Anda di halaman 1dari 3

lstilah yang terkenal dalam kancah perdebatan umat Islam.

Sering digunakan orang-orang


Wahabi untuk menjustifikasi praktik-praktik kaum Nahdliyin sebagai “bid'ah sesat”. Sementara
kaum Nahdliyin sering berargumentasi bahwa bid'ah itu ada yang disebut bid'ah hasanah dan
telah dicontohkan para sahabat Nabi Muhammad. Sementara Nabi Muhamad bersabda, Ma Ana
'Alaihi wa Ashabi.Mereka yang terpengaruh ide-ide Wahabi menggunakan konsep bid'ah untuk
memicu perpecahan umat Islam dari dalam. Mereka dengan serampangan mengklaim praktik-
praktik masyarakat lslam dan muslim beriman (seperti kalangan NU) sejenis tawasul, tahlilan,
ziarah kubur, shalawatan, diba’an, dan lain-lain sebagai bid'ah sesat. Kaum Wahabi memang
hanya punya pengetahuan sempit, hanya memiliki satu konsep soal bid'ah, yaitu bid'ah dhalalah
(semua bid'ah tercela).Sementara dalam tradisi NU, kata bid'ah selain ada yang dhalalah juga ada
yang hasanah (bid'ah yang baik). Kata bid'ah berasal dari asal kata bada`a yang berarti
”menciptakan sesuatu yang belum pernah ada". Dari kata bada'a ini lahirlah kata bid'ah
(jamaknya adalah bida’) yang berarti “hal-hal baru yang diadakan dan sebelumnya tidak ada”.

Dalam pengertian bid'ah yang dikaitkan dengan tradisi dan keberagamaan, bid'ah berarti
“mengerjakan suatu hal baru yang belum pernah ada sebelumnya di zaman RasuIullah”. Ada dua
dasar yang selalu dikaitkan dengan konsep bid'ah, yaitu:Pertama, hadits “ala wa iyyakum wa
muhdatsatil umur, fa inna syarrol umuri muhdatsatuha, wa inna kulla muhdatsatin bid’ah, wa
inna kulla bid’atin dlalalah”. "lngatlah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru, karena
perkara yang paling jelek adalah membuat hal-hal baru dalam masalah agama. Dan, ’setiap'
perbuatan baru itu adalah bid'ah, dan sesungguhnya ‘setiap bid’ah’ itu adalah sesat." (Sunan Ibnu
Majah, hadits No.45).Kedua, hadits yang berbunyi, “man sanna sunnatan hasanatan fa`umila
biha ba’dahu kana lahu ajruhu wamitslu ujurihim min ghairi an yanqushsha min ujurihim
syai’an...”. "Barang siapa merintis jalan kebaikan lalu diikuti orang lain, maka ia akan
memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengikuti jalan yang dirintisnya dengan pahala
yang penuh tanpa dikurangi sedikit pun.” (Sunan Ibnu Majah, I: 74, dan diriwayatkan banyak
perawi hadits; Sunan at-Tirmidzi, IV: 149; Sunan ad-Darimi, I: 107; Musnad Ahmad bin Hanbal,
II: 505; Shahih Muslim, I: 70 dan III: 52); dan Sunan an-Nasa’i, V: 65).Dua hadits di atas
tidaklah bertentangan dan tidak menegasikan satu sama Iain, bahkan saling melengkapi. Hadits
man sanna sunnatan hasanatan menunjukkan anjuran kreativitas kebajikan dalam soal agama,
tetapi harus memperoleh dukungan dari nash atau harus ada dasar penyokongnya dari AI-Qur’an,
hadits, dan praktik sahabat. Meski sebab wurud hadits ini ada dalam kasus anjuran bersedekah,
tetapi ia bisa bermakna secara umum, al-Ibrah bi umumil-lafdz la bi khusus as-sabab.Sedangkan
hadits kullu bid’ah dhalalah tidak bermakna mutlak bahwa “setiap bid’ah itu sesat”. Kata kullun
itu ada dua makna: “seluruhnya” dan “sebagian”. Yang dimaksud dengan kullu bid’ah dhalalah
adalah “sebagian bid’ah itu terceIa”. Dari sinilah para imam mujtahid, seperti Imam asy-Syafi’i
membagi bid’ah itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang madzmumah (tercela).Jadi, hadits wa
syarr al-umur muhdatsatuha wa kullu bid'atin dhalalah, yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak
sejalan dengan AI-Qur'an dan Sunnah Rasul, atau perbuatan sahabat. Oleh karena itu, praktik
yang dilakukan oleh misalnya sahabat Umar tentang shalat tarawih di bulan Ramadhan, justru
dikatakan ni’matul bid’ah hadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah soal ini).

Kenyataan ini menunjukkan adanya bid’ah yang hasanah dan sayyiah, sudah sejak zaman
sahabat. Bahkan, shalat tarawih di masa Umar itu kemudian disepakati oleh para sahabat. Ini
kemudian menjadi dalil yang lain bahwa shalat tarawih itu sudah menjadi ijma' para
sahabat.Kalau Imam asy-Syafi’i membagi bid’ah itu ada dua (hasanah dan madzmumah), justru
Imam an-Nawawi pengarang al-Minhaj bi Syarah Shahih Muslim itu membagi bid’ah ke dalam
lima bentuk: wajib, mandub (dianjurkan), mubah (boleh), makruh (dibenci), dan haram
(dilarang).Beberapa contoh untuk memperjelas pembagian jenis bid’ah ini, di antaranya: yang
wajib adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran; yang
mandub adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren;
yang mubah adalah membuat bermacam-macam jenis makanan; yang makruh dan haram sudah
jelas diketahui.Untuk mempertegas adanya bid’ah hasanah itu, telah dicontohkan sejak zaman
Nabi dan para sahabat, di antaranya: pertama, Ibnu Abbas ketika bermakmum dengan Nabi
Muhammad, dia tidak mau ketika diminta posisi Iurus sejajar dengan Nabi sampai beberapa kali
diminta Nabi. Akan tetapi, Ia justru mundur, sehingga Nabi sebagai imam ada di depan dan
makmum di belakang. Praktik ini dicontoh dalam praktik makmum dan imam sekarang ini
(Musnad Ahmad, hadits No. 3061, dan Mustadrak al-hakim, hadits N0. 6279, al-Haitami dalam
Majmu’ az-Zawaid, IX: 462).Kedua, soal seorang makmum masbuk (yang terlambat beberapa
rakaat) dalam shalat jama'ah pada masa RasuIullah. Orang-orang yang lebih dahulu datang
awalnya memberikan isyarat kepada makmum masbuk tentang jumlah rakaat yang sudah
dijalani, makmum masbuk lebih dahulu mengerjakan rakaat yang tertinggal, lalu masuk ke dalam
shalat berjamaah bersama mereka.Pada suatu ketika Muadz bin Jabal datang terlambat untuk
berjama'ah. Orang-orang memberikan isyarat kepadanya perihal jumlah raka'at shalat. Akan
tetapi, Muadz Iangsung saja masuk ke dalam shalat berjama'ah tanpa menghiraukan isyarat
mereka. Setelah selesai shalat, hal ini dilaporkan kepada Nabi. Kemudian Nabi Muhammad
bersabda."Muadz telah memulai cara yang baik bagi shalat kaIian.” (HR. Abu Dawud dan
Ahmad dalam ath-Thabari, Mu'jam al-Kabir, XX: 271).banyak sekali. Di antaranya tambahan
bacaan-bacaan talbiyah yang dilakukan para sahabat, yaitu Umar bin Khattab, ‘Abdullah bin
Umar, dan Anas bin Malik. Praktik pengumpulan mushaf Al-Qur'an dalam satu mushaf. Praktik
shalat tarawih berjama’ah dalam kasus Umar bin Khathab dengan Imam sahabat Ubai bin Ka'ab
yang kemudian menjadi ijma' sahabat. Penanggalan kalender hijriyah. Adzan shalat Jum'at dua
kali. Pemberian titik harakat dalam penulisan Al-Qur’an di mushaf Utsmani; dan masih banyak
lagi.Dalam praktiknya saat ini zaman yang semakin cepat berubah. Persoalan-persoalan semakin
kompleks dan tantangan semakin berat. Di tengah ini semua umat Islam dituntut untuk banyak
melakukan kreativitas membangun umat yang baik dengan tetap berpijak pada Al-Qur’an,
sunnah, ijma', dan qiyas.Bid’ah hasanah kemudian menjadi hal yang niscaya dan penting. Ini
dibuktikan dengan adanya contoh dalam sejarah Islam, yaitu penciptaan praktik jarah dan ta'dil
ketika muncul hadits-hadits palsu. Dari ilmu ini sang perawi hadits perlu dinilai dengan tsiqah,
shadûq, dha‘îf, hâfizh , dan sebagainya; penciptaan klasifikasi shahîh, hasan, dha’îf, marfû’,
munkar, mahfuzh, mauqûf, masyhûr, gharîb , dan sebagainya..Tidak hanya itu, praktik kodifikasi
hadits-hadits Nabi dalam sebuah kitab hadits dengan penyeleksian tertentu juga bid'ah hasanah.
Padahal, kitab hadits digunakan untuk rujukan seluruh umat Islam. Kalau tidak boleh ada bid'ah
hasanah, harusnya orang mencarinya sendiri hadits-hadits ke berbagai negeri, tanpa perlu
memakai kodifikasi kitab-kitab hadits itu.

Anda mungkin juga menyukai