Anda di halaman 1dari 17

POKOK PEMIKIRAN TEOLOGI HARUN NASUTION

MAKALAH
Di Susun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Ulpah Maspupah, M.Pd

Disusun Oleh :
Asri Nurfadilah ( 214110403008 )
Almina Nafisa Rahma ( 214110403077 )
Eva Nurkholifah ( 214110403051 )
Putri Sriady ( 214110101036 )

3 PBA A
PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2022
KATA PENGANTAR

Puja puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “POKOK PEMIKIRAN TEOLOGI HARUN
NASUTION” ini tepat waktu.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan


dan wawasan tentang pendidikan masyarakat dan agama bagi para pembaca
dan bagi penulis sendiri. Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data
sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal ilmiah dan informasi dari media
massa yang berhubungan dengan materi.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ulpah


Maspupah, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah “Ilmu Kalam” yang
telah memberikan pengarahan tentang tugas ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis harap, makalah ini dapat
memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan
kita mengenai pendidikan masyarakat dn agama.

Penulis menyadari penyusunan makalah ini masih jauh dari kata


sempurna, untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran
yang dimaksudkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Purwokerto, 14 November 2022

Penulis

2
A. PENDAHULUAN

Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia berkembang gerakan


modernisme secara drastis. Salah seorang tokoh pembaharuan (Islam)
Indonesia yang muncul pada abad ke-20 pasca tujuh puluhan adalah Harun
Nasution. Pemikiran teologi Harun Nasution memiliki kekhasan dan
keunikan dibandingkan dengan pemikiran teologi yang pernah ada dalam
dunia Islam pada umumnya dan di Indonesia khususnya.

Harun Nasution dalam pemikiran teologinya sangat menekankan


akal dan kebebasan manusia. Manusia melalui akalnya mampu mengetahui
dan mempertimbangkan baik dan buruk suatu perbuatan, kemudian dengan
kehendaknya sendiri manusia mengambil suatu keputusan, selanjutnya
dengan daya tersebut manusia dapat mewujudkannya dalam perbuatan
nyata. Terkait dengan itu, Harun mengedapankan konsepsinya tentang
keadilan tuhan. Dengan adanya keadilan itu, manusia diberi kebebasan
berkehendak dan berbuat. Harun berargumen, bahwa manusia akan
dihukum sesuai dengan perbuatan dan dosanya sendiri, begitupun
sebaliknya manusia akan diberi pahala ketika berbuat kebaikan.
Sungguhpun Harun menempatkan posisi manusia pada posisi bebas, tapi
kebebasannya itu tidaklah mutlak. Jika digunakan kerangka Abduh,
pernyataan Harun, identik dengan istilah Taqshir (kelalaian manusia) dan
al-Asbab al-Kauniyat (sebab-sebab alami, sunnatullah). Dua hal itu
nampaknya juga dipandang Harun sebagai pembatas kebebasan manusia,
sehingga jika manusia itu mengalami kegagalan dalam usaha untuk
mewujudkan rencananya, hal itu dikarenakan kekeliruannya dalam
menangkap dan memperhitungkan langkah-langkahnya, tidak sejalan
dengan sunnatullah, dan begitu pula sebaliknya.

Adapun faktor yang melatarbelakagi pemikiran Harun Nasution


antara lain dikarenakan : a). Pola keberagaman orang tua, b). Pendidikan di
MIK, c). Pendidikan di Mesir, dan d). Pendidikan di McGill.

3
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Teologi
Menurut Etimologi, kata teologi berasal dari bahasa Yunani, yang
terdiri dari dua kata yakni theos dan logos. Theos dalam bahasa Yunani
berarti Tuhan sedangkan logos berarti ilmu, wacana atau kata. Dengan
demikian, teologi bisa dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari segala
sesuatu yang berkaitan dengan ketuhanan. Sedangkan secara
terminologis, teologi merupakan ilmu yang membahas tentang Tuhan
dan segala sesuatu yang terkait dengannya, baik itu menyangkut
eksistensi, sifat dan kekuasaannya, hubungan Tuhan dengan manusia
ataupun manusia dengan Tuhan, juga termasuk di dalamnya hubungan
vertikal sesama manusia yang dilandaskan pada nilai-nilai norma dan
nilai kemanusiaan sesuai dengan perintah Tuhan (ajaran agama) kepada
manusia.1 Bagi setiap orang yang ingin mengetahui lebih dalam tentang
seluk beluk agamanya, perlu mempelajarai teologi yang terdapat dalam
agama yang dianutnya. Sseseorang yang mempelajari teologi akan
merasa keyakinan-keyakinannya lebih kuat dan tidak mudah terumbang
ambing oleh zaman.
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan
kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan
wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua persoalan
tersebut. Akal sebagai daya pikir yang ada dalam diri manusia, berusaha
keras untuk sampai kepada Tuhan. Wahyu sebagai pengkhobaran dari
alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan
dari Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. Dalam
arti lain komunikasi dari Tuhan kepada makhluknya.2
Di dalam islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi.
Ada aliran yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional, dan ada

1
Teologi Kerukunan and Muhammad Irfan, “Paradigma Islam Rasional Harun Nasution :
Membumikan” 1, no. 1 (2018): 109–27.
2
“Pemikiran Teologi dan Filsafat Harun Nasution serta Pengaruhnya Terhadap Perkembangan
Pembaharuan Islam di PTAI” 2015. Hal.2

4
pula yang mempunyai sifat antara liberal dan tradisional. Islam liberal
menjadi kontroversial karena membahas gagasan islam yang paling
liberal dalam pemikiran islam akhir-akhir ini. Selain itu, sering
dikonotasikan dengan Barat, sekular dan dipengaruhi cara pandang
orientalis. Perbincangan tentang diskursus islam liberal di Indonesia
tidak terlepas dari wacana Neo-Modernisme islam di Indonesia. Neo-
Modernisme adalah Suatu gerakan yang berakar dari modernisme islam
(abad ke-19 sampai awal abad ke-20). Secara Epistimologi, Neo-
Modernisme islam merupakan suatu gerakan intelektual yang berusaha
menjelaskan bagaimana islam menjawab tantangan modernitas dengan
menggunakan jawaban yang bersumber dari khasanah otentik dan
terbuka dalam berdialog dengan peradaban barat. Pemikiran Harun
Nasutin yang termasuk dalam salah satu pemikiran Neo-Modernisme
islam yaitu pemikiran rasionalnya. Harun Nasution berpandangan
bahwa islam bersifat rasionalis, bahkan sampai berobsesi untuk
membangun suatu teologi islam rasional yang menegaskan fungsi
wahyu bagi manusia, tentang sifat – sifat Tuhan dan seputar perbuatan
Tuhan terhadap manusia.

b. Biografi dan Lingkungan Sosial Harun Nasution


Harun Nasution lahir di Pematang Siantar Sumatera Utara pada
tanggal 23 September 1919. Ia merupakan anak keempat dan lima
bersaudara, Saudara tertuanya adalah Mohammad Ayyub, yang
kemudian disusul oleh Khalil, Saidah, dan adik perempuannya, Hafsah.
Ayahnya bernama Jabbar Ahmad, seorang ulama dan pedagang yang
berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadhi,
penghulu, kepala agama, hakim agama dan imam masjid di Kabupaten
Simalungun. Sementara ibunya juga seorang ulama dan anak seorang
ulama dan Mandailing Tapanuli dan semasa gadisnya pernah bermukim
di Mekah serta pandai bahasa Arab.

5
Pendidikan agama yang diterima Harun dimulai dari rumah. Sebagai
seorang ulama, ayahnya mengajarkan pada Harun berbagai pengetahuan
agama. Ibunya sebagai seorang wanita yang pernah bermukim di
Makkah dan memiliki pengetahuan agama juga mampu mengajari
Harun tentang berbagai ajaran agama, ini menjadikan kehidupan Harun
kecil dilingkupi dengan kehidupan pendidikan beragama. Hal ini
tergambar dalam ungkapan Harun:

“Di rumah aku belajar mengaji, dan belajar menulis Arab di sekolah
(HIS). Meskipun sekolah umum, namun pelajaran menulis Arab
diberikan, karena masyarakat pada waktu itu masih menggunakan
tulisan Arab Melayu. Di rumah aku belajar mengaji sejak pukul
empat hingga pukul lima sore, karena di HIS aku tidak diajarkan itu.
Seusai shalat maghrib, aku mengaji Qur’an dengan suara keras
sampai tiba waktu Isya’. Aku bisa menamatkan Qur’an sampai tiga
kali. Kalau bulan puasa, bertadarus di Masjid hingga pukul 12
malam. Setiap pagi aku bangun shubuh untuk shalat berjama’ah”.3
Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan, ditempuh oleh
Harun Nasution dengan memulai pada sekolah dasar milik Belanda,
Hollandsch Inlandsch School (HIS) selama 7 tahun dan selesai tahun
1934, yang pada waktu itu ia berusia 14 tahun. Selama belajar di
sekolah dasar ini, Harun Nasution berkesempatan mempelajari bahasa
Belanda dan ilmu pengetahuan umum. Setelah itu, ia meneruskan
studinya ke Moderns Islamietische Kweekschool (MIK), yaitu sekolah
guru menengah pertama swasta modern. Selama 3 tahun ia belajar
disana dengan pengantar bahasa Belanda.
Di sekolah inilah mulai terlibat data kritisnya terhadap hukum-
hukum Islam yang bertolak belakang dengan apa yang dianut oleh kedua
orang tua dan masyarakat sekitarnya. Pengetahuan umum yang
diperoleh Harun Nasution dari sekolah Belanda sudah cukup,
selanjutnya ia harus mendalami ilmu agama Islam di Mekkah. Tetapi,
setelah lebih dari kurang satu tahun lamanya berada di Mekkah, pada
tahun 1938, ia memutuskan untuk pergi ke Mesir. Kemudian pada tahun
1938, beliau hijrah ke Mesir melanjutkan pendidikannya di Al Azhar.4

3
Arifin, M. “Teologi Rasional Persepektif Pemikiran Harun Nasution”. Lembaga Kajian Konstitusi
Indonesia (LKKI) : Aceh. Cetakan 1 : April 2021. Hal. 14
4
Muhammad Basyrul Muvid, “Studi Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer,” Buku, (2020).

6
Di Universitas al-Azhar beliau mengambil fakultas ushuluddin.
Menjelang akhir studinya di Universitas al-Azhar, beliau memutuskan
untuk masuk ke Universitas Amerika yang ada di Kota Kairo. Pada saat
menjalankan studinya di Universitas Amerika itu, meletus perang dunia
yang menjadikan hubungan Indonesia-Mesir terputus akibat peralihan
penjajahan ke tangan Jepang. Akibatnya studinya di Universitas
Amerika terbengkalai, dan di Universitas al-Azhar harus di
tinggalkannya. Pada tahun 1962, Harun Nasution mendapat tawaran dari
HM Rasyidi untuk belajar di Institute of Islamic Studies McGill-
Kanada. Di Universitas inilah beliau merasa puas belajar dan mengkaji
tentang Islam. Hal yang berbeda yang ia dapat dari Universitas al-Azhar.
Setelah menyelesaikan studinya di Universitas McGill, beliau
mendapatkan tawaran kerja dari IAIN dan UI di Jakarta. Namun beliau
memilih IAIN Syarif Hidayatullah-Jakarta sebagai tempat ia
mengabdikan diri sebagai dosen pada tahun 1969. Harun Nasution
mencurahkan perhatian dan pemikirannya pada pengembangan
pemikiran Islam melalui institusi pendidikan yaitu IAIN. Harun
Nasution juga pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Jakarta atas
penunjukan Menteri Agama saat itu untuk mengantikan rektor lama,
yaitu Thaha Yahya kerena sakit dan terserang lumpuh. Melalui
jabatannya sebagai rektor, maka langkah pertama yang dilakukan beliau
adalah mengubah kurikulum. Walaupun langkah tersebut mendapat
pertentangan, namun akhirnya idenya mengadakan pembaharuan
kurikulum terlaksana setelah berdiskusi dengan beberapa orang rektor
sebelumnya.
Harun Nasution adalah salah seorang tokoh pembaharuan Islam
yang paling berpengaruh di lingkungan Islam terpelajar Indonesia. Oleh
banyak kalangan, sosok Harun Nasution lebih dikenal sebagai seorang
intelektual Muslim yang liberal. Ia banyak menawarkan cara pandang
yang rasional, terbuka dan ilmiah terhadap kajian-kajian keislaman,
seperti yang ia tuangkan dalam beberapa karyanya yang banyak
dikonsumsi kalangan IAIN. Dalam kerangka liberal seperti itulah,
Harun Nasution mengembangkan tradisi studi-studi Islam, khususnya di
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang lebih menekankan nilai-nilai
akademis dan pendekatan rasional.5
c. Pokok Pemikiran Harun Nasution
Terdapat beberapa pokok pemikiran yang diungkapkan oleh
Harun Nasution diantaranya adalah sebagai berikuut:

5
Kerukunan and Irfan, “Paradigma Islam Rasional Harun Nasution : Membumikan.”

7
a. Peranan akal
Bukankah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih
problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai
bahan kajian disertasinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada.
Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu aliran
sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang
tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution
menulis, “Akal melambangkan kekuatan manusia karena akallah,
manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan
makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah
tinggilah kesanggupanya untuk mengalahkan makhluk lain.
Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah pulalah
kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.”
Sebagai seorang pemikir dan pembaru di Indonesia, Harun
Nasution telah membuka cakrawala berpikir umat Islam untuk tidak
berpandangan sempit dan tradisional. Menurutnya, pandangan
sempit dan tradisionalisme tidak dapat berjalan sejajar dengan
modernisasi, bahkan bertentangan dengannya. Usahanya dalam
mengembangkan sikap inklusivisme dalam Islam, menimbulkan
kontra bagi mereka yang berpikir tradisional.
Dalam mengemukakan paham rasionalnya, Harun Nasution
menganggap akal sebagai lambang kekuatan manusia. Islam
memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, sebab manusia
memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan baik-buruknya
perbuatan, dapat menentukan kehendaknya sendiri dan mewujudkan
apa yang dikehendakinya. Manusia adalah makhluk yang dinamis
lagi aktif dan bukan makhluk pasif, yang menyerahkan masa
depannya kepada nasib dan perkembangan zaman.
Dalam ajaran Islam, pemakaian akal tidaklah diberikan
kebebasan mutlak, sehingga pemikir Islam dapat melanggar garis-
garis yang telah ditentukan Alquran dan Hadis, namun tidak pula
diikat dengan ketat. Bagi Harun Nasution, kata-kata rasional,
rasionalisme, dan rasionalis dalam Islam harus dilepaskan dari arti
kata sebenarnya, yaitu percaya kepada rasio semata-mata dan tidak
mengindahkan wahyu.
Jika suatu aliran memberikan kekuatan yang besar kepada
akal aliran tersebut bercorak rasional dan yang bercorak rasional itu
ditampilkan oleh Mu’tazilah, maka Harun Nasution sering dituduh
sebagai “Neo Mu’tazilah” di Indonesia.
Bagi Harun wahyu tidak pernah bertentang dengan akal. Di
samping itu pemakaian kata-kata rasional, rasionalisme dan
rasionalis dalam Islam harus dilepaskan dari arti sebenarnya yaitu
percaya kepada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu

8
atau membuat akal lebih tinggi dari pada wahyu sehingga wahyu
dapat dibatalkan oleh akal. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu
yang mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk menginterpretasi teks
wahyu. Menurut Harun untuk mengadakan pembaharuan dalam
Islam harus dibedakan antara ajaran yang qath’iy dan zhanniy,
antara absolut dan relatif. Ajaran absolut tidak bisa dikembangkan
sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman yang
harus tunduk kepada ajaran absolut. Persoalan yag tidak absolut
berarti tidak qath’iy al-dalalah melainkan zanniy al-dalalah. Di sini
wilayah pembahruan pemikiran yang penafsirannya dapat
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Itulah sebabnya Harun Nasution menyodorkan pendekatan
vertikal terhadap perbedaan pendapat tentang teks wahyu yang
zanniy al-dalalah, bukan pendekatan horisontal, sebab akan
melahirkan perbedaan-perbedaan yang besar dan akan muncul
kesimpulan bahwa salah satu dari ijtihad itu yang benar, sedangkan
yang lain salah dan bukan Islam. Akan tetapi dengan pendekatan
vertikal, karena sumber dari perbedaan pendapat tersebut adalah
sama yakni Alquran dan Hadis maka semua itu tetap berada dalam
kebenaran meskipun berbeda dalam penafsiran dan perincian.
Harun Nasution menilai bahwa dalam pemikiran Islam, baik
dalam bidang filsafat, teologi, dan fikih, akal tidak pernah
membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu dan
sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi
interpretasi terhadap teks wahyu, sesuai dengan kecenderungan dan
kesanggupan pemberi interpretasi.
Dalam sejarah pemikiran Islam, yang dipertentangkan
sesungguhnya bukan akal dan wahyu oleh para teolog, filosof, dan
fuqaha’. Pertentanga mereka mengenai penafsiran tertentu dari teks
wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu yang sama. Dengan
kata lain, yang bertentangan adalah pendapat ulama tertentu dengan
pendapat ulama lainnya mengenai penafsiran terhadap ayatayat
Alquran dan teks Hadis.
Menurut Harun Nasution, ijtihad merupakan salah satu unsur
terpenting dalam ajaran Islam, bahkan menjadi kunci dinamika
Islam. Sejarah telah membuktikan bahwa sejak pintu ijtihad tertutup
oleh ulama-ulama pertengahan abad IV H, Islam mengalami
kemunduran dalam segala bidang. Namun, bagi orang Eropa yang
mengambil alih jiwa ijtihad yang rasional mengalami kemajuan
yang sangat pesat. Begitu pentingnya ijtihad tersebut, ia
menempatkannya sebagai sumber ajaran Islam yang ketiga setelah
Alquran dan Hadis.

9
Bagi Harun Nasution, masyarakat Indonesia masih banyak
dipengaruhi oleh teologi corak tradisional. Penghargaan terhadap
akal sebagai anugerah Tuhan belum cukup memadai. Karena paham
qadha dan qadar masih banyak terdapat di kalangan masyarakat.
Karenanya, yang terpenting dalam pembangunan agama adalah
upaya mengubah sikap mental tradisional menjadi sikap mental
rasional. Sikap yang disebutkan terakhir inilah yang dapat
menumbuhkan semangat intelektualisme, sehingga berbagai
persoalan yang timbul akan mudah dihadapi dan diantisipasi.
Tema Islam agama rasional dan dinamis sangat kuat
bergema dalam tulisantulisan Harun Nasution, terutama dalam buku
Akal dan Wahyu dalam Islam, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah,
Analisa Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional Muhammad Abduh. Dalam ajaran Islam, akal mempunyai
kedudukan tinggi dan banyak di pakai, bukan dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaan islam sendiri. Pemakaian
akal dalam islam di perintahkan Al-Quran sendiri. Bukankah tidak
ada dasarnya kalau ada penulis-pennulis, baik di kalangan islam
sendiri maupun di kalangan non-islam, yang berpendapat bahwa
Islam adalah agama rasional.
b. Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi, yang menjadi predikat Harun
Nasution, pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa
keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga
dimana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” pada teologi
mereka. Pandangan ini, (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al-
Afghani, Sayid Amer Ali dan lainnya) yang memandang perlu untuk
kembali pada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung
pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional,
pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib
mereka menuju berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak
heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi
dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.
c. Hubungan akal dan wahyu
Wahyu bersal dari kata al-wahy, dan al-wahy adalah kata asli
Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti
suara, api dan kecepatan. Al-wahy selanjutnya mengandung arti
pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat. Tetapi, kata itu
lebi dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-
Nabi

10
Wahyu adalah tanda keadilan Allah, kebaikan dan kewajiban
Allah terhadap manusia, maka dari sudut manusia, Iman adalah
tanggapan manusia mengenai wahyu Tuhan. Karena itu, wahyu dan
iman merupakan dua entitas yang saling menanggapi. Wahyu Tuhan
baru benar-benar mempunyai arti jika ditanggapi oleh Iman
manusia. Pandangan Harun tentang perlunya berfikir rasional dalam
memahami agama, pada tataran tertentu mempertanyakan kembali
tentang konsep dan argumen dibalik paham dan praktek keagamaan
yang selama ini taken for granted. Di samping itu keinginan Harun
untuk mengajarkan agar umat Islam terbiasa dengan perbedaan
pendapat bahwa ternyata Islam mempunyai bermacam-macam
aspek, sering berhadapan dengan paham keislaman atau pemahaman
keislaman yang belum siap menerima keragaman paham keagamaan
paham keagamaan yang berkembang.
Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan
dan Nabi-Nabi, diberikan oleh Al-Qur’an surat As-Syura ayat 51.
Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian
atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam
dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang
menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan
penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan tidur. Ketiga
melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini
disampaikan dalam bentuk kata-kata.
Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW. Adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat-
ayat Al Quran surat Asy-syuara; 192-195. Filosof yang mempunyai
akal perolehan lebih rendah dari Nabi yang memperoleh akal
material atau hads. Dengan lain kata, filosof tidak bisa menjadi Nabi.
Nabi tetaplah orang pilihan Tuhan. Selanjutnya filosof hanya dapat
menerima ilham, wahyu hanya diberikan kepada Nabi-nabi.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat
dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari.
Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya
dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni
abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengun
menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha
pada pensucian jiwa.
AI-Farabi, filosof Islam yang hidup di abad kesembilan dan
kesepuluh Masehi, telah juga membawa konsep imateri berubah
menjadi materi ini dalam falsafat penciptaan alam semesta yang
dikenaI dengan falsafat emanasi atau pancaran sebagai telah
dijelaskan sebelumnya. Tuhan memancarkan akal-akal yang bersifat
abstrak murni dan akal seperti dilihat di atas adalah daya pikir. Salah

11
satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal
dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal
memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-
Quran. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu
sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak
menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu
kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan
wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap di
anggap benar. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu
sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi
interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam
sebenarnya bukan akal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari
teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi,
yang bertentangan sebenarnya dalam islam adalah pendapat akal
ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
d. Ajaran Dasar dan Nondasar
Yang dimaksud dengan ajaran dasar ialah ajaran yang
bersifat absolut; suatu ajaran yang tidak mengalami perubahan.
Ajaran nondasar ialah ajaran yang bersifat relatif, tersentuh
pemikiran, dan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi sosial
masyarakat. Menurut Harun Nasution, jika ingin melakukan
pembaruan, mesti harus dibedakan antara yang qath’iy dan zhanniy
sebagai kuncinya. Dalam ajaran Islam, ada hal-hal yang bersifat
mutlak dan tidak dapat berubah. Semetara itu, ada pula hal-hal yang
tidak bersifat mutlak, seperti penafsiran atau interpretasi dari yang
bersifat mutlak tadi, dan inilah yang dapat berubah.
Selama ini, umat Islam hanya mengenal dua macam nas,
yaitu qath’iy dan zhanniy, baik menurut wur-d (sumber) maupun
dallah (makna)-nya. Padahal menurut Harun Nasution, di samping
wur-d dan dallah nas, bisa juga dilihat dari sudut pelaksanaan-nya.
Dalam buku fikih, hukum yang qath’iy hanya sedikit jumlahnya.
Terdapat bagian tertentu dalam Alquran dan Hadis, yang tidak dapat
disesuaikan dengan zaman, dan itulah ajaran yang absolut. Sebagai
contoh, Harun Nasution menunjuk keharaman riba. Haramnya riba
bersifat absolut, tidak bisa disesuaikan dengan zaman. Jika ada yang
berpendapat bahwa riba tidak haram lagi karena sudah banyak yang
menjalankannya pada masa kini, maka pendapat semacam itu tidak
dapat diterima.
Persoalan yang relatif (zhanniy al-dalalah) menurut Harun
Nasution bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebagai
contoh, Alquran menyebut zhulumat al-tsalats (tiga kegelapan) yang

12
dihadapi anak dalam kandungan ibunya. Pada tafsir lama, arti tiga
kegelapan tersebut adalah rahim, perut, dan tulang belakang.
Tafsiran seperti ini tidak masuk akal, karena tulang belakang dan
perut hanya satu. Untuk ayat tersebut, sebaiknya ditelusuri melalui
embriologi. Oleh karena itu, keterangan seorang dokter yang
menafsirkan zhulumat al-tsalats yang terdiri atas rahim, omnion, dan
corion dapat diterima.
Di bidang akidah ditemukan pula absolut dan relatif. Sebagai
contoh yang relatif, Harun Nasution menunjuk point keenam dari
rukun iman, percaya kepada qadha dan qadar. Rukun ini membawa
masyarakat kepada sikap pasif dan pasrah, padahal dunia modern
menghendaki keaktifan dan dinamika. Karena hadis yang
menunjukkan poin tersebut berstatus zhanniy al-wurud, maka
sebaiknya point itu diabaikan. Menurutnya, rukun iman hanya lima,
sesuai dengan ketentuan dalam Alquran. Dalam Alquran, kata
qadhaina dan qaddarna memang disebutkan, tetapi tidak menunjuk
kepada rukun iman.
e. Pembaruan dalam Pendidikan di Indonesia
Gagasan pembaruan pendidikan yang ditawarkan Harun
Nasution bermula pada saat ia memangku jabatan sebagai Rektor
IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Salah satu gagasannya adalah
perubahan kurikulum, yang disebut sebagai kurikulum tahun 1973.
Dalam kurikulum ini, selain ilmu agama, filsafat, tasawuf, ilmu
kalam, sosiologi, dan metodologi riset dimasukkan sebagai mata
kuliah wajib. Tujuannya adalah untuk mengubah cakrawala berpikir
mahasiswa.
Dimasukkannya mata kuliah PIA (Pengantar Ilmu Agama)
dan filsafat, dimaksudkan untuk menjadikan mahasiswa tidak hanya
berpikir normatif saja, tetapi juga berpikir rasional. Jika kedua mata
kuliah tidak ada, maka mahasiswa akan kembali kepada pemikiran
yang normatif seperti masa lampau. Akibatnya, Islam tidak akan
maju.
Menurut Harun Nasution, pandangan sempit yang
berkembang pada masyarakat dewasa ini, harus diperluas dengan
mengubah pendidikan agama yang selama ini hanya dipusatkan
pada ajaran ibadah dan fikih. Dalam pendidikan agama tersebut,
harus ditambah dan diperbanyak dengan mata kuliah mengenai
dasar-dasar hukum Islam, perbandingan mazhab, teologi dengan
aliran-aliran yang terdapat di dalamnya, filsafat, mistisisme,
sejarahkebudayaan Islam. Dengan memperluas pandangan ini,

13
banyak hal yang selama ini dianggap bertentangan dengan Islam,
ternyata pada akhirnya tidak demikian.6

4. Karya-karya Harun Nasution


Harun nasution adalah salah satu tokoh muslim Indonesia
yang masih memberi pengaruh besar terhadap pemikiran tentang
islam yang ada di Indonesia. Pemikiran Harun Nasution tidak hanya
dalam teologi saja, akan tetapi ia juga banyak menggeluti bidang
filsafat, tasawuf dan banyak yang lainnya. Dalam karya-karyanya
Harun Nasution selalu menyebutkan hubungan antara akal dan
wahyu, dan ia melihat bahwa Islam sebenarnya sangat menjunjung
tinggi kedudukan akal. Karya-karya dari Harun Nasution sendiri
bisa dibilang tidak begitu banyak, terdiri dari tesis, disertasi dan
makalah-makalah yang disajikan pada tiap seminar atau kumpulan
ceramah-ceramah di setiap pengajian.
Adapun karya-karya Harun Nasution adalah sebagai berikut:

a. Teologi Islam, Aliran-Aliran dan Sejarah Analisa Perbandingan


Buku yang pertama Teologi Islam, terdiri dari 156 halaman. Buku
ini diterbitkan oleh Universitas Indonesia (UI-Press) pada tahun 1977.
Buku ini merupakan saripati dari disertasi Harun Nasution. Yang ingin
disampaikan dalam buku ini sebenarnya adalah bagaimana
memperkenalkan Islam secara mendalam dari aspek teologi. Buku ini
terdiri dari dua bagian, pertama, mengandung uraian tentang aliran serta
golongan-golongan teologi, di antaranya adalah Khawarij, Murji'ah,
Qadariyyah, Jabariyyah, Mu'tazilah, dan Ahl al-Sunnah wal al-Jama'ah.
Kedua adalah mengandung analisis dan perbandingan dari setiap aliran-
aliran. Yang diperbandingkan di sini bukanlah pendapat teologis antara
sistem teologi dan sistem aliran tetapi antara sistem teologi dengan
sistem teologi yang lainnya.
b. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam
Buku kedua adalah Falsafat dan Mistisisme dalam Islam terdiri dari
97 halaman, dan diterbitkan oleh Bulan Bintang pada tahun 1973. Isi
dari buku ini adalah kumpulan dari ceramah-ceramah yang disampaikan
oleh Harun kepada kelompok diskusi tentang agama Islam. Buku ini
membahas tentang filsafat dan mistisisme dalam Islam, filsafat Islam di
sini menguraikan bagaimana hubungan antara filsafat Islam dengan
ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang kemudian dapat melahirkan
filosof-filosof Islam seperti al-Kindi, al-Fârâbî, al-Ghazali dan lain
sebagainya. Sedangkan mistisisme sendiri menguraikan bagaimana

6
Syarif Rasywan, “Rational Ideas Harun Nasution,” Al-Risalah vol.21, no. No.1 (2021): 13–20.

14
kedudukan tasawuf dalam pandangan Islam untuk mendekatkan diri
pada Sang Maha Pencipta.
c. Falsafat Agama
Buku yang ketiga adalah Falsafat Agama diterbitkan oleh Bulan
Bintang pada tahun 1973. Buku ini merupakan kumpulan dari ceramah
dan kuliah-kuliah yang diberikan Harun Nasution pada mahasiswa IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku ini mencoba menjelaskan tentang
epistemologi dan wahyu, ketuhanan, argumen- argumen tentang adanya
Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan Tuhan.
d. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
Buku yang keempat adalah Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
terdiri dari dua jilid buku. Terjadinya faham seperti ini menurut Harun
karena dalam setiap kurikulum yang diajarkan khususnya di Indonesia
masih banyak memakai pengajaran seperti ibadah, fiqh, tauhid, tafsir,
Hadits dan bahasa Arab. Maka pemahaman tentang Islam sendiri hanya
dikenal dari segi ibadah, fiqh dan tauhid saja. Hal seperti ini yang
kemudian menimbulkan pandangan bahwa Islam itu bersifat sempit,
ditambah lagi dengan di antara umat Islam banyak yang berpatokan
pada satu madzhab saja. Adapun inti pembahasan dari dua buku ini
adalah menolak pemahaman yang menyebutkan bahwa Islam bersifat
sempit, dan Islam hanya dipahami dari aspek Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
e. Pembaharuan dalam Islam
Buku yang kelima adalah Pembaharuan dalam Islam, pembahasan
dari buku ini adalah tentang pemikiran dan gerakan pembaharuan dalam
Islam, yang terjadi pada zaman dahulu dan disebut dengan periode
modern dalam sejarah Islam. Adapun pembahasannya sendiri tercakup
pada pembaharuan yang terjadi di empat negara Islam, yaitu Mesir, yang
dibahas di sini ialah tentang pendudukan Napoleon dan pembaharuan
yang dikomandani oleh Muhammad 'Ali. Pada dasarnya pembaharuan
dan pemikiran yang terjadi di empat negara Islam ini, menurut buku ini
tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di negara-negara Islam lainnya.
f. Akal dan Wahyu dalam Islam
Buku ini menyimpulkan bahwa dalam Islam, akal mendapat tempat
yang tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan Islam saja.
Akal juga mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Akal tidak bisa membatalkan wahyu, akal
tetap tunduk terhadap teks wahyu yang mutlak dan dianggap benar.
Justru akal di sini berfungsi sebagai pembantu untuk memahami teks
wahyu dan bukan untuk menentangnya.

15
g. Muhammad 'Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah
Di antara isi buku ini adalah tentang riwayat hidup Muhammad
'Abduh, filsafat, kekuatan akal, fungsi wahyu, perbuatan Tuhan dan lain
sebagainya. Buku ini juga menerangkan bahwa pemikiran teologi
Muhammad Abduh tidak jauh berbeda dengan teologi yang diusung
oleh Mu'tazilah. Bahkan dalam penggunaan akal, Muhammad Abduh
berada di atas Mu'tazilah.
h. Islam Rasional
Buku ini memuat semua pemikiran Harun Nasution sejak dari tahun
1970- 1994, terutama mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam.
Dalam buku ini Harun berpendapat bahwa kemunduran umat Islam, tak
terkecuali di Indonesia lebih disebabkan lambatnya umat Islam
mengambil bagian dalam modernisasi dan dominannya pandangan
hidup tradisional, khususnya teologi Asy'ariyyah. Menurut Harun, umat
Islam harus mengubah pandangannya kepada yang lebih rasional
sebagaimana yang telah dikembangkan oleh teologi Mu'tazilah.7

D. Kesimpulan
Harun Nasution adalah salah seorang tokoh pembaharuan Islam
yang paling berpengaruh di lingkungan Islam terpelajar Indonesia. Oleh
banyak kalangan, sosok Harun Nasution lebih dikenal sebagai seorang
intelektual Muslim yang liberal. Ia banyak menawarkan cara pandang
yang rasional, terbuka dan ilmiah terhadap kajian-kajian keislaman,
seperti yang ia tuangkan dalam beberapa karyanya yang banyak
dikonsumsi kalangan IAIN. Dalam kerangka liberal seperti itulah,
Harun Nasution mengembangkan tradisi studi-studi Islam, khususnya
di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang lebih menekankan nilai-nilai
akademis dan pendekatan rasional.
Adapula beberapa pemikiran Harun Nasution yang telah kita ketahui
dari pemaparan materi diatas yakni, peranan akal, pembaharuan teologi,
hubungan akal dan Wahyu, Ajaran dasar dan nondasar, Pembaruan
dalam Pendidikan di Indonesia. Terdapat juga beberapa macam karya
yang sudah beliau bukukan dan Sudan mulai tersebarluaskan dalam
berbagai perpustakaan dan bisa dipelajari.

7
Khomaidi, Akal Dan Prespektif Harun Nasution, 2006.

16
Daftar Pustaka

Arifin, M. “Teologi Rasional,” 2015.

Kerukunan, Teologi, and Muhammad Irfan. “Paradigma Islam Rasional


Harun Nasution : Membumikan” 1, no. 1 (2018).

Khomaidi. Akal Dan Prespektif Harun Nasution, 2006.

Muvid, Muhammad Basyrul. “Studi Pemikiran Pendidikan Islam


Kontemporer.” Buku, no. Pemikiran Kontemporer (2020).

Syarif Rasywan. “Rational Ideas Harun Nasution.” Al-Risalah vol.21, no.


No.1 (2021)

17

Anda mungkin juga menyukai