Disusun Oleh :
Juwairiyah
140621007
Empat Patonah
140621009
2015 - 2016
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah Subhanahu Wa Taala karena atas segala
rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Metodologi Penafsiran Al-Quran.
Penulis berharap makalah ini dapat menjadi salah satu sumber tambahan
pengetahuan bagi penbaca. Sehingga makalah ini dapat dikatakan berguna.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..i
DAFTAR ISI............ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....1
B. Rumusan Masalah....2
C. Tujuan Penulisan..2
D. Manfaat Penulisan....... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan20
B. Saran...20
DAFTAR PUSTAKA21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran adalah kitab petunjuk yang diturunkan Allah kepada
Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril1 untuk seluruh umat manusia.
Al-Quran juga mendorong manusia untuk belajar dan memperoleh ilmu.
Indikasi ini bisa dilihat bahwa ayat al-Quran yang pertama kali
diturunkan merupakan seruan untuk membaca, dengan membaca manusia
dituntuk untuk belajar.
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia
Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang maha Pemurah yang mengajar manusia dengan kalam.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq,
96:1-5)
Salah satu bentuk dari apa yang telah diisyaratkan al-Quran dalam
ayat diatas adalah munculnya berbagai ayat ragam kajian atas al-Quran
dan metodologi tafsir. Munculnya ragam kajian yang telah dilakukan
tersebut sangat memungkinkan, karena sebagai teks,2 al-Quran bersifat
Interpretebel bisa memiliki banyak makna (yahtamilu wujuh al-mana),
sehingga mengandung berbagai kemungkinan ragam penafsiran.3 Sejak al-
Quran diturunkan hingga sekarang ini para mufassir yang melakukan
studi terhadap al-Quran dan metodologi penafsirannya telah mengalami
perkembangan yang cukup bervariasi.
Pentingnya pemahaman yang tepat terhadap ayat-ayat al-Quran
menjadikan kedudukan Ilmu tafsir sebagai disiplin ilmu yang karena
penafsiran merupakan cara untuk menjembatani kesenjangan antara
perkembangan kehidupan masyarakat yang cepat dengan tulisan ayat-ayat
Kitab Suci, termasuk al-Quran yang sudah baku.4
4 Joachim Wach, The Comparative Study of Religions(New York: Columbia University Press, 1958), hal. 73.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian metode penafsiran al-Quran?
2. Bagaimana perkembangan metode penafsiran al-Quran?
3. Bagaimana klasifikasi metodologi tafsir?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian metode penafsiran al-Quran.
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan metode penafsiran al-
Quran.
3. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi metodologi tafsir.
D. Manfaat Penulisan
Bagi penulis dan pembaca, untuk meningkatkan pengetahuan
tentang metodologi penafsiran al-Quran dan supaya lebih meningkatkan
keimanan kita kepada Allah .
BAB II
PEMBAHASAN
uraian). Istilah yang berasal dari bahasa Arab ini merupakan serapan dari
bentuk tafil al-fasr, yaitu kata kerja fassara yufassiru dengan arti
keterangan dan takwil. Istilah tafsir dalam Al-Quran hanya terdapat
pada Surat al-Furqan: 33:
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan kami Datangkan kepadamu suatu yang
benar dan paling baik penjelasannya (QS Al-Furqan: 33). Selain itu, kata
tafsir berasal dari derivasi (isytiqq) al-fasru ( )yang berarti ))
6Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Ilmu At-Tafsir, Dar Al-Fikr, Kairo, tahun, hlm. 5
diartikan sebagai suatu prosedur sistematis yang diikuti dalam upaya
memehami dan menjelaskan maksud kandungan Al-Quran. Dengan kata
lain, metode tafsir merupakan kerangka kerja yang digunakan dalam
menginterpretasikan pesan-pesan Al-Quran, sedangkan metodologi tafsir
adalah analisis ilmiah mengenai metode-metode penafsiran Al-Quran.7
8Marfu adalah perkataaan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
9Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada para shohabat
Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-
Yamany dan Atho bin Abi Robah.
Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Kaab, yang
menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam,
AbulAliyah dan Muhammad bin Kaab Al-Qurodli.
Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Masud, diantara
murid-muridnyayang terkenal adalah Al-Qomah bin
Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah binDiamahAs-
Sadusy.Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa
menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan
diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan
dalil atas pendapat yanglainnya.10
4. Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan
permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam
subbagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.
Periode Kedua,Pemisahantafsirdari hadits dan di bukukan
secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan
setiap penafsiran ayat di bawah ayat tersebut, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury,
Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan
mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke
Rasulullah, sahabat dan para tabiin.
Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas
sanadnya dan menukil pendapat para ulama tanpa menyebutkan
orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad
yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir
berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau
kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan
ayat ada sepuluh pendapat, padahal para ulama tafsir sepakat
10majmu fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi ulumul al-quran ole mann al-
qotton hal ; 340-342
bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan
Nasroni.
Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai
dengan buku buku tarjamahan dari luarIslam. Sehingga metode
penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan
dengan metode binnaqly (denganperiwayatan). Pada periode ini
juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para
mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Quran dari segi hukum
seperti Alqurtuby. Pakarsejarah melihatnya dari sudut sejarah
seperti ats-Tsalaby dan Al-Khozin danseterusnya.
Periode Kelima, tafsir maudhui yaitu membukukan tafsir
menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang
keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya
At-Tibyan fi Aqsamil Al-Quran, Abu Jafar An-Nukhas dengan
Nasihwal Mansukh, Al-Wahidi dengan Asbabun Nuzul dan Al-
Jassos dengan Ahkamul Qurannya.
C. Klasifikasi Metodologi Tafsir
Ketika menafsirkan Al-Quran, mufassir biasanya merujuk kepada
tradisi salaf, namun tidak jarang yang merujuk pada ulama kontemporer.
Metode tafsir yang merujuk kepada tradisi ulama salaf dalam menafsirkan
Al-Quran adalah: (1) tafsir berdasarkan riwayah (al-tafsir bi al-matsur);
(2) tafsir berdasarkan dirayah (al-tafsir bi al-ray), dan (3) tafsir
berlandaskan isyarat (al-tafsir al-isyari). Sementara pakar ada yang
memilih metode tafsir berdasarkan pendekatan dan mazhab yang dianut.
Sebagian pakar menyebutnya corak tafsir. selain itu, ada pula yang
memilahnya kepada metode klasik (yang merujuk pada Al-Quran dan
Hadis (riwayah, dirayah, dan isyari) dan kontemporer (global, analitis,
perbandingan, tematik, dan kontekstual).11
1. Tafsir Riwayah (Al-Tafsir Bi Al-Matsur)
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat
yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Quran dengan al-
12 Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, (Mathba'ah Isa al-Bab al-
Halaby, 1957), hal 3. Pengertian diatas, lebih kurang sama dengan definisi yang dikemukakan Ali al-Shabuni
yang menyebutnya sebagai penjelasan Allah SWT. Berdasarkan ayat Al-Qur'an, sunnah Rasulullah Saw dan
ucapan sahabat. Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, op cit, hal 65. dalam definisi al-Farmawi ditambah dengan
penjelasan Allah berdasarkan ucapan tabi 'in. lihat al-Farmawi, op cit., hal. 25
4) Dapat dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan
periwayatan yang bermanfaat bagi generasi berikutnya
(Zahabi,1961:157)
Kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang
mengandalkan metode ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli
tafsir, antara lain adalah :
1) Terjerumusnya mufassir dalam uraian kebahasaan dan
kesusasteraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok Al-
Qur'an menjadi kabur di celah uraian itu.
2) Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau
sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari
uraian nasikh/mansukh) hampir dapat di katakan terabaikan
sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan
dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat
tanpa budaya (Shihab, 1999:49).
3) Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab,
politik dan usaha-usaha musuh Islam.13
4) Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur Yahudi
dan Nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur'an.
13 Sejauh mana penetrasi unsur-unsur asing dalam aliran-aliran teologi yang menyimpang dari Al-Qur'an
menurut Zahabi dapat dilihat dalam bukunya Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur'an, terjemahan M.
Husein (Jakarta : CV Rajawali Press, 1991), hal 100-115.
2. Tafsir Dirayah (Al-Tafsir Bi Al-Rayi)
Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an dimana
seorang mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya.
Sejalan dengan definisi diatas, Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi al-
ra'yi adalah tafsir ijtihad yang dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapat
diikuti, bukan atas dasar rayu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau
penafsiran pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya (Ash-Shabuni,
1985:351).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Ar-Royi al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang
diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:
Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-
Quran dan as-sunnah
Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil
matsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini
diantaranya Tafsir Al-Qurtuby, Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Al-
Baidhowy
Ar-Royi Al-mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela /
dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan
pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya
menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-
nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para
ahli bidah yang sengaja menafsirkan ayat al-Quran sesuai dengan
keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya.
Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara
contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsir
Zamakhsyary, Tafsir syiah Dua belas, Tafsir As-Sufiyah dan
Al-Bathiniyyah.
Tafsir bi ar-rayi ini berawal pada abad ke-3 hijriyah. Pada
masa itu, peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka
berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat
Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam
rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud
itu, mereka mencari ayat-ayat Al-quran dan hadis-hadis Nabi saw,
lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.
Kaum fuqaha (ahli fikih) menafsirkannya dari sudut hukum fiqih,
seperti yang dilakukan oleh al-Jashshash, al-Qurtuby, dan lain-lain;
kaum teolog menafsirkannya dari sudut pemahaman teologis
seperti alkasysyaf, karangan al-Zamakhsyari; dan kaum sufi juga
menafsirkan Alquranmenurut pemahaman dan pengalaman batin
mereka seperti Tafsir Al-quran al-Adhim oleh al-Tustari.14
14 Ali Hasan al-Aridl. Sejarah Dan Metodologi Tafsir. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 48.
15 Muhammad Amin Suma, studi ilmu-ilmu Al-Quran (jakarta: pustaka firdaus,2001),hal 113
16 ibid
17 Nashruddin Baidan, Metodologi penafsiran Al-Quran, cet. 1, (yogyakarta: pustaka pelajar,1998),hal.13
1) Al-tafsir al-farid li al-Quran al-madjid, oleh muhammad abd. Al
munim.
2) Marah labid tafsir al-nawawi /al-tafsir al-munir li maalim al-tanzil, oleh
al syekh muhammad nawawi al-jawi al-bantani
3) M. Farid Wajdi (1875-1940) dalam karyanya Tafsir al-Quran al-Karim.
Keunggulan metode ini terletak pada karakternya yang simplistis dan
mudah dimengerti, tidak mengandung elemen penafsiran yang berbau
israiliyat, dan terkesan lebih mendekati bahasa Al-Quran. sementara
kelemahannya adalah menjadikan petunjuk Al-Quran bersifat parsial dan
tidak ada ruang untuk analisis yang memadai18 sehingga menimbulkan
ketidakpuasan pembacanya.
18 Nasharuddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1998, hlm. 3-5
19 Abd. al-Hay al-Farmawi. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui, cet. ke2, (Mesir: Maktabat Jumhurriyat,
1977), 24.
20 Muhammad Husain al-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,
1961), 140-141.
21 Ibid, 32.
tafsir al-Maraghi (karya Musthafa al-Maraghi), tafsir al-Manar (karya
Muhammad Abduh), tafsir fi Dzilal al-Quran (karya Sayyid Quthub) 23.
Dengan demikian, ciri-ciri metode tahlili sebagai berikut 24:
a. Penafsir al-Quran berdasarkan ayat perayat sesuai dengan
urutan mushaf.
b. Penjelasan ayat-ayat al-Quran sangat rinci meliputi segala
aspek yang berkaitan dengan penjelasan makna ayat, baik
dari segi bahasa, munasabah ayat dan lain sebagainya.
c. Luasnya penafsiran tergantung dari luasnya ilmu yang
dimiliki para mufassir.
d. Sumber pengambilan boleh jadi dari Tafsir bi al-Matsur,
Tafsir bi al-Rayi25, sumber-sumber fiqih dan lain
sebagainya.
Kelebihan dan Kelemahan Metode Tahlili (Analitis) 26
Kelebihan Metode Tahlili antara lain:
a. Dapat dengan mudah untuk mengetahui tafsir suatu ayat atau
suatu surat dengan lengkap, karena penafsiran al-Quran
dijelaskan sesuai dengan susunan ayat atau seperti
berdasarkan urutan yang terdapat dalam mushaf.
b. Dapat dijadikan acuan dalam rangka menghimpun ayat yang
dikaji dengan metode maudhui .
c. Mudah untuk mengetahui relevansi dan korelasi antara satu
ayat atau surat dengan ayat atau surat yang lain
d. Memungkinkan untuk memberikan penafsiran pada semua
ayat walaupun inti penafsiran ayat yang satu merupakan
pengulangan dari ayat yang lain. Bilamana ayat-ayat yang
ditafsirkan tersebut sama atau hampir sama.
e. Mengandung banyak aspek pengetahuan, filsafat, hukum dan
lain-lain27.
22 Ibid, 31-32.
23 Ibid, 104. Lihat juga di Metodologi Penafsiran al-Quran, Nashruddin Baidan, 32.
24 Abd. Kholid, Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, (Surabaya: Fak. Ushuluddin, 2007), 104
25 Ibid, 32.
26 Ibid, 53-62.
27 Ibid,54.
Kelemahan Metode Tahlili antara lain28:
a. Terkesan adanya penafsiran secara berulang-ulang. Terutama
terhadap ayat-ayat yang menghimpun topik sama29
b. Tidak mencerminkan penafsiran secara utuh atau bulat
terhadap suatu masalah. Sebab ayat yang mempunyai topik
yang sama letaknya terpencar dalam beberapa surat.
c. Urain terkesan panjang lebar, bahkan terlalu jauh dari
maksud tafsir itu sendiri sehingga timbul rasa bosan dalam
mempelajarinya dan mengkajinya.
28 Ibid, 55-62.
29 Ibid, 72.
30 Al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlui, op.cit., hlm. 45
31 M. Quraish Shihab et. all, Sejarah Ulum al-Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 186-191
dikaji oleh pemula (mubtadi) karena memuat bahasan yang teramat luas,
kurang dapat diandalkan dalam menjawab problem masyarakat, dan dominan
membahas penafsiran ulama terdahulu ketimbang penafsiran baru. 32
32 Baidan, op.cit.,hlm.142-144
33 Al-Farmawi, op.cit.,hlm. 52
e. Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai
ilmu, baik yang tergolong dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu
lain yang relevan, seperti sejarah, sosiologi, antropologi dan
sebagainya,
f. Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik
yang ditetapkan,
g. Tujuan utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana
dikemukakan oleh al-Farmawy (1977 : 51-55) dalam bukunya al-
Bidayah di al-Tafsir al-Maudlu'i adalah memahami makna dan
hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz Al-
Qur'an, seperti keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau
kehebatan-kehebatan Al-Qur'an lainnya.
h. Dalam tafsir tematik sumber utama atau dasar yang dipakai untuk
menafsirkan adalah Al-Qur'an berbicara menurut konsepnva sendiri,
apapun yang diinginkannva dan bukan menurut selera mufassirnya.
Dari sini dapat ditegaskan bahwa tafsir tematik sebagai suatu metode
pada kenyataannya tidak dapat secara mutlak berdiri sendiri terlepas dari metode-
metode lainnya. Sebab sebelum mufassir menyodorkan penafsirannya secara
tematik, ia harus terlebih dahulu menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan
tema yang akan dibahas secara terperinci. berarti ia memerlukan juga metode
tahliliy, dan untuk tidak terjebak dalam pemahaman yang mungkin keliru akibat
mengambil produk tafsir tahliliy, mufassir perlu menggunakan metode muqaran
agar dapat menginterpretasikan dan atau menterjemahkan berbagai pendapat
yang ada, disamping untuk memahami lebih jauh perbedaan kandungan antara
satu ayat dengan ayat yang lain, dan lain sebagainya.
Prosedur penafsiran Al-Quran dengan metode tematik dapat dirinci
sebagai berikut:
a. Menentukan bahasan Al-Quran yang akan diteliti secara tematik.
b. Melacak dan mengkoleksi ayat-ayat sesuai topik yang diangkat.
c. Menata ayat-ayat tersebut secara kronologis dengan mendahulukan ayat
makkiyyah dan madaniyyah, dan mengetahui sebab turunnya ayat.
d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut.
e. Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang sistematis.
f. Melengakpi bahasan hadis-hadis terkait.
g. Mempelajari ayat-ayat itu secara tematik dan komprehensif dengan cara
mengkoleksi ayat yang memuat makna yang sama, mengkompromikan
pengertian yang umum dan khusus, mengsinkronkan ayat-ayat yang
tampak kontradiktif, menjelaskan nasikh dan mansukh, sehingga
semuanya memadu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan
dalam penafsiran.34
Disini barangkali dapat dikemukakan beberapa kitab yang membahas
tema-tema Al-Qur'an yang coraknya mirip dengan tafsir tematik, seperti :
1) Al-Mar 'ah di Al-Qur'an al-Karim, oleh Abbas al-'Aqqad,
2) Al-Riba fi Al-Qur'an, oleh Abu al-A'la al-Maududiy,
3) Al-'Agidah fi Al-Qur'an al-Karim, oleh Muhammad Abu Zahrah,
4) Al-Uluhiyyah wa al-Risalah fi Al-Qur'an al-Karim, oleh Muhammad as-
Sahmiy,
5) Al-Insan fi Al-Qur'an al-Karim, oleh Abbas al-'Aqqad,
6) Maqumat al-Insaniyyah fi Al-Qur'an al-Karim, oleh Ahmad Ibrahim
Muna,
7) Ayat al-Qasam Al-Qur'an al-Karim, oleh Ahmad Kamal al-Muhdiy
(Farmawi, 1977:60).
Metode ini unggul karena dipandang mampu menjawab tantangan
zaman, dinamis dan praktis tanpa harus merujuk pada kitab-kitab tafsir yang
tebal dan berjilid-jilid, penataannya yang sistematis membuat pembaca dapat
menghemat waktu, dan pemilihan tema-tema terkini membuat Al-Quran
tidak ketinggalan zaman, serta pemahamannya pun menjadi utuh. Sementara
kelemahannya adalah menyajikan ayat Al-Quran secara sepotong-potong
sehingga terkesan kurang etis terhadap ayat-ayat suci, pemilihan topik
tertentu membuat pemahaman terbatas,35 dan membutuhkan kecermatan
dalam menentukan ayat dengan yang diangkat.
7. Metode Kontekstual
Metode kontekstual adalah metode yang mencoba menafsirkan Al-
Quran berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latar belakang sejarah,
seosiologi, dan antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat Arab pra Islam dan selama proses wahyu Al-Quran berlangsung.
Lalu, dilakukan penggalian prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam
34 Al-Farmawi, op.cit., hlm. 61
35 Baidan, op.cit., hlm. 165-168
berbagai pendekatan tersebut. Metode ini pada intinya berkaitan dengan
hermeneutika, sebuah metode penafsiran teks yang dapat berangkat dari kajian
bahasa, sejarah, sosiologis, dan filosofis. 36 Jadi, jika metode ini dikaitkan dengan
teks Al-Quran, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana
teks-teks Al-Quran hadir, dipahami, ditafsirkan, dan dialogkan demi menghadapi
realitas sosial masyarakat dewasa ini.
Kehadiran metode ini dipicu oleh kekhawatiran yang akan ditimbulkan
ketika Al-Quran ditafsirkan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan
latar belakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Di sinilah
mungkin letak perbedannya dengan metode tematik. Pada metode tematik,
asbbun nuzl hanya dipahami sebagai alat bantu untuk memahami pesan Al-
Quran. sementara pada metode kontekstual, tidak saja mengkaji asbbun nuzl,
tetapi juga menyelidiki latar belakang sosiohistoris masyarakat di mana Al-
Quran diturunkan, untuk kemudian dicari prinsip dan nilai moral yang
terkandung dalam kedua data sejarah tersebut. Fazlur Rahman (w. 1408/1998),
barangkali dapat dicatat di antara tokoh yang mempromosikan metode ini.
Misalnya, ketika ia ingin memahami pengertian literal dari kata riba menurut Al-
Quran, ia mengemukakan sejumlah ayat yang terkait, dan menelusuri konteks
pembicaraan ayat-ayat tersebut. Kemudian mengkaitkankannya dengan latar
sosio-historis masyarakat Arab ketika itu demi menemukan prinsip-prinsip moral
yang dikandungnya.
Untuk mengaplikasikan metode kontekstual di era kontemporer,
setidaknya ada dua pendekatan yang sangat berperan yaitu sejarah, dan
heremenutika. Sebenarnya kedua pendekatan ini tidak saja diterapkan pada
disiplin tafsir, tetapi juga pada disiplin Islam lainnya. Metode kritik sejarah, yang
menjadi salah satu bagian pendekatan sejarah misalnya, digunakan ketika
mengkaji Islam historis, yaitu mengkritisi tradisi dan disiplin-disiplin keislaman
sejak era klasik hingga kontemporer, termasuk metode tafsir yang berkembang
dalam tradisi Islam. Di sini, pendekatan sejarah melalui analisis sejarah sosial
juga sangat berperan dalam mengungkap konteks latar belakang turunnya wahyu
Al-Quran. sementara heremeneutika digunakan untuk mengkaji Islam normatif,
yang berkaitan dengan Al-Quran dan hadis.
36 Lihat: Richard E. Palmer, Hermeneutika, Musnur hery dan Damanhuri Muhammed, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005, hlm. 95
Dalam perspektif hermeneuitka, upaya penelusuran terhadap konteks
pada dasarnya merupakan satu upaya pemahaman teks untuk selanjutnya
menangkap makna dan semangat dari suatu teks, kemudian melakukan
reproduksi makna teks tersebut ke zaman di mana teks tersebut ditafsirkan
(kontekstual). Jadi, menafsirkan Al-Quran dengan menggunakan analisis teks,
konteks, dan kontekstualisasi merupakan pendekatan yang dilakukan secara
hermeneutis. Meskipun ada klaim bahwa karya tafsir klasik telah memiliki ciri
khas hermeneutika modern,37 tetapi level itu baru dicapainya pada tingkat kajian
teks Al-Quran. karena itu diperlukan kajian hermeneutika yang lebih intens,
yang meliputi tidak saja kajian atas teks, tetapi juga atas konteks dan
kontekstualisasinya.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
1. Metode tafsir dapat diartikan sebagai suatu prosedur sistematis
yang diikuti dalam upaya memehami dan menjelaskan maksud
kandungan Al-Quran. Dengan kata lain, metode tafsir merupakan
kerangka kerja yang digunakan dalam menginterpretasikan pesan-
pesan Al-Quran, sedangkan metodologi tafsir adalah analisis
ilmiah mengenai metode-metode penafsiran Al-Quran.
2. Perkembangan metode penafsiran al-Quran dibagi menjadi 4
zaman yaitu:
a. Tafsir Pada Zaman Nabi
b. Tafsir Pada Zaman Shahabat
c. Tafsir Pada Zaman Tabiin
d. Tafsir Pada Masa Pembukuan
3. Klasifikasi metodologi penafsiran al-quran dibagi menjadi
beberapa bagian yaitu:
DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.uinsby.ac.id/940/3/Bab%202.pdf
https://jpajurnal.files.wordpress.com/2009/01/5-pemikiran-ibnu-taimiyah-
masyhud.pdf
http://download.media.islamway.net/articles/id/id_ilmu_tafsir.pdf
http://eprints.walisongo.ac.id/292/3/084211015_bab2.pdf
http://juniantositorus.blogspot.com/2012/05/metode-tafsir-ijmali?m=1
http://download.portalgaruda.org/article.php?=115298&val=5286