Anda di halaman 1dari 14

HADIS DI MASA TABIIN DAN KODIFIKASI HADIS

Makalah Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Hadis

Oleh: Abdul Haris NIM. 12710048 Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Kasuwi Saiban

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Prodi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah Malang 2013

BAB I PENDAHULUAN Umat Islam sepakat bahwa hadis merupakan sumber ajaran agama kedua setelah alQura>n. Kesepakatan ini berdasarkan nas}, baik dalam al-Qura>n maupun dalam al-H{adis}. Pada zaman Rasulullah SAW, hadis belum tercatat secara resmi. Hadis diterima oleh para sahabat Nabi SAW, dihafalkan dalam dada dan kelak diteruskan kepada para tabiin yang datang sesudah mereka, baik secara lisan maupun pendiktean. Meski demikian, sebenarnya ada beberapa sahabat yang telah berupaya mencatat sebagian hadis Nabi SAW untuk mendukung hafalan mereka. Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan warisan hadis yang tertulis dan terhimpun secara resmi dan dipublikasikan untuk umum. Pada masa sahabat Nabi SAW, nasib hadis tidak berbeda jauh dengan zaman Rasulullah SAW. Hadis menyebar melalui lisan saja dan dibatasi periwayatannya oleh

khulafa> ar-Ra>syidu>n.

Para sahabat enggan menulis ataupun menghimpun hadis dalam

catatan. Hal ini dikarenakan kekhawatiran mereka, bahwa jika umat sibuk menulis hadis, mereka akan lupa pada al-Qura>n. Ini sangat relevan dengan kenyataan pada masa itu, dimana al-Qura>n merupakan sesuatu yang baru. Manusia yang baru masuk Islam secara berbondong-bondong tentu harus mengenal Kita>bullah ini dengan baik; dengan cara menghafal, mengkaji, dan membacanya dengan teliti, sehingga menjadi dasar yang melandasi keyakinan dan pemahaman mereka terhadap agama yang baru mereka peluk. Menjelang akhir periode pemerintahan khulafa# ar-ra>syidu>n, benih-benih perpecahan umat Islam mulai tampak dan mencapai klimaks pada peristiwa tah{kim dalam perang S{iffin antara pihak Ali r.a dengan kubu Muawiyah. Pasca peristiwa ini, muncullah firqah-firqah yang saling bertentangan dan saling serang. Keadaan ini ternyata berdampak negatif pada perkembangan hadis. Banyak penghafal hadis yang meninggal dunia. Hadis-hadis palsu pun bermunculan. Orang-orang yang datang sesudah sahabat (Tabiin) mengalami suatu kondisi dimana umat Islam berada dalam kekacauan. Hal ini mendorong mereka untuk mengambil langkah strategis untuk menyelamatkan hadis yang menjadi korban tragedi perselisihan antar sesama kaum muslim. Sehingga pada masa inilah, hadis mulai ditulis dan dibukukan secara resmi. Periode tabiin inilah yang merupakan tonggak awal tadwin as-sunnah an-

nabawiyyah (kodifikasi hadis Nabi SAW).


1

BAB II PEMBAHASAN A. Hadis di masa Tabiin A. 1. Seputar Tabiin 1. Definisi Tabiin Secara etimologis, kata ta>biin merupakan bentuk jama mudzakkar sa>lim dari kata ta>bi yang berarti murid, penganut, pengikut, pelayan, bawahan; atau dari kata ta>biiy yang berarti: orang yang datang setelah sahabat Nabi SAW.1 Sedangkan secara terminologis, mayoritas muh{additsin (ulama ahli hadis) berpendapat bahwa ta>biiy adalah orang yang bertemu dengan salah satu (atau lebih) sahabat Nabi SAW, meskipun tidak menyertai sahabat tersebut. Dan dianggap juga sebagai ta>biiy, orang yang melihat sahabat Nabi SAW. Hal ini berdasar pada salah satu hadis Nabi SAW:

,
Beruntunglah orang yang melihatku dan beriman padaku, serta beruntunglah orang yang melihat orang yang telah melihatku.
Tetapi Ibnu H}ibba>n mensyaratkan seorang ta>biiy harus bertemu sahabat Nabi SAW pada masa tamyiz, dimana ia sudah mampu menghafal (hadis) dari sahabat yang ia temui. Sebagian muh}additsin mengatakan bahwa untuk bisa disebut sebagai seorang ta>biiy, tidak cukup hanya bertemu dengan sahabat saja, tetapi harus mengikuti dan belajar dari sahabat Nabi SAW yang ditemuinya itu. Menurut mereka, bertemunya para tabiin dengan sahabat Nabi SAW tentu tidak bisa menyamai kemulyaan dan keistimewaan bertemunya (juga melihatnya dan berkumpulnya) sahabat dengan Nabi Muhammad SAW. Karena bertemu, berkumpul dan melihat Nabi SAW mempunyai dampak yang besar dalam memperbaiki hati dan membersihkan jiwa, yang mana hal itu tidak bisa diperoleh dengan bertemu sahabat tanpa mengikuti dan mengambil ilmu darinya.2 2. Jumlah Tabiin

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 128 2 Muhammad Ajja>j al-Khatib, Us}u>l al-Hadis{, (Beirut: Dar el-fikr, 2006), 270-271

Menurut Ajja>j al-Khatib, jumlah tabiin sangatlah banyak, mengingat pengertian tabiin yang mencakup semua orang yang melihat sahabat Nabi SAW. Rasulullah SAW Sedangkan wafat dengan meninggalkan lebih dari seratus ribu sahabat yang

kemudian menyebar ke berbagai wilayah kekuasaan Islam. Yang tentu saja ada ribuan orang yang melihat para sahabat tersebut di daerah masing-masing. 3 3. T}abaqa>t (tingkatan-tingkatan) Tabiin. Al-H{a>kim An-Naisa>bu>riy membagi tingkatan tabiin menjadi lima belas tingkat. Sedangkan yang ditetapkan sebagai tabiin terakhir adalah orang yang bertemu dengan Anas bin Ma>lik r.a (di Basrah), orang yang bertemu Abdullah bin Ubayy bin Kaab r.a (di Kufah), orang yang bertemu Saib bin Yazid r.a (di Madinah), orang yang bertemu Abdullah bin al-H}arits bin Juz (di Mesir), orang yang bertemu Abu> Uma>mah al-Ba>hiliy (di Syam). Para imam sepakat bahwa akhir periode tabiin adalah tahun 150 hijriah. Sedangkan akhir periode atba> at-ta>biin adalah tahun 220 hijriah.4 4. Mukhdloromu>n Dari kalangan tabiin, ada sekelompok tabiin yang disebut dengan golongan

mukhdloromu>n, yaitu orang-orang yang mengalami masa jahiliyah dan masa Nabi SAW.
Mereka beriman kepada Nabi SAW, tapi belum pernah bertemu dengan beliau; seperti Abu Raja> al-Atha>ridiy dan Suwayd bin Ghaflah. Menurut al-Hafiz{ Burha>nuddin alAjamiy, jumlah mukhdloromu>n ini ada empat puluh sekian orang.5 5. Tabiin yang paling utama Para ulama ahli hadis berselisih pendapat mengenai siapakah tabiin yang paling utama. Penduduk Madinah berkata: tabiin yang paling utama adalah Said bin Musayyab (15-94 H). Sedangkan menurut penduduk Kufah, tabiin yang paling utama adalah Alqamah bin Qays an-Nakhoiy (28-62 H) dan al-Aswad bin Yazid an-Nakhoiy (wafat 75 H). sebagian dari mereka mengatakan bahwa tabiin yang paling utama adalah Uways al-Qaraniy sang Zahid (wafat 37 H). Menurut penduduk Basrah, tabiin yang paling utama adalah Imam Hasan al-Bas}ri (21-110 H). Menurut penduduk Mekkah, tabiin yang paling utama adalah Atha> bin Abi Rabba>h} (27-114 H). Selanjutnya di bawah mereka

3 4

Ibid., 271 Ibid. 5 Ibid.

ada banyak nama yang dapat dikategorikan sebagai pembesar tabiin, seperti; Urwah bin Zubair (22-94 H), A<mir as-Syabiy (19-103 H), Muhammad bin Sirin (33-110 H).6 6. Tokoh tabiin wanita Di antara wanita-wanita yang menjadi tokoh intelektual di kalangan tabiin adalah H}afs{ah binti Sirin (wafat tahun 100 H), Umrah binti Abdurrahman (21-98 H), Ummu Darda> ad-Dimasyqiyah (wafat tahun 81 H).7 7. Ulama-ulama dari kalangan Tabiin Di kalangan tabiin, ada beberapa orang yang terkenal sebagai ulama ahli fiqh di Madinah, yaitu: Said bin Musayyab (15-94 H), al-Qa>sim bin Muh}ammad bin Abu Bakar as-S}iddiq (37-107 H), Urwah bin Zubair (wafat tahun 94 H), Kha>rijah bin Zaid bin Tsa>bit (29-99 H), Sulaiman bin Yasa>r (34-107 H), Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Masud (wafat tahun 98 H), Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf (wafat tahun 94 H). Dikatakan juga bahwa termasuk di antara ulama itu adalah: Sa>lim bin Abdullah bin Umar (wafat tahun 106 H) dan Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-H{a>rits bin Hisya>m alMakhzu>mi (wafat tahun 94 H).8 A.2. Periwayatan hadis di masa Tabiin Periode tabiin ini merupakan suatu masa dimana kondisi umat Islam sudah jauh berbeda dengan masa Rasulullah SAW dan al-Khulafa> ar-Ra>syidu>n. Secara umum, periode ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Terpecah belahnya umat Islam ke dalam berbagai kelompok politik. Berpencarnya para Ulama ke kota-kota di seantero wilayah kekuasaan Islam. Tersebarnya riwayat hadis. Timbulnya pemalsuan hadis Nabi SAW. Banyaknya orang-orang Mawa>li (Persia, Romawi, Mesir) yang masuk Islam dan kemudian belajar Islam kepada para Ulama. Mulai ada pertentangan di antara ahlur rayi dan ahlul h}adis{. 9

6 7

Ibid., 272 Ibid. 8 Ibid. 9 Muh}ammad Al-Khudlori, Ta>rikh at-Tasyri al-Isla>miy, (Beirut: Dar el-Fikr, tt), 73-78

Periwayatan hadis pada masa ini meniru periwayatan hadis pada masa Nabi SAW dan sahabat, yaitu dengan cara musya>fahah. Walaupun tidak langsung menerima dari Nabi SAW, tabiin mengambil dan menerima langsung dari gurunya. Pada masa ini, mereka menerima riwayat hadis dari: (a). periwayat generasi sebelumnya (sahabat) tapi masih sezaman, (b). periwayat satu generasi, (c). periwayat generasi berikutnya yang sempat sezaman dengan generasi mereka. Misalkan az-Zuhriy, seorang ta>biiy, hadis yang diriwayatkan ada yang berasal dari sahabat Nabi SAW seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah; ada yang dari tabiin seperti Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Atha> bin Abi Rabba>h; ada yang dari atba> at-ta>biin seperti Malik bin Anas.10 Cara musyafahah ini menunjukkan bahwa tabiin masih mengandalkan daya ingatan dan hafalan dalam periwayatan hadis. Bahkan demi musya>fahah ini mereka rela melakukan

rihlah (perjalanan panjang) menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan hadis, dengan
berpegang teguh pada sikap berhati-hati dalam menerima hadis. Apalagi di masa itu sedang terjadi konflik politik di dalam intern kaum muslimin, yang dipicu oleh pertikaian antara pendukung Ali dan pendukung Muawiyah yang membawa dampak buruk bagi periwayatan hadis. Sikap taassub (fanatisme) golongan telah memunculkan banyaknya hadis-hadis Adapun periwayat hadis yang masyhur pada masa ini adalah: Said bin Musayyab, Ibnu Syihab az-Zuhri, Atha> bin Abi Rabba>h, al-Amasy, al-H}asan al-Bas{ri, Muhammad bin Sirin, dan Umar bin Abdul Aziz.12 B. Kodifikasi Hadis (Tadwi<nus sunnah) Kata tadwin merupakan bentuk mas}dar dari kata kerja dawwana , yang berarti menulis atau mencatat (kataba, sajjala).13 Secara literal, tadwin mengandung arti penghimpunan, kumpulan s}uh}uf. Kata tadwin juga diartikan dengan mengikat sesuatu yang terpisah-pisah atau tercerai berai dan menghimpunnya dalam sebuah diwan atau kitab palsu. Karena itulah, tabiin semakin selektif dan hati-hati dalam menerima hadis.11

10 11

Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2009), 40 Ibid., 41 12 Ibid., 43 13 Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, 435. Dalam kamus al-Mawrid, kata Dawwana diartikan dengan; to record, take record of, put on record, write (down), set down (in writing), put down (in writing), commit to paper or writing, note (down), make a note of, mark down, register, take notes of, list, inscribe. Lihat dalam: Dr. Rohi Baalbaki, Al-Mawrid; A Modern Arabic-English Dictionary, (Beirut: Dar El-ilm Lilmalayin, 1995), 557

yang memuat lembaran-lembaran di dalamnya.14 Sedangkan yang dimaksud tadwin secara terminologis, ada beberapa pendapat dari sejumlah sarjana mengenai hal tersebut: 1. Muhammad Darwisy: tadwin hadis adalah penulisan (kita>bah) hadis-hadis yang berasal dari Nabi SAW dan penghimpunannya (jam) dalam satu atau beberapa s}ah}ifah, sampai akhirnya menjadi sebuah kitab yang tertib dan teratur, serta menjadi rujukan umat Islam setiap kali menjadikannya sebagai dalil. 2. Manna> al-Qat}ta>n: tadwin hadis ialah usaha pengumpulan hadis yang sudah dituliskan dalam bentuk s}uh{uf atau yang masih terpelihara dalam hafalan, dan kemudian menyusunnya hingga menjadi sebuah kitab. 3. Al-Zahra>niy: tadwin hadis mencakup pengertian tas{nif (penyusunan hadis dalam sebuah kitab secara tertib dan sistematis) dan talif (penyusunan hadis dalam sebuah kitab). 4. 5. Ahmad Amin: tadwin hadis ialah mengikat (taqyi>d) akhba>r dan a>tsa>r dalam bentuk tulisan. Juynboll: tadwin hadis adalah usaha penghimpunan hadis dalam sebuah tulisan yang bertujuan untuk mendapatkan aturan-aturan hukum darinya, dan bukan untuk tujuan hafalan semata.15 Dari kelima definisi di atas, bisa diambil pengertian bahwa tadwin hadis merupakan upaya penghimpunan hadis dalam bentuk tulisan, sahifah ataupun kitab. Sebagai sumber hukum kedua dalam Islam, hadis telah melewati perjalanan panjang dalam sejarah kompilasi dan kodifikasinya. Dimulai dari penyampaian hadis dari Nabi SAW yang diterima para sahabat, lalu direkam dalam hafalan atau catatan pribadi. Kemudian para sahabat menyampaikan hadis kepada generasi tabiin yang sebagiannya juga direkam secara tertulis, sampai akhirnya ditempuh tadwin hadis secara resmi dan publik pada penghujung abad I hijriah atau awal abad II hijriah. Memasuki pertengahan abad kedua hijriah, sejarah tadwin hadis mengalami kemajuan yang signifikan ketika mulai dilakukan klasifikasi dan sistematisasi hadis berdasarkan subjek-subjek atau bab-bab tertentu, dan usaha itu mencapai puncaknya pada abad ketiga hijriah, yaitu ketika berhasil disusun enam kompilasi hadis utama (al-Kutub al-Sittah).16
14 15

Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 36 Ibid., 36-37 16 Ibid., 91

Penulisan resmi hadis baru dimulai pada masa Bani Umayyah, yaitu pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau

tadwin dimulai setelah adanya perintah dari khalifah Umar ibn Abdul Aziz kepada para
pakar hadis untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadis yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah dari khalifah Umar ibn Abdul Aziz, tidak dikategorikan sebagai tadwin.17 Untuk melihat sejarah perkembangan hadis dari waktu ke waktu, berikut ini akan dipaparkan perjalanan hadis secara singkat. Periode pertama adalah periode Nabi SAW yang disebut masa wahyu dan pembentukan. Pada periode ini, Nabi SAW melarang penulisan hadis. Abu Said al-Khudriy meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jangan menulis (hadis) dariku.

Barangsiapa menulis selain al-Quran dariku, maka hapuslah.

Diriwayatkan dari Abu

Hurairah bahwa ia berkata: Rasulullah SAW keluar dan kami menulis hadis-hadis, maka beliau bersabda: apa yang kalian tulis ini?, kami menjawab: hadis-hadis yang kami dengarkan darimu. Beliau bertanya: tulisan selain Kitabullah? Apa kalian tahu? Tidaklah

tersesat umat-umat terdahulu kecuali karena mereka menulis kitab-kitab lain bersamaan dengan kitab Allah.18
Akan tetapi, ada hadis-hadis lain yang menunjukkan kebolehan menulis hadis. Abdulloh bin Amr bin Ash meriwayatkan sebagai berikut: Aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah SAW. Aku ingin menghafalkannya, lalu orang qurays mencegahku. Mereka berkata: Rasulullah SAW adalah manusia yang berbicara dalam kondisi marah dan rela. Maka aku berhenti menulis. Kemudian aku mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW. Maka beliau memberi isyarat (dengan jari tangannya yang menunjuk) pada bibir beliau dan bersabda: tulislah! Demi dzat yang jiwaku dalam genggamannya, tiada keluar

darinya (mulutku) kecuali yang haqq (kebenaran).19

Abu Hurairah berkata: tiada Diriwayatkan dari Anas Dua riwayat pertama

seorangpun sahabat Nabi SAW yang lebih banyak hadisnya daripada aku, kecuali Abdulloh bin Amr, sesungguhnya ia menulis hadis sedangkan aku tidak. Riwayat-riwayat hadis di atas terlihat bertentangan. bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda: ikatlah ilmu dengan tulisan. menunjukkan larangan, sedangkan dua riwayat selanjutnya menunjukkan kebolehan. Menurut Ajjaj al-Khotib, riwayat hadis tersebut baik yang menunjukkan larangan maupun
17

Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet.9, 2007), 88-89 18 Ajjaj al-Khatib, Us}u>l, 96 19 Ibid.

kebolehan menulis hadis- adalah sahih (benar) semua. Nabi SAW melarang penulisan hadis dalam satu sah{ifah bersama al-Quran karena takut akan tercampur. Larangan yang muncul pada masa awal Islam ini bertujuan agar umat Islam fokus kepada al-Quran, tidak sibuk dengan hadis. Nabi SAW menghendaki agar umat Islam memelihara al-Quran di dada mereka (hafalan), juga menulisnya di pelepah, lembaran-lembaran dan tulang belulang untuk mengokohkan hafalan mereka. Sedangkan terkait dengan hadis, beliau menghendaki umat Islam untuk meninggalkan (tidak menulis) hadis untuk praktek amaliah. melihat perbuatan Rasulullah SAW, maka mereka menirukannya. Rasulullah SAW, maka mereka mengikutinya. Para sahabat Mereka mendengar

Dari segi ini, maka Rasulullah SAW

memperbolehkan menulis bagi orang yang tidak dikuatirkan mencampur al-Quran dan asSunnah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash. Nabi SAW juga mengizinkan menulis bagi sahabat yang susah menghafal. Ketika umat Islam telah menjaga (menghafal) al-Quran dan dapat membedakannya dari hadis, maka larangan menulis hadis terhapus.20 Periode kedua adalah masa al-khulafa> al-ra>syidu>n. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan riwayat. Para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Hal ini diantaranya karena mereka khawatir akan terjadi kekeliruan (dan pemalsuan) dalam riwayat hadis, karena dalam internal umat Islam sendiri telah muncul berbagai masalah politik. Periode ketiga adalah penyebaran hadis ke berbagai wilayah yang berlangsung pada masa s{igha>r s{ah{a>bat (sahabat kecil) dan kiba>r ta>biin (tabiin besar). Pada masa itu, wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Syria), Iraq, Mesir, Persia, Samarqand dan Andalus (Spanyol). Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi. Penulisan dimulai setelah ada instruksi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) sampai akhir abad ke-8 masehi. Umar memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) untuk menulis hadis. Sebagaimana riwayat:

: : - - .
Yah}ya bin Hassa>n menceritakan kepadaku: Abdul Aziz bin Muslim menceritakan padaku: dari Abdullah bin Dina>r, ia berkata: Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada penduduk Madinah: hendaklah kalian memperhatikan hadis{ Rasulullah
20

Ibid., 99

SAW, tulislah!, sesungguhnya aku takut hilangnya ilmu dan meninggalnya ahli ilmu. 21
Latar belakang munculnya instruksi kodifikasi hadis ini adalah karena kekhawatiran Umar bin Abdul Aziz akan tercampurnya hadis-hadis sahih dengan hadis-hadis palsu yang banyak beredar pada masa itu. Selain itu, beliau juga mengkhawatirkan lenyapnya hadishadis dengan meninggalnya para ulama. Sesuai perintah dari Umar bin Abdul Aziz, maka Abu Bakr bin Hazm mencatat sejumlah hadis dan mengirimkannya kepada Umar. Disamping itu, ia juga mengirim hadishadis yang ada pada Umrah dan al-Qa>sim. Akan tetapi, ia belum sempat menuliskan semua hadis dan tarikh yang ada di Madinah. Adalah Imam Muhammad bin Muslim bin Syiha>b azZuhriy yang atas dorongan Umar bin Abdul Aziz- berhasil membukukan banyak hadis. Ia adalah seorang ahli hadis yang menonjol pada masa itu, sehingga khalifah Umar memerintahkan pembantu-pembantunya untuk pergi menemui dan mengambil hadis dari azZuhriy. Banyak ulama di zaman itu yang menyebutkan bahwa seandainya tidak ada azZuhriy, maka pasti banyak sekali hadis yang hilang. Sebagai sebuah rintisan, tentu saja pembukuan az-Zuhriy belum sesempurna pembukuan al-Bukha>ri, Muslim, Ahmad dan muh}additsin lain setelahnya. Pencatatan yang dilakukannya mencakup semua yang pernah didengarnya dari hadis-hadis yang diriwayatkan para sahabat Nabi SAW, tanpa dipilah-pilah babnya, dan masih mungkin tercampur dengan ucapan para sahabat Nabi SAW, bahkan fatwa tabiin. Namun ini merupakan hal yang wajar untuk sesuatu yang masih dalam tahap rintisan.22 Kodifikasi hadis -yang dimulai pada masa itu- terus berlangsung sampai masa dinasti Abbasiyah, sehingga melahirkan banyak ulama hadis, seperti Ibnu Juraij di Mekkah, Abu Ish}a>q dan Imam Ma>lik di Madinah, al-Rabi bin Sabih dan Abdurrahman al-Awziy di Syam. Di samping itu, banyak pula dihasilkan kitab-kitab hadis, baik berupa al-Ja>mi , al-

Mus}onnaf, maupun al-Musnad. Misalnya, al-Muwatt{a karya Imam Ma>lik, al-Musnad karya >
Imam as-Sya>fiie, al-Mus}onnaf karya al-Auzaiy. Kitab-kitab hadis periode ini belum terseleksi betul, sehingga isinya masih bercampur antara hadis Nabi SAW dan fatwa sahabat, fatwa tabiin, hadis marfu>, mauquf, maqt}u>, bahkan hadis maudlu> (palsu).23

21

Ah{mad bin Said bin S}okhr ad-Da>rimiy An-Naisa>bu>riy, Sunan ad-Darimiy, Bab Kara>hiyatul Futya, (Maktabah Syamilah: versi 3.47, Juz I), 431 22 Must{afa as-Siba>iy, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, terj. Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. II, 1993), 74-75 23 Atang dan Jaih, Metodologi, 91

Periode kelima, adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan khalifah al-Mamun sampai al-Muqtadir. memisahkan hadis marfu> dari hadis mauqu>f dan maqt}u>. Pada masa ini, para ulama Gerakan ini menghasilkan mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan klasifikasi hadis-hadis; dengan cara lahirnya kitab-kitab hadis yang sudah terseleksi; seperti kitab S}ah}i>h, kitab Sunan, kitab

Musnad. Kitab s{ah{i>h{ adalah kitab hadis yang hanya memuat hadis-hadis yang sahih. Kitab Sunan adalah kitab hadis yang mengoleksi hadis-hadis sahih dan hadis-hadis yang tidak
terlalu dloif (lemah). Adapun kitab musnad adalah kitab hadis yang mengumpulkan segala macam hadis tanpa memperhatikan kualitasnya, disamping juga tidak menerangkan derajat hadis. Pada periode ini, tersusun enam kitab hadis terkenal yang biasa disebut al-Kutub as-

Sittah; yaitu: Al-Ja>mi al-S}ah{i<h karya Imam al-Bukha>ri, Al-Ja>mi al-S}ah{i<h karya Imam
Muslim, Sunan Abi Da>wud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa>i, Sunan Ibnu Ma>jah. Periode keenam, adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan. Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh masehi, saat jatuhnya dinasti Abbasiyah ke tangan Hulagu Khan pada tahun 656 H/ 1258 M. Gerakan ulama hadis pada masa ini tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama periode sebelumnya. Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadis yang berbeda, seperti kitab Syarah{, kitab Mustakhraj, kitab

Athra>f, kitab Mustadrak, dan kitab Ja>mi. Kitab Syarh} adalah kitab hadis yang memperjelas
dan mengomentari hadis-hadis tertentu yang sudah tersusun dalam kitab hadis sebelumnya. Kitab Mustakhraj ialah kitab hadis yang metode pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadis tersebut. Kitab athra>f yaitu kitab hadis yang hanya memuat sebagian matan hadis, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab Mustadrak ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang memenuhi syarat-syarat Bukhari dan Muslim, atau syaratsyarat salah satu dari keduanya. Kitab Ja>mi ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.24 Ulama-ulama ahli hadis dan kitab-kitab hadis yang masyhur pada periode ini diantaranya: 1. Sulaiman bin Ahmad at-T}abari; karyanya adalah al-Mujam al-Kabir, al-Mujam

al-Awsat{, al-Mujam as-S{aghir.


24

Ibid., 92-93

10

2. Abu Hasan Ali bin Umar bin Ahmad ad-Da>ruqut{niy; karyanya adalah Sunan ad-

Da>ruqut}niy.
3. Abu Awa>nah Yaqu>b al-Isfirayni; kitabnya adalah Sah}ih} Awa>nah. 4. Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ish}a>q; karyanya adalah Sah{ih} Ibnu Khuzaimah. 5. Abu> Bakr Ah{mad bin H{usain Ali al-Baihaqi; karyanya adalah as-Sunan al-Kubra>. 6. Majuddin al-Harra>ni, menulis kitab Muntaq al-Akbar. 7. As-Syaukani; menulis kitab Nailul Awt{a>r (syarh} kitab Muntaq al-Akbar). 8. Al-Mundziri yang menulis kitab at-Taqri<b wat-Tahri<b. 9. As-S}iddiqi yang menulis kitab Dali<lul Fa>lih}i>n. 10. Muh}yiddin Abi Zakariya an-Nawawi yang menulis kitab Riya>d{ as-S{a>lih{in. Periode ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan takhrij. Periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadis. Ulama pada periode ini mulai menyusun dengan urut hadis-hadis sesuai kehendak penyusun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi-bagi hadis menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai topik pembicaraan.25

25

Ibid.

11

BAB III KESIMPULAN 1. Tabiin adalah orang-orang yang datang sesudah sahabat Nabi SAW; yang bertemu dengan sahabat Nabi SAW, baik kemudian menyertai sahabat atau tidak, baik dia mengambil hadis atau tidak. 2. Di antara kalangan tabiin yang terkemuka ialah: Said bin Musayyab (15-94 H), Alqamah bin Qays an-Nakhoiy (28-62 H), al-Aswad bin Yazid an-Nakhoiy (wafat 75 H), Uways al-Qaraniy (wafat 37 H), Imam Hasan al-Bas}ri (21-110 H), Atha> bin Abi Rabba>h} (27-114 H), Urwah bin Zubair (22-94 H), A<mir as-Syabiy (19-103 H), Muhammad bin Sirin (33-110 H). 3. Tadwin as-Sunnah (kodifikasi hadis) secara resmi dan publik dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, di penghujung abad pertama hijriah. Orang yang paling berjasa dalam tadwin as-sunnah di masa ini adalah Muhammad bin Muslim bin Syiha>b az-Zuhriy. 4. Kodifikasi hadis terus berkembang dari masa ke masa, dan mencapai masa keemasannya pada abad ketiga hijriah, ditandai dengan tersusunnya enam kitab hadis populer yang biasa disebut al-Kutub as-Sittah; yaitu: Al-Ja>mi al-S}ah{i<h karya Imam al-Bukha>ri, Al-Ja>mi al-S}ah{i<h karya Imam Muslim, Sunan Abi Da>wud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa>i, Sunan Ibnu Ma>jah.

12

DAFTAR PUSTAKA Ah{mad bin Said bin S}okhr ad-Da>rimiy An-Naisa>bu>riy, Sunan ad-Darimiy, Bab Kara>hiyatul Futya, Maktabah Syamilah: versi 3.47, Juz I Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia terlengkap, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997 Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, cet.9, 2007 Muh}ammad Al-Khudlori, Ta>rikh at-Tasyri al-Isla>miy, Beirut, Dar el-Fikr, tt Muhammad Ajja>j al-Khatib, Us}u>l al-Hadis{, Beirut, Dar el-fikr, 2006 Must{afa as-Siba>iy, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, terj. Nurcholis Madjid, Jakarta, Pustaka Firdaus, cet. II, 1993 Rohi Baalbaki, Al-Mawrid; A Modern Arabic-English Dictionary, Beirut, Dar El-ilm Lilmalayin, 1995 Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011 Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis, Yogyakarta, Penerbit TERAS, 2009

13

Anda mungkin juga menyukai