Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Dalam lingkup sejarah, pendidikan telah dilakukan oleh manusia pertama di


muka bumi ini, yaitu sejak Nabi Adam. Bahkan dalam al-Quran dinyatakan bahwa
proses pendidikan terjadi pada saat Adam berdialog dengan Tuhan. Pendidikan ini
muncul karena adanya motivasi pada diri Adam serta kehendak Tuhan sebagai
pendidik langsung Adam untuk mengajarkan beberapa nama.
Hal ini dijelaskan dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 31

Artinya:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang
benar!"
Jelas sekali bahwa manusia hidup di dunia ini membutuhkan pendidikan. Karena
tanpa pendidikan hidup manusia akan tidak teratur bahkan bisa merusak sistem
kehidupan di dunia. Hal ini terbukti dengan pendidikan Nabi Adam yang diterima
langsung dari Tuhan.
Dalam Bahasa Indonesia kata pendidikan berangkat dari kata dasar didik yang
mempunyai arti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Karena kata tersebut mendapat imbuhan pe-
an, maka pendidikan bermakna sebuah proses.
Pendidikan merupakan sebuah sistem yang mengandung aspek visi, misi, tujuan,
kurikulum, bahan ajar, pendidik, peserta didik, sarana prasarana, dan lingkungan. Di
antara kedelapan aspek tersebut satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan.
Karena aspek tersebut saling berkaitan sehingga membentuk satu sistem. Salah satu
faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan adalah aspek
pendidik atau guru.
Begitu besar peran pendidik dalam sebuah keberhasilan pendidikan, oleh
karena itu seorang pendidik dituntut harus bisa mewujudkan pendidikan yang
berkualitas. Pendidik sebagai tonggak utama penentu keberhasilan untuk mencapai
tujuan pendidikan, haruslah menyadari profesinya. Sebagaimana dikeseharian, tugas
formal seorang guru tidak sebatas berdiri di hadapan peserta didik selama berjam-jam
hanya untuk mentransfer pengetahuan pada peserta didik. Lebih dari itu, guru juga
menyandang predikat sebagai sosok yang layak digugu dan ditiru oleh peserta didik
dalam segala aspek kehidupan, hal inilah yang menuntut agar guru bersikap sabar,
jujur, dan penuh pengabdian. Sebab dalam konteks pendidikan, sosok pendidik
mengandung makna model atau sentral identifikasi diri, yakni pusat anutan dan
teladan bahkan konsultan bagi peserta didiknya.
Semua orang yakin bahwa pendidik memiliki andil yang sangat besar terhadap
keberhasilan peserta didik. Guru sangat berperan dan mempunyai peran yang cukup
besar terhadap kematangan intelektual, spiritual, dan emosional peserta didik. Dalam
dunia pendidikan, komponen Guru sangatlah penting, yakni orang yang
bertanggungjawab mencerdaskan kehidupan anak didik, dan bertanggungjawab atas
segala sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam rangka membina anak didik agar
menjadi orang yang bersusila yang cakap, berguna bagi nusa dan bangsa.
Peran guru sebagai pelaksana dari sebuah kegiatan pendidikan tentu harus
didukung dengan beberapa separangkat keahlian. Dalam istilah lainnya, guru juga
mempunyai batasan-batasan tertentu sehingga ia dikatakan sebagai pendidik atau guru
yang profesional. Hal ini perlu ditekankan, mengingat banyak orang yang berprofesi
sebagai guru tapi tidak bertindak dan berakhlak layaknya seorang guru profesional.
Maka dari itu kita selaku pendidik sudah menjadi ketentuan kita mengetahuin konsep
guru profesional dalam islam itu seperti apa,agar kelak kita sebagai pendidik mampu
mewujudkan insan-insan berkualitas.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tugas Dan Kewajaiban Guru ?
2. Bagaimana Interaksi Guru Dengan Peserta Didik ?
3. Bagaimana Etos Kerja Guru ?
4. Bagaimana Murid Sebagai Objek Dan Subjek Pendidikan ?
5. Bagaimana Adab Murid Terhadap Guru ?
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah selain untuk memenuhi tugas
Kajian Islam Profesi juga agar dapat menambah wawasan penulis dan pembaca
mengenai Konsep Guru Profesional Dalam Islam yang diantaranya ialah :
1. Mengetahui Bagaimana Tugas Dan Kewajiban Guru
2. Mengetahui Bagaimana Interaksi Guru Dengan Peserta Didik Yang
Seharusnya
3. Mengetahui Bagaiman Etos Kerja Guru
4. Mengetahui Murid Sebagai Objek Dan Subjek Pendidikan
5. Mengetahui Bagaimana Adab Murid Terhadap Guru
BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Guru

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang yang
pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar Definisi ini cakupan
maknanya sangat luas, mengajar apa saja bisa disebut guru, sehingga ada sebutan guru
ngaji, guru silat, guru olah raga, dan guru lainnya. Dalam dunia pendidikan, sebutan
guru dikenal sebagai pendidik dalam jabatan. Pendidik jabatan yang dikenal banyak
orang adalah guru, sehingga banyak pihak mengidentikkan pendidik dengan guru.
Sebenarnya banyak spesialisasi pendidik baik dalam arti teoritisi maupun praktisi
yang pendidik tapi bukan guru. Dalam konteks pendidikan Islam, guru adalah semua
pihak yang berusaha memperbaiki orang lain secara Islami. Mereka ini bisa orang tua
(ayah-ibu), paman, kakak, tetangga, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat
luas. Khusus orang tua, Islam memberikan perhatian penting terhadap keduanya
sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, serta sebagai peletak fondasi
yang kokoh bagi pendidikan anak-anaknya di masa depan. Banyak dalil naqli yang
menunjukkan hal ini, misalnya sabda Rasulullah SAW :

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanya yang menjadikan
mereka beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR. Bukhari).

Ada beberapa istilah dalam bahasa Arab yang biasa dipakai sebagai sebutan bagi
para guru, yaitu ustdz, muallim, mursyd, murabb, mudarris, dan mu-addib. Istilah-
istilah ini, dalam penggunaannya, memiliki makna tertentu.
A. Tugas dan Kewajiban Guru

1. Tugas Guru Dalam Pendidikan Islam


Pada dasarnya, tugas pendidik adalah mendidik dengan mengupayakan
pengembangan seluruh potensi peserta didik, baik aspek kognitif, afektif maupun
psikomotoriknya. Potensi peserta didik ini harus dikembangkan secara seimbang
sampai ketingkat keilmuan tertinggi dan mengintegrasi dalam diri peserta didik.
Upaya pengembangan potensi peserta didik tersebut dilakukan dengan penyucian
jiwa-mental, penguatan metode berfikir, penyelesaian masalah kehidupan, mentransfer
pengetahuan dan keterampilannya melalui teknik mengajar, motivasi, memberi
contoh, memuji dan mentradisikan keilmuan.[1]
Tugas pendidik dalam proses pembelajaran secara berurutan adalah
(1) menguasai mata pelajaran
(2) menggunakan metode pembelajaran agar peserta didik mudah menerima
dan memahami pelajaran,
(3) melakukan evaluasi pendidikan yang dilakukan, dan
(4) menindak lanjuti hasil evaluasinya.[2]
Dalam undang-Undang System Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 27 ayat
(3) dikemukakan bahwa guru adalah tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan
tugas utama mengajar. Disamping itu, ia mempunyai tugas yang lain yang bersifat
pendukung, yaitu membimbing dan mengelola administrasi sekolah. Tiga tugas ini
mewujudkan tiga layanan yang harus harus diberikan oleh guru kepada pelajar dan
tiga peranan yang harus dijalankannya. Tiga layanan yang dimaksud iyalah;
1. layanan instruksional
2. layanan bantuan (bimbingan dan konseling), serta
3. layanan administrasi.
Adapun tiga peranan guru ialah :
1. sebagai pengajar

1 Roqib, Moh, Ilmu Pendidikan Islam,(Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm. 50.

2 Ibid, hlm 51
2. sebagai pembimbing
3. sebagai administrator kelas
Sebagai pengajar guru mempunyai tugas menyelenggarakan proses belajar
mengajar. tugas yang mengisi porsi terbesar dari profesi keguruan ini pada garis
besarnya meliputi empat pokok, yaitu:
1. menguasai bahan pengajaran
2. merencanakan program belajar mengajar
3. melaksanakan, memimpin, dan mengelola proses belajar mengajar, dan
4. menilai kegiatan belajar mengajar
sebagai pembimbing guru mempunyai tugas memberi bimbingan kepada
pelajar dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya, sebab proses belajar pelajar
berkaitan erat dengan berbagai masalah diluar kelas yang sifatnya non akademis.
Tugas guru sebagai administrator, mencakup ketatalaksanaan bidang,
pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya seperti mengelola sekolah,
memanfaatkan prosedur dan mekanismepengelolaan tersebut untuk melancarkan
tugasnya, serta bertindak sesuai dengan etika jabatan.
Disamping memiliki tugas tugas diatas, guru memiliki juga kewajiban yang
berhubungan juga dengan kedudukannya sebagai salah satu komponen tenaga
kependidikan. Kewajiban dimaksud dikemukakan didalam UUSPN Pasal 31 sebagai
berikut :
a) membina loyalitas pribadi dan peserta didik terhadap ideology Negara
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
b) menjunjung tinggi kebudayaan bangsa
c) melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian
d) meningkatkan kemampuan professional sesuai dengan tuntutan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa;
e) menjaga nama baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat,
bangsa dan Negara.[3]
Ahmad Tafsir didalam bukunya "Ilmu Pendidikan Islam" menjelaskan bahwa
tugas seorang guru adalah mendidik. Yang paling utama dari sekian tugas guru adalah

3 Departemen Agama RI, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : 2001), hlm
2-4
mengajar dan semua tugas yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pengajaran.
Tugas guru dapat dirincikan sebagai berikut:
a) membuat persiapan mengajar
b) mengajar
c) mengevaluasi hasil pengajaran.
Setelah tugas ini jelas dan dilaksanakan dengan baik, barulah guru dituntut
melaksanakan tugas tugas mendidik yang lainnya.[4]
Selanjutnya, Undang-Undang No 14/2005 tentang guru dan dosen yang telah
diundang pada 30 september 2005 yang menjadi payung regulasi dalam peran, fungsi,
status, dan eksistensi guru. Disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) guru adalah pendidik
professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.[5]
Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa, tugas pendidik yang
utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati
manusia (peserta didik) untuk taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah).
Dalam pandangan Islam, secara umum guru juga bertugas mendidik, yaitu
mengupayakan seluruh potensi anak didik, yang meliputi potensi kognitif, afektif,
dan psikomotorik.[6]
Sama dengan teori pendidikan Barat, tugas pendidik dalam pandangan islam
secara umum adalah mendidik, yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi
peserta didik, baik potensi psikomotorik, kognitif, maupun afektif. Perbedaannya
bukan pada tugas yang dilaksanakan, tetapi pada filsafat yang dianut; system filsafat
Barat memang berbeda dengan system filsafat muslim.[7]
Ada pernyataan tentang tugas guru, yaitu:

4 Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA 2012), hlm 135-136

5 Nanat Fatah Natsir, Peningkatan Kualitas Guru dalam Perspektif Pendidikan


Islam, Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007.

6 Zainuddin, H.M, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer, (Malang: UIN Malang
Press, 2009), hlm. 167.

7 Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 126.
1. Guru harus mengetahui karakter murid
2. Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya baik dalam bidang yang
diajarkannya maupun dengan cara mengajarkannya.
3. Guru harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu
yang diajarkannya
Ag. Soejono merinci tugas pendidik sebagai berikut:
1. Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak anak didik dengan cara
berbagai cara seperti observasi, wawancara, dan lain-lain.
2. Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan
menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.
3. Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara
memperkenalkannya berbagai bidang keahlian, keterampilan, agar anak didik
memilihnya dengan tepat.
4. Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan
anak didik berjalan dengan baik.
5. Memberikan bimbingan dari penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan
dalam mengembangkan potensinya.[8]
Dari berbagai penjelasan diatas mengenai tugas pendidik (guru) dalam islam
secara singkat dapat disimpulkan bahwa tugas pendidik (guru) dalam islam adalah
mendidik muridnya, dengan cara mengajar, membimbing dan dengan cara lainnya,
menuju tercapainya perkembangan maksimal sesuai dengan nilai nilai islam.
2. Tanggung Jawab Guru dalam Pendidikan Islam
Tanggung jawab merupakan suatu kondisi wajib menanggung segala sesuatu
sebagai akibat dari keputusan yang diambil atau tindakan yang dilakukan (apabila
terjadi sesuatu dapat disalahkan).[9]
Tanggung jawab juga dapat diartikan sebagai suatu kesediaan untuk
melaksanakan dengan sebaik baiknya terhadap tugas yang diamanatkan kepadanya
dengan kesediaan menerima segala konsekuensinya.[10]

8 ibid

9 Novan Ardi Wiyani & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta : Ar Ruzz Media 2012), hlm 97

10 ibid
Guru adalah pekerja professional yang secara khusus dipersiapkan untuk
mendidik anak anak yang telah diamanatkan orang tua untuk dapat mendidik anaknya
di sekolah. Guru atau pendidik sebagai orangtua kedua dan sekaligus penanggung
jawab pendidikan anak didiknya setelah kedua orangtua didalam keluarganya
memiliki tanggung jawab pendidikan yang baik kepada peserta didiknya. Dengan
demikian apabila orang tua menjadi penanggung jawab utama ketika anak anak berada
di luar sekolah, guru merupakan penanggung jawab utama anak anak melalui proses
pendidikan formal anak yang berlangsung di sekolah karena tanggung jawab
merupakan konsekuensi logis dari sebuah amanat yang dipikulkan di atas pundak para
guru.[11]
Bagi guru pendidikan agama islam (PAI) tugas dan kewajiban sebagaimana
yang dikemukakan diatas merupakan amanat yang diterima oleh guru atas dasar
pilihannya untuk memangku jabatan guru. Amanat tersebut wajib dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab. Alah SWT menjelaskan dalam (Al Qur'an Surat An
Nisa', 4 : 58).
Tanggung jawab guru ialah keyakinannya bahwa setiap tindakannya dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban didasarkan atas pertimbangan professional
(professional judgement) secara tepat. Pekerjaan guru menuntut kesungguhan dalam
berbagai hal. Karenanya, posisi dan persyaratan para "pekerja pendidikan" atau orang
orang yang disebut pendidik karena pekerjaan ini patut mendapat pertimbangan dan
perhatian yang sungguh sungguh pula. Pertimbangan tersebut dimasudkan agar usaha
pendidikan tidak jatuh kepada orang orang yang buaka ahlinya, yang dapat
megakibatkan banyak kerugian. Rasulullah SAW mengingatkan hal ini dalam hadits
yang artinya sebagai berikut:
Ketika Nabi SAW berada didalam majelis dan berbicara kepada kaum,
seorang arab badawi dating secara bertanya, "kapan kiamat tiba?" Rasulullah SAW
tarus saja berbicara (seakan akan tidak mendengan pertanyaan orang itu). Sebagian
orang berkata, "Beliau mendengar pertanyaan tadi, tetapi tidak suka dengan apa
yang ditanyakannya." Sebagian lain berkata, "Bahkan Beliau tidak mendengarnya."
Baru ketika pembicaraannya selesai, Beliau bertanya, " mana orang yang bertanya
tentang kiamat tadi?" orang yang bertanya tadi menjawab, " Ini saya ya Rasulullah
SAW." Beliau menjawab, " apabila amanat disia siakan, maka tunggulah kiamat."

11 ibid
Orang itu bertanya lagi, "Bagaimana menyia nyiakan amanat itu?" Beliau menjawab,
"Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka
tunggulah kiamat itu." (HR. Bukhari)
Tanggung jawab guru pendidikan agama Islam terhadap amanatnya sebagai
mana dikemukakan diatas, tegasnya diwujudkan dalam upaya mengembangkan
profesionalismenya, yaitu mengembangkan mutu, kualitas dan tindak tanduknya.[12]
Profesionalisme berasal dari kata profesi, yakni jabatan atau pekerjaan yang
menuntut keahlian dari para anggotanya. Sebagai sebuah profesi, tidak bisa dikerjakan
oleh sembarangan orang yang tidak terlatih dan tidak dipersiapkan secara khusus
untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.[13]
Semantara makna profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dikerjakan
oleh mereka yang secara khusus dipersiapkan untuk itu.
Berbicara tentang kinerja yang profesional maka perlu diketahui terlebih
dahulu pengertian profesi sebagai bentuk dasar kata profesional tersebut. Sikun
Pribadi sebagaimana dikutip oleh Oemar Hamalik mendefinisikan profesi sebagai
berikut:
Profesi itu pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau janji terbuka, bahwa
seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti
biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa sebuah profesi mengandung
sejumlah makna yang dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Profesi adalah suatu
jabatan atau pekerjaan. (2) Profesi dipilih oleh seseorang atas kesadaran yang dalam.
(3) Dalam profesi terkandung unsur pengabdian.
Dengan demikian, bekerja secara profesional berarti bekerja secara baik dan
dengan penuh pengabdian pada satu pekerjaan tertentu yang telah menjadi pilihannya.
Guru yang profesional akan bekerja dalam bidang kependidikan secara optimal dan
penuh dedikasi guna membina anak didiknya menjadi tenaga-tenaga terdidik yang ahli
dalam bidang yang menjadi spesialisnya.

12 Ibid 5

13 Cece Wijaya, Kemampuan Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994), hal. 1.
Pekerjaan guru menutut kesungguhan dalam berbagai hal. Karenanya, posisi
dan persyaratan para pekerja pendidikan atau orang-orang yang disebut pendidik
karena pekerjaanya itu patut mendapat pertimbangan dan perhatian yang sungguh-
sungguh pula.Berikut beberapa tanggungjawab guru sebagai berikut :
1. Tanggung jawab dalam upaya pengembangan kurikulum
2. Tanggung jawab mengembangkan profesi
3. Tanggung jawab dalam membina hubungan dengan masyarakat.
Tanggung jawab dalam upaya pengembangan kurikulum mengandung arti
guru selalu dituntut untuk mencari gagasan baru atau ide-ide baru, menyempurnakan
praktek pendidikan khususnya dalam bidang pengajaran.Tanggung jawab dalam
pengembangan profesi pada dasarnya adalah panggilan untuk mencintai, menghargai,
menjaga dan meningkatkan tugas dan tanggung jawab profesinya dan tugas dan
tanggung jawabnya tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Sebagian tugas dan tanggung
jawab profesi guru harus dapat membina hubungan baik dengan masyarakat dalam
meningkatkan pendidikan.
B. Interaksi Guru Dengan Peserta Didik
1. Intaraksi Guru dan Murid pada Masa Klasik.
Pada masa awal-awal Islam proses pendidikan dilakukan dengan cara atau
metode dan sarana yang sangat sederhana, pembelajaranpun dilakukan pada
mesjid-mesjid dan di rumah-rumah, lembaga pendidikan yang lebih maju baru
pada masa khalifah Abbasiyah yang telah mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan yang lebih modern.
Dalam mengajar, seorang guru menggunakan beberapa cara (pola) dalam
interaksi dengan murid-muridnya misalnya:
1. Halaqah (lingkaran studi).
Cara atau pola interaksi dalam bentuk halaqah seperti ini diterapkan
oleh beberapa tokoh terkenal dalam Islam seperti Ibn Sina dan al-Ghazali,
Ibnu Sina menyelenggarakan halaqah mulai saat fajar hingga pertengahan
waktu pagi. Dalam Halaqah ini dilakukan beberapa kegiatan seperti
berdiskusi dan membaca kitab.[14]
2. Penyajian materi (kuliah).

14 Charles Micheal Stanton,Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta:Logos,1994)156.


Pola interaksi seperti ini, dimana seorang syekh (guru), memulai
perkuliahan dengan memberikan garis-garis umum, dilanjutkan dengan
penjelasan secara detail, tentang sub-sub judul, dan pemaparan bagaimana
topik itu saling berhubungan secara terpadu.[15]
3. Menghafal.
Al-Qabisi seorang praktisi dan tokoh pendidikan Islam menjelaskan
tentang metode-metode yang dapat digunakan para guru dalam
melaksanakan tugas pengajaran di antaranya adalah; menghafal, individual
dan klasikal, pengikut sertaan dalam mengajar. Metode menghafal ini
lebih tepat digunakan pada pengajaran al-Quran dan pelajaran
menghitung, sebab para siswa harus mengingat ayat-ayat al-Quran atau
cara-cara menjumlah, dalam pembelajaran al-Quran para siswa disuruh
menghafal al-Quran dan mengulanginya hingga siswa tersebut
menghafalnya sampai lancar. Pada tingkat dasar guru tidak menjelaskan
tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat yang dihafal para
siswa.[16]
4. Individual dan klasikal
Metode ini harus digunakan oleh para guru untuk memantapkan
pelajaran kepada murid-muridnya, sebab pembelajaran secara kelompok
dapat menyembunyikan ketidaktahuan individu pada materi yang
diberikan guru, dengan demikian anak-anak mula-mula diajarkan secara
berkelompok dan kemudian dilanjutkan dengan cara individual.[17]
5. Mengikut sertakan murid dalam kegiatan belajar mengajar.
Murid-murid yang pandai diikut sertakan dalam mengajar, misalnya
untuk mendiktekan pelajaran kepada teman-temannya yang lain, karena
yang demikian sangat bermanfaat bagi mereka, untuk membiasakan diri
dan memiliki kemampuan dalam mengajar jika telah cukup
berpengalaman.[18]
6. Keteladanan.

15Ibid

16 Usman Husen, sejarah pendidikan95.

17 ibid
Di dalam al Quran banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang cara-
cara seseorang untuk menyampaikan pesan-pesan yang baik kepada orang
lain salah satu cara atau metodenya adalah dengan memberikan contoh
teladan, Muhammad Qutbh menjelaskan bahwa, dalam diri Rasulullah itu
terdapat metodologi Islam. metode ini lebih tepat pada pelajaran-pelajaran
yang memiliki aspek moral misalnya akhlak yang termasuk dalam kawasan
afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku.[19]
2. Pola Interaksi Belajar-Mengajar Konvensional.
Dalam interaksi belajar yang lebih maju, proses interkasi antara guru dan
murid dapat dilakukan dalam berbagai bentuk atau metode, diharapkan dengan
menggunakan metode yang tepat atau sesuai, maka diharapkan hasil proses
pembelajaran akan semakin maksimal dan tepat sasaran.[20]
Beberapa metode yang umum dan biasa diterapkan dalam proses pembelajaran
adalah
1. Metode ceramah
Ceramah diartikan sebagai cara yang dilakukan pendidik dalam
menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik secara lisan. Tugas
murid adalah sebagai penerima pesan, mendengarkan, memperhatikan, dan
mencatat keterangan-keterangan guru jika diperlukan. Metode ceramah
lebih tepat digunakan dalam penjelasan mengenai fakta atau pendapat
dalam waktu yang singkat dan jumlah siswa yang begitu besar.[21]
2. Metode diskusi
Salah satu cara mempelajari materi ajar dengan memperdebatkan
masalah yang timbul dan saling mengadu argumentasi secara rasional dan
objektif. Cara ini menimbulkkan perhatian dan perubahan tingkah laku
murid dalam belajar. selain itu metode ini dapat merangsang dan

18 ibid

19 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta : Logos,1997),hal.95

20 Basyirudin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam,(Jakarta: Ciputata Press,2005),hal.7

21 Zuhairini dkk, Metodik Kusus PAI, (Surabaya:Usana Offset Printing,1983),hal.83


membentuk pola pikir siswa agar dapat mengeluarkan pendapat dan
berfikir secara kritis, rasional dan objektif.[22]
3. Metode eksperimen
Metode ini biasanya digunakan pada pelajaran tertentu seperti ilmu
alam, kimia, fisika dan sejenisnya, biasanya pada ilmu alam yang didalam
penelitiannya menggunakan metode objektif, baik dilakukan didalam kelas
maupun dilaboratorium. Metode eksperimen baiknya diterapkan pada
pelajaran-pelajaran yang belum diterangkan/diajarkan oleh metode lain
sehingga terasa benar fungsinya. [22]
4. Metode Resitasi
Metode Resitasi biasa disebut dengan metode pekerjaan rumah, karena
siswa diberi tugas-tugas kusus diluar jam pelajaran. Sebenarnya penekanan
metode ini terletak pada jam pelajaran, dimana siswa disuruh untuk
mencari informasi atau fakta-fakta berupa data-data yang dapat ditemukan
dilaboratorium, perpustakaan, pusat sumber belajar, dsb. Metode ini
digunakan apabila guru menginginkan pengetahuan yang dimiliki siswa
lebih mantap.[23]
5. Metode Proyek
Metode ini disebut dengan metode pembelajaran unit. Anak didik
disuguhi bermacam-macam masalah dan anak didik bersama-sama
menghadapi masalah tersebut dengan mengikuti langkah-langkah tertentu
secara ilmiah, logis, dan sistimatis. Ini merpukan salah satu cara mengajar
yang modern karena siswa dalam menghadapi persoalan dan
menyelesaikannya dengan pendekatan ilmiah.
Langkah-langkah dalam pembelajaran ini adalah;
a) Membuktikan adanya masalah, seperti: kesulitan, rasa bimbang,
bingung.
b) Menyusun hipotesis.yaitu dugaan atau rekaan terhadapa
jawaban suatu masalah.

22 Usman, Metodologi Pembelajaran ,hal.36

23 Zakiah Darajat dkk, Metodik Kusus PAI,(Jakarta :Bumi Aksara,1995),hal.295


c) Mengumpulkan data dan informasi; untuk membuktikan benar
tidaknya hipotesisi tersebut.
d) Menyimpulkan; berisi laporan-laporan hasil pengkajian yang
dilakukan siswa dalam menyelesaikan(mencari)jawaban
terhadap persoalan yang diberikan guru
C. Etos Kerja Guru
1. Posisi Etos Kerja dalam Kitabullah
Al-Quran menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Quran
menyebutnya sebagai amalun, terdapat tidak kurang dari 260 musytaqqat
(derivatnya), mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut filun
dalam sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut
dengan kata shunun, tidak kurang dari 17 derivat, dengan penekanan makna
pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik.
Disebut juga dengan kata taqdimun, dalam 16 derivatnya, yang mempunyai
penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.
Pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang berkualitas. Untuk
menjelaskannya, Al Quran mempergunakan empat istilah: Amal Shalih, tak
kurang dari 77 kali; amal yang Ihsan, lebih dari 20 kali; amal yang Itqan,
disebut 1 kali; dan al-Birr, disebut 6 kali. Pengungkapannya kadang dengan
bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran. Pada sisi lain, dijelaskan juga
pekerjaan yang buruk dengan akibatnya yang buruk pula dalam beberapa
istilah yang bervariasi. Sebagai contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan
(al-Maidah: 90, al-Qashash:15), perbuatan yang sia-sia (Ali Imran: 22, al-
Furqaan: 23), pekerjaan yang bercampur dengan keburukan (at-Taubah:102),
pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (an-Naml:4,
Fusshilat: 25).
Al-Quran sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau
amal shalih, memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Quran menegaskan
bahwa hidup ini untuk ibadah (adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan
sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja
dalam segala manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177).
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah
wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini
pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ain, yang tidak bisa diwakilkan
kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban
amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan
mempertanggung jawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang
langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya
bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga
lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi
individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib
memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing,
dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam
ukuran kepentingan umum.
Syarat pokok agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu
sebagai berikut.
Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk
berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh
agama.
Dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah.
Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang
diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah
(ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama
dalam hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan
Al-Quran.
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada
pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak.
Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa
mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan
halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral
di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama,
berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak
positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga
seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya
bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan
terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.
2. Konsep Etos Kerja Guru Dalam Islam
Kemuliaan seorang pengajar atau guru itu bergantung kepada apa yang
dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan
seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi
perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh
keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu
merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di
akhirat kelak; apakah masuk golongan ahli syurga atau sebaliknya.
Istilah kerja dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada
mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan
waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal
lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang
mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat
sekelilingnya serta negara.
Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang
menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga,
masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu,
kategori ahli Syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Quran bukanlah
orang yang mempunyai pekerjaan atau jabatan yang tinggi dalam suatu
perusahaan atau instansi sebagai manajer, direktur, teknisi dalam suatu bengkel
dan sebagainya. Tetapi sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik
lagi beruntung (al-falah) itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah,
khusyu sholatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan dan
kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti
mengeluarkan zakat dan lainnya.
3. Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan
ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau
bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT.Suatu hari Rasulullah SAW
berjumpa dengan Saad bin Muadz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat
tangan Saad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang
matahari. Kenapa tanganmu?, tanya Rasul kepada Saad. Wahai
Rasulullah, jawab Saad, Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah
dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku. Seketika itu beliau mengambil tangan Saad dan menciumnya
seraya berkata, Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka.
Ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW, yaitu :
1) Pertama, sebagai rasul. Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam
kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah menyebarkan Islam;
menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang
dari 6666 ayat Alquran; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabat;
dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan
umat-dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
2) Kedua, sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat
heterogen. Tatkala memegang posisi ini Rasulullah SAW harus
menerima kunjungan diplomatik negara-negara sahabat. Rasul pun
harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu
menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur
perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
3) Ketiga, sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali
Rasul memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai
panglima perang beliau harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan
kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi perang, persedian
logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
Keempat, sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul harus
mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir batin-
terhadap para istri beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau
dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Di
tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit
sendiri bajunya.
4) Kelima, sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya Abu
Thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam,
negeri yang saat ini meliputi Syria, Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17
hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis
Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain pemain
senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun
merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasulullah SAW terbukti
dengan terpikatnya konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid,
yang kemudian melamarnya menjadi suami. Afzalurrahman dalam
bukunya, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (2000: 5-12),
mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke
berbagai negeri seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai
mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun. Adalah
kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan kelima perannya
tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran
bila para ilmuwan, baik itu yang Muslim maupun non-Muslim,
menempatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh, paling
pemberani, paling bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah paling
lainnya.
4. Apa rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan Rasulullah SAW?
1) Pertama, Rasul selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan
tidak asal-asalan. Beliau bersabda, Sesungguhnya Allah
menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah
meningkatkan kualitasnya.
2) Kedua, dalam bekerja Rasul melakukannya dengan manajemen yang
baik, perencanaan yang jelas, pentahapan aksi, dan adanya penetapan
skala prioritas.
3) Ketiga, Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil
apapun. Barangsiapa yang dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia
mampu memanfaatkannya, karena ia tidak tahu kapan ditutupkan
kepadanya, demikian beliau bersabda
4) Keempat, dalam bekerja Rasul selalu memperhitungkan masa depan.
Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala aktivitasnya benar-
benar terarah dan terfokus.
5) Kelima, Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja
secara tuntas dan berkualitas.
6) Keenam, Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan
(membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita bersama.
7) Ketujuh, Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak
berlalu sedetik pun waktu, kecuali menjadi nilai tambah bagi diri dan
umatnya. Dan yang terakhir, Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai
aktualisasi keimanan dan ketakwaan.
Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja
untuk meraih keridhaan Allah SWT. Inilah kunci terpenting.
Sedangkan menurut Muhammad hamzah seorang pengajar atau guru
itu harus mempunyai 5 Prinsip Etos Kerja, yaitu:
1. Kerja, aktifitas, amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada
nimat Allah SWT. (13/ )
2. Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil: hasanah fi ad
dunyaa dan hasanah fi al-akhirah.
(201/ )
3. Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki: al-qawiyy dan al-amiin.

(26/ )
Al-qawiyy merujuk kepada : reliability, dapat diandalkan. Juga berarti,
memiliki kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual).
Sementara al-amiin, merujuk kepada integrity, satunya kata dengan perbuatan
alias jujur, dapat memegang amanah.
4. Kerja keras. Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba
hingga berhasil. Kita dapat meneladani ibunda Ismail a.s. Sehingga seorang
pekerja keras tidak mengenal kata gagal (atau memandang kegagalan
sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda).
5. Kerja dengan cerdas. Cirinya: memiliki pengetahuan dan keterampilan;
terencana; memanfaatkan segenap sumberdaya yang ada.
Untuk menerapkan seluruh etos kerja tersebut harus memiliki
persamaan persefsi antara seorang guru dengan anak didik, salah satunya
adalah anak didik tersebut harus mempunyai adab atau akhlak yang baik.
Sebagaimana di katakana oleh Naquib Al-Attas bahwa seorang yang terpelajar
itu harus baik. Baik yang dimaksudkannya disini adalah adab dalam
pengertian yang menyeluruh, yang meliputi kehidupan spiritual dan material
seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.
Oleh karena itu, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam di
definisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab. Tulisnya: Orang baik
adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada
tuhan Yang Haq; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya
sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya
meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai
manusia yang beradab.
Oleh karena itu betapa pentingnya adanya persamaan persepsi antara
guru dan anak didik, sehingga terciptanya suatu etos kerja yang dapat
membangun rasa saling menghormati dan menghargai antar sesama. Dan perlu
diketahui, jika etos kerja dimaknai dengan semangat kerja, maka etos kerja
seorang pengajar atau guru bersumber dari visinya: meraih hasanah fid dunya
dan hasanah fi al-akhirah. Dan jika etos kerja difahami sebagai etika kerja;
sekumpulan karakter, sikap, mentalitas kerja, maka dalam bekerja, seorang
guru senantiasa menunjukkan kesungguhan untuk memberikan seluruh
kemampuannya untuk masa depan anak didik sebagai generasi penerus
bangsa.
Dan semoga Allah SWT memberikan kemampuan kepada kita semua
sebagai calon pendidik untuk meneladani etos kerja Rasulullah SAW sebagai
suri tauladan sekaligus guru bagi kita semua. Amien.
D. Peserta didik sebagai subjek dan objek pendidikan
a. Objek Pendidikan
Yang dimaksud dengan objek atau sasaran pendidikan ialah segala sesuatu yang
bertalian dengan kegiatan/proses pendidikan, yang dijadikan titik pusat
perhatian/pengamatan. Karena pihak penilai/evaluator ingin memperoleh
informasi tentang kegiatan/proses pendidikan tersebut. Salah satu cara untuk
mengetahui objek dari pendidikan adalah dengan jalan menyorotinya dari tiga segi
yaitu segi input ; transformasi; dan output.
1) Input
Dalam dunia pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran di
sekolah, input tidak lain adalah calon siswa. Calon siswa sebagai pribadi
yang utuh, dapat ditinjau dari segi yang menghasilkan bermacam-macam
bentuk tes yang digunakan sebagai alat untuk mengukur. Aspek yang
bersifat rohani setidak-tidaknya mencakup 4 hal:
1. Kemampuan
Untuk dapat mengikuti program pendidikan suatu
lembaga/sekolah/institusi maka calon peserta didik harus memiliki
kemampuan yang sepadan atau memadai, sehingga nantinya peserta
didik tidak akan mengalami hambatan atau kesulitan.Alat ukur yang
digunakan untuk mengukur kemampuan ini disebut Attitude Test.
2. Kepribadian
Kepribadian adalah sesuatu yang terdapat pada diri manusia dan
menampakkan bentuknya dalam tingkah laku. Dalam hal-hal tertentu,
informasi tentang kepribadian sangat diperlukan, sebab baik-buruknya
kepribadian secara psikologis akan dapat mempengaruhi mereka dalam
mengikuti program pendidikan. Alat untuk mengetahui kepribadian
seseorang disebut Personality Test.
3. Sikap
Sebenarnya sikap ini merupakan bagian dari tingkah laku manusia
sebagai gejala ataugambaran kepribadian yang memancar keluar.
Namun karena sikap ini merupakan sesuatu yang paling menonjol dan
sangat dibutuhkan dalam pergaulan maka informasi mengenai sikap
seseorang penting sekali. Alat untuk mengetahui keadaan sikap
seseorang dinamakan Attitude Test. Oleh karena tes ini berupa skala,
maka disebut dengan Attitude Scale.
4. Inteligensi
Sebenarnya sikap ini merupakan bagian dari tingkah laku manusia
sebagai gejala ataugambaran kepribadian yang memancar keluar.
Namun karena sikap ini merupakan sesuatu yang paling menonjol dan
sangat dibutuhkan dalam pergaulan maka informasi mengenai sikap
seseorang penting sekali. Alat untuk mengetahui keadaan sikap
seseorang dinamakan Attitude Test. Oleh karena tes ini berupa skala,
maka disebut dengan Attitude Scale.
2) Transformasi
Transformasi yang dapat diibaratkan sebagai mesin pengolah bahan
mentah menjadi barang jadi, akan memegang peranan yang sangat
penting. Ia dapat menjadi factor penentu yang dapat menyebabkan
keberhasilan atau kegagalan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan
yang telah ditentukan ; karena itu objek-objek yang termasuk dalam
transformasi itu perlu dinilai/dievaluasi secara berkesinambungan. Unsur-
unsur dalam transformasi yang menjadi objek penilaian demi diperolehnya
hasil pendidikan yang diharapkan antara lain :
1. Kurikulum/materi pelajaran,
2. Metode pengajaran dan cara penilaian,
3. Sarana pendidikan/media pendidikan.
4. System administrasi,
5. Guru dan personal lainya dalam proses pendidikan.
6. Output
Sasaran dari segi output adalah tingkat pencapaian atau prestasi
belajar yang berhasil diraih peserta didik setelah mereka terlibat dalam
proses pendidikan selama jangka waktu yang telah ditentukan. Alat yang
digunakan untuk mengukur pencapaian ini disebut Achievement Test.

b. Subjek Pendidikan
Subjek/pelaku pendidikan adalah orang yang melakukan pekerjaan
evaluasi. Siapa yang dapat disebut subjek evaluasi untuk setiap tes
ditentukan oleh suatu aturan pembagian tugas atau ketentuan yang
berlaku, karena tidak setiap orang dapat melakukannnya
Dalam kegiatan evaluasi pendidikan di mana sasaran evaluasinya
adalah sasaran belajar, maka subjek evaluasinya adalah guru atau dosen
yang mengasuh mata pelajaran tertentu. Jika evaluasi yang dilakukan itu
sasarannya adalah peserta didik, maka subjek evaluasinya adalah guru atau
petugas yang sebelum melaksanakan evaluasi tentang sikap itu, terlebih
dahulu telah memperoleh pendidikan atau latihan mengenai cara-cara
menilai sikap seseorang.
Adapun apabila sasaran yang dievaluasi adalah kepribadian peserta
didik, di mana pengukuran tentang kepribadian itu dilakukan dengan
menggunakan instrumen berupa tes yang sifatnya baku (Standardized
Test), maka subjek evaluasinya tidak bisa lain kecuali seorang psikolog;
yaitu seseorang yang memang telah dididik untuk menjadi tenaga ahli
yang profesional dibidang psikologi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa disamping alat-alat evaluasi yang digunakan untuk mengukur
kepribadian seseorang itu sifatnya rahasia, juga hasil-hasil pengukuran
yang diperoleh dari tes kepribadian itu, hanya dapat diinterpretasi dan
disimpulkan oleh para psikolog tersebut, tidak mungkin dapat dikerjakan
oleh orang lain.

E. Adab peserta didik terhadap guru


Guru merupakan aspek besar dalam penyebaran ilmu, apalagi jika yang
disebarkan adalah ilmu agama yang mulia ini. Para pewaris nabi begitu julukan
mereka para pemegang kemulian ilmu agama. Tinggi kedudukan mereka di hadapan
Sang Pencipta.
Ketahuilah saudaraku para pengajar agama mulai dari yang
mengajarkan iqra sampai para ulama besar, mereka semua itu ada di pesan
Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam. Beliau bersabda,

Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang
lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak
ulama (HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami).
Tersirat dari perkatanya shallahu alaihi wa salam, bahwa mereka para
ulama wajib di perlakukan sesuai dengan haknya. Akhlak serta adab yang baik
merupakan kewajiban yang tak boleh dilupakan bagi seorang murid.
Guru kami DR. Umar As-Sufyani Hafidzohullah mengatakan, Jika
seorang murid berakhlak buruk kepada gurunya maka akan menimbulkan
dampak yang buruk pula, hilangnya berkah dari ilmu yang didapat, tidak
dapat mengamalkan ilmunya, atau tidak dapat menyebarkan ilmunya. Itu
semua contoh dari dampak buruk.
Maka seperti adab yang baik kepada seorang guru
1. Menghormati guru
Para Salaf, suri tauladan untuk manusia setelahnya telah memberikan
contoh dalam penghormatan terhadap seorang guru. Sahabat Abu Said Al-
Khudri Radhiallahu anhu berkata,

Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah


shallallahu alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka
seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari
.kami yang berbicara (HR. Bukhari)

2. Adab adab ketika berhadapan dengan guru

a. Adab Duduk

Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah di dalam kitabnya Hilyah Tolibil


Ilm mengatakan, Pakailah adab yang terbaik pada saat kau duduk
bersama syaikhmu, pakailah cara yang baik dalam bertanya dan
mendengarkannya.

Syaikh Utsaimin mengomentari perkataan ini, Duduklah dengan


duduk yang beradab, tidak membentangkan kaki, juga tidak bersandar,
apalagi saat berada di dalam majelis.

Ibnul Jamaah mengatakan, Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi,


tenang, tawadhu, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki,
tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa
dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak
membelakangi gurunya.

b. Adab Berbicara

Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah


lebih baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu
Hanifah pun jika berada depan Imam Malik ia layaknya seorang anak di
hadapan ayahnya.

Para Sahabat Nabi shallahu alaihi wa sallam, muridnya Rasulullah,


tidak pernah kita dapati mereka beradab buruk kepada gurunya tersebut,
mereka tidak pernah memotog ucapannya atau mengeraskan suara di
hadapannya, bahkan Umar bin khattab yang terkenal keras wataknya tak
pernah menarik suaranya di depan Rasulullah, bahkan di beberapa riwayat,
Rasulullah sampai kesulitan mendengar suara Umar jika berbicara. Di
hadist Abi Said al Khudry radhiallahu anhu juga menjelaskan,

Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah


shallallahu alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka
seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami
yang berbicara (HR. Bukhari).

Sungguh adab tersebut tak terdapatkan di umat manapun.

c. Adab Bertanya

Allah Subhanahu wa Taala berfirman,

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu


tidak mengetahui (QS. An Nahl: 43).

Bertanyalah kepada para ulama, begitulah pesan Allah di ayat ini, dengan
bertanya maka akan terobati kebodohan, hilang kerancuan, serta mendapat
keilmuan. Tidak diragukan bahwa bertanya juga mempunyai adab di dalam
Islam. Para ulama telah menjelaskan tentang adab bertanya ini. Mereka
mengajarkan bahwa pertanyaan harus disampaikan dengan tenang, penuh
kelembutan, jelas, singkat dan padat, juga tidak menanyakan pertanyaan yang
sudah diketahui jawabannya.

Di dalam Al-Quran terdapat kisah adab yang baik seorang murid terhadap
gurunya, kisah Nabi Musa dan Khidir. Pada saat Nabi Musa alihi
salam meminta Khidir untuk mengajarkannya ilmu,

Khidir menjawab, Sungguh, engkau(musa) tidak akan sanggup sabar


.bersamaku (QS. Al Kahfi: 67)
Nabi Musa, Kaliimullah dengan segenap ketinggian maqomnya di hadapan
Allah, tidak diizinkan untuk mengambil ilmu dari Khidir, sampai akhirnya
percakapan berlangsung dan membuahkan hasil dengan sebuah syarat dari
.Khidir

Khidir berkata, jika engkau mengikuti maka janganlah engkau


menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya (QS.
Al Kahfi:70).Jangan bertanya sampai diizinkan, itulah syarat Khidir kepada
Musa. Maka jika seorang guru tidak mengizinkannya untuk bertanya maka
jangalah bertanya, tunggulah sampai ia mengizinkan bertanya. Kemudian,
doakanlah guru setelah bertanya seperti ucapan, Barakallahu fiik,
,atau Jazakallahu khoiron dan lain lain. Banyak dari kalangan salaf berkata

Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang
.tuaku dan guru guruku semuanya

d. Adab dalam Mendengarkan Pelajaran

Para pembaca, bagaimana rasanya jika kita berbicara dengan seseorang


tapi tidak didengarkan? Sungguh jengkel dibuatnya hati ini. Maka bagaiamana
perasaan seorang guru jika melihat murid sekaligus lawan bicaranya itu tidak
mendengarkan? Sungguh merugilah para murid yang membuat hati gurunya
jengkel.

Agama yang mulia ini tak pernah mengajarkan adab seperti itu, tak
didapati di kalangan salaf adab yang seperti itu. Sudah kita ketahui kisah Nabi
Musa yang berjanji tak mengatakan apa-apa selama belum diizinkan. Juga para
sahabat Rasulullah yang diam pada saat Rasulullah berada di tengah mereka.
Bahkan di riwayatkan Yahya bin Yahya Al Laitsi tak beranjak dari
tempat duduknya saat para kawannya keluar melihat rombongan gajah yang
lewat di tengah pelajaran, yahya mengetahui tujuannya duduk di sebuah
majelis adalah mendengarkan apa yang dibicarakan gurunya bukan yang lain.

Apa yang akan Yahya bin Yahya katakan jika melihat keadaan para
penuntut ilmu saat ini, jangankan segerombol gajah yang lewat, sedikit
suarapun akan dikejar untuk mengetahuinya seakan tak ada seorang guru di
hadapannya, belum lagi yang sibuk berbicara dengan kawan di sampingnya,
atau sibuk dengan gadgetnya

e. Mendoakan guru

Banyak dari kalangan salaf berkata,

Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang
.tuaku dan guru guruku semuanya

f. Memperhatikan adab-adab dalam menyikapi kesalahan guru

Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda,

Setiap anak Adam pasti berbuat kesalahan, dan yang terbaik dari
mereka adalah yang suka bertaubat (HR. Ahmad)

Para guru bukan malaikat, mereka tetap berbuat kesalahan. Jangan


.juga mencari cari kesalahannya, ingatlah firman Allah

Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah


menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya (QS. Al Hujurot:12).

Allah melarang mencari kesalahan orang lain dan menggibahnya,


larangan ini umum tidak boleh mencari kesalahan siapapun. Bayangkan
bagaimana sikap seseorang jika ia mendengar aib saudara atau
kawannya? Bukankah akan menyebabkan dampak yang buruk akan hubungan
mereka? Prasangka buruk akan mencuat, jarak akan tambah memanjang,
keinginan akrab pun tak terbenak lagi di pikiran.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tugas Guru Dalam Pendidikan Islam Pada dasarnya, tugas pendidik adalah mendidik
dengan mengupayakan pengembangan seluruh potensi peserta didik, baik aspek
kognitif, afektif maupun psikomotoriknya.Dan tanggung jawabnya sendiri Guru atau
pendidik sebagai orangtua kedua dan sekaligus penanggung jawab pendidikan anak
didiknya setelah kedua orangtua didalam keluarganya memiliki tanggung jawab
pendidikan yang baik kepada peserta didiknya
2. Pola interaksi guru dan peseta didik yaitu Intaraksi Guru dan Murid pada Masa Klasik
dan Pola Interaksi Belajar-Mengajar Konvensional.
3. Etos Kerja Guru yaitu Posisi Etos Kerja dalam Kitabullah dan Konsep Etos Kerja
Guru Dalam Islam
4. Objek Pendidikan adalah Yang dimaksud dengan objek atau sasaran pendidikan
ialah segala sesuatu yang bertalian dengan kegiatan/proses pendidikan, yang dijadikan
titik pusat perhatian/pengamatan dan Subjek Pendidikan adalah Subjek/pelaku
pendidikan adalah orang yang melakukan pekerjaan evaluasi.
5. Guru merupakan aspek besar dalam penyebaran ilmu, apalagi jika yang disebarkan
adalah ilmu agama yang mulia ini. Para pewaris nabi begitu julukan mereka para
pemegang kemulian ilmu agama.
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Bandung, Mizan, 2000
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas,
Bandung, Mizan, 2003.
Dr. Asyraf Hj Ab Rahman, Konsep Kerja dalam Islam
Agus Rasidi, Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW, (Ar-Royyan-3465)

Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban.Jakarta, YayasanWakaf Paramadina,


1999

Zakiah Darajat dkk, Metodik Kusus PAI,(Jakarta :Bumi Aksara,1995),hal.295


Basyirudin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam,(Jakarta: Ciputata
Press,2005),hal.7
Charles Micheal Stanton,Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta:Logos,1994)156.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Priode Klasik Dan Pertengahan,
(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004),hal.203

http://baitul-maal.com/artikel/etos-kerja-islam.html (09 april 2017)

https://muslim.or.id/25497-adab-seorang-murid-terhadap-guru.html

Anda mungkin juga menyukai