Anda di halaman 1dari 25

Hukum Mengumandangkan Adzan di Telinga Bayi Saat Lahir

Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu berkisah,


“Aku menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan azan seperti
azan untuk shalat di telinga al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan Fathimah.”

Seputar Hadits

Hadits di atas dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad (6/9), Abu Dawud (5105), at-Tirmidzi, (1/286),
al- Hakim (3/179), al-Baihaqi (9/305), dan Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (1/121/2).
Seluruh jalur riwayat, madar-nya (pusat perputaran hadits) kembali kepada jalur Sufyan dari
‘Ashim dari Ubaidullah dari Abu Rafi’. (Irwa’ul Ghalil, 1173)

Artinya, masing-masing ulama di atas meriwayatkan hadits Abu Rafi’ ini di dalam kitab-kitab
mereka dengan jalur berbeda-beda. Akan tetapi, jalur periwayatan tersebut kembalinya kepada
Sufyan juga.

Siapakah Sufyan yang dimaksud? Sufyan ats-Tsauri dan Sufyan bin ‘Uyainah sama-sama
meriwayatkan hadits dari ‘Ashim bin Ubaidillah. Akan tetapi, di dalam sanad ini yang dimaksud
adalah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri.

Seputar Perawi Hadits

Dengan demikian, sanad hadits di atas yang perlu dibahas lebih mendetail adalah jalur Sufyan
dari ‘Ashim dari Ubaidullah dari Abu Rafi’.

Abu Rafi’, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas. Nama beliau diperselisihkan oleh ulama
hadits. Ada yang mengatakan nama beliau Ibrahim, Aslam, Tsabit, dan ada pula yang
berpendapat namanya Hurmuz. Abu Rafi’ termasuk maula (budak yang dimerdekakan)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ubaidullah adalah putra Abu Rafi’. Beliau terhitung tabi’in yang meriwayatkan hadits dari para
sahabat, di antaranya adalah ayahnya, Abu Hurairah, dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum.
Bahkan, beliau termasuk juru tulis Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau dinilai tsiqah oleh
para ulama semisal Abu Hatim, al-Khathib, Ibnu Hibban, dan Ibnu Sa’d.
‘Ashim bin Ubaidullah bin ‘Ashim bin Umar bin Khaththab al-‘Adawi al- Madani.
Sejumlah ulama menilai ‘Ashim sebagai perawi dha’if (lemah). Bahkan, al-Imam al-Bukhari dan
Abu Hatim rahimahumallah menilai beliau munkarul hadits. Al-Imam an-Nasa’i rahimahullah
mengatakan, ”Kami tidak mengetahui al-Imam Malik rahimahullah meriwayatkan hadits dari
seorang perawi dha’if yang masyhur kedha’ifannya selain dari ‘Ashim bin Ubaidillah. Al-Imam
Malik rahimahullah meriwayatkan satu buah hadits darinya.”

Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri, Abu Abdillah al-Kufi.


Beliau digelari Amirul Mukminin dalam bidang hadits. Sebuah gelar kelas tinggi yang
menunjukkan derajat dan kedudukan beliau di kalangan ahli hadits. Gelar tersebut disematkan
untuk beliau oleh sekian banyak ulama, semacam Syu’bah, Sufyan bin Uyainah, Abu ‘Ashim,
Yahya bin Ma’in, dan beberapa yang lain. (Tahdzibut Tahdzib, pada biografi masing-masing)

Derajat Hadits Abu Rafi’

Al-Imam Tirmidzi rahimahullah setelah membawakan hadits Abu Rafi’ di atas mengatakan,
”Hadits ini hasan sahih.”

Asy-Syaikh al-Albani (Irwa’ul Ghalil 1173) berkomentar, “Demikianlah pendapat beliau. Padahal,
para ulama sepakat menghukumi ‘Ashim bin Ubaidillah dha’if. Penilaian tertinggi untuk ‘Ashim
adalah la ba’sa bihi (tidak mengapa). Itu pun yang mengucapkannya al-‘Ijli, sementara beliau
termasuk ulama mutasahilin (mudah menilai tsiqah).”

Oleh sebab itu , al-Hafizh menegaskan di dalam at-Taqrib tentang kedha’ifan ‘Ashim ini. Adz-
Dzahabi juga menyebutkan ‘Ashim di dalam adh-Dhu’afa. Beliau mengatakan, “Al- Imam Malik
rahimahullah dan yang lainnya mendha’ifkannya.”

Adz-Dzahabi rahimahullah juga mengomentari penilaian al-Hakim terhadap hadits ini


“Sanadnya sahih”, dengan mengatakan, “Ashim adalah perawi dha’if.”

Asy-Syaikh al-Albani sendiri semula menyatakan hadits Abu Rafi’ ini hasan (Irwa’ul Ghalil no.
1173). Akan tetapi, di kemudian hari beliau rujuk dan menyatakan hadits ini dha’if (Shahih al-
Kalimit Thayyib hlm. 162 dan Silsilah Dha’ifah 6121)

Beliau mengatakan, “… Dahulu saya menyatakan hasan hadits Abu Rafi’ di dalam al-Irwa’
(4/400/1173). Sekarang—walhamdulillah—kitab as- Syu’ab karya al-Baihaqi telah dicetak. Di
sana saya menemukan sanadnya dan telah jelas bagi saya kedudukannya yang sangat lemah.
Oleh sebab itu, saya menyatakan rujuk dari menilai hadits tersebut hasan.

Hadits Abu Rafi’ pun kembali dha’if sebagaimana seharusnya dari sanad hadits. Hal ini
hanyalah salah satu dari puluhan contoh yang membuat saya berpendapat bahwa ilmu itu tidak
bersifat jumud (kaku). Saya akan tetap terus membahas dan melakukan penelitian sampai
kematian mendatangi saya. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.”

Apakah sebelum asy-Syaikh al-Albani ada ulama hadits yang menyatakan hadits ini dha’if?

Ada. Al-Imam Ibnul Mulaqqin (al- Badrul Munir 9/348) menjelaskan, “Ibnu Hibban mengkritik
‘Ashim yang meriwayatkan hadits ini (hadits Abu Rafi’) dan hadits lainnya. Ibnul Qaththan juga
menghukumi hadits ini mu’all (memiliki cacat) karena ‘Ashim. Bahkan, beliau mengatakan,
‘Sungguh, dia adalah dha’iful hadits, munkar, dan mudhtarib’.”

Hadits ini juga disebutkan oleh al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah sebagai salah satu hadits
munkar yang diriwayatkan oleh ‘Ashim. (Mizanul I’tidal 4/274)
Wallahu a’lam, kesimpulannya, hadits Abu Rafi’ adalah dha’if.

Pendapat Ulama dalam Masalah Ini

Sebagian kaum muslimin memang melakukan amalan azan di telinga bayi saat baru dilahirkan.
Bahkan, ada anggapan jika bayi tidak diazani, setan akan menjerumuskannya ke dalam
kesesatan. Namun, seperti apakah pendapat para ulama dalam hal ini?

Fuqaha mazhab Syafi’i berpendapat bahwa dianjurkan azan di telinga bayi ketika lahir. Fuqaha
mazhab Hanafi dan Hanbali juga berpendapat demikian.

Al-Imam Ibnu ‘Abidin rahimahullah (seorang ulama Hanafi) mengomentari pendapat al-Imam
asy-Syafi’i rahimahullah, “Sebab, riwayat sahih (hadits Abu Rafi’) yang tidak bertabrakan
dengan dalil lain menjadi sebuah mazhab bagi seorang mujtahid, meskipun ia sendiri tidak
menyatakan dengan tegas.”

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (seorang ulama Hanbali) mengatakan,

“Sebagian ulama mengatakan disunnahkan bagi orang tua untuk mengumandangkan azan di
telinga anaknya ketika baru lahir.” Setelah itu Ibnu Qudamah membawakan hadits Abu Rafi’.
(al-Mughni 13/401, Mausu’ah Kuwaitiyah 2/373)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga menyebutkan hadits Abu Rafi’ di atas di dalam kitab
beliau al-Adzkar. Setelah itu beliau mengatakan, “Sejumlah ulama dari mazhab kami (Syafi’i)
berpendapat disunnahkan azan di telinga kanan bayi dan iqamat di telinga kirinya.”

Hadits Abu Rafi’ di atas juga disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab al-
Kalimuth Thayyib dan Ibnul Qayyim di dalam kitab Tuhfatul Maudud. Bahkan, Ibnul

Qayyim rahimahullah membuat judul untuk hadits ini, “Disunnahkan azan di telinga kanan bayi
dan iqamat di telinga kirinya.”

Jika kita memerhatikan lebih cermat dan teliti, setiap ulama yang berpendapat azan di telinga
bayi ketika lahir hukumnya sunnah pasti berdalil dan beralasan dengan hadits Abu Rafi’ di atas.
Padahal, kita telah membaca bersama kesimpulan bahwa hadits Abu Rafi’ adalah hadits yang
dha’if.

Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad (Syarah Sunan Abi Dawud 5105) menyimpulkan, “Jika di
dalam pembahasan atau bab ini (azan di telinga bayi) tidak ada hadits kecuali hadits Abu Rafi’
ini—sementara di dalam sanadnya terdapat seorang perawi dha’if yaitu ‘Ashim bin Ubaidillah—
tidak ada satu pun dalil yang bisa digunakan sebagai hujah dalam masalah ini.”

Apakah beliau memiliki salaf dalam pendapat ini?


Al-Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa azan di telinga bayi ketika lahir hukumnya
makruh. Bahkan, beliau menilainya sebagai perbuatan bid’ah. (Mausu’ah Kuwaitiyah 2/373)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (Liqa Bab Maftuh) juga menilai hadits Abu Rafi’
dhaif.

Mungkinkah Ulama Berpendapat dengan Hadits Dha’if?

Terkadang muncul pertanyaan, “Jika memang hadits Abu Rafi’ dha’if, mengapa bisa ulama
sebanyak itu berpendapat sunnahnya azan di telinga bayi dan berhujah dengan hadits Abu
Rafi’?”

Hal semacam ini sangat mungkin terjadi. Orang yang mempelajari dan mendalami disiplin ilmu
fikih pasti sering menemukan contoh semacam ini. Terkadang seorang ulama memegang
pendapat yang bertentangan dengan hadits sahih karena hadits sahih itu belum sampai
kepadanya. Ada pula seorang ulama berpendapat dengan hadits dha’if disebabkan tidak
mengetahui sisi dha’ifnya. Jelasnya, ilmu Allah radhiallahu ‘anhuma yang diwariskan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita sangatlah luas, sementara yang kita ketahui
hanya sedikit.

Setelah menjelaskan kelemahan hadits Abu Rafi’, al-Mubarakfuri (Tuhfatul Ahwadzi 1514)
mengatakan, “Bagaimana mungkin amalan ulama berdasarkan hadits ini, sementara hadits ini
dha’if? Saya menjawab, benar. Hadits ini memang dha’if. Akan tetapi, menjadi kuat dengan
hadits al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Maushili dan
Ibnu as-Sunni.”

Barangkali, inilah sebabnya mengapa para ulama berdalil dengan hadits Abu Rafi’. Sebab, ada
beberapa riwayat yang dianggap bisa mendukung dan memperkuat hadits Abu Rafi’.

Adakah Hadits Lain yang Menguatkan Hadits Abu Rafi’?

Sebagian ulama yang berhujah dengan hadits Abu Rafi’ menyebutkan dua hadits lain untuk
menguatkan dan mendukung hadits Abu Rafi’. Bagaimanakah derajat kedua hadits tersebut?

Hadits al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma, dikeluarkan oleh Abu Ya’la di dalam al-Musnad
(4/1602), Ibnus Sunni di dalam ‘Amalul Yaum (200/617), dan Ibnu ‘Asakir (16/182/2). Semuanya
melalui jalur Yahya bin al-‘Ala ar-Razi, dari Marwan bin Salim, dari Thalhah bin Ubaidillah
al-‘Uqaili, dari al-Husain bin Ali. Lafadz hadits al-Husain radhiallahu ‘anhu,
“Barang siapa lahir anaknya lalu ia mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamat di
telinga kiri, Ummu as-Shibyan (setan) tidak akan memudaratkannya.”

Asy-Syaikh al-Albani menilai, “Sanad hadits ini maudhu’ (palsu). Yahya bin al-‘Ala dan Marwan
bin Salim adalah pemalsu hadits.”
Hadits Ibnu Abbas, dikeluarkan oleh al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman (no. 8620) melalui jalur
Muhammad bin Yunus, dari al-Hasan bin ‘Amr bin Saif as-Sadusi, dari al-Qasim bin Muthayyib,
dari Manshur bin Shafiyyah, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan azan untuk al-Hasan bin Ali saat
lahir. Beliau azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.”

Akan tetapi, di dalam sanad hadits ini pun terdapat dua perawi pemalsu hadits, yaitu al-Hasan
bin ‘Amr dan Muhammad bin Yunus. Jadi, hadits ini pun derajatnya maudhu’ (palsu). (Silsilah
adh-Dha’ifah no. 312 dan 6121)

Jelaslah sudah bahwa hadits Abu Rafi’ tetap dihukumi dha’if. Sebab, dua hadits yang
disebutkan sebagai penguat malah lebih parah lagi derajatnya. Kedua hadits tersebut sama-
sama palsu.

Wallahu a’lam.

Bagaimanakah Seharusnya?

Sebagian kalangan bersikukuh melakukan amalan ini. Alasannya, setan akan lari terbirit-birit
ketika mendengar azan. Memang benar, ada sebuah hadits yang menunjukkan hal itu (hadits
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu riwayat al-Bukhari no. 608 dan Muslim no. 389). Hanya saja,
azan yang dimaksud adalah azan syar’i yang berlandaskan hadits sahih. Padahal, kita telah
membaca bersama bahwa hadits azan untuk bayi lahir adalah dha’if.

Ada juga yang beralasan ingin memperdengarkan kalimat-kalimat baik untuk pertama kali di
pendengaran bayi. Hanya saja, Islam mendidik dan membimbing kita untuk beramal dan
beribadah berdasarkan hujah dan dalil yang kuat. Adakah hujah yang kuat untuk
mengumandangkan azan di telinga bayi? Lagi pula, apakah bayi tersebut memang benar-benar
bisa mendengar azan?

Bahkan, ada yang beralasan dengan tindakan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah yang
melakukan amalan ini. Jawabannya, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (at-Talkhis al-Habir)
menyatakan, “(Pertama) saya tidak melihatnya musnad (sampai kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam). Kedua, seandainya pun benar Umar bin Abdul Aziz rahimahullah
melakukannya, tidaklah bisa diterima sebagai hujah. Sebab, ibadah harus berdasarkan al-
Qur’an dan as-Sunnah.”

Berdasarkan sedikit keterangan di atas, kita menyatakan bahwa azan di telinga bayi ketika lahir
tidaklah dituntunkan oleh Islam. Sebab, tidak ditemukan dalil dan hujah yang bisa dijadikan
sebagai landasan beramal.
Kita masih bisa memaklumi sebagian kaum muslimin yang masih melakukan amalan ini.
Barangkali mereka belum mengetahui bahwa hadits yang dijadikan landasan adalah hadits
lemah. Maka dari itu, tugas kita ialah menjelaskannya. Masalahnya, setelah seorang muslim
mengetahui hadits dalam hal ini lemah, atas dasar apa ia tetap melakukannya?

Wallahul muwaffiq.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar ibnu Rifai


.
.
.
Anjuran Adzan Di Telinga Bayi yang Baru Lahir

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

menara-masjidKebanyakan buku atau kitab yang menjelaskan hal-hal yang mesti dilakukan
ketika menyambut sang buah hati adalah amalan satu ini yaitu adzan dan iqomah di telinga bayi
yang baru lahir. Bahkan bukan penulis-penulis kecil saja, ulama-ulama hebat pun
menganjurkan hal ini sebagaimana yang akan kami paparkan. Namun, tentu saja dalam
permasalahan ini yang jadi pegangan dalam beragama adalah bukan perkataan si A atau si B.
Yang seharusnya yang jadi rujukan setiap muslim adalah Al Qur’an dan hadits yang shohih.
Boleh kita berpegang dengan pendapat salah satu ulama, namun jika bertentangan dengan Al
Qur’an atau menggunakan hadits yang lemah, maka pendapat mereka tidaklah layak kita ikuti.
Itulah yang akan kami tinjau pada posting kali ini. Apakah benar adzan atau iqomah pada bayi
yang baru lahir disyari’atkan (disunnahkan)? Kami akan berusaha meninjau dari pendapat para
Imam Madzhab, lalu kami akan tinjau dalil yang mereka gunakan. Agar tidak berpanjang lebar
dalam muqodimah, silakan simak pembahasan berikut ini.

Pendapat Para Ulama Madzhab

Para ulama Hambali hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi saja.
Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka tidak menganggap
mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak perkataan Imam Asy Syafi’i yang
menganjurkan adzan di telinga bayi, pen).
Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan ini, bahkan
menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.
Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa
tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779, pada
Bab Adzan, Wizarotul Awqof, Asy Syamilah)
Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnul Qoyyim
dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.
Inilah pendapat para ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada perselisihan dalam
masalah ini. Lalu manakah pendapat yang kuat?

Tentu saja kita harus kembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan suatu perselisihan yang
ada kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah,

ُ‫ت َوإِلَ ْي ِه أُنِيب‬


ُ ‫اخ َت َل ْف ُت ْم فِي ِه مِنْ َشيْ ٍء َفح ُْك ُم ُه إِ َلى هَّللا ِ َذ ِل ُك ُم هَّللا ُ َربِّي َعلَ ْي ِه َت َو َّك ْل‬
ْ ‫َو َما‬
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah. (Yang mempunyai
sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah
aku kembali.” (QS. Asy-Syuura : 10)
Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan, ”Maksudnya adalah (perkara) apa
saja yang diperselisihkan dan ini mencakup segala macam perkara, maka putusannya
(dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana perselisihan
ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala pada ayat yang lain,

ِ ‫ازعْ ُت ْم فِي َشيْ ٍء َف ُردُّوهُ إِلَى هَّللا ِ َوالرَّ س‬


‫ُول‬ َ ‫َفإِنْ َت َن‬
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).”(QS. An Nisa’ [4] : 59).
Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb kita yaitu hakim dalam segala perkara. Kepada-Nya
lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan. –Demikianlah
perkataan beliau rahimahullah dengan sedikit perubahan redaksi-.

Dalil Para Ulama yang Menganjurkan

Hadits pertama:
Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,
ُ
َّ ‫ِين َولَ َد ْت ُه َفاطِ َم ُة ِبال‬
‫صاَل ِة‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ َّذ َن فِي أ ُذ ِن ْال َح َس ِن ب‬
َ ‫ْن َعلِيٍّ ح‬ ُ ‫َرأَي‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga
Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat”. (HR. Ahmad, Abu Daud
dan Tirmidzi)

Hadits kedua:
Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِّ ‫صاَل َة فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْاليُسْ َرى َل ْم َتضُرَّ هُ أ ُ ُّم ال‬
ِ ‫ص ْب َي‬
‫ان‬ َّ ‫َمنْ وُ لِدَ لَ ُه َم ْولُو ٌد َفأ َ َّذ َن فِي أُ ُذ ِن ِه ْاليُمْ َنى َوأَ َقا َم ال‬
“Bayi siapa saja yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah
di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu
Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin
(perempuan).

Hadits ketiga:
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,
‫ وأقام في أذنه اليسرى‬، ‫ فأذن في أذنه اليمنى‬، ‫أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan
maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi
dalam Syu’abul Iman)
Untuk memutuskan apakah mengumandangkan adzan di telinga bayi termasuk anjuran atau
tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits di atas terlebih dahulu.

Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-hadits Di Atas

Penilaian hadits pertama:


Para perowi hadits pertama ada enam,
‫ْن أَ ِبى َراف ٍِع َعنْ أَ ِبي ِه‬
ِ ‫ان َقا َل َح َّد َثنِى عَاصِ ُم بْنُ ُع َب ْي ِد هَّللا ِ َعنْ ُع َب ْي ِد هَّللا ِ ب‬
َ ‫م َُس َّد ٌد َح َّد َث َنا َيحْ َيى َعنْ ُس ْف َي‬
yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, ‘Ubaidullah bin Abi Rofi’, dan Abu Rofi’.
Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah ‘Ashim bin Ubaidillah.

Ibnu Hajar menilai ‘Ashim dho’if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu
Ma’in mengatakan ‘Ashim dho’if (lemah). Al Bukhari dan selainnya mengatakan bahwa ‘Ashim
adalah munkarul hadits (sering membawa hadits munkar).
Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini
sanadnya lemah.
Ringkasnya, hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if).
Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi. Beliau mengatakan
bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan beliau mengangkat hadits ini ke derajat hasan karena
ada beberapa riwayat yang semakna yang mungkin bisa dijadikan penguat. Mari kita lihat hadits
kedua dan ketiga.

Penilaian hadits kedua:


Para perowi hadits kedua ada lima,
‫ عن حسين‬، ‫ عن طلحة بن عبيد هللا‬، ‫ عن مروان بن سالم‬، ‫ حدثنا يحيى بن العالء‬، ‫حدثنا جبارة‬
yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al ‘Alaa’, Marwan bin Salim, Tholhah bin ‘Ubaidillah, dan Husain.

Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho’if (lemah).
Yahya bin Al ‘Alaa’ dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz Dzahabi
menilainya matruk (harus ditinggalkan).
Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh lembek dan juga
dituduh dusta.
Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321 menilai bahwa Yahya bin Al ‘Alaa’ dan
Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering memalsukan hadits.
Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat menguatkan hadits pertama
karena syarat hadits penguat adalah cuma sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang
dusta. Jadi, hadits kedua ini tidak bisa mengangkat derajat hadits pertama yang dho’if (lemah)
menjadi hasan.

Penilaian hadits ketiga:


Para perowi hadits ketiga ada delapan,
، ‫ حدثنا الحسن بن عمر بن سيف السدوسي‬، ‫ حدثنا محمد بن يونس‬، ‫ أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار‬، ‫وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان‬
‫ عن ابن عباس‬، ‫ عن أبي معبد‬، ‫ عن منصور ابن صفية‬، ‫حدثنا القاسم بن مطيب‬
yaitu: Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin Yunus, Al
Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu
Ma’bad, dan Ibnu Abbas.
Al Baihaqi sendiri dalam Syu’abul Iman menilai hadits ini dho’if (lemah). Namun, apakah hadits
ini bisa jadi penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat perowinya lagi.
Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru.
Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa Bukhari berkata Al
Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata Al Hasan itu matruk (harus ditinggalkan).
Sehingga Al Hafidz berkesimpulan bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).
Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak ada pengaruhnya
kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi.
Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’.
(Takhrij ketiga hadits di atas adalah faedah dari guru kami Ustadz Abu Ali. Semoga Allah selalu
merahmati dan menjaga beliau)
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang memiliki beberapa
penguat, tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut tidak bisa mengangkatnya dari dho’if
(lemah) menjadi hasan. Maka pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini
hasan adalah suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits tentang
adzan di telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapat
beliau ini sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321. Jadi
kesimpulannya, hadits yang membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang
lemah sehingga tidak bisa diamalkan.
Seorang ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini hafizhohullah
mengatakan,

“Hadits yang menjelaskan adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah. Sedangkan suatu
amalan secara sepakat tidak bisa ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha
mencari dan membahas hadits ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya (menjadi
hasan).” (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96, dinukil dari Hadiah Terindah untuk Si Buah Hati,
Ustadz Abu Ubaidah, hal. 22-23)
Penutup

Dalam penutup kali ini, kami ingin menyampaikan bahwa memang dalam masalah adzan di
telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat). Sebagian ulama menyatakan dianjurkan
dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya. Dan setelah
membahas penilaian hadits-hadits tentang dianjurkannya adzan di telinga bayi di atas terlihat
bahwa semua hadits yang ada adalah hadits yang lemah bahkan maudhu’ (palsu).
Kesimpulannya, hadits adzan di telinga bayi tidak bisa diamalkan sehingga amalan tersebut
tidak dianjurkan.
Jika ada yang mengatakan, “Kami ikut pendapat ulama yang membolehkan amalan ini.”
Cukup kami sanggah,
“Ingatlah saudaraku, di antara pendapat-pendapat yang ada pasti hanya satu yang benar. Coba
engkau memperhatikan perkataan para salaf berikut ini.

Ibnul Qosim mengatakan bahwa beliau mendengar Malik dan Al Laits berkata tentang masalah
perbedaan pendapat di antara sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tepat
perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan pendapat) boleh-boleh saja
(ada kelapangan). Tidaklah seperti anggapan mereka. Di antara pendapat-pendapat tadi pasti
ada yang keliru dan ada benar.”
Begitu pula Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik ditanya mengenai orang yang mengambil
hadits dari seorang yang terpercaya dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau ditanya, “Apakah engkau menganggap boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat
(dalam masalah ijtihadiyah, pen)?”
Imam Malik lantas menjawab, “Tidak demikian. Demi Allah, yang diterima hanyalah pendapat
yang benar. Pendapat yang benar hanyalah satu (dari berbagai pendapat ijtihad yang ada).
Apakah mungkin ada dua pendapat yang saling bertentangan dikatakan semuanya benar [?]
Tidak ada pendapat yang benar melainkan satu saja.” (Dinukil dari Shohih Fiqh Sunnah, 1/64)”
Demikian suadaraku, penjelasan mengenai adzan di telinga bayi. Semoga dengan penjelasan
pada posting kali ini, kaum muslimin mengetahui kekeliruan yang telah berlangsung lama di
tengah-tengah mereka dan semoga mereka merujuk pada kebenaran. Semoga tulisan ini dapat
memperbaiki kondisi kaum muslimin saat ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana, wa
‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi
wa shohbihi wa sallam.

Keterangan:
Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut
adalah adil, dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang
lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari
sisi dhobith (kuatnya hafalan).
Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya
terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
Hadits maudhu’ (palsu) adalah hadits yang salah satu perowinya dinilai kadzdzib (pendusta)
yakni berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits matruk (yang harus ditinggalkan) adalah hadits yang salah satu perowinya dituduh
kadzib (berdusta).

Panggang, Gunung Kidul, 28 Muharram 1430 H


Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal
.
.
.
.
APAKAH SYEIKH AL-BANI BERSENDIRIAN DALAM MENDHA’IFKAN HADIST
MENGADZANKAN BAYI

Hadist mengazdankan bayi adalah merupakan hadist yang menjadi perdebatan di kalangan
para ulama ada yang menshahihkan dan adapula yang melemahkan
Hadist tentang mengazdankan bayi di riwayatkan dari tiga orang sahabat
1. Abu Rofi’
2. Al-husain bi n ‘Ali
3. Ibnu ‘Abbas

Saya disini tidak membahas status hadist tersebut karena memang hal ini telah di bahas
oleh para Ustadz-Ustadz, akan tetapi yang saya bahas
dalam tulisan ini adalah klaim sebagian orang bahwa Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
adalah orang yang pertama kali mendha’ifkan hadist ini.
Benarkah pernyataan beliau tersebut bahwa awal dari pendhai’afan hadist mengazdzankan
bayi kembali kepada Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani???
Kalau sekiranya kita mau membuka kitab-kitab takhrij hadist kita akan mendapatkan bahwa
pernyataan beliau tidaklah benar, melainkan disana terdapat sejumlah para ulama sebelum dan
seseudah Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani yang mendha’ifkan hadist mengadzankan
bayi ketika lahir.
Berikut penukilannya

1. Hadits pertama:
Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,
ُ
َّ ‫ِين َولَ َد ْت ُه َفاطِ َم ُة ِبال‬
‫صاَل ِة‬ َ ‫ْن َعلِيٍّ ح‬ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ َّذ َن فِي أ ُذ ِن ْال َح َس ِن ب‬ ُ ‫َرأَي‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga
Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud
dan Tirmidzi)’
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab At-talkhis Al-habiir 4/367
ُ
ٌ‫ض ِعيف‬َ ‫ْن ُع َب ْي ِد هَّللا ِ؛ َوه َُو‬ِ ‫ َو َم َدا ُرهُ َعلَى عَاصِ ِم ب‬،"‫ْن‬ ِ ‫ "أَ َّذ َن فِي أ ُذ ِن ْال َح َس ِن َو ْال ُح َسي‬: ِ‫الط َب َرانِيُّ َوأَبُو ُن َعي ٍْم مِنْ َحدِي ِث ِه ِبلَ ْفظ‬
َّ ُ‫و َر َواه‬.َ
“diriwayatkan oleh At-Tabrani dan Abu Nu’aim dari Hadistnya dengan lafadz

ُ
ِ ‫أَ َّذ َن فِي أ ُذ ِن ْال َح َس ِن َو ْال ُح َسي‬
‫ْن‬
dan semua rawinya kembali menuju ‘Ashim bin ‘Abdillah sedangkan dia itu LEMAH”.

Berkata Al-Imam Yahya Bin Al-Qothoon dalam kitabnya bayanul wahm wal iihaam fii kitaabil
ahkaam 4/594
‫ وسكت‬. ‫ ' رأيت رسول هللا أذن في أذن الحسن بن علي حين ولدته فاطمة بالصالة‬: ‫ عن أبي رافع قال‬، ‫وذكر من طريق أبي داود‬
، ‫ ضعيف الحديث‬، ‫ هو العمري‬، ‫ وعاصم‬. ‫ عن أبي رافع‬، ‫ عن عبيد هللا بن أبي رافع‬، ‫ وإنما يرويه عنده عاصم بن عبيد هللا‬، ‫عنه‬
‫ مضطربه‬، ‫منكره‬
“dan beliau (Al-imam Al-Isybilii) menyebutkan dari jalan Abu dawud dari Abi Rafi’ telah berkata:
“aku melihat Rosulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam mengadzankan di telinga Al-hasan Bin ‘Ali
ketika Fatimah melahirkannya dalam keadaan Sholat.” Kemudian beliau mendiamkannya,
hanya saja hadist ini di riwayatkan dari ‘Ashim bin Abdillah dari ‘Ubaidilah bin Rafi’ Dari Abi rafi.
Dan ‘Ashim ini adalah Al-‘Umary seoarng yang LEMAH, MUNKARUL HADIST dan
MUDHTARIB (GUNCANG RIWAYATNYA)
Berkata Ibnu thohir Al-Maqdisi kitaab ma’rifatu At-tadzkiroh 1/37
‫رأيت النبي أذن في أذن الحسن حين ولد‬
‫فيه عاصم بن عبد هللا بن عاصم بن عمر بن الخطاب ضعيف‬
(hadist) “ aku melihat Rosulullah adzan di telinga Al-hasan tatkala lahir” di dalamnya ada perawi
yang bernama ‘Ashim bin ‘Abdillah bin ‘Ashm bin ‘Umar bin Al-khattab (dan dia itu) LEMAH

Berkata Syeikhunaa Abdul muhsin Al-‘abbad dalam kitabnya syarh sunan abu dawud
”‫ وقد ذكر أن في شعب‬،‫ ففي إسناده رجل ضعيف وهو عاصم بن عبيد هللا‬،‫ وأخيراً رجع عن ذلك‬،‫والشيخ ناصر حسنه في بعض كتبه‬
‫ إنه بعدما طبع الكتاب رأى إسناده وإذا في‬:‫ والشيخ ناصر قال‬،‫ إنه شاهد لهذا‬:‫اإليمان للبيهقي حديثا ً عن الحسن يتعلق باألذان وقد قيل‬
‫ وعلى هذا فال يصلح أن يكون شاهداً ما دام‬،‫ وكان قبل ذلك يظن أنه شاهد لحديث أبي رافع الموجود معنا‬،‫إسناده رجل وضاع ومتروك‬
ً ‫أن فيه كذابا ً ومتروكا‬،
“ dan Syeikh Nashir telah menghasankannya dalam sebagian bukunya, kemudian beliau ruju’
dari pendapatnya tersebut karena memang dalam sanadnya terdapat seorang yang lemah yaitu
‘Ashim bin ‘ubaidillah dan telah disebutkan (kepada beliau) bahwa didalam syu’abul iman oleh
Al-baihaqi terdapat hadist yang hasan berkaitan dengan mengadzankan (bayi) dan di
dakatakan padanya itu (syu’abul iman) dicetak dan beliau melihat ternyata dalam sanadnya
ada seorang PENDUSTA dan MATRUK yang sebelumnya beliau menyangka itu bisa menjadi
penguat hadist Abi rafi’ maka oleh sebab itu hadist tersebut tiak bisa menjadi penguat selama
didalamnya terdapat seoarang pendusta dan matruk.

2. Hadits kedua:
Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِّ ‫صاَل َة فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْاليُسْ َرى َل ْم َتضُرَّ هُ أ ُ ُّم ال‬
ِ ‫ص ْب َي‬
‫ان‬ َّ ‫َمنْ وُ لِدَ لَ ُه َم ْولُو ٌد َفأ َ َّذ َن فِي أُ ُذ ِن ِه ْاليُمْ َنى َوأَ َقا َم ال‬
“Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di
telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la
dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin
(perempuan).
Berkata Al-Hafidz Al-‘iroqi dalam Takhrijnya terhadap kitab Ihya’ ulumuddin
‫حديث من ولد له مولود وأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى رفعت عنه أم الصبيان أبو يعلى الموصلي وابن السني في اليوم‬
‫والليلة والبيهقي في شعب” اإليمان من حديث الحسين بن علي بسند ضعيف‬.
“Hadist” Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan
iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya.” (diriwayatkan oleh)
Abu Ya’ala Al-Mushilii , Ibnu As-Sunni di kitabnya Alyaum wal lailah dan Al-baihaqi di kitabnya
syu’abul iman ari hadist Ali bin Husain dengan sanad yang LEMAH

Al-imam Adz-Dzahabi tatkala menyebutkan biografi Yahya Bin Al’ala dan menyebutkan
beberapa perkataan para ulama bahwa dia adalah pendusta beliau berkata:
‫وبه من ولد له مولود فأذن في أذنه وأقام في اليسرى لم تضره أم الصبيان‬
“ dan termasuk Hadist yang di riwayatkannya adalah hadist“ barangsiapa yang dia melahirkan
seorang bayi kemudian diadzankan dari telinga kanannya dan di qomatkan dari telinga kirinya
maka ibunya tidak akan mengalami bahaya.”

3. Hadits ketiga:
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,
‫ وأقام في أذنه اليسرى‬، ‫ فأذن في أذنه اليمنى‬، ‫أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan
maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi
dalam Syu’abul Iman)
Berkata Al-Imam Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul iman 6/390
‫في هذين اإلسنادين ضعف‬
Didalam dua sanad ini terdapat KELEMAHAN

Jadi klaim sebagian orang bahwa syeikh Al-bani adalah orang yang pertama kali dan satu-
satunya yang melemahkan hadist mengazdankan bayi ketika lahir hanya bualan dan isapan
jempol semata...

Semoga bermanfaat...

Wallahu’alam

Ditulis oleh

Agus Susanto bin Sanusi


Di Madinah Nabawiyah 25 Dzul Qo’dah 1435 H
.
.
.
.
.
Apakah Termasuk Sunnah Mengadzankan Dan Mengiqamatkan Bayi Yang Baru Dilahirkan?

Kamis, 18 April 2019 Tulis Komentar

Oleh Ustadz Berik Said hafidzhahullah


Sebagian Ulama menyunnahkannya dengan beberapa hadits berikut, tapi dalam kesempatan
ini kami sebutkan dua hadits saja yang sering dijadikan alasan oleh sebagian Ulama yang
menyunnahkannya, berikut jawaban atasnya.

Hadits Pertama, Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma menceritakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

ِّ ‫ َل ْم َتضُرَّ هُ أ ُ ُّم ال‬,‫ َفأ َ َّذ َن فِي أُ ُذ ِن ِه ْال ُي ْم َنى َوأَ َقا َم فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْاليُسْ َرى‬,ُ‫َمنْ وُ لِدَ لَه‬
ِ ‫ص ْب َي‬
‫ان‬

“Barangsiapa yang dianugerahi seorang anak, lalu dia mengumandangkan adzan di telinga
kanannya dan iqamat di telinga kirinya, maka Ummu Shibyan (jin pengganggu anak kecil) tak
akan membahayakan dirinya”.

Jawaban Atas Hadits Pertama Di Atas

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Ya’la 6780, Ibnu Suni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah 623,
Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil VII:198. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Yahya bin Al
‘Allaa Al Bajili. Mengenai Yahya di atas, maka beberapa kritikus hadits telah mencelanya
bahkan cukup “keras“.

Berikut petikan perkataan para kritikus hadits atas Yahya bin ‘Allaa tersebut.

Kata Abu Bisyr Ad Daulaabi rahimahullah:

‫متروك في الحديث‬

“Ditinggalkan haditsnya (karena dituduh suka berdusta)“.

Kata Al Baihaqi rahimahullah:

‫ ضعيف ال يحتج به‬:‫ ومرة قال‬،‫ ضعيف‬:‫ ومرة‬،‫متروك‬

“Ditinggalkan haditsnya (karena dituduh suka berdusta) dan terkadang beliau menyebutnya
lemah dan sesekali beliau menyebutnya lemah, tidak boleh dijadikan argumentasi dengannya“.

Kata Ahmad bin Hanbal rahimahullah:

‫ متروك‬:‫ وقال مرة‬،‫ يضع الحديث‬،‫كذاب رافضي‬

"Pendusta dari kalangan Rafidhi (Syi’ah garis keras), suka memalsukan hadits. Dan pernah
juga beliau (Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah) menyebutnya matruk (ditinggalkan
haditsnya karena dituduh suka berdusta)“.

Kata Ibnul Hajar rahimahullah (pakar hadits Madzhab Syafi’i):


‫ ضعيف جدا‬،‫رمي بالوضع‬

“Dituduh sebagai pemalsu hadits, sangat lemah“. (Diringkas dari Tahdziibul Kamaal no. urut
rawi 8227).

Atas dasar itu para ahli hadits melemahkan, bahkan menyatakan palsunya hadits di atas.

Sejumlah Ulama Yang Melemahkan Hadits Di Atas

Kata Al Bushiri dalam Ittihaaful Hiirah V:329: “Dha'if/Lemah“. Kata As Suyuthi dalam Jaami’us
Shaghir 9066: “Lemah“. Kata Al Iraqi dalam Takhrij Ihyaa ‘Ulumud Din II:69: “Lemah“. Kata Al
Albani rahimahumullah dalam Irwaa’ul Ghalil 1174: "Palsu“.

Dengan penjelasan di atas hadits tersebut sama sekali tidak memenuhi persyaratan untuk
dijadikan hujjah.

Hadits Kedua, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengisahkan:

‫ َفأ َ َّذ َن فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْال ُي ْم َنى َوأَ َقا َم فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْاليُسْ َرى‬,‫ْن َعلِيٍ َي ْو َم وُ لِ َد‬ ُ
ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ َّذ َن فِي أ ُذ ِن ْال َح َس ِن ب‬
َ َّ‫أَنَّ ال َّن ِبي‬

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan adzan di telinga Al Hasan bin
‘Ali radhiallahu ‘anhuma pada hari beliau dilahirkan. Beliau mengumandangkan adzan di telinga
kanannya dan iqamat di telinga kirinya”.

Jawaban Atas Hadits Kedua Di Atas

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Syu’abul Iman 8255. Dalam sanadnya terdapat
tiga rawi yang bermasalah.

Pertama:

‫محمد بن يونس الكديمي‬

Muhammad bin Yunus Al Kadimi.

Imam Abu Dawud, Baihaqi dan lainnya menyebutnya sebagai “pendusta". (Tahdziibhul Kamaal
XVII:66-80).

Kedua, gurunya Muhammad bin Yunus yang bernama:

‫الحسن بن عمرو بن سيف‬

Al Hasan bin ‘Amruu bin Saif.


Kata Imam Bukhari rahimahullah:
"Pendusta". (Taarikhul Kabir II:299).

Ketiga:

‫القاسم بن مُطيَّب‬

Al Qasim bin Muthayyab.

Ibnul Hajar rahimahullah menyebutnya: "Padanya ada kelembekan". Bahkan Al Haitsami


rahimahullah menyebutnya "Matruk". http://hadith.islam-db.com/narrators/26697/

Karena itulah Al ‘Iraqi rahimahullah mendha’ifkannya dalam Takhrij Al Ihya II:69, bahkan Syaikh
Al Albani rahimahullah dalam Ad Dha’ifah 8121 menilainya “Palsu“.

Ada lagi sebenarnya hadits-hadits lain yang isinya anjuran beradzan dan iqamat bagi bayi yang
baru dilahirkan, namun semuanya lemah tak bisa dijadikan hujjah.

Karena itu Syaikh Abdul ‘Azizi At Tharifi hafizhahullah berkata:

‫الحديث في أذان المولود ال يص ّح … وال يثبت في استحباب األذان في أذن الصبي حديث‬

"Hadits terkait mengadzani bayi yang baru dilahirkan tidak sah dan tidaklah kuat dikatakan
disukainya mengadzankan bayi yang baru dilahirkan oleh sebuah haditspun".
https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=211944

Berkata Syaikh Sulaiman Al ‘Ulwaan hafizhahullah:

‫ واألحكام‬. ‫ وال يصح في الباب شيء ؛ فيصبح األذان في أذن المولود غير مستحب‬... ‫الحديث الوارد في األذان في أُذن المولود ال يثبت‬
‫ ال تقوم إال على أدلة صحيحة وأخبار ثابتة‬- ‫من واجبات ومندوبات ومحرمات ومكروهات‬- ‫الشرعية‬

"Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah mengadzani bayi yang baru dilahirkan tidak
ada yang kokoh/shahih, tak ada satupun (hadits shahih) dalam bab ini, dengan demikian adzan
di telinga anak yang baru dilahirkan tidaklah disukai dan hukum-hukum syariat itu baik hukum
wajib, sunnah, haram, makruh, tidak bisa ditegakkan sebagai dalil kecuali berdasarkan dalil
yang shahih dan berita yang terpercaya". https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?
t=211944

Kesimpulan, bukanlah suatu sunnah mengadzankan apalagi mengiqamatkan bayi yang baru
dilahirkan.

Walhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallahu ‘alaa Muhammadin.


.
.
.
.
APAKAH DISYARIA’TKAN ADZAN PADA TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR ?

Oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur’ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.

Judul di atas dibuat dalam konteks kalimat tanya sebagaimana yang anda lihat untuk menarik
perhatian pembaca yang mulia agar mempelajari pembahasan yang dikandung judul tersebut.
Karena tidak ada seorang pun yang menulis tentang bab ini kecuali menyebutkan judul
sunnahnya adzan pada telinga anak yang baru lahir, padahal tidaklah demikian karena
lemahnya hadits-hadits yang diriwayatkan dalam permasalahan ini. [*]
_____________________________

[*] Kami telah meneliti sedapat mungkin riwayat-riwayat dan jalan-jalannya, dan berikut ini kami
terangkan dalam pembahasan ini, kami katakan :

Ada tiga hadits yang diriwayatkan dalam masalah adzan pada telinga bayi ini.

Pertama.
Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata : “Aku melihat Rasulullah
mengumandangkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali dengan adzan shalat ketika Fathimah
Radhiyallahu ‘anha melahirkannya”.

ُ
َّ ‫ِين َولَ َد ْت ُه َفاطِ َم ُة ِبال‬
‫صاَل ِة‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ َّذ َن فِي أ ُذ ِن ْال َح َس ِن ب‬
َ ‫ْن َعلِيٍّ ح‬ ُ ‫َرأَي‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬

Dikeluarkan oleh Abu Daud (5105), At-Tirmidzi (4/1514), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/300) dan
Asy-Syu’ab (6/389-390), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (931-2578) dan Ad-Du’a karya beliau
(2/944), Ahmad (6/9-391-392), Abdurrazzaq (7986), Ath-Thayalisi (970), Al-Hakim (3/179), Al-
Baghawi dalam Syarhus Sunnah (11/273). Berkata Al-Hakim : “Shahih isnadnya dan Al-Bukhari
dan Muslim tidak mengeluarkannya”. Ad-Dzahabi mengkritik penilaian Al-Hakim dan berkata :
“Aku katakan : Ashim Dla’if”. Berkata At-Tirmidzi : “Hadits ini hasan shahih”.

Semuanya dari jalan Sufyan At-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rafi dari
bapaknya.

Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (926, 2579) dan Al-Haitsami
meriwayatkannya dalam Majma’ Zawaid (4/60) dari jalan Hammad bin Syua’ib dari Ashim bin
Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan tambahan : Beliau adzan pada telinga Al-
Hasan dan Al-Husain”.

Rawi berkata pada akhirnya : “Dan Nabi memerintahkan mereka berbuat demikian”.
Dalam isnad ini ada Hammad bin Syuaib, ia dilemahkan oleh Ibnu Main. Berkata Al-Bukhari
tentangnya : “Mungkarul hadits”. Dan pada tempat lain Bukhari berkata : Mereka meninggalkan
haditsnya”.

Berkata Al-Haitsami dalam Al-Majma (4/60) : “Dalam sanadnya ada Hammad bin Syua’ib dan ia
lemah sekali”.

Kami katakan di dalam sanadnya juga ada Ashim bin Ubaidillah ia lemah, dan Hammad sendiri
telah menyelisihi Sufyan At-Tsauri secara sanad dan matan, di mana ia meriwayatkan dari
Ashim dan Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan mengganti Ubaidillah bin Abi Rafi dengan Ali
bin Al-Husain dan ia menambahkan lafadz : “Al-Husain” dan perintah adzan. Hammad ini
termasuk orang yang tidak diterima haditsnya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan. Dengan
begitu diketahui kelemahan haditsnya, bagaimana tidak sedangkan ia telah menyelisihi orang
yang lebih tsiqah darinya dan lebih kuat dlabtnya yaitu Ats-Tsauri. Karena itulah hadits
Hammad ini mungkar, pertama dinisbatkan kelemahannya dan kedua karena ia menyelisihi rawi
yang tsiqah.

Adapun jalan yang pertama yakni jalan Sufyan maka di dalam sanadnya ada Ashim bin
Ubaidillah. Berkata Ibnu Hajar dalam At-Taqrib : “Ia Dla’if”, dan Ibnu Hajar menyebutkan dalam
At-Tahdzib (5/42) bahwa Syu’bah berkata : “Seandainya dikatakan kepada Ashim : Siapa yang
membangun masjid Bashrah niscaya ia berkata : ‘Fulan dari Fulan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bahwa sanya beliau membagunnya”.

Berkata Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (2/354) : “Telah berkata Abu Zur’ah dan Abu Hatim :
‘Mungkarul Hadits’. Bekata Ad-Daruquthni : ‘Ia ditinggalkan dan diabaikan’. Kemudian
Daruquthni membawakan untuknya hadits Abi Rafi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain” (selesai nukilan dari Al-Mizan).

Maka dengan demikian hadits ini dha’if karena perputarannya pada Ashim dan anda telah
mengetahui keadaannya.

Ibnul Qayyim telah menyebutkan hadits Abu Rafi’ dalam kitabnya Tuhfatul Wadud (17),
kemudian beliau membawakan dua hadits lagi sebagai syahid bagi hadits Abu Rafi’. Salah
satunya dari Ibnu Abbas dan yang lain dari Al-Husain bin Ali. Beliau membuat satu bab khusus
dengan judul “Sunnahnya adzan pada telinga bayi”. Namun kita lihat keadaan dua hadits yang
menjadi syahid tersebut.

Hadits Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/8620) dan Muhammad
bin Yunus dari Al-Hasan bin Amr bin Saif As-Sadusi ia berkata : Telah menceritakan pada kami
Al-Qasim bin Muthib dari Manshur bin Shafih dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas.

‫ َفأ َ َّذ َن فِيْ أ ُ ُذ ِن ِه ْال ُي ْم َنى َوأَ َقا َم فِيْ أ ُ ُذ ِن ِه ْاليُسْ َرى‬،َ‫ْن َعلِيٍّ َي ْو َم وُ لِد‬ ُ
ِ ‫أَ َّذ َن فِيْ أ ُذ ِن ْال َح َس ِن ب‬
“Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan pada telinga Al-Hasan bin Ali
pada hari dilahirkannya. Beliau adzan pada telinga kanannya dan iqamah pada telinga kiri”.

Kemudian Al-Baihaqi mengatakan pada isnadnya ada kelemahan.

Kami katakan : Bahkan haditsnya maudhu’ (palsu) dan cacat (ilat)nya adalah Al-Hasan bin Amr
ini. berkata tentangnya Al-Hafidh dalam At-Taqrib : “Matruk”.

Berkata Abu Hatim dalam Al-Jarh wa Ta’dil 91/2/26) tarjumah no. 109 :’Aku mendengar ayahku
berkata : Kami melihat ia di Bashrah dan kami tidak menulis hadits darinya, ia ditinggalkan
haditsnya (matrukul hadits)”.

Berkata Ad-Dzahabi dalam Al-Mizan : “Ibnul Madini mendustakannya dan berkata Bukhari ia
pendusta (kadzdzab) dan berkata Ar-Razi ia matruk.

Sebagaimana telah dimaklumi dari kaidah-kaidah Musthalatul Hadits bahwa hadits yang dla’if
tidak akan naik ke derajat shahih atau hasan kecuali jika hadits tersebut datang dari jalan lain
dengan syarat tidak ada pada jalan yang selain itu (jalan yang akan dijadikan pendukung bagi
hadits yang lemah, -pent) rawi yang sangat lemah lebih-lebih rawi yang pendusta atau matruk.
Bila pada jalan lain keadaannya demikian (ada rawi yang sangat lemah atau pendusta atau
matruk, -pent) maka hadits yang mau dikuatkan itu tetap lemah dan tidak dapat naik ke derajat
yang bisa dipakai untuk berdalil dengannya. Pembahasan haditsiyah menunjukkan bahwa
hadits Ibnu Abbas tidak pantas menjadi syahid bagi hadits Abu Rafi maka hadits Abu Rafi tetap
Dla’if, sedangkan hadits Ibnu Abbas maudlu.

Adapun hadits Al-Husain bin Ali adalah dari riwayat Yahya bin Al-Ala dari Marwan bin Salim dari
Thalhah bin Ubaidillah dari Al-Husain bin Ali ia berkata : bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.

ِّ ‫صاَل َة فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْاليُسْ َرى َل ْم َتضُرَّ هُ أ ُ ُّم ال‬


ِ ‫ص ْب َي‬
‫ان‬ َّ ‫َمنْ وُ لِدَ لَ ُه َم ْولُو ٌد َفأ َ َّذ َن فِي أُ ُذ ِن ِه ْاليُمْ َنى َوأَ َقا َم ال‬

“Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan iqamah pada
telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan
membahayakannya”.

Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum
wal Lailah (hadits 623) dan Al-Haitsami membawakannya dalam Majma’ Zawaid (4/59) dan ia
berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-
Ghifari, ia matruk”.

Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya’la dengan nomor (6780).

Berkata Muhaqqiqnya : “Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh memalsukan hadits”.
Kemudian ia berkata : ‘Sebagaimana hadits Ibnu Abbas menjadi syahid bagi hadits Abi Rafi,
Ibnul Qayyim menyebutkan dalam Tuhfatul Wadud (hal.16) dan dikelurkan oleh Al-Baihaqi
dalam Asy-Syu’ab dan dengannya menjadi kuatlah hadits Abi Rafi. Bisa jadi dengan alasan ini
At-Tirmidzi berkata : ‘Hadits hasan shahih’, yakni shahih lighairihi. Wallahu a’lam (12/151-152).

Kami katakan : tidaklah perkara itu sebagaimana yang ia katakan karena hadits Ibnu Abbas
pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan tidak pantas menjadi syahid terhadap hadist Abu
Rafi sebagaimana telah lewat penjelasannya, Wallahu a’lam.

Sedangkan haidts Al-Husain bin Ali ini adalah palsu, pada sanadnya ada Yahya bin Al-Ala dan
Marwan bin Salim keduanya suka memalsukan hadits sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-
Albani dalam Ad-Dlaifah (321) dan Albani membawakan hadits Ibnu Abbas dalam Ad-Dlaifah
nomor (6121). Inilah yang ditunjukkan oleh pembahasan ilmiah yang benar. Dengan demikian
hadits Abu Rafi tetap lemah karena hadits ini sebagaimana kata Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-
Talkhish (4/149) : “Perputaran hadist ini pada Ashim bin Ubaidillah dan ia Dla’if.

Syaikh Al-Albani telah membawakan hadits Abu Rafi dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. (1224)
dan Shahih Sunan Abi Daud no (4258), beliau berkata : “Hadits hasan”. Dan dalam Al-Irwa
(4/401) beliau menyatakan : Hadits ini Hasan Isya Allah”.

Dalam Adl-Dla’ifah (1/493) Syaikh Al-Albani berkata dalam keadaan melemahkan hadits Abu
Rafi’ ini : “At-Tirmidzi telah meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abu Rafi, ia
berkata :”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan dengan adzan shalat pada
telinga Al-Husain bin Ali ketika ia baru dilahirkan oleh ibunya Fathimah”.

Berkata At-Timidzi : “Hadits shahih (dan diamalkan)”.

Kemudian berkata Syaikh Al-Albani : “Mungkin penguatan hadits Abu Rafi dengan adanya
hadits Ibnu Abbas”. (Kemudian beliau menyebutkannya) Dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam
Syu’abul Iman.

Aku (yakni Al-Albani) katakan : “Mudah-mudahan isnad hadits Ibnu Abbas ini lebih baik daipada
isnad hadits Al-Hasan (yang benar hadits Al-Husain yakni hadits yang ketiga pada kami,
-penulis) dari sisi hadits ini pantas sebagai syahid terhadap hadits Abu Rafi, wallahu ‘alam.
Maka jika demikian hadits ini sebagai syahid untuk masalah adzan (pada telinga bayi) karena
masalah ini yang disebutkan dalam hadits Abu Rafi’, adapaun iqamah maka hal ini gharib,
wallahu a’alam.

Kemudian Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-Irwa (4/401) : ‘Aku katakana hadits ini (hadits Abu
Rafi) juga telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas degan sanad yang lemah. Aku menyebutkannya
seperti syahid terhadap hadits ini ketika berbicara tentang hadits yang akan datang setelahnya
dalam Silsilah Al-Hadits Adl-Dla’ifah no (321) dan aku berharap di sana ia dapat menjadi syahid
untuk hadits ini, wallahu a’alam.
Syaikh Al-Albani kemudian dalam Adl-Dlaifah (cetakan Maktabah Al-Ma’arif) (1/494) no. 321
menyatakan : “Aku katakan sekarang bahwa hadits Ibnu Abbas tidak pantas sebagai syahid
karena pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan matruk. Maka Aku heran dengan Al-
Baihaqi kemudian Ibnul Qayyim kenapa keduanya merasa cukup atas pendlaifannya. Hingga
hampir-hampir aku memastikan pantasnya (hadits Ibnu Abbas) sebagai syahid. Aku
memandang termasuk kewajiban untuk memperingatkan hal tersebut dan takhrijnya akan
disebutkan kemudian (61121)” (selesai ucapan Syaikh).

Sebagai akhir, kami telah menyebutkan masalah ini secara panjang lebar untuk anda wahai
saudara pembaca dan kami memuji Allah yang telah memberi petunjuk pada Syaikh Al-Albani
kepada kebenaran dan memberi ilham padanya. Maka dengan demikian wajib untuk
memperingatkan para penuntut ilmu dan orang-orang yang mengamalkan sunnah yang
shahihah yang tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap tempat bahwa
yang pegangan bagi hadits Abu Rafi’ yang lemah adalah sebagaimana pada akhirnya penelitian
Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah berhenti padanya. Dan inilah yang ada di hadapan anda.
Dan hadits ini tidaklah shahih seperti yang sebelumnya beliau sebutkan dalam Shahih Sunan
Tirmidzi dan Shahih Sunan Abu Daud serta Irwaul Ghalil, wallahu a’lam.

Kemudian kami dapatkan syahid lain dalam Manaqib Imam Ali oleh Ali bin Muhammad Al-Jalabi
yang masyhur dengan Ibnul Maghazil, tapi ia juga tidak pantas sebagai syahid karena dalam
sanadnya ada rawi yang pendusta.

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus
Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, hal 31-36 Pustaka Al-Haura]
.
.
.
.
KEDUDUKAN HADITS MENGADZANI BAYI SETELAH LAHIR

Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Hadits mengadzani bayi setelah lahir memiliki 3 jalur periwayatan utama.

Riwayat jalur pertama:

ُ
َّ ‫ِين َولَ َد ْت ُه َفاطِ َم ُ”ة ِبال‬
‫صاَل ِة‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ َّذ َن فِي أ ُذ ِن ْال َح َس ِن ب‬
َ ‫ْن َعلِيٍّ ح‬ ُ ‫ْن أَ ِبي َراف ٍِع َعنْ أَ ِبي ِه َقا َل َرأَي‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬ ِ ‫َعنْ ُع َب ْي ِد هَّللا ِ ب‬

Dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari ayahnya beliau berkata: Saya melihat Rasulullah shollallahu
alaihi wasallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali ketika dilahirkan Fathimah, dengan (adzan)
sholat (H.R Ahmad, atTirmidzi, dan lainnya).

Jalur riwayat ini memiliki perawi bernama ‘Ashim bin Ubaidillah. Dia adalah perawi yang lemah
menurut para Ulama. Abu Zur’ah dan Abu Hatim menyatakan dia adalah munkarul hadits.
Sufyan bin Uyainah menyatakan: para syaikh menghindari hadits dari ‘Ashim bin Ubaidillah.
Namun, Syu’bah bin al-Hajjaj meriwayatkan hadits darinya. Syu’bah bin al-Hajjaj dikenal
sebagai seorang yang sangat selektif dalam mengambil periwayatan hadits. Al-Imam Malik
heran dengan sikap Syu’bah bin al-Hajjaj yang mengambil periwayatan dari ‘Ashim bin
Ubaidillah padahal dia adalah perawi yang lemah. Ibnu Hibban menyatakan bahwa ia lemah
karena lemahnya hafalannya sehingga banyak salah. Ibnu ‘Adi menyatakan bahwa ia meski
lemah, namun haditsnya ditulis (untuk dicari jalur penguat lainnya, pent). Al-‘Ijliy menyatakan
bahwa ia tidak mengapa. Dimaklumi bahwa al-‘Ijliy termasuk Ulama yang bermudah-mudahan
dalam penilaian terhadap perawi.

Riwayat jalur kedua:

‫ان‬ ِّ ‫ َمنْ وُ لِدَ َل ُه َولَ ٌد َفأ َ َّذ َن فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْاليُمْ َنى َوأَ َقا َم فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْاليُسْ َرى َل ْم َتضُرَّ هُ أ ُ ُّم ال‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ِ ‫ص ْب َي‬ ِ ‫ َقا َل َرس ُْو ُل‬: ‫ْن َقا َل‬
َ ‫هللا‬ ٍ ‫َعنْ ُح َسي‬

Dari Husain beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang
dilahirkan untuknya seorang anak, kemudian dia mengadzani di telinga kanan dan iqomat di
telinga kiri, maka tidak akan memudhorotkannya Ummus Shibyaan (Jin yang mengikutinya atau
hembusan angin)(H.R Abu Ya’la)

Di dalam sanad riwayat ini terdapat perawi yang bernama Marwan bin Salim al-Ghiffary yang
dinyatakan matruk (ditinggalkan) oleh al-Haytsamiy dalam Majmauz Zawaaid. Ibnu Abi Hatim
pernah bertanya kepada ayahnya, Abu Hatim tentang Marwan bin Salim al-Ghiffariy ini. Abu
Hatim menyatakan: munkarul hadits jiddan, dhaiful hadits. Maka Ibnu Abi Hatim bertanya:
Apakah haditsnya ditinggalkan? Abu Hatim menyatakan : Tidak. Tapi haditsnya ditulis (sebagai
pertimbangan jika ada jalur penguat lain, pent)(al-Jarh wat Ta’diil (8/275)).

Riwayat jalur ketiga:

‫ْن َعلِيٍّ َي ْو َم وُ لِ َد َفأ َ َّذ َن فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْال ُي ْم َنى َوأَ َقا َم فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْاليُسْ َرى‬ ُ
ِ ‫ أَ َّذ َن فِي أ ُذ ِن ْال َح َس ِن ب‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ َّ‫ أَنَّ ال َّن ِبي‬: ‫َّاس‬
ٍ ‫ْن َعب‬
ِ ‫َع ِن اب‬

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada
hari kelahirannya. Beliau adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri (H.R al-Baihaqiy
dalam Syuabul Iman dan beliau menyatakan bahwa sanad hadits ini lemah)

Jalur periwayatan ini memiliki perawi yang bernama Muhammad bin Yunus al-Kudaimiy. Ibnu
Hibban menyatakannya sebagai pemalsu hadits. Demikian juga Abu Dawud
mengkategorikannya sebagai pendusta. Sedangkan Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa
dulunya Muhammad bin Yunus al-Kudaimiy adalah dikenal baik dan haditsnya baik. Tidaklah
didapati ada cela darinya kecuali karena ia bersahabat dengan Sulaiman asy-Syaadzakuuniy
(Tahdziibut Tahdziib karya al-Hafidz Ibn Hajar (9/476)). Sedangkan Sulaiman asy-
Syaadzakuuniy dikenal sebagai pendusta.

Ketiga jalur periwayatan di atas masing-masingnya lemah. Namun yang menjadi perbedaan
pendapat para Ulama adalah : bisakah ketiga jalur itu saling menguatkan sehingga paling tidak
sampai derajat hasan? Syaikh al-Albaniy awalnya menghasankan hadits itu dalam Sunan
atTirmidzi, namun setelah beliau mengkaji ulang beliau menilai bahwa riwayat Abu Rofi’ (jalur
riwayat pertama) tidak bisa dikuatkan dengan jalur lain karena perawi-perawi yang pendusta.
Beliau kemudian melemahkannya dalam Silsilah ad-Dhaifah. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad
sepertinya cenderung pada pendapat Syaikh al-Albany yang terakhir ini dalam syarh Sunan Abi
Dawud.

Sedangkan sebagian Ulama’ menyatakan bahwa adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir
bisa diamalkan. Jalur – jalur periwayatan yang ada bisa menguatkan.

Ulama yang berpendapat demikian di antaranya: atTirmidzi, al-Hakim, anNawawiy, Ibnu


Qudamah, Ibnul Qoyyim, al-Mubarokfuriy penulis Tuhfatul Ahwadzi, asy-Syaukaaniy dalam
Tuhfatudz Dzaakiriin, Syaikh Muhammad bin Ibrohim (mufti Saudi terdahulu), Syaikh Abdullah
bin Abdil Aziz bin ‘Aqiil, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz
arRaajihiy.

Sepertinya pendapat para Ulama ini adalah pendapat yang rajih, karena memang jalur-jalur
periwayatan tersebut bisa menguatkan. Jalur riwayat pertama lemah, karena adanya perawi yg
lemah hafalannya. Namun diharapkan bisa dikuatkan dgn jalur riwayat kedua. Perawi Marwan
bin Saalim al-Ghiffariy masuk kategori perawi yg bisa ditulis haditsnya sambil dicari jalur
penguat lain, menurut Abu Hatim. Sedangkan jalur periwayatan yg ketiga jika kita membaca
penjelasan al-Hafidz Ibn Hajar dlm Tahdziibut Tahdziib, maka bisa jadi kita akan berkesimpulan
bahwa al-Kudaimiy bukanlah pendusta secara mutlak.

Belum lagi jika kita melihat adanya riwayat perbuatan seorang Tabi’i yg mulya yaitu Umar bin
Abdil Aziz dalam riwayat Abdurrozzaq.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam salah satu fatwanya berpendapat bahwa
adzan di telinga bayi adalah sunnah, sedangkan iqomat tidak. Beliau menyatakan:

‫األذان عند والدة المولود سنة وأما اإلقامة فحديثها ضعيف فليست بسنة ولكن هذا األذان يكون أول ما يسمع المولود وأما إذا فات وقت‬
‫الوالدة فهي سنة فات محلها فال تقضى‬

Adzan ketika kelahiran anak adalah sunnah sedangkan iqomat haditsnya lemah, bukan sunnah.
Akan tetapi adzan ini adalah pertama kali yang didengar oleh anak yang dilahirkan. Adapun jika
terlewat waktu kelahirannya, sunnah tersebut tidaklah diqodho’ (diganti di waktu lain) (Fataawa
Nuurun Alad Darb (228/9)).

Wallaahu A’lam.
.
.
.
.
TAKHRIJ HADITS ADZAN DI TELINGA BAYI
Ada beberapa riwayat yang dibukukan oleh para ulama terkait masalah adzan di telinga bayi
yang baru lahir. Berikut riwayat-riwayat tersebut :

Abu Roofi’ rodhiyallahu anhu beliau berkata :


ُ
َّ ‫ِين َولَ َد ْت ُه َفاطِ َم ُ”ة ِبال‬
‫صاَل ِة‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم «أَ َّذ َن فِي أ ُذ ِن ْال َح َس ِن ب‬
َ ‫ْن َعلِيٍّ ح‬ ُ ‫َرأَي‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬

Ana melihat Rasulullah sholallahu alaihi wa salam adzan (seperti adzan) sholat di telinga al-
Hasan bin Ali rodhiyallahu anhu, ketika lahir dari rahim Fatimah rodhiyallahu anha.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam as-Sunan (no. 5105), Imam Tirmidzi
dalam as-Sunan (no. 1514), Imam Ahmad dalam al-Musnad (no. 27186), dan lain-lain
semuanya dari jalan Sufyaan ats-Tsauriy dari ‘Aashim bin ‘Ubaidillah, dari Ubaidillah bin Abi
Roofi’ dari Bapaknya : “al-Hadits”.

Sanad diatas lemah karena kedhoifan yang ada pada ‘Aashim bin ‘Ubaidillah, cukuplah jarh
Imam Bukhori kepadanya yang mengatakan bahwa ‘Aashim ini perowi yang mungkarul hadits,
sebagai status dhoif untuknya.

Abdullah bin Abbas rodhiyallahu anhu bahwa Nabi sholallahu alaihi wa salam :
‫ َوأَ َقا َم فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْاليُسْ َرى‬،‫ َفأ َ َّذ َن فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْال ُي ْم َنى‬،َ‫ْن َعلِيٍّ َي ْو َم وُ لِد‬ ُ
ِ ‫أَ َّذ َن فِي أ ُذ ِن ْال َح َس ِن ب‬

adzan di telinga al-Hasan bin Ali rodhiyallahu anhu, ketika lahir. Beliau adzan di telinga bagian
kanan dan iqomat di telinga bagian kiri.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 8255). Didalam sanadnya
ada perowi yang bernama al-Hasan bin ‘Amr, kata asy-Syaikh Syu’aib Arnauth dalam Ta’liq
Musnad Ahmad :

‫ واتهمه علي ابن المديني والبخاري بالكذب‬،‫وفي إسناده الحسن بن عمرو بن سيف السدوسي وهو متروك‬

Didalam sanadnya ada al-Hasan bin ‘Amr bin Saif as-Saduusiy, perowi yang matruk, bahkan Ali
Ibnul Madiiniy dan Bukhori menuduhnya sebagai pendusta.

Dari al-Husain bin Ali rodhiyallahu anhu beliau berkata, Rasulullah sholallahu alaihi wa salam
bersabda :
ِ ‫ت َع ْن ُه أ ُ ُّم الص َِّبيَّا‬
‫ت‬ ْ ‫ َوأَ َقا َم فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْاليُسْ َرى ُرفِ َع‬،‫َمنْ وُ لِدَ لَ ُه َم ْولُو ٌد َفأ َ َّذ َن فِي أ ُ ُذ ِن ِه ْال ُي ْم َنى‬
Barangsiapa yang melahirkan anak, adzanlah di telinga bagian kanan dan iqomat di telinga
bagian kiri, maka akan diangkat dari anak tersebut Ummu Shobiyyaan (gangguan Jin).

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman juga (no. 8254), kata asy-
Syaikh Syu’aib Arnauth :

‫ وهما متهمان بالوضع‬،‫وفي إسناده يحيى بن العالء ومروان بن سالم‬

Dalam sanadnya ada Yahya bin al-‘Alaa` dan Marwaan bin Saalim, keduanya perowi yang
dituduh memalsukan hadits.

Kesimpulannya, tidak ada hadits yang shahih berkaitan dengan meng-adzani atau meng-
iqomahi bayi yang baru lahir. Yang ada adalah riwayat-riwayat yang lemah berdasarkan
kaedah-kaedah ilmu hadits.

Namun sebagian ulama tetap menganjurkan untuk melakukan hal tersebut yaitu adzan dan
iqomat pada bayi yang baru lahir, barangkali karena fungsi adzan yang dapat mengusir setan
hingga lari terbirit-birit ketika mendengar suara adzan, sebagaimana hadits yang tsabit yang
diriwayatkan dari Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wa salam
bersabda :

‫ضى‬ َ ‫ َح َّتى إِ َذا َق‬،‫صالَ ِة أَ ْد َب َر‬ َ ِّ‫ َح َّتى إِ َذا ُثو‬،‫ضى ال ِّن َدا َء أَ ْق َب َل‬
َّ ‫ب ِبال‬ َ ‫ َح َّتى الَ َيسْ َم َع ال َّتأْذ‬،‫اط‬
َ ‫ َفإِ َذا َق‬،‫ِين‬ ٌ ‫ َولَ ُه ض َُر‬، ُ‫ْطان‬
َ ‫صالَ ِة أَ ْد َب َر ال َّشي‬ َ ‫إِ َذا ُنود‬
َّ ‫ِي لِل‬
َّ
‫صلى‬ َ َّ ُ ْ ُ َ َ ُ ْ َ ُ ْ ُ ْ
َ ‫ لِ َما ل ْم َيكنْ َيذك ُر َحتى َيظ َّل الرَّ ُج ُل الَ َي ْد ِري َك ْم‬،‫ اذكرْ َكذا‬،‫ اذكرْ َكذا‬:ُ‫ َيقول‬،ِ‫ َحتى َيخطِ َر َبي َْن ال َمرْ ِء َو َنفسِ ه‬،‫يب أق َب َل‬ ْ َّ ْ َ َ ‫التث ِو‬ْ َّ

Jika dikumandangkan adzan untuk sholat, setan lari sampai terkentut-kentut… (muttafaqun
‘alaih).
.
.

Anda mungkin juga menyukai