Anda di halaman 1dari 12

C.

Ruang Lingkup ASWAJA NU


Paham Ahlussunah Waljamaah meliputi tiga ruang lingkup yaitu : Lingkup akidah, lbadah,
dan akhlak. selanjutnya, untuk membedakan lingkup-lingkup Ahlussunnah Waljamaah tersebut
dengan lingkup-lingkup lain, perlu ditegaskan dengan menyebut masing masingnya menjadi :
1. Akidah Ahlussunnah waljamaah,
2. Ibadah (fiqh) Ahlussunnah Waljamaah, dan
3. Akhlak Ahlussunnah Waljamaah.

1.

Akidah Ahlussunnah Waljamaah

Adapun institusi akidah (kalam) yang sejalan dengan paham Ahlussunnah Waljamaah ialah
institusi akidah yang dicetuskan oleh al-Asyari dan al-Maturidi. Meski sama persis pemikiran kalam
mereka berdua, tetapi pemikirannya tetap commited terhadap petunjuk naql. Keduanya sama-sama
mempergunakan akal sebatas untuk memahami naql, tidak sampai mensejajarkannya apalagi
memujanya. Bahkan secara terang-terangan melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak
dan menentang logika Mutazilah yang terlalu memuja akal dan nyaris mengabaikan petunjuk naql.
Dengan demikian, maka dalam konteks historis, paham Ahlussunnah Waljamaah adalah
sebuah paham yang dalam lingkup akidah mengikuti pemikiran kalam al Asyari atau al-Maturidi.
Yang institusinya kemudian disebut al-Asyariyah atau al-Maturidiyah. Dan sebagai institusi besar,
keduanya tidak luput dari tokoh-tokoh pengikut yang selain menyebarkan, juga mengembangkan
pemikiran kalam yang dicetuskan oleh pendirinya.
Beberapa nama tokoh yang menyebar-kembang kanpemikiran kalam al-Asyari dan alMaturidi itu, tercatat nama-nama besar seperti: Al-Baqilani, al-Juwaini (imam al-Haramain), alIsfirayini, Abu Bakar al-Qaffal, al-Qusyairi, Fahr al-Din al-Razi, Izz al-DinAbd al Salam, termasuk al
Ghazali dan al-Bazdawi. Dan pemikiran kalam yang banyak masuk serta mewarnai umat Islam di
Indonesia ialah pemikiran kalam al-Asyari yang telah dikembangkan oleh al-Ghazali yang lebih
dikenal sebagai tokoh sufistik.
Jauh (berabad-abad) pasca tokoh-tokoh tersebut, di Indonesia dikenal pula tokoh-tokoh alAsyariyah (Asyairah) seperti: Syekh al-Sanusi, Syekh al-Syarqawi, Syekh al-Bajuri, Syekh Nawawi
Banten, Syekh al-Tarabilisi, Syekh al-Fatani, dan lain-lain. Yang tidak mustahil. pemikiran kalam
mereka sudah berbeda dengan pemikiran kalam al-Asyari sendiri atau setidak-tidaknya ada nuansa
lain.

2.

Fiqh Ahlussunnah Waljamaah

Dalam konteks historis, institusi fiqh yang sejalan dengan konteks substansial paham
Ahlussunnah Waljamaah ialah empat mazhab besar dalam fiqh Islam, mazhab Hanafi, Maliki, Syafii,
dan Hanbali. Bahwa mazhab Hanafi dianut pula oleh muasis (pendiri) kalam at Maturidiyah, yakni
Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan mazhab Syafii dianut pula oleh muassis kalam at Asyariyah,
yakni Abu al-Hasan al-Asyari.
Tak bisa dipungkiri, bahwasanya di antara keempat fiqh tersebut satu sama lain banyak
ditemui perbedaan di sana sini. Akan tetapi, perbedaan-perbedaan itu masih berada dalam
koridor ikhtilaf-rahmat (perbedaan yang membawa rahmat). Abu Hanifah yang dikenal sebagai ahl al-

rayi (banyak menggunakan akal/logika), tidak mengklaim pendapatnya sebagai terbenar. Dan ketiga
Imam yang lain pun tidak pernah menyalahkan pendapat mazhab yang lain.
Keempat Imam Mazhab tersebut sama-sama commitedterhadap petunjuk al-Quran dan alSunnah. sama-sama berpola-pikir Taqdim al-Nas ala al-aql (mendahulukan petunjuk nas daripada
logika). Dalam berijtihad, mereka tidak mengedepankan akal kecuali sebatas untuk beristimbat
(menggali hukum dan al Quran dan al-Hadits), tidak sampai mensejajarkan apa lagi mengabaikan
nas. Dan inilah substansi paham Ahlussunnah Waljamaah.

3.

Akhlak Ahlussunnah Waljamaah

Adapun lingkup yang ketiga ini, paham Ahlussunnah Waljamaah mengikuti wacana akhlak
(tasawuf) yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti al Ghozali, al junaid, dan tokoh-tokoh lain
yang sepaham termasuk Abu Yazid al-Bustami. Pemikiran akhlak mereka ini memang tidak
melembaga menjadi sebuah mazhab tersendiri sebagaimana dalam lingkup akidah (kalam) dan fiqh.
Namun wacana mereka itu sejalan dengan substansi paham Ahlussunnah Waljamaah serta banyak
diterima dan diakui oleh mayoritas umat Islam.
Diskursus Islam kedalam lingkup akidah, ibadah, dan akhlak ini bukan berarti pemisahan
yang benar-benar terpisah. Ketiga-tiganya tetap Integral dan harus diamalkan secara bersamaan oleh
setiap muslim, termasuk kaum Sunni (kaum yang berpaham Ahlussunnah Waljamaah). Maka
seorang muslim dan seorang sunni yang baik, dalam berakidah, dalam beribadah sekaligus dalam
berakhlaq. Seseorang baru baik akidah dan ibadahnya saja Ia belum bisa dikatakan baik, jika
akhlaknya belum baik.
Oleh karena itu, maka lingkup akhlak tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia justru teramat
penting dan menjadi cerminan Ihsan dalam diri seorang muslim. Jika Iman menggambarkan akidah,
dan Islam menggambarkan ibadah; maka akhlak akan menggambarkan ihsan yang sekaligus
mencerminkan kesempurnaan iman dan Islampada diri seseorang. Iman ibarat akar, dan Islam
ibarat pohonnya; maka Ihsan ibarat buahnya.
Mustahil sebatang pohon akan tumbuh subur tanpa akar dan pohon yang tumbuh subur serta
berakar kuatpun akan menjadi tak bermakna tanpa memberikan buah secara sempurna. Mustahil
seorang muslim beribadah dengan baik tanpa didasari akidah kuat, dan akidah yang kuat serta
ibadah yang baik akan menjadi tak bermakna tanpa terhiasi oleh akhlak mulia.
Idealnya, ialah berakidah kuat, beribadah dengan baik dan benar, serta berakhlak mulia.
Beriman kuat, berislam dengan baik dan benar, serta berihsan sejati. Maka yang demikian inilah
wujudinsan kamil/(the perfect man) yang dikehendaki oleh paham Ahlussunnah waljamaah.

http://ansorjombangkota.blogspot.com/2016/03/ruang-lingkup-aswaja.html

II. RUANG LINGKUP KERANGKA BERFIKIR ASWAJA


Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang
Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Ketiganya merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari
Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian menjadi satu kesatuan konsep ajaran ASWAJA.
Dilingkunagn ASWAJA sendiri terdapat kesepakatan dan perbedaan. Namun perbedaan itu
sebatas pada penerapan dari prinsip-prinsip yang disepakati karena adanya perbedaan
dalam penafsiran sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ushulul Fiqh dan Tafsirun Nushus.
Perbedaan yang terjadi diantara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah tidaklah
mengakibatkan keluar dari golongan ASWAJA sepanjang masih menggunakan metode yang
disepakati sebagai Manhajul Jami' . Hal ini di dasarkan pada Sabda Rosululloh SAW. Yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim : "Apabila seorang hakim berijtihad kemudian
ijtihadnya benarmaka ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila dia salah maka ia hanya
mendapatkan satu pahala". Oleh sebab itu antara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah
walaupun terjadi perbedaan diantara mereka, tidak boleh saling mengkafirkan, memfasikkan
atau membid'ahkan.
Adapun kelompok yang keluar dari garis yang disepakati dalam menggunakan Manhajul
jami' yaitu metode yang diwariskan oleh oleh para sahabat dan tabi'in juga tidak boleh
secara serta merta mengkafirkan mereka sepanjang mereka masih mengakui pokok-pokok
ajaran Islam, tetapi sebagian ulama menempatkan kelompok ini sebagai Ahlil Bid'ah atau
Ahlil Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari sebagaimana
pernyataan beliau yang memasukkan Syi'ah Imamiah dan Zaidiyyah termasuk kedalam
kelompok Ahlul Bid'ah.

http://www.aswajanu.net/2009/08/karakteristik-ahlu-al-sunnah-waal.html

Ruang Lingkup Ahlussunnah wal Jamaah


Sebagaimana halnya Khawarij, Mutazilah, dan Syiah, Ahlusunnah wal
Jamaah merupakan salah satu aliran atau paham teologi yang ikut
mewarnai sejarah perkembangan agama Islam. Ia datang di tengah-tengah
dinamika kehidupan umat untuk ikut ambil bagian dalam memberikan
solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi, khususnya yang berkenaan
dengan permasalahan ikhtilfiyyah dalam akidah dan keyakinan.(5
Kalau pada awalnya Ahlussunnah wal Jamaah muncul sebagai reaksi
terhadap Syiah, ia dalam perkembangannya juga merespon Mutazilah.
Bahkan kemunculan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai aliran terjadi di
masa Mutazilah mencapai kejayaannya.
Sebagaimana diketahui, Mutazilah mencapai puncak kejayaannya pada
saat Daulah Abasiyah berada di bawah pemerintahan Khalifah al-Mamun,
al-Mutashim, dan al-Watsiq (813 M 847 M). Kejayaan ini diawali
dengan dijadikannya Mutazilah oleh Khalifah al-Mamun sebagai
mazhab resmi yang dianut negara. Agaknya, pada masa itulah usaha
penyebaran ajaran-ajaran Mutazilah yang dijalankan oleh 3 ribu pengikut
Wasil bin Atha semenjak tahun 718 M mulai menemukan hasilnya hingga
Mutazilah memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam
Paham Mutazilah mengajarkan bahwa al-Quran tidak bersifat qadm,
tetapi baru (hadts) dan diciptakan (makhlq). Dalam pandangan mereka,
meng-qadm-kan al-Quran berarti meyakini adanya sesuatu yang qadm
selain Tuhan, dan itu sama saja dengan menduakan Tuhan. Menduakan
Tuhan adalah perbuatan syirik, dan syirik merupakan dosa terbesar yang
tidak akan diampuni Tuhan.
Al-Mamun sebagai khalifah menetapkan bahwa orang syirik tidak dapat
menempati posisi penting dalam pemerintahan. Oleh karenanya, dia
kemudian menginstruksikan kepada Gubernurnya untuk menjadikan
Mutazilah sebagai Paham yang harus dianut oleh para pemuka
masyarakat melalui sebuah kebijakan yang dikenal dengan mihnah
(inquisition). Kebijakan ini diaplikasikan dengan menerapkan fit and
proper test yang bersifat subyektif, guna melihat apakah seseorang, yang
akan diangkat sebagai pejabat, berpaham Mutazilah atau tidak. (6
Ahmad ibn Hanbal telah tampil sebagai orang yang menolak paham
Mutazilah, dan mengembalikan ajaran Islam pada apa yang terkandung
dalam sunnah sehingga dia kemudian dikenal sebagai imam Ahlussunnah.
(7 Meskipun harus berhadapan dengan tiga penguasa Daulah Abasiyah
secara berturut-turut, Ibn Hanbal tetap mempertahankan keyakinannya,
sehingga ia menjadi orang yang berpengaruh dan mendapat pengikut yang
terus bertambah.

Kenyataan ini membuat Khalifah al-Mutashim dan al-Watsiq tidak berani


menjatuhkan hukuman mati kepada Ahmad Ibnu Hanbal, karena hal itu
dalam pandangan mereka akan sangat berpotensi bagi timbulnya
kekacauan. Di masa kekhalifahan al-Mutawakkil, putra al-Mutashim,
pengaruh ibn Hanbal yang berpegang teguh pada sunnah dan tradisi terus
menguat, sementara pengaruh Mutazilah menurun di tengah-tengah
masyarakat. Pada Puncaknya, al-Mutawakkil membatalkan aliran
Mutazilah sebagai mazhab resmi negara (848 M), dan berakhirlah riwayat
mihnah dalam perjalanan sejarah Daulah Abbasiyah.
Dengan dasar kenyataan sejarah itulah Tasy Kubra Zadah menyatakan
bahwa aliran Ahlussunnah wal Jamaah telah muncul atas keberanian dan
usaha Abu al-Hasan al-Asyari untuk membentuk aliran teologi baru yang
kemudian dikenal dengan namanya sendiri, setelah menjadi pengikut aliran
Mutazilah selama 40 tahun. (8 Dari sinilah term Ahlussunnah wal
Jamaah yang dibawa oleh Ibn Hanbal menjadi identik dengan Asyariyah
dan Maturidiyah, mengingat Abu al-Hasan al-Asyari yang menyandarkan
teologi barunya pada ajaran yang dibawa oleh Ibn Hanbal, tidak
merumuskan ajaran Ibnu Hanbal secara lebih sistematis.
Dijelaskan bahwa pada saat berdiri di depan publik untuk
memproklamirkan teologi barunya, Abu al-Hasan al-Asyari mengatakan
bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah
berpegang teguh pada al-Quran, sunnah Rasulullah Saw., atsar sahabat,
perkataan tabiin, pembela hadits, dan terhadap apa yang dikatakan oleh
Ahmad ibn Hanbal. Akan tetapi, meskipun al-Asy'ari mendasarkan
teologinya pada Ahmad ibn Hanbal (9, ia dalam bidang fikih tetap
berpegang pada mazhab Syafi'i. (10
Ibn Taimiyah dalam Muwafaqt Shahh al-Manql li al-Sharh al-Maql
menjelaskan bahwa ketika keluar dari mazhab Mutazilah, al-Asyari
menempuh cara Ibn Kullab. Dia membela sunnah dan hadis, serta
menyandarkan pendapat-pendapatnya pada Ahmad ibn Hanbal. Semua ini
diungkapkan secara tegas dalam buku-buku karanganya, seperti al-Ibnah,
al-Mujz, dan al-Maqlt. Lebih dari itu, al-Asyari juga bergaul dengan
para pembela sunnah dan para teolog pengikut mazhab Hanbali, seperti
ibn Aqil dan Abu al-Faraj al-Jawzi. Dari merekalah al-Asyari belajar dan
mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Ahmad ibn Hanbal.(11
Kalau apa yang diajarkan oleh ibnu Hanbal itu berpegang teguh terhadap
sunnah dan tradisi, Mutazilah tidak mau berpegang teguh kepada sunnah
dan tradisi itu. Sikap Mutazilah ini bukan karena mereka tidak percaya,
tetapi lebih disebabkan oleh keraguan terhadap keaslian sunnah dan
tradisi tersebut. Sejalan dengan itu, ajaran-ajaran yang dibawanya juga
lebih bersifat rasional dan filosofis, sehingga paham Mutazilah tidak bisa
diikuti oleh masyarakat awam. Paham Mutazilah, karenanya, tetap
menjadi paham minoritas, meski ditopang oleh kekuasaan, sementara

pada sisi lain, Ahlussunnah wal jamaah memperoleh respon yang sangat
positif dari mayoritas khalayak. Kedua faktor inilah yang sering disebut
sebagai awal munculnya istilah Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu,
golongan yang berpegang pada sunnah dan merupakan golongan
mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mutazilah yang bersifat
minoritas dan tidak berpegang teguh terhadap sunnah.
Secara substantif, Ahlussunnah wal Jamaah itu meliputi tiga aspek Islam,
yakni aspek akidah, fikih dan akhlak. Meskipun diskursus para ulama
sering hanya membicarakan aspek akidah dan syariah (fiqh), hal itu
bukan berarti tidak ada aspek akhlak. Menurut pandangan ini, pengalaman
(practice) dari dua aspek (yang disebut pertama) itu mengandung aspek
akhlak atau tashawuf (tashawwuf).
Seperti disepakati oleh para ulama penulis, aspek yang paling krusial di
dalam paham Ahlussunnah wal Jamaah adalah aspek akidah. Aspek ini
krusial, karena pada saat Mutazilah dijadikan sebagai paham keagamaan
resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, di mana telah terjadi kasus
mihnah (inquisition) yang cukup menimbulkan keresahan umat Islam.
Imam al-Asyari saat itu telah tampil untuk mengoreksi kebijakan
pemerintah tadi dan sekaligus mengkonter teologi Mutazilah, yang dalam
beberapa hal dianggap bidah atau menyimpang. Pemikiran-pemikiran
teologi Islam yang disampaikan Imam al-Asyari ternyata diterima secara
positif oleh masyarakat Islam, sehingga kemudian terbentuk kelompok
Asyariyah (pengikut al-Asyari). Cikal bakal ini akhirnya terinstitusi dalam
bentuk mazhab al-Asyari.
Aspek kedua dalam paham Ahlussunnah wal Jamaah adalah syariah
atau fikih, yakni paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan
mumalah. Yang dimaksud dengan ibadah adalah tuntutan formal yang
berhubungan dengan tata cara seorang hamba berhadapan dengan
Tuhan, seperti shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud
dengan mumalah adalah bentuk ibadah yang bersifat sosial,
menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia secara
horisontal, misalnya dalam hal jual beli, pidana perdata, sosial politik, dan
sebagainya. Yang pertama disebut habl min Allh (hubungan manusia
dengan Allah), dan yang kedua disebut habl min al-ns (hubungan
manusia dengan manusia).
Para ulama telah sepakat bahwa aspek syariah Ahlussunnah wal
Jamaah ini bersumber dari empat mazhab besar dalam Islam, yakni
Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Menurut mereka, Ahlussunnah wal
Jamaah bersumber pada empat mazhab besar ini karena paham akidah
mereka sejalan dengan paham akidah mazhab Ahlussunnah wal
Jamaah.
Imam Asyari sendiri sebagai pelopor Ahlussunnah wal Jamaah adalah
penganut mazhab Imam Syafii, sementara al-Maturidi adalah penganut

mazhab Imam Hanafi di bidang syariah atau fikih. Ahlussunnah wal


Jamaah juga bersumber pada Imam Maliki karena ia adalah pelopor
pembanding ahl al-ray (orang yang mendewakan akal) dari kalangan
ulama Irak, di mana manhaj berpikirnya adalah taqdm al-nashsh ala al-
aql (mendahulukan apa yang tertulis dari Quran dari pada akal).
Demikian juga mazhab Hanbali dijadikan rujukan karena Imam Hanbali
banyak dijelaskan oleh literatur Islam sebagai ulama yang dalam paham
akidahnya secara garis besar, terutama dalam masalah-masalah sentral
yang menjadi kecenderungan polemik di antara ulama kalam, sejalan
dengan paham ketiga ulama pendiri mazhab lainnya.
Aspek ketiga dari paham keagamaan Ahlussunnah wal Jamaah adalah
akhlak atau tashawuf, yang dalam banyak hal difokuskan kepada wacana
akhlak Imam al-Ghazali, Yazid al-Bustami dan Junaid al-Baghdadi, serta
ulama-ulama sufi yang sepaham. Aspek ketiga ini, dalam diskursus Islam
dinilai penting, karena mencerminkan faktor ihsn dalam diri seseorang.
Iman menggambarkan keyakinan, sedangkan Islam menggambarkan
syariah, dan ihsn menggambarkan kesempurnaan Iman dan Islam
dalam diri seseorang.
Iman itu ibarat akar, Islam ibarat pohon dan ihsn ibarat buah yang
dihasilkan oleh sebuah pohon. Artinya, manusia sempurna adalah manusia
yang di samping bermanfaat untuk dirinya, karena dia sendiri kuat, juga
memberi manfaat kepada yang lain (ini sering disebut dengan three
principles of human life). Kalau manusia memiliki keyakinan atau
kepercayaan tetapi tidak menjalankan syariat fikih, maka hal itu ibarat
ada akar tetapi tidak ada pohonnya, artinya tidak ada gunanya. Tetapi
pohon yang berakar dan rindang tidak akan menghasilkan buah jika kurang
berarti atau kurang bermanfaat bagi kehidupan (bukan sama sekali tidak
ada manfaatnya), atau dengan kata lain, kurang sempurna. Jadi, aspek ini
juga terkait dengan aspek yang kedua, sehingga keberadaannya sama
pentingnya dengan keberadaan aspek yang pertama dan kedua untuk
membentuk manusia menjadi insn kmil atau the perfect man.
footnone :
5) Akidah dan keyakinan bukanlah obyek permasalahan pertama yang
didalamnya terjadi perbedan pandangan di kalangan umat Islam yang pada
akhirnya melahirkan beragama aliran teologi dan ilmu kalam. Sebelumnya
sudah sering terjadi perbedaan pandangan di kalangan umat Islam, mulai
dari permasalahan imamah, zakat, riddah, dan lain sebagainya. Bahkan,
kematian Nabi dan di mana harus dimakamkan pun menjadi bahan
perdebatan di kalangan sahabat. Lihat Abd al-Qahir ibn Thahir ibn
Muhammad al-Baghdadi, al-Farq Bayn al-Firq, h. 12 20, (Libanon: Dar
al-Fikr)

6) Dalam Tarkh al-Tabariy dijelaskan bahwa mereka yang harus menjalani


ujian adalah para hakim (al-Qudldlt), para pemuka agama dan tokoh
masyarakat, ahli fikih (fuqah), dan ahli hadis, termasuk di dalamnya ibn
Hanbal.
7) Perdebatan antara Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ishaq Ibn Ibrahim
(Gubernur Irak) tentang al-Quran dan sifat Tuhan dapat dilihat dalam Tarkh
al-Tabariy Diceritakan bahwa setidaknya ada 30 orang yang diuji bersama
dengan Ibn Hanbal dan dari semua itu, hanya ibn Hanbal dan Muhammad
ibn Nuh saja yang berkeras dan tidak mau merubah keyakinannya.
8) Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, h. 65, cet. I, Ed. II, (Jakarta: Penerrbit Universitas
Indonesia, 2002). Keluarnya al-Asyari dari Mutazilah, telah
memunculkan penafsiran yang sangat beragam. Hal ini disebabkan dia
tidak pernah menjelaskan alasan yang pasti tentang keputusannya untuk
keluar dan membentuk aliran baru tersebut. Dalam pernyataan terakhir
yang disampaikan pasca merenung selama 15 hari untuk
memproklamirkan keyakinan barunya, dia hanya menegaskan bahwa atas
petunjuk Allah yang diperolehnya selama mengasingkan diri di dalam
rumahnya, dia memutuskan meninggalkan dan bahkan melemparkan
keyakinan lama, sebagaimana melemparkan baju, untuk kemudian
menganut keyakinan baru yang dia tulis dalam buku-bukunya.
9) Lihat, Abu al-Hasan Ismail al-Asyari, Maqlt al-Islmiyyn wa
Ikhtilf al-Mushalln, dialihbahasakan menjadi, Prinsip-prinsip Dasar Aliran
Theologi Islam (Buku I), oleh Drs. H.A. Nasir Yusuf dan Drs. Karsidi
Diningrat, hlm. 46 47, (Bandung: Pustaka Setia, 1998)
10) Pemikiran KH. M. Tholhah Hasan dalam Seminar Publikasi PBNU
tanggal 30 Desember 2003.
11) Abu al-Hasan Ismail al-Asyari, op. cit., hlm. 48

https://www.mail-archive.com/mencintaiislam@yahoogroups.com/msg01395.html

Akidah Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah)


Posted on 26 Februari 2010 by Anas

Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanyaAl- Kawakib al-Lammaah fi
Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jamaah(kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke XXlll di
Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagi kelompok atau golongan yang
senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik
(fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai
berikut: Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi
ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah adalah segala
sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa ar-Rasyidin yang empat
yang telah diberi hidayah Allah.
Secara historis, para imam Aswaja dibidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi SAW sebelum
munculnya paham Mutazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib RA, karena
jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wadu wa al-Waid dan pendapat Qodariyah tentang kehendak
Allah dan daya manusia. Dimasa tabiin ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk
mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti Umar bin Abd al-Aziz dengan karyanya Risalah Balighah fi Raddi
ala al-Qodariyah. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang pahampaham diluar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya Al-Fiqhu al-Akbar, Imam Syafii dengan kitabnya Fi
Tashihi al-Nubuwwah wa al-Raddi ala al-Barohimah.
Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asyari (260 H 324 H),
lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mutazilah.Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah
Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak
seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asyari, tetapi beliau adalah salah satu diantara imam yang telah berhasil
menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman
akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu
keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asyariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar al-Haytami
berkata: Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang di
gagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah madzhab
empat, Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghozali, Abu Yazid al-Bisthomi, Imam
al-Junaydi dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal
jamaah
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang
menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Diantara teks-teks
Hadits Aswaja adalah:
:

.

Dari Abi Hurayrah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan.
Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya

masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat: Siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah SAW
menjawab: Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu
Majah.
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham
keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya.
Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang
lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja,
bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial karena pada
saat Mutazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah
kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asyari tampil berkhotbah
menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagi koreksi atas pemikiran teologi Mutazilah dalam
beberapa hal yang dianggap bidah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam
menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut
dengan kelompok Asyariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asyari. Ditempat lain yakni di
Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang secara garis
besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asyariyah, sehingga dua imam
inilah yang kemudian diakui sebagai Imam penyelamat akidah keimanan,karena karya pemikiran dua imam ini
tersiar keseluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi SAW serta petunjuk para sahabatnya,
meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham yaitu Imam al-Thohawi (238 H 321 H)
di Mesir, akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan
rumusan akidah Imam Asyari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran Mutazilah yang karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada
nash (Taqdimu al-Aql ala al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bidah, maka
secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun
istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum
terinstitusikan dalam bentuk madzhab. Karena itu secara historis, term aswaja baru dianggap secara resmi
muncul dari periode ini.
Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa Ali bin Abi Thalib KW tetapi dari segi fisik dalam
bentuk madzhab baru terbentuk pada masa al-Asyari, al-Maturidi dan al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu
keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asyariyah atau Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab
empat dan dalam tasawuf adalah al-Ghozali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus
Islam paham Sunni.
Ruang lingkup yang kedua adalah syariah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan
ibadah dan muamalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan
dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak
hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang
beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah SWT, dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman
untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun
sosial.Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat
madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya
tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan
oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Quran, Hadits, Ijma dan

Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka
memegang prinsip utama Taqdimu al-Nash ala al-Aql (mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan
pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd al-Baghdadi,
serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena
mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam
menggambarkan syariah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam
ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia
sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau
manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syariat, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada
gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi
kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya
sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan
kamil.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil diantara kelompok dan madzhab dalam Islam.
Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Quran dan al-sunnah sebagai
sumber utama ajaran Islam.
Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok
ajaran Islam, seperti keesaan Allah SWT, kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi mereka berbeda dalam
beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda didalam manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh
perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan teks-teks sunnah.
Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendiri-sendiri. Mutazilah disebut kelompok liberal
dalam Islam. Keliberalan Mutazilah, berpangkal dari paham bahwa akal sebagai anugerah Allah SWT, memiliki
kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT dan hal-hal yang dianggap baik dan
buruk. Sementara bagi kelompok Asyariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut, kecuali ada
petunjuk dari naql atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih menengah dengan pernyataanya, bahwa
perbuatan manusia mengandung efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu ia
adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal
untuk menilai baik dan buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui
naql atau nash.
Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan akidah, maka peran akal dan naql berkaitan dengan masalahmasalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql berhubungan dengan
perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan
dengan hubungan spiritual antara manusia dengan tuhannya. Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf,
Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdimu al-nash ala al-naql. Maka paham keagamaan Aswaja dengan manhaj
seperti itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada akal. Berbeda dengan paham Mutazilah, meskipun
sama-sama mengacu pada nash, Aswaja tidak terlalu mendalam dalam menggunakan pendekatan akal,
sehingga tidak memberikan akses, bahwa nash dalam agama harus sejalan dengan makna yang ditangkap oleh
akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu untuk memahami nash yang karena itu penafsiran nash agama
tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang matang sekalipun, akal seringkali
salah daya tangkapnya.

https://suaraanas.wordpress.com/2010/02/26/akidah-aswaja-ahlus-sunnah-waljamaah/

Anda mungkin juga menyukai