Anda di halaman 1dari 12

POKOK-POKOK PEMIKIRAN KALAM SALAF IBNU TAIMIYAH

MAKALAH
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Ibu Ulpah Maspupah M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 7 :


Kristal Melati 214110101038
Zilfah Raihani Elrizki 214110403025
Luthfiah Tri Yunita 214110403057
Wina Nur Aisyah 214110403059

3 PBA A
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan


banyak nikmat, rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “POKOK-POKOK PEMIKIRAN KALAM SALAF IBNU TAIMIYAH”
dalam mata kuliah Ilmu Kalam yang diampu oleh Ibu Ulpah Maspupah M.Pd.

Tersusunnya makalah ini tentunya banyak kekurangan dan kesalahan karena kurangnya
pengalaman dan wawasan saya sebagai pemula. Untuk itu, saya mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca untuk membangun dan menambah pengetahuan dan wawasan saya. Dan semoga
dibuatnya makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Purwokerto, 27 Oktober 2022

Pemakalah
A. PENDAHULUAN
Menurut Ibnu Taimiyah, kelompok salaf memiliki kekhasan yang
membedakannya dari kelompok-kelompok Islam lainnya. Dalam hal ini, Ibnu
Taimiyah membagi ulama dalam memahami akidah Islam ke dalam empat kategori.

Pertama, para filsuf. Mereka mengatakan bahwa Alquran datang dengan


metode instruksional dan premis-premis yang dapat diterima masyarakat. Mereka
menegaskan bahwa diri mereka adalah kelompok pakar di bidang argumentasi dan
keyakinan, sedang metode akidah adalah argumentasi dan keyakinan.

Kedua, para pakar ilmu kalam, yaitu Mu‘tazilah. Mereka mengemukakan


berbagai kesimpulan yang rasional sebelum mengadakan penalaran terhadap ayat-ayat
Alquran. Mereka berpegang pada dua bentuk argumentasi (naqlî dan ‘aqlî), tetapi
mereka mendahulukan penalaran rasional daripada dalil Alquran. Mereka
menakwilkannya sesuai dengan tuntutan akal, sekalipun mereka tidak keluar dari
akidah Alquran.

Ketiga, kelompok ulama yang mengadakan penalaran terhadap akidah yang


terdapat di dalam Alquran untuk diimani, dan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya
untuk digunakan. Dalil-dalil itu digunakan bukan karena merupakan dalil yang
memberikan petunjuk dan bimbingan yang mengarahkan akal untuk mencari berbagai
premis di sekitarnya, melainkan karena merupakan sejumlah ayat informatif yang
isinya wajib diimani, tanpa menjadikannya sebagai premis bagi istinbât} al-‘aqlî.

Keempat, kelompok orang yang beriman kepada Alquran, baik akidah maupun
dalilnya, tetapi mempergunakan dalil rasional di samping dalil Alquran itu.

Dari pembagian ini, Ibnu Taimiyah pun menegaskan bahwa kelompok salaf
tidaklah termasuk salah satu di antara empat kategori di atas, karena mereka
mempunyai metode (manhaj) tersendiri dalam rumusan-rumusan kalam-nya. Makalah
ini ingin membahas manhaj Salafî tersebut melalui pemikiran tokoh utamanya, Ibnu
Taimiyah.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Salaf
“Salaf” dalam Al-Qur’an, kata “salafa” dalam bentuk kata kerja lampau
sederhana yang bermakna telah lewat dan berlalu.1

Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau


"leluhur". Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf
terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para
pemuka abad ke-3 H dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas
para muhadditsin dan lainnya.

Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan


oleh para pakar mengenai arti salaf, di antaranya adalah Menurut As-Syahrastani,
ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat
mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antropomorphisme). Mahmud
Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’tabi’in
yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai
sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan
mengagungkan-Nya.

Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung menggunakan metode


pemikiran rasional, aliran salaf menggunakan metode tekstual yang mengharuskan
tunduk di bawah naql dan membatasi wewenang akal pikiran dalam berbagai
macam persoalan agama termasuk didalamnya akal manusia tidak memiliki hak dan
kemampuan untuk menakwilkan dan menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal
diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain adalah hanya untuk
membenarkan, menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak cocokan
antara riwayat yang ada dengan akal sehat.

Namun dalam penerapannya di kalangan para tokoh aliran ini sendiri, metode
ini tidak selalu membuahkan hasil yang sama. Hal ini disebabkan mereka tidak
luput dari pengaruh situasi kultural dan struktural pada masanya. Misalnya, di
kalangan aliran salaf ada golongan yang disebut al-Hasyawiyah, yang cenderung
kepada anthropomorfisme dalam memformulasikan sifat-sifat Tuhan, seperti

1
Imdad Rabbani, ‘Salafiyah: Sejarah Dan Konsepsi’, Tasfiyah, 1.2 (2017), 245
<https://doi.org/10.21111/tasfiyah.v1i2.1853>.
mereka berpandangan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang bersifat
mutasyabbihat harus dipahami menurut pengertian harfiyahnya. Akibatnya ada
kesan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti bertangan, bermuka, datang, turun,
dan sebagainya.

Pada hakikatnya, mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari perjuangan


pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah
yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar
inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof Islam dengan segala
metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak
ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik
secara global ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian
mengikutinya. Apa saja yang diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah
harus diterima, tidak boleh ditolak. Mengingkari hal ini berarti telah keluar dari
agama.2

2. Riwayat Singkat Ibnu Taimiyah


Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul
Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin
Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan
kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar
melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia
mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama
Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan
perjalanan haji moyangnya itu.

Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal
tahun 661 H. Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang
memberikan ruang gerak pada akal. Beliau adalah murid yang muttaqi, wara, dan
zuhud serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartar yang pemberani. Ia
dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan
hadits), faqih, teologi, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat.

2
Muhammadin, ‘ALIRAN KALAM SALAFIYAH Oleh : Muhammaddin 1’, April 2014, 2014, 1–12.
Ibnu Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun ia telah
dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah
hukum secara resmi. Para ulama merasa sangat risau oleh serangan-serangannya
serta iri hati terhadap kedudukannya di istana gubernur Damaskus karena telah
menjadikan pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah sebagai landasan untuk
menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah
sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah
dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.3

Meskipun berkali-kali masuk-keluar penjara, namun itu tidak menjadikannya


jera. Penjara tidak menyakitkan baginya. Justru pengalaman yang paling
menyakitkannya adalah ketika Mâlik ibn Nasr, atas perintah penguasa, pada tanggal
9 Jumadil Akhir menyita semua barang berharga miliknya berupa kertas, tinta, dan
pena serta kitab-kitab yang ditulisnya dalam jumlah kurang lebih 60 jilid dan 14
bundel catatan-catatannya yang ada di kamar penjaranya. Lima bulan kemudian
setelah menderita sakit selama dua puluh hari, ia meninggal dunia di dalam penjara
pada tanggal 20 Dzul Qa‘dah 728 H/26 September 1328 M. Jenazahnya diantarkan
oleh sejumlah besar penduduk Damaskus menuju makam, tidak kurang dari dua
ratus ribu laki-laki dan lima belas ribu perempuan.4

3. Karya-Karya Ibnu Taimiyah


Selain kegigihannya dalam menuntut ilmu, beliau juga memiliki karya-karya.
Adapun karya-karya Ibnu Taimiyah kurang lebih mencapai 500 jilid. Di antara
karyanya tersebut yang terkenal adalah :
1. Kitab al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin (jawaban terhadap para ahli mantiq)
2. Manhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah ( metode sunnah nabi)
3. Majmu' al-Fatawa (kumpulan fatwa)
4. Bayan Muwafaqat Sahih al-Ma’qul Sarih al-Manqul (uraian tentang kesesuaian
pemikiran yang benar dan dalil naqli yang jelas)
5. Al-Radd 'ala Hululiyyah wa al-Ittihadiyyah (jawaban terhadap paham hulul dan
ittihad)
6. Muqaddimah fi Usul al-Tafsir (pengantar mengenai dasar-dasar tafsir)

3
Muhammadin.
4
Izzuddin Washil and Ahmad Khoirul Fata, ‘PEMIKIRAN TEOLOGIS KAUM SALAFÎ: Studi Atas
Pemikiran Kalam Ibn Taymiyah’, ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 19.2 (2018), 315–42
<https://doi.org/10.18860/ua.v19i2.5548>.
7. Al-Radd 'ala Falsafah ibn Rushd (jawaban terhadap falsafah Ibn Rushd)
8. Al-Iklil fi al-Mushabahah wa al-Ta’wil (suatu pembicaraan mengenai ayat
mutasyabih dan ta’wil)
9. Al-jawab al-Sahih li Man Baddala Iman al-Masih (jawaban yang benar
terhadap orang-orang yang menggantikan iman terhadap al masih)
10. Al-Radd ‘ala al-Nusairiah (jawaban terhadap paham nusairiah)
11. Risalah al-Qubrusiyyah (risalah tentang paham qubrusiyah)
12. Ithbat al-Ma’ad (menentukan tujuan)
13. Thubut al-Nubuwwat (eksistensi kenabian)
14. Ikhlas al-Ra’i wa Ra’iyat (keikhlasan pemimpin dan yang dipimpin)
15. Al-Siyasah al-Shar'iyyah fi Islah al-Ra'i wa al-Ra'iyah (politik yang
berdasarkan syari'ah bagi perbaikan penggembala dan gembala). Kitab ini
merupakan kitab yang sangat penting, karena di dalam kitab ini menunjukkan
bahwa tujuan gerakan Ibnu Taimiyyah adalah memperbaiki moral dan sosial
dari segala kerusakan sebagai akibat dari malapetaka yang menimpa umat Islam
karena perang dengan Krusades dan juga serbuan dari bangsa Tatar.5

4. Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah


Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai
berikut :

1. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits).


2. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal.
3. Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama.
4. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (Sahabat, Tabi’in dan
Tabi’tabi’in).
5. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan-Nya.
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah
itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim maka kalamnya juga
qadim. Ibnu Taimiyah adalah seorang tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh
Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah, yakni menyerupakan Allah

5
Meriyati, ‘Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam’, Islamic Banking, 2.1 (2016), 23–34.
dengan makhlukNya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn
Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah:
1. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah
sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
a. Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu
binafsihi dan wahdaniyyat.
b. Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
c. Sifat Khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun
akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang
menyatakan bahwa Allah ada di langit, Allah di Arasy, Allah turun ke langit
dunia, Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak, wajah, tangan,
dan mata Allah.
d. Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada
makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.
2. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya
sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
3. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan :
a. Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafadz
(min ghoiri tashrif/ tekstual).
b. Tidak menghilangkan pengertian lafadz (min ghoiri ta’thil).
c. Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad).
d. Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati,
apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif).
e. Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat
makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).
Berdasarkan alasan di atas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat
Mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah
harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-
kan, tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk, dan tidak bertanya-tanya
tentangnya.
Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:
1. Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
2. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan
serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas
perbuatannya.
3. Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.6
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran dari Ibnu
Taimiyah, dalam hal ini berpikir masalah Ilmu Kalam atau Teologi, beliau
menjaukan hal-hal yang merejuk pada pemikiran seorang manusia. Beliau lebih
mengutamakan peran dari Al Qur’an dan Hadits. Seperti yang dijelaskan pada buku
“Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” karangan Yazid bin Abdul Qadir
Jailani menyatakan bahwa barang siapa yang pendapatnya sesuai dengan Al Qur’an
dan As-Sunnah mengenai aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf,
maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya
barang siapa yang pendapatnya menyalahi Al Qur’an dan As-Sunnah, maka ia
bukan seorang salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut
Tabi’in.

6
Muhammadin.
C. KESIMPULAN
Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau
"leluhur". Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf
terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para
pemuka abad ke-3 H dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para
muhadditsin dan lainnya.

Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan


oleh para pakar mengenai arti salaf, di antaranya adalah Menurut As-Syahrastani, ulama
salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat
mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antropomorphisme). Mahmud Al-
Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’tabi’in yang
dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-
sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan
mengagungkan-Nya.

Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin
Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim
Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah
dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar
melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati
isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak
saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji
moyangnya itu. Selain kegigihannya dalam menuntut ilmu, beliau juga memiliki karya-
karya yang kurang lebih mencapai 500 jilid.

Pemikiran Ibnu Taimiyah, dalam hal ini berpikir masalah Ilmu Kalam atau
Teologi, beliau menjaukan hal-hal yang merejuk pada pemikiran seorang manusia.
Beliau lebih mengutamakan peran dari Al Qur’an dan Hadits. Seperti yang dijelaskan
pada buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” karangan Yazid bin Abdul
Qadir Jailani menyatakan bahwa barang siapa yang pendapatnya sesuai dengan Al
Qur’an dan As-Sunnah mengenai aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman
Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya.
Sebaliknya barang siapa yang pendapatnya menyalahi Al Qur’an dan As-Sunnah, maka
ia bukan seorang salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut
Tabi’in.
DAFTAR PUSTAKA

Meriyati, ‘Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam’, Islamic Banking, 2.1 (2016), 23–34
Muhammadin, ‘ALIRAN KALAM SALAFIYAH Oleh : Muhammaddin 1’, April 2014, 2014,
1–12
Rabbani, Imdad, ‘Salafiyah: Sejarah Dan Konsepsi’, Tasfiyah, 1.2 (2017), 245
<https://doi.org/10.21111/tasfiyah.v1i2.1853>
Washil, Izzuddin, and Ahmad Khoirul Fata, ‘PEMIKIRAN TEOLOGIS KAUM SALAFÎ:
Studi Atas Pemikiran Kalam Ibn Taymiyah’, ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 19.2
(2018), 315–42 <https://doi.org/10.18860/ua.v19i2.5548>

Anda mungkin juga menyukai