempat antara dua tempat), yakni
pelaku dosa besar bukan orang mukmin yang mutlak dan juga bukan
orang kafir yang mutlak.
d. Al-Wa’du wa al-wa’id (janji baik dan janji buruk), yakni Allah wajib
memberikan pahala kepada orang mukmin yang taat dan memberikan
balasan siksa kepada orang mukmin yang durhaka. Golongan mu’tazilah
menolak adanya syafaat yang diberikan kepada orang mukmin yang
durhaka.
e. Amar makruf dan nahi munkar, yakni menyuruh yang makruf dan
melarang yang mungkar.
6. Ahli Sunnah Dan Jama’ah
Adapun yang dimaksud dengan al-sunnah (‫نة‬XX‫ )الس‬ialah : Jalan.

Artinya Ahlussunnah (‫نة‬X‫ ) أهل الس‬adalah golongan yang mengikuti jalan


para sahabat dan tabiin dalam masalah yang berkaitan dengan akidah,
seperti bersikap “ menyerahkan makna atau maksud ayat-ayat mutasyabihat

13
( ‫ ) متشابهات‬kepada Allah tanpa menakwilkan kepada makna atau maksud
lain dari pengertian lahirnya”.
Hadist Nabi. Yakni golongan yang berpegang kepada hadis yang
sahih. Sedangkan yang dimaksud dengan jamaah (‫ ) جماعة‬yang dikaitkan
dengan sunah adalah karena mereka dalam berdalil dan berhujah
mempergunakan Kitab Allah, Sunah Rasul, ijma (‫ )إجماع‬dan qias (‫)قياس‬.
Mereka memandang empat landasan ini sebagai asas syariat Islam. Sunnah
dalam term ini berarti Hadis. Sebagai diterangkan Ahmad Amin, Ahli
Sunnah dan Jama’ah, berlainan dengan kaum Mu’tazilah percaya pada dan
menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan
Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-
Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al- muslimin (umumnya umat Islam)
dan al-jama’ah al kasir wa al sawad al-a’zam (jumlah besar dan khalayak
ramai).
Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah mendapat pengaruh besar dalam
kalangan umat Islam setelah Abu Hasan al-Asy’ari bergabung
dengannya.Sebelum itu beliau adalah penganut Mazhab Mu’tazilah dan
murid Abu Ali al-Jabaiy, seorang pemuka Mu’tazilah yang terkenal pada
waktu itu. Banyak riwayat yang menyebutkan sebab keluarnya dari paham
Mu’tazilah dan yang paling masyhur adalah karena suatu diskusi yang
terjadi dengan gurunya dan al-Asy’ari tidak merasa puas dengan jawaban
gurunya. Sejak saat itu al-Asy’ari menyatakan keluar dari golongan
Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang identik dengan namanya yaitu
al-Asy’ari yang sekarang kita kenal dengan aliran Ahlussunah wal Jamaah.
Aliran Asy’ariyah cepat berkembang pada masa pemerintahan
Nizhom al-Mulk, sedangkan aliran mu’tazilah mengalami kemunduran.
Dengan demikian paham-paham Asy’ariyah mulai tersebar luas bukan di
daerah kekuasaan saljuk saja, tetapi di dunia Islam lainnya.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teologi (Theos=Tuhan dan Logos=Ilmu) merupakan rangkaian ilmu
tentang Tuhan atau ketuhanan.
Khawarij berarti orang-orang yang keluar barisan Ali bin Abi Thalib.
Golongan ini menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang keluar dari
rumah dan semata-mata untuk berjuang di jalan Allah. Meskipun pada
awalnya khawarij muncul karena persoalan politik, tetapi dalam
perkembangannya golongan ini banyak berbicara masalah teologis.
Aliran Murji’ah bisa bernama Murji’ah karena dalam prinsipnya
mereka menunda persoalan konflik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin
Abi Sufyan, dan kaum Khawarij pada hari perhitungan kelak.
Aliran Qadariyah yang menganggap bahwa manusia mempunyai
qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya dan bukan berasal
dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Allah. Dalam
sejarah perkembangan teologi Islam, tidak diketahui secara pasti kapan aliran
ini muncul
Nama Jabariyah pada aliran Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung sarti memaksa. Smenurut al-Syahrastani, Jabariyah berarti
menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan
perbuatan tersebut kepada Allah.
Aliran Mu’tazilah muncul sebagai reaksi atas pertentangan antar
aliran Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai persoalan orang mukmin yang
berdosa besar.
Ahlussunah waljama’ah dalam pengertian umum adalah lawan
kelompok syiah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga
Asy’ariya masuk dalam barisan sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah
mahzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan
Mu’tazilah. Selanjutnya, Ahlussunah banyak dipakai setalah munculnya

15
aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran
Mu’tazilah.

B. Saran
Perbedaan dan perpecahan tentu tidak bisa kita hindari karena
berbagai sebab, akan tetapi jangan sampai perbedaan tersebut memicu untuk
saling merendahkan satu sama lain dan hanya menganggap kelompoknya
yang paling benar dan menyalahkan kelompok lain atau bahkan
mengkafirkannya. Oleh karena itu, sangat diperlukan perhatian kita mengenai
hal ini untuk mengetahui bagaimana solusinya, dan salah satu solusinya
adalah dengan meneliti hadits tentang perpecahan ummat Islam menjadi 73
golongan mulai dari sanad, matan, dan pendapat ulama mengenai hadis
tersebut. Dari penelitian hadis tersebut, maka kita akan mengetahui
kehujjahan hadis terpecahnya umat Rasulullah menjadi 73 golongan dan tidak
memahaminya secara parsial atau setengah-setengah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnnah Wal Jama’ah dalam Persepsi dan


Tradisi NU, Jakarta : Lan Tabora Press, 2005.
Muhaimin, HM., Ilmu Kalam-Sejarah dan Aliran-aliran, Yogyakarta: Pusaka
Pelajar,1999.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta : UI-Press, 1986.
Sou’yb, Joesoef, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang,
1979.
Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1, Jakarta: Pustaka al-Husna,
1987.
Universitas Dunia Maya: Teologi Islam (Makalah) di akses dan di unduh pada
tanggal 18 Oktober 2021 Jam 7.43 WIB melalui universitas islam dunia
maya.blogspot.com/2017/10/teologi-islam-makalah.html

Anda mungkin juga menyukai