Anda di halaman 1dari 35

BAB II

PEMBAHASAN

I. BIOGRAFI NASIR  HAMID ABU ZAYD


Gambaran riwayat hidup Nasr Abu Zayd sebagaimana diungkapkan oleh Henri
Shalahuddin sebagai berikut:
Abu Zayd lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa, Tanta Mesir. Pada usia 8 tahun  dia
sudah berhasil menghafal Al–Qur’an 30 Juz seperti kebanyakan anak-anak muslim dinegaranya.
Pendidikan tingginya, mulai dari strata satu, dua dan tiga  dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab
di Universitas Kairo dengan predikat highst honour, ia pernah tinggal di Amerika selama dua
tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktornya di Institut Midle
Eastren Studies, Universitas Pensylvania, Philadelphia, USA. Di universitas ini  dia mempelajari
Folklore dan metodologi kajian lapangan ( fieldwork).
Pada tahun 1992 Abu Zayd menikah dengan Dr. Ibtihal Yunis pada saat
usianya menginjak 49 tahun. Kemudian ditahun yang sama  dia mengajukan karya-karya  untuk
dipromosikan  mendapatkan gelar professor penuh fakultas sastra Universitas Kairo. Diantara
sejumlah karyanya  yang diajukan adalah Naqdu Al Khitab Al-Dini yang diterbitkan  pertama
kalinya  pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit didunia islam. Namun ditahun
itu juga dimulailah “kasus Abu Zayd” dipersidangan yang berakir dengan vonis murtad atas
dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun 1995.
Dalam putusan  di pengadilan, kesalahan – kesalahan yang dilakukan oleh Abu Zayd
disimpulkan dengan istilah “10 DOSA BESAR ABU ZAYD: ABU ZAYD’S TEN BIG   SIN
OR MISTAKES”,  sebagai  berikut:
1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam Al Qur’an
seperti ‘Arsy, Malaikat, Syaitan, Jin, Surga dan Neraka adala ‘MITOS BELAKA’.
2. Berpendapat dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘Prodak Budaya’ (muntaj tsaqofi) dan
karenanya mengingkari status azali al Qur’an sebagai Kalamullah  yang telah ada dalam Al
Lawh al Mahfudz.
3. Berpendapat dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘teks linguistik’ (nashsh lughawi ) ini
sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Telah berdusta dalam menyampaikan wahyu
dan al Qur’an adalah karangan beliau.
4. Berpendapat dan mengatakan  bahwa ilmu-ilmu al Qur’an ( ‘Ulum al Qur’an )  adalah
tradisireaktioner serta berpendapat dan mengatakan bahwa Syari’ah adalah faktor penyebab
kemuduran Umat Islam.
5. Berpendapat dan mengatakan  bahwa Iman  kepada perkara-perkara ghoib  merupakan
indikator akal yang larut dalam mitos.
6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah Agama Arab, dan karenanya mengingkari
statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.
7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al Qur’an  yang ada merupakan versi ‘Quraiys’ dan
itu sengaja  demi mempertahankan supremasi suku Quraiys.
8. Mengingkari otentisitas Rasulullah SAW.
9. Mengingkari dan mengajak  orang keluar dari dari otoritas teks-teks Agama (maksudnya: al
Qur’an dan Hadist).
10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks Agama adalah salah
satu bentuk perbudakan.[1]
Sehingga karya-karyanya dinilai kurang bermutu  dan promosinya pun ditolak bahkan
dinyatakan menyimpang  dan merusak karena isinya  melecehkan ajaran Islam, menghujat
Rasulullah SAW, menodai Al-Qur’an dan menghina ulama’ salaf. Profesor ‘Abdul Sabur
Shahin’, dalam khotbahnya di Masjid “Amru bin “Ash menyatakan bahwa Abu Zayd  adalah
murtad.
Setelah  mengaku adanya ancaman mati dari berbagai pihak, pada tanggal 23 Juli 1995
Abu Zayd dan istrinya  memutuskan untuk hengkang  dari Mesir dan berdomisili di Belanda
hingga sekarang. Menariknya justru di negeri Belanda inilah Abu Zayd justru mendapatkan
sambutan hangat dan perlakukan istimewa dan dihormati sebagai ilmuwan besar dalam bidang
Studi Al Qur’an, dianugrahi  gelar Profesor dibidang  bahasa Arab dan Studi islam dari Leiden
University, sebuah Universitas kuno  yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam Selatan.
Saat ini dia menduduki “kursi  Ibnu Rusyd dalam bidang kemanusiaan dan Islam” di
Universitas Utrech Belanda. Selain itu juga membimbing mahasiswa S2 dan S3 di Leiden  dan
aktif  terlibat dalam proyak riset tentang hermeneutika Yahudi  dan Islam sebagai ktitik cultural,
bekerja pada team “ Islam dan Modernitas”  pada tahun 2005, dia menerima anugrah “The Ibu
Rushd Prize Of Fredoom Thought’, sebuah  penghargaan atas usahanya mengkapanyakan
‘Kebebasan berfikir‘ dari Mesir.
Dari sinilah dia justru berkesempatan mendidik sarjana dan dosen dari Indonesia. Kini
sejumlah muridnya telah menempati pos- pos penting  di perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Disamping itu pemikirannya pun telah banyak menarik perhatian dan bahkan diajarkan
diberbagai perguruan tinggi di Indonesia.[2]
            Biografi Abu Zaid memberi gambaran kepada kita  bahwa pemikiran yang ia hasilkan
memiliki relevansi dengan karya – karyanya. Hal ini bisa kita lihat dalam karya-karyanya, yang
secara umum, menyorot tentang  studi Al Qur’an Karya–karya yang dihasilkan  Abu Zaid,
dapatlah dipetakan sebagai berikut :
I. Karya-karya yang bertema Studi Al Qur’an.
1. Rasionalisme  dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah: Al Ittijah al-‘aqliyah
fit Tafsir: Dirosah fi mafhum al majaz ‘inda al Mu’tazilah, Beirut, 1982.
2. Filsafat Hermenutika: Studi Hermeneutiika al Qur’an menurut Muhyidin ibn ‘Arabi ( Falsafat
al Ta’wil al Qur’an ‘indi Muhyiddin inb Arabi, Beirut, 1983).
3. Konsep Teks: Studi Ulumul Qur’an ( Mafhum An Nashsh: Dirosah  fi ulumul Qur’an, Cairo,
1987).
4. Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutika, (Isykaliyyat al Qiro’ah wa Aliyyat at
Ta’wil, Cairo, 1992).
5.  Kritik Wacana Agama ( Naqd al-khitab ad diniy, 1992).
6. Imam Syafi’I dan Peletakkan Dasar Idiologi Tengah, (al Imam asy syafi’I wa Ta’sis
Aidulujiyyat al wasathiyyah, Cairo 1992).
7. Al Ittijah Al ‘Aqli fi Al-Attafsir: Dirosah  fi Qodiyat al Majas fi al Qur’an “inda Mu’tazilah
(Tren rasional dalam penafsiran: kajian dalam masalah  metafora dalam al Qur’an menurut
Mu’tazilah).
8. Falsafah al’Takwil: Dirosah fi al Ta’wil ‘inda Muhyiddin ibnu ‘Arabi (Filsafat Hermeneutika:
Kajian Hermeneutika  dalam al–Qur’an  Ibnu ‘Arabi).
9. ‘Ilmi Al-‘Alamat (Sistem Isyarat).
10. Retinhking the Qur’an: Toward Humanistics Hermeneutics.
II. Karya yang bertemakan tentang wacana kemodernan, kajian tokoh klasik dan politik yaitu:
1. Imam Al-Shafi’I wa Ta’sis Al-Aydulujiya al-Wasitiyah.
2. Naqdu Al-Kitab Al-Din (Kritik  wacana keagamaan).
3. Al Mar’ah fi Khitab al Azmah (Wanita dalam wacana krisis).
4. Al- Tafkir fi zamani al tafkir didu al jahli wa al zaif wa al kharofat (Pemikiran didalam masa
pengafiran melawan kebodohan dan khufarod).
5. Al Khilafah wa Sultah al Umah (Khilafah dan penguasah Umat).
6. An Nass wa Sulton wa al Hakikah: Irodatu al Ma’rifah wa Irodatun al Haymanah (Teks
kekuasaan, relaita: kelendak  ilmu  pengetahuan dan Hegemonia  kekuasaan).
7. Dawairul Khouf: Qiro’ah fi Khitabi al Ma’a (lingkaran ketakutan: pembacaan wacana wanita).
8. Al khitab wa al Ta’wil (Wacana dan hermeneutika).
9. Hakadza Takallama ibnu ‘Arobiy (seperti inilah  ibnu ‘Arobi berbicara).
10. Voice of an exile  (Suara dari pengasingan). Ditambah beberapa artikel  dalam bahasa Inggris
yang melengkapi pengembaraan intelektual Abu Zayd dalam bidang keilmuan keislaman dan
humaniora. Dan tidak bisa dipisahkan pengembaraan intelektualnya dengan kedekatannya
terhadap hermeneutika.[3]
            Namun  demikian  yang terpenting  dalam memahami intelektualitas Abu Zayd dalam
keseluruhan karyanya adalah keinginan nalar akademik relejinya untuk membangun  ‘kesadaran
ilmiyah’ bahwa agama islam harus difahami sebagai suatu yang tidak sekedar normatif tetapi
sesuatu yang terbuka  untuk ditelaah secara ilmiah. Terutama masalah tradisi yang tidak perlu
dipuja-puja seolah-olah terlindungi oleh dinding anti kritik (status quo) dan menutup adanya
kemungkinan  berijtihad.
II. HERMENEUTIKA, METODE TAFSIR
Secara etimologi, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang
berarti “menafsirkan “. Maka kata benda hermeneiasecara  harfiyah dapat diartikan sebagai
“penafsiran” atau Interpretasi.[4] Jika dikaitkan dengan cerita Hermes sebagai simbol seorang
duta penerima pesan yang harus mampu menginterprestasikan  pesan yang ia terima dari dewa
Jupiter maka hermeneutic pada akhirnya diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti. Dalam wilayah yang lebih aplikatif pada dasarnya
hermeneutika berhubungan dengan bahasa.[5]
Bahasa merupakan media perantara komunikasi manusia, pada hakikatnya bahasa
dianggap sebagai ‘suatu sistem tanda yang menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang
membentuk tatabahasanya, yakni sebagai kode murni atau system komunikasi, atau sebagai
seperangkat pola tingka laku yang telah ditransmisikan secara kultural dan dipakai oleh
sekelompok individu, yakni kode sebagai bagian dari kebudayaan‘.[6]Bahasa  muncul
dari  pengalaman mental yang terproduksi  dalam fikiran manusia yang kaya akan warna,
imajinasi dan khayalan. Namun ketika produk dalam fikiran ini tertuang dalam bentuk bahasa
lisan berupa ungkapan akan mengalami penyempitan atau pengkerutan. Lebih menyempit lagi
apabila apa yang terproduksi dalam fikiran ini tertuang dalam bentuk bahasa tulis berupa kata-
kata.[7] Penyempitan yang terjadi dalam bahasa manusia tersebut menghasilkan suatu produk
yang tereduksi, berbeda-beda dan bahkan tidak lengkap bentuk pengungkapannya dalam wilayah
komunikasi, dibandingkan dengan proses yang terjadi dalam fikiran, sehingga sangat
memungkinkan terjadi kesalahfahaman, kekurangfahaman oleh penerima informasi ketika
menerimanya dari pemberi informasi. Lebih parah lagi apabila kekeliruan pemahaman, penerima
informasi disampaikan kepada orang ketiga yang tidak tahun sama sekali proses dialog. Maka
muncullah ‘lingkaran kesalahfaman‘ dalam komunikasi.
Pada hakekatnya, komuninasi bukan hanya terbatas antara dua individu yang berdialog.
Setiap orang yang membaca apa yang ada disekelilingnya sebenarnya tanpa sadar telah
melakukan dialog. dari sudut semiologi, apapun yang kita jumpai disekeliling kita adalah teks
yang bisa kita baca dan tafsirkan.[8] Teks adalah sebuah tanda atau symbul ( icon). Tanda
sekaligus juga memeberi tanda dari sesuatu yang ditandai (pesan yang tersimpan) ataupun
pencipta tanda. Dalam hal ini, timbul pertanyaan apa fungsi dari tanda tersebut ?,  Apa peran
serta maknanya ?, tanda dalam hati ini dapat difungsikan pada dua sisi  yang berbeda perannya.
Satu sisi, tanda berperan sebagaisubyek ketika ia menyampaikan suatu pesan kepada orang yang
membacanya. Satu sisi lain, ketika tanda dibaca maka tanda berperan sebagaiobyek baca yang
difahami maksud pesannya. Dengan demikian tanda memiliki  peran ganda dalam aktifitas
dialog yakni sebagai subyek sekaligus sebagai obyek. Dan ketika manusia membaca setiap tanda,
pada hakikatnya dia telah melakukan proses penafsiran.
Penafsiran bukan perkara sederhana, tetapi merupakan aktifitas komplek yang melibatkan
potensi fisik dan mental. Dalam aktifitas ini sangat mungkin terjadi kesalahan dalam
menafsirkan. Adanya perbedaan bahasa yang digunakan pada setiap masyarakat, keikutsertaan
emosional yang menyertai ungkapan dalam sebuah bahasa, juga merupakan kendala penafsiran,
sebab ungkapan yang sama bentuknya, bisa berbeda maksudnya. Contoh, orang ‘mengaduh’ bisa
juga ditafsirkan karena ia sakit. Atau bermaksud menyayangkan sesuatu terjadi pada anak kecil
yang berbuat salah, jika kata ‘aduh’ diungkapkan oleh seorang ibu. Begitu juga senyum bisa
berbeda-beda maksudnya. Orang terseyum dapat difatsirkan karena seseorang sedang merasa
senang, menghina atau bisa jadi untuk menutupi rasa malunya karena ketahuan salahnya.
Perumpamaan lain misalnya kehadiran teks kitab suci yang hadir sebagai petunjuk umat
manusia, juga merupakan sebuah tanda (ayat Tuhan) yang jadi obyek kajian penafsiran. Kitab Al
Qur’an misalnya adalah ‘Teks’ sekaligus tanda firman Tuhan dalam bahasa Arab yang harus
difahami umat islam. Ia hadir ketengah umat islam secara historis dari Allah SWT. Disampaikan
oleh Malaikat Jibril kepada Muhammad dengan cara berangsur-angsur  selama kurang lebih 22
tahun 2 bulan 22 hari. Dari kesekian kitab suci yang ada, Al qur’an lah yang lebih tanggu dalam
menjaga keorsinilannya, memberi tantangan kepada umat islam untuk mengkajinya dan
nampaknnya tidak ada kitab suci setangguh dia. Al – Qur’an  bagaikan magnet yang menarik
setiap orang untuk mengkajinya tetapi sekaligus bagaikan ledakan yang menebarkan berbagai
karya-karya dari hasil pembacaan terhadap dirinya. Terlepas dari kelebihan tersebut  apakah
pemahaman terhadap pesan-pesan tuhan sudah tepat sasaran sesuai dengan maksud Tuhan atau
bahkan pemahaman terhadap al-Quran menjauh dari maksud sebenarnya dari irodah–maqosid
Allah sang pemilik kitab suci ini ?, ini merupakan masalah penafsiran dan lebih khusus masalah
hermeneutika.
Berangkat dari permasalahan  dalam dialog antar manusia atau dialog antara
manusia  dengan tanda-tanda, ataupun  keberadaan al Qur’an  sebagai  sebuah teks suci dan
pesan dari Allah, hermeneutika dijadikan sebagai tren baru dalam berdialog dengan kitab suci.
Dan nampaknya Abu Zayd memahami bahwa al Qur’an perlu didekati dengan hermeneutika,
karena sesuai sifat hermeneutika, ia menganggap al Qur’an hadir di tengah masyarakat tidak
lepas dari realitas masyarakat Arab waktu itu sebagai seting sosial  yang melatar belakangi al
Qur’an ‘harus’  turun. Dalam hal ini al Qur’an turun kebumi satu sisi semacam ‘dipaksa turun
oleh relaitas masyarakat Makkah’, dan pada sisi lain ‘menghendaki turun‘ untuk dilihat sebagai
sebuah tanda yang hendak mengubah realitas masyarakat yang telah rusak.[9]
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) memiliki posisi sentral dalam kehidupan
manusia. Ia bukan saja sebagai landasan bagi pengembangan dan perkembangan ilmu-ilmu
keislaman, namun ia juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat
Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari
bermunculannya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di
Saudi Arabia, maupun NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh dunia.
Al-Qur’an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah
produk budaya. (Tekstualitas Al-Qur’an, 2000) Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu
terkumpulnya teks Al-Qur’an dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan
budaya. Oleh karena itu, perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur’an) dan
kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan,
maka teks Al-Qur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam
kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an masih sangat mungkin menjadi obat mujarab,
bacaan shalat, atau perhiasaan bacaan yang dikumandangkan tiap waktu. Akan tetapi visi
transformatif dan kemanusiaan Al-Qur’an akan bisa hilang begitu saja.
Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg
jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika
sosial. Al-Qur’an sebagai teks yang telah melahirkan tradisi pemikiran, pergerakan, bahkan
perilaku keagamaan yang sangat luas dalam rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa
mengabaikan hal ini. Oleh karena berbagai macam metode penafsiran dan model tafsir dalam
kurun waktu sejarah Islam adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha mendinamiskan
Al-Qur’an yang sangat universal itu.
Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks Allah berwujud dalam Al-
Qur’an tentu saja mengandung problem. Karena, setiap usaha menerjemahkan, menafsirkan, atau
mencari pemahaman terhadap teks klasik yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh
dengan pembacanya, selalu digelayuti problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya
problem penafsiran teks tersebut, maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan menganalisis
problem penafsiran, sehingga teks bisa dipahami secara benar dan komprehensif.
Tawaran Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi sangat relevan kita pakai
dalam memahami pesan Al-Qur’an agar subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan
subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara
komprehensif. Maksudnya, pesan Allah yang diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi
Muhammad itu tidak hanya kita pahami secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual
dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks dan konteks ketika Al-Qur’an turun.
Maka, teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya dapat digunakan agar selaras dan cocok
dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat di mana kita berada dan hidup. Diskursus hermeneutika
tidak bisa kita lepaskan dari bahasa, karena problem hermeneutika adalah problem bahasa.
Karena itu, dalam memahami teks Al-Qur’an, disamping harus memahami kaidah tata bahasa,
juga mengandaikan suasana psikologis dan sosio historis (wacana) yang teks tersebut. Atau
dengan kata lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de Saussure di atas seorang ahli bahasa
dari Swis adalah hubungan yang dialektis antara teks dan wacana.
Sebuah penafsiran dan usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an jika memakai metode
hermeneutika, selalu terdapat tiga faktor yang senantiasa dipertimbangkan, yaitu dunia teks,
dunia pengarang, dan dunia pembaca. Ketiga komponen itu memiliki konteks sendiri-sendiri,
sehingga jika memahami teks Al-Qur’an hanya bertumpu pada satu dimensi tanpa
mempertimbangkan dimensi yang lainnya, pemahaman yang diperoleh tidak akan luas dan
miskin.
Dalam tradisi hermeneutika, terutama metode yang diperkenalkan oleh Gadamer, akan
terlihat jelas bahwa dalam setiap pemahaman teks, tidak terkecuali pada teks Al-Qur’an, unsur
subyektivitas penafsir tidak mungkin disingkirkan. Bahkan secara ekstrem dikatakan bahwa
sebuah teks akan berbunyi dan hidup ketika dipahami, diperhatikan, dan diajak dialog oleh
pembacanya. Dalam proses dialog, berarti pihak pembaca memiliki ruang kebebasan dan
otonomi. Munculnya kitab tafsir Al-Qur’an yang berjilid-jilid yang masih dan akan terus
berkembang menunjukkan bahwa pemahaman ulama’ pada Al-Qur’an dan tradisi kenabian tidak
pernah final.
Di masa modern ini, ada dua mufassir terkemuka yang menggunakan metode
hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Fazlur Rahman meskipun belum
secara langsung menggunakan hermeneutika sebagai metode tafsirnya, namun ia telah
memberikan bobot besar pada kontekstualitas. Belum tuntasnya penggunaan hermeneutika dalam
tafsir Al-Qur’an itu justru merupakan kelemahan Rahman dalam penafsiran Al-Qur’an untuk
mencapai tujuan dasarnya, yaitu mengedepankan etika dalam Al-Qur’an. Menurut Rahman,
memahami pesan Al-Qur’an secara adikuat dan efektif, pemahaman secara menyeluruh terhadap
perkembangan kronologisnya, dan bukan pemahaman secara ayat per ayat, merupakan sebuah
kemutlakan.
III. PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN
Kontroversi penggunaaan hermeneutika telah terjadi dikalangan umat islam. Tapi
bagaimana sebuah metodologi  baru dalam melihat hakikat ajaran agama dengan cara
berbeda  menimbulkan kontroversi itulah yang perlu mendapatkan  pemahaman mendalam agar
nalar berfikir, baik pihak yang pro maupun yang kontra, bisa lebih arif dan tidak melontarkan
‘vonis’ yang berat dihadapan Tuhan. oleh karena itu pada bagian ini penulis
hendaknya  mekanisme pemikiran Abu Zyad ketika mengkaji al Qur’an dengan hermeneiutika,
yang tentu saja dengan sikap ‘netral’ sebagai seorang Akademik.
Sebagaimana  sifat dari hermeneutika, melihat suatu teks yang hadir dalam masyarakat
tidak lepas dari realitas masyarakat, maka al Qur’an pun juga dilihat secara demikian. Abu
Zayd  menganggap proses  turunnya al Qur’an berkait erat dengan situasi sosial  masyarakat
Makkah waktu itu. Berikut ini beberapa hasil thesis  yang ia lontarkan dari hasil kajiannya
terhadap al-Qur’an dengan metode hermeneutika dan kritikannya terhadap ‘ulum al Qur’an
secara sampling saja.
Thesis pertama, berkaitan dengan proses turunnya wahyu yang diterima oleh nabi
Muhammad SAW. Masyarakat Makkah memiliki keyakinan bahwa seseorang sangat mungkin
untuk berdialog dengan makhluk ghoib, sebagaimana seorang penyair yang dapat melakukan
dialog dengan jinnya yang membacakan sair-sairnya. Demikian juga juru ramal ( dukun) dapat
melihat apa apa yang akan terjadi karena memiliki kemampuan berdialog dengan jin, sehingga ia
bisa mengatakan kepada orang lain sesuatu yang akan terjadi, terlepas akan terjadi betulan atau
tidak. Menurut Abu Zayd kepercayaan masyarakat inilah yang memungkinkan konsep wahyu
dapat diterima mereka. Fenomena wahyu bertumpu pada konsep yang mengakar dalam budaya.
Yang membedakan hanyalah, kalau ramalan seorang dukun diperinta oleh Jin, sedangakn wahyu
diterima oleh seorang Nabi diperantai oleh Malaikat. Dan keduanya (Jin dan Malaikat) sama-
sama makhluk ghoib yang dipercayai oleh orang Arab.[10] Dalam  hal ini bisa dikatakan Abu
Zayd melihat pemahaman yang diperoleh oleh masyarakat Mekkah tentang wahyu berdasarkan
hermeneutika Hans-Geoge Gadamer. Menurut Gadamer proses mengerti didapat jika
sebelumnya manusia memiliki pra pengertian.[11]
Thesis kedua, berkaitan dengan keberadaan penerima wahyu pertama yaitu, Nabi
Muhammad. Menurut Abu Zayd  keberadaan Nabi Muhammad sebagai nabi penerima wahyu
pada hakikatnya tidak berbeda dari beberapa orang yang mencoba mencari kebenaran ajaran
yang sesunguhnya setelah melihat realitas kebobrokan perilaku masyarakatnya. Gerakan
pemikiran ini menurut Abu Zayd adalah meanstreem  dari upaya mencari  Agama yang hanif.
Mereka mengembara dalam melihat ajaran agama, terutama Agama para Ahli Kitab. Mereka
diantaranya adalah Waraqah Bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, Usman bin al Khuwairis, Zaid bin
harist bin naufal. Agama yang hanif pada kenyataannya adalah agama Ibrahimiy. Pencarian
agama Ibrahimiy  ini pada hakekatnya proses pencarian identitas bangsa Arab yang terancam
oleh kekuatan-kekuatan dari luar yakni kekuatan dari Byzantium dari barat dan utara, kekuasaan
Abraha dari arah selatan di Yaman dan kekuatan Kisra penguasa kerajaan Persia di belah timur.
Diantara orang-orang yang berada dalam meanstreem gerakan keagamaan itu, Rasulullah
Muhamadlah yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi penyampai ajaran agama hanif yakni
Agama ibrahimy. Dengan demikian pengangkatan Muhammad  sebagai Nabi bukan hal yang
terjadi tanpa sebab sosial, namun bersambung dengan realitas sosial dimana ia hidup dan
berkehendak terhadap kekuatan perubahan, sekaligus menjadi jawaban baginya tentang
kebenaran yang ia cari.[12] dalam hal ini Abu Zayd dapat dikatakan merujuk pada hermeneutika
Wilhelm Dilthey bahwa pengalaman didapat jika manusia bisa mengkontruksikan apa yang ia
peroleh dalam realitas sosial melalui tiga kategori yaitu nilai, maksud dan makna.[13]
Thesis Ketiga, kriteria-kreteria perbedaan antara surat Makkiyah dengan Madaniyah.
Menurut Abu Zayd kriteria perbedaan antara Makkiy dan Madany  yang dijelaskan  oleh ulama’
salaf tidak kuat dan banyak dijumpai kelemahan yakni perbedaan yang mereka buat hanya
berdasarkan tempat turunnya surat saja.[14] Karena, menurut Abu Zayd ayat yang turun setelah
hijrah ada juga yang diturunkan di Makkah, dan lebih bernuansa kerisalahan dan hukum. Dan
juga sebaliknya. Menurut Abu Zayd perbedaan seharusnya didasarkan pada realitas dimana surat
itu turun. Perbedaan Makky dan Madaniy adalah berdasarkan kondisi sosial masyarakat sebagai
sasaran wahyu. Surat-surat Makky bersifat Indzar (peringatan) sedangkan Madaniy bersifat
risalah  (pesan atau ajaran). Makky bersifat indzar sebab jika dilihat kondisi sosial masyarakat
Makkah yang rusak secara moral dan akidah membutuhkan wahyu yang bersifat  memberi
peringatan dan sekaligus ancaman terhadap kerusakan yang telah mereka lakukan. Sedangakan
Madaniy lebih bersifat risalah karena Muhammad setelah hijrah ke Madinah perlu menata
kondisi sosial masyarakat yang sudah bisa dikendalikan dalam sebuah system struktur
masyarakat Madinah.[15] Pemahaman Abu Zayd seperti ini dapat difahami dalam hubungannya
dengan hermeneutika F.D.E Scheleirmacher yakni ‘ bahasa’ (baca:,Teks ) lahir tidak lepas dari
dua unsur waktu dan tempat.[16]
Thesis Keempat, berkaitan dengan konsepAsbab An-Nuzul. tahap awal Abu Zayd
mengkritik ulama’-ulama’ salaf yang mengatakan bahwa sebab-sebab turunnya
wahyu didasarkan pada sanad dalam periwayatan hadist dari sahabat tentang mengapa  surat-
surat al Qur’an turun. Apabila konsep ini diterapkan maka mereka pada hakikatnya terjebak
dalam faktor eksternal saja. Belum lagi persoalan bahwa tidak memungkinkan setiap surat
diketahui secara keseluruhan sebab-sebab turunnya wahyu oleh para sahabat, sebagai mana
prasyarat yang mereka buat bahwa Hadist menerangkan itu haruslah mutawatir. Faktor tempat,
kelupaan pada diri sahabat-sahabat dan juga faktor ‘idelogi’ juga sangat berperan dalam
membentuk keterangan yang sangat mungkin menyimpang dan tidak sesuai sama sekali dengan
faktor hakiki turunnya sebuah surat. Menurut Abu Zayd dalam hal ini ulama kontemporer justru
punya kesempatan untuk menikmati hak berjihad dan mentarjih riwayat-riwayat yang
berbeda  dengan cara yang lebih  signifikan. Asbab tidak mesti didasarkan pada faktor eksternal
saja tetapi juga harus diungkap maksud  dari dalam teks surat itu sendiri, yakni dari dalam.
Pengungkapan tidak mesti berjalan dalam satu arah tetapi dari luar kedalam, atau dari dalam
keluar, tetapi harus berjalan dalam gerak ulang-alik secara cepat antara dalam dan luar’[17].
Dalam konteks ini Abu Zayd lebih mengacu pada hubungan ‘batin bahasa’ dengan realitas
eksternal. Merupakan gabungan dari hermeneutika dilthey-gadamer dengan Scheirmacher.
Adapun konsep Naskh dan Mansukh merupakan perkara yang tidak dapat dipisahkan dari
konsepAsbab An Nuzul. Sebab suatu naskh terjadi juga berkaitan dengan sebab turunnya ayat
tertentu. Pembatalan sebuah hukum syara’ ataupun penangguhannya berkaiatan dengan  sebab
sebabnya.[18] Menurut Abu Zayd, Al Qur’an sebagai teks memiliki mekanisme sendiri. Sebagai
wujud teks dalam masa Al Qur’an turun, keberadaan teks mendominasi eksistensi budaya.
Dalam situasi semacam ini, tentu saja untuk mewujudkan sebuah ‘daya perubah yang
melemahkan’ tidak dapat diwujudkan jika daya itu dapat difahami oleh nalar masyarakat.
Merubah sebuah realita sosial yang rusak, mengharuskan al-Qur’an ‘menghancurkan’
dominasi budaya Arab, yakni budaya teks, kelebihan al-Qur’an inilah yang menempatkannya,
dari posisi pendatang baru, selanjutnya menjadi ‘imam’ dari teks-teks (syair puisi saj’). Teks-teks
yang lain bukan terhancurkan musnah-menghilang namun beruba menjadi ‘peng-amien’ apa
yang dikatakan al-Qur’an. Dalam bentuknya sebagai teks, al-Qur’an bukan puisi, syair maupun
saj’. Al qur’an adalah al-Qur’an sebagai wahyu. Inilah konsep I’jaz al-Qur’an.[19] I’jaz al-
Qur’an memiliki kekhasan sendiri berbeda dengan kemu’jizatan yang dibawah oleh nabi-nabi
selain Muhammad SAW. Karena yang harus dikalahkan oleh al-Qur’an adalah apa yang
diunggulkan masyarakat ‘Arab.mYakni budaya teks dan bukannya keajaiban sebuah tongkat
milik nabi Musa As. Kepandaian mengobati orang sakit seperti nabi Isa As. atau tidak terbakar
sebagaimana Nabi Ibrahim dibakar oleh raja Namrud.
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pemikiran Abu Zayd, secara metodologi dapat diringkas bahwa hakikat
hermeneutika ketika diterapkan untuk mengkaji al Qur’an sebagai sebuah teks memiliki dasar
budaya yang kuat pada masyarakat Mekkah sebagai penerima wahyu pertama. Indikatornya
adalah :
1. Al Qur’an sebagai wahyu dapat diterima oleh orang ‘Arab karena mereka sebelumnya telah
memiliki konsep ‘wahyu’ dan kepercayaan bahwa seseorang mampu berdialog dengan ‘makhluk
ghoib’.
2. Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu, pada dasarnya mengakar pada pergaulan ditengah
masyarakatnya bukan orang yang memisahkan diri yang lainnya. Namun, demikian  beliau
terjaga dari perilaku masyarakat Makkah yang rusak. Dalam melihat realitas semacam itulah
Nabi sebagai bagian masyarakat melihat sisi yang ‘harus’ dirubah.
3. Proses pewahyuan kepada Nabi Nuhammad haruslah difahami sebagai interaksi ‘Teks’ dengan
realitas masyarakat. Konsep Makky dan Madani tidak cukup dikatagorikan berdasarkan masa
sebelum dan sesudah hijrah.
4. Sebab sebab turunnya Al Qur’an tidak cukup hanya berdasarkan kronologis periwayatan
berdasarkan faktor eksternal saja namun harus ada keterkaitan antara ‘dalam’ dan ‘luar’ teks
secara ulang-alik.
5. Keberadaan al Qur’an sebagai teks dalam budaya yang terdominasi tradisi teks juga harus
difahami sebagai teks  yang sekaligus berbeda dengan teks-teks yang lain. Al Qur’an adalah
dirinya sendiri, meskipun ia juga teks. Sedangkan tek-teks yang lain telah terkalahkan, namun
bukan termusnahkan telah menjadi semacam pendukung, penguat keberadaan  teks al Qur’an.
Teks-teks dalam bentuk syair, puisi, saj’ telah merobah diri dihadapan al Qur’an. Ketika teks
teks itu hendak menetapkan diri sebagai bagian dari tradisi lama sebelum lama sebelum al
Qur’an turun maka teks-teks itu mengalami kehancuran.

DAFTAR PUSTAKA
MuslimDelft [blog archive] Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3 Desember 2008.
Shalahudin, Henri,  Al Qur’an Digugat, Al QALAM Kelompok GEMA INSANI: Jakarta, 2007
Zaid, Abu, al-Tafkir fi al-Zaman AL-Tafkir, diddu i-Jahl wa al Zaif wa I-Kharafah,Maktabah Madbuli:
Mesir, 2003.
Moch Nor, Ichwan Meretas Kesarjanaan Kritis Al Qur’an, Teori Hermeneotika Nasr Abu Zaid,Cet. I,
Teraju, Kelompok Mizan: Jakarta, 2003).
Raharjo, Mudjia Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme & Gadamerian,Arruz Media:
Jogjakarta, 2008.
Sumaryono, E,  Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Pustaka Filsafat: Yogjakarta.
Hidayat, Komarudin, Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian hermeneutic, Paramadina Press:
Jakarta, 1996.
Bertens, Karl Berl, Filsafat barat dalam abad XX, Gramedia: Jakarta, 1981.
Berg, Green, Essays In Lingusitics, Phoenik Books: Cicago, 1957.,
Ibrahim, Abd. Syukur, Sosiolinguistik, Usaha Nasional, 1995.
Nasution, Khoirudin, Pengantar Studi Islam,TAZZAFA-ACADEMIA: Yogyajarta, 2004.
Zayd, Nasr Hamid Abu, Tektualitas Al Qur’an, kritik terhadap Ulum Al Qur’an, tejm, LkiS: Yogjakarta,
2005, cet. IV.
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Pustaka setia: Bandung, 2006,  cet. V.

[1] MuslimDelft [blog archive] Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3
Desember 2008.
[2] Henri Shalahudin, Al Qur’an Digugat, (Al QALAM Kelompok GEMA INSANI: Jakarta, 2007), Bab
III, h. 1-4., lihat juga Abu Zaid, al-Tafkir fi al-Zaman AL-Tafkir, diddu i-Jahl wa al Zaif wa I-Kharafah, (Maktabah
Madbuli: Mesir, 2003), cet. II, h. 21., juga Ichwan Moch Nor, Meretas Kesarjanaan Kritis Al Qur’an, Teori
Hermeneotika Nasr Abu Zaid,Cet. I, (Teraju, Kelompok Mizan: Jakarta, 2003), h. 193-194., dan beberapa
keterangan yang diambil dari web.sit. Muslim Delft [Blog Archive] Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd,
htm,Tanggal 3 Desember 2008.
[3] Shalahudin, Al Qur’an, h. 5-7.
[4] Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme & Gadamerian, (Arruz Media:
Jogjakarta,2008), h. 27., lihat juga, E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, (Pustaka Filsafat:
Yogjakarta), h. 23., pengertian ini tapi Agak berbeda  dengan yang disampaikan oleh Komarudin Kidayat,
menurutnya hermeneutika meruapakan definisi dari kata ‘Hermes’, seorang dewa dalam mitologi Yunani yang
bertugas  penghubung antara sang maha dewa dilangit dan para manusia di bumi. Komarudin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama, sebuah kajian hermeneutic, (Paramadina Press: Jakarta, 1996), h. 13., dan Karl Berl
Bertens, Filsafat barat dalam abad XX, (Gramedia: Jakarta, 1981), h. 225., menurutnya kata hermeneutika (Inggris:
hermeneutics) berasal dari kata kerja Yunani hermeneo: mengartikan, menginterprestasikan, menafsirkan,
menterjemahkan.
[5] Ibid., h.24-26., namun harus dimengerti bahwa hermeneutika juga bersifat memahami apa yang hadir
pada masa ‘lalu’, ’terjadi sekarang’ dan ‘masa depan’, jika kita dasarkan pada kategori yang dibuat oleh Wilhelm
dilthey. Atau hermeneutika sebagai ‘seni berfikir dan berbicara hanya merupakan aspek luar dari berfikir’,
sebagaimana pendapat FDE Schelairmacher atau menurut Hans George bahwa ‘mengerti’ haruslah berangkat dari
pengertian sebelumnya (pra pengertian) hermeneutika bekerja secara maksimal jika seorang filosof berusaha
mengerti berangkat dari pengertian yang telah ia miliki sebelumnya, untuk lebih lengkapnya baca rujukan footnote
makalah ini, Ibid., h. 35-128., dan juga Bertens, filsafat, h. 85-89 dan 224-235.
[6] Green berg, Essays In Lingusitics, (Phoenik Books: Cicago, 1957), h. 1., lihat juga Abd. Syukur
Ibrahim, Sosiolinguistik, (Usaha Nasional, 1995), h. 26., Batasan yang diberikan oleh grendberg ini bisa difahami
bahwa bahasa yang terbentuk dalam suatu masyarakat menjadi semacam symbol atau tanda yang disepakati dan
diwariskan sehingga warga masyarakat yang menggunakan menjadi menyatu (terinternalisasi) dan memahami setiap
kode atau informasi dengan perantaraan bahasa berlaku, sekaligus bahasa tersebut menjadi atribut budaya
masyarakat tersebut.
[7] Sumaryono, Hermeneutika, h.25.
[8] Hidayat, Memahami, h.12.
[9] Perlu difahami bahwa yang menerapkan hermeneutika dalam mengkaji al-Qur’an sebenarnya bukan
hanya Abu Zayd saja. Para sarjana lain yang menerapkan hermeneutic diantaranya: Fazlur rahman (dalam karyanya
“Interpleting the Qur’an“), Amin Muhsin Wadud (Qur’an and Women), dan masih ada beberapa lagi yang juga
menerapkannya, lihat Dr. Khoirudin Nasution, Pengantar Studi Islam,(TAZZAFA-ACADEMIA: Yogyajarta,
2004), h. 82.
[10] Nasr Hamid Abu Zayd, Tektualitas Al Qur’an, kritik terhadap Ulum Al Qur’an, tejm, (LkiS:
Yogjakarta, 2005), cet. IV, h. 32-41. Dalam menerangkan analisisnya  Abu Zayd  banyak menukil pendapat  Abdur
Rohman Jalaluddin as Suyuti, Al Itqon fi Ulum al Qur’an, juz 1, Badrudin Muhamad bin Abdillah az Zarkasy, Al
Burhan fi Ulum al Qur’an,  juz 1, Abdur Rohman ibnu Kaldun, Muqodimah, Dar ihya’ al Turast al Arabic, (Beirut,
Libanon).
[11] Bertens, filsafat, h. 226.
[12] Zayd, Tektualitas,  h. 65-85.
[13] Bertens, filsafat, h. 89.
[14] Mengenahi pendapat para
ulama’ tentang definisi Makkiy dan Madaniy lihat Rosihon
Anwar, Ulumul Qur’an, (Pustaka setia: Bandung, 2006),  cet. V,  h. 104.
[15] Zayd, Tektualitas,  h. 88-95.
[16] Sumaryono, Hermeneutika, h.36.
[17] Ibid., h. 130-135.
[18] Ibid., h. 142-145.
[19] Ibid., h. 169-195.
Biografi Nashr Hamid Abu Zayd
POSTED BY ABDURRAHMANBINSAID ⋅ 1 FEBRUARI, 2010 ⋅ 1 KOMENTAR
FILED UNDER  ABU ZAYD, BIOGRAFI, BIOGRAFI NASHR HAMID ABU ZAYD

Biografi

Nasr Hamid Abu Zayd lahir di kairo, tepatnya di sebuah tempat bernama Qufaha dekat Tanta pada 10 Juli tahun 1943. Ia anak

yang pendiam, dan suka sekali pada sastra. Sedari muda, ia sangat tertarik dengan kajian bahasa dan filsafat. Ia bahkan fokus

pada perangkat metodologi analisa wacana dan dinamika teori teks dalam semiotika. Jelas, pikirannya menginduk ke Prancis

dengan tokoh besar Derrida, Arkoun dan pengagum Hasan Hanafi. Tak heran, untuk memperkuat minatnya itu, ia masuk ke

Fakultas Sastra Universitas Kairo, dan kemudian mengabdi di sana. Ia menyelesaikan S1 pada tahun 1972 pada Studi Bahasa

Arab (Arabic Studies), dan kemudian S2 pada tahun 1977. Pada tahun 1978 sampai 1980, ia melanjutkan studi S3-nya di

Universitas Pennsylvania, Philadelphia. Dan menyelesaikan disertasi pada tahun 1980/1981 dalam konsentrasi Studi

Islam (Islamic Studies).[1]

Abu Zayd mulai mengenal teori-teori Hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania itu. Ia mengakui, bahwa

Hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan: “Aku banyak membaca sendiri, khususnya di

dalam bidang filsafat dan Hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru

kepadaku.” (I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science

ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me). Sekembali dari Amerika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi

Doktornya pada tahun 1980 dengan judul “Falsafah al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil AI-Qur’an `inda Muhy al-Din ibn

`Arabi” (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap Hermenutika Al-Qur’an menurut Ibn Arabi). Ia mengklaim bahwa dirinyalah

yang pertama kali menulis tentang Hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan tulisannya “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir

al-Nas” (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981.[2] Di dalam karya tersebut, Nasr Hamid memaparkan

secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh Schleiermacher (m. 1843), Wilhelm Dilthey (m. 1911), Mar tin

Heidegger (1889-1976), Emilio Betti (1890-1968), HansGeorg Gadamer (1900-1998), Paul Ricoeur (1913-), dan Eric D. Hirsch

(1928-).[3]

Ia kemudian membuat komunitas kritis dalam lingkungannya. Kajiannya masih seputar wilayah teks, dengan menggali kembali

warisan-warisan intelektual Islam sebagai teks yang harus dikeluarkan dari wacana ideologis. Ia berusaha mencari tafsir yang ke

luar dari hanya pengenalan teks semata, memasuki sisi ikutan sejarah-politik dan watak ekonomi. Abu Zayd percaya, peradaban

selalu membentuk teks-teks keagamaan tadi. Secara sederhana, proyek kajian Abu Zayd adalah mencoba menmongkar konsep

keyakinan. Ia percaya, banyak teks yang hanya diyakini tanpa upaya pemahaman yang konkret adalah keimanan tanpa landasan.

Maka, segera bukunya terbit, Imam Syafii, Kemodernan, Eklektisisme-Arabisme yang memicu masalah itu.[4]

Dan ketika Abu Zayd mendapatkan kesempatan untuk promosi guru besarnya di Universitas Kairo tempatnya belajar dan

mengabdi, Abu Zayd mengajukan buku itu beserta bukunya yang lain berjudul Naqdl al-khitab al-Din, untuk keperluan

pengujian.
Hari itu datang, tanggal 16 Desember 1993. Namun ternyata forum akhirnya tidak berjalan sebagaimana yang dia inginkan. Dr.

Abdus Shabur Syahin sebagai penilai (muqarrir), menilai karya-karya Abu Zayd berkadar ilmiah rendah dan telah ke luar dari

kerangka keimanan. Bukunya yang pertama bahkan telah menghina Imam Syafii dengan tuduhan keji. Ajakan Abu Zayd untuk

membebaskan diri dari kekuasaan teks, di mata Shabur, hal itu adalah ajakan untuk memalingi al-Quran. Kesimpulan yang sama,

celakanya, juga diikuti penilai yang lain, Dr. Muhammad Baltaqi, Dr. Ismail salim, Dr. Sya’ban Ismail, Dr. Muhammad Syuk’ah.

Karier akademik Abu Zayd pun tamat. Ia kemudian dikafirkan.[5]

Dalam buku itu, Zayd memang mengkritisi Imam Syafi’i, dan mengatakan ulama itu telah secara sepihak menempatkan budaya

Quraisy sebagai sentral penafsiran pada al-Quran. Ia menilai Syafi’i telah membakukan model pemaknaan al-Quran, teorisasi

Sunah sebagai sumber tasyri’ yang otoritatif dan memperluas Sunah sampai dengan Ijma, tapi menolak qiyas. “Akibatnya, tak

bisa dibedakan lagi mana teks yang primer dan sekunder. Ini menunjukkan watak moderat Syafi’i hanya semu karena

argumentasinya hanya mengutip sosiologis Quraisy”, kritiknya. Pandangan inilah yang membuat Syahin dan Muhammad Imarah

menjadi emosi. Imarah misalnya, menilai Abu Zayd telah merusak sakralitas al-Quran dan menyatakan Al-Quran bukan

diciptakan Tuhan tapi produk budaya Arab, khususnya puak Quraisy.[6]

Zayd melawan, dan menyatakan pada publik:

“I’m sure that I’m a Muslim. My worst fear is that people in Europe may consider and treat me as a critic of Islam. I’m not. I’m

not a new Salman Rushdie, and don’t want to be welcomed and treated as such. I’m a researcher. I’m critical of old and modern

Islamic thought. I treat the Qur’an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That text is put in a human language,

which is the Arabic language. When I said so, I was accused of saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur’an. This is not a

crisis of thought, but a crisis of conscience”. (Aku yakin bahwa aku seorang Muslim. Saya paling takut jika orang-orang di Eropa

memperlakukan saya sebagai seorang kritikus Islam. Aku tidak demikian. Aku bukan Salman Rushdie yang baru, dan tidak ingin

harus diterima dan diperlakukan seperti itu. Aku seorang peneliti. aku kritis terhadap pemikiran Islam klasik dan modern. Aku

memperlakukan Al-Qur’an sebagai nash (teks) yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Teks itu dimasukkan dalam

bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Ketika aku bilang begitu, aku dituduh mengatakan bahwa Nabi Muhammad menulis Al-

Qur’an. Ini bukan krisis pemikiran, tapi krisis hati nurani).[7]

Polemik pun bertebaran di media massa. Hebatnya, Dr. Syahin menjadikan kasus Abu Zayd ini tema dalam khotbah salat Jumat

di masjid Amr bin al-Ash, ia memang imam tetap di sana. Dan dalam waktu singkat, publik pun terbelah, antara yang simpati

dengan Abu Zayd dan kelompok pembencinya. Kelompok pembencinya mengumpulkan semua tulisan kecaman dan

menjadikannya sebuah buku Qishatu Abu Zayd wa Inhisaru al-Almaniyah fi Jami’ati al-Qahirah, Kisah Abu Zayd dan

Kehancuran Sekularisme di Universitas Kairo. Buku ini diberi pengantar oleh Dr. Syahin sendiri dengan kecaman yang sangat

pedas. Buku-buku lain pun terbit, Abu Zayd kian terperosok. Namun, pendukung Abu Zayd tak mau kalah, juga menerbitkan

buku al-Qaul al-Mufid, Ucapan yang Berguna. Abu Zayd sendiri tak menyerah, ia ajukan banding kepengadilan untuk

mendapatkan haknya sebagai pengajar di Universitas. Tapi, keputusan pengadilan justru memperburuk keadaannya. Vonis
murtad jatuh, dan hukum diterapkan: ancaman kematian, keharusan perceraian, dan konsekuensi lain dari kemurtadan. Abu Zayd

menangis.[8]

Pertengkaran ini memucak dalam sidang banding, dan Abu Zayd menyambut debat itu dengan kajian yang kian cemerlang,  At-

Tafkir fi zaman at-Takfir, Pemikiran di Masa Pengkafiran. Di sinilah, ia melontarkan pidato yang amat terkenal itu: “Ilmu, tidak

akan memberikan kepadamu sebagian dirinya, kecuali kamu menyerahkan seluruh dirimu kepadanya. Jika kamu telah

menyerahkan kepadanya seluruh dirimu, maka dengan pemberian dirinya kepadamu yang sebagian itu saja, ia sungguh-sungguh

menempatkanmu dalam bahaya”. Dan memang, meski argumentasi buku itu demikian kuatnya dan tak terbantahkan, Abu Zayd

tetap saja dikalahkan. Kekalahannya sekali lagi membuktikan tesisnya tentang “keyakinan tanpa pemahaman”. Ia kembali

dikafirkan, dan dinilai murtad. Konsekwensinya menurut hukum di sana, sebagai seorang yang murtad, perkawinannya

dibatalkan. Seorang murtad dinilai tak boleh menikahi wanita muslimah. Dan ketika tangan pengadilan akan memutus

pernikahannya, tahun 1995, ia dengan berat hari “mengungsi” ke Leiden, Belanda, di mana pemikiran seliar apa pun, sepanjang

ada arguemntasinya, bisa tumbuh merdeka.[9] Ia harus hidup sebagai ilmuwan yang hidup di negeri orang selama kurang lebih

enam tahun.[10]

Abu Zayd kini menjadi guru besar untuk studi Islam di Universitas Leiden, dan terakhir lebih aktif menjadi professor pada

Universitas for Humanistics di Utrecth, selain juga menjadi pembimbing beberapa mahasiswa yang sedang menulis disertasi

tentang penafsiran dalam Islam pada beberapa Universitas di Eropa, seperti Jerman, Prancis, dan Negara lainnya. Ia mendapatkan

perlindungan politik di Belanda dengan imbalan ia harus mengajar.[11] Dan sekarang ia kembali mendapatkan hak-nya sebagai

ilmuwan terhormat setelah kunjungannya ke Kairo tahun 2003 mendapatkan sambutan luar biasa, baik dari kalangan akademisi,

pers, maupun pejabat pemerintah.[12]

Modernisasi Islam

Tulisan Abu Zayd banyak mengarah pada isu-isu sentral dalam pemikiran Islam, terutama tentang metodologi penafsiran Al-

Qur’an, otoritas Ulama, dan relevansi Agama pada kehidupan kontemporer. Pemikiran seperti ini sering dinilai sebagai model

“kebebasan berpikir” (intellectual freedom). Namun dalam kasusnya, Abu Zayd, terutama oleh otoritas Universitas Kairo dinilai

sebagai ”teroris pemikiran” (intellectual terrorism).[13]

Setelah akrab dengan literatur Hermeneutika Barat, dimana ia mengenal pertama kali Hermeneutika di Amerika, Abu Zayd

kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam Hermeneutika. Menurut Abu

Zayd, Kalam Ilahi wujud dalam bahasa manusia, karena jika tidak, maka Kalam Ilahi tersebut tidak akan dimengerti. Salah satu

alasan pemikiran Islam itu menjadi stagnan, menurut Abu Zayd, karena penekanan yang terlalu berlebihan kepada dimensi

ilahi (divine dimension). Padahal menurutnya, Al-Qur’an adalah kata Muhammad yang meriwayatkan apa yang beliau katakan

adalah Kalam ilahi (The word of Muhammad reporting what he asserts is the Word of God. This is the Qur’an) . Abu Zayd

menyatakan: “Bagaimanapun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri, dan menjadi manusiawi, karena Tuhan ingin berkomunikasi

kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti.  (The Word of God

needed to adaptitself-become human-because God wanted to communicate to humang beings. If God spoke God-language,
human beings would understand nothing). Jadi, dalam pandangannya, Al-Qur’an adalah bahasa manusia (the Qur’an is human

language). Teks Ilahi (divine text) berubah menjadi teks manusiawi (human text) sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada

Muhammad. “Teks sejak awal diturunkan, ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi, ia berubah dari sebuah teks Ilahi  (nas

ilahi) menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi (nas insani), karena ia berubah dari “tanzil” menjadi “takwil”. Pemahaman

Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia”. Teks Al-Qur’an terbentuk

dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah “produk budaya”  (muntaj thaqat). Ia

juga menjadi “produsen budaya” (muntij li al-thaqafah) karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang

lain. Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Abu Zayd juga menganggap Al-Qur’an

sebagai teks bahasa (nas lughawi). Realitas, budaya, dan bahasa, merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks

spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah teks historis (a historical text). Historisitas teks, realitas dan budaya

sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah teks manusiawi (nas insani).[14]

Dengan berpendapat seperti itu, Abu Zayd menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama

dengan teks-teks yang lain di dalam budaya (anna al-nusus al-diniyya6 nusus lughawiyyah sha’nuha sha’n ayyat nusus ukhra fi

al-thaqafah). Sekalipun asal muasalnya dari Tuhan, namun studi Al-Qur’an tidak memerlukan metode yang khusus. Jika metode

khusus dibutuhkan, maka hanya sebagian manusia yang memiliki kemampuan saja yang bisa memahaminya. Manusia biasa akan

tertutup untuk memahami teksteks agama. Abu Zayd menyalahkan penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufasir yang

selalu menafsirkan Al-Qur’an dengan muatan metafisis Islam. Dalam pandangannya, metodologi seperti itu tidak akan mela-

hirkan sikap ilmiah. “Sesungguhnya, kepercayaan atas wujud metafisik teks (Al-Qur’an) akan menghapuskan upaya pemahaman

yang ilmiah bagi fenomena teks”. Dengan menyamakan status Al-Qur’an dengan teks-teks yang lain, maka Abu Zayd

menegaskan siapa saja bisa mengkaji Al-Qur’an. “Saya mengkaji Al-Qur’an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat

dikaji baik oleh kaum Muslim, Kristen maupun Ateis”.[15]

Charles Hirschkind, yang khusus menulis makalah yang konsen tentang kasus Abu Zayd dalam  Heresy or Hermeneutics, the

case of Nashr Hamid Abu Zayd, menyatakan:

A key point of departure for Abu Zayd’s argument is the idea that, once the Quran was revealed to Muhammad, it entered history

and became subject to historical and sociological laws or regularities (qawanin). Irreversibly rent from its divine origins, the

text became humanized (muta’annas), embodying the particular cultural, political, and ideological elements of seventh-century

Arabian society. (Titik tolak penting argument Abu Zayd adalah gagasan bahwa, setelah Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi

Muhammad, ia masuk ke dalam sejarah dan tunduk pada hukum sejarah dan sosiologis atau peraturan (qawanin). Terpisah dari

asal-usul ilahi, teks kemudian menjadi “teks manusiawi” (muta’annas), mewujudkan budaya tertentu, politik, dan unsur-unsur

ideologi abad ketujuh masyarakat Arab).[16]

Benar bahwa Abu Zayd berpendapat Al-Quran dibentuk oleh budaya Arab. Tetapi, itu tidak berarti ia tak meyakini al-Quran

sebagai wahyu Allah. Ia percaya hal itu, cuma karena al-Quran menggunakan bahasa manusia dan disampaikan untuk

kepentingan umat manusia, juga melihat faktor asbab al-nuzul, ayat Mekah dan Madinah, juga yang naskh dan mansukh, menjadi
bukti ada “campur-tangan” sosial-politik dan sejarah pada wahyu-wahyu itu. Sebenarnya ini bukan pandangan yang luar biasa.

Tesis kaum Mu’tazilah pun berpendapat Al-Quran adalah makhluq/muhdats, diciptakan karena firman Allah merupakan produk

dari sifat Allah yang Maha Berbicara. Pendapat ini bertentangan dengan kelompok Hanbaliyyah dan Asy’ariyah yang yakin al-

Quran eksis bersamaan (co-exist) dengan Allah, dan tak bermula.[17]

[1] Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hamid Abu Zayd. Lihat juga: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm. dan lihat juga:

Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-

Qur’an.

[2] Makalah-nya yang berjudul “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas” (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks)

dapat kita temukan di buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil edisi terjemahan Indonesia oleh Muhammad Mansur, PT.

LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004, hal: 3-64.

[3] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-

Qur’an.

[4] Lihat: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm
[5]
 Lihat: Ibid Lihat juga: Charles Hirschkind, heresy or hermeneutics, the case of nasr hamid abu zayd, EHR, volume 5, issue 1:

Contested Polities Updated February 26, 1996.


[6]
 Lihat: Ibid Lihat juga: Charles Hirschkind

[7] Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hamid Abu Zayd.


[8]
 Lihat: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm. Lihat juga: Charles Hirschkind, heresy or hermeneutics, the case of nasr

hamid abu zayd, EHR, volume 5, issue 1: Contested Polities

Updated February 26, 1996.


[9]
 Lihat: Ibid Lihat juga: Charles Hirschkind
[10]
 Lihat: Phil HM. Nur Kholis, Nashr Abu Zayd, beberapa pembacaan terhadap Turats Arab, sebuah pendahuluan pada

terjemahan buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004, hal: xxv.
[11]
 Redaksi LKiS, Pengantar Redaksi edisi terjemah Indonesia “Isykaliyyat al-qira’ah wa ‘alliyat al-ta’wil”, LKiS, Yogyakarta,

2004, hal: vi.


[12]
 Lihat: Phil HM. Nur Kholis, Nashr Abu Zayd, beberapa pembacaan terhadap Turats Arab, sebuah pendahuluan pada

terjemahan buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004, hal: xxv.
[13]
 Charles Hirschkind, heresy or hermeneutics, the case of nasr hamid abu zayd, EHR, volume 5, issue 1: Contested Polities

Updated February 26, 1996. Lihat juga: Ali Harb, Naqd al-Nash, edisi terjemah Indonesia oleh M, Faisol Fatawi dengan judul

“Kritik Nalar Al-Qur’an”, LkiS, Yogyakarta, 2003, hal: 308.


[14] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-

Qur’an.

[15] Ibid

 Charles Hirschkind, heresy or hermeneutics, the case of nasr hamid abu zayd, EHR, volume 5, issue 1: Contested Polities
[16]

Updated February 26, 1996. Pembahasannya tentang kasus Abu Zayd dalam makalahnya itu, ditulis dalam sub judul

“modernisasi Islam” (modernizing Islam).

 Lihat: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm. Dalam banyak teorinya, Abu Zayd, memang mendasarkan diri pada pendapat
[17]

rasionalistik Mu’tazilah. Tentang hal ini, insya-Allah akan penulis ungkap pada bab-bab berikutnya. Pertanyaan adalah: jika

memang ide-ide adalah identik dengan konsep-konsep klasik, maka dari segi mana, idenya dinilai sebagai modernisasi

Islam (modernizing Islam)?.

MAKALAH TENTANG
“Studi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid”
(Makalah ini ditulis sebagai tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Perkembangan
Pemikiran Islam)

Dosen Pengampu:  Prof. Dr. Tobroni, M.Si


Oleh:
Erik Budianto

PROGRAM STUDI MAGISTER AGAMA ISLAM


PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2011
Pendahuluan

Dalam kajian Islam kontemporer, nama Nasr Hamid Abu Zaid tentu
sangat popular dan familiar. Pemikir yang cukup fenomenal ini berasal dari
Mesir, namun dia menemukan eksistensinya di Leiden-Belanda. Gagasan-
gagasannya senantiasa menjadi perbincangan di kalangan pengkaji ilmu-ilmu
keislaman (islamisist), khususnya dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an. Sebagian
kalangan menganggap pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid ini menyimpang dari
nilai luhur ajaran Islam (melecehkan Islam). Biasanya yang termasuk
kelompok ini adalah para pemikir yang “konservatif”. Di pihak lain, ada
kelompok yang mendukung atau sejalan dengan pemikiran-pemikirannya.
Kelompok ini biasanya berasal dari kelompok pemikir Muslim “liberal-
reformis”.
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid yang paling kontroversial adalah
pandangannya yang menyatakan bahwa “Al-Qur’an adalah produk budaya”.
Konon karena pemikirannya ini, menyebabkan dia divonis  “murtad” oleh
Mahkamah Agung Mesir dan dijatuhi hukuman harus menceraikan istrinya.
Namun, ia terlepas dari tuntutan hukuman tersebut karena melarikan diri ke
Belanda. Nah, di sanalah ia mendapatkan tempat untuk terus
mengembangkan gagasan-gagasannya.
Sebagai akademisi patut kiranya kita mengkaji lebih mendalam tentang
pemikiran-pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. Sehingga kita tidak terjebak atau
mengikuti tanpa dasar dalam menolak ataupun menerima pemikiran-
pemikirannya. Yang menjadi stressing dari pembahasan ini adalah bagaimana
metodologi yang digunakan oleh Nasr Hamid untuk memproduksi gagasan-
gagasannya dan apa produk-produk dari pemikirannya, letak kekuatan dan
kelemahannya, serta pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran Islam.
Namun pada bagian awal, penulis mengupas terlebih dahulu riwayat hidup
dan latar belakang pemikirannya. Ini penting guna mengetahui kapabilitas
seorang Nasr Hamid terkait dengan kajian yang digelutinya.

Pembahasan

a.    Biografi Nasr Hamid Abu Zaid


Nasr Hamid Abu Zaid lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa propinsi
Tanta Mesir Bagian Barat. Semenjak kecil dia dibesarkan dalam keluarga dan
lingkungan yang sangat religius . Dia termasuk anak yang beruntung karena
dia melewati masa kanak- kanak dan dewasa di negeri Mesir di mana disana
adalah alam kebebasan berpikir dan termasuk pusat sumber khazanah
keislaman. Sehingga kondisi ini secara dinamis berpengaruh pada
pertumbuhan intelektualitasnya. Bahkan dalam usia delapan tahun dia sudah
menghafal kitab suci Al-Qur’an 30 juz di luar pendidikan formalnya. Selain itu,
sejak usia 11 tahun, ia juga bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin. Ikhwan
al-Muslimin adalah organisasi Islam yang beranggotakan Islamis moderat.
Bergabungnya Nasr dalam organisasi tersebut sedikit banyak berpengaruh
terhadap cara pandangnya terhadap Islam.
 Nasr Hamid Abu Zaid menempuh pendidikan madrasah Ibtidaiyah di
kampung halamannya pada tahun 1951. Dia kemudian melanjutkan
pendidikannya di sekolah tehnologi di distrik Kafru Zayyad, propinsi
Gharbiyah.  Dia masuk di sekolah ini untuk memenuhi keinginan ayahnya
untuk sekolah di kejuruan meskipun dia sangat ingin sekali melanjutkan
studinya di al-Azhar. pada tahun 1968 dia kemudian melanjutkan studi ke
Fakultas Adab di Universitas Kairo dan tamat pada tahun 1972 dengan
nilaicum laude (memuaskan ). Dia melanjutkan studi S2-nya di almamater
yang sama dan berhasil menyelesaikan tesisnya dengan judul qadhiyat
almajaz fi al-qu’an inda mu’tazilahdan berhasil dengan nilai yang memuaskan
pada tahun 1976. Kemudian pada tahun 1981 dia meraih gelar doctor dari
universitas yang sama dengan risalah desertasinya yang berjudul Ta’wilu al-
Qur’an ’Inda Muhyiddi al Arabidengan mendapatkan nilai yang sangat
memuaskan serta mendapat penghargaan tingkat pertama . Pendidikan
tingginya mulai S1, S2 dan S3 semuanya dikonsentrasikan pada bidang
Bahasa dan Sastra Arab. Nasr Hamid Abu Zaid juga pernah tinggal di Amerika
selama 2 tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian
doktoralnya di Institut of Midlle Eastern Studies University of Pensylivania
Philadelphia USA.
Selama di Amerika, Nasr Hamid mempelajari filsafat dan hermeneutika.
Baginya, hermeneutika adalah ilmu baru yang telah membuka matanya.
Demikianlah pengakuannya dalam otobiografinya (Adian Husaini, 2006).
Dari hasil intelektualnya ini akhirnya dia memutuskan untuk mengabdi
di almamaternya. Ia sempat menjadi asisten dosen dan kemudian menjadi
dosen dalam bidang adab dan filsafat sejak 1982. Pada tahun 1992, dia
dipromosikan sebagai profesor, tetapi ditolak karena hasil kerja dan
pemikirannya yang kontroversial, diantaranya menghujat para sahabat,
terutama Uthman Ibn ‘Affan. Menurutnya, Utsman Ibn ‘Affan, mempersempit
bacaan al-Qur’an yang beragam menjadi satu versi, Quraisy. Pemikirannya
juga dianggap melecehkan ajaran Islam, menghujat Rasulullah `, menodai al-
Qur’an dan menghina para ulama salaf. Karena pemikirannya yang
kontroversial itu, akhirnya ia divonis “murtad”, yang dikenal dengan peristiwa
“Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”. “Pemurtadan” Nasr tidak berhenti sampai
di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo
menetapkan Nasr harus menceraikan istrinya. Semenjak peristiwa itu, dia
meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama istrinya. Awalnya,
di Netherland Nasr menjadi Profesor tamu studi Islam pada Universitas Leiden
sejak 26 Juli 1995, dan sejak tanggal 27 Desember 2000 ia dikukuhkan
sebagai Guru Besar di bidang Bahasa Arab dan studi Islam di Universitas
tersebut.
Dalam putusan Mahkamah Agung Mesir pada tanggal 5 Agustus 1996,
sebagaimana dikutip oleh Syamsudin Arif dalam Adian Husaini, menyebutkan
kesalahan-kesalahan Nasr Hamid sebagai berikut: Pertama, berpendapat dan
mengatakan bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti
‘arasy, malaikat, setan, jin, surga, dan neraka adalah mitos belaka. Kedua,
berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj
tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Qur’an sebagai kalamullah
yang telah ada dalam lauhul Mahfuz. Ketiga, berpendapat dan mengatakan
bahwa al-Qur’an adalah teks linguistik. Keempat, berpendapat dan
mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an adalah “tradisi reaksioner” serta
berpendapat dan mengatakan bahwa syariah adalah faktor penyebab
kemunduran umat Islam.Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman
kepada perkara-perkara gaib merupakan indikator akal yang larut dalam
mitos. Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama
Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi
seluruh umat manusia. Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-
Qur’an yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi
mempertahankan supremasi suku Quraisy.Kedelapan, mengingkari otentisitas
Sunnah Rasulullah saw.Kesembilan, mengingkari dan mengajak orang keluar
dari otoritas “teks-teks agama”. Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan
bahwa patuh dan tunduk pada teks-teks agama adalah salah satu bentuk
perbudakan (Amir Syarifudin dalam Adian Husaini, 2006).
Nasr Hamid juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan dan gelar
penghormatan, diantaranya; 1975-1977 dari Ford Foundation Fellowship at
the American University in Cairo, tahun 1985-1989: Visiting Profesor, Osaka
University of Foreign Studies Japan dan tahun 2002-2003; Fellow at the
Wissenschatten College in Berlin. Nasr Hamid Abu Zaid menghembuskan
nafas terakhir pada Senin, 5 Juli 2010.
b.   Kegelisahan Intelektual
Produk pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentu sangat dipengaruhi
dominasi intelektualnya, yakni di bidang bahasa dan sastra. Mengingat
pendidikan tingginya dihabiskan atau digunakan untuk mempelajari bahasa
dan sastra Arab, serta pengalamannya dia belajar filsafat dan hermeneutika di
Amerika yang menjadikan latar belakang dan sumber inspirasinya, maka
fokus kajiannya adalah pada teks (al-Qur’an) atau hadits.
Intensitasnya dalam studi bahasa dan sastra Arab menyebabkan ia
sering bergumul dengan kajian al-Qur’an. Kondisi ini juga didukung oleh
intensitasnya berinteraksi dengan mahasiswa jurusan bahasa Arab di
Universitas Kairo, baik di universitas induk maupun di cabang Khourtoum,
Sudan. Melalui dua mata kuliah yang ia ajarkan, al-Qur’an-Hadits, dan
Balaghah Arab, ia bersama mahasiswanya melakukan pengujian dari berbagai
macam aspek terhadap sejumlah hipotesis yang seluruhnya berkisar di
seputar al-Qur’an (Nasr Hamid, 2005).
Namun, dialog antara Nasr Hamid, mahasiswa dan para koleganya tidak
hanya pada persoalan al-Qur’an, tapi meluas pada persoalan budaya dan
Negara. Hal ini dilakukan atas dasar kesadaran bahwa dirinya adalah bagian
dari realitas masyarakat (negara).
Dalam konteks akademis, pemikiran-pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid
merupakan pengembaraan kajian terhadap tradisi intelektual yang sudah
berkembang dari sudut pandang hubungan dan dialektika mufassir dengan
teks. Beberapa kajian yang telah dilakukan Nasr Hamid adalah mengenai
interpretasi (ta’wil) teks al-Qur’an, baik yang didasarkan pada rasio
sebagaimana yang dilakukan kalangan Mu’tazilah, atau yang didasarkan
pada intuisi-spekulatif sebagaimana yang dilakukan kalangan sufi.
Menurutnya, dua kajian tersebut difokuskan pada horizon intelektual dan
epistemologis yang menjadi titik tolak proses penafsiran dan interpretasi.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa menonjolkan peran mufasir dalam
memahami teks, dan dalam menemukan makna dan signifikansi teks,
memberikan anggapan bahwa aktifitas interpretasi dan penafsiran hanya
sekedar menarik teks ke horizon pembaca dan penafsir. Menurutnya, inilah
yang terjadi pada filsafat hermeneutika kontemporer yang memberikan
tekanan lebih besar pada peran pembaca dan mufassir, sehigga eksistensi teks
dihancurkan dan dikorbankan demi kepentingan efektifitas interpretasi.
Oleh karena itu, ia menawarkan gagasan baru dalam memahami al-
Qur’an. Kajiannya difokuskan pada eksistensi atau konsep teks itu sendiri,
dan membicarakan berbagai macam aspeknya. Ia ingin menunjukkan
bagaimana peran teks, efektifitas teks, dan efektifitas tradisi interpretasi yang
terkait dengan teks. Ia juga ingin menunjukkan pengaruh teks terhadap
pemikiran mufassir. Tujuan dari kajian ini adalah agar tidak mengabaikan
salah satu dari dua sisi hubungan antara teks dan mufassir.
c.    Metodologi Kajian
Sebelum melakukan kajiannya, terlebih dahulu Nasr Hamid Abu Zaid
menggunakan beberapa tahapan (metode):Pertama, membaca apa yang telah
ditulis oleh ulama-ulama terdahulu; Kedua, membicarakan pendapat-
pendapat mereka dilihat dari kacamata kontemporer (Nasr hamid, 2005).
Langkah pertama dilakukan agar mampu memahami dan menguasai
pemikiran-pemikiran ulama terdahulu secara secara utuh dan mendalam.
Selanjutnya dilakukan analisis dan kritik terhadap pemikiran mereka
berdasarkan pendekatan kontemporer.
Kajian yang dilakukan Nasr Hamid berangkat dari sejumlah fakta di
seputar teks al-Qur’an. Menurutnya, teks itu dibentuk oleh peradaban Arab
pada satu sisi, dan pada sisi lain berangkat dari konsep-konsep yang diajukan
teks itu sendiri mengenai dirinya. Ia berpandangan bahwa teks pada dasarnya
merupakan produk budaya. Maksudnya, teks terbentuk dalam realitas dan
budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun (Nasr Hamid, 2005).
Menurutnya, ketika Allah swt mewahyukan al-Qur’an kepada Rasulullah
saw. Allah swt memilih sistem bahasa tertentu sesuai dengan penerima
pertamanya. Pemilihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab
bahasa adalah perangkat sosial yang paling penting dalam menangkap dan
mengorganisasi dunia. Atas dasar ini, ia berkeyakinan bahwa tidaklah
mungkin berbicara tentang bahasa terpisah dari budaya dan realitas. Oleh
karena itu, baginya, tidak mungkin berbicara tentang teks terpisah dari
budaya dan realitas selama teks berada di dalam kerangka budaya sistem
bahasa (Nasr Hamid, 2005).
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka ia memilih menggunakan
metode analisis bahasa (analisis teks) dalam mengkaji al-Qur’an. Menurutnya,
metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode humaniora yang
mungkin dapat digunakan untuk memahami risalah (pesan), dan ini
sekaligus berarti memahami Islam. Hal ini tentu saja sejalan dengan watak
materi (objek material) dan sejalan dengan objek teks itu sendiri (Nasr Hamid,
2005).
Selain metode anilisi teks, ada metode lain yang digunakan oleh Nasir
Hamid, yaitu metode analisis wacana (manhaj tahlil al-kitab). Metode ini adalah
yang digunakan Nasr Hamid dalam karyanya “al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah”
(Teks Otoritas Kebenaran). Metode ini bertolak dari fakta bahwa pembacaan
terhadap tradisi dan teks agama dalam realisasinya berbentuk “wacana-
wacana” yang harus dianalisis untuk diungkap signifikansi-signifikansi, baik
yang tersurat maupun yang tersirat di dalam wacana agar sampai pada
analisis terhadap struktur wacana dalam stiliska dan naratifnya. Selain itu,
metode ini juga bersandar pada pemanfaatan semiologi dan hermeneutika
(Nasr Hamid, 2003).
Menurutnya, Ada dua kaidah pokok yang patut dijadikan pegangan
dalam metode analisis wacana. Pertama,bahwa wacana-wacana yang
diproduksi dalam konteks kultural-historis bukan merupakan wacana-wacana
tertutup atau terpisah dari yang lain. Kedua, bahwa semua wacana adalah
sama. Tidak ada satu pun dari wacana-wacana itu yang berhak mengklaim
sebagai yang memiliki kebenaran (Nasr Hamid, 2003).
d.   Karya-Karya
Sebagai akademisi, Nasr Hamid telah menghasilkan banyak karya
sebagai sarana untuk menuangkan ide dan gagasan-gagasannya. Beberapa
karya beliau yang telah diterbitkan antara lain:
1)   Al-Ittijah al-‘Aqliy fi al-Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-
Mu’tazilah (Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut
Mu’tazilah)
2)   Falsafat al-Takwil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn
‘Arabi (Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Qur’an menurut
Muhyiddin ibn Arabi)
3)   Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Konsep Teks: Studi Ulumul
Qur’an)
4)   Isykaliyat al-Qir’ah wa Alliyat al-Ta’wil (Problematika Pembacaan dan
Mekanisme Hermeneutik)
5)   Naqd al-Khithab al-Diniy (Kritik Wacana Agam)
6)   Al-Imam al-Syafi’I wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Washathiyyah (Imam Syafi’I dan
Peletakan Dasar Ideologi Tengah)
7)   Al-Nash, Al-Shultah, Al-Haqiqah (Teks, Otoritas, Kebenaran)
(Adian Husaini, 2006)

e.    Pokok-Pokok Pemikiran
Untuk mengungkap pokok-pokok pemikiran Nasr Hamid, penulis
merujuk pada dua karyanya, yaitu Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap
Ulumul Qur’an (Mafhum al-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an) dan Teks, Otoritas,
Kebenaran (al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah). Tentu saja pemikiran Nasr Hamid
tidak hanya tertuang dalam kedua karya tersebut. Namun, karena
keterbatasan waktu dan sumber, maka tidak memungkinkan bagi penulis
untuk mengungkap seluruh pemikiran Nasr Hamid yang tertuang dalam
semua karyanya.
1)   Pandangan Terhadap Al-Qur’an
Pandangan yang paling kontroversial dari Nasr Hamid Abu Zaid
terhadap al-Qur’an adalah yang menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan
“produk budaya”. Maksudnya di sini adalah Al-Qur’an sebagai sebuah teks,
pada dasarnya merupakan produk budaya. Hal ini mengandung arti bahwa
teks terbentuk dalam realitas dan budaya lewat rentang waktu lebih dari dua
puluh tahun. Apabila teks tersebut terbentuk dalam realitas dan budaya,
maka banyak unsur dan hal yang memiliki peran dalam membentuk teks-teks
tersebut.  Jika demikian halnya, maka terjadilah dialektika yang dinamis
antara teks dengan kebudayaan (Nasr Hamid, 2005).
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa al-Qur’an menyifati dirinya
sebagai risalah, dan risalahmerepresentasikan hubungan antara pengirim dan
penerima melalui medium sistem bahasa. Oleh karena pengirim (baca: Allah)
dalam konteks al-Qur’an tidak mungkin dijadikan objek kajian ilmiah, maka
wajar apabila pengantar ilmiah bagi kajian teks al-Qur’an adalah realitas dan
budaya, yaitu realitas yang mengatur gerak manusia yang menjadi sasaran
teks dengan penerima teks pertama (baca: Rasul) dan budaya yang menjelma
dalam wujud bahasa.  Dalam konteks ini, Nasr Hamid merekomendasikan
“pembacaan ulang” terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an dengan pembacaan yang
baru dan serius (Nasr Hamid, 2005). Dengan kata lain perlu ada kritik
terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an yang telah berkembang selama ini.
Di dalam karyanya Mafhum an-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an (Konsep
Teks: Kajian atas Ilmu-Ilmu al-Qur’an), Nasr Hamid menggunakan istilah
“teks” sebagai konotasi dari al-Qur’an. Pemilihan kata teks merujuk pada al-
Qur’an dimaksudkan untuk menghindari konotasi teologis-mistisdalam
kajiannya. Oleh karena itu, ia memposisikan al-Qur’an sebagai teks tanpa
atribut apapun sebagaimana teks-teks yang lain (al-Qur’an tidak dilihat dari
sisi kemunculannya). Sebagai teks, satu-satunya pintu masuk ke dalamnya
sebagai langkah pertama adalah perangkat kebahasaan. Perangkat bahasa
dipergunakan di sini dalam kaitannya dengan fakta bahwa al-Qur’an adalah
teks verbal (Nasr Hamid, 2005).
Berangkat dari kerangka dasar itulah, Nasr Hamid mengupas ilmu-ilmu
al-Qur’an. Setidaknya ada tiga persoalan yang menjadi fokus kajiannya, yaitu:
a.    Format dan formatisasi oleh teks
Dalam konteks ini, al-Qur’an ditempatkan dalam bingkai proses
komunikasi. Dalam proses pembentukan formatnya, al-Qur’an berhenti
sampai dengan meninggalnya Nabi. Adapun dalam proses formatisasi oleh
teks, al-Qur’an terus berinteraksi dengan kebudayaan melalui penafsirnya.
Menurutnya, oleh karena al-Qur’an yang ada sekarang merupakan hasil
proses komunikasi, maka dalam pembentukan formatnya banyak faktor yang
terlibat, seperti kondisi penerima pertama (Muhammad saw), sasaran
pembicaraan (bangsa Arab) dengan segala konteks sosial dan budaya yang
mengelilingi mereka. Sementara dalam proses formatisasi oleh teks, al-Qur’an
membentuk budaya, dalam rangka mengubah situasi sosial dan budaya
menuju situasi yang dikehendakinya, tidak secara langsung, tetapi melalui
nalar manusia yang menafsirkannya (Nasr Hamid, 2005).
b.   Mekanisme teks
Bagaimana teks bekerja dalam memproduksi makna? Menurut logika
apa teks bekerja? Dua pertanyaan inilah yang menjadi perhatian Nasr Hamid.
Menurutnya, teks bekerja tentunya melalui nalar mufassir secara
intertekstual. Maksudnya teks bekerja dalam kaitannya dengan teks di luar.
Selain itu, al-Qur’an bekerja secara otonom setelah teks tersebut diubah
menjadi mushaf. Maksudnya teks bekerja dalam kaitannya dengan teks-teks
lain dalam mushaf itu sendiri. Dalam bahasa ulama al-Qur’an yafassiru
ba’dhuhu ba’dhan (antara bagian-bagian al-Qur’an saling menafsirkan satu
sama lain)
c.    Pergeseran konsep dan fungsi teks
Menurut Nasr Hamid, ada pergeseran konsep dan fungsi teks, dari teks
yang berfungsi sebagai tanda dengan kekayaan makna yang dikandungnya
menjadi sesuatu yang mati, tertutup dan miskin makna. Kaitannya dengan hal
ini, ia menjadikan Imam al-Ghazali sebagai objek kajiannya. Karena
menurutnya, al-Ghazali dianggap sebagai tokoh yang paling berpengaruh di
dalam mengubah realitas masyarakat Islam pada masanya dan setelahnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, konsep-konsep al-Ghazali mengenai teks
dan tujuan-tujuannya berangkat dari dua titik tolak dasar, yaitu teologi Asy’ari
dan ginotisme sufistik. Titik tolak Asy’ari yang mempengaruhi al-Ghazali
adalah hakikat konsep teks yang menurut Asy’ari sebagai salah satu “sifat” Zat
Tuhan. Sementara titik tolak sufisme yang mempengaruhi al-Ghazali adalah
eksistensi manusia di muka bumi hanya dalam rangka mewujudkan
keberuntungan dan keselamatan di akhirat. Jika tujuan tersebut dapat
dicapai dan direalisasikan melalui upaya mewujudkan eksistensi manusia
yang ideal dalam realitas sosial. Al-Ghozali memandang bahwa realisasi tujuan
tersebut hanya dimungkinkan melalui sikap asketisme, menyerahkan diri
kepada Allah semata dan melempar selain-Nya (Nasr Hamid, 2005).
2)   Pandangan Terhadap Turats (tradisi)
Nasr Hamid Abu Zaid melihat sikap umat Islam (para ulamanya)
terhadap turats sudah tidak sesuai dengan nalar-ilmiah. Sebagian besar dari
mereka menganggap bahwa turats merupakan bagian dari agama (agama itu
sendiri). Karena ketika berbicara tentang turats selalu identik dengan agama
(al-din). Turats juga selalu membayang-bayangi dinamika kehidupan umat.
Sehingga setiap muncul persoalan, maka mereka sering merujuk
kepada turats untuk mencari solusi. Dengan kata lain, menurut Nasr Hamid
telah terjadi apa yang disebut dengan “sakralisasi” turats (Nasr Hamid, 2003).
Menurut Nasr Hamid, kata turats harus dilepaskan pada konsep
kata waratsa (harta warisan). Tetapi harus merujuk pada kata turats yang
muncul pada ayat 19 surat al-Fajr. Kata yang berubah menjadi konsep turats
di dalam al-Qur’an adalah kata sunan, khususnya dalam bentuk kataas-
sunnah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sunnah orang-orang
terdahulu adalah turats dengan berbagai tingkatan pemahaman, nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, adat istiadat, batas-batas perilaku, kebiasaan dan
sebagainya. Ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an menentang sikap memegangi
adat-istiadat dan terus menerus mengikuti sunnah-sunnah generasi masa
lampau.
Menurutnya, dalam konteks hadits (sunnah), yang harus dipahami
adalah mana ucapan-ucapan Rasul yang berkaitan dengan keharusan
mengikuti sunnah (penjelasan terhadap al-Qur’an) dan mana ucapan-ucapan
dan perbuatan Rasul yang harus diletakkan dalam konteks eksistensi sosial
dari pribadi historis. Hal ini sebagaimana yang terjadi di kalangan ahlu al-
hadits dan ahlu al-ra’yi. Di mana ahlu al-hadits menganggap bahwa semua
yang dilakukan Nabi adalah sunnah yang harus diikuti, sedangkan ahlu al-
ra’yi menganggap bahwa semua yang dilakukan Nabi (sunnah) harus dipilah
mana yang sunnah syar’i dan mana yang sunnah ghairu syar’i.
3)   Kritik Nalar Teks
Menurut Nasr Hamid, selama ini pengetahuan yang dihasilkan para
ulama kebanyakan berdasarkan atau berorientasi pada teks. Maksudnya
kaidah-kaidah yang menghasilkan pengetahuan dalam budaya arab dibatasi
oleh otoritas teks, dan tugas akal terbatas hanya memunculkan teks-teks dari
teks-teks yang mendahului. Pada masa taklid, pendapat dan ijtihad para imam
menjadi “teks” dalam pengertian bahwa teks tersebut menjadi ruang untuk
menjelaskan, menafsirkan, menggali hukum (istinbath), dan memproduksi
teks.
Fenomena di atas disebabkan dua faktor yang utama, yaitu kemandekan
realitas Arab secara sosiologis, ekonomis, dan politis, baik dalam konteks
sejarah negara Arab-Islam, maupun dalam konteks sejarah modern-
kontemporer. Sementara faktor kedua adalah kompleksitas hubungan dengan
pihak lain, yakni dunia Barat (Nasr Hamid, 2003).

f.     Kekuatan dan Kelemahan


Setiap produk pemikiran yang dihasilkan oleh para ulama
(ilmuan/cendekiawan) tentu memiliki kelebihan/kekuatan dan kelemahan.
Oleh karena itu, pada bagian ini penulis akan menganalisis letak kekuatan
dan kelemahan pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. Dalam analisis ini penulis
menggunakan sumber tulisan atau referensi yang telah melakukan kajian
terhadap pemikiran Nasr Hamid.

1)   Kekuatan
Menurut Amin Abdullah, metode yang digunakan Nasr Hamid Abu Zaid
merupakan kombinasi tiga pendekatan antara hadharatu al-nash (peradaban
teks) danhadharatu al-‘ilm (peradaban pengetahuan) dan hadharatu al-
falsafah (Peradaban falsafah). Bagian hadharatu al-‘ilmterkait sekali dengan
soal tafkir, seperti pendekatan sosiologis, antropologis, dan lain sebagainya.
Adapun yang dimaksud hadharatu al-falsafah adalah akhlak baru yang
membebaskan. Kombinasi tiga pendekatan tersebut sangat cocok untuk studi
Islam di perguruan tinggi.
Pemikiran yang diusung Nasr Hamid sangat menekankan pada tradisi
ilmiah dalam memahami Islam (al-Qur’an dan hadis/turats). Hal ini bisa
menumbuhkan semangat tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga bisa
mengikis stagnasi pemikiran dan sikap taklid umat Islam.
2)   Kelemahan
Selain kelebihan yang terdapat pada metode dan pemikiran Nasr Hamid
Abu Zaid, tetapi juga memiliki beberapa kelemahan.  Menurut Adian Husaini
(2007), problem besar yang muncul jika hermeneutika ala Nasr Hamid
digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an adalah;Pertama, metode
hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga.
Dalam konteks al-Qur’an, upaya pengumpulan naskah-naskah al-Qur’an pada
masa khalifah Utsman bin Affan, yang dikenal dengan Mushaf Utsmani sering
dicurigai sebagai upaya hegemoni budaya Arab Quraisy terhadap budaya-
budaya yang lain.Kedua, hermeneutika cenderung memandang teks sebagai
produk budaya dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya transenden (ilahiyah).
Karena untuk menerapkan hermeneutika, maka teks al-Qur’an yang sacral
(suci) harus diturunkan derajatnya menjadi teks manusiawi. Ketiga,aliran
hermeneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat
relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan. Selain itu,
pandangan Nasr Hamid yang mengenyampingkan keimanan seseorang untuk
mengkaji al-Qur’an tidaklah tepat. Karena di antara syarat mufasir yang
disepakati oleh para ulama adalah berkaitan dengan keberagamaan dan
akhlak (Adnin Armas, 2005).
g.    Pengaruh Pemikiran terhadap Perkembangan Pemikiran Islam
Terlepas dari sikap pro dan kontra terhadap pemikiran Nasr Hamid Abu
Zaid, bahwasanya beliau telah memberikan kontribusi yang besar terhadap
dinamika studi ilmu keislaman. Sebagai pemikir kontemporer, Nasr Hamid
telah memberikan angin segar bagi dinamika pemikiran Islam yang selama
ini stagnan. Ia telah menawarkan gagasan baru dalam studi Islam yang
dulunya jarang dibahas oleh para ulama klasik, khususnya studi ilmu al-
Qur’an. Metode analisis teks (sastra) yang beliau tawarkan merupakan salah
satu metode baru yang dapat digunakan dalam studi ilmu al-Qur’an.
Dalam konteks Indonesia, pengaruh pemikiran Nasr Hamid sangat
terasa. Perguruan-perguruan tinggi Islam (baca: UIN) telah menjadikan metode
hermeneutika dan semiotika dalam studi al-Qur’an sebagai mata kuliah wajib
pada mata kuliah tafsir hadis (fakultas Ushuluddin). Selain itu, banyak
pemikir Muslim kontemporer, seperti Amin Abdullah, mengusung pemikiran
Nasr Hamid dalam studi keislaman.
Penutup
berdasarkan deskripsi tentang pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid di atas,
penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
1)   Latar belakang kehidupan dan keilmuan Nasr Hamid Abu Zaid adalah bergelut
di bidang bahasa dan sastra Arab. Hal ini yang menjadikan fokus kajiannya
adalah pada aspek teks (sastra).
2)   Metode yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zaid dalam melakukan kegiatan
akademisnya adalah terlebih dahulu membaca semua karya-karya ulama
terdahulu. Lalu melakukan analisis dengan menggunakan pendekatan ilmu-
ilmu kontemporer.
3)   Dalam melakukan kritik terhadap studi ilmu al-Qur’an, Nasr Hamid
menggunakan pendekatan kritik teks (Hermeneutika-semiotika). Sedangkan
kritiknya terhadap turats menggunakan pendekatan kritik wacana.
4)   Kekuatan pemikiran Nasr hamid terletak pada kombinasi pendekatan yang
digunakan dan upaya menggugah tradisi ilmiah pada umat Islam. Sedangkan
kelemahannya terletak pada kekurang tepatan dalam penggunaan
hermeneutika-semiotika untuk menafsirkan al-Qur’an. Sehingga dapat
menghilangkan transendensi teks al-Qur’an dan menghasilkan relatifitas
tafsir.
5)   Pengaruh pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid dalam dinamika perkembangan
pemikiran Islam sangat besar.

Sumber:
Nasr Hamid Abu Zaid. (2005). Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap       Ulumul
Qur’an (terj). Yogyakarta: PT. LKiS
Nasr Hamid Abu Zaid. (2003). Teks Otoritas Kebenaran (terj). Yogyakarta:         PT.
LKiS
Armas, Adnin. (2005). Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an:
Kajian     Kritis. Jakarta: Gema Insani.
Husaini, Adian. (2006). Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam
di      Perguruan Tinggi. Jakarta: Gema Insani.
______________ . (2007). Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an. Jakarta:
Gema           Insani.
Hermeneutika
Abu Zayd pada dasarnya
mencoba memakai analisa
hermeneutika
konstruktif dalam berbagai
kajian al-Qur’an yang
dilakukannya. Dia
mengidentifi kasi bahwa
masalah mendasar dalam
kajian Islam adalah
masalah penafsiran teks secara
umum, teks historis maupun teks
keagamaan,
5
al-Qur’an. Dalam kajian al-
Qur’an, Abu Zayd memandang
bahwa herme-
neutika berkontribusi pada
peralihan perhatian penafsiran
al-Qur’an ke
arah penafsir (mufassir). Dia
berkonsultasi dengan sejumlah
hermeneut dan
teorist sastra, mulai dari
Schleirmacher, TS Elliot,
Wilhelm Dilthey, Martin
Heidegger, Gadamer, Hirsh,
Goldman, sampai Paul
6
Ricouer. Abu Zayd
meminjam hermeneutika
dialektis Gadamer untuk
mengkaji ulang warisan
keagamaan termasuk kajian al-
Qur’an (dan tentunya karya dan
teori sastra),
yang dipakainya sebagai titik
berangkat, dengan maksud untuk
mengungkap
perbedaan penafsiran dan batas-
batas nalarnya baik di masa
awal penafsiran
itu muncul atau di masa
kontemporer. Dia menjelaskan:
“... antara permulaannya
dengan perkembangan
kontemporernya,
hermeneutika di bawah
berbagai horison pandangan
yang baru yang
paling penting dalam penilaian
kami, telah mengalihkan
perhatian pada
peran mufassir, atau penerima
untuk kasus penafsiran karya
sastra dan

Anda mungkin juga menyukai