Anda di halaman 1dari 5

Takhrij hadits mengadzankan bayi yang baru lahir

Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka tidak menganggap
mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak perkataan Imam Asy Syafi’i yang
menganjurkan adzan di telinga bayi, pen).

Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan ini, bahkan
menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.

mazhab Al-Malikiyah memkaruhkan secara resmi dan mengatakan bahwa azan pada bayi ini
hukumnya bidah. Walau pun ada sebagian ulama dari kalangan Al-Malikiyah yang
membolehkan juga.

Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa
tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779,
pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof Kuwaitiyyah, Asy Syamilah)

Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnul
Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.

Hadits pertama:

Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,

1
‫َر َأْيُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأَّذ َن ِفي ُأُذ ِن اْلَحَس ِن ْبِن َع ِلٍّي ِح يَن َو َلَد ْتُه َفاِط َم ُة ِبالَّص اَل ِة‬

“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga
Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR.Tirmidzi)

Penilaian hadits pertama:

Para perowi hadits pertama ada enam,

‫ُمَس َّدٌد َح َّد َثَنا َيْح َيى َع ْن ُس ْفَياَن َقاَل َح َّد َثِنى َعاِص ُم ْبُن ُع َبْيِد ِهَّللا َع ْن ُع َبْيِد ِهَّللا ْبِن َأِبى َر اِفٍع َع ْن َأِبيِه‬

yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, ‘Ubaidullah bin Abi Rofi’, dan Abu
Rofi’.

Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah ‘Ashim bin Ubaidillah.

1 Imam at-tirmidzi, jami’ at-tirmidzi, juz 4


Ibnu Hajar menilai ‘Ashim dho’if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu
Ma’in mengatakan ‘Ashim dho’if (lemah). Al Bukhari dan selainnya mengatakan bahwa ‘Ashim
adalah munkarul hadits (sering membawa hadits munkar).

Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini
sanadnya lemah.
Ringkasnya, hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if).

Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi. Beliau mengatakan
bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan beliau mengangkat hadits ini ke derajat hasan karena ada
beberapa riwayat yang semakna yang mungkin bisa dijadikan penguat. Mari kita lihat hadits
kedua dan ketiga.

Al-Imam At-Tirmizy dan hakim keduanya menegaskan bahwa yang beliau riwayatkan itu adalah
hadits hasan shahih. Demikian juga al Imam Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu'
Syarah Al-Muhadzdzab (9/348) menshahihkan hadits tersebut

para ulama dalam mazhab Asy-Syafiiyah memandang bahwa selain berfungsi untuk memanggil
orang-orang untuk salat berjemaah, azan juga boleh dikumandangkan dalam konteks di luar
salat. Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama ahli fiqih kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnya
Al-Fiqhul Islami Wa Adillathu bahwa selain digunakan untuk salat, azan juga dikumandangkan
pada beberapa even kejadian lainnya. Dan salah satunya adalah untuk mengazan bayi yang baru
lahir.

Umumnya para ulama di dalam mazhab Asy-Syafiiyah dan Al-Hanabilah menyunahkan azan
untuk bayi yang baru lahir, yaitu pada telinga kanan dan iqamat dikumandangkan pada telinga
kirinya. Selain mazhab Asy-Syafiiyah, umumnya ulama tidak menyunahkannya, meski mereka
juga tidak mengatakannya sebagai bidah.

Hadits kedua:

Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َم ْن ُوِلَد َلُه َم ْو ُلوٌد َفَأَّذ َن ِفي ُأُذ ِنِه اْلُيْم َنى َو َأَقاَم الَّص اَل َة ِفي ُأُذ ِنِه اْلُيْس َر ى َلْم َتُضَّر ُه ُأُّم الِّصْبَياِن‬

“Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di
telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la
dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin
(perempuan).

Penilaian hadits kedua:

Para perowi hadits kedua ada lima,


‫ عن حسين‬، ‫ عن طلحة بن عبيد هللا‬، ‫ عن مروان بن سالم‬، ‫ حدثنا يحيى بن العالء‬، ‫حدثنا جبارة‬

yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al ‘Alaa’, Marwan bin Salim, Tholhah bin ‘Ubaidillah, dan Husain.

Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho’if (lemah).

Yahya bin Al ‘Alaa’ dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz Dzahabi
menilainya matruk (hadits yang diriwayatkannya ditinggalkan).

Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh lembek dan juga
dituduh dusta.

Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321 menilai bahwa Yahya bin Al ‘Alaa’ dan
Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering memalsukan hadits.

Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat menguatkan hadits pertama
karena syarat hadits penguat adalah cuma sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang dusta.
Jadi, hadits kedua ini tidak bisa mengangkat derajat hadits pertama yang dho’if (lemah) menjadi
hasan.

Hadits ketiga:

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,

‫ وأقام في أذنه اليسرى‬، ‫ فأذن في أذنه اليمنى‬، ‫أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan
maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi
dalam Syu’abul Iman)

Untuk memutuskan apakah mengumandangkan adzan di telinga bayi termasuk anjuran atau
tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits di atas terlebih dahulu.

Penilaian hadits ketiga:

Para perowi hadits ketiga ada delapan,

‫ حدثنا الحسن بن عمرو بن سيف‬، ‫ حدثنا محمد بن يونس‬، ‫ أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار‬، ‫وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان‬
‫ عن ابن عباس‬، ‫ عن أبي معبد‬، ‫ عن منصور ابن صفية‬، ‫ حدثنا القاسم بن مطيب‬، ‫السدوسي‬
yaitu: Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin Yunus, Al
Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu
Ma’bad, dan Ibnu Abbas.

Al Baihaqi sendiri dalam Syu’abul Iman menilai hadits ini dho’if (lemah). Namun, apakah hadits
ini bisa jadi penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat perowinya lagi.

Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru.

Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa Bukhari berkata Al
Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata Al Hasan itu matruk (harus ditinggalkan).
Sehingga Al Hafidz berkesimpulan bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).

Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak ada pengaruhnya
kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi.

Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’.

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang memiliki beberapa penguat,
tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut tidak bisa mengangkatnya dari dho’if (lemah)
menjadi hasan. Maka pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan
adalah suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits tentang adzan di
telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini
sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321. Jadi kesimpulannya, hadits
yang membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah sehingga tidak bisa
diamalkan.

SEORANG AHLI HADITS MESIR MASA KINI YAITU SYAIKH ABU ISHAQ AL
HUWAINI HAFIZHOHULLAH MENGATAKAN, “HADITS YANG MENJELASKAN
ADZAN DI TELINGA BAYI ADALAH HADITS YANG LEMAH. SEDANGKAN SUATU
AMALAN SECARA SEPAKAT TIDAK BISA DITETAPKAN DENGAN HADITS LEMAH.
SAYA TELAH BERUSAHA MENCARI DAN MEMBAHAS HADITS INI, NAMUN BELUM
JUGA MENDAPATKAN PENGUATNYA (MENJADI HASAN).” (AL INSYIRAH FI
ADABIN NIKAH, HAL. 96, DINUKIL DARI HADIAH TERINDAH UNTUK SI BUAH
HATI, USTADZ ABU UBAIDAH, HAL. 22-23)

Penutup

Dalam penutup kali ini, kami ingin menyampaikan bahwa memang dalam masalah adzan di
telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat). Sebagian ulama menyatakan dianjurkan dan
sebagiannya lagi mengatakan bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya. Dan setelah membahas
penilaian hadits-hadits tentang dianjurkannya adzan di telinga bayi di atas terlihat bahwa semua
hadits yang ada adalah hadits yang lemah bahkan maudhu’ (palsu). Kesimpulannya, hadits adzan
di telinga bayi tidak bisa diamalkan sehingga amalan tersebut tidak dianjurkan.

Ibnul Qosim mengatakan bahwa beliau mendengar Malik dan Al Laits berkata tentang masalah
perbedaan pendapat di antara sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tepat
perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan pendapat) boleh-boleh saja
(ada kelapangan). Tidaklah seperti anggapan mereka. Di antara pendapat-pendapat tadi pasti ada
yang keliru dan ada benar.”

Begitu pula Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik ditanya mengenai orang yang mengambil
hadits dari seorang yang terpercaya dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
ditanya, “Apakah engkau menganggap boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat (dalam masalah
ijtihadiyah, pen)?”

Imam Malik lantas menjawab, “Tidak demikian. Demi Allah, yang diterima hanyalah pendapat
yang benar. Pendapat yang benar hanyalah satu (dari berbagai pendapat ijtihad yang ada).
Apakah mungkin ada dua pendapat yang saling bertentangan dikatakan semuanya benar [?]
Tidak ada pendapat yang benar melainkan satu saja.” (Dinukil dari Shohih Fiqh Sunnah, 1/64)”

Keterangan:

• Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut
adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi
riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
• Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari
sisi dhobith (kuatnya hafalan).
• Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya
terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
• Hadits maudhu’ (palsu) adalah hadits yang salah satu perowinya dinilai kadzdzib (pendusta)
yakni berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Hadits matruk (yang harus ditinggalkan) adalah hadits yang salah satu perowinya dituduh
kadzib (berdusta).

Referensi

Imam an-nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab ( 8/443) .

Pendapat imam malik mengingkari adzan bayi= Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar asy-
Syaikh Khalil ( 3/321).

Anda mungkin juga menyukai