Pada masa setelah Rasulullah SAW wafat, komunitas muslim yang belum
lama lahir itu merasa sangat perlu menjaga kesinambungan wahyu dan detil
fenomena akan sejarah nabi tersebut. Tentunya tugas yang sangat penting ini,
terpenuhi atau tidaknya tergantung dari tarap kesungguhan dan ketulusan dalam
mengatur informasi tersebut. Sebuah fakta yang menunjukkan ke arah pemikiran
itu adalah proses transmisi periwayatan naskah Alquran hingga tahap
pembukuannya. Alquran telah diperiksa dan disatukan oleh nabi sendiri, dan
Hafsah (isteri beliau) kemudian menyerahkan kepada Abu Bakar, dan seterusnya.
ini bukti yang tidak terbantahkan bahwa naskah Alquran telah dikumpulkan
dengan hati-hatinya.
Dalam kesempatan kali ini, akan dicoba dan mengupas perihal munculnya
Pemalsuan hadits, dan para tokoh hadits generasi tabi’in, serta beberapa pengaruh
negatif dan pengaruh positif yang terjadi ketika munculnya pemalsuan hadits.
Juga akan dipaparkan beberapa sebab dan latar belakang terjadinya pemalsuan
hadits itu sendiri.
PEMBAHASAN
Para tabi’in memperoleh hadits dari para sahabat. Mereka berbaur dan
mengenal segala sesuatu dari para sahabat dan mereka juga membawa sebgaian
besah hadis Rasul dan para sahabat. Mereka benar-benar mengetahui kapan para
sahabat melarang penulisan hadis dan kapan mereka memperbolehkannya.
Mereka benar-benar mengambil teladan dari para sahabat yang merupakan
generasi pertama yang membwa Alquran dan hadis. Karena alasan-alasan yang
menyebabkan khulafaurrasyidin dan para sahabat lain melarang penulisan hadis
sama dengan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan para tabi’in dalam
pelarangannya, sehingga semua mengacu pada titik yang sama. Para tabi’in akan
melarang penulisan al-Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan akan menyepakati
kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan meyoritas
mereka menganjurkannya.
a. Mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadits yang dapat dijadikan hujjah.
Mulai saat itu, terdapat hadits-hadits yang shahih dan hadis-hadis yang
palsu, tetapi di lain pihak terdapat golongan yang menentang orang-orang yang
yang suka membuat hadis palsu, dengan membedakan mana hadis yang shahih
dari hadis yang palsu. Mereka melakukan penelitian mengenai segala hal yang
berkaiatan dengan hadits Nabi SAW, baik secara riwayat maupun dirayat dan
menetapkan aturan-aturan yang tetap agar hadis dapat selamat sampai ke tangan
penerusnya. Cara-cara ulama dalam menjaga hadis, yaitu dengan adanya
keharusan menyebutkan sanad, mengadakan perlawatan mencari hadis dan
berhati-hati dalam menerimanya, mengadakan penelitian terhadap orang-orang
yang diduga sering membuat hadis palsu dan memerangi mereka, menjelaskan
keadaan perawi dan menetapkan kaidah-kaidah untuk dapat mengetahui hadis-
hadis palsu.
1
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadits, (Surabaya: Alpha, 2005), 31.
2
Ibid., 32.
Dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh
terhadap perkembangan hadits berikutnya, yaitu;
Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara
resmi yang diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits
terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadits, ia meminta
pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar bin
Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut.
Pada masa tabi’in wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut
diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerah-
daerah, termasuk ulama hadis. Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan
hafalan masing-masing ulama itu sendiri, sehingga tidak merata hadis yang
dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis.
3
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), 88.
taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat itu lalu
disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara lisan maupun
tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan tulisan-
tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi. Sedangkan perbedaan-perbedaan
antara kodifikasi hadis secara resmi dari penulisan hadis adalah sebagai berikut:
Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui instruksi kepada Abu Bakar bin
Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah
agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Di antara
isntruksinya kepada para ulama Madinah:
ُُأنْ ُظرُوْا حَ ِدْيثَ رَسُ ْولِ ال صَلّي ال عََلْيهِ وَ سَلّمَ َفأَجْ ِمعُوْه
“Tulislah kepadaku apa yang tetap padamu dari pada hadits Rasulullah,
sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama.
4
Abdul Majid Khon, ulumul hadits, (Jakarta: Amzah, 2008), 53.
Beliau termasuk orang yang pertama kali menulis buku. Beliau menulis buku
tentang maghazi (kisah peperangan Nabi). Yahya bin Al-Mughirah bin ‘Abd
Al-Rahman meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayahnya (al-mughirah) tidak
mempunyai kitab tulisan tangan yang berisi hadis-hadits Nabi SAW selain
maghazi Nabi yang diambil nya dari Abban bin ‘Utsman. Ayahnya itu sering
membacakan kitab tersebut, serta menyuruh Yahya agar mempelajarinya.
Mansur meriwayatkan dari Ibrahim, kata Ibrahim: saya tidak pernah datang
kepada Ibrahim dan berkata, “saya datang kepadamu membawa berbagai
masalah, tetapi saya lupa hal itu; sedangkan Ibrahim menjawab, “memang,
jarang orang mau menulis kecuali tulisannya itu akhirnya dijadikan andalan”
Barangkali karena alasan inilah beliau enggan menulis hadis. Apabila tidak
demikian, tentu beliau sudah menulisnya, seperti yang pernah beliau lakukan
kepada Qatadah.
4. Abu Qilabah ‘Abdullah bin Zaid al-Basri wafat di kota Dariya, 104 H.
10. Hamran Bin Aban, eks hamba ‘Utsman bin Affan (wafat sesudah 75H)
11. Khalid bin Ma’dan bin Abu Kuraib al-Kala’i (wafat 103H)
44. Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Ibn al-Hanafiyyah ,(wafat 73H)
PENUTUP
Betapa besar nikmat yang telah dirasakan oleh umat manusia saat ini.
Dapat mengkaji dan meneliti akan sebuah hadits dengan mudahnya, melalui kitab-
kitab hadis yang telah terkodifikasi oleh para ulama dahulu. Andaikan dahulu,
para sahabat dan tabi’in tidak terbersit dalam pikiran mereka untuk
mengkodifikasi hadits-hadits Nabi, mungkin sekarang ini manusia sulit dalam
menentukan segala macam hukum dan permasalahan yang muncul.
Banyak sekali hikmah-hikmah yang dapat diambil dari pemalsuan-
pemalsuan hadits beserta kodifikasi haditsnya. Di antaranya dengan pengadaan
kodifikasi ini, maka jelaslah mana hadits yang shahih dan hadits yang dipalsukan.
Dan juga hadits Nabi Muhammad SAW. Terhimpun dengan rapi dan teratur dalam
satu wadah, yang dapat dikaji kapanpun juga.
REFERENSI:
Mahmud at-Thahhan. (t.t). Ilmu Hadits Studi Kompleksitas Hadits Nabi. Ter.
Zainul Muttaqin. 2004. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.