Dosen pengampu:
Disusun Oleh:
FAKULTAS TARBIYAH
METRO LAMPUNG
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR
(PENYUSUN)
DAFTAR ISI
Halaman Judul....................................................................................i
Kata Pengantar..................................................................................ii
Daftar Isi.............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................1
B. Rumusan Masalah
……………………………………… 2
C. Tujuan Masalah..........................................................2
BAB II PEMBAHASAN
ASWAJA (AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH)
A. Pengertian Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah).....3
B. Sejarah Aswaja (Ahlussunnah walJama’ah)...............
PENDAHULUAN
Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah ada
tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud
dengan Ahlus sunnah wal Jama‟ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan.
Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu, Rasulullah
SAW bersabda yang artinya:
Inilah kemudian kita sampai pada pengertian Aswaja. Pertama kalau kita
melihat ijtihadnya para ulama-ulama merasionalkan dan memecahkan masalah
jika didalam alqur`an dan hadis tidak menerangkanya. Definisi kedua adalah
(melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang bertentangan); orang-
orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup aspek
kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi menjaga keseimbangan dan
toleransi. Ahlus sunnah wal Jama‟ah ini tidak mengecam Jabariyah, Qodariyah
maupun Mu‟tazilah akan tetapi berada di tengah-tengah dengan mengembalikan
pada ma anna alaihi wa ashabihi. Nah itulah latar belakang sosial dan latar
belakang politik munculnya paham Aswaja. Jadi tidak muncul tiba-tiba tetapi
karena ada sebab, ada ekstrim mu‟tazilah yang serba akal, ada ekstrim jabariyah
yang serba taqdir, aswaja ini di tengah-tengah. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham keagamaan (ajaran) maupun
sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa
Tahqim yang melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun
40 H.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)?
2. Bagaimana sejarah Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah).
2. Untuk Mengetahui sejarah Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah).
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Ahlu Sunnah wal Jama„ah (Aswaja) dapat dilihat dari dua
aspek penting, pertama dari segi bahasa atau etimologi, kedua dari segi
peristilahan atau terminologi. Secara etimologi, Aswaja berasal dari bahasa Arab
ahl artinya keluarga. Al-sunnah, berarti jalan, tabi„at dan perilaku kehidupan.
Sedangkan al-jama„ah, berarti sekumpulan.1
Definisi Ahlus sunnah Wal jama‟ah ada dua bagian yaitu: definisi secara
umum dan definisi secara khusus:
1. Definisi Aswaja Secara umum adalah satu kelompok atau golongan yang
senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para
shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqih) dan hakikat (Tasawwuf
dan Akhlaq).
2. Definisi Aswaja secara khusus adalah Golongan yang mempunyai I‟tikad/
keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya‟iroh dan
Maturidiyah.
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab–Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997, cet. 14), hlm. 46.
4
Menurut Imam Asy‟ari, Ahlus sunnah Wal Jama‟ah adalah golongan yang
berpegang teguh kepada al-Qur‟an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat,
tabi‟in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad
ibn Muhammad ibn Hanbal.2
2
Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy‟ari, Al-Ibanah An Ushul Al-Diyanah (Beirut: Dar al- Kutub al-
Ilmiyyah, t.t), hlm. 14.
3
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari, Moderasi Keumatan Dan Kebangsaan
4
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya (Jakarta: Rajawali Press, 2010, cet. 1), hlm. 190.
sahabat Nabi saw. pada masa khulafaur ar-rashidin yang empat, yang telah diberi
hidayah (mudah mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua)”.5
Secara substantif, Ahlus sunnah wal Jama'ah itu meliputi tiga aspek Islam,
yakni aspek akidah, fikih dan akhlak. Meskipun diskursus para ulama sering hanya
membicarakan aspek akidah dan syari'ah (fiqh), hal itu bukan berarti tidak ada
aspek akhlak. Menurut pandangan ini, pengalaman (practice) dari dua aspek (yang
disebut pertama) itu mengandung aspek akhlak atau tashawuf.6
Sebutan Ahl al-sunnah wa al- Jama’ah belum dikenal pada masa Nabi
Muhammad SAW, maupun pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, bahkan
sampai masa Bani Umayyah. Istilah tersebut baru muncul pada saat Khalifah Abu
Ja’far al- Mansur (137-159 H/ 754-755 M) dan pada masa pemerintahan Harun
al-Rasyid (170- 194 H/ 785-809 M). Pada tahap yang kedua Ahl al-Sunnah Wa al-
Jama’ah dikenal juga pada saat pemerintahan Abbasiyah, bahkan pada saat
Khalifah Al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M).
Munculnya Aliran Ahl al-sunnah wal Jama’ah dikarenakan munculnya
aliran
6
Kang Mousir, Resume Aswaja, dalam
http://lifeonthemotivation.blogspot.co.id/2014/11/resume-aswaja.html, diunggah pada Senin, 10
November 2014, pukul 11.05 WIB
Mu’tazilah yang lebih mengedepankan akal dari pada hukum naqli. Kekacauan yang
ditimbulkan oleh Mu’tazilah sangat menyedihkan, terutama dalam masa pemerintahan
khalifah al-Makmun (813-833 M), yang menganggap wajib untuk membenarkan I’tiqad
yang salah, yang merupakan pokok keyakinan agama, seperti menganggap bahwa Al
Qur’an itu hadits dan makhluk. Dipaksanya tujuh orang ulama’ hadist yang terkenal,
yaitu Muhammad bin Sa’ad (wafat 230 H), Abu Muslim Mustamli Jazid ibn Harun,
Yahya bin Ma’in (wafat 233 H), Jazari bin Harb, Abu Khaisamah (wafat 234 H), Isma’il
ibn Daud dan Isma’il bin Abi Mas’ud dan Ahmad bin Ad-Dauraqi. Dalam sebuah surat
perintah kepada Ishak bin Ibrahim, sebelum ia wafat pada tanggal 18 Rajab 218 Hijriyah
untuk mengakui bahwa Al Qur’an itu adalah mAhlk dan bukan kalamullah yang qadim.
Karena ketakutan semua dari mereka mengakui, hanya Ahmad ibn Hambal yang tidak
mau mengakui kalamullah itu Hadist (baru). Sehingga beliau harus disiksa sampai
terluka dan dalam keadaan pingsan beliau dikirim kepenjara untuk diobati.7
7 Ibid., 84.
8
Ibid., 85. Lihat juga dalam Ibnu Hajar, Thabaqat Syafi’iyah dan Tarikh Khalifah-khalifah Islam.
Kebijakan Mihnah bergeser pada paham Ahl al-sunnah wal Jama’ah saat
masa Khalifah al-Mutawahil (232-247 H / 847-861 M). Ia melihat bahwa posisinya
sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah
peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan
Ibnu Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah sebagai
paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni. Setelah Watsiq, Mutawakkil
(847-861 M) mengubah pemikirannya menjadi terbalik dengan para pendahulunya,
di mana madzab Mu’tazilah diasingkan dari Negara dan kemudian digantikan dengan
madzab sunni. Pada masa inilah Mu’tazilah menjadi madzab yang dimusuhi.
Walaupun demikian, jasa mereka dalam kegiatan intelektual sangat besar. Karena
mereka membuka cakrawala pikiran menggunakan rasio dengan logika-logika yang
tajam yang sangat dibutuhkan guna memahami ilmu-ilmu lain.9
Kalangan Ahl al-Sunnah wal Jama’ah setelah berada di bawah pemerintahan
khalifah Al-Mutawakkil dan mendominasi kekuasaannya, melakukan upaya
pengkonsolidasian diri sebagai aliran. Tindakan-tindakan Sunni adalah sebagai
respon balik atas tindakan Mu’tazilah yang telah menyakitinya di masa Mihnah.
9
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka book Publissher, 2007), 174.
Dua Organisasi keagamaan yang paling besar dan sama-sama menyatakan dirinya
sebagai representasi dari kelompok ASWAJA adalah NU dan Muhammadiyah,
meskipun Muhammadiyah tidak secara formal menyatakan diri sebagai pengikut
paham ASWAJA, karena lebih fokus pada gerakan tajdid (pembaharuan).Selain itu
pandangan ASWAJA oleh kalangan NU dirumuskan sebagai landasan berpikir,
bersikap, dan bertindak. Sementara Islam reformis merumuskan ASWAJA sebagai
teori dan praktek yang menyangkut dimensi lahir dan batin. Pandangan tersebut dirinci
dalam berbagai disiplin keilmuan dan agenda kegiatan sosial, sehingga pengertian
ASWAJA kemudian tidak hanya melipti doktrin teologi (akidah) tetapi juga
berkembang pada wilayah ideologi pembaharuan sosial.
Dalam menguraikan paham ASWAJA versi NU, para Kiai dan pengikut NU
tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Kiai Hasyim Asy’ari, selaku salah satu pendiri
NU. Secara umum pemahaman NU tentang ajaran ASWAJA adalah berpegang teguh
pada matai rantai sejarah pemikiran ulama’ terdahulu dalam perilaku keagamaanya.
Paham keaswajaan di NU mencakup tiga wilayah, bidang teologi,fiqih, dan tasawuf.
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri terjadinya perselisihan di antara para Kiai
NU dalam memahami Aswaja. Hal ini terjadi karena para Kiai tersebut memiliki
kecenderungan yang berbeda dalam memahami paham ASWAJA dilihat dari berbagai
bidang yang lebih dicenderungi. Oleh karena itu pemahaman Kiai Said Aqil Siroj yang
dianggap kontroversional oleh sebagaian kalangan Nahdliyin dikarenakan Kiai Said
melihat ASWAJA lebih condong kepada kajian filsafat tasawufnya. Sehingga
rekontruksi pemaknaan ulang oleh Kiai Said ini menimbulkan pergolakan yang luar
biasa dari tahun pertama beliau memaparkanya sampai sekarang.Hal ini disebabkan
karena paradigma yang digunakan oleh sebagaian kaum Nahdliyin berbeda dengan Kiai
Said, yang mana Kiai Said selain Kiai juga seorang akademisi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy‟ari, Al-Ibanah An Ushul Al-Diyanah (Beirut: Dar
al- Kutub al-Ilmiyyah, t.t), hlm. 14.
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka book
Publissher, 2007), 174.