Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TAFSIR NARS HAMID ABU ZAYD

Dosen Pengampu: Dr.Andi Rosa, M.A

Mata Kuliah: tafsir kontemporer

Disusun Oleh :

SITI MASTIROH : 171370035

JURUSAN ILMU HADIS/4

FAKULTAS USHULUDIN DAN ADAB

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN

TAHUN 2018/2019
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam keyakinan Muslim, al-Qur’an adalah tanzi’l dari Allah SWT baik secara lafaz maupun
maknanya. Peran NabiMuhammad SAW hanyalah sebagai penyampai wahyu.Walaupun teks-teks al-
Qur’an dalam Bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu, tetapi al-
Qur’an tidak tunduk pada budaya. Al-Qur’an justru merombaknya dan membangun pola pemikiran
juga peradaban baru,1 sehingga al-Quran dan hukum Islam menjadikan Arab bernilai peradaban
tinggi.2 Dengan adanya keyakinan ini sekaligus akan mengakui kesakralan teksnya, menyelisihi
segala bentuk teks-teks yang ada di dunia ini.Namun dalam perkembangan wacana pemikiran Islam
dewasa ini, banyak muncul pandangan baru terhadap tanzi’l-nya al-Qur’an yang berasal dari pemikir
Islam modernis. Sebut saja Muhammad Arkoun yang menyatakan bahwa al-Qur’an yang ada pada
kita saat ini adalah edisi dunia. Sementara al-Qur’an yang sebenarnya adalah yang diamankan dalam
lauh mah}fu’z (preserved tablet) dan tetap berada bersama dengan Tuhan. Karena itu kita tidak perlu
menyakralkan al-Qur ’an edisi dunia yang telah mengalami modifikasi, revisi, dan substitasi. 3 Begitu
juga Nasr Hamid Abu Zaid yang menyatakan al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqa’fi),
artinya teks al-Qur’an merupakan bagian yang tak terpisahkan dari struktur budaya Arab. Jika dilihat
dari dampaknya, konsekuensi yang nyata dari dua pandangan ini adalah akan menuju kepada
goyahnya atau bahkan hilangnya keyakinan bahwa teks al-Qur’an dalam mushaf adalah suci. Padahal
segala hal yang membawa kesucian, pada hakikatnya dia juga suci.

BAB II

1
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 311
2
Muhammad al-Ghazali, Qadza’if al-Haq, (Damaskus: Da’r al-Qalam, cet. II, 1997) 215.
3
Muhammad Arkoun, Lectures du Coran, 39; Al-Qur’a’n: min al-Tafsi’r bi al-Mawru’m, 109; al-Ama’nah wa
al-Di’n: al-Isla’m, al-Masi’hiyah, al-Gharb, Terj. Hasyim Salih (London: Dar al-Saqi, 1990), 82.
PEMBAHASAN

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd

Abu Zayd lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa, Tanta Mesir. Pada usia 8 tahun  dia sudah
berhasil menghafal Al–Qur’an 30 Juz seperti kebanyakan anak-anak muslim dinegaranya. Pendidikan
tingginya, mulai dari strata satu, dua dan tiga  dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas
Kairo dengan predikat highst honour, ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980),
saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktornya di Institut Midle Eastren Studies, Universitas
Pensylvania, Philadelphia, USA. Di universitas ini  dia mempelajari Folklore dan metodologi kajian
lapangan ( fieldwork). Pada tahun 1992 Abu Zayd menikah dengan Dr. Ibtihal Yunis pada saat
usianya menginjak 49 tahun. 4

Nasr Hamid Abu Zaid, mantan dosen Fakultas Sastra Universitas Cairo. Ia menghembuskan nafas
terakhir pada Senin, 5 Juli 2010, akibat serangan virus langka yang secara medis belum ditemukan
cara pengobatannya. Semoga virus langka tersebut tak mengurangi kedudukan intelektualnya, tapi
justru mengangkat derajatnya di sisi Allah sebagaimana Nabi Ayub yang ditinggikan derajatnya
setelah diuji dengan penyakit kulit yang kronis. Abu Zaid merupakan pemikir Mesir yang sangat
kontroversial karena karya-karyanya yang telah mengundang perdebatan di dunia Islam sejak tahun
1970-an. Di satu sisi, banyak kalangan mengapresiasi karyakaryanya yang mempromosikan
pencerahan dalam studi Islam. Namun, di sisi lain, ia dikafirkan kaum konservatif dan pengadilan
Mesir (tahun 1995) karena pemikirannya dituduh menyeleweng. Vonis pengkafiran ini memaksa Abu
Zaid hijrah ke Leiden kemudian menjadi guru besar studi Islam di Universitas Leiden dan profesor
pada Universitas for Humanistics di Utrecth. Vonis pengkafiran ini pun menjadi topik hangat yang
ramai diperdebatkan kalangan sarjana, baik yang pro maupun kontra.

Kesalah pahaman itu terjadi akibat kesalahan para kritikus Abu Zaid dalam memahami istilah
“Al-Qur’an adalah produk budaya” (muntâj tsaqâfî ). Untuk mengantisipasi kesalahpahaman itu, Abu
Zaid dalam Mafhûm al-Nash menjelaskan, “wa al-maqshûd bi dzalika annahu tasyakkala fi al-wâqi’
wa al-tsaqâfat khilâla fatrah tazîdu ‘ala ‘isyrîna ‘âman ”. Artinya, “Yang dimaksud dengan ‘produk
budaya’ di sini adalah: Al-Qur’an terbentuk di tengah-tengah kenyataan sosial dan budaya Arab
selama lebih dari dua puluh tahun”. Abu Zaid menegaskan lebih lanjut bahwa keimanan terhadap
sumber Ilahi teks Al-Qur’an tidak bertentangan dengan upaya menganalisanya melalui pendekatan
kultural dimana teks tersebut muncul.5

Untuk memahami lebih jelas kerangka pemikiran Abu Zaid dalam Mafhûm al-Nash, Charles
Hirschkind dalam “Heresy or Hermeneutics: the Case of Nasr Hamid Abu Zaid” menyatakan, “Titik

4
MuslimDelft Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3 Desember 2008.
5
Andi Rosa Tafsir kontemporer
tolak argumentasi Abu Zaid adalah gagasan bahwa setelah diturunkan kepada Muhammad, Al-Qur’an
masuk ke dalam dimensi sejarah dan menjadi tunduk pada hukum-hukum yang bersifat historis dan
sosiologis. Teks Al-Qur’an kemudian menjadi manusiawi (humanized/muta’annas), memasukkan
relung-relung budaya yang partikular, kondisi politik, dan unsur-unsur ideologis masyarakat Arab
abad ketujuh”. Dikatakan manusiawi sebab Al-Qur’an turun melalui media bahasa manusia agar dapat
dipahami penerimanya. Juga karena Alquran telah bermetamorfosis dari “teks Ilahi” menjadi “teks
yang ditafsiri secara manusiawi” .
Konsepsi Abu Zaid ini sama sekali tak menyeleweng sebab senada dengan QS. Yusuf: 2,
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya”. Dengan demikian sah-sah saja jika Al-Qur’an dipahami dengan pendekatan bahasa
dan sosial budaya.
Abu Zaid juga dikenal sebagai tokoh yang mengenalkan diskursus hermeneutika melalui
tulisannya yang berjudul al-Hirminiyutiqa wa Mu’dilat Tafsîr al-Nash (Hermeneutika dan Problema
Penafsiran Teks). Namun tawaran ini ditolak secara massif oleh kalangan konservatif dengan alasan
hermeneutika adalah metode penafsiran Bibel yang tak sepantasnya diaplikasikan dalam penafsiran
Al-Qur’an. Pandangan konservatif yang simplistik ini diluruskan Abu Zaid dengan statemennya, “Al-
hirminiyutiqa idzan qadhiyyatun qadimatun wa jadîdatun fî nafs al-waqti, wa hiya fî tarkizihâ ‘alâ
‘alaqati al-mufassir bi al-nash laisat qadliyyatan khasatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun
lahâ wujudûha al-mulih fî turâtsina al-‘arabi al-qadîm wa al-hadîts ‘alâ sawâ”. Artinya,
hermeneutika adalah diskursus lama sekaligus baru.Pokok pembahasannya adalah tentang relasi
penafsir dengan teks. Hermeneutika bukan hanya semata diskursus pemikiran Barat, akan tetapi
diskursus yang wujudnya juga telah ada dalam turâts Arab, baik Arab klasik maupun modern.
Untuk membuktikan bahwa hermeneutika bukan hanya diskursus Barat tetapi juga ada dalam
khazanah Islam klasik, Abu Zaid menulis Isykâliyyât al-Qirâ’ah waAliyât al-Ta’wîl (Problem
Pembacaan dan Metode Interpretasi) dan 85 Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl al-Quran ‘Inda Ibn
`Arabi (Filsafat Hermeneutik: Studi Hermeneutika Al-Qur’an menurut Ibn Arabi). Melalui karya-
karya ini Abu Zaid mencoba mengkomparasikan hermeneutika Barat dan hermeneutika Islam.Abu
Zaid menyimpulkan bahwa khazanah Islam klasik telah memiliki konsep hermeneutika yang sejajar
dengan hermeneutika Barat. Dengan demikian, wacana studi Al-Qur’an sepatutnya membuka diri
untuk berdialog dengan wacana interpretasi teks dari peradaban Barat untuk saling mengkayakan satu
sama lain.
B. Karya – karya Nasr Hamid Abu Zaid

Biografi Abu Zaid memberi gambaran kepada kita  bahwa pemikiran yang ia hasilkan memiliki
relevansi dengan karya – karyanya. Hal ini bisa kita lihat dalam karya-karyanya, yang secara umum,
menyorot tentang  studi Al Qur’an Karya–karya yang dihasilkan  Abu Zaid, dapatlah dipetakan
sebagai berikut :

I. Karya-karya yang bertema Studi Al Qur’an.


1. Rasionalisme  dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah: Al Ittijah al-‘aqliyah fit
Tafsir: Dirosah fi mafhum al majaz ‘inda al Mu’tazilah, Beirut, 1982.
2. Filsafat Hermenutika: Studi Hermeneutiika al Qur’an menurut Muhyidin ibn ‘Arabi ( Falsafat al
Ta’wil al Qur’an ‘indi Muhyiddin inb Arabi, Beirut, 1983).
3. Konsep Teks: Studi Ulumul Qur’an ( Mafhum An Nashsh: Dirosah  fi ulumul Qur’an, Cairo, 1987).
4. Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutika, (Isykaliyyat al Qiro’ah wa Aliyyat at
Ta’wil, Cairo, 1992).
5.  Kritik Wacana Agama ( Naqd al-khitab ad diniy, 1992).
6. Imam Syafi’I dan Peletakkan Dasar Idiologi Tengah, (al Imam asy syafi’I wa Ta’sis Aidulujiyyat al
wasathiyyah, Cairo 1992).
7. Al Ittijah Al ‘Aqli fi Al-Attafsir: Dirosah  fi Qodiyat al Majas fi al Qur’an “inda Mu’tazilah (Tren
rasional dalam penafsiran: kajian dalam masalah  metafora dalam al Qur’an menurut Mu’tazilah).
8. Falsafah al’Takwil: Dirosah fi al Ta’wil ‘inda Muhyiddin ibnu ‘Arabi (Filsafat Hermeneutika:
Kajian Hermeneutika  dalam al–Qur’an  Ibnu ‘Arabi).
9. ‘Ilmi Al-‘Alamat (Sistem Isyarat).
10. Retinhking the Qur’an: Toward Humanistics Hermeneutics.
II. Karya yang bertemakan tentang wacana kemodernan, kajian tokoh klasik dan politik yaitu:
1. Imam Al-Shafi’I wa Ta’sis Al-Aydulujiya al-Wasitiyah.
2. Naqdu Al-Kitab Al-Din (Kritik  wacana keagamaan).
3. Al Mar’ah fi Khitab al Azmah (Wanita dalam wacana krisis).
4. Al- Tafkir fi zamani al tafkir didu al jahli wa al zaif wa al kharofat (Pemikiran didalam masa
pengafiran melawan kebodohan dan khufarod).
5. Al Khilafah wa Sultah al Umah (Khilafah dan penguasah Umat).
6. An Nass wa Sulton wa al Hakikah: Irodatu al Ma’rifah wa Irodatun al Haymanah (Teks kekuasaan,
relaita: kelendak  ilmu  pengetahuan dan Hegemonia  kekuasaan).
7. Dawairul Khouf: Qiro’ah fi Khitabi al Ma’a (lingkaran ketakutan: pembacaan wacana wanita).
8. Al khitab wa al Ta’wil (Wacana dan hermeneutika).
9. Hakadza Takallama ibnu ‘Arobiy (seperti inilah  ibnu ‘Arobi berbicara).
10. Voice of an exile  (Suara dari pengasingan). Ditambah beberapa artikel  dalam bahasa Inggris
yang melengkapi pengembaraan intelektual Abu Zayd dalam bidang keilmuan keislaman dan
humaniora. Dan tidak bisa dipisahkan pengembaraan intelektualnya dengan kedekatannya terhadap
hermeneutika.6
            Namun  demikian  yang terpenting  dalam memahami intelektualitas Abu Zayd dalam
keseluruhan karyanya adalah keinginan nalar akademik relejinya untuk membangun  ‘kesadaran
ilmiyah’ bahwa agama islam harus difahami sebagai suatu yang tidak sekedar normatif tetapi sesuatu

6
Zaid, Abu, al-Tafkir fi al-Zaman AL-Tafkir, diddu i-Jahl wa al Zaif wa I-Kharafah,Maktabah Madbuli:
Mesir,2003.
yang terbuka  untuk ditelaah secara ilmiah. Terutama masalah tradisi yang tidak perlu dipuja-puja
seolah-olah terlindungi oleh dinding anti kritik (status quo) dan menutup adanya
kemungkinan  berijtihad.

C. Metode pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd


hermeneutik adalah istilah yang telah ada sejak dulu, dan pertama kali digunakan oleh berbagai
kelompok studi teologis untuk menyebut sejumlah kaidah dan aturan-aturan standar yang harus di
ikuti oleh seorang penafsir untuk dapat memahami teks keagamaan.pengertian hermeneutik muncul
sejak tahun 1654 M, dan terus berlaku hingga sekarang, terutama di kalangan protestanisme. 7
Pada masa modern, pengertian hermeneutik mengalami perluasan dan pergeseran sedemikian
rupa dari peristilahan dalam bidang teologi, meluas mencakup berbagai disiplin ilmu humaniora,
seperti sejarah, sosiologi, antropologi, estetika, kritik sastra dan cerita rakyat.Dengan demikian,
hermeneutik merupakan problem klasik sekaligus juga modern. Problem ini terfokus pada relasi
antara penafsir dengan teks, yang tidak hanya menjadi problem khusus dalam pemikiran barat, tetapi
juga menjadi problem mengakar dalam tradisi arab, baik klasik maupun modern. 8
1 Tekstualitas al-quran
Abu Zayd tidak memberikan definisi secara pasti tentang apa yang dimaksudkannya dengan
teks, terutama dalam bukunya mafhum an-nas. Namun demikian, abu zayd menyebutan perbedaan
antara nash(teks) dan mushaf (buku). Yang pertama (teks) lebih merujuk kepada makna (dalalah)
yang memerlukan pemahaman, penjelasan dan interpretasi, sedangkan yang kedua (mushaf) lebih
merujuk kepada benda (shay’), baik benda estetik ataupun mistik.
Abu zayd membagi teks menjadi dua, yakni teks primer dan teks sekunder. Teks primer
adalah al-quran, sedangkan teks sekunder adalah sunnah nabi, yakni komentar tentang teks primer.
Teks-teks keagamaan yang diproduksi oleh para sahabat dan ulama lainnya diklasifikasi sebagai teks-
teks sekunder lain, yang merupakan interprets atas teks primer dan teks sekunder. Oleh karena itu,
teks sekunder hanyalah interpretasi-interpretasi atas teks primer, yang tidak bisa berubah menjadi teks
primer.
Tektualitas Al-quran mengarahkan pemahaman dan penafsiran seseorang atas pesan-pesan al-
quran.Tekstualitas al-quran meniscayakan penggunaan perangkat-perangkat ilmiah, yakni studi-studi
tekstual modern. Pengabaian atas aspek tekstualitas al-quran ini, menurut Abu Zayd akan mengarah
kepada pembekuan makna pesan, dan kepada pemahaman mitologis atas teks. Ketika makna
membeku dan baku, ia akan dengan sangat mudah dimanipulasi sesuai dengan kepentingan ideologis
seseorang.9

7
Nasr hamid abu zayd, “Al-Quran,Hermeneutik,Dan Kekuasaan” (RQiS, bandung, 2003) hlm 33
8
Nasr hamid abu zayd, “Al-Quran,Hermeneutik,Dan Kekuasaan” (RQiS, bandung, 2003) hlm 34
Pembahasan tentang teks al-quran, tidak bisa dilepaskan dari konsep wahyu dalam budaya
arab pra-islam dan ketika islam muncul. Karena, sebagaimana keyakinan umat islam, al-quran
merupakan teks yang diwahyukan Allah kepada Muhammad melalui malaikat jibril, dengan
menggunakan bahasa arab. Abu zayd menganggap fenomena wahyu keagamaan sebagai bagian dari
budaya dimana ia muncul.
Pada konsep wahyu, jelas sekali Abu zayd tidaklah mengingkari bahwa sang pengirim pesan
(risalah) adalah Allah. Namun demikian, dia lebih memfokuskan diri pada teks al-quran yang ada
pada kita, dan tidak mempermasalahkan kembali dimensi ilahiyahnya. Namun demikian, bukan
berarti bahwa ia menolak “kepenulisan” Allah, melainkan bahwa kajian tentang aspek pembicaraan
(Allah) berada diluar jangkauan investigasi ilmiah manusia, dan bisa menuntun kepada pandangan
mitologis (usthuri)
Menurut Abu Zayd, realitas adalah dasar. Dari realitas, dibentuklah teks (al-quran) dan dari
bahasa dan budayanya terbentuklah konsepsi-konsepsinya (mafahim) dan di tengah pergerakannya
dengan interaksi manusia terbaharuilah maknanya (dalalah). Pandangan Abu Zayd menyimpulkan
bahwa al-quran adalah produksi budaya, yakni bahwa teks muncul dalam sebuah struktur budaya arab
abad ketujuh selama lebih dari 20 tahun, dan ditulis berpijak pada aturan-aturan budaya tersebut,
dimana bahasa merupakan sistem pemaknaannya yang sentral. Namun pada akhirnya, teks berubah
menjadi produser budaya yang menciptakan budaya baru sesuai dengan pandangan dunianya,
sebagaimana tercermin dalam budaya islam sepanjang sejarahnya. 10
Abu Zayd mengatakan bahwa interpretasi adalah wajah lain dari teks, interpretasi dan teks
adalah dua sisi dari satu mata uang. Pernyataan ini haruslah dipahami sedemikian rupa sehingga teks
mengarahkan laku interpretasi untuk menguak dunia teks itu sendiri. Dalam penggunaan lafal
interpretasi, Abu Zayd lebih memilih menggunakan istilah ta’wil ketimbang tafsir, karena
menurutnya ta’wil berkaitan dengan proses penguakan dan penemuan (istinbat) yang tidak dapat
dicapai melalui tafsir yang hanya menyentuh makna luar saja.
Dalam proses tafsir, seseorang penafsir menggunakan linguistic (ulum al-lughah) dan ilmu al-
quran (ulum al-quran) dalam pengertian yang tradisional, dimana ia merujuk kepada transmisi
(riwayah). Dengan menerapkan bidang-bidang ilmu ini sebagai tools of analysis, pembacaan biasa.
Namun dalam pembacaan biasa, bidang-bidang ilmu ini hanya merupakan latar belakang bagi
pembaca dan tidak dipergunakan sebagai tool of analysis secara serius. Kalau peran penafsir dalam
melakukan laku tafsir hanya untuk mengenali sinyal-sinyal (tafsirah) dalam interpretasi (ta’wil),
interpreter lebih daripada itu menerapkan kedua bidang ilmu yang dipergunakan dalam tafsir dan juga
perangkat keilmuan lain dalam ilmu-ilmu kemanusiaan untuk menguak makna teks yang lebih dalam.
2 Pendekatan sastra : teori dan kritik sastra
9
Nasr hamid abu zayd, “Al-Quran,Hermeneutik,Dan Kekuasaan” (RQiS, bandung, 2003) hlm 87
10
Al-fitri, “studi quran kontemporer: telaah atas hermenutik quran Nasr Hamid Abu Zayd”, vol.II No.1,
agustus 2002, hlm 58
Pendekatan sastra atas teks quran telah dipergunakan sejak abad pertama islam, yaitu ketika
Abdullah ibn Abbas menggunakan puisi pra-islam untuk menginterpretasikan beberapa teks al-quran.
Upaya ini diikuti oleh beberapa ulama lain, seperti al-jahiz, al-jjurjani, dan az-zamakhsari.
Namun dalam perjalanan sejarah, pendekatan sastra telah agak dipinggirkan baik oleh para
sarjana muslim liberal maupun konservatif. Muhammad Abduh menyatakan bahwa interpretasi quran
bukanlah saat dimana para ahli bahasa ataupun sastrawan mempertontonkan kepintarannya, karena al-
quran adalah sebuah kitab bimbingan religious dan spiritual (hidayah) dan bukan sebuah buku sastra
atau filsafat.
Kritik abduh terhadap pendekatan linguistik dan sastra dikounter oleh amin al-kulli.Ia
mengecam abduh karena tidak menyadari bahwa seseorang tidak akan bisa mendapatkan bimbingan
religius dan spiritual quran kecuali jika ia mengetahui makna literal teks sebagaimana ia dipahami
pada masa pewahyuan.Al-kulli mengembangkan sebuah pendekatan sastra dalam menginterpretasikan
teks quran (al-manhaj al-adabi fi at-tafsir) dan sebuah teori tentang hubungan antara linguistic dan
interpretasi quran.
Muhammad ahmad Khalafallah menerapkan metodologi amin al-kulli untuk menganalisis
kisah-kisah profetik dalam al-quran. Dalam mengkaji hubungan antara teks dan realitas historis, ia
membedakan antara “kebenaran” dan “realitas”. Menurutnya kisah-kisah profetik dalam al-quran
bukanlah merupakan kisah historis sedemikian rupa, namun merupakan sebuah kisah kharismatik.
Kisah-kisah itu diulang-ulang untuk tujuan-tujuan moral religius dan diulang-ulang denga cara dan
bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan konteks situasinya. Al-quran menerapkan
gambaran-gambaran sastra yang atraktif untuk mengekspresikan kebenaran psikologis dan religius.
Abu Zayd mengikuti Amin al-kulli dan Khalafallah mengembangkan teori mereka lebih lanjut
dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan dalam teori dan kritik sastra modern. Abu
Zayd bahkan yakin bahwa satu-satunya cara untuk memahami dan menginterpretasikan quran secara
objektif adalah dengan menerapakan pendekatan ini. Dengan menempatkan teks pada posisi sentral,
akan membimbing seseorang kearah penggunaan kesadaran ilmiah (al-wa’y al-ilmi) dan menghindari
tendesi-tendesi ideologis (at-tawjih al-aydiyuluji).11
Metode takwil Nasr Hamid Abu Zayd (studi atas potensi tafsir Esoterik dalam merespon
problem tafsir era modern). Adapun mekanisme metode takwil yang digunakan Abu Zayd dalam
pembacaan teks yakni dengan mendekati teks dan berusaha mengungkapkan misteri-misterinya
dimulai dengan pembacaan kemudian tingkat analitis. Pembacaan melalui metode tafsir esoteris
dengan perangkat takwil dapat memberikan kontribusi yang besar dalam upaya memahami al-quran
secara kontekstual, Abu Zayd mengusung dua terma penting dalam mengembangkan pendekatan
penafsirannya terhadap al-quran, yakni al-ma’na (makna) dan al-Maghza (signifikansi) makna
merupakan makna yang di representasikan oleh sebuah teks atau apa yang di representasikan oleh

11
Al-fitri, “studi quran kontemporer: telaah atas hermenutik quran Nasr Hamid Abu Zayd”, vol.II No.1, agustus
2002, hlm 60
tanda-tanda, sedangkan signifikansi menamai hubungan antara sebuah makna itu dan seseorang atau
sebuah persepsi, situasi atau sesuatu yang dapat di bayangkan. 12
Teori ta’wil yang ditawarkan Abu Zayd merupakan proses gerak dialektis (gerak bandul)
antara makna (dalalah) dan signifikansi (magza), antara masa lalu dan masa kini, dan antara teks dan
pembacanya. Gerak diakletis ini menghasilkan pemahaman terhadap suatu teks secara bolak-balik
antara dalalah dan magza, sebagai suatu pemahaman yang dimulai dari kenyataan sekarang (dalam
rangka mencari magza) untuk menemukan arti asal (dalalah aeliyah) ketika teks itu muncul dimasa
lalu, dan hasil temuan ini digunakan untuk membangun kembali magza dan begitu proses selanjutnya.
Proses ini tidak boleh berhenti pada makna dalam pengertian historis partikularnya, tetapi proses ini
harus menyingkap signifikansi magza yang memungkinkan untuk membangun pondasi kesadaran
ilmiah atas dasar signifikansi tersebut.13
D. Pemikiran tentang Makna dan Signifikansi

Nasr Hamid Abu Zaid, mengemukakan istilah makna dan signifikansi (maghza ) dalam tafsir.
Menurutnya, suatu interpretasi dituntut untuk menemukan makna dan signifikansi, sekaligus. 14 Makna
menyerupai pemahaman langsung terhadap bunyi teks yang lahir dari analisis terhadap bangunan kata
tersebut dalam konteks budaya yang ada. Sedangkan signifikansi (maghza ), meskipun tidak lepas
dari bingkai makna, tetapi ia mempunyai karakter kontemporer. Ia dihasilkan dengan “cara baca”
kontemporer yang tidak berada pada masa teks. Tatkala signifikansi terlepas dari makna, ia akan
terjebak dalam belitan ideologisasi (talwïn ) yang menjauhkan dari takwil. Jadi makna bersentuhan
dengan yang bersifat nisbi, dan signifikansi memiliki karakter aktif selaras dengan perubahan cara
baca dan tetap memiliki kaitan dengan makna.15

E. Poligami Perspektif Teori HermeneutikaNasr Hamid Abu Zayd

Poligami adalah salah satu isu penting dalam pembaruan Islam dan gerakan feminisme, sebut saja
Amina Wadud, Riffat Hassan, Nazaruddin Umar, Musdah Mulia di era kontemporer ini. berbagai
macam bentuk metode dan teori yang digunakan oleh tokoh-tokoh tersebut dalam usaha untuk
menafsirkan kembali ayat-ayat poligami dalam al-Qur’an. Riffat Hassan misalnya menafsirkan ayat-
ayat poligami tersebut dengan metode historis-kritis-kontekstual yang berakar pada metode holistic
(maudhu’i). baginya menafsirkan ayat-ayat poligami dengan metode tahlili (analitis) seperti yang

12
Salman faris, “kordinat, metode takwil nasr hamid abu zayd”, jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi
Agama Islam, Vol 17, No 1. 2018. Hlm 1
13
Ahmad Hasan Ridwan, “hermeneutika : studi atas pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd”,
abuthalib.wordpress.com hlm 16
14
Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik wacana agama, (Yogyakarta: LKiS, 2003), judul asli:
naqd al-khithâb al-dïnï, h.210
15
Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik wacana agama, (Yogyakarta: LKiS, 2003), judul asli:naqd al-khithâb al-dïnï,
h.193-195
dilakukan oleh mufassir klasik, akan mempermudah seseorang untuk berpoligami asal dapat
memenuhi syarat adil.16 Akan tetapi, makalah ini tidak akan panjang lebar membahas tentang
pandangan Riffat Hassan tersebut. Selanjutnya penulis memaparkan secara singkat tentang poligami
dalam perspektif teori hermeneutikaNasr Hamid Abu Zayd. Sebagai landasan ayat poligami adalah
sebagai berikut, (QS. an-Nisa’4:3 )

"Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau
empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau
hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat
zalim." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 3)17

Nasr Hamid menginterpretasikan ayat di atas dengan tiga langkah. Pertama, konteks teks ayat.
Kedua, meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan. Ketiga, mengusulkan sebuah
pembaharuan hukum Islam.

BAB III

PENUTUP

16
Abdul Mustaqim dkk, Studi al-Qur’an Kontemporer; Wacana baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 73
17
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Cet. XIV, Jakarta: CV. Darus Sunnah, 2013), h. 7
Abu Zayd lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa, Tanta Mesir. Pada usia 8 tahun  dia sudah
berhasil menghafal Al–Qur’an 30 Juz seperti kebanyakan anak-anak muslim dinegaranya. Pendidikan
tingginya, mulai dari strata satu, dua dan tiga  dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas
Kairo dengan predikat highst honour, ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980),
saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktornya di Institut Midle Eastren Studies, Universitas
Pensylvania, Philadelphia, USA. Di universitas ini  dia mempelajari Folklore dan metodologi kajian
lapangan ( fieldwork). Pada tahun 1992 Abu Zayd menikah dengan Dr. Ibtihal Yunis pada saat

Usianya menginjak 49 tahun.

hermeneutik adalah istilah yang telah ada sejak dulu, dan pertama kali digunakan oleh
berbagai kelompok studi teologis untuk menyebut sejumlah kaidah dan aturan-aturan standar yang
harus di ikuti oleh seorang penafsir untuk dapat memahami teks keagamaan.pengertian hermeneutik
muncul sejak tahun 1654 M, dan terus berlaku hingga sekarang, terutama di kalangan protestanisme.

Pada masa modern, pengertian hermeneutik mengalami perluasan dan pergeseran sedemikian
rupa dari peristilahan dalam bidang teologi, meluas mencakup berbagai disiplin ilmu humaniora,
seperti sejarah, sosiologi, antropologi, estetika, kritik sastra dan cerita rakyat.Dengan demikian,
hermeneutik merupakan problem klasik sekaligus juga modern. Problem ini terfokus pada relasi
antara penafsir dengan teks, yang tidak hanya menjadi problem khusus dalam pemikiran barat, tetapi
juga menjadi problem mengakar dalam tradisi arab, baik klasik maupun modern.
1 Tekstualitas al-quran
Abu Zayd tidak memberikan definisi secara pasti tentang apa yang dimaksudkannya dengan
teks, terutama dalam bukunya mafhum an-nas. Namun demikian, abu zayd menyebutan perbedaan
antara nash(teks) dan mushaf (buku). Yang pertama (teks) lebih merujuk kepada makna (dalalah)
yang memerlukan pemahaman, penjelasan dan interpretasi, sedangkan yang kedua (mushaf) lebih
merujuk kepada benda (shay’), baik benda estetik ataupun mistik.
1 Pendekatan sastra : teori dan kritik sastra
Pendekatan sastra atas teks quran telah dipergunakan sejak abad pertama islam, yaitu ketika
Abdullah ibn Abbas menggunakan puisi pra-islam untuk menginterpretasikan beberapa teks al-quran.
Upaya ini diikuti oleh beberapa ulama lain, seperti al-jahiz, al-jjurjani, dan az-zamakhsari.
DAFTAR PUSTAKA

Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 31

Muhammad al-Ghazali, Qadza’if al-Haq, (Damaskus: Da’r al-Qalam, cet. II, 1997) 215.

Muhammad Arkoun, Lectures du Coran, 39; Al-Qur’a’n: min al-Tafsi’r bi al-Mawru’m, 109; al-
Ama’nah wa al-Di’n: al-Isla’m, al-Masi’hiyah, al-Gharb, Terj. Hasyim Salih (London: Dar al-Saqi,
1990), 82.

MuslimDelft Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3 Desember 2008.

Andi Rosa Tafsir kontemporer

Zaid, Abu, al-Tafkir fi al-Zaman AL-Tafkir, diddu i-Jahl wa al Zaif wa I-Kharafah,Maktabah


Madbuli: Mesir,2003.

Nasr hamid abu zayd, “Al-Quran,Hermeneutik,Dan Kekuasaan” (RQiS, bandung, 2003) hlm 33

Nasr hamid abu zayd, “Al-Quran,Hermeneutik,Dan Kekuasaan” (RQiS, bandung, 2003) hlm 34

Nasr hamid abu zayd, “Al-Quran,Hermeneutik,Dan Kekuasaan” (RQiS, bandung, 2003) hlm 87

Al-fitri, “studi quran kontemporer: telaah atas hermenutik quran Nasr Hamid Abu Zayd”, vol.II
No.1, agustus 2002, hlm 58

Al-fitri, “studi quran kontemporer: telaah atas hermenutik quran Nasr Hamid Abu Zayd”, vol.II No.1,
agustus 2002, hlm 60

Salman faris, “kordinat, metode takwil nasr hamid abu zayd”, jurnal Komunikasi Antar Perguruan
Tinggi Agama Islam, Vol 17, No 1. 2018. Hlm 1

Ahmad Hasan Ridwan, “hermeneutika : studi atas pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd”,
abuthalib.wordpress.com hlm 16

Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik wacana agama, (Yogyakarta: LKiS, 2003), judul asli:naqd al-khithâb
al-dïnï, h.193-195
Abdul Mustaqim dkk, Studi al-Qur’an Kontemporer; Wacana baru Berbagai Metodologi Tafsir,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 73

Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Cet. XIV, Jakarta: CV. Darus Sunnah, 2013), h.
7

Anda mungkin juga menyukai