PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
MuslimDelft [blog archive] Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3 Desember 2008.
Shalahudin, Henri, Al Qur’an Digugat, Al QALAM Kelompok GEMA INSANI: Jakarta, 2007
Zaid, Abu, al-Tafkir fi al-Zaman AL-Tafkir, diddu i-Jahl wa al Zaif wa I-Kharafah,Maktabah Madbuli:
Mesir, 2003.
Moch Nor, Ichwan Meretas Kesarjanaan Kritis Al Qur’an, Teori Hermeneotika Nasr Abu Zaid,Cet. I,
Teraju, Kelompok Mizan: Jakarta, 2003).
Raharjo, Mudjia Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme & Gadamerian,Arruz Media:
Jogjakarta, 2008.
Sumaryono, E, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Pustaka Filsafat: Yogjakarta.
Hidayat, Komarudin, Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian hermeneutic, Paramadina Press:
Jakarta, 1996.
Bertens, Karl Berl, Filsafat barat dalam abad XX, Gramedia: Jakarta, 1981.
Berg, Green, Essays In Lingusitics, Phoenik Books: Cicago, 1957.,
Ibrahim, Abd. Syukur, Sosiolinguistik, Usaha Nasional, 1995.
Nasution, Khoirudin, Pengantar Studi Islam,TAZZAFA-ACADEMIA: Yogyajarta, 2004.
Zayd, Nasr Hamid Abu, Tektualitas Al Qur’an, kritik terhadap Ulum Al Qur’an, tejm, LkiS: Yogjakarta,
2005, cet. IV.
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Pustaka setia: Bandung, 2006, cet. V.
[1] MuslimDelft [blog archive] Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3
Desember 2008.
[2] Henri Shalahudin, Al Qur’an Digugat, (Al QALAM Kelompok GEMA INSANI: Jakarta, 2007), Bab
III, h. 1-4., lihat juga Abu Zaid, al-Tafkir fi al-Zaman AL-Tafkir, diddu i-Jahl wa al Zaif wa I-Kharafah, (Maktabah
Madbuli: Mesir, 2003), cet. II, h. 21., juga Ichwan Moch Nor, Meretas Kesarjanaan Kritis Al Qur’an, Teori
Hermeneotika Nasr Abu Zaid,Cet. I, (Teraju, Kelompok Mizan: Jakarta, 2003), h. 193-194., dan beberapa
keterangan yang diambil dari web.sit. Muslim Delft [Blog Archive] Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd,
htm,Tanggal 3 Desember 2008.
[3] Shalahudin, Al Qur’an, h. 5-7.
[4] Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme & Gadamerian, (Arruz Media:
Jogjakarta,2008), h. 27., lihat juga, E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, (Pustaka Filsafat:
Yogjakarta), h. 23., pengertian ini tapi Agak berbeda dengan yang disampaikan oleh Komarudin Kidayat,
menurutnya hermeneutika meruapakan definisi dari kata ‘Hermes’, seorang dewa dalam mitologi Yunani yang
bertugas penghubung antara sang maha dewa dilangit dan para manusia di bumi. Komarudin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama, sebuah kajian hermeneutic, (Paramadina Press: Jakarta, 1996), h. 13., dan Karl Berl
Bertens, Filsafat barat dalam abad XX, (Gramedia: Jakarta, 1981), h. 225., menurutnya kata hermeneutika (Inggris:
hermeneutics) berasal dari kata kerja Yunani hermeneo: mengartikan, menginterprestasikan, menafsirkan,
menterjemahkan.
[5] Ibid., h.24-26., namun harus dimengerti bahwa hermeneutika juga bersifat memahami apa yang hadir
pada masa ‘lalu’, ’terjadi sekarang’ dan ‘masa depan’, jika kita dasarkan pada kategori yang dibuat oleh Wilhelm
dilthey. Atau hermeneutika sebagai ‘seni berfikir dan berbicara hanya merupakan aspek luar dari berfikir’,
sebagaimana pendapat FDE Schelairmacher atau menurut Hans George bahwa ‘mengerti’ haruslah berangkat dari
pengertian sebelumnya (pra pengertian) hermeneutika bekerja secara maksimal jika seorang filosof berusaha
mengerti berangkat dari pengertian yang telah ia miliki sebelumnya, untuk lebih lengkapnya baca rujukan footnote
makalah ini, Ibid., h. 35-128., dan juga Bertens, filsafat, h. 85-89 dan 224-235.
[6] Green berg, Essays In Lingusitics, (Phoenik Books: Cicago, 1957), h. 1., lihat juga Abd. Syukur
Ibrahim, Sosiolinguistik, (Usaha Nasional, 1995), h. 26., Batasan yang diberikan oleh grendberg ini bisa difahami
bahwa bahasa yang terbentuk dalam suatu masyarakat menjadi semacam symbol atau tanda yang disepakati dan
diwariskan sehingga warga masyarakat yang menggunakan menjadi menyatu (terinternalisasi) dan memahami setiap
kode atau informasi dengan perantaraan bahasa berlaku, sekaligus bahasa tersebut menjadi atribut budaya
masyarakat tersebut.
[7] Sumaryono, Hermeneutika, h.25.
[8] Hidayat, Memahami, h.12.
[9] Perlu difahami bahwa yang menerapkan hermeneutika dalam mengkaji al-Qur’an sebenarnya bukan
hanya Abu Zayd saja. Para sarjana lain yang menerapkan hermeneutic diantaranya: Fazlur rahman (dalam karyanya
“Interpleting the Qur’an“), Amin Muhsin Wadud (Qur’an and Women), dan masih ada beberapa lagi yang juga
menerapkannya, lihat Dr. Khoirudin Nasution, Pengantar Studi Islam,(TAZZAFA-ACADEMIA: Yogyajarta,
2004), h. 82.
[10] Nasr Hamid Abu Zayd, Tektualitas Al Qur’an, kritik terhadap Ulum Al Qur’an, tejm, (LkiS:
Yogjakarta, 2005), cet. IV, h. 32-41. Dalam menerangkan analisisnya Abu Zayd banyak menukil pendapat Abdur
Rohman Jalaluddin as Suyuti, Al Itqon fi Ulum al Qur’an, juz 1, Badrudin Muhamad bin Abdillah az Zarkasy, Al
Burhan fi Ulum al Qur’an, juz 1, Abdur Rohman ibnu Kaldun, Muqodimah, Dar ihya’ al Turast al Arabic, (Beirut,
Libanon).
[11] Bertens, filsafat, h. 226.
[12] Zayd, Tektualitas, h. 65-85.
[13] Bertens, filsafat, h. 89.
[14] Mengenahi pendapat para
ulama’ tentang definisi Makkiy dan Madaniy lihat Rosihon
Anwar, Ulumul Qur’an, (Pustaka setia: Bandung, 2006), cet. V, h. 104.
[15] Zayd, Tektualitas, h. 88-95.
[16] Sumaryono, Hermeneutika, h.36.
[17] Ibid., h. 130-135.
[18] Ibid., h. 142-145.
[19] Ibid., h. 169-195.
Biografi Nashr Hamid Abu Zayd
POSTED BY ABDURRAHMANBINSAID ⋅ 1 FEBRUARI, 2010 ⋅ 1 KOMENTAR
FILED UNDER ABU ZAYD, BIOGRAFI, BIOGRAFI NASHR HAMID ABU ZAYD
Biografi
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di kairo, tepatnya di sebuah tempat bernama Qufaha dekat Tanta pada 10 Juli tahun 1943. Ia anak
yang pendiam, dan suka sekali pada sastra. Sedari muda, ia sangat tertarik dengan kajian bahasa dan filsafat. Ia bahkan fokus
pada perangkat metodologi analisa wacana dan dinamika teori teks dalam semiotika. Jelas, pikirannya menginduk ke Prancis
dengan tokoh besar Derrida, Arkoun dan pengagum Hasan Hanafi. Tak heran, untuk memperkuat minatnya itu, ia masuk ke
Fakultas Sastra Universitas Kairo, dan kemudian mengabdi di sana. Ia menyelesaikan S1 pada tahun 1972 pada Studi Bahasa
Arab (Arabic Studies), dan kemudian S2 pada tahun 1977. Pada tahun 1978 sampai 1980, ia melanjutkan studi S3-nya di
Universitas Pennsylvania, Philadelphia. Dan menyelesaikan disertasi pada tahun 1980/1981 dalam konsentrasi Studi
Islam (Islamic Studies).[1]
Abu Zayd mulai mengenal teori-teori Hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania itu. Ia mengakui, bahwa
Hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan: “Aku banyak membaca sendiri, khususnya di
dalam bidang filsafat dan Hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru
kepadaku.” (I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science
ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me). Sekembali dari Amerika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi
Doktornya pada tahun 1980 dengan judul “Falsafah al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil AI-Qur’an `inda Muhy al-Din ibn
`Arabi” (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap Hermenutika Al-Qur’an menurut Ibn Arabi). Ia mengklaim bahwa dirinyalah
yang pertama kali menulis tentang Hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan tulisannya “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir
al-Nas” (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981.[2] Di dalam karya tersebut, Nasr Hamid memaparkan
secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh Schleiermacher (m. 1843), Wilhelm Dilthey (m. 1911), Mar tin
Heidegger (1889-1976), Emilio Betti (1890-1968), HansGeorg Gadamer (1900-1998), Paul Ricoeur (1913-), dan Eric D. Hirsch
(1928-).[3]
Ia kemudian membuat komunitas kritis dalam lingkungannya. Kajiannya masih seputar wilayah teks, dengan menggali kembali
warisan-warisan intelektual Islam sebagai teks yang harus dikeluarkan dari wacana ideologis. Ia berusaha mencari tafsir yang ke
luar dari hanya pengenalan teks semata, memasuki sisi ikutan sejarah-politik dan watak ekonomi. Abu Zayd percaya, peradaban
selalu membentuk teks-teks keagamaan tadi. Secara sederhana, proyek kajian Abu Zayd adalah mencoba menmongkar konsep
keyakinan. Ia percaya, banyak teks yang hanya diyakini tanpa upaya pemahaman yang konkret adalah keimanan tanpa landasan.
Maka, segera bukunya terbit, Imam Syafii, Kemodernan, Eklektisisme-Arabisme yang memicu masalah itu.[4]
Dan ketika Abu Zayd mendapatkan kesempatan untuk promosi guru besarnya di Universitas Kairo tempatnya belajar dan
mengabdi, Abu Zayd mengajukan buku itu beserta bukunya yang lain berjudul Naqdl al-khitab al-Din, untuk keperluan
pengujian.
Hari itu datang, tanggal 16 Desember 1993. Namun ternyata forum akhirnya tidak berjalan sebagaimana yang dia inginkan. Dr.
Abdus Shabur Syahin sebagai penilai (muqarrir), menilai karya-karya Abu Zayd berkadar ilmiah rendah dan telah ke luar dari
kerangka keimanan. Bukunya yang pertama bahkan telah menghina Imam Syafii dengan tuduhan keji. Ajakan Abu Zayd untuk
membebaskan diri dari kekuasaan teks, di mata Shabur, hal itu adalah ajakan untuk memalingi al-Quran. Kesimpulan yang sama,
celakanya, juga diikuti penilai yang lain, Dr. Muhammad Baltaqi, Dr. Ismail salim, Dr. Sya’ban Ismail, Dr. Muhammad Syuk’ah.
Dalam buku itu, Zayd memang mengkritisi Imam Syafi’i, dan mengatakan ulama itu telah secara sepihak menempatkan budaya
Quraisy sebagai sentral penafsiran pada al-Quran. Ia menilai Syafi’i telah membakukan model pemaknaan al-Quran, teorisasi
Sunah sebagai sumber tasyri’ yang otoritatif dan memperluas Sunah sampai dengan Ijma, tapi menolak qiyas. “Akibatnya, tak
bisa dibedakan lagi mana teks yang primer dan sekunder. Ini menunjukkan watak moderat Syafi’i hanya semu karena
argumentasinya hanya mengutip sosiologis Quraisy”, kritiknya. Pandangan inilah yang membuat Syahin dan Muhammad Imarah
menjadi emosi. Imarah misalnya, menilai Abu Zayd telah merusak sakralitas al-Quran dan menyatakan Al-Quran bukan
“I’m sure that I’m a Muslim. My worst fear is that people in Europe may consider and treat me as a critic of Islam. I’m not. I’m
not a new Salman Rushdie, and don’t want to be welcomed and treated as such. I’m a researcher. I’m critical of old and modern
Islamic thought. I treat the Qur’an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That text is put in a human language,
which is the Arabic language. When I said so, I was accused of saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur’an. This is not a
crisis of thought, but a crisis of conscience”. (Aku yakin bahwa aku seorang Muslim. Saya paling takut jika orang-orang di Eropa
memperlakukan saya sebagai seorang kritikus Islam. Aku tidak demikian. Aku bukan Salman Rushdie yang baru, dan tidak ingin
harus diterima dan diperlakukan seperti itu. Aku seorang peneliti. aku kritis terhadap pemikiran Islam klasik dan modern. Aku
memperlakukan Al-Qur’an sebagai nash (teks) yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Teks itu dimasukkan dalam
bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Ketika aku bilang begitu, aku dituduh mengatakan bahwa Nabi Muhammad menulis Al-
Polemik pun bertebaran di media massa. Hebatnya, Dr. Syahin menjadikan kasus Abu Zayd ini tema dalam khotbah salat Jumat
di masjid Amr bin al-Ash, ia memang imam tetap di sana. Dan dalam waktu singkat, publik pun terbelah, antara yang simpati
dengan Abu Zayd dan kelompok pembencinya. Kelompok pembencinya mengumpulkan semua tulisan kecaman dan
menjadikannya sebuah buku Qishatu Abu Zayd wa Inhisaru al-Almaniyah fi Jami’ati al-Qahirah, Kisah Abu Zayd dan
Kehancuran Sekularisme di Universitas Kairo. Buku ini diberi pengantar oleh Dr. Syahin sendiri dengan kecaman yang sangat
pedas. Buku-buku lain pun terbit, Abu Zayd kian terperosok. Namun, pendukung Abu Zayd tak mau kalah, juga menerbitkan
buku al-Qaul al-Mufid, Ucapan yang Berguna. Abu Zayd sendiri tak menyerah, ia ajukan banding kepengadilan untuk
mendapatkan haknya sebagai pengajar di Universitas. Tapi, keputusan pengadilan justru memperburuk keadaannya. Vonis
murtad jatuh, dan hukum diterapkan: ancaman kematian, keharusan perceraian, dan konsekuensi lain dari kemurtadan. Abu Zayd
menangis.[8]
Pertengkaran ini memucak dalam sidang banding, dan Abu Zayd menyambut debat itu dengan kajian yang kian cemerlang, At-
Tafkir fi zaman at-Takfir, Pemikiran di Masa Pengkafiran. Di sinilah, ia melontarkan pidato yang amat terkenal itu: “Ilmu, tidak
akan memberikan kepadamu sebagian dirinya, kecuali kamu menyerahkan seluruh dirimu kepadanya. Jika kamu telah
menyerahkan kepadanya seluruh dirimu, maka dengan pemberian dirinya kepadamu yang sebagian itu saja, ia sungguh-sungguh
menempatkanmu dalam bahaya”. Dan memang, meski argumentasi buku itu demikian kuatnya dan tak terbantahkan, Abu Zayd
tetap saja dikalahkan. Kekalahannya sekali lagi membuktikan tesisnya tentang “keyakinan tanpa pemahaman”. Ia kembali
dikafirkan, dan dinilai murtad. Konsekwensinya menurut hukum di sana, sebagai seorang yang murtad, perkawinannya
dibatalkan. Seorang murtad dinilai tak boleh menikahi wanita muslimah. Dan ketika tangan pengadilan akan memutus
pernikahannya, tahun 1995, ia dengan berat hari “mengungsi” ke Leiden, Belanda, di mana pemikiran seliar apa pun, sepanjang
ada arguemntasinya, bisa tumbuh merdeka.[9] Ia harus hidup sebagai ilmuwan yang hidup di negeri orang selama kurang lebih
enam tahun.[10]
Abu Zayd kini menjadi guru besar untuk studi Islam di Universitas Leiden, dan terakhir lebih aktif menjadi professor pada
Universitas for Humanistics di Utrecth, selain juga menjadi pembimbing beberapa mahasiswa yang sedang menulis disertasi
tentang penafsiran dalam Islam pada beberapa Universitas di Eropa, seperti Jerman, Prancis, dan Negara lainnya. Ia mendapatkan
perlindungan politik di Belanda dengan imbalan ia harus mengajar.[11] Dan sekarang ia kembali mendapatkan hak-nya sebagai
ilmuwan terhormat setelah kunjungannya ke Kairo tahun 2003 mendapatkan sambutan luar biasa, baik dari kalangan akademisi,
Modernisasi Islam
Tulisan Abu Zayd banyak mengarah pada isu-isu sentral dalam pemikiran Islam, terutama tentang metodologi penafsiran Al-
Qur’an, otoritas Ulama, dan relevansi Agama pada kehidupan kontemporer. Pemikiran seperti ini sering dinilai sebagai model
“kebebasan berpikir” (intellectual freedom). Namun dalam kasusnya, Abu Zayd, terutama oleh otoritas Universitas Kairo dinilai
Setelah akrab dengan literatur Hermeneutika Barat, dimana ia mengenal pertama kali Hermeneutika di Amerika, Abu Zayd
kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam Hermeneutika. Menurut Abu
Zayd, Kalam Ilahi wujud dalam bahasa manusia, karena jika tidak, maka Kalam Ilahi tersebut tidak akan dimengerti. Salah satu
alasan pemikiran Islam itu menjadi stagnan, menurut Abu Zayd, karena penekanan yang terlalu berlebihan kepada dimensi
ilahi (divine dimension). Padahal menurutnya, Al-Qur’an adalah kata Muhammad yang meriwayatkan apa yang beliau katakan
adalah Kalam ilahi (The word of Muhammad reporting what he asserts is the Word of God. This is the Qur’an) . Abu Zayd
menyatakan: “Bagaimanapun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri, dan menjadi manusiawi, karena Tuhan ingin berkomunikasi
kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti. (The Word of God
needed to adaptitself-become human-because God wanted to communicate to humang beings. If God spoke God-language,
human beings would understand nothing). Jadi, dalam pandangannya, Al-Qur’an adalah bahasa manusia (the Qur’an is human
language). Teks Ilahi (divine text) berubah menjadi teks manusiawi (human text) sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada
Muhammad. “Teks sejak awal diturunkan, ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi, ia berubah dari sebuah teks Ilahi (nas
ilahi) menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi (nas insani), karena ia berubah dari “tanzil” menjadi “takwil”. Pemahaman
Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia”. Teks Al-Qur’an terbentuk
dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah “produk budaya” (muntaj thaqat). Ia
juga menjadi “produsen budaya” (muntij li al-thaqafah) karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang
lain. Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Abu Zayd juga menganggap Al-Qur’an
sebagai teks bahasa (nas lughawi). Realitas, budaya, dan bahasa, merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks
spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah teks historis (a historical text). Historisitas teks, realitas dan budaya
Dengan berpendapat seperti itu, Abu Zayd menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama
dengan teks-teks yang lain di dalam budaya (anna al-nusus al-diniyya6 nusus lughawiyyah sha’nuha sha’n ayyat nusus ukhra fi
al-thaqafah). Sekalipun asal muasalnya dari Tuhan, namun studi Al-Qur’an tidak memerlukan metode yang khusus. Jika metode
khusus dibutuhkan, maka hanya sebagian manusia yang memiliki kemampuan saja yang bisa memahaminya. Manusia biasa akan
tertutup untuk memahami teksteks agama. Abu Zayd menyalahkan penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufasir yang
selalu menafsirkan Al-Qur’an dengan muatan metafisis Islam. Dalam pandangannya, metodologi seperti itu tidak akan mela-
hirkan sikap ilmiah. “Sesungguhnya, kepercayaan atas wujud metafisik teks (Al-Qur’an) akan menghapuskan upaya pemahaman
yang ilmiah bagi fenomena teks”. Dengan menyamakan status Al-Qur’an dengan teks-teks yang lain, maka Abu Zayd
menegaskan siapa saja bisa mengkaji Al-Qur’an. “Saya mengkaji Al-Qur’an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat
Charles Hirschkind, yang khusus menulis makalah yang konsen tentang kasus Abu Zayd dalam Heresy or Hermeneutics, the
A key point of departure for Abu Zayd’s argument is the idea that, once the Quran was revealed to Muhammad, it entered history
and became subject to historical and sociological laws or regularities (qawanin). Irreversibly rent from its divine origins, the
text became humanized (muta’annas), embodying the particular cultural, political, and ideological elements of seventh-century
Arabian society. (Titik tolak penting argument Abu Zayd adalah gagasan bahwa, setelah Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi
Muhammad, ia masuk ke dalam sejarah dan tunduk pada hukum sejarah dan sosiologis atau peraturan (qawanin). Terpisah dari
asal-usul ilahi, teks kemudian menjadi “teks manusiawi” (muta’annas), mewujudkan budaya tertentu, politik, dan unsur-unsur
Benar bahwa Abu Zayd berpendapat Al-Quran dibentuk oleh budaya Arab. Tetapi, itu tidak berarti ia tak meyakini al-Quran
sebagai wahyu Allah. Ia percaya hal itu, cuma karena al-Quran menggunakan bahasa manusia dan disampaikan untuk
kepentingan umat manusia, juga melihat faktor asbab al-nuzul, ayat Mekah dan Madinah, juga yang naskh dan mansukh, menjadi
bukti ada “campur-tangan” sosial-politik dan sejarah pada wahyu-wahyu itu. Sebenarnya ini bukan pandangan yang luar biasa.
Tesis kaum Mu’tazilah pun berpendapat Al-Quran adalah makhluq/muhdats, diciptakan karena firman Allah merupakan produk
dari sifat Allah yang Maha Berbicara. Pendapat ini bertentangan dengan kelompok Hanbaliyyah dan Asy’ariyah yang yakin al-
[1] Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hamid Abu Zayd. Lihat juga: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm. dan lihat juga:
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-
Qur’an.
dapat kita temukan di buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil edisi terjemahan Indonesia oleh Muhammad Mansur, PT.
[3] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-
Qur’an.
[4] Lihat: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm
[5]
Lihat: Ibid Lihat juga: Charles Hirschkind, heresy or hermeneutics, the case of nasr hamid abu zayd, EHR, volume 5, issue 1:
terjemahan buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004, hal: xxv.
[11]
Redaksi LKiS, Pengantar Redaksi edisi terjemah Indonesia “Isykaliyyat al-qira’ah wa ‘alliyat al-ta’wil”, LKiS, Yogyakarta,
terjemahan buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004, hal: xxv.
[13]
Charles Hirschkind, heresy or hermeneutics, the case of nasr hamid abu zayd, EHR, volume 5, issue 1: Contested Polities
Updated February 26, 1996. Lihat juga: Ali Harb, Naqd al-Nash, edisi terjemah Indonesia oleh M, Faisol Fatawi dengan judul
Qur’an.
[15] Ibid
Charles Hirschkind, heresy or hermeneutics, the case of nasr hamid abu zayd, EHR, volume 5, issue 1: Contested Polities
[16]
Updated February 26, 1996. Pembahasannya tentang kasus Abu Zayd dalam makalahnya itu, ditulis dalam sub judul
Lihat: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm. Dalam banyak teorinya, Abu Zayd, memang mendasarkan diri pada pendapat
[17]
rasionalistik Mu’tazilah. Tentang hal ini, insya-Allah akan penulis ungkap pada bab-bab berikutnya. Pertanyaan adalah: jika
memang ide-ide adalah identik dengan konsep-konsep klasik, maka dari segi mana, idenya dinilai sebagai modernisasi
Islam (modernizing Islam)?.
MAKALAH TENTANG
“Studi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid”
(Makalah ini ditulis sebagai tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Perkembangan
Pemikiran Islam)
Dalam kajian Islam kontemporer, nama Nasr Hamid Abu Zaid tentu
sangat popular dan familiar. Pemikir yang cukup fenomenal ini berasal dari
Mesir, namun dia menemukan eksistensinya di Leiden-Belanda. Gagasan-
gagasannya senantiasa menjadi perbincangan di kalangan pengkaji ilmu-ilmu
keislaman (islamisist), khususnya dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an. Sebagian
kalangan menganggap pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid ini menyimpang dari
nilai luhur ajaran Islam (melecehkan Islam). Biasanya yang termasuk
kelompok ini adalah para pemikir yang “konservatif”. Di pihak lain, ada
kelompok yang mendukung atau sejalan dengan pemikiran-pemikirannya.
Kelompok ini biasanya berasal dari kelompok pemikir Muslim “liberal-
reformis”.
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid yang paling kontroversial adalah
pandangannya yang menyatakan bahwa “Al-Qur’an adalah produk budaya”.
Konon karena pemikirannya ini, menyebabkan dia divonis “murtad” oleh
Mahkamah Agung Mesir dan dijatuhi hukuman harus menceraikan istrinya.
Namun, ia terlepas dari tuntutan hukuman tersebut karena melarikan diri ke
Belanda. Nah, di sanalah ia mendapatkan tempat untuk terus
mengembangkan gagasan-gagasannya.
Sebagai akademisi patut kiranya kita mengkaji lebih mendalam tentang
pemikiran-pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. Sehingga kita tidak terjebak atau
mengikuti tanpa dasar dalam menolak ataupun menerima pemikiran-
pemikirannya. Yang menjadi stressing dari pembahasan ini adalah bagaimana
metodologi yang digunakan oleh Nasr Hamid untuk memproduksi gagasan-
gagasannya dan apa produk-produk dari pemikirannya, letak kekuatan dan
kelemahannya, serta pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran Islam.
Namun pada bagian awal, penulis mengupas terlebih dahulu riwayat hidup
dan latar belakang pemikirannya. Ini penting guna mengetahui kapabilitas
seorang Nasr Hamid terkait dengan kajian yang digelutinya.
Pembahasan
e. Pokok-Pokok Pemikiran
Untuk mengungkap pokok-pokok pemikiran Nasr Hamid, penulis
merujuk pada dua karyanya, yaitu Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap
Ulumul Qur’an (Mafhum al-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an) dan Teks, Otoritas,
Kebenaran (al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah). Tentu saja pemikiran Nasr Hamid
tidak hanya tertuang dalam kedua karya tersebut. Namun, karena
keterbatasan waktu dan sumber, maka tidak memungkinkan bagi penulis
untuk mengungkap seluruh pemikiran Nasr Hamid yang tertuang dalam
semua karyanya.
1) Pandangan Terhadap Al-Qur’an
Pandangan yang paling kontroversial dari Nasr Hamid Abu Zaid
terhadap al-Qur’an adalah yang menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan
“produk budaya”. Maksudnya di sini adalah Al-Qur’an sebagai sebuah teks,
pada dasarnya merupakan produk budaya. Hal ini mengandung arti bahwa
teks terbentuk dalam realitas dan budaya lewat rentang waktu lebih dari dua
puluh tahun. Apabila teks tersebut terbentuk dalam realitas dan budaya,
maka banyak unsur dan hal yang memiliki peran dalam membentuk teks-teks
tersebut. Jika demikian halnya, maka terjadilah dialektika yang dinamis
antara teks dengan kebudayaan (Nasr Hamid, 2005).
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa al-Qur’an menyifati dirinya
sebagai risalah, dan risalahmerepresentasikan hubungan antara pengirim dan
penerima melalui medium sistem bahasa. Oleh karena pengirim (baca: Allah)
dalam konteks al-Qur’an tidak mungkin dijadikan objek kajian ilmiah, maka
wajar apabila pengantar ilmiah bagi kajian teks al-Qur’an adalah realitas dan
budaya, yaitu realitas yang mengatur gerak manusia yang menjadi sasaran
teks dengan penerima teks pertama (baca: Rasul) dan budaya yang menjelma
dalam wujud bahasa. Dalam konteks ini, Nasr Hamid merekomendasikan
“pembacaan ulang” terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an dengan pembacaan yang
baru dan serius (Nasr Hamid, 2005). Dengan kata lain perlu ada kritik
terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an yang telah berkembang selama ini.
Di dalam karyanya Mafhum an-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an (Konsep
Teks: Kajian atas Ilmu-Ilmu al-Qur’an), Nasr Hamid menggunakan istilah
“teks” sebagai konotasi dari al-Qur’an. Pemilihan kata teks merujuk pada al-
Qur’an dimaksudkan untuk menghindari konotasi teologis-mistisdalam
kajiannya. Oleh karena itu, ia memposisikan al-Qur’an sebagai teks tanpa
atribut apapun sebagaimana teks-teks yang lain (al-Qur’an tidak dilihat dari
sisi kemunculannya). Sebagai teks, satu-satunya pintu masuk ke dalamnya
sebagai langkah pertama adalah perangkat kebahasaan. Perangkat bahasa
dipergunakan di sini dalam kaitannya dengan fakta bahwa al-Qur’an adalah
teks verbal (Nasr Hamid, 2005).
Berangkat dari kerangka dasar itulah, Nasr Hamid mengupas ilmu-ilmu
al-Qur’an. Setidaknya ada tiga persoalan yang menjadi fokus kajiannya, yaitu:
a. Format dan formatisasi oleh teks
Dalam konteks ini, al-Qur’an ditempatkan dalam bingkai proses
komunikasi. Dalam proses pembentukan formatnya, al-Qur’an berhenti
sampai dengan meninggalnya Nabi. Adapun dalam proses formatisasi oleh
teks, al-Qur’an terus berinteraksi dengan kebudayaan melalui penafsirnya.
Menurutnya, oleh karena al-Qur’an yang ada sekarang merupakan hasil
proses komunikasi, maka dalam pembentukan formatnya banyak faktor yang
terlibat, seperti kondisi penerima pertama (Muhammad saw), sasaran
pembicaraan (bangsa Arab) dengan segala konteks sosial dan budaya yang
mengelilingi mereka. Sementara dalam proses formatisasi oleh teks, al-Qur’an
membentuk budaya, dalam rangka mengubah situasi sosial dan budaya
menuju situasi yang dikehendakinya, tidak secara langsung, tetapi melalui
nalar manusia yang menafsirkannya (Nasr Hamid, 2005).
b. Mekanisme teks
Bagaimana teks bekerja dalam memproduksi makna? Menurut logika
apa teks bekerja? Dua pertanyaan inilah yang menjadi perhatian Nasr Hamid.
Menurutnya, teks bekerja tentunya melalui nalar mufassir secara
intertekstual. Maksudnya teks bekerja dalam kaitannya dengan teks di luar.
Selain itu, al-Qur’an bekerja secara otonom setelah teks tersebut diubah
menjadi mushaf. Maksudnya teks bekerja dalam kaitannya dengan teks-teks
lain dalam mushaf itu sendiri. Dalam bahasa ulama al-Qur’an yafassiru
ba’dhuhu ba’dhan (antara bagian-bagian al-Qur’an saling menafsirkan satu
sama lain)
c. Pergeseran konsep dan fungsi teks
Menurut Nasr Hamid, ada pergeseran konsep dan fungsi teks, dari teks
yang berfungsi sebagai tanda dengan kekayaan makna yang dikandungnya
menjadi sesuatu yang mati, tertutup dan miskin makna. Kaitannya dengan hal
ini, ia menjadikan Imam al-Ghazali sebagai objek kajiannya. Karena
menurutnya, al-Ghazali dianggap sebagai tokoh yang paling berpengaruh di
dalam mengubah realitas masyarakat Islam pada masanya dan setelahnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, konsep-konsep al-Ghazali mengenai teks
dan tujuan-tujuannya berangkat dari dua titik tolak dasar, yaitu teologi Asy’ari
dan ginotisme sufistik. Titik tolak Asy’ari yang mempengaruhi al-Ghazali
adalah hakikat konsep teks yang menurut Asy’ari sebagai salah satu “sifat” Zat
Tuhan. Sementara titik tolak sufisme yang mempengaruhi al-Ghazali adalah
eksistensi manusia di muka bumi hanya dalam rangka mewujudkan
keberuntungan dan keselamatan di akhirat. Jika tujuan tersebut dapat
dicapai dan direalisasikan melalui upaya mewujudkan eksistensi manusia
yang ideal dalam realitas sosial. Al-Ghozali memandang bahwa realisasi tujuan
tersebut hanya dimungkinkan melalui sikap asketisme, menyerahkan diri
kepada Allah semata dan melempar selain-Nya (Nasr Hamid, 2005).
2) Pandangan Terhadap Turats (tradisi)
Nasr Hamid Abu Zaid melihat sikap umat Islam (para ulamanya)
terhadap turats sudah tidak sesuai dengan nalar-ilmiah. Sebagian besar dari
mereka menganggap bahwa turats merupakan bagian dari agama (agama itu
sendiri). Karena ketika berbicara tentang turats selalu identik dengan agama
(al-din). Turats juga selalu membayang-bayangi dinamika kehidupan umat.
Sehingga setiap muncul persoalan, maka mereka sering merujuk
kepada turats untuk mencari solusi. Dengan kata lain, menurut Nasr Hamid
telah terjadi apa yang disebut dengan “sakralisasi” turats (Nasr Hamid, 2003).
Menurut Nasr Hamid, kata turats harus dilepaskan pada konsep
kata waratsa (harta warisan). Tetapi harus merujuk pada kata turats yang
muncul pada ayat 19 surat al-Fajr. Kata yang berubah menjadi konsep turats
di dalam al-Qur’an adalah kata sunan, khususnya dalam bentuk kataas-
sunnah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sunnah orang-orang
terdahulu adalah turats dengan berbagai tingkatan pemahaman, nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, adat istiadat, batas-batas perilaku, kebiasaan dan
sebagainya. Ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an menentang sikap memegangi
adat-istiadat dan terus menerus mengikuti sunnah-sunnah generasi masa
lampau.
Menurutnya, dalam konteks hadits (sunnah), yang harus dipahami
adalah mana ucapan-ucapan Rasul yang berkaitan dengan keharusan
mengikuti sunnah (penjelasan terhadap al-Qur’an) dan mana ucapan-ucapan
dan perbuatan Rasul yang harus diletakkan dalam konteks eksistensi sosial
dari pribadi historis. Hal ini sebagaimana yang terjadi di kalangan ahlu al-
hadits dan ahlu al-ra’yi. Di mana ahlu al-hadits menganggap bahwa semua
yang dilakukan Nabi adalah sunnah yang harus diikuti, sedangkan ahlu al-
ra’yi menganggap bahwa semua yang dilakukan Nabi (sunnah) harus dipilah
mana yang sunnah syar’i dan mana yang sunnah ghairu syar’i.
3) Kritik Nalar Teks
Menurut Nasr Hamid, selama ini pengetahuan yang dihasilkan para
ulama kebanyakan berdasarkan atau berorientasi pada teks. Maksudnya
kaidah-kaidah yang menghasilkan pengetahuan dalam budaya arab dibatasi
oleh otoritas teks, dan tugas akal terbatas hanya memunculkan teks-teks dari
teks-teks yang mendahului. Pada masa taklid, pendapat dan ijtihad para imam
menjadi “teks” dalam pengertian bahwa teks tersebut menjadi ruang untuk
menjelaskan, menafsirkan, menggali hukum (istinbath), dan memproduksi
teks.
Fenomena di atas disebabkan dua faktor yang utama, yaitu kemandekan
realitas Arab secara sosiologis, ekonomis, dan politis, baik dalam konteks
sejarah negara Arab-Islam, maupun dalam konteks sejarah modern-
kontemporer. Sementara faktor kedua adalah kompleksitas hubungan dengan
pihak lain, yakni dunia Barat (Nasr Hamid, 2003).
1) Kekuatan
Menurut Amin Abdullah, metode yang digunakan Nasr Hamid Abu Zaid
merupakan kombinasi tiga pendekatan antara hadharatu al-nash (peradaban
teks) danhadharatu al-‘ilm (peradaban pengetahuan) dan hadharatu al-
falsafah (Peradaban falsafah). Bagian hadharatu al-‘ilmterkait sekali dengan
soal tafkir, seperti pendekatan sosiologis, antropologis, dan lain sebagainya.
Adapun yang dimaksud hadharatu al-falsafah adalah akhlak baru yang
membebaskan. Kombinasi tiga pendekatan tersebut sangat cocok untuk studi
Islam di perguruan tinggi.
Pemikiran yang diusung Nasr Hamid sangat menekankan pada tradisi
ilmiah dalam memahami Islam (al-Qur’an dan hadis/turats). Hal ini bisa
menumbuhkan semangat tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga bisa
mengikis stagnasi pemikiran dan sikap taklid umat Islam.
2) Kelemahan
Selain kelebihan yang terdapat pada metode dan pemikiran Nasr Hamid
Abu Zaid, tetapi juga memiliki beberapa kelemahan. Menurut Adian Husaini
(2007), problem besar yang muncul jika hermeneutika ala Nasr Hamid
digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an adalah;Pertama, metode
hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga.
Dalam konteks al-Qur’an, upaya pengumpulan naskah-naskah al-Qur’an pada
masa khalifah Utsman bin Affan, yang dikenal dengan Mushaf Utsmani sering
dicurigai sebagai upaya hegemoni budaya Arab Quraisy terhadap budaya-
budaya yang lain.Kedua, hermeneutika cenderung memandang teks sebagai
produk budaya dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya transenden (ilahiyah).
Karena untuk menerapkan hermeneutika, maka teks al-Qur’an yang sacral
(suci) harus diturunkan derajatnya menjadi teks manusiawi. Ketiga,aliran
hermeneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat
relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan. Selain itu,
pandangan Nasr Hamid yang mengenyampingkan keimanan seseorang untuk
mengkaji al-Qur’an tidaklah tepat. Karena di antara syarat mufasir yang
disepakati oleh para ulama adalah berkaitan dengan keberagamaan dan
akhlak (Adnin Armas, 2005).
g. Pengaruh Pemikiran terhadap Perkembangan Pemikiran Islam
Terlepas dari sikap pro dan kontra terhadap pemikiran Nasr Hamid Abu
Zaid, bahwasanya beliau telah memberikan kontribusi yang besar terhadap
dinamika studi ilmu keislaman. Sebagai pemikir kontemporer, Nasr Hamid
telah memberikan angin segar bagi dinamika pemikiran Islam yang selama
ini stagnan. Ia telah menawarkan gagasan baru dalam studi Islam yang
dulunya jarang dibahas oleh para ulama klasik, khususnya studi ilmu al-
Qur’an. Metode analisis teks (sastra) yang beliau tawarkan merupakan salah
satu metode baru yang dapat digunakan dalam studi ilmu al-Qur’an.
Dalam konteks Indonesia, pengaruh pemikiran Nasr Hamid sangat
terasa. Perguruan-perguruan tinggi Islam (baca: UIN) telah menjadikan metode
hermeneutika dan semiotika dalam studi al-Qur’an sebagai mata kuliah wajib
pada mata kuliah tafsir hadis (fakultas Ushuluddin). Selain itu, banyak
pemikir Muslim kontemporer, seperti Amin Abdullah, mengusung pemikiran
Nasr Hamid dalam studi keislaman.
Penutup
berdasarkan deskripsi tentang pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid di atas,
penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
1) Latar belakang kehidupan dan keilmuan Nasr Hamid Abu Zaid adalah bergelut
di bidang bahasa dan sastra Arab. Hal ini yang menjadikan fokus kajiannya
adalah pada aspek teks (sastra).
2) Metode yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zaid dalam melakukan kegiatan
akademisnya adalah terlebih dahulu membaca semua karya-karya ulama
terdahulu. Lalu melakukan analisis dengan menggunakan pendekatan ilmu-
ilmu kontemporer.
3) Dalam melakukan kritik terhadap studi ilmu al-Qur’an, Nasr Hamid
menggunakan pendekatan kritik teks (Hermeneutika-semiotika). Sedangkan
kritiknya terhadap turats menggunakan pendekatan kritik wacana.
4) Kekuatan pemikiran Nasr hamid terletak pada kombinasi pendekatan yang
digunakan dan upaya menggugah tradisi ilmiah pada umat Islam. Sedangkan
kelemahannya terletak pada kekurang tepatan dalam penggunaan
hermeneutika-semiotika untuk menafsirkan al-Qur’an. Sehingga dapat
menghilangkan transendensi teks al-Qur’an dan menghasilkan relatifitas
tafsir.
5) Pengaruh pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid dalam dinamika perkembangan
pemikiran Islam sangat besar.
Sumber:
Nasr Hamid Abu Zaid. (2005). Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul
Qur’an (terj). Yogyakarta: PT. LKiS
Nasr Hamid Abu Zaid. (2003). Teks Otoritas Kebenaran (terj). Yogyakarta: PT.
LKiS
Armas, Adnin. (2005). Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an:
Kajian Kritis. Jakarta: Gema Insani.
Husaini, Adian. (2006). Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam
di Perguruan Tinggi. Jakarta: Gema Insani.
______________ . (2007). Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an. Jakarta:
Gema Insani.
Hermeneutika
Abu Zayd pada dasarnya
mencoba memakai analisa
hermeneutika
konstruktif dalam berbagai
kajian al-Qur’an yang
dilakukannya. Dia
mengidentifi kasi bahwa
masalah mendasar dalam
kajian Islam adalah
masalah penafsiran teks secara
umum, teks historis maupun teks
keagamaan,
5
al-Qur’an. Dalam kajian al-
Qur’an, Abu Zayd memandang
bahwa herme-
neutika berkontribusi pada
peralihan perhatian penafsiran
al-Qur’an ke
arah penafsir (mufassir). Dia
berkonsultasi dengan sejumlah
hermeneut dan
teorist sastra, mulai dari
Schleirmacher, TS Elliot,
Wilhelm Dilthey, Martin
Heidegger, Gadamer, Hirsh,
Goldman, sampai Paul
6
Ricouer. Abu Zayd
meminjam hermeneutika
dialektis Gadamer untuk
mengkaji ulang warisan
keagamaan termasuk kajian al-
Qur’an (dan tentunya karya dan
teori sastra),
yang dipakainya sebagai titik
berangkat, dengan maksud untuk
mengungkap
perbedaan penafsiran dan batas-
batas nalarnya baik di masa
awal penafsiran
itu muncul atau di masa
kontemporer. Dia menjelaskan:
“... antara permulaannya
dengan perkembangan
kontemporernya,
hermeneutika di bawah
berbagai horison pandangan
yang baru yang
paling penting dalam penilaian
kami, telah mengalihkan
perhatian pada
peran mufassir, atau penerima
untuk kasus penafsiran karya
sastra dan