Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam perjalanan Panjang sejarah keislaman, eksistensi Islam


mengalami dinamika pasang surut sepeninggal Rasulullah Muhammad
SAW. Berbagai macam tantangan yang dapat menggoncangkan ajaran
keimanan umat islam banyak bermunculan. Banyak doktrin “ketuhanan
dan keimanan” menyimpang jauh dari ajaran Rasulullah SAW, diantara
dokrin golongan yang menjadikan goyangnya ajaran agama islam adalah
golongan Khawarij, Syi’ah, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dan
Mu’tazilah. Hal ini dikarenakan adanya konflik politik diantara umat islam
dan masuknya doktrin keagamaan diluar sehingga merusak kemurnian
ajaran islam.

Kehadiran para Ulama dalam dunia islam dipandang sebagai


penyemangat keislaman. Tokoh-tokoh itulah yang mengembalikan
kemurnian ajaran-ajaran agama islam yang bersumber dari Rasulullah
Muhammad SAW yang setia diikuti oleh para sahabat. Penataan kembali
terhadap keimanan dalam islam oleh ulama-ulama tersebut menjadi
tonggak identitas Ahlussunnah Wal Jama’ah.

B. Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pemikiran Aswaja KH. Khalil Bangkalan ?
2. Bagaimana pemikiran Aswaja KH. Hasyim Asy’ari Tebu ireng ?
3. Bagaimana pemikiran Aswaja KH. A. Wahab Hasbullah Tambak
beras ?
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1
1. Untuk  mengetahui tentang pemikiran Aswaja KH. Khalil Bangkalan.
2. Untuk mengetahui tentang pemikiran Aswaja KH. Hasyim Asy’ari
Tebu ireng.
3. Untuk mengetahui tentang pemikiran Aswaja KH. A. Wahab
Hasbullah Tambak beras.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PEMIKIRAN ASWAJA KH. KHALIL BANGKALAN


Peranan KH. Khalil didalam melahirkan NU tidak dapat diragukan
lagi. Hal ini didukung oleh kesuksesan salah satu muridnya, yaitu KH.
Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun
demikian, satu yang perlu digaris bawahi bahwa KH. Khalil bukanlah
tokoh sentral NU karena ketokohan di NU sangat melekat pada diri KH.
Hasyim Asy’ari.1
KH. Khalil bangkalan sendiri merupakan keturunan dari seorang
ulama karismatik, yakni Kiai Abdul Latief bin KH. Hamim bin KH. Abdul
Karim bin KH. Muharrom. Beliau lahir di Desa Lagundih Kec. Ujung
Piring, Bangkalan pada hari Selasa 11 Jumadil Akhir 1252 H (20
September 1834M) dan meninggal dunia pada hari Kamis 29 Ramadhan
1343 H (24 April 1925 M) dalam usia kurang lebih 91 tahun. Dalam usia
seperti itu Kiai Khalil telah banyak berkontribusi bagi pengembangan
Pendidikan pesantren dan menjadi ikon lahirnya generasi ulama besar
yang kelak menjadi pemimpin dan pengasuh pesantren. Meskipun Kiai
Khalil telah tiada, namun pemikiran dan pengaruhnya masih tetap
dikenang. Syaikhona Khalil sendiri dimakamkan di Desa Martasajah, Kec.
Bangkalan yang jaraknya kurang lebih 5 KM dari pusat kota Bangkalan.2
Berikut ini adalaha pemikiran-pemikiran Aswajah KH. Khalil
Bangakalan;
1. Pemikiran Tasawuf
Kepedulian Kiai Khalil sebagai sufi pesantren dalam menyuburkan
praktik tasawuf dalam kehidupan masyarakat merupakan bentuk nyata
dari pentingnya pengamalan ajaran islam yang sesuai dengan

1
Jamal Ghofir, Biografi Singkat Ulama Pendiri dan Penggerak Nahdlatul Ulama: Maha Guru
Nusantara KH. Khalil Bangkalan (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2012), 51
2
Mahfudz Hadi, Berjuang Di Tengah gelombang: Biografi dan Perjuangan Syaikhona
Muhammad Khalil bin Abdul Latief Bangkalan (Surabaya: ELKAF, 2010), 35.

3
perkembangan zaman. Kiai Khalil bersama dengan ulama Nusantara
melalui jaringan intelektual dan spiritualnya, tidak pernah berhenti
untuk mengulas kitab kuning yang memuat kajian tentang ajaran
tasawuf. Kitab Ihya’ Ulumuddin karangan imam Al-Ghazali sering
dijadikan rujukan utama untuk belajar ilmu agama, terutama berkaitan
dengan amalan yang terkait dengan penyucian diri (Tazkiyatun Nafis).
Tidak heran bila tasawuf Al-Ghazali menjadi sumber inspirasi dari
semua kitab-kitab yang dipegang oleh pengikut setia Ahlussunnah Wal
Jama’ah dikalangan pesantren.3
2. Pemikiran Fiqih
Dalam dunia pesantren, Kiai Khalil dikenal sebagai ulama yang
mengembangkan ajaran fiqih sufistik. Sebagai salah satu karakteristik
pesantren untuk menjawab segala permasalahan umat. Fiqih sufistik
mencerminkan sebuah model baru dalam menjelaskan permasalahan
umat yang tidak hanya dipandang dari segi halal-haramnya, melainkan
harus lebih memahami hikmah dibalik terjadinya peristiwa yang
menimpa kehidupan manusia. Dalam dunia sufistik pengalaman
keagamaan merupakan sebuah petualangan atau pencarian yang
bersifat esoteris, sementara nuansa fiqih adalah penerapan sebuah
hukum yang bersifat eksoteris. Meskipun keduanya berbeda dari
relevansi yang segnifikan dalam mendorong umat islam untuk tidak
terjebak dalam sikap ekstrimis.4

Dan diantara Pemikiran dari KH. Kholil Bangkalan di bidang lain


adalah sebagai berikut;

1. Berdakwah dan mengajarkan agama islam akan lebih mudah apabila


dekat dengan penguasaan wilayah.
2. Tawakal ‘alal kholil, tawakal setelah berdoa dan bekerja untuk
memasrahkan hasil kepada allah SWT.
3. Hidup sederhana, cinta ilmu dan akhlak.
3
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi (Jakarta:
Pustaka Iman, 2009), 30.
4
Abdul Munir Mulkam, Neo-Sufisme dan pudarnya fundamentalisme di pedesaan (Yogyakarta:
UII Press, 2000), 137

4
4. Tentang pendidikan agama islam, KH kholil Bangkalan selalu
mengingatkan tentang pentingnya mengingat ilmu dengan tulisan.
5. Pentingnya penguasaan Bahasa Arab, dalam hal itu beliau mampu
hafal diluar kepala dan faham 1000 bait Alfiah Ibnu Malik.
6. Pentingnya ilmu mengenal Allah atau disebut dengan ilmu Tauhid
7. Pentingnya belajar ilmu taswuf untuk mengimbangi gejolak hawa
nafsu dan gangguan syaiton
8. Dalam memperjuangkan akidah islam Ahlussunah wal jama’ah
semangat cinta tanah air, berkorban untuk tanah air, dalam mengusir
penjajah dari tanah indonesia kali ini tercermin dalam peran beliau
mendirikan jamiyah NAHDLATUL ULAMA pada tangal 31 Januari
1926.
B. PEMIKIRAN ASWAJA KH. HASYIM ASY’ARI TEBU IRENG
KH. Hasyim Asy’ari merupakan sosok ulama yang sangat
mengedepankan Pendidikan. Sejak usia muda Ia telah melakukan
pengembaraan belajar mulai dari pesantren-pesantren di Jawa hingga ke
Makkah. KH. Hasyim Asy’ari termasuk ulama yang sangat produktif
didalam membuat karya seni tulis, mulai dari menulis kitab Fiqih, Hadis,
hingga Tasawuf. Sampai sekarang sebagian kitab-kitab karyanya masih
dipelajari di berbagai pesantren di Indonesia. Kecintaanya terhadap ilmu
pengetahuan menjadikannya sebagai sosok ulama yang memiliki
pemikiran dan pengetahuan yang luas. Hal ini dibuktikan dengan
dimilikinya perpustakaan pribadi yang besar. Banyak koleksi buku dan
kitab keislaman yang jarang dijumpai, tetapi ada di perpustakaan tersebut.
Bahkan, perpustakaan yang dimilikinya menyaingi perpustakaan Lembaga
Penelitian Islam di Jakarta.
1. Pemikiran Tauhid
KH. Hasyim Asy’ari menulis tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah di
dalam kitabnya Ar-Risalah At-Tauhidiyah. Dalam kitab tersebut Ia
merujuk pada Al-Qusyairi, dimana KH. Hasyim Asy’ari mengartikan
keesaan Tuhan menjadi 3 tingkatan: pertama, pujian terhadap keesaan
Tuhan; kedua, meliputi pengetahuan dan pengertian mengenai keesaan

5
Tuhan; ketiga, tumbuh dari perasaan terdalam (Dzauq) mengenai
hakim agung (Al-Haqq). Tauhid tingkatan pertama dimiliki oleh orang
awam; tingkatan kedua dimiliki oleh ulama-ulama biasa; dan yang
ketiga dimiliki oleh para sufi yang telah sampai ke tingkatan
pengetahuan peda Tuhan dan mengetahui esensi Tuhan. KH. Hasyim
Asy’ari mengatakan bahwa percaya pada keesaan Tuhan
membutuhkan iman, dan siapa saja yang tidak iman tidak akan percaya
kepada keesaan Tuhan.
2. Pemikiran Tasawuf
Dalam pemikiran tasawuf KH. Hasyim Asy’ari menorehkan
karyanya dalam sebuah kitab yang berjudul Ad-Durar Al-Muntathirah
fi Al-Masa’il At-Tis’ ‘Asyarah, yaitu kitab yang menerangkan tentang
Mutiara-mutiara yang tercecer dalam Sembilan belas masalah. Dalam
kitab Ad-Durar KH. Hasyim Asy’ari sangat berhati-hati dalam
memberikan persyaratan menjadi seorang murid sufisme, persyaratn
semakin berat apabila mereka menjadi seorang guru. At-Tibyan fi An-
Nahi ‘An Muqatha’at Al-Arham wa Al-Aqarib wa Al-Akhwan, yaitu
kitab yang menjelaskan tentang larangan memutuskan ikatan
kekerabatan dan pertemanan. Kitab-kitab tersebut ditulis pada tahun
1360 H.
3. Pemikiran Fiqih dan Hadis
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari terkait dengan fiqih dan hadis
seirama dan sejalan dengan pemikiran kaum islam tradisionalis masa
lalu, yang lebih mengedepankan pada corak bermadzhab, yaitu dengan
mengikuti salah satu madzhab sunni. KH. Hasyim Asy’ari berikhtiyar
memurnikan hukum fiqih dari pendapat-pendapat yang meremehkan
argumentasi madzhab-madzhab hukum. Ia menegaskan bahwa
perbedaan pendapat dikarenakan selama masih dalam bingkai syari’ah
dan tidak keluar dari ajaran-ajaran islam. Beliau menyatakan:
“Mengikuti salah satu dari empat madzhab fiqih (Hanafi, Maliki,
Syafi’I, dan Hambali) sungguh akan membawa kesejahteraan dan
kebaikan yang tidak terhitung sebab ajaran-ajaran islam

6
(syari’ah) tidak dapat dipahami kecuali dengan pemindahan
(naql) dan pengambilan hukum dengan cara-cara tertentu
(istinbath). Pemindahan tidak akan benar dan murni kecuali
dengan jalan setiap generasi memperbolehkan ajaran langsung
dari generasi sebelumya”

Disamping ahli fiqih, KH. Hasyim Asy’ari juga terkenal dengan


ahli hadis. Sebagimana dijelaskan oleh Van den Berg, yang dikutip
Martin dalam penelitiannya mengenai kitab-kitab yang dijadikan
literatur dipondok pesantren pada abad ke-19. Beliau merupakan satu-
satunya ulam yag memperkenalkan dan mengajarkan mata pelajaran
hadis di pondok pesantren. Bahkan pada waktu diadakannya halaqah
hadis oleh KH. Hasyim Asy’ari, guru yang sangat dihormatinya KH.
Khalil Bangkalan juga turut hadir dalam halaqah tersebut.

Inilah yang membedakan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dengan


kalangan modernis. Kaum modernis berusaha secara langsung
menginterpretasikan Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan KH. Hasyim
Asy’ari dan kaum muslim tradisionalis lebih mengakui keberadaan
taklid sebagai salah satu metode untuk mencari jawaban permasalahan
hukum. Bagi kaum tradisionalis, ijtihad tidak dapat diterima apabila
hanya berlandaskan pertimbangan pikiran.

4. Pemikiran Pendidikan
Pendidikan merupakan panglima tertinggi dalam membentuk
kesadaran dan karakter bangsa. Pendidikanlah yang mampu
membedakan antara manusia dan hewan. Dunia Pendidikan menjadi
penting dalam pencarian identitas manusia. KH. Hasyim Asy’ari dalam
karyanya Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim menegaskan bahwa
Pendidikan merupakan sarana yang sangat penting dalam pencapaian
derajat kemanuasiaan, sampai pada kesadaran siapa sesungguhnya
penciptanya, untuk apa diciptakan mengapa harus melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan-Nya, mengapa harus berbuat baik dan
menegakkan nialai-nilai keadilan ?

7
Kitab tersebut mengetengahkan konsep Pendidikan. Ia menyadari
masih sangat diperlukannya literatur-literatur yang membahas etika
dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
5. Pemikiran Politik dan Demokrasi
Gagasan dan ide-ide politik KH. Hasyim Asy’ari sejalan dengan
doktrin politik sunni, sebagaimana gagasan dan ide-ide yang
dikembangkan oleh Al- Mawardi dan Imam Al- Ghazali. Pemikiran
politik mereka sangat akomodatif dengan pemegang kekuasaan dotrin
ini dirumuskan ketika perpolitikan islam mengalami masa
kemunduran, pada gilirannya akan memunculkan anggapan-anggapan
bahwa posisi rakyat sangat lemah, mereka harus tunduk kepada
penguasa. Karena itu, KH. Hasyim Asy’ari dan tokoh NU yang lain
juga bersikap akomodatif terhadap penguasa, baik penguasa muslim
maupun penguasa non-muslim. Sikap politik KH. Hasyim Asy’ari
yang terpenting adalah seruan dan ajakan kepada seluruh umat islam
untuk menjalin persatuan dalam aksi Bersama. Ajakan menguatkan
persatuan disampaikannya dalam setiap kesempatan mengingat kondisi
umat yang mengalami perpecahan dan kebutuhan mendesak pada
persatuan bangsa Indonesia.5

C. PEMIKIRAN ASWAJA KH. A. WAHAB HASBULLAH TAMBAK


BERAS

Perjalanan Panjang perjuangan KH. A. Wahab Hasbullah dalam


berkhidmat pada agama, bangsa, dan organisasi NU tidak dapat dielakkan,
meskipun tidak banyak literatur yang memberikan catatan sejarah sepak
terjangnya yang menjadi penyemangat bagi kaum muda dalam melakukan
pengawalan terhadap keberlangsungan kehidupan beragama, berbangsa,
dan bernegara. Pemikiran-pemikiran KH. A. Wahab Hasbullah menjadi
pijakan bagi kaum mudah pada saat ini ddan menjadi referensi dalam
pengambilan kebijakan strategis organisasi.

5
Jamal Ghofir, Biografi Singkat Ulama Pendiri dan Penggerak Nahdlatul Ulama: Pemikiran KH.
Hasyim Asy’ari (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2012), 93

8
1. Pemikiran Pendidikan

Dalam menjalani proses kehidupan manusia tidak biasa


dilepaskan dari peranan Pendidikan karena tanpa Pendidikan manusia
tidak akan mengalami proses perubahan, perkembangan dan kemajuan.
Apalagi dihadapkan pada kondisi kemajuan zaman arus globalisasi
yang terus merangsak disetiap sendi kehidupan manusia saat ini.
Hakikat Pendidikan adalah bagaimana cara memahami persoalan,
mencari kebenaran, dan melakukan perubahan agar tidak mengulangi
kesalahan yang pernah terjadi. Begitu pula dengan tujuan Pendidikan,
yaitu untuk mengetahui dan memahami perjalanan kehidupan
bermanfaat atau tidak dalam kehidupan.

KH. A. Wahab Hasbullah membentuk kajian diskusi Tashwirul


Afkar guna sebagai media diskusi, kajian, dan pengembangan
pemikiran serta pengetahuan masyarakat. Dari sebuah diskusi
munculah kesadaran akan kondisi bangsa yang sedang dijajah oleh
imperialis. Penjajahan yang terjadi pada bangsa Indonesia tidak sesuai
dengan ruh kemanusiaan dan menodai harkat serta martabat kehidupan
berbangsa dan bernegara. Karena itu beliau sangat prihatin dengan
kondisi Pendidikan di tanah air yang tidak mengalami perubahan dan
kemajuan. Dengan semangat mentasyarufkan kehidupannya ia
melakukan perubahan derastis dalam perjuangannya mengembangkan
sector Pendidikan. Dari Tashwirul Afkar inilah lahir Nahdlatul
Wathan, sebuah organisasi yang khusus mengurusi bidang Pendidikan.
Dari Nahdlatul Wathan KH. A. Wahab Hasbullah Bersama teman-
temannya mengembangkan sayap intelektualitasnya dengan
menggagas Pendidikan yang menggabungkan konsep tradisional dan
modern. Beliau mendirikan madrasah atau lembag Pendidikan yang
bernama Nahdlatul Wathan, dimana Ia bekerjasama dengan KH. Mas
Mansur yang akhirnya menjadi pembesar organisasi Muhammadiyah.

Kemudian dari Nahdlatul Wathan beliau telah berhasil


mendirikan sekolah di berbagai daerah, antara lain:

9
a. Sekolah/ Madrasah Ahloel Wathan di Wonokromo
b. Sekolah/ Madrasah Far’oel Wathan di Gresik
c. Sekolah/ Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang
d. Sekolah/ Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya
2. Pemikiran Keagamaan
Pemikiran KH. A. Wahab Hasbullah tentang keagamaan banyak
mengambil referensi dari tradisi politik keagamaan sunni dan
menggunakan pola pendekatan kebudayaan ala Ahlussunnah Wal
Jama’ah. Beliau memiliki gaya pikir yang terbuka dalam
permasalahan agama, khususnya dalam ibadah mu’amalah.
Menurutnya, agama telah memberikan banyak solusi atas semua
persoalan di dunia. Karena itu, ia tidak ragu turut serta dalam kanca
percaturan politik dengan berpegang teguh pada pemahaman
keagamaan yang fleksibel, memberikan ruang pada nilai-nilai kearifan,
dan kebijaksanaan demi kemajuan Bersama.
3. Pemikiran Pergerakan

Kesadaran pergerakan KH. A. Wahab Hasbullah bermula dari


penjajahan yang selalu melakukan penindasan terhadap rakyat. Konsep
pergerakan yang dihadirkan oleh KH. A. Wahab Hasbullah terus
menggelora, sampai pada keinginan mendirikan organisasi tradisional
yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini
dikarenakan organisasi yang ada pada waktu itu lebih banyak dari
kalangan terpelajar atau dari kota yang memiliki dasar Pendidikan
yang telah dibentuk oleh belanda. Pendidikan tersebut sangat
mengedepankan aspek rasionalitas dalam memandang persoalan
kehidupan, sedangkan kalangan islam tradisional banyak berasal dari
pedesaan, anak petani, dan buruh tani yang masih jauh dari pola pikir
modern. Karena mereka senantiasa mengandalkan pelajaran kitab-kitab
klasik atau kitab kuning di pesantren maka gagasan dan ide cemerlang
yang dihadirkan KH. A. Wahab Hasbullah menghentakkan kalangan
modern. Ia mampu menghadirkan kesadaran untuk membentuk
organisasi pergerakan yang berasaskan Ahlussunnah Wal Jama'ah dan

10
menggunakan pendekatan politik sunni yang moderat dengan
penguasa.

Gerakan yang dilakukan oleh KH. A. Wahab Hasbullah dengan


totalitas dan royalitas tinggi menunjukkan ia menginginkan
mendirikan pesantren dengan format yang besar dalam arti luas, yaitu
pesantren sebagai tempat ibadah, menuntut ilmu, bergotong-royong,
dan mengabdikan diri demi kemaslahatan masyatarakat.

4. Pemikiran Nasionalisme

KH A Wahab Hasbullah memiliki latar belakang Pesantren dan


juga darah pejuang yang mengalir dalam dirinya. Hal ini bisa
dibuktikan dengan silsilah keturunannya. Ia memiliki Cakrawala
pengetahuan yang sangat luas untuk ukuran kelas Pemuda saat itu dan
memiliki kesadaran nasionalisme untuk terbebas dari lingkungan
penjajaha. pengetahuan yang diperoleh dari pesantren ke Pesantren se-
nusantara menjadi basis kesadaran dirinya. Sampai pada akhirnya ia
melanjutkan belajar kepada para ulama terkemuka di Kota Makkah
selama lima tahun.

Di kota Makkah Al-Mukaromah inilah kesadaran nasionalisme nya


semakin memuncak. sebagai anak bangsa yang kesadaran nasionalisme
nya tergugah akibat penjajahan, ia sangat bisa merasakan sakitnya
menjadi Negeri jajahan di mana Banyak rakyat menderita kemiskinan
hancurnya tatanan budaya dan adat istiadat yang telah mapan, serta
kekayaan alam terkuras. Yang lebih mengiris Nurani kebangsaannya
adalah kebodohan merajalela akibat sistem atau kebijakan penjajah
yang tidak memihak pada peningkatan kecerdasan bagi bangsa
Indonesia. kesadaran persatuan dan kesatuan dalam diri para anak
bangsa belum seutuhnya menjadi satu sehingga banyak perjuangan
perlawanan terhadap penjajah yang mudah dipatahkan. Hal ini
dikarenakan penjajah memiliki kecerdasan, kekuatan senjata canggih
Komandan pasukan yang terorganisasi dengan baik sedangkan

11
perjuangan anak bangsa masih dalam tahap personal kelompok dan
kesukuan.

Oleh karena itu, ia lebih menekankan pada terciptanya kesadaran


kolektif untuk berjuang bersama-sama dalam melakukan perlawanan
terhadap penjajah. Hal itu ia wujudkan dengan menggagas pendirian
sebuahwadah organisasi yang memiliki peranan penting dalam hal
pendidikan serta kesadaran bersama pada pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam melakukan perjuangan. Ia selama di Makkah juga turut
serta aktif di dalam organisasi SI sehingga ia selalu bersemangat dalam
berorganisasi dan melakukan gerakan-gerakan perlawanan. semangat
yang membara dalam dirinya untuk berorganisasi karena sejak awal ia
telah memiliki kesadaran nasionalisme yang sangat kuat semangat
nasionalisme nya diwujudkan dengan membangun kesadaran
keagamaan dan kebangsaan yaitu dengan mendirikan forum diskusi
Tashwirul Afkar, melakukan kesadaran ekonomi dengan mendirikan
Nahdlatut Tujjar dan mendirikan Nahdlatul Wathan sebentuk
perlawanan melalui aspek pendidikan.
Semangat dan Gerakan nasionalismenya terus berlanjut. Pada masa
penjajahan belanda, ia tampil dengan melakukan perlawanan, baik
dalam hal negosiasi maupun terjun langsung di medan pertempuran. Ia
juga sebagai seorang pemimpin barisan kiai yang karismatik, bahkan
tidak jarang ia berada disamping para pemuda Indonesia dalam
melakukan perlawanan terhadap penjajahan belanda, sebagai
penyemangat dan motivator bagi para pejuang. Ia selalu tampil seperti
seekor macan yang mempertahankan daerah kekuasaanya. Tanpa
menghiraukan rasa letih dan berputus asa ia melakukan pendampingan
perjuangan di front Mojokerjo, front Malang, front Magelang, dan
front Ambarawa.
5. Pemikiran Demokrasi
Menurut KH. A. Wahab Hasbullah Demokrasi harus disesuaikan
dengan niali-nilai dan falsafah masyarakat Indonesia. Jangan menjadi
latah dalam mengambil pemahaman demokrasi tanpa memilah mana

12
yang lebih substantive dan mana yang hanya sekedar aksesoris, seperti
halnya pemahaman, pemikiran, dan tindakan keislaman selalu
disesuaikan konteks local dengan menghormati adat istiadat dan tradisi
masyarakat Indonesia. Beliau lebih menitikberatkan bahwa nilai yang
mendasari demokrasi adalah peranan manusia yang saling
menghormati dan memanusiakan manusia lainnya sehingga bias
melakukan kerjasama dalam menciptakan tatanan masyarakat yang
beradap demi kesejahteraan Bersama. Pemahaman beliau dalam
berdemokrasi tidak bertentangan dengan ajaran islam. Tidak hanya
berdemokrasi dalam lingkup Nasional, tetapi juga didalam tubuh
organisasi NU sendiri, misalnya ketika terjadi pertentangan antara
generasi mudah dan tua.
Ia memiliki ciri khas dalam memperjuangkan prinsip yang
diyakininya dalam membangun demokrasi. Selain mengedepankan
asas musyawarah dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi dalam
kehidupan sehari-hari, ia juga menekankan penyeimbangan antara nilai
toleransi dan prinsip.6

BAB III

KESIMPULAN

6
Jamal Ghofir, Biografi Singkat Ulama Pendiri dan Penggerak Nahdlatul Ulama: Pemikiran KH.
A. Wahab Hasbullah (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2012), 143

13
1. Peranan KH. Khalil didalam melahirkan NU tidak dapat diragukan lagi.
Hal ini didukung oleh kesuksesan salah satu muridnya, yaitu KH. Hasyim
Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian,
satu yang perlu digaris bawahi bahwa KH. Khalil bukanlah tokoh sentral
NU karena ketokohan di NU sangat melekat pada diri KH. Hasyim
Asy’ari. Pemikiran-pemikiran KH. Khalil Bangkalan yang masih dikenang
antara lain dalam bidang Tasawuf dan fiqih serta yang paling penting
adalah Dalam memperjuangkan akidah islam Ahlussunah wal jama’ah
semangat cinta tanah air, berkorban untuk tanah air, dalam mengusir
penjajah dari tanah indonesia kali ini tercermin dalam peran beliau
mendirikan jamiyah NAHDLATUL ULAMA pada tangal 31 Januari
1926.
2. KH. Hasyim Asy’ari merupakan sosok ulama yang sangat
mengedepankan Pendidikan. Sejak usia muda Ia telah melakukan
pengembaraan belajar mulai dari pesantren-pesantren di Jawa hingga ke
Makkah. KH. Hasyim Asy’ari termasuk ulama yang sangat produktif
didalam membuat karya seni tulis, mulai dari menulis kitab Fiqih, Hadis,
hingga Tasawuf. Sampai sekarang sebagian kitab-kitab karyanya masih
dipelajari di berbagai pesantren di Indonesia. Pemikiran-pemikiran KH.
Hasyim Asy’ari dalam Aswaja yang masih dikenang sampai saat ini antara
lain dalam bidang Tauhid, Tasawuf, Fiqih, Hadis, Pendidikan dan
Demokrasi.
3. Perjalanan Panjang perjuangan KH. A. Wahab Hasbullah dalam
berkhidmat pada agama, bangsa, dan organisasi NU tidak dapat dielakkan,
meskipun tidak banyak literatur yang memberikan catatan sejarah sepak
terjangnya yang menjadi penyemangat bagi kaum muda dalam melakukan
pengawalan terhadap keberlangsungan kehidupan beragama, berbangsa,
dan bernegara. Pemikiran-pemikiran KH. A. Wahab Hasbullah menjadi
pijakan bagi kaum mudah pada saat ini ddan menjadi referensi dalam
pengambilan kebijakan strategis organisasi. Pemikiran-pemikiran KH. A.
Wahab Hasbullah dalam Aswaja yang masih dikenang sampai saat ini

14
antara lain dalam bidang Pendidikan, Keagamaan, Pergerakan,
Nasionalisme, dan Demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

15
Ghofir, Jamal. 2012. Biografi Singkat Ulama Pendiri dan Penggerak Nahdlatul
Ulama. Yogyakarta: Aura Pustaka.
Hadi, Mahfudz. 2010. Berjuang Di Tengah gelombang. Surabaya: ELKAF.
Shihab, Alwi. 2009. Akar Tasawuf di Indonesia. Jakarta: Pustaka Iman.
Mulkam, Abdul Munir. 2000. Neo-Sufisme dan pudarnya fundamentalisme di
pedesaan. Yogyakarta: UII Press.

16

Anda mungkin juga menyukai