Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MENGEMBANGKAN METODE PEMIKIRAN ISLAM


( BAYANI,IRFANI,BURHANI)

Disusun untuk memenuhi mata kuliah Pengantar Studi Islam


yang dibimbing oleh: Dr, Abdul Wahib,M.Pd.I

Oleh :
Kelas C2
1. ABD. HASIB (231101030063)
2. HIKMAH KAMILA SALSABYLA AZ (231101030065)
3. INTAN KURNIASARI (232101030002)
4. ROBIATUL ADAWIYAH (232101030009)

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Pengantar Studi Islam
yang diampu oleh Dr, Abdul Wahib, M.Pd.I dengan judul “Mengembangkan Metode
Pemikiran Islam (Bayani, Irfani, Burhani)”.

Dengan membuat tugas ini kami diharapkan mampu mengenal tentang


“Mengembangkan Metode Pemikiran Islam (Bayani, Irfani, Burhani)”, yang kami
sajikan berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Makalah ini kami buat sebagian
mengambil dari berbagai sumber yang ada kemudian saya ambil hal-hal yang penting
atau kami rangkum sesingkat mungkin.

Kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan dan kesalahan serta
masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan.

Jember 21, November 2023

Kelompok 11

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Tradisi Keilmuan Islam ............................................................................... 3
B. Konsep Nalar Bayani, Irfani dan Burhani ................................................... 5
BAB III PENUTUP
A, Kesimpulan………………………………………………………………..11
B, Saran………………………………………………………………………12
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tradisi keilmuan dalam Islam dijelaskan sebagai hasil dari tiga elemen
penting, yaitu kemampuan berpikir manusia yang menghasilkan sains dan
teknologi, kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik, ekonomi,
dan militer, serta kesanggupan berjuang untuk bertahan hidup. Tradisi keilmuan
dimulai dengan tafaqquh fiddin (konsisten dalam beragama), yang mencakup
kajian terus-menerus terhadap wahyu dan hadis Nabi Muhammad SAW.

Dalam konteks pendidikan Islam, materi kajian berkisar pada wahyu dan
hadis Nabi, berbeda dengan tradisi intelektual Barat yang mewarisi tradisi
Yunani. Tradisi keilmuan Islam memadukan aspek dunia dan akhirat, jiwa dan
raga, bukan peradaban yang memuja materi atau meninggalkan
materi.Selanjutnya, dalam makalah ini, konsep nalar Bayani, Irfani, dan Burhani
menjadi fokus. Nalar Bayani dijelaskan sebagai metode pemikiran yang
menekankan otoritas teks dan logika penarikan kesimpulan. Dalam konteks
tafsir, Bayani dipahami sebagai berbicara fashih atau mengungkapkan isi hati
dengan jelas.

Dengan demikian, makalah ini memberikan pemahaman yang


komprehensif tentang bagaimana tradisi keilmuan Islam berkembang dalam
konteks peradaban, dan bagaimana konsep nalar Bayani, Irfani, dan Burhani
memainkan peran penting dalam memahami dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dalam tradisi Islam.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, ditemukan beberapa rumusan
masalah, diantaranya adalah:
1. Apa Tradisi Keilmuan Islam?
2. Apa Konsep Nalar Bayani,Irfani dan Burhani ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa tradisi keilmuan islam
2. Untuk mengetahui konsep nalar bayani,irfani dan burhani

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tradisi Keilmuan Islam


keilmuan dalam Islam memiliki orientasi yang jelas, termasuk memberi kontribusi
yang baik dan maslahat bagi kemanusiaan. Inilah titik kunci ilmu sekaligus tradisi
keilmuan Peradaban Islam adalah suatu hasil akumulasi perjalanan pergumulan
penganut agama Islam ketika berhadapan dengan proses dialektis antara “normativitas”
ajaran wahyu yang permanen dan “historisitas” pengalaman kekhalifahan manusia di
muka bumi yang selalu berubah-ubah.1

wujud peradaban keilmuan merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting
antara lain : kemampuan manusia untuk berpikir yang menghasilkan sains dan teknologi,
kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik, ekonomi dan militer dan
kesanggupan berjuang untuk bertahan hidup. Peradaban keilmuan dalam Islam dimulai
dengan tradisi ilmu atau tafaqquh fiddin (konsisten dalam beragama) secara terus
menerus. Mulai dari turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW., proses interaksi
dan ideasi antar individu dan masyarakat yang senantiasa didasarkan pada wahyu. Di
lembaga pendidikan Islam, kandungan wahyu dan hadis-hadis Nabi dikaji dalam
kegiatan belajar mengajar dan objek kajiannya tetap berpusat pada wahyu yang betul-
betul luas dan komprehensif. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi
diskusi spekulatif seperti orang Barat yang mewarisi tradisi intelektual Yunani dan
bahkan kebudayaan yang tidak sesuai dengan tradisi keilmuan Islam. Tradisi keilmuan
dalam Islam adalah sebuah peradaban yang memadukan aspek dunia dan aspek akhirat,
aspek jiwa dan aspek raga. Ia bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula
peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda

1
Abdul Wahib, Pengantar Studi Islam, (Jember: Instititut Agama Islam Negeri Jember, 2020), 24.

3
dengan tradisi ilmu pada masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam
kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuan yang “tercela” harus
dikeluarkan dari daftar para ilmuan, sebab ia tidak menyatukan ilmu dengan amal. Dia
termasuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Diantara catatan
penting yang patut kita ambil, Pertama, peradaban Islam dibangun di atas ilmu yang
berbasiskan wahyu. Ilmu di dalam Islam berdimensi Iman. Ilmu dalam pikiran
menguatkan keyakinan yang tertanam di dalam hati yang diwujudkan dalam bentuk
perbuatan (amal) yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Kedua, ilmu perlu pewarisan
melalui sarana-sarana khas, dalam konteks kekinian misalnya, pesantren, sekolah dan
perguruan tinggi. Ia mesti disampaikan secara utuh untuk manusia lintas generasi. Ilmu
hanya mungkin terwariskan manakala ada segolongan orang yang memang dibentuk dan
memiliki kapasitas untuk melakukan pekerjaan besar semacam itu. Dalam konteks
pendidikan kita, maka guru dan dosen menjadi “model manusia” yang dapat dijadikan
teladan keilmuan dan amal oleh peserta didik. Ketiga, tradisi yang sesungguhnya; apa
manfaat dan maslahatnya untuk kemanusiaan.2

2
Rausyan Fikr,” ISLAM DAN TRADISI KEILMUAN” Vol. 19 no 1 Maret 2023 hal 108

4
B. Konsep Nalar Bayani,Irfani dan Burhani

1. Nalar Bayani

Nalar Bayani Kata Baydn yang terdiri dari huruf-huruf ba - ya - nun, secara
lughawi mengandung lima pengertian; l) al-washl, 2) al-fashl, al-bu'du dan al-
firaq, 3) alzuhur dan al-wuduh, 4) al-fashahah dan al-qudrah dalam menyampaikan
pesan atau maksud, 5) manusia yang mem-punyai kemampuan berbicara fashih
dan mengesankan.3

Bayani merupakan metode pemikiran yang menekankan otoritas teks (nash)


dan dijustifikasi oleh logika penarikan kesimpulan. Secara etimologis, kata bayan
berasal dari akar kata b-y-n, yang memiliki arti pisah atau terpisah
(alfashl/infishal) dan jelas atau menampakkan (azh-zhuhur/al-izhhar).4

Dalam wacana tafsir, kata Bayan ini dipahami oleh para mufasir dalam arti
yang berbeda-beda, yaitu dalam mengartikan kata Bayan yang ada dalam surat al-
Rahman ayat 4. Al-Alusi, misalnya dalam tafsir Ruh al-Ma'ani, menafsirkan Bayan
adalah berbicara fashih dalam mengungkapkan isi hatinya. Selain itu, al-Bayan
juga berarti kebaikan dan kejelekan, atau jalan petunjuk dan jalan kesesatan, atau
ilmu dunia dan ilmu akhirat, atau nama-nama segala sesuatu, atau juga berbicara
dengan bahasa yang bermacam-macam

Tidak jauh berbeda dengan pendapat ini adalah apa yang dikatakan oleh al-
Razi, yaitu bahwa Bayan adalah pandai berbicara sehingga orang lain dapat
memahaminya. Namun demikian, Bayan juga berarti al-Qur'an itu sendiri, karena
al-Qur'an juga disebut al-Bayan. Sementara itu, al-Syaukani memaknai Bayan
sebagai kebaikan dan kejelekan,dan bisa juga berarti penjelasan tentang yang halal
dari yang haram.

3
al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: Lkis, 2000), h.19-20.
4
Abdul Wahib, Pengantar Studi Islam, 24.

5
Imam al-Syafi'i mengklasifikasikan Bayan dalam al-Qur'an menjadi lima
tingkatan. 1) Bayan yang tidak memerlukan Bayan, karena sudah jelas dengan
sendirinya. 2) Bayan yang sebagiannya masih samar (mujmal) lalu dijelaskan oleh
sunah. 3) Bayan yang semuanya masih samar, dan kadang-kadang dijelaskan oleh
sunah. 4) Bayan sunah,yang mana kita wajib memeganginya karena Allah telah
memerintahkan kita agar taat kepada Rasulullah. 5) Bayan ijtihad, yang diperoleh
melalui qiyas terhadap apa yang sudah ada dalam al-Quran dan sunah. Inilah
klasifikasi Bayan dalam wilayah ushul al-fiqh.

Secara umum, Bayan sebagai epistemologi keilmuan Islam setidaknya


mempunyai tiga prinsip pokok.

Pertama, prinsip infishal (keterputusan dan ketidak saling berhubungan) yang


dibangun dari teori atomisme yang dilontarkan oleh Mu'tazilah dan kemudian
diadopsi oleh aliran Asy'ariyah. Sebagaimana diketahui teori ini menegaskan
bahwa segala sesuatu dan semua peristiwa di alam semesta ini secara substansial
bersifat terputus-putus. Tidak ada kaitan antara sesuatu dengan sesuatu yang
lainnya, antara peristiwa dengan peristiwa yang lainnya, dan termasuk juga dalam
hal perbuatan manusia tidak ada hubungan antara perbuatan yang satu dengan
perbuatan yang lainnya, kecuali melalui kehendak Ilahi. Dalam kerangka ini, teori
atomisme menafikan hukum kausalitas.

Kedua, prinsip tajwiz (keserbamungkinan). Sebagai konsekuensi teologis dari


prinsip infishal melahirkan prinsip keserbamungkinan ini. Karena kehendak dan
kekuasaan Allah itu tidak terbatas dan tidak ada yang membatasinya, maka secara
logis dimungkinkan untuk mengakui bahwa Allah bisa saja berbuat di luar hukum
kebiasaan atau hukum kausalitas. Allah bisa saja mempertemukan antara dua hal
yang bertentangan.Mempertemukan antara kain dengan api tanpa terjadinya proses
pembakaran pada kain tersebut, atau bisa juga menyatukan antara sifat mengetahui
sesuatu dengan kebutaan.

6
Kemudian prinsip yang ketiga adalah prinsip qiyas (analogi). Sebagaimana
telah disinggungsebelumnya bahwa qiyas berfungsi sebagai perangkat
metodologis, yaitu menganalogikan satu cabang hukum dengan hukum asal
sebagaimana berlaku dalam fiqh. Atau menganalogikan dunia gaib dengan dunia
nyata (istidlal bi al-syahid 'ala al-gha’ib) sebagaimana berlaku dalam tradisi
kalam.5

2. Nalar Irfani
‘Irfani merupakan bentuk mashdar dari verba ‘arafa yang berarti al-ma’rifah:
ilmu pengetahuan. ‘Irfani lebih dikenal sebagai terminologi mistik yang secara
khusus, yaitu pengetahuan tentang Tuhan. ‘Irfani merupakan kelanjutan dari
bayani. Jika bayani mendasari pengetahuan pada teks, ‘irfani mendasari
pengetahuannya pada kasyf atau ilham, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia oleh
atau karena Tuhan. Jadi, ‘irfani tidak diperoleh melalui analisis teks, tetapi dari
hati nurani yang suci sehingga Tuhan menyingkap sebuah pengetahuan.6
Dari sini dapat diambil perstilahan, bahwa „irfani adalah suatu pengetahuan
yang diperoleh melalui pencapaian dan penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada
hamba yang menjalani (salik) sehingga terbuka hakekat tersebut (kasyf) melalui
jalur olah rohani atau laku-jiwa yang didasarkan atas nama cinta atau mahabbah
(Yazdi, 1994:47).
Tradisi irfani pada dasarnya bersumber dari dalam Islam sendiri (Nicholson,
1998/8) Sebab, pada dasarnya Islam dalam ajarannya, terdapat suatu dimensi yang
mengandung unsur zahir yang mengambil pola pada ajaran syari‟at dan ada
dimensi lainnya yang mengandung unsur batin yang mengambil pola aspek
hakikat. Unsur hakikat inilah yang membentuk nalar „irfani atau gnostik. Di
samping bersumber dari Islam sendiri, menurut J.S. Tirmingham, tradisi 5
spiritualitas Islam atau „irfani juga mendapat pengaruh dari tradisi dan kebudayaan
lain waktu itu yang kemudian turut memperkaya sistem „irfani tersebut
(Tirmingham, 1971:2).
Kenyataan keterpengaruhan suatu konsep atau pemikiran di atas pada dasarnya
bisa dimaklumi. Sebab dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan bisa terjadi

5
Mubin, Fatkhul. "Nalar Bayani Irfani dan Burhani dan Implikasinya Terhadap Keilmuan Pesantren."
(2020).
6
Abdul Wahib, Pengantar Studi Islam, 24.

7
suatu tingkat keberlangsungan (contiunity) dan perubahan (change) dalam
keilmuan, termasuk tentunya tradisi irfani ini dalam proses pembentukannya.
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf,
di mana dialaminya suatu pengalaman ketersingkapan rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan (Oesman Bakar, 1998). Sumber dari nalar irfani adalah realitas pengalaman
(experience) yang ditemukan langsung oleh sang arif atau sufi sebagai kelompok
pendukung keilmuan dalam sistem nalar ini. Karena itu pengetahuan irfani tidak
diperoleh berdasarkan analisis teks dan pembuktian empiris, tetapi dengan olah
ruhani (Abdullah, 2005:208) di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan
akan melimpahkan (faidh) pengetahuan langsung kepadanya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa keunikan pengetahuan "irfani"
terletak pada sifatnya yang langsung. Karakteristik dari sifat langsung "irfani"
dalam memahami objeknya dapat dianalisis dalam beberapa aspek.
Pertama, pengetahuan "irfani" dapat dicapai melalui pengalaman langsung,
yakni dengan mengalami atau merasakan objeknya secara pribadi. Oleh karena itu,
nalar "irfani" disebut dzauqi (rasa) dari sudut pandang ini, bukan melalui penalaran
seperti yang dilakukan oleh nalar burhani. Sebagai contoh, pemahaman tentang
"cinta" tidak bisa hanya didapat dari literatur, melainkan melalui pengalaman
langsung. Tanpa pengalaman tersebut, pemahaman terhadap hakikat cinta tidak
akan tercapai.
Kedua, sifat langsung pengetahuan "irfani" dapat dilihat dari apa yang sering
disebut sebagai 'ilmu hudhuri. Pengetahuan "irfani" ditandai oleh kehadiran objek
di dalam diri subjek, disebut juga sebagai "presensial." Berbeda dengan
pengenalan rasional yang menggunakan simbol, kata-kata, atau rumus, pengenalan
"irfani" melampaui bentuk-bentuk simbol dan mencapai inti objek.
Ketiga, kelangsungan nalar "irfani" dapat terlihat dari pengalaman
"eksistensial." Akal cenderung meruangkan objek dan mengukurnya dengan
ukuran atau standar yang homogen, sementara nalar "irfani" mengenal objeknya
secara kasus per kasus. Ini membuat pengenalan "irfani" lebih akurat dan langsung
menyentuh objek-objek partikular dengan karakteristik dan keunikannya.
Untuk menggambarkan perbedaan ini, sufi meyakini bahwa pemahaman
"irfani," terutama terkait dengan hubungan sufi terhadap Tuhan, tidak bisa hanya
dicapai dengan membaca atau berdiskusi, melainkan melalui upaya membangun
hubungan yang memungkinkan jatuh cinta kepada-Nya.
Dalam konteks ini, penting untuk mencatat bahwa pengenalan "irfani" tidak
hanya melibatkan kategorisasi, melainkan juga pengalaman langsung dan

8
pemahaman objek secara intim. Pengenalan ini membuat nalar "irfani" lebih akurat
dan dapat memahami keunikan objek dengan segala karakteristiknya.
Secara umum, para sufi meyakini bahwa untuk mengembangkan kecakapan
nalar "irfani," seorang murid perlu terlibat dalam praktik langsung, seperti zikir,
yang dilakukan dengan tulus dan intensif untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Selain itu, pembersihan jiwa atau tazkiyah an-nafs juga diperlukan untuk membina
kecakapan nalar "irfani" melalui proses maqamat dan ahwal dalam terminologi
tasawuf. Ini melibatkan usaha membersihkan jiwa dari egoisme untuk mencapai
pengetahuan yang lebih benar dan meyakinkan.7
3. Nalar Burhani
Secara etimologis, burhani dalam bahasa Arab berarti bukti yang terperinci dan
jelas, dalam bahasa Latin koheren dengan kata demonstration yang berarti isyarat,
gambaran dan jelas. Menurut istilah logika, burhani dalam pengertiannya yang
sempit berarti cara berpikir yang mendalam untuk 25 memutuskan sesuatu melalui
metode deduksi (‘istintaj). Sementara dalam pengertian yang umum, burhani
berarti memutuskan sesuatu.8
Al-Burhani(demonstrative), secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu
aktifitas berfikir untukmenetapkan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui
pendekatan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan
proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik(badhihi).
Burhani adalah epistemologiyang didasarkan atas fakta yang disimpulkan,
bersumber dari pemikiran Yunani (khususnya Aristoteles), tapi dia tidak
hanya membatasi epistemologiini hanya terhadap orang-orang yang mendasari
analisanya pada logika. Perbedaannya dengan bayani yang membangun
pemahaman tentang dunia yang berdasarkan prinsip diskontiniunitas
kontingensi, dan irfaniyang mendasarkan pemahaman nya pada prinsip
korespondensi, maka sistem epistemologiburhaniberdasarkan sistem sebab-
akibat antara berbagai elemen, dengan demikian terciptalah gagasan tentang
hukum alam, Al-Jabiri menyamakan sistem berikut ini dengan rasionalisme.
Kebutuhan akan penggunaan metode burhani, didasarkan atas
tuntutan kebutuhan yang ada, bahwa saat muncul doktrin yang kurang lebih
bersifat hiterodok yangdatang dari Iran, Persia, India, atau daerah pinggiran
Syam seperti, Mazdiah, Manikiah, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam
itu sendiri sebgai akibat dari pencarin bebas yang berubah bentuk menjadi

7
Nasrullah” NALAR ‘IRFANI: TRADISI PEMBENTUKAN DAN KARAKTERISTIKNYA”2016 hal 6
8
Abdul Wahib, Pengantar Studi Islam, 2-25.

9
pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan yang lainnya yang
dikategorikan dalam istilah “zindiq”. Untuk menjawab serangan doktri-doktrin ini,
para sarjana musli merasa perlu mencari sistem berpikir rasional dan argumen-
argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya (bayani) tidak lagi
memadai untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang
belum dikenal sebelumnya
.Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio atau akal yang dilakukan lewat
dalil-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai
dengan logika rasional. Pendekatan ini menjadikan realitas teks maupun konteks
sebagai sumber kajian. Realitas tersebut meliputi realitas alam, sejarah, dan
sosial, maupun realitas budaya. Dalam epistemologiini teks dan konteks berada
dalam satu wilayah yang berkaitan, teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terkait
dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus konteks dari
mana teks itu dibaca dan ditafsirkan.
Menurut Al-Jabiri absennya rasionalisme berarti terjadinya pengingkaran
terhadap kausalitas, atau paling tidak hal tersebut memarjinalkannya sebagai
dasar berpikir yang diikuti secara ketat. Menurut Suhrawardi, kekurangan
rasionalisme burhaniantara lain adalah, pertama, bahwa ada kebenaran-
kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati oleh burhani, yang
kedua, ada eksistensi diluar pikiran yang bisa dicapai nalar tetapi tidak bisa
dijelaskan burhani, seperti soal warna dan bau, yang ketiga, prinsip burhani
menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut lain akan
menggiring pada proses tanpa akhir. Jelaslah deduksi rasionalitas dan demonstrasi
belaka tidak bisa menyingkap seluruh kebenaran dan realitas yang
mendasari semesta9

9
Hafizallah, Yandi, and Muhammad Abdul Wafa. "Pemikiran Abed Al-Jabiri Terhadap Nalar Arab:
Konsep Dan Relevansi." MAWA IZH JURNAL DAKWAH DAN PENGEMBANGAN
SOSIAL KEMANUSIAAN 10.1 (2019): 60-76.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Keilmuan dalam Islam memiliki orientasi yang jelas, yaitu memberikan


kontribusi yang baik dan manfaat bagi kemanusiaan.Titik kunci ilmu dalam Islam
adalah tradisi keilmuan yang memadukan aspek dunia, akhirat, jiwa, dan
raga.Peradaban keilmuan Islam berasal dari akumulasi tiga elemen penting:
kemampuan berpikir manusia, organisasi kekuatan politik, ekonomi, dan militer, serta
kemampuan berjuang untuk bertahan hidup.Tradisi ilmu dalam Islam dimulai dengan
tafaqquh fiddin (konsistensi dalam beragama), yang menekankan konsistensi dalam
beragama.
Metode pemikiran yang menekankan otoritas teks dan dijustifikasi oleh logika
penarikan kesimpulan.Memiliki lima tingkatan, termasuk Bayan ijtihad yang diperoleh
melalui qiyas.Prinsip infishal, tajwiz, dan qiyas menjadi dasar epistemologi keilmuan
Islam.Pengetahuan tentang Tuhan, diperoleh melalui kasyf atau ilham (tersingkapnya
rahasia-rahasia).Tidak didasarkan pada analisis teks, melainkan pada pengalaman
langsung dan olah rohani.Sifat langsung "irfani" melibatkan pengalaman, ilmu
hudhuri, dan pengalaman eksistensi.Berfokus pada bukti yang terperinci dan jelas,
menggunakan pendekatan deduktif.Berdasarkan sistem sebab-akibat, melibatkan
logika rasional dan dalil-dalil logika.Muncul sebagai respons terhadap doktrin-doktrin
baru dan membutuhkan argumen rasional.Masing-masing nalar memiliki peran dan
karakteristiknya sendiri dalam pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan
Islam, mencakup aspek teks, pengalaman langsung, dan argumen rasional.

11
B.SARAN
Dengan tersusunya makalah ini tentu terdapat banyak kekurangan baik dari segi
kepenulisan maupun dari segi materi dalam pemaparan.Oleh karena ini penulis
membutuhkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi tercapainya
kesempurnaan makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Muahammad Abed al-Jabiri, al-Turats wa al-Haddtsah: Dirasat wa Munaqasyat,


Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-'Arabi, 1991.

Mubin, F. (2020). Nalar Bayani Irfani dan Burhani dan Implikasinya Terhadap
Keilmuan Pesantren.

Wahib, Abdul. Pengantar Studi Islam. Jember: : Instititut Agama Islam Negeri
Jember, 2020.

Hafizallah, Y., & Wafa, M. A. (2019). Pemikiran Abed Al-Jabiri Terhadap Nalar
Arab: Konsep Dan Relevansi. MAWA IZH JURNAL DAKWAH DAN
PENGEMBANGAN SOSIAL KEMANUSIAAN, 10(1), 60-76.

Nasrullah” Nalar ‘Irfani: Tradisi Pembentukan Dan Karakteristiknya”2016 hal 3-6

Fikr Rausyan,” ISLAM DAN TRADISI KEILMUAN” Vol. 19 no 1 (Maret 2023)


hal 107-108

13

Anda mungkin juga menyukai