Abdurrahman Masud, Menggagas Format Pendidkan non Dikotomik (Jogjakarta : Gama Media, 2007),Hlm 23
sedemikian menguat samapai decade 80-an masih terasa ada kesan bahwa santri adalah
mereka yang mendalami ilmu agama, sedangkan yang belajar ilmu-ilmu sekuler adalah
mereka yang notabene non-santri. Bahan dalam masyarakat tertentu sampai saat ini dikotomi
tersebut masih menajam.2 Secara teoritis ajaran dasar islam tidak memberikan tempat pada
pola pikir dikotomis dalam pendidikan dan keilmuan islam. Kecenderyngan peikiran
polarisasi dengan demikian lebih merupakan mainstream historis yang dibatasi oleh ruang
dan waktu. Adapun kebenaran misi dan substansi ajaran islam yang universal tentu tidak
mengenal sekat-sekat kekinian dan kedisinian. Selain masalah dikotomi ilmu agama dengan
ilmu non agama, tamaaknya dunia pendidikan islam juga mengemban maslah dikotomi antara
wahyu dan alam, serta wahyu dan akal. Dikotomi yang pertamatelah melanggengkan
supermasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara monotonik, dikotomi kedua telah
menyebabkan kemiskinan penilitian empiris dalam pendidikan islam, serta dikotomi yan
terakhir telah menjauhkan disiplin filsafat dari pendidikan islam. Sampai saat ini misalnya
pendidikan di Indonesia belum mampu memecahkan paradox dalam budaya Indonesia, yakni
bahwa budaya kata ( bil maqal ) lebih kuat daripada perbuatan ( bil hal ), orientasi
kebelakang masih lebih disukai dari pada orientasi kedepan, berfikir secra rasional masih di
kalahkan oleh pendekatan emosional, penemuan empiris dibatalkan oleh ramalan-ramalan
yang tidak bisa dipertanggung jawabkan dan akhirnya etos masih dikalahkan pula oleh
mitos.3 Jadi sebagai akibat dari permasalahan kesejahteraan itu dunia pendidikan islam juga
dihinggapi berbagai permasalahan ketidak seimbangan paradigmatik sebagai berikut :
Pertama, kurang berkembangnya konsep humanisme religious dalam dunia
pendidikan islam. Yakni adanya tendensi pendidikan islam yang lebih berorientasi pada
konsep abdullah daripada khalifatullah dan hablumminallah daripada hablumminannas.
Kedua, orientasi pendidikan yang timpang itu teah melahirkan maslah-masalah besar dalam
dunia pendidikan islam, dari persoalan filosofis sampai ke metodologis, bahkan sampai ke de
tradition of learning.
Ketiga, masih dominanya gerakan sekolastik yang terlembaga dalam sejarah islam,
sementara gerakan humanisme melemah. Disinilah perlunya tinjauan historis humanisme
religius islam yang selama ini terlupakan.
Dalam islam mereka yang tekun mencari ilmu lebih di hargai dari pada mereka yang
beribadah sepanjang waktu. Kelebihan ahli ilmu ( al alim ) dari pada ahli ibadah ( al abid )
2
3
Ibid, hlm 7
Ibih, hlm 10
adalah seperti kelebihan Muhammad atas orang islam seluruhnya. Dikalangan kaum muslim
hadist ini sangat populer sehingga mereka memandang bahwa mencari ilmu merupakan
bagian integral dari ibadah.
Dalam konteks peradaban, islam menampilkan peraadaban baru yang esensi berbeda
dengan perdaban sebelumnya. Peradaban yang ditinggalkan nabi, misalnya jelas sangat
berbeda dengan peradaban arab dijaman jahiliah. Dengan demikian islam telah melahirkan
revolusi peradaban dan kebudayaan. Namun pengaruh lokal adalah proses alami yang tidak
bisa dihindarkan, tetapi pengaruh itu justru memperkaya peradaan islam sendri. Misalnya,
masjid yang dibangun umar bin khatab terletak di Jerusalem, ternyata arsitekturnya
merupakan kombinasi antara persia dan romawi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
peradaban kadang-kadang berarti kebudayaan.
Keunikan budaya dan peradaban islam teletak pada kokhonya landasan budaya dan
peradaban itu berdiri dan bersandar. Paling tidak ada 5 point utama yang membedakan
budaya islam dengan budaya lain. Pertama, konsep tauhid. Dimana saja dan kapan saja islam
selalu menampilkan ajakan satu tuhan. Semua yang ada di atas bumi tunduk hanya pada satu
tuhan. Kedua, universalitas pesan dan misi peradaban ini al quran menekankan persaudaraan
manusia dengan tetap memberi ruang pada perbedaan ras, keluarga, negara, dan sebagainya.
Keiga, prinsip moral yang selalu ditegakkan dalam budaya ini selain ajaran al quran, sunah
yang penuh dengan nuansa-nuansa moral, peradaban dan kebudayaan islam juga tidak pernah
sepi dari ajaran ini. Keempat budaya toleransi yang cukup tinggi, kelima prinsip keutamaan
belajar dan memperoleh ilmu.
Perlu ditekankan isini bahwa simtom dikotomik dalam pendidikan islam bukanlah
monopoli lembaga pendidikan. Bagaikan sebuah wabah simtom, dikotomi menyerang
keseluruh penjuru pendidikan umat islam,dari pribadi ke komunitas islam, dari raja samai ke
rakyat jelata, dari luar lembaga kedalam lembaga pendidikan, dan seterusnya. Era dikotomi
ini ditandai dengan polarisasi yang tajam antara suni dengan syiah, antara faksi-faksi dlam
suni sendiri, serta extremitas fanatisme madzab dan aliran teologi yang berleebihan.4
Di Negara maju seorang pembeli bisa mengembalikan barang yang dibelinya jika dia
tidak suka atau mengubah pikiranya dalam kurun waktu 1 bulan. Hal itu tdak bisa kita
bayangkan di Negara kita. Di Indonesia barang yang sudah terbeli semalam saja sudah tidak
bisa dikembalikan karena tingkat distrust yang tinggi. Untuk sampai pada sebuah trust seperti
4
Ibid, hlm 99
itu tentu perku upaya serius kelembagaan nilai melalui penidikan dalam arti luas gerakan
kultural, dan niat politik melalui suri tauladan ( uswatun hasanah ) pemerintah. Islam adalah
agama yang dengan jelas menempatkan ilmu pengetahuan dalam posisi khusus. Allah akan
mengangkat mereka yang beriman dan yang berilmu diantara manusia pada posisi mulia.
Islam pula lah yang mendorong pengikutnya untuk mengeejar ilmu pengetahuan dengn
asegala kemampuanya meskipun sejauh negeri china. Ajaran normative tentang semangat
mencari ilmu telah terbukti dalam sejarah islam, khusunya dari abad 7-11M. Istilah
pluralisme yang digunakan dalam sosiologi modern dan ilmu politik pada umunya mengacu
tradisi demokrasi liberal barat, yakni kondisi ketika pluralitas grup atau kelompok elit saling
berbagi kekuatan atau saling bersaing untuk memenangkan kekuatan secara terus menerus.
Indonesia
adalah
sebuah
negara
dengan
penduduk
yang
masyarakatnya
majemukmasyarakat atau atau bineka ( plural society ) plural society adalah sebuah bangsa
yang di dalamnya secara formal terwujud pembagian ras, bahasa atau agama baik secara
horizontal maupun vertical. Sebagaimana yang kita paham bersama islam menghargai dan
menghormati keragaman dan kebinekaan.islam itu sendiri daang ke Indonesia dengan
menawarkan kedamaian sehingga raja-raja muda hindu budha sudah tertarik mengikuti dan
mempraktekan shalat dan puasa seblum merereka pindah ke agama islam. Pluralisme dan
egalatiranisme islam telah memikat masyarakat Indonesia untuk memeluk islam sejak islam
masuk ke Indonesia abad ke-13. Secara normative islam, jelas sangat mendukung pluralisme
dan kegiaan-kegiatan croos culturre saling pemahaman antar budaya dan bangsa. Dengan
demikian islam dan bangsanya mendukung persaudaraan manusia, dan islamlah yang sangat
menentang prasangka-prasangka rasial, suku, kebangsaan, dan primordial. Ajaran dasar yang
bersifat falsafah hidup ini tentu harus ditindak lanjuti dengan kelembagaan nilai-nilai. Secara
islam klasik telah berbicara bahwa croos culture antara peradaban islam dengan yunani telah
melahirkan sebuah peradaban baru islam yang sangat mengesankan.
Kehidupan masyarakat kita syarat dengan symbol-simbol yang begitu kekat sehingga
menglahkan fungsi symbol itu sendiri. Symbol inilah yang menyebabkan masyarakat kita
lebih berorientasi kebelakang dari pada kedepan. Masyarakat santri memiliki pedoman al
muhafadzotu ala muqadamissalih wal ahdzu biljadidil ashlah, yang pada intinya
keseimbangan antara mengambil himah hal baru atau kedepan dan memepertahankan tradsi
lama yang baik lagi-lagi bukan hanya kau santri yang lebih simbolik. Dalam pendidikan
umumpun tampak jelas betapa paradigm setruktur demikia lekat dalam masyarakat. Mengapa
sebagian besar bangsa Indonesia tidak mampu berbicara bahasa arab dan inggris, padahal
mereka telah mempelajari bahasa ini sejak usia dini. Jawaban yang paling mudah adalah
karena mereka lebih banyak mendalami tatabahasa seumur-umur daripada mempelajari
fungsi bahsa itu sendiri. Padahal prinsip bahasa mengatakan : Bahasa adalah seperangkat
kebiasaan dan alat komunikasi. Bagaimana mereka mampu berbahasa asing sedangkan
mereka tidak pernah membiasakan dan tidak pernah menggunakan bahasa asing itu sebagai
alat komunikasi. Singkatnya pola pikir fungsi memang masih belum populer di Indonesia.
Sejarah telah menunjukan bahwa pendidikan islam yang pernah vital kini justru
mandul. Hampir sudah bisa di pastikan sebagian besar umat islam sepakat dengan asumsi
kemandulan ini meskipun dengan respon yang berbeda. Dalam rangka revitalisasi, kiblat
umat islam sesungguhnya bukalah dunia barat, melainkan keharusan merujuk dan mencari
kembali permata yang hilang, merekonstruksi serta mereformulasikanya sebagai konep
pendidikan islam yang siap menyikapi perubahan zaman.5
Apa sesungguhnya kunci keampuhan perkembangan peradaban dunia islam di masa
lampau ? tidaklah terlau menyederhanakan persoalan, jika disini disimpulkan hal ini sangat
berhubungan erat dengan keberhasilan umat islam dalkam memahami, menyerap,
mentransafer serta melaksanakan ajaran-ajaran rasul secara konsisten, dinamis da kreatif.
Dalam dunia pendidikan islam benar-benar tidak terjadi pendikotomian ilmu-ilmu,
khusunya oleh ilmuan islam pada 5 abad pertama islam ( abad 7-15M ). Pendikotomia ilmu
agama dan imu umum baru terjadi di kalangan umat islam pada akhir abad ke 11 menjelang
abad ke-12. Sebagai akibatnya, terjadilah kemunduran peradaban dan intelektualisme islam.
Sejarah ini juga berhasil memotret masa nondikotomi dan masa dikotomi dalam sejarah
pendidikan islam.