Anda di halaman 1dari 12

Ass.

Alh wa Najib Kyai Najib : Ikutilah orang karena dia itu benar jgn mengikuti kebenaran krn orng, kenalilah kebenaran kamu akan kenal siapa yg benar Prinsip NU : 7 prinsip NU sebagai perwujudan tisu Nahdoh syariyah, Ilmiyah, Tarbawiyah, khulukiyah, ukhowiyah, taawuniyah, ijtimaiyah, iqtisodiyah, ukhrowiyah. Inganatutolibin : ma yafalu nasu minal ijtima .. aladi ysabu ala maniha apa yang dikerjakan oleh orang ketika ngumpul2 setelah kematian dan membikin makanan termasuk bidah munkaroh yg di beri pahala orng yg melarangnya Albaits ala ingkari bidah wal hawadits (pendorong mengajak untuk meninggalkan bidah dan perkara2 yg baru) karangan Abu Samah AsSyafii tulen: Ashohabah yanhawna anil bida 4 perkara yg tdk akan ketemu sampai yaumil qiyamah: Tauhid Syirik, Iman kufur, Sunah Bidah, Taat maksiat Asar ibnu masud sanad sohih : itabiu wala tabtadiu wakad ufitum, bidah hasanah ? bidah = tdk baik hasanah=baik tidak mungkin bersatu. Abdullah Ibnu Umar: Kulu bidatun hasanah wain yaroanasu hasanah. Ust. Firanda Pembicaraan kembali ke dalil: Bidah hasanah : Harmalah : bidah terpuji & tercela = Imamsyafii diambil Umar nimatul bidati hadzihi. Idrus ramli Iyakum wal muhdasatil umur.... (muslim) Kalimat umum yg dipagari dng lafadz yg kuat menunjukan atas makna keumuman. Para ulama dibagi 2 dan 5 maksudnya imam nawawi mengomentri kulu bidah... Amun makhsus lafadznya umum dibatasi kebanyakan bidah tdk semua bidah. 1. Mansana fil islam sunatan hasanatan..... memulai perkara baik....takhsis hadits tajudin bin abdisalam : 5 macam 2. Ma roa muslimina hasanahatan fahuwa ingdallah hasanah Hadits 1 tdk digabung dgn hadits yg lain dianggap Umar tarawih diawal malam, 1 imam, ratu bilkis dikarunia sesuatu, kyai abdulah faqih: biah madmumah Ibnu masud: roahul hasanah fahua indallah hasanah Bantahan 1. Azhari : Sana : bukan membikin/ menciptakan yg baru tetapi memulai 2. Ibnu masud pemilihan abu bakar khalifah; ijma Mamun masbuk muad bin jabal terlambat. Kod sana lakum muadz hakadza fasnau fi sholatikum Awalu man sana fil qotla qobil Alibroh fi umumi lafdzi la fikhususi sabab.

Niat. Qiyas = obadah haji ---- labaika bilumrah walhaji Hal indakum syai ....> faini idzan soim Laqiyasa fil ibadah ini salah kata idrus Contohnya qunut fil witri dgn shalat subuh Al wajis. Takbir = Sholu kamu

Tanggapan saya : Pernyataan ustadz Zainal sama sekali tidaklah benar. Penyimpulan ustadz Zainal ini berangkat dari memahami definisi bidah imam asy-Syathibi yang dipahaminya dengan pemahaman pincang sebelah. Asy-Syatibi yang berakidahkan asyari tulen ini sebenarnya sepakat dengan pemahaman jumhur ulama bahwa ada perkara baru dalam agama yang diterima oleh syareat. Meskipun beliau tidak mau menyebutnya bidah, akan tetapi beliau menyebutnya sebagai maslahah mursalah atau bidah fil lafadz. Bagi kami (Aswaja) hal itu bukanlah suatu masalah yang mencolok, hanya perbedaan istilah saja, adapun esensi maknanya sama, tidak berbeda. Perhatikan ucapan asySyathibi berikut ketika mengomentari pembagian bidah imam al-Izz bin Abdissalam berikut :

Dan ia (Ibnu Abdissalam) termasuk orang yang mengatakan dengan masalah mursalah dan ia menamakannya bidah secara lafaz / bahasa, sebagaimana Umar radhiallahu anhu menamakan kumpulan dalam sholat tarawih di bulan Ramadhan dengan bidah [1]

Asy-Syathibi dengan jelas mengakui bahwa pembagian bidah yang dilakukan alIzz binAbdissalam adalah bidah dari segi lafadz (bahasa) sebagaimana penyebutan Umar bin Khaththab radhiallahu anhu pada kasus sholat terawikh. Asy-Syathibi menyebutnya sebagai bidah segi lafadz bukan segi syareat dan kami menyebutnya bidah hasanah.

Lebih jelas Ibnu Rajab al-Hanbali mempertegas :

Dan adapun apa yang terjadi pada ucapan ulama salaf dari menganggap baik (hasanah) pada sebagian bidah, maka sesungguhnya itu hanyalah dalam bidah segi bahasa saja bukan segi syariyyah. Di antara contoh hal itu adalah ucapan Umar bin Khaththab radhiallahu anhu ketika mengumpulkan manusia untuk mendirikan sholat malam di bulan Ramadhan pada satu imam di dalam masjid, beliau keluar dan melihat mereka sholat seperti itu, maka beliau berkata Sebaikbaik bidah adalah ini . [2]

Pemahaman Ibnu Rajab menguatkan pemahaman kami (Aswaja) bahwa perkara baru atau bidah yang sering disebut oleh ulama salaf sebagai bidah hasanah adalah dalam konteks dan pandangan bidah segi bahasa saja bukan syariyyah. Ibnu Rajab lebih mengakui penyebutan bidah pada perkara baru dalam agama, meskipun beliau menyebutnya bukan bidah hasanah namun bidah lughawiyyah. Hal ini sekali lagi bukanlah masalah bagi kami, karena ini hanyalah perbedaan istilah saja, perbedaan lafaz saja, akan tetapi inti atau subtansi pemahamannya sama tidak berbeda.

Lebih jelas lagi Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan :

Yang dimaksud dengan bidah adalah : Segala perkara baru yang tidak ada asalnya dalam syareat yang menunjukkan atasnya. Adapun perkara baru yang ada asal dari syareat yang menunjukkan atasnya, maka bukanlah bidah dalam segi syareatnya, walaupun itu bidah dalam segi bahasanya . [3]

Begitu jelas Ibnu Rajab mengatakan bahwa perkara baru yang ada landasan syareatnya disebut bidah dalam segi bahasanya dan bukan bidah dalam segi syareatnya artinya boleh dilakukan. Hal ini sesuai dengan pemahaman kami (syafiiyyah) selama ini yang memahami bahwa setiap perkara yang memiliki landasan dalam syareatnya adalah boleh dilakukan meskipun salingberbeda di dalam menamai perkara tersebut. Ibnu Rajab dan asy-Syathibi menyebutnya bukan bidah, ada yang menyebutnya bidah lughowiyyah, ada pula yang menyebutnya maslahah mursalah dan ulama syafiiyyah menyebutnya bidah hasanah. Semua ini hanyalah perbedaan dalam lafaznya saja, adapun subtansi pemahamannya sama, tidak berbeda.

Bukti adanya para ulama salaf maupun kholaf yang menyandingkan kalimat bidah atau muhdatsah dengan hasanah atau mahmudah di antaranya :

Al-Imam al-Adzam asy-Syafii. Sebagaimana telah dijelaskan oleh syaikh Ibnu Taimiyyah berikut ini :

Ibnu Taimiyyah juga mengatakan ; Dari sini dapat diketahui kesesatan yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasusmsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah shallahu alaihi wa sallam tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bidah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan

bidah.Al-imam Syafii rahimahullahu berkata : Bidah itu ada dua. Pertama, bidah yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma dan Atsar sebagian sahabat Rasulullah shallahu alaihi wa sallam, ini disebut bidah dholalah. Kedua, bidah yang tidak menyalahi hal tersebut, ini terkadng disebut bidah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, Inilah sbeaik-baik bidah. Pernyataan Syafii ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang sahih. [4]

Dari penjelasan Ibnu Taimiyyah ini, dapat kita pahami bahwasanya : - Ada bidah yang diterima oleh syareat. - Ibnu Taimiyyah menguatkan argumentasinya dengan membawakan ucapan imam Syafii yang membagi bidah menjadi dua; yakni bidah hasanah dan bidah dholalah. - Dari penjelasan Ibnu Taimiyyah, ternyata imam Syafii membagi bidah dengan menggunakan dalil dari ucapan Umar bin Khaththab yang mengatakan Nimatil bidatu hadzihi . Ini bukti adanya bidah hasanah sebagaimana tercantum jelas dalam nukilan Ibnu Taimiyyah tersebut. Pertanyaan : Apakah anda akan mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah dan imam asy-Syafii tidak memahami kalimat bidah dan kalimat hasanah sehingga menyatukan kalimat tersebut ?? atau apakah anda akan menyalahkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dan imam asy-Syafii ??

Imam al-Qurthubi menegaskan : Maka perhatian Umar atas sholat terawih ini, usaha mengmpulkan orang banyak dan menganjurkannya adalah perkara bidah akan tetapi bidah mahmudah (terpuji). [5]

Dengan jelas imam al-Qurthubi seorang ulama ahli tafsir ini menyatakan bidah mahmudah (terpuji) lagi mamduhah (terpuja) pada kasus perhatian Umar bin Khaththab dalam mengumpulkan dan menganjurkan sholat terawikh. Apakah imam Qurthubi tidak memahami kalimat bidah dan kalimat mahamudah dan mamduhah, sehingga menyatukan kedua kalimat tersebut ?? Imam an-Nawawi yang puluhan bahkan ratusan kitabnya dipergunakan oleh umat muslim diseluruh belahan dunia untuk diambil faedah dan manfaatnya baik kalangan salafi sendiri ataupun kalangan Ahlus sunnah, mengatakan : : : : .

Berkumpulnya manusia setelah asar untuk berdoa sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk Arafah menurut Imam Ahmad tidaklah mengapa. Namun Imam Malik memakruhkan hal itu. Dan Hasan Basri dan Ibn Abbas melakukan hal itu. Sementara Imam Nawawi mengatakan bahwa perbuatan itu adalah bidah hasanah .[6]

Mungkinkah imam an-Nawawi yang menguasai Ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah dan lughah), Ilmu qiraat, Ilmu naskhil utsmani, Ilmu tafsir, Ilmu nasikh wal mansukh, Ilmu ghoribil quran, Ilmu ijazil quran, Ilmu irabil quran, ilmu ushul Fiqih dan qawadinya, ilmu ushul tafsir dan tafsirnya, ilmu ushul hadits dan mustholahnya, ilmu ushul tauhid dan tauhidnya dan sebagianya, ini tidak memahami kalimat bidah dan kalimat hasanah, sehingga menyatukan kedua kalimat tersebut ??

Al-Imam Badruddin al-Aini mengatakan : Yang demikian itu karena ketika beliau mengumpulkan manusia dalam sholat tarawih di belakang satu imam, maka sebelumnya mereka sholat dengan berpisah-pisah. Dan bidah makna asalnya adalah perkara baru yang tidak ada di masa Nabi shallahu alaihi wa sallam. Kemudian bidah itu ada dua macam, jika perkara baru itu berpacu dalam naungan baik dalam syareat, maka disebut bidah hasanah, dan jika berpacu dalam naungan yang buruk dalam syareat, maka disebut bidah yang buruk .[7]

Imam Ibnul Atsir mengatakan : . : Dari macam ini adalah ucapan Umar radhiallahu anhu : Sebaik-baik bidah adalah ini , ketika sholat tarawih ini termasuk perbuatan baik, dan masuk dalam batas terpuji maka beliau menyebutnya bidah dan memujinya, karena Nabi shallahu alaihi wa sallam tidak pernah mensyareatkannya pada mereka, beliau melakukannya hanya beberapa malam kemudian meninggalkannya dan tidak merutinkannya, tidak pula mengumpulkan manusia untuk melakukannya, tidka pula ada di masa Abu Bakar As-Shdiddiq. Hanya Umar radhiallahu anhu lah yang mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih dan menganjurkannya, dengan inilah beliau menyebutnya bidah .[8]

Dan masih banyak lagi para ulama yang menyandingkan kalimat bidah dengan kalimat hasanah yang tidak saya sebutkan dalam catatan ringkas ini.

Kesimpulan point ini adalah : 1. Bidah tidak berkonotasi jelek dan sesat. 2. Bidah ada yang hasanah dan dholalah. 3. Bidah bisa disandingkan dengan kalimat hasanah, karena faktanya memang ada bidah yang baik dalam agama sebagaimana penjelasan ulama salaf dan kholaf. 4. Penyimpulan Ustadz Zainal salah dan menyimpang dari pemahaman mayoritas ulama Ahlus sunnah baik salaf maupun kholaf. Poin berikutnya ustadz Zainal mengatakan bahwa lafadz Kullu secara bahasa bisa diartikan sebagian, sedangkan secara fakta hadits Kullu bidatin tidak bisa dan tidak pernah ada. Karena hadits ini dipahami oleh sahabat tidak ada pengecualian bidah dalam agama, sekecil apapun, semuanya sesat

Tanggapan saya : Pernyataan anda tidaklah benar sama sekali. Siapakah ulama salaf atau pun kholaf yang menyatakan seperti anda itu ?

Imam an-Nawawi mengatakan :

Sabda Nabi SAW, semua bidah adalah sesat, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud semua bidah itu sesat, adalah sebagian besar bidah itu sesat (bukan seluruhnya).[9]

Imam Nawawi memahami bahwa lafadz kullu dalam hadits itu bermakna sebagian besar bidah, bukan keseluruhan secara muthlaq. Tapi sayangnya, pemahaman imam Nawawi ini anda tolak mentah-mentah sebagaimana dalam dialog anda, dan lebih taqlid kepada pemahaman Ibnu Utsaimin yanag bersih keras menyatakan lafadz Kullu tidak bisa di artikan sebagian. Lebih salaf siapakah antara Imam Nawawi dan Ibnu Utsaimin wahai ustadz ??

Imam al-Qurthubi memperjelas kembali : ) ( ( (

Aku (al-Qurthubi) katakana : Itulah makna ucapan Nabi shallahu alaihi wa sallam dalam khutbahnya : ( Dan seburu-buruknya perkara adalah perkara barunya dan setiap bidah itu sesat ) yang Nabi maksud adalah perkara baru yang tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunnah atau perbuatan sahabat radhiallahu anhum. Ini sungguh telah Nabi jelaskan dalam sabdanya :Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun, ini adalah isyarat kepada bidah yang buruk dan bidah yang baik, inilah esensi dalam bab ini. Dan dengan Allah lah kita mendapat ishmah dan taufiq, tidak ada Rabb selain-Nya . [10]

Imam al-Qurthubi menjadikan hadits Man sanna fil Islam sebagai mukhashshis (pembatas) bagi hadits Kullu bidatin , artinya tidak semua bidah itu sesat.

Imam Ibnul Atsir mengatakan : : Atas dasar takwil ini, maka hadits yang lain ini Setiap yang baru adalah bidah diarahkan maknanya adalah yang dimaksud adalah perkara baru yang menyalahi asal-asal syareat dan tidak sesuai sunnah .[11]

Imam asy-Syafii membagi bidah menjadi dua justru berhujjah dengan ucapan Umar bin Khaththab radhiallahu anhu , , , , , . ,

Hal baru terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al Quran, Sunah, atsar, dan ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua adalah hal baru dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut, maka tidak ada khilaf bagi seorangpun mengenainya bahwa hal baru ini tidak tercela, sungguh Umar bin Khaththab radhiallahu anhu telah berkata tentang sholat tarawih, Sebaik-baik bidah adalah ini .[12]

Ini membuktikan bahwa imam asy-Syafii memahami bahwa tidak semua bidah selalu jelek dan sesat. Demikian juga Umar bin Khaththab memahami tidak semua bidah itu sesat. Seandainya imam Syafii tidak memahami lafadz Kullu dalam hadits Kullu bidatin , maka beliau tidak akan membagi bidah menjadi dua. Demikian juga sendainya Umar bin Khaththab radhialllahu anhu tidak memahami lafadz Kullu, niscaya beliau akan mengatakan Nimatis Sunnatu Hadzihi karena tidak ada bidah dalam agama dan tidak ada bidah yang diterima oleh syareat. Tapi Alhamdulillah, faktanya imam asy-Syafii dan sayyidina Umar bin Khaththab memahami dengan baik lafadz kullu bidatin yang diikuti pemahamannya oleh mayoritas ulama Ahlus sunnah hingga saat ini.

Kesimpulan point ini adalah : 1. Lafadz kullu bisa diartikan sebagian dalam hadits Kullu bidatin . 2. Kalimat bidah bisa dikumpulkan atau disatukan dengan kalimat Hasanah, karena faktanya memang ada bidah hasanah. 3. Sejak masa salaf baik dari kalangan sahabat maupun tabiin telah memahami adanya pembagian bidah menjadi bidah yang ditolak dan bidah yang diterima. 4. Penyimpulan ustadz Zainal Abidin yang mengatakan, Lafadz kullu secara bahasa bisa diartikan sebagian, sedangkan lafadz kullu pada hadits Kullu bidatin tidak bisa diartikan sebagian , adalah penyimpulan bidah sesat yang tidak seorang ulama pun dari kalangan salaf maupun kholaf yang mengatakannya demikian.

Kemudian ustadz Zainal menolak adanya bidah hasanah dengan berhujjah ucapan Ibnu Umar sebagai berikut :

Setiap bidah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan . [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].

Tanggapan saya :

Yang dimaksud oleh beliau adalah bidah dalam syareat yaitu bidah yang bertentangan dengan asal syareat. Jika anda menggeneralisir ucapan beliau ini sebagai pengakuan beliau bahwa semua bidah itu sesat, maka jelas bertentangan dengan fakta dan realita pengakuan beliau adanya bidah baik yang diterima : : :

Telah menceritakan kepada kami Wakii, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haajib bin Umar, dari Al-Hakam bin Al-Araj, ia berkata : Aku pernah bertanya kepafa Ibnu Umar tentang shalat Dluhaa, ia menjawab : Bidah Ibnu Umar menilai bidah dalam sholat dhuha itu adalah bahwasanya pada masa khilafah Utsman bin Affan, banyak dari orang-orang yang membiasakan diri datang ke masjid-masjid saat waktu karohah (kemakruhan melakukan sholat) itu keluar, lalu mereka melakukan sholat dhuha. Tradisi ini menjadi kental dan dikenal oleh orang banyak saat itu, sehingga tidaklah dikenal sholat dhuha kecuali adalah sholat yang dilakukan di dalam masjid setelah keluarnya waktu isyraq. Padahal Rasulullah shallahu alaihi wa sallam menganjurkannya setelah terangkatnya matahari seukuran tombak dalam pandangan mata.

Perhatikan komentar imam Ibnu Juraij berikut ini :

Orang pertama yang melakukan sholat (dhuha seperti) itu adalah penduduk dusun Arab, mereka masuk masjid jika telah selesai dari pasar mereka [13]

Imam ath-Thawus juga mengatakan:

Sesungguhnya orang pertama yang melakukan sholat (dhuha seperti) itu adalah kaum baduwi Arab, jika mereka telah selesai menjual satu barang, maka mereka mendatangi masjid bertakbir dan sujud . [14]

Dalam Fathul Bari dikatakan :

: . . :

Atau yang dinafikan (oleh Ibnu Umar) adalah sifat dengan cara tertentunya sebagaimana akan datang penjelasannya dalam hadits Aisyah. Imam Iyadh dan selainnya mengatakan, Sesungguhnya yang diingkari oleh Ibnu Umar adalah hanyalah melazimkannya, menampakkannya di masjid-masjid dan melakukan sholat dhuha dengan berjamaah , argumentasi ini dikuatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Maud bahwasanya beliau melihat satu kaum yang melakukan sholat itu, lalu beliau mengingkarinya dan berkata Jika tetap mau melakukannya, hendaknya melakukannya di rumah-rumah kalian .

Maka kesimpulannya adalah ucapan Ibnu Umar semua bidah itu sesat, adalah bidah yang melanggar asal dalam syareat, bukan bidah yang berlandaskan asal dalam syareat. Bersambung pada point-point berikutnya

Ibnu Abdillah Al-Katibiy Kota Santri, 01-01-2013

[1] al-Itishom, m.s. 145-146 [2] Jami al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab : 2/128 [3] Fath al-Bari, Ibnu Rajab al-Hanbali : 13/254 [4] Majmu al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah : 20/163 [5] Tafisr al-Qurthubi : 2/84 [6] Hasyiah al-Bujairami ala al-Khathib : 2/226 [7] Umdatul Qari fi Syarh sahih al-Bukhari : 11/126 [8] An-Nihayah fi Ghraibil Hadits : 1/106-107

[9] Syarh Shahih Muslim, 6/154 [10] Tafisr al-Qurthubi : 2/84-85 [11] An-Nihayah fi Ghraibil Hadits : 1/106-107 [12] Al-Hawi lil Fatawaa : 1/176 [13] Mushannaf Abdirrazzaq : 3/79 [14] Mushannaf Abdirrazzaq : 3/79-80

Anda mungkin juga menyukai