Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang
Dimensi-dimensi islam yang di maksud pada bagian ini adalah sisi keislaman
seseorang, yaitu iman, islam, dan ihsan. Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai
trilogy ajaran Ilahi. Dimensidimensi Islam berawal dari sebuah hadis yang
diriwayatka oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang dimuat dalam masingmasing kitab sahinya yang menceritakan dialog antara Nabi Muhammad Saw dan
Malaikat Jibril tentang trilogy.
Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi
syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji. Setiap pemeluk agama Islam mengetahui
dengan pasti bahwa Islam tidak abash tanpa iman, dan iman tidak sempurna tanpa
ihsan. Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan iman juga mustahil tanpa
Islam. Dalam penelitian lebih lanjut, sering terjadi tumpah tindih antara tiga istilah
tersebut dalam iman terdapat islam dan ihsan; dalam Islam terdapat iman dan
ihsan; dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam: dari sisi itulah.
Nurcholish Madjid (1994: 463) melihat iman, Islam, dan ihsan sebagai trilogy Ilahi.
Ibnu tamiah menjelaskan bahwa din itu terdiri dari tiga unsur, yaitu Islam, iman,
dan ihsan. Dalam tiga unsur itu terselip makna kejenjangan (tingkatan), orang mulai
dengan Islam kemudian berkembang kearah iman, dan memuncak dalam ihsan.
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Singkat munculnya Aliran Pemikiran dalam Islam
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu
Kalam. Kalam secara harfiah berarti kata-kat. Kaum teolog Islam berdebat dengan
kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog
disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam
juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaranajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan
yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan
2.2 Aliran-aliran teologi Islam
Persoalan dosa besar ini sangat berpengaruh dalam perkembangan aliran
pemikiran karena ini masalah krusial yang menyangkut dengan apakah seseorang
bisa menjadi kafir karena berbuat dosa besar dan kemudian halal darahnya. Aliran
Khawarij mengatakan bahwa pendosa besar adalah kafir maka wajib dibunuh.
Paham Khawarij ini memicu munculnya paham yang berseberangan yang
mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin dan bukan
kafir. Adapun dosanya terpulang kepada Allah untuk mengampuninya atau tidak.
Paham ini dilontarkan oleh aliran Murjiah. Sementara aliran Mutazilah mengatakan
bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir tapi juga tidak bisa
disebut mukmin. Mereka berada pada posisi antara keduanya yang dikenal dengan
istilah al-manzilah baina al-manzilatain.
Dalam hal apakah orang mempunyai kemerdekaan atau tidak dalam berbuat ada
dua aliran yang saling bertentangan. Al-Qadariah mengatakan manusia merdeka
dalam berkehendak dan berbuat, sebaliknya Jabariah menolak free will dan free act.
Menurut Jabariah manusia bertindak dengan kehendak dan paksaan Tuhan. Segala
gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham ini disebut sebagai fatalisme.
Dalam masalah ini aliran yang sepaham dengan Qadariah adalah aliran Mutazilah

yang juga mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak dan melakukan sesuatu
sehingga manusia diminta pertangungjawaban atas perbuatannya. Sementara Abul
Hasan al-Asyari (935 M) seorang pengikut Mutazilah yang keluar dari Mutazilah
dan mendirikan aliran baru yang disebut dengan Asyariah memilih posisi lebih
dekat ke Jabariah.Menurutnya seluruh perbuatan manusia adalah atas kehendak
Allah hanya saja manusia, menurutnya, bisa berikhtiar. Selain Asyariah, Tahwiah
dan Maturidiah juga menentang ajaran-ajaran Mutazilah. Asyariyah dan Maturidiah
yang didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi disebut juga dengan Ahlussunnah wal
Jamaah 1
2.3 ALIRAN-ALIRAN FIQIH
Secara histories, hukum islam telah menjadi 2 aliran pada zaman sahabat Nabi
Muhammad SAW. Dua aliran tersebut adalah Madrasat Al-Madinah dan Madrasat AlBaghdad/Madrasat Al-Hadits dan Madrasat Al-Ray. Aliran Madinah terbentuk karena
sebagian sahabat tinggal di Madinah, aliran Baghdad/kuffah juga terbentuk karena
sebagian sahabat tinggal di kota tersebut.
Atas jasa sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di Madinah, terbentuklah
Fuqaha Sabah yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan gurugurunya dari kalangan sahabat. Diantara fuqaha sabah adalah Said bin AlMusayyab. Salah satu murid Said bin Al-Musayyab adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri dan
diantara murid Ibnu Syihab Al-Zuhri adalah Imam Malik pendiri aliran Maliki. Ajaran
Imam Maliki yang terkenal adalah menjadikan Ijma dan amal ulama madinah
sebagai hujjah.
Dan di Baghdad terbentuk aliran rayu, di Kuffah adalah Abdullah bin Masud, salah
satu muridnya adalah Al-Aswad bin Yazid Al-NakhaI salah satu muridnya adalah
Amir bin Syarahil Al-Syabi dan salah satu muridnya adalah Abu Hanifah yang
mendirikan aliran Hanafi. Salah satu ciri fiqih Abu Hanifah adalah sangat ketat
dalam penerimaan hadits. Diantara pendapatnya adalah bahwa benda wakaf boleh
dijual, diwariskan, dihibahkan, kecuali wakaf tertentu. Karena ia berpendapat bahwa
benda yang telah diwakafkan masih tetap milik yang mewakafkan.
Murid Imam Malik dan Muhammad As-Syaibani (sahabat dan penerus gagasan Abu
Hanifah) adalah Muhammad bin Idris Al-SyafiI, pendiri aliran hukum yang dikenal
dengan Syafiiyah atau aliran Al-Syafii. Imam ini sangat terkenal dalam
pembahasan perubahan hukum Islam karena pendapatnya ia golongkan menjadi
Qoul Qodim dan Qoul Jadid.
Salah satu murid Imam Syafii adalah Ahmad bin Hanbal pendiri aliran Hanbaliyah.
Disamping itu masih ada aliran zhahiriyah yang didirikan oleh Imam Daud Al-Zhahiri
dan aliran Jaririyah yang didirikan oleh Ibnu Jarir Al-Thabari. Dengan demikian, kita
telah mengenal sejumlah aliran hukum islam yaitu Madrasah Madinah, Madrasah
Kuffah, Aliran Hanafi, Aliran Maliki, Aliran SyafiI, Aliran Hanbali, Aliran Zhahiriyah
dan Aliran Jaririyah. Tidak dapat informasi yang lengkap mengenai aliran-aliran
hukum islam karena banyak aliran hukum yang muncul kemudian menghilang
karena tidak ada yang mengembangkannya.
Thaha Jabir Fayadl Al-Ulwani menjelaskan bahwa mazdhab fiqih islam yang muncul
setelah sahabat dan kibar At-Tabiin berjumlah 13 aliran, akan tetapi tidak semua

aliran itu dapat diketahui dasar dan metode istinbath hukum yang digunakannya.
Aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang
hanya beberapa aliran diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan
Hanbaliyah, akan tetapi yang sering dilupakan dalam sejarah hukum islam adalah
bahwa buku-buku sejarah hukum islam cenderung memunculkan aliran-aliran
hukum yang berafiliasi dengan aliran sunni, sehingga para penulis sejarah hukum
islam cenderung mengabaikan pendapat khawarij dan syiah dalam bidang hukum
islam.
2.4 ALIRAN-ALIRAN TASAWUF
Para penulis ajaran tasawuf, termasuk Harun Nasution, memeperkirakan adanya
unsure-unsur ajaran non-islam yang mempengaruhi ajaran tasawuf. Unsurunsur
yang dianggap berpengaruh pada ajaran tasawuf adalah kebiasaan rahib Kristen
yang menjauhi dunia dan kesenangan materi. Pada dasarnya tasawuf merupakan
ajaran tentang Al-Zuhd (Zuhud), kemudian ia berkembang dan namanya diubah
menjadi tasawuf dan pelakunya disebut shufi. Zahid yang pertama adalah Al-Hasan
A-Basir. Dia pernah berdebat dengan Washil bin Atha dalam bidang teologi, ia
berpendapat bahwa orang mumin tidak akan bahagia sebelum berjumpa dengan
Tuhan. Zahid dari kalangan perempuan adalah Rabiah Al- Adawiyah dari Basrah, ia
menyatakan bahwa ia tidak bisa membenci orang lain, bahkan tidak dapat
mencintai Nabi Muhammad SAW, karenya cintanya hanya untuk Allah SWT.
Metode tasawuf dibagi menjadi 3 (tiga), Tahallia, adalah pengisian diri untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, Takhalli adalah pengosongan diri sufi,
sedangkan Tajalli adalah penyatuan diri dengan Tuhan. Disamping itu, dalam ajaran
para sufi dikatakan bahwa Tuhan pun tidak berkehendak untuk menyatu dengan
manusia. Suatu keadaan mental yang diperoleh manusia tanpa bias diusahakan
disebut Hal-Ahwal 2
1 http://ruwakjawiazhar.blogspot.com/2011/02/sejarah-singkat-munculnyaaliran.htm
2 http://muhammadfadol.blogspot.com/2009/05/aliran-pemikiran-islam.

http://www.tetaplahberbinar.com/2014/12/dimensi-aliran-pemikiran-islam.html
BAB I

PENDAHULUN
Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian
berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam
(650-1250 M) sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam
(1250-1800 M).[1]
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama
Islam zaman klasik. Tapi, perlu ditegaskan di sini bahwa ada perbedaan antara pemikiran
rasional Yunani dan pemikiran Islam klasik. Di Yunani tidak dikenal agama samawi, maka
pemikiran bebas, tanpa terikat pada ajaran-ajaran agama, tumbuh dan berkembang. Sementara
pada Islam zaman klasik pemikiran rasional ulama terikat pada ajaran-ajaran agama Islam
sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah.[2]
Sedangkan Ilmu kalam atau teologi termasuk salah satu bidang studi Islam yang amat
dikenal baik oleh kalangan akademis maupun oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini antara
lain terlihat dari keterlibatan ilmu tersebut dalam menjelaskan berbagai masalah yang muncul di
masyarakat. Keberuntungan atau kegagalan seseorang dalam kehidupannya sering dilihat dari
sisi teologi. Dengan kata lain, berbagai masalah yang terjadi di masyarakat seringkali dilihat dari
sudut teologi.
Fiqih atau Hukum Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal
oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat.
Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih.
Dengan fungsinya yang demikian itu, tidak mengherankan jika fiqih termasuk ilmu yang pertama
kali diajarkan kepada anak-anak dari sejak di bangku Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan
Tinggi.
Sedangkan tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian
pada permbersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia.
Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri
manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih, khususnya pada bab thaharah yang memusatkan
perhatian pada permbersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai
dimensi eksoterik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Munculnya Aliran Pemikiran Islam
Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi ummat Islam. Di abad inilah
daerah-daerah Islam meluas di Barat melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol, di Timur melalui
Persia sampai ke India.
Daerah-daerah ini tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan
di Madinah, kemudian di Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Di abad ini lahir para pemikir dan

ulama besar seperti: Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hambali serta lainnya di kalangan ahli hukum,
Imam al-Asyari, al-Maturidi, Wasil bin Atha, al-Jubbai, Abu Huzail, al-Nazzam, dalam bidang
teologi Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Busthami dal al-Hallaj dalam bidang tasawuf, al-Kindi,
al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Khawarizmi, al-Masudi dan al-Razi dalam bidang ilmu
pengetahuan dan lain sebagainya.[3]
Dengan lahirnya pemikir dan para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan
berkembang dengan pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama, non agama maupun
dalam bidang kebudayaan lainnya.
Para pemikir dan ulama Islam pada saat itu bukan hanya dapat mengislamisasikan
pengetahuan-pengetahuan Persia Kuno dan warisan-warisan Yunani, akan tetapi kedua
kebudayaan itu disesuaikan pula dengan kebutuhan dan perkembangan pemikiran pada masa itu.
Ilmu pengetahuan yang telah ditampung dan diolah oleh para pemikir Islam.[4]
Memasuki benua Eropa melalui Spanyol dan Sisilia, dan inilah yang menjadi dasar dari
ilmu pengetahuan yang menguasai alam pikiran orang Barat (Eropa) pada abad selanjutnya.
Dipandang dari segi sejarah kebudayaan, maka tugas memelihara dan menyebarkan ilmu
pengetahuan itu tidaklah kecil nilainya dibanding dengan menciptakan ilmu pengetahuan. Jika
tugas penelitian yang diadakan oleh Aristoteles, Galinus, dan lainnya dalam lapangan ilmu
pengetahuan tidak ditampung dan dipelihara, maka dunia akan miskin dalam ilmu pengetahuan.
Puncak kemegahan dunia Islam itu akhirnya menurun, dunia Islam mulai mengalami
kemunduran pada abad kesepuluh, kemudian tenggelam beradab-abad lamanya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran ummat Islam masa itu, antara lain:
Pertama, isu pintu ijtihad tertutup telah meluas di kalangan ummat Islam, berpalingnya
pikiran untuk menggali secara langsung pada sumber pertama dan utama (al-Quran dan Hadits)
apabila menemukan persoalan baru, pikiran hanya dipusatkan untuk kepentingan Mazhab,
praktek bermazhab dan taassubterhadap mazhab tertentu demikian suburnya, perhatian terhadap
ilmu pengetahuan mulai berkurang.[5]
Kedua, keutuhan ummat Islam dalam bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah
menurun, pemikiran akan adanya masyarakat Islam yang berbentuk persatuan dan kesatuan
dalam seiman telah pindah, tidak ada satu ikatan di dalamnya kecuali nama dan tatanan, ummat
Islam terpecah belah dan saling bermusuhan. Masyarakat Islam berubah, kerajaan Islam telah
mewariskan kota-kota dan kerajaan yang telah bertikai selama berabad-abad dan dalam sekejab
mata sejarah kemanusiaan telah dirobek-robek oleh kelemahan strategi politik, beginilah akibat
kelemahan.[6]
Ketiga, adanya perang salib di bawah arahan Gereja Katolik Roma, dan serbuan tentara
Barbara di bawah kepemimpinan Hulaqho Khan dari Tartar. Kota Baghdad di rampas dan
dihancurkan pada tahun 1258 M. Sehingga Khalifah sebagai lambang kesatuan politik ummat
Islam, hilang. Tentara salib ingin menguasai Baitul Maqdis, untuk menyebarkan pengaruhnya
dan mengajak bersatu dalam keyakinan. Tentara salib dibantu oleh tentara Tartar, yang membalas
kebodohan-kebodohan manusia dengan harga pengetahuan dan penyerbuan serta perluasan
reruntuhan peradaban dan kebudayaan.[7]
Dari ketiga faktor di atas, faktor yang menjadi penyebab utama adalah kemunduran spirit
yang menimpa kaum muslimin, yang ditampilkan dalam bentuk khurafat, ummat Islam tidak lagi
menggunakan pikirannya sebagaimana para pemikir-pemikir sebelumnya melakukan ijtihad,
untuk menggali sumber yang asli kepada la-Quran dan Hadits Nabi, praktek bermazhab dan
bidah telah subur.

Masa kemunduran ini berlangsung berabad-abad lamanya hingga muncul gerakan


pemikiran yang dikumandangkan oleh pelopor-pelopor pembaharuan, seperti Ibnu Taimiyah
dengan muridnya Ibnul Qayim, Muhammad Ibn Abdul Wahab, Muhammad Ibn Ali Sanusi alKabir dan lain-lainnya.
Di antara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaankebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang suci dan hal
lain yang membawa kepada kekufuran.
Kedua, sifat jumud membuat ummat Islam berhenti berpikir dan berusaha, ummat Islam
maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama
ummat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berpikir untuk berijtihad, tidak mungkin
mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas
kejumudan.
Ketiga, ummat Islam selalu terpecah belah, maka ummat Islam tidaklah akan mengalami
kemajuan. Ummat Islam maju karena adanya persatuan dan kesatuan, karena adanya
persaudaraan yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali ummat
Islam bangkitlah suatu gerakan pembaharuan.
Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat. Dengan adanya
kontak ini ummat Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan
Barat, terutama sekali terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani selalu memperoleh
kemenangan dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat, hal
ini membuat pembesar-pembesar Usmani untuk menyelediki rahasia kekuatan militer Eropa
yang baru muncul. Menurut mereka rahasianya terletak pada kekuatan militer modern yang
dimiliki Eropa, sehingga pembaharuan dipusatkan di dalam lapangan militer, namun
pembaharuan di bidang lain disertakan pula.
Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans Barat. Kalau renaisans Barat
muncul dengan menyingkirkan agama, maka pembaharuan dalam Islam adalah sebaliknya, yaitu
untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran Islam kepada pemeluknya. Memperbaharui dan
menghidupkan kembali prinsip-prinsip Islam yang dilalaikan ummatnya. Oleh karena itu,
pembaharuan dalam Islam bukan hanya mengajak maju ke depan untuk melawan segala
kebodohan dan kemelaratan tetapi juga untuk kemajuan ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri.
Dalam fase kemunduran umat itu muncul pula perintis usaha pembaharuan yaitu Ibnu
Taymiyah, yang menentang segala kemunkaran dan kemunduran. Usaha yang dilakukan Ibnu
Taymiyah dalam pembaharuan hampir semua bidang sosial, politik, dan kenegaraan. Segala yang
memecah persatuan Islam selalu diberantas.
Di Turki pembaharuan ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat untuk kepentingan
militer. Dalam lapangan non-militer, pemikiran dan usaha pembaharuan dirintis antara lain oleh
Ibrahim Mutafarrika (1670-1754 M), seorang Hongaria yang ketika masih muda tertangkap
dalam perang Usmani-Hongaria, kemudian masuk Islam. Usaha-usaha yang pertama
menghasilkan pembukaan suatu usaha percetakan di Istambul, untuk mencetak buku-buku, alQuran, Hadits, Fiqih, Ilmu Kalam, Tafsir dan juga mencetak buku-uku tentang kedokteran,
Astronomi, Ilmu Pasti, Sejarah, dan sebagainya.[8]
Kebangkitan di Mesir dikobarkan oleh Sayid Jamaluddin al-Afghani dan Syekh
Muhammad Abduh. Dari segi politik gerakan yang berusaha untuk menyatukan ummat Islam,
para pemukanya Jamaluddin al-Afghani dengan pergerakannya Pan Islamisme yang berusaha
menyatukan dunia Islam, meskipun ide-idenya ini mengalami kegagalan, namun pengaruhnya

tetap berkembang. Di antara muridnya yang setia adalah Syekh Muhammad Abduh yang
berusaha memperkenalkan pendidikan agama yang lebih luas, dan mempermodern sistem
pendidikan ummat Islam, yaitu adanya keseimbangan antara kurikulum agama dengan
pengetahuan umum. Dalam gerakan salafiah, murid Muhammad Abduh yang setia adalah Rasyid
Ridha dengan menyebarkan ide-ide pembaharuan melalui majalah al-Manar yang lebih
cenderung untuk mengembangkan Pan Islamisme.
Dalam perkembangan permbaharuan Salafiah, paham Wahabi berkembang pula di India,
antara lain oleh Sayid Ahmad Khan (1817-1898 M) pembangun perguruan Alighar. Sebelumnya
Syah Waliullah (1703-1762 M) yang berusaha mengkompromikan antara syariat dengan ajaran
yang bersifat mistik.
Menurutnya sistem pemerintahan dengan kekuasaan Absolut oleh raja-raja Islam perlu
diganti dengan sistem pemerintahan khalifah empat, yaitu sistem pemerintahan demokrasi, juga
berjuang untuk memurnikan ajaran Islam dan kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya.
Usaha pembaharuan Syah Waliullah ini dilanjutkan oleh puteranya Syah Abdul Azis dan
muridnya Syah Muhammad Syahid.
Pengaruh gerakan pembaharuan seperti gerakan Wahabi, Muhammad Abduh dan lainnya
sampai pula ke Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Majalah al-Urwatul
Wusqa melalui pelabuhan Tuban masuk ke Indonesia dan majalah-majalah ini berpengaruh di
kalangan ulama-ulama dan pemikir di pulau Jawa. Disamping itu banyak pula kaum muslimin
yang menuntut ilmu pengetahuan di kota suci Mekkah yang secara langsung menyaksikan dan
melihat pembaharuan-pembaharuan di Mekkah (Arabia) yang dilaksanakan gerakan Wahabi.
Di Sumatera dengan gerakan Paderi yang dipimpin oleh H. Miskin, H. Piabang dan H.
Sumantik berusaha memurnikan ajaran Islam di Minangkabau, yang kemudian berkelanjutan
oleh generasi penerusnya seperti Syekh Muhammad Abdullah Muhammad (1878-1945 M).
Sebagai realita gerakan pembaharuan ini antara lain, berdirinya Jamiatul Khair, al-Irsyad,
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan lain-lainnya. Untuk di kepulauan lain tumbuh pula
organisasi keagamaan yang serupa yang bertujuan memurnikan ajaran Islam, meningkatkan cara
berpikir, menangngulangi keterbelakangan dan menyatukan ummat Islam.
B. Aliran Teologi (Kalam)
1. Definisi Teologi
Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, Ilmu Kalam ialah ilmu berisi
alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalildalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaankepercayaan aliran golongan salaf dan Ahli Sunnah.[9]
Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa Ilmu Kalam ialah ilmu yang membicarakan
bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan dengan bukti-bukti yang
meyakinkan. Di dalam ilmu ini dibahas tentang cara marifat (mengetahui secara mendalam)
tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti guna
mencapai kebahagiaan hidup abadi. Ilmu ini termasuk induk ilmu agama dan paling utama
bahkan paling mulia, karena berkaitan dengan Allah, dan para rasul-Nya.[10]
Dalam pada itu Muhammad Abduh berpendapat bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang
membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang
mesti tidak ada pada-Nya serta sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, dan membicarakan pula
tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya.[11]

Berdasarkan batasan tersebut tampak terlihat bahwa teologi adalah ilmu yang pada
intinya berhubungan dengan masalah ketuhanan. Hal ini tidaklah salah, karena secara harfiah
teologi berasal dari kata teo yang berarti Tuhan dan logi yang berarti ilmu.[12]
Namun dalam perkembangan selanjutnya Ilmu Teologi juga berbicara tentang berbagai
masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufr,
musyrik, murtad, masalah kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya;
hal-hal yang membawa pada semakin tebal dan tipisnya iman; hal-hal yang berkaitan
dengan kalamullah yakni al-Quran; status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya.
Sejalan dengan perkembangan ruang lingkup pembahasan ilmu ini, maka Teologi terkadang
dinamai pula Ilmu Tauhid, karena ilmu ini mengajak orang agar meyakini dan mempercayai
hanya pada satu Tuhan, yaitu Allah Swt. selanjutnya dinamai Ilmu Ushuluddin, karena ilmu ini
membahas pokok-pokok keagamaan yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, dinamai
pula Ilmu Aqaid, karena dengan ilmu ini seseorang diharapkan agar meyakini dalam hatinya
secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada Allah sebagai Tuhan.[13]
Dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya yang demikian itu, Theologi, tidak bisa
tidak, pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri komitmen dan
dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai
pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran
teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat
mengemukakan teologi Islam Islam, teologi Kristen Katolik, teologi Kristen Protestan, dan
begitu seterusnya.[14]
2. Model Penelitian Ilmu Kalam
Secara garis besar, penelitian Ilmu Kalam dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama,
penelitian yang bersifat dasar dan pemula; kedua, penelitian yang bersifat lanjutan atau
pengembangan dari penelitian model pertama. Penelitian model pertama ini sifatnya baru pada
tahap membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada al-Quran dan
hadits serta berbagai pendapat tentang kalam yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi.
Sedangkan penelitian model kedua sifatnya hanya mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu
kalam dengan menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model
pertama.
a. Model Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Maturidy Samarqandy
Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Maturidy Samarqandy telah
menulis buku teologi berjudul Kitab al-Tauhid. Buku ini dikemukakan berbagai masalah yang
detail dan rumit di bidang ilmu kalam. Di antaranya dibahas tentang cacatnya taklid dalam hal
beriman, serta kewajiban mengetahui agama dengan dalil al-sama (dalil naqli) dan dalil akli;
pembahasan tentang alam, antrophormisme atau paha jisim pada Tuhan, sifat-sifat Allah,
perbedaan paham di antara manusia tentang cara Allah menciptakan makhluk, perbuatan,
makhluk, paham qadariyah, qada dan qadar, masalah keimanan, serta tidak adanya dispensasi
dalam hal Islam dan iman.[15]
b. Model al-Ghazali
Imam Ghazali yang pernah belajar pada Imam Haramain dikenal sebagai Hujjatul
Islam telah pula menulis buku berjudul al-Iqtishad fi al-Itiqad, dan telah diterbitkan pada tahun
1962 di Mesir. Dalam buku ini dibahas tentang pembahasan bahwa ilmu sangat diperlukan dalam
memahami agama, tentang perlunya ilmu sebagai fardlu kifayah, permbahasan tentang zat Allah,
tentang qadimnya alam, tentang bahwa Pencipta alam tidak memiliki jisim,

karena jisim memerlukan pada materi dan bentuk, dan penetapan tentang kenabian Muhammad
Saw.[16]
c. Model Syahrastani
Syekh Imam Alim Abd Karim Syahrastani menulis buku berjudul Kitab Nihayah alIqdam fi Ilmi al-Kalam sebanyak dua jilid. Jilid pertama 511 halaman, sedangkan jilid kedua
berjumlah 237 halaman. Dalam buku ini dibahas dua puluh masalah yang berkaitan dengan
teologi. Di antaranya tentang baharunya alam, tauhid, tentang sifat-sifat azali, hakikat ucapan
manusia, tentang Allah sebagai yang Maha Mendengar dan perbuatan yang dilakukan seorang
hamba sebelum datangnya syariat. Selanjutnya, dalam karyanya berjudul al-Milal wa al-Nihal,
yang tebalnya 520 halaman, Syahrastani selain berbicara tentang Islam, Iman, dan Ihsan, juga
membahas berbagai aliran dalam teologi Islam seperti Mutazilah lengkap dengan tokohtokohnya, dan lain-lain.[17]
Kritik Terhadap Pendekatan Teologi
Ilmu teologi ialah ilmu berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaankepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil Agama. Pada prakteknya pendekatan teologi
ini mengesankan seolah-olah lahirnya banyak aliran dalam teologi Islam, mengindikasikan
bahwa umat Islam sulit bersatu. Sebagaimana yang terdapat dalam sejarah umat Islam. Kita
mengenal aliran khawarij, jabariyah, mutazilah, dan lain-lain. Diperparah adanya kesan
sebagian kelompok umat menganggap dirinya lebih baik dari kelompok lainnya.
a. Khawarij.
Di tinjau dari segi bahasa kata khawarij berasal dari suku kata Arab kharaja yang artinya
keluar atau hengkang dan yang dimaksud adalah suatu aliran atau golongan atau kelompok yang
pada mulanya setia dan mendukung kepada khalifah Ali Ibn Abu Thalib kemudian keluar dan
tidak mendukung Ali Ibn Abu Thalib kemudian bergabung dengan kelompok lain karena tidak
setuju dengan kebijakan pemerintahan Khalifah Ali Ibn Abu Thalib. Definisi inilah yang paling
rajin dibanding dengan lainnya.[18]
b. Jabariyah
Dalam segi bahasa kata jabariyah berasal dari kata bahasa Arab yang artinya memaksa
atau terpaksa atau dipaksa. Dan yang dimaksud adalah suatu golongan atau aliran atau kelompok
yang berfaham bahwa semua perbuatan manusia bukan atas kehendak sendiri, namun ditentukan
oleh Allah. Dalam arti bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan
buruk, jahat, dan baik semuanya telah ditentukan Allah bukan atas kehendak atau adanya campur
tangan manusia.[19]
c. Mutazilah
Kata mutazilah berasal dari kata bahasa Arab yang artinya hengkang atau pisah. Dan
yang dimaksud adalah suatu aliran atau golongan yang memisahkan diri dari induknya, yaitu
Washil Ibn Atho memisahkan diri dari gurunya Hasan Basri karena terjadi perbedaan pendapat
di antara mereka, yang akhirnya Washil membuat aliran sendiri yang dikenal dengan sebutan
golongan mutazilah.
d. Ah-lu sunnah wal jamaah
Ahlu sunnah wal jamaah terbentuk akibat dari adanya penentangan terhadap aliran
Muktazilah oleh orang Muktazilah itu sendiri, mereka adalah Abu al-Hasan, Ali bin Ismail bin
Abi basyar ishak bin Salim bin ismail bin abd Allah bin Musa bin Bilal bin Abi burdah amr bin
Abi musa al-asyari. Imam al-asyari (260-324 H), menurut Abubakar ismail al-Qairawani
adalah seorang penganut Muktazilah selama 40 tahun kemudian ia menyatakan keluar dari

Muktazilah. setelah itu ia mengembangkan ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan
gagasan Muktazilah.
Ajaran pokok Ahlu sunnah wal jamaah tidak sepenuhnya sejalan dengan gagasan Imam
al-asyari. Para pelanjutnya antara lain Imam abu manshur al-maturidi yang kemudian
mendirikan aliran Maturidiyyah yang ajarannya lebih dekat dengan muktazilah. Imam almaturidi pun memiliki pengikut yaitu al-bazdawi yang pemikirannya tidak selamanya sejalan
dengan gagasan gurunya. Oleh karena itu para ahli menjelaskan bahwa maturidiah terbagi
menjadi dua golongan: 1. golongan Maturidiah Samarkand, yaitu para pengikut Imam almaturidi dan 2. golongan Maturidiah Bukhara,yaitu para pengikut Imam al-bazdawi yang
tampaknya lebih dekat dengan ajaran al-asyari.
Sejatinya, adanya berbagai perbedaan yang terdapat dalam tubuh umat Islam. Tidak
menjadikan umat Islam menjadi umat yang terpecah-belah. Justru adanya perbedaan tersebut
umat Islam dapat saling berbagi dan bertukar wawasan antara satu paham dengan faham yang
lainnya. Selama masih dalam bingkai al-Quran dan Sunnah Nabi.
C. Aliran Fiqh
1. Definisi Ilmu Fiqih
Pengertian Fiqih (hukum) Islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian syariah.
Untuk itu dalam pengertian hukum Islam di sini dimaksudkan di dalamnya pengertian syariat.
Dalam kaitan ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam atau fiqih adalah
sekelompok dengan syariat- yaitu ilmu yang berkaitan dengn amal perbuatan manusia yang
diambil dari nash al-Quran atau al-Sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut,
atau yang diambil dari sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari al-Quran atau al-Sunnah,
dibentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqih. Dengan demikian yang disebut Ilmu
Fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil
yang terperinci.[20]
Yang dimaksud dengan amal perbuatan manusia ialah segala amal perbuatan orang
mukallaf yang berhubungan dengan bidang ibadat, muamalat, kepidanaan dan sebagainya; bukan
yang berhubungan dengan dengan akidah (kepercayaan). Sebab yang terakhir ini termasuk dalam
pembahasan Ilmu Kalam. Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci ialah satuansatuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu hukum tertentu.
Berdasarkan batasan tersebut di atas sebenarnya dapat dibedakan antara syariah dan
Hukum Islam atau Fiqih. Perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang digunakannya.
Jika syariat didasarkan padanash al-Quran atau al-Sunnah secara langsung, tanpa memerlukan
penalaran; sedangkan hukum Islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama
melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam
syariat. Dengan demikian, jika syariat permanen, kekal dan abadi, fiqih atau hukum Islam
bersifat temporer, dan dapat berubah. Namun, dalam praktiknya antara syariat dan fiqih sulit
dibedakan. Ketika kita mengkaji suatu masalah misalnya kita pergunakan nash al-Quran dan alSunnah, tetapi bersamaan dengan itu kita juga menggunakan penalaran. Hal ini amat
dimungkinkan karena nash-nash al-Quran maupun al-Sunnah tersebut sungguhpun secara
tektstual tidak dapat diubah, namun interpretasi pilihan yang menggunakan akal.
Dalam kaitan ini tidak mengherankan jika Ahmad Zaki Yamani memberikan ciri syariat
Islam identik dengan ciri hukum Islam. Ciri tersebut menurut Zaki Yamani ada dua. Pertama,
bahwa syariat Islam itu luwes, dapat berkembang untuk menanggulangi semua persoalan yang
berkembang dan berubah terus, ia sama sekali berbeda dengan apa yang telah digambarkan baik

oleh musuh-musuh Islam, maupun oleh sementara penganutnya yang menyeleweng atau yang
kolot dan sempit, yakni bahwa syariat Islam itu suatu sistem, agama yang sudah lapuk dan nanar
oleh sebab kelanjutan usianya. Kedua, bahwa dalam pusaka perbendaharaan hukum Islam
terdapat dasar-dasar yang mantap untuk pemecahan-pemecahan yang dapat dilaksanakan secara
tepat, dan cermat bagi persoalan-persoalan yang paling pelik di masa kini, yang tidak mampu
dipecahkan oleh sistem Barat maupun oleh prinsip-prinisp Timur, meskipun sekedar untuk
melunakkannya saja.[21]
Sejalan dengan uraian tersebut, Zaki Yamani membagi syariat Islam adalam dua
pengertian. Pertama, pengertian dalam bidang yang luas dan kedua, pengertian dalam bidang
yang sempit. Pengertian syariat Islam dalam bidang yang luas meliputi semua hukum yang telah
disusun dengan teratur oleh para ahli fiqih dalam pendapat-pendapat fiqihnya mengenai
persoalan di masa mereka, atau yang mereka perkirakan akan terjadi kemudian, dengan
mengambil dalil-dalil yang langsung dari al-Quran dan al-Hadits, atau sumber pengambilan
hukum seperti ijma, qiyas, istihsan, istishlah, dan masalih al-mursalah. Syariat dalam
pengertian yang luas ini memberikan peluang untuk berbeda pendapat, untuk mengikutinya atau
tidak mengikutinya. Adapun dalam pengertian yang sempit, syariat Islam itu terbatas pada
hukum-hukum yang berdalil pasti dan tegas, yang tertera dalam al-Quran, hadis yang sahih, atau
yang ditetapkan dengan ijma. Dalam pengertian yang sempit ini, syariat dengan dalil-dalilnya
yang tegas dan pasti mewajibkan setiap Muslim untuk mengikutinya dan menjadikannya sebagai
sumber untuk memecahkan kesulitan masalah yang dihadapi.
Perbedaan antara dua pengertian yang luas dan sempit tentang syariat tadi akan terasa
pentingnya dalam negara-negara yang melaksanakan syariat Islam seutuhnya seperti Saudi
Arabia yang akan membuktikan secara mudah dan jelas perlu tidaknya pelaksanaan semua
hukum syariat Islam dalam pengertian yang luas itu.
Kini syariat Islam telah berusia cukup tua, yaitu dari sejak kelahiran agama Islam itu
sendiri pada lima belas abad yang lalu sampai sekarang. Sejauh manakah syariat Islam itu tetap
aktual dan mampu meresponi perkembangan zaman, telah dijawab lewat berbagai penelitian
yang dilakukan para ahli yang contoh-contohnya dapat dilihat dalam uraian di bawah ini.
2. Mazhab Fiqih
Dalam perkembangan fiqih dikenal beberapa mazhab fiqih. Berdasarkan keberadaannya,
mazhab fikih ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah
punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqih dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu mazhab ahlusunnah dan mazhab syiah.
Mazhab Ahlusunnah terdiri atas empat mazhab yang populer yang masih utuh sampai
sekarang.Pertama, Mazhab Hanafi. Pemikiran fiqih dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu
Hanifah. Dia dikenal sebagai imam ahlurrayu serta fakih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh
berbagai ulama di zamannya. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan rakyu, kias,
dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nas, kadang-kadang ulama
mazhab ini meninggalkan kaidah kias dan menggunakan kaidah ihtihsan. Alasannya, kaidah
umum (kias) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu.[22]
Kedua, Mazhab Maliki. Pemikiran fiqih mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal
luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqih terkemuka serta ahlulhadits.
Pemikiran fiqih dan usul fiqih Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwathttha, yang
disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah alMamun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadis, tetapi karena di susun dengan sistematika

fiqih dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fikih Imam Malik dan
metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadis dan fiqih belakangan sebagai
kitab fiqih.[23]
Ketiga, Mazhab Syafii. pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafii.
Keunggulan Imam asy-Syafii sebagai ulama fiqih, usul fiqih, dan hadits di zamannya diakui
sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup di zaman meruncing pertentangan
antara aliran ahlulhadits dan ahlurrayi, Imam Syafii berupaya untuk mendekatkan pandangan
kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh ahlulhadits dan Imam
Muhammad Ibn Hasan asy-Syaibani sebagai ahlulrrayi.
Keempat, Mazhab Hanbali. Pemikiran Mazhab ini diawali oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal.
Ia dikenal sebagai ulama fiqih dan hadis terkemuka di zamannya dan pernah belajar
fiqih ahlulrrayi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafii. Menurut Ibnu Qayyim alJauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut: (1) an-nusus (jamak dari nas),
yaitu al-Quran, Sunnah Nabi Saw, dan ijmak. (2) fatwa sahabat, (3) jika terdapat perbedaan
pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang
lebih dekat dengan al-Quran dan Sunnah. (4). Hadis mursal atau hadis daif yang didukung oleh
kias dan tidak bertentangan dengan ijmak; dan (5) apabila dalam keempat dalil di atas tidak
dijumpai, akan digunakan kias. Penggunaan kias bagi Imam Ahmad Ibn Hanbal hanya dalam
keadaan yang amat terpaksa.[24]
3. Model-Model Penelitian Hukum Islam (Fiqih)
a. Model Harun Nasution
Sebagai guru besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam, Harun Nasution juga
mempunyai perhatian terhadap hukum Islam. Penelitiannya dalam bidang hukum Islam ini ia
tuangkan secara ringkas dalam bukuny Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Melalui
penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap berbagai literatur tentang hukum Islam
dengan menggunakan pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil mendeskripsikan
struktur hukum Islam secara komprehensif, yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum
yang ada dalam al-Quran, latar belakang dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum
Islam dari sejak zaman nabi sampai dengan sekarang, lengkap dengan beberapa mazhab yang
ada di dalamnya berikut sumber hukum yang digunakannya serta latar belakang timbulnya
perbedaan pendapat.[25]
b. Model Noel J. Coulson
Noel J. Coulson menyajikan hasi penelitian di bidang hukum Islam dalam karyanya
berjudul Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah. Hasil penelitiannya itu dituangkan dalam tiga
bagian. Pertama, menjelaskan tentang terbentuknya hukum syariat, yang di dalamnya dibahas
tentang legalisasi al-Quran, praktek hukum di abad pertama Islam, akar yurisprudensi sebagai
mazhab pertama. Bagian kedua, berbicara tentang pemikiran dan praktek hukum Islam di abad
pertengahan. Di dalamnya dibahas tentang teori hukum klasik, antara kesatuan dan keragaman,
dampak aliran dalam sistem hukum, pemerintahan Islam dan hukum syariat, masyarakat Islam
dan hukum syariat. Bagian ketiga, berbicara tentang hukum Islam di masa modern yang di
dalamnya dibahas tentang penyerapan huku Eropa, hukum syariat kontemporer, taklid, dan
pembaharuan hukum serta neo-ijtihad.[26]
Kritik Terhadap Fanatisme Madzhab

Seseorang dapat berlaku ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada
kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang, madzhab
dan golongan.
Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil. Jika dilihatnya adanya
dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun bertentangan dengan madzhab
yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang dikaguminya atau golongan yang diikutinya.
Sebab, kebenaran lebih berhak untuk diikuti daripada pendapat si Zaid atau si Umar. Allah tidak
memerintahkan kita beribadah mengikuti perkataan seorang ulama atau Imam tertentu, tetapi
Allah memerintahkan kita agar beribadah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam Kitab-Nya
dan Sunnah Nabi-Nya.
Di antara fanatik yang tercela ialah fanatik terhadap madzhab. Seperti para muqallid yang
hampir memaksumkan madzhab dan para Imam mereka. Fanatik madzhab ini mereka
berdasarkan kepada beberapa landasan yang tidak benar.
Tidak diwajibkan taqlid atas semua orang, termasuk orang-orang yang tergolong ahli
ilmu, sebagaimana dikemukakan oleh orang-orang yang ekstrim dalam bermadzhab. Dan, tidak
mengharamkan taqlid atas semua orang sebagaimana dikatakan oleh orang-orang yang ekstrim
dalam menolak madzhab. Tetapi meletakkan persoalan secara proporsional, dengan membedakan
antara ahli ilmu dan orang-orang awam. Kepada orang-orang yang belum mencapai tingkatan
ijtihad dan tarjih, diperbolehkan untuk mengikuti salah seorang Imam. Istilah yang dipergunakan
oleh Imam al-Banna dalam masalah ini, yaitu ittiba, lebih daripada taqlid. Selain itu, beliau
tidak membatasi hanya imam yang empat, sehingga seorang muslim dapat mengikuti madzhab
shahabi atau tabiin atau imam-imam yang lainnya.
Kritik Terhadap Fanatik dengan Pendapat Pribadi
Seseorang harus melepaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapatnya sendiri. Sebab,
orang yang tidak dapat melepaskan dirinya dari fanatisme ini akan senantiasa mempertahankan
pendapatnya sendiri sekalipun tahu pendapatnya salah dan lemah argumentasinya. Ia hanya
memenangkan kehendak hawa nafsu, melecehkan orang lain dan takut dituduh kurang luas
wawasan.
Perlu dijelaskan di sini tentang beberapa akhlaq (tata cara) yang harus diperhatikan dalam
rangka membebaskan diri dari fanatisme. Di antara akhlaq ini ialah sikap melihat kepada
perkataan bukan kepada orang yang mengatakannya. Hendaknya ia punya keberanian untuk
mengkritik diri sendiri, mengakui kesalahan, menerima nasihat dan evaluasi dari orang lain,
memuji orang yang tidak sependapat jika dimiliki orang lain, memuji orang yang tidak
sependapat jika memang pendapatnya baik, dan membelanya apabila dia dituduh dengan tuduhan
yang batil atau dilecehkan dengan tidak benar.
E.Aliran Tasawuf
1. Pengertian Tasawuf
Dari segi kebahasaan (linguistik) terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan
orang dengan tasawuf. Harun nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan
dengan tasawuf, yaitu al-suffah(ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari
Makkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjamaah,
sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah), dan suf (kain wol kasar).[27]
Jika diperhatikan secara seksama, tampak kelima istilah tersebut bertemakan tentang
sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan, dan kedekatan dengan Tuhan. Kata ahl alsuffah misalnya menggambarkan keadaan yang mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan

lainnya sebagai hanya untuk Allah. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, rumah,
kekayaan, harta benda dan sebagainya yang ada di Makkah untuk ditinggalkan karena ikut hijrah
bersama nabi ke Madinah. Tanpa ada unsur iman dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, tidaklah mungkin hal demikian mereka lakukan.[28]
Selanjutnya kata saf juga menggambarkan keadaan orang yang selalu berada di barisan
depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan lainnya. Demikian pula kata
sufi yang berarti bersih, suci, dan murni menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya
dari perbuatan dosa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, selanjutnya kata suf yang berarti
kain wol yang kasar yang menggambarkan orang yang hidupnya serba sederhana, tidak
mengutamakan kepentingan dunia, tidak mau diperbudak oleh harta yang dapat menjerumuskan
dirinya dan membawa ia lupa akan tujuan hidupnya, yakni beribadah kepada Allah. Demikian
pula kata sophos yang berarti hikmah juga menggambarkan keadaan orang yang jiwanya
senantiasa cenderung kepada kebenaran.
Dengan demikian dari segi kebahasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu
berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana,
mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia di sisi Allah.
Sikap demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal
yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
Selain pengertian tasawuf dapat dilihat dari segi kebahagiaan sebagaimana tersebut di
atas, juga dapat dilihat dari segi istilah. Dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang
digunakan pada ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang manusia sebagai
makhluk terbatas. Kedua sudut pandang manusia sebagai makluk yang harus berjuang, dan
ketiga sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, tasawuf dapat
didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia
dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan
adalah pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat
didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, dan jika sudut pandang yang digunakan adalah
manusia
sebagai
makhluk
bertuhan,
tasawuf
dapat
didefinisikan
sebagai
kesadaran fitrah(perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu
tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika ketiga definisi tasawuf tersebut satu dan lainnya dihubungkan, segera tampak bahwa
tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat
membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah,
sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak mulia. Tasawuf secara hakiki memasuki
fungsinya dalam mengingatkan kembali manusia siapa ia sebenarnya, yang berarti manusia
dibangunkan dari mimpinya yang ia sebut kehidupannya sehari-hari dan bahwa jiwanya bebas
dari pembatasan-pembatasan penjara khayali egonya itu yang memiliki timbangan objektif di
dalam apa yang disebut kehidupan dunia menurut bahasa keagamaan.
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk
Islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya pelaksanaan kehidupan ruhani bagi jutaan
manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang
diajarkannya.
Dengan menempatkan pengertian yang proporsional sebagaimana telah disebutkan di
atas, tampak tasawuf tidak mengesankan keterbelakangan, kemunduran, atau semacamnya,

melainkan justeru memperlihatkan ketangguhan jiwa dalam menghadapi berbagai problema


hidup yang senantiasa datang silih berganti.
Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi Saw. Hal ini dapat dilihat
dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi Saw. Sebelum diangkat
menjadi rasul, berhari-hari ia berkhalwat di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana
Nabi Saw, banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Pengasingan diri Nabi Saw di Gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan
khalwat.[29]
Nabi Muhammad Saw, banyak memberikan gambaran tentang kehidupan dunia.
Kehidupan dunia digambarkan bagai penjara bagi orang mumin dan surga bagi orang kafir
(Imam Muslim, tt), karena kehidupan mereka selalu dibatasi dan tidak boleh hidup semenamena, bagaikan orang yang hidup dalam sebuah penjara, dan sebaliknya bagaikan surga bagi
orang kafir, sebagai tempat yang menyenangkan, bisa hidup seenaknya tanpa ada batasan yang
mengikatnya. Kesederhanaan Nabi Saw, menampilkan diri sebagai seorang yang sangat terbatas
kehidupannya, sering menderita lapar. Dan jika mempunyai harta selalu diinfakkan ke jalan
Allah Swt, dan disedekahkan kepada tamunya dan ahlus-Suffah (orang yang hidup di emperan
masjid Nabawi).[30]
Faktor internal lainnya adalah reaksi rohaniah kaum muslim terhadap sistem sosial,
politik, budaya, dan ekonomi dikalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam tersebar ke berbagai
negara, yang sudah barang tentu membawa konsekuensi tertentu. Seperti terbuka kemungkinan
diperolehnya kemakmuran di satu pihak, dan terjadinya pertikaian politik sahabat Ali Ibn Abi
Thalib dengan Muawiyah. Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian
masyarakat atau ulama yang tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap
tidak mau terlibat terhadap pergolakan yang ada. Mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat
dalam pertikaian tersebut.[31]
Seperti telah diketahui, dalam sejarah Islam terdapat peristiwa tragis, yakni upaya
pembunuhan terhadap diri khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, dari peristiwa itu secara berantai
terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Hal ini menyebabkan sahabat-sahabat yang masih
ada, dan pemuka-pemuka Islam yang mau berpikir, berikhtiar membangkitkan kembali ajaran
Islam, pulang masuk masjid, kembali mendengarkan kisah-kisah perjuangan Rasulullah dan
besera para sahabat terdahulu, mengenai keindahan zuhud dan lain sebagainya. Inilah benih
tasawuf yang paling awal.
c. Masa Pembentukan
Kalau kita kembali kepada awal sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi, telah ada
sahabat-sahabat yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, banyak berpuasa di siang hari,
shalat, dan membaca al-Quran di malam hari. Seperti Abdullah Ibn Umar, sehingga Nabi
berkata kepadanya, Tubuhmu juga mempunyai hak-hak yang harus kau penuhi.
Pada abad ke- 1 Hijriyah, lahirlah Hasan Basri, seorang zahid pertama dan termasyur
dalam sejarah tasawuf. Dia lahir di Madinah pada tahun 642 M, dan meninggal di Basrah pada
tahun 728 M. Hasan Basri tampil pertama dengan membawa ajaran khauf dan raja, mempertebal
takut dan harap kepada Tuhan.
Kemudian pada akhir abad ke- 2 Hijriyah, muncul Rabiah al-Adawiyah (95 H/713 M 185 H/801 M), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hubb al-ilallah).
Selanjutnya pada abad ke- 2 Hijriyah ini, tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad
sebelumnya, yakni sama dalam corak kezuhudan. Saat itu mulai ada sebagian orang yang
menampilkan istilah-istilah yang pelik seperti mengenai kebersihan jiwa (thaharah al-nafs),

kemurnian hati (naqy al-qalb), hidup ikhlas, menolak pemberian orang, dan bekerja mencari
makan dengan usaha sendiri.
d. Masa Pengembangan
Tasawuf pada abad ke- 3 dan ke- 4 Hijriyah sudah mempunyai corak yang berbeda sama
sekali dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah
bercorak kefanaan (ektase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan khalik. Orang-orang
sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan (fanafi al mahbub), bersatu dengan
kecintaan (ittihad bi al-mahbub), kekal dengan Tuhan (baqa bi al-Mahbub), menyaksikan Tuhan
(musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa) dan menjadi satu dengan-Nya (ain al-jama) seperti
yang diungkapkan oleh Abu Yazid al-Bustham (261 H), seorang sufi dari Persia yang pertama
kali mempergunakan istilah fana (lebur atau hancurnya perasaan).
Sesudah Abu Yazid al-Busthami, lahirlah seorang sufi kenamaan, yakni al-Hallaj.
Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat, yakni sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat
ketuhanan (lahut). Landasan pemikirannya didasarkan kepada surat Shad ayat 72, bahwa Adam
mempunyai dua unsur, yakni jasmani dan ruhani. Unsur jasmani dari materi, sedang unsur
ruhaninya berasal dari roh Tuhan.
e. Masa Konsolidasi
Tasawuf pada abad ke- 5 Hijriyah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini ditandai
kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni
memenangkan pertarungan, dan berkembang sedemikian rupa, sedangkan tasawuf semi falsafi
tenggelam dan akan muncul kembali pada abad ke- 6 Hijriyah dalam bentuknya yang lain.
Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenakan menangnya aliran theologiahl-Sunnah wa-alJamaah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asyary, yang melontarkan kritik pedas terhadap
teori Abu Yazid al-Bushthami dan al-Hallaj. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini cenderung
mengadakan pembaharuan atau menurut istilah Annemarie Schimmael merupakan periode
konsolidasi, yakni periode yang ditandai pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasannya,
al-Quran dan al-Hadits. Tokoh-tokohnya di antaranya al-Qusyairi, al-Harawi, dan al-Ghazali.
Imam al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang tidak sesuai dengan alQuran dan Sunnah dalam sebuah upaya mengembalikan tasawuf kepada status semula sebagai
jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa, dan pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang
diperkenalkan al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian rupa mendalam dan
belum dikenal sebelumnya. Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap pelbagai aliran filsafat,
pemikiran-pemikiran mutazilah dan kepercayaan kebatinan untuk kemudian menancapkan
dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih moderat dan sesuai dengan theologis ahlSunnah wa Al-Jamaah. Tasawuf semacam ini disebut tasawuf Sunni.[32]
f. Masa Falsafi
Setelah tasawuf semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf Sunni tersebut, maka pada
abad ke- 6 Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran
filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan
tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan
tasawuf, dan juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat. Karena itu disebut tasawuf falsafi, karena
di satu pihak memakai term-term filsafat, namun secara epistemologis menggunakan intuisi
(dzauq).[33]
Sejumlah sufi abad ke- 6 Hijriyah yang berorientasi filsafat, yang memperkenalkan
pemikiran-pemikiran, antara lain, al-Suhrawardi al-Maqtul, tokoh ilmu huduri (w. 587 H), alSyaikh al Akbar, Ibn Arabi (w. 638 H), dan Abd al-Haqq Ibn Sabin (w. 699 H). Dalam aliran

mereka berkembang panteisme yang mengarahkan tasawuf pada kebersatuan dengan Allah
Swt. Perhatian mereka tidak tertuju kepada selain taraf transendensi ini, sedangkan aspek praktik
nyaris terabaikan. Perkembangan tasawuf akhirnya di bawah pengaruh mereka terlibat kasuskasus filsafat, terutama aspek-aspek ontologi dan epistemologi, yang mencapai puncaknya pada
pemikiran-pemikiran Ibn Arabi yang berhasil membangun pilar tasawuf di atas prinsip-prinsip
filsafat yang kukuh dalam sebuah visi kesatuan yang paripurna.[34]
Sepeninggal Ibn Arabi, tasawuf mengarah pada hal yang lebih praktis dalam bentuk
persaudaraan kolektif yang di dalamnya para pelajar (murid) berkumpul di sekeliling seorang
guru (syaikh). Bersama-sama mereka terlibat dalam ibadah, tafakur, dan dzikir. Tarekat sufi
paling pertama didirikan oleh Abd al-Qadir al-Jilani atau Jailani (w. 1166), diikuti kemudian
oleh tarekat Rifai yang didirikan oleh Ahmad al-Rifai (w. 1175) dan Maulawi, yaitu Para
tarekat yang disebut terakhir ini adalah seorang sastrawan Persia terkemuka, yang dikenal juga
dengan nama Maulana Jalal al-Din al-Rumi (w. 1273). Rumi meninggal dunia di Konya, Turki,
tempat tarekatnya terus berkembang hingga saat ini. Tarekat yang terkenal lainnya ialah alSyadzili yang didirikan oleh Ali al-Syadzili (1258) dan Badawi yang didirikan oleh Ahmad alBadawi (w. 1276). Kedua tarekat ini berkembang luas di wilayah Mesir dan Afrika Utara. Dan
hingga kini, keduanya masih menyimpan pengaruh keagamaan yang kuat di kawasan tersebut.[35]
g. Model-Model Penelitian Tasawuf
Sejalan dengan fungsi dan peran tasawuf yang demikian itu, di kalangan para ahli telah
timbul upaya untuk melakukan penelitian tasawuf. Berbagai bentuk dan model penelitian
tasawuf secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr selama ini dikenal sebagai ilmuwan Muslim kenamaan di abad
modern yang amat produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah. Perhatiannya terhadap
pengembangan studi Islam demikian besar, termasuk ke dalam bidang tasawuf. Hasil
penelitiannya dalam bidang tasawuf ia sajikan dalam bukunya Tasawuf Dulu dan Sekarang yang
diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M. dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta tahun 1985.
Di dalam buku tersebut disajikan hasil penelitiannya di bidang tasawuf dengan menggunakan
pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf, yaitu tasawuf
dan pengutuhan manusia. Di dalamnya dinyatakan bahwa tasawuf merupakan saran untuk
menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang tingkatan-tingkatan keruhanian dalam tasawuf, manusia
di alam kelanggengan di tengah perubahan yang tampak. Setelah itu dikemukakan pula
perkembangan tasawuf yang terjadi pada abad ketujuh dan mazhab Ibn Arabi, serta Islam dan
pertemuan agama-agama. selanjutnya, dikemukakan tentang problema lingkungan dalam cahaya
tasawuf, penaklukan alam dan ajaran Islam tentang pengetahuan timur.[36]
Dari urain singkat di atas terlihat bahwa model penelitian tasawuf yang diajukan Husein
Nasr adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan tematik yang berdasarkan pada studi kritis
terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah.
b. Model Harun Nasution
Harun Nasution, guru besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam juga menaruh
perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia
tuangkan antara lain dalam bukunya berjudul Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, yang
diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, terbitan pertama tahun 1973. Penelitian yang dilakukan
Harun Nasution pada bidang tasawuf ini mengambil pendekatan tematik, yakni penyajian ajaran
tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat pada Tuhan, zuhud, dan station-stationlain, al-

mahabbah, al-marifah, al-fana dan al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pada
setiap topik tersebut selain dijelaskan tentang isi ajaran dari tiap topik tersebut dengan data-data
yang didasarkan pada literatur kepustakaan, juga dilengkapi dengan tokoh yang
memperkenalkannya. Selain itu, Harun Nasution mencoba mengemukakan latar belakang sejarah
timbulnya paham tasawuf dalam Islam.[37]
Penelitian yang menggunakan pendekatan tematik tersebut terasa lebih menarik karena
langsung menuju kepada persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat
tokoh. Penelitian tersebut sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan
ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa, walaupun hanya dalam
garis besarnya saja. Dengan penelitian seperti ini, peneliti mengemukakan ada adanya dengan
sedikit melakukan perbandingan antara satu ajaran dengan ajaran tasawuf lainnya, namun hal ini
pun bukan ditujukan untuk mencari kelebihan dan kekurangan dari ajaran-ajaran tersebut, tetapi
sekadar untuk memperjelas ajaran tersebut. Hal ini biasanya dilakukan dalam suatu penelitian
deskriptif, karena tidak ada problema atau teori tertentu yang akan diuji kebenarannya.
c. Model A.J. Arberry
Arberry, salah seorang peneliti Barat kenamaan, banyak melakukan studi keislaman,
termasuk penelitian dalam bidang tasawuf. Dalam bukuny berjudul Pasang Surut Aliran Tasawuf,
Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan
pendekatan tokoh. Dengan pendekatan demikian ia coba kemukakan tentang firman Tuhan,
kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf, struktur teori tasawuf, struktur teori
tasawuf, struktur teori dan amalan tasawuf, tarekat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf, struktur
teori dan amalan tasawuf. Dari isi penelitian tersebut, tampak bahwa Arberry menggunakan
analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejarahnya, dan
tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentransformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam
makna kehidupan modern yang lebih luas.[38]
Kritik Terhadap Aliran Pemikiran Tasawuf Falsafi
Jika istilah sufi ini diduga berasal dari kata shophia (Yunani), maka hal ini lebih dapat
diterima. Sebab, sumber pemikiran Islam yang kedua setelah al-Quran dan al-Hadits berasal
dari negeri-negeri, seperti, Syria, Mesir, dan Persia, dengan pikiran-pikiran Yunani menjadi
induk pemikiran di negeri-negeri tersebut. Pikiran Neoplatonisme, failasuf Kristen yang
mengajarkan tentang emanasi dan panteisme- yang sangat berpengaruh di dunia Kristen- juga
berasal dari pikiran Yunani, khususnya pikiran Aristoteles dan Prophiry.
Sementara itu, dari data yang terungkap, orang pertama yang mendapat gelar sufi
adalah Abu Hasyim al-Kufi (wafat 150/761 M) dari Kufah, bukan Makkah atau Madinah, dan ia
dari generasi tabiin, bukan dari generasi shahabat. Sedangkan di sisi lain, masa terjemahan telah
terjadi terlebih dahulu, paling tidak beberapa puluh tahun sebelum munculnya orang pertama
yang bergelar sufi itu.
Jika istilah sufi itu juga dianggap berasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang
biasa dipakai oleh para sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata shophia dan shuf
saling menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang paling berpengaruh berasal dari
Plotinus, sehingga sangat logis jika aliran ini berpengaruh pada kaum sufi Kristen di Syria,
Mesir, Baghdad dan Yaman. Lebih memperkuat lagi ialah bahwa kaum sufi Muslim pada
umumnya menggunakan kain shuf.
Selanjutnya definisi tasawuf dengan mengutip pendapat beberapa orang di antaranya, alJunaid, berkata, Bertasawuf berarti bahwa Tuhan menjadikan kamu mati, untuk hidup kembali

di dalam-Nya. Sedangkan Abu Yazid Busthami berkata, Jika aku terhapus, maka Tuhan adalah
kaca-Nya sendiri dalam aku.
Kemungkinan tasawuf falsafi itu berasal dari Hindu di antaranya dengan bukti, tujuan
akhir dari peribadatan dalam agama Hindu adalah bersatunya kembali antara atman (ruh atau
substansi) denganBrahman (ruh alam semesta atau Tuhan). Ajaran Hindu sangat berpengaruh
terhadap bangsa Yunani kuno, baik dalam bentuk mitologi, filsafat, maupun mistik. Sehingga
kita ketahui bahwa Plato dan Pythagoras adalah dua tokoh penganut ajaran reinkarnasi yang
berasal dari ajaran hindu.
Menurut M. Horten, tasawuf berasal dari alam pemikiran India. Dalam hal ini Horten
telah melakukan penelitian yang lama untuk menguatkan pendapatnya itu. Akan tetapi pendapat
tersebut kemudian ia revisi setelah ia melakukan analisis terhadap tasawuf al-Hallaj, alBusthami, dan al-Junaid, dengan mengatakan bahwa tasawuf abad ketiga Hijriyahlah yang
sangat dipengaruhi alam pemikiran India, terutama ajaran al-Hallaj. Horten pun berusaha keras
mengokohkan teorinya ini dengan salah satu penelitiannya untuk menetapkan bahwa tasawuf
berasal dari sumber India. Penelitian fisiologis yang dilakukannya terhadap berbagai
terminologi para sufi Persia akhirnya membuatnya berkesimpulan bahwa tasawuf berasal dari
aliran Vedanta di India.
Sementara itu Hartman, yang berusaha keras pula, membuktikan asal usul atau sumber tasawuf
dari India. Ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
1. Kebanyakan angkatan pertama sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya Ibrahim Ibn
Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Busthami, dan Yahya Ibn Maaz Ar-Razi.
2. Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kalinya adalah di Khurasan (Parsi).
3. Pada masa sebelum Islam, Turkistan merupakan pusat pertama berbagai agama dan
kebudayaan timur dan barat. Dan ketika para penduduk kawasan itu memeluk agama
Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama.
4. Kaum Muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
5. Asketisme Islam (kebatinan) yang pertama adalah bercorak India, baik dalam
kecendrungannya maupun metode-metodenya. Keluasan batin, pemakaian tasbih,
misalnya, merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari India.
Kemudian cukup banyak para orientalis yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari
tradisi pemikiran Yunani. Para orientalis yang berpendapat seperti ini lebih menaruh perhatian
terhadap tasawuf yang mulai muncul pada ketiga Hijriah, lewat Dzun Nun al-Mishri, wafat 245
H.
Muhammad al-Bahiy (intelektual Islam Mesir) menyatakan tentang adanya intervensi
alam pikiran asing, seperti paganism Mesir, Budha, Hindu, Zaratrusta, Manu, Kristen, Yahudi,
dan Yunani.

BAB III
PENUTUP
Membahas Aliranaliran dalam pemikiran islam dan sejarahnya, maka tidak lain
membahas agama islam itu sendri. Dalam sebuah perguruan tinggi, aliran-aliran atau ajaranajaran itu biasa disebut dengan studi islam. Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di

sekitar permasalahan apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan kedalam bidang ilmu
pengetahuan, mengingat sifat karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.
Namun sesuai dengan perkembangan zaman, perdebatan-perdebatan di kalangan para ahli
tentang apakah sebenarnya studi islam menghasilkan titik temu. Nah, untuk itulah kiranya kita
harus mengetahui aliran atau ajaran islam yang dalam masa ini lebih dikenal dengan studi
islam. Studi-studi dalam islam memiliki banyak sekali aliran. Namun yang paling popular dalam
perkembangannya ada empat buah ilmu pengetahuan, yaitu; ilmu kalam, ilmu fiqih (hukum),
ilmu tasawuf, dan ilmu hadits.
Teologi adalah ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah-masalah ketuhanan
serta berbagai masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan.
Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya dapat mengetahui bagaimana cara-cara untuk
memiliki keimanan dan bagaimana pula cara menjaga keimanan tersebut agar tidak hilang atau
rusak.
Fiqih secara lebih luas, yaitu tidak hanya yang menyangkut fiqih ibadah, tetapi juga fiqih
muamalat seperti jual beli, perdagangan, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan perseroan,
dilanjutkan dengan fiqih jinayat yang berkaitan dengan peradilan tindak pidana, masalah rumah
tangga, perceraian, sampai dengan masalah perjanjian, peperangan, pemerintah, dan sebagainya.
Keadaan Fiqih yang demikian itu nampak inheren atau menyatu dengan misi agama
Islam yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar tercapai ketertiban dan
keteraturan, dengan Rasulullah saw, sebagai aktor utamanya yang melaksanakan aturan-aturan
hukum tersebut. Karena wahyu, yaitu cara memperoleh dan mengetahui kehendak Tuhan secara
langsung, terhenti semenjak meninggalnya nabi Muhammad, syariah yang telah terungkap secara
sempurna pada prinsipnya lantas menjadi statis dan bersifat kekal. Mengapung sebagai jiwa
tanpa jasad di atas awang-awang masyarakat Muslim, serta terpisah dari arus dan pergantian
wahyu, ia pun tampil sebagai cita-cita (idealisme) yang keabsahannya berlaku abadi, dan
masyarakat harus mengejar cita-cita itu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sufyan Raji, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta: Pustaka
al-Riyadh, 2006.
Asmuni, Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta:
PT RajaGrafindo, 1995.
Bahy, Muhammad, al-Fikhu al Islam fi Tathawwurihi, Penerjemah. Bambang Saiful, Bandung: Mizan,
1985.
Baqir, Haidar, Antara Tasawuf Eksesif dan Tasawuf Positif, Sufisme Kota, Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, Cet. I, 2001.

--------,Manusia Modern Mendamba Allah; Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMaN dan Hikmah,
Cet. I, 2002), hal. xi.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Cet.
Ke-3
Edward, Mortimer, Faith and Power the Politics of Islam, Penerjemah. Enna Hadi, Bandung: Mizan,
1984.
Fakhry, Majid, a Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, England: Onewolrd
Publication, 1997.
Fathurrahman, Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung: alMaarif, 1986.
Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Jassar, Husain Ibn Muhammad, al-Husbun al-Hamidiyah li al-Muhafadzah Ala al-Aqaid al-Islamiyah,
Bandung: Syirkah al-Maarif.
Muti, A. Wahib, Tasawuf dalam Islam, (Jakarta: UIA Asyafiiyah, 2009.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003.
Nasichah, Dakwah Pada Masyarakat Modern; Problem Kehampaan Spiritual, Dawah Jurnal Kajian
Dakwah, Komunikasi dan Budaya, Vol. X, No. II, (Jakarta: Fakultas Dakwah UIN Syarif
Hidayatulah Jakarta, 2003), hal. 103.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995 Cet ke- 9
---------, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995.
----------, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Sarraj, Abu Nashr, al-Luma ; Lajnah Nasyr at-Turats ash-Shufi, Edisi Terjemah, Surabaya: Risalah
Gusti, 2002 Cet ke- I

Shihab, Alwi, Akhlak sebagai Sasaran Tasawuf, Manusia Modern Mendamba Allah; Renungan
Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMaN dan Hikmah, Cet. I, 2002), hal. 180.
--------,Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, Bandung: Mizan,
2001, Cet. Ke- I
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf; Sufimse dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999, Cet. Ke- I
Yamani, Ahmad Zaki, Asy-Syariatul Khalidah wa Musykilatul Asri, Jakarta: Lembaga Studi Ilmu-Ilmu
Kemasyarakatan Yayasan Bhineka Tunggal Ika, 1978.

[1]

Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), h. 7.

[2]

Ibid., h. 7.

[3]

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11.

[4]

Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT

RajaGrafindo, 1995), h. 4
[5]

Edward Mortimer, Faith and Power the Politics of Islam, Penerjemah. Enna Hadi, (Bandung: Mizan, 1984), h. 51.

[6]

Muhammad al-Bahy, al-Fikhu al Islam fi Tathawwurihi, Penerjemah. Bambang Saiful, (Bandung: Mizan, 1985), h.

[7]

Ibid., h. 53.

51.

[8]

Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, h. 8-9.

[9]

A. Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 10.

[10]

Husain Ibn Muhammad al-Jassar, l-Husbun al-Hamidiyah li al-Muhafadzah Ala al-Aqaid al-Islamiyah, (Bandung:

Syirkah al-Maarif), h. 7.
[11]

Ibid., h. 7.

[12]

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003), h. 269.

[13]

A. Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), h. 11-12.

[14]

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 269-270.

[15]

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 270-271.

[16]

Ibid., h. 275.

[17]

Ibid., h. 276.

[18]

Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, (Jakarta: Pustaka al-Riyadh,

2006), h. 39.
[19]

Ibid., h. 55.

[20]

Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: al-Maarif, 1986), h. 5.

[21]

Ahmad Zaki Yamani, Asy-Syariatul Khalidah wa Musykilatul Asri, (Jakarta: Lembaga Studi Ilmu-Ilmu

Kemasyarakatan Yayasan Bhineka Tunggal Ika, 1978), h. 13.


[22]

Dewan Editor, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 340.

[23]

Ibid., h. 341.

[24]

Ibid., h. 342.

[25]

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 300-301.

[26]

Ibid., h. 305.

[27]

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 56-57.

[28]

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 286-287.

[29]

Dewan Editor, Ensiklopedi Islam, op. cit., hal. 77.

[30]

Amin, Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufism dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, Cet. I, 1999), h. 26.


[31]

Ibid., hal. 27.

[32]

Alwi, Shihab, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, (Bandung:

Mizan, Cet. I, 2001), h. 31.


[33]

Amin, Syukur, op. cit., hal. 39.

[34]

Alwi, Shihab, op. cit., hal. 32

[35]

Majid, Fakhry, a Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, (England: Onewolrd

Publication, 1997), hal. 96


[36]

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h. 2-3.

[37]

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 93.

[38]

A.J. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Penerjemah. Bambang Herawan, (Bandung: Mizan, 1985), h. 13.

12Dec2014

Anda mungkin juga menyukai