Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Syekh Nawawi al-Bantani merupakan sosok ulama yang masyhrur dan


produktif. Dalam berbagai uraian pemikirannya banyak mengemukakan ayat-ayat al-
Qur’ân, sunnah, dan pemikiran salaf al-sâlih, baik masa klasik maupun abad
pertengahan untuk memperkuat pendapatnya. Pemikirannya yang banyak mengutip
pikiran para ualam salaf, terutama dalam masalah ‘ubûdiyyah (ibadah), munâkahah
(pernikahan), dan lain-lain. Karangannya dalam masalah ‘ubûdiyyah banyak
diungkapkan dalam kitabnya Nihâyat al-Zain, Kâsyifah al-Syajâ, dan Qût al-Habîb
sebuah komentar dari kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb karya Ibn Qâsim alGhazzî. Salah
satu faktor yang membentuk pemikiran Syekh Nawawi adalah karena beliau tergolong
sebagai orang yang produktif dan komunikatif, di samping beliau adalah seorang
pumuda yang sudah hafal al-Qur’ân sejak usia 18 tahun. Di usia mudanya beliau
dikenal sebagai mufti mazhab Syâfi’î dan ahli dalam bidang ilmu fikih.

Syekh Nawawi tidak saja dikenal sebagai orang yang ahli dalam bidang fikih,
namun beliau ahli dalam bidang tasawuf, bahkan dalam kehidupan beliau mempunyai
tanda-tanda seorang wali, misalnya masalah tawakal beliau mutlak seorang sufi.
Faktor lain ialah, bahwa beliau tidak bisa terlepas dari kondisi dan tradisi. keilmuan di
Tanah Air tempatnya menunut ilmu sebelum pergi ke Makkah. Pada masa itu, yang
beliau temukan adalah tradisi fikih yang bermazhab Imâm Syâfi’î1 dan paham tauhid

1
Mazhab Syâfi'î adalah mazhab fikih dalam Sunni yang dicetuskan oleh Imâm Syâfi’î pada awal abad
ke-9. Pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh Imâm Syâfi'î, yang hidup pada zaman pertentangan
antara aliran Ahl alHadîts (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahl al-Ra'yi (cenderung
berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imâm Syâfi'î belajar kepada Imâm Mâlik sebagai tokoh Ahl
al-Hadîts di Madînah, dan Imâm Muhammad bin Hasan al-Syaibânî sebagai tokoh Ahl al-Ra'yi yang
juga murid Imâm Abû Hanîfah. Imâm Syâfi'î kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri,
yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imâm Syâfi'î menolak Istihsân dari
Imâm Abû Hanîfah maupun Masâlih Mursalah dari Imâm Mâlik. Namun Mazhab Syâfi'î menerima
penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imâm Mâlik. Meskipun berbeda dari kedua aliran
utama tersebut, keunggulan Imâm Syâfi'î sebagai ulama fikih, ushul fikih, dan hadits pada zamannya
membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama
yang beraliran Asy’ariyyah2 serta tasawuf Al-Ghazâlî3 yang memang sampai sekarang
masih sangat kental di Indonesia. Ciri khas karangan beliau banyak bicara soal hukum
Islam dan bermazhab Syâfi’î, kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
terutama masalah tarekat khususnya bagi masyarakat Banten. Pemikiran beliau
ternyata banyak sekali mengutip pikiran para ulama salaf. Terutama masalah yang
berkaitan pernikahan, ibadah dan lain-lain.

Dalam ilmu tasawuf beliau yang amat terkenal dengan posisi Allah dan manusia
terhadap manusia yang lain adalah amat berpengaruh.

Kumpulan doa-doa yang baik berasal dari kutipan ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits, yang
berisi doa-doa dipedomani oleh masyarakat apabila wirid-wirid dalam amalan-amalan
tertentu yang banyak diamalkan, adapula doa dan wirid beliau yang diangkat menjadi
syair dan dikumandangkan oleh para muslimin dan muslimat di masjid, di mushola-
mushola.4 Untuk menghargai jasa beliau khususnya bagi masyarakat Banten, setiap
tahun di Banten di daerah kelahirannya mengadakan upacara haul (peringatan hari
wafat) dan diprakarsai oleh keturunannya.

Kegiatan ini semacam ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Tanara Banten, acara
seperti ini biasanya sebagai acara resmi yang dihadiri oleh tokoh masyarakat dan para
ulama setempat. Beliau tidak hanya terkenal dengan ahli fikih saja, namun beliau juga
masuk dalam lapangan pendidikan khususnya Islam. Kemudian untuk mendukung
kelahiran dan nama Nawawi, masyarakat Banten mendirikan yayasan Pendidikan

yang hidup sezaman dengannya. (Lihat Ahmad Syurbashi, Biografi Empat Imam Mazhab, Terjemah
Dari Judul Asli “ Al-A’immah Al-Arba’ah” diterjemahkan oleh Abdul Majid Alimin, Laweyan Solo :
Media Insani Press, 2006, h. 225).
2
Asy'ariyyah adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imâm Abû al-Hasan ‘Alî al-Asy’arî
(w.324 H/936 M). Formulasi pemikiran Asy’arî, secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis
antara formasi ortodoks ekstrem pada satu sisi, dan Mu’tazilah pada sisi lain. Dari segi etosnya,
pergerakan tersebut memilki semangat ortodoks. Akutualitas formulasinya jelas menampilkan sifat
yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa seutuhnya untuk mengindarinya.
Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt dipengaruhi teologi Kullâbiyyah (teologi sunni yang
dipelopori Ibn Kullâb). (Lihat Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka
Setia, 2012, h. 147).
3
Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, h. 135.
4
https://paxdhe-mboxdhe.blogspot.co.id.
Islam dengan nama “Al-Nawawi” yang secara resmi berdiri 31 Januari 1979, dan
berkedudukan di Tanara.5 Pernyataan di atas adalah salah satu paradigma yang patut
di garis bawahi, bahwa Syekh Nawawi adalah sosok ulama yang patut diteladani baik
dari segi intelektual atau kesufiannya wawasan keilmuan beliau mencerminkan
seorang yang dicintai ilmu pengetahuan terutama adalah ilmu hukum Islam.

Hal ini dilihat pada hasil karyanya yang cukup banyak, semua ditulis pada hasil
karyanya yang menggunakan bahasa Arab. Selain gelar yang lain beliau juga seorang
penganut aliran kesufian, seluruh kehidupannya dihabiskan untuk mengabdi kepada
ilmu pengetahuan. Hal ini beliau lakukan semata-mata karena Allah, beliau akan
berusaha menjadi manusia yang selalu bertakwa. Syekh Nawawi memegang peran
sentral di tengah ulama al-Jawi. Dia menginspirasi komunitas al-Jawi untuk lebih
terlibat dalam studi Islam secara serius, tetapi juga berperan dalam mendidik sejumlah
ulama pesantren terkemuka.

5
Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara Disertai Pemikiran dan Pengaruh Mereka, h. 125.
BAB II PEMBAHASAN

A. CORAK PEMIKIRAN KALAM DAN KLASIFIKASINYA

Mengkaji aliran-aliran dalam ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya


memahami kerangka berpikir dan proses pengambilan keputusan para ahli kalam
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang
dimiliki pada setiap manusia, baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis
secara natural sangat distingtif.6 Oleh karena itu, perbedaan kesimpulan antara satu
pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam mengkaji objek tertentu, merupakan suatu
hal yang bersifat natural pula. Secara tradisional ‘Alî bin Abî Tâlib, dipercaya telah
meletakan dasar ilmu kalam melalui Nahj AlBalâghah yang memuat pembuktian-
pembuktian rasional tentang keesaan Tuhan, sesuai dengan al-Qur’ân dan hadits.

Sejak abad pertama, umat Islam telah menghadapi problemprobelem dan


pertanyaan-pertanyaan seperti antara iman dan amal, siapa yang selamat, sifat al-
Qur’ân, dan legitimasi otoritas politik, yang kesemuanya itu kemudian terkristalisasi
ke dalam struktur dan tema-tema kalam.7 Jika berbicara struktur pemikiran teologi,
menurut Amin Abdullah, secara umum ada tiga pola yang dipakai : deduktif, induktif,
dan abduktif. Pemikiran deduktif berpendapat, bahwa sumber pengetahuan dan segala
sesuatu yang dapat diketahui manusia adalah berasal dari ‘idea’, lebih jelasnya ialah
ide-ide yang telah tertanam dan melekat pada manusia secara kodrati. Ide tentang
kebaikan dan keadilan misalnya, menurut Plato, tidak dikenal lewat pengalaman
historis-empiris, akan tetapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa manusia sejak
azali. Mereka hanya perlu mengingat kembali (recollection) atas ide-ide tersebut.
Sebaliknya, pola induktif menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah realitas
empiris, bukan ide-ide bawaan. Realitas empiris yang berubah-ubah tersebut

6
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia 2012), h. 41.
7
Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, (Bandung : Mizan, 2003), 508.
kemudian ditangkap indera dan diabstraksikan menjadi konsep-konsep, rumus-rumus,
dan gagasangagasan yang disusun sendiri oleh pikiran.8

Pola pemikiran deduktif dan induktif tersebut dalam analisa sejarah


perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata masih dianggap tidak cukup memadai
untuk menjelaskan dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia.
Karena itulah, muncul pola pemikiran abduktif. Pemikiran abduktif menekankan
adanya unsur hipotesis, interpretasi, proses pengujian di lapangan atas rumus-rumus,
konsep-konsep, dalil-dalil, dan gagasan yang dihasilkan dari kombinasi pola pikir
deduktif dan induktif. Abduktif menguji secara krtitis terhadap seluruh bangunan
keilmuan termasuk di dalamnya rumusan ilmu keagamaan lewat pengalaman yang
terus berkembang dalam kehidupan sosial manusia.

Dari tiga pola pikir tersebut di atas, menurut Amin Abdullah pemikiran teologi
ternyata cenderung mengarah kepada model deduktif. Bedanya, pemikiran-pemikiran
yang lain dideduksikan dari teori, dictum dan konsep-konsep yang telah ada
sebelumnya yang semua itu masih merupakan hasil dari oleh pemikiran manusia
sehingga dapat dikritik dan dipertanyakan ulang tanpa rasa segan. Pemikiran teologi
dideduksikan dari teks-teks suci keagamaan (alnusûs al-dîniyyah), al-Qur’ân dan
hadits sehingga sulit untuk dipertanyakan, dikaji ulang atau dikritik, karena keduanya
dianggap suci dan sakral. Kebenarannya sudah dianggap begitu pasti, final dan tidak
bisa diragukan seperti kepastian atau aksioma ilmu-ilmu pasti. Akibatnya, produk-
produk rumusan teologi yang umumnya merupakan hasil pemikiran abad pertengahan
menjadi terkunci rapat, tertutup.

8
M. Amin Abdullah, Mencari Metode Pengembangan Teologi Islam (Sebuah Pengantar Buku
Teologi Islam Perspektif Al-Fârâbî dan Al-Ghazâlî, Oleh Khudori Sholeh), (Malang : UIN-MALIKI
PRESS, 2013). Lihat juga Zainun Kamal, Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika,
Pendahuluan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006).
1. Corak Kalam Rasional

Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua
macam, yaitu kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional. Metode
berfikir secara rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut ini9 :

a. Hanya terikat dengan dogma-dogma yang jelas dan tegas disebutkan dalam al-
Qur’ân dan hadits Nabi, yakni ayat yang bersifat qat’î (teks yang tidak
diinterpretasi lagi kepada arti lain, selain arti harfinya).
b. Memberikan kebebasan seutuhnya kepada manusia dalam berbuat dan
berkehendak.
c. Memberikan daya yang besar kepada akal.

Fokus dalam prinsip berfikir rasional adalah lebih dominannya peran akal
sehingga harus lebih ekstra keras berupaya untuk menanamkan suatu ajaran atau
konsep kepada orang lain. Jadi, dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu kalam,
akhirnya menjadikan pemikiran ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika yang lebih
bersifat spekulatif dan melampaui batas-batas kemampuan dan daya serap pikiran
manusia biasa.

2. . Corak Kalam Tradisional

Adapun metode berpikir kalam tradisional memiliki prinsipprinsip sebagai berikut:

a. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zannî (teks
yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfinya).
b. Tidak memberikan kebebasan yang dalam arti seutuhnya pada manusia dalam
berkehendak dan berbuat.

9
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990), 16-17.
c. Memberikan daya yang kecil (tetapi menganggap penting peranannya) kepada
akal.10

10
Razak, Abdul. dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, h. 43.
BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dalam tesis ini, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:

1. Tentang ilâhiyyah, Syekh Nawawi mengatakan bahwa Tuhan wajib esa pada
zat, sifat, dan juga perbuatannya. Keesaan Tuhan akan sempurna jika sudah
menafikan al-Kumûm alKhamsah (kamm muttasil fî al-dzât, munfasil fî al-
adzât, kamm muttasil fî al-sifât, kamm munfasil fî al-sifât, kamm munfasil fî
al-af’âl). Kemudian tentang kuasa dan kehendak Tuhan, Nawawi mengatakan
bahwa kuasa dan kehendak Tuhan bersifat mutlak. Tidak ada yang membatasi
Tuhan dalam kuasa dan kehendak-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan dan
keburukan. Selanjutnya tentang kalam Tuhan, menurutnya, kalam Tuhan
adalah sifat yang qadim/azali, tidak berhuruf dan suara, tidak tersusun dari
lafaz-lafaz dan kalimat. Al-Qur’ân yang dalam arti mushaf adalah hâdits (baru)
dan makhluk.
2. Tentang nubuwwah, menurut Nawawi, Tuhan tidak wajib mengutus Nabi dan
Rasul. Jika Tuhan tidak mengutus Nabi, bukan berarti Tuhan berbuat jahat,
tapi karena ada hikmah yang hanya Tuhan yang tahu. Mukjizat adalah sesuatu
yang diberikan Tuhan khusus untuk para Nabi dan Rasul, untuk melemahkan
orang yang menginkari kenabian dan kerasulan. Syafa’at adalah suatu
pengampunan dari Tuhan, Nabi dan Rasul juga bisa memberikan syafa’at bagi
umat mereka. Nabi dan Rasul terjaga dari perbuatan salah dan dosa, karena
jika 224 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani mereka
melakukan kesalahan dan dosa maka pastilah umatnya akan diperintah
melakukan yang mereka perbuat.
3. Hari kiamat adalah hal yang pasti, bagi siapa yang mengingkarinya maka
dihukumi murtad akidahnya. Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat
oleh orang-orang yang beriman tanpa tata cara seperti melihat di dunia. Surga
dan nereka telah diciptakan, dan wujud keduanya ada saat ini. Dan keduanya
juga bersifat kekal (dikekalkan Tuhan).
4. Secara garis besar dari tiga tema ilâhiyyah, nubuwwah dan sam’iyyah, kalam
Syekh Nawawi adalah bercorak kalam tradisional yang berpaham Asy’ariyyah
dan Mâturîdiyyah.
DAFTAR PUSTAKA

CORAK PEMIKIRAN KALAM SYEKH NAWAWI AL-BANTANI Ilahiyyah,


Nubuwwah, dan Sam’iyyah, (Cetakan: Ke-1 Maret 2018)

Anda mungkin juga menyukai