Anda di halaman 1dari 27

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu :
Dr. Ade Imelda, M.Pd.I

Disusun Oleh:
Diah Ayu Andina
NPM. 2013034039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan rahmat inayah, taufik
dan hidayahnya sehingga saya selaku penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang bertajuk ‘PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM
ISLAM’ ini tepat pada waktunya, untuk memenuhi tugas kuliah daring dimasa
pandemic ini.

Saya selaku penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca maupun penulis, sehingga dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan terhadap
makalah ini. Oleh kerena itu, saya selaku penulis meminta kepada pembaca untuk
memberikan masukan bermanfaat yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini agar dapat diperbaiki bentuk maupun isi makalah sehingga kedepannya
dapat menjadi lebih baik.

Dengan ini penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima
kasih dan semoga Allah SWT. memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan
manfaat.

Bandarlampung, 22 Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................................i

Daftar Isi ..................................................................................................................................ii

Bab I PENDAHULUAN .........................................................................................................1

1.1. Latar Belakang ............................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................................2

1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................................................2

Bab II PEMBAHASAN ...........................................................................................................3

2.1. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Islam .....................................................................3

2.2. Sumber, Sarana dan Metode Ilmu Pengetahuan .........................................................6

2.3. Klasifikasi Ilmu ..........................................................................................................7

2.4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam .......................................................11

A. Periode Awal Islam .............................................................................................11


B. Masa Umawiyah .................................................................................................14
C. Masa Abbasiyah ..................................................................................................16
D. Masa Modern ......................................................................................................17

Bab III PENUTUP .................................................................................................................19

3.1. Kesimpulan ...............................................................................................................19

3.2. Saran .........................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu pengetahuan merupakan seluruh aspek wawasan yang mendukung


peradaban (civilization) manusia semakin berkembang dan mutakhir. Mulai
kemahiran dalam bercakap yang disimbolkan dengan karya sastra, kemampuan
mendiagnosa terhadap suatu penyakit, sampai pada puncaknya pengetahuan ilmu
hitung bangun ruang atau yang lebih dikenal dengan ilmu eksak. Sehingga demikian
ini mampu mengantarkan kehidupan umat manusia kearah yang lebih sosial dan
bermasyarakat atau meminjam istilah Koentowijoyo, sebagai manusia yang
berperadaban (insân madaniy).
Dalam Islam, definisi ilmu pegetahuan terdapat beberapa pendapat ulama.
Bahkan Haji Khalifah menuturkan terdapat lima belas perbedaan pendapat mengenai
definisi ilmu pengetahuan, antara lain:
1. al-Ghazali mendefinisikan ilmu sebagai sebuah pemahaman seperti yang
terkandung di dalamnya (ma’rifat al-Syai’ alâ mâ huwa bih).
2. Ibn Hazm al-Andalusi, mendefiniskan ilmu sebagai meyakini sesuatu seperti
yang ada (tayaqqan al-sya’I bi mâ huwa ‘alaih).
3. al-Isfahani dalam karyanya mendefinisikan ilmu sebagai sebuah penangkapan
dari hasil persepsi seperti aslinya (idrâk al-Syai bi Haqîqatih).
4. Al Muhasibi, mengetahui sesuatu objek seperti yang ada (inkisyâf al-ma’lûm
bi mâ huwa ‘alaih).
5. Ibn Arabi, ilmu yaitu suatu yang dihasilkan oleh akal seperti wujud aslinya
(tahshîl al-qalb amr mâ alâ had mâ huma ‘alaih dzalik fî nafsih).

Sedangkan kata Islam berarti mengarah pada arti sebuah komunitas


kepercayan (monotheism) atau sebuah agama tertentu yang dipeluk pada umat
Muhammad (umat ijâbat). Penamaan agama ini sungguh jelas keberadaanya seperti
yang dijelaskan dalam kita suci Al-Qur’an. Berbeda dengan penamaan agama-agama
lain yang lebih edintik di atas namakan pada pembawanya. Islam—datang sebagai
ajaran, bukan hanya mengatur kehidupan-kehidupan paska meninggal (akhirat),
namun lebih penting dari itu, Islam juga sebagai ajaran yang menuntun pada
kehidupan manusia (way of life) ke arah yang lebih saleh. Sehingga Islam sangat
menganjurkan pemeluknya agar selalu mengembangkan pengetahuannya dalam
semua bidang.

Ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki karakteristik khas yang berbeda


secara fundamental dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan di Barat, baik landasan,
sumber, sarana, dan metodologinya. Dalam Islam, ilmu pengetahuan memiliki
landasan yang kokoh melalui al-Qur’ān dan Sunnah; bersumber dari alam fisik dan
alam metafisik; diperoleh melalui indra, akal, dan hati/intuitif. Cakupan ilmunya
sangat luas, tidak hanya menyangkut persoalan-persoalan duniawi, namun juga terkait
dengan permasalahan ukhrāwi.

1.2. Rumusan Masalah

Untuk membahas tentang perkembangan ilmu pengetahuan dalam islam,


seperti apa yang sudah di sebutkan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas
dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep ilmu pengetahuan dalam Islam ?


2. Apa saja yang mencakup sumber, sarana dan metode ilmu pengetahuan ?
3. Apa saja klasifikasi ilmu pengetahuan ?
4. Bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam ?

1.3. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan adanya perumusan masalah diatas, maka dapat disusunnya


tujuan penulisan sebagai berikut :

2
1. Dapat memberikan pemahaman mengenai konsep ilmu pengetahuan dalam
Islam.
2. Dapat memberikan pemahaman mengenai apa saja sumber, sarana, dan
metode ilmu pengetahuan.
3. Dapat memberikan pemahaman mengenai apa saja klasifikasi ilmu.
4. Dapat memberikan pemahaman mengenai bagaimana perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm (‘alima-ya’lamu-‘ilm), yang


berarti pengetahuan (al-ma’rifah),1 kemudian berkembang menjadi
pengetahuan tentang hakikat sesuatu yang dipahami secara mendalam. Dari
asal kata ‘ilm ini selanjutnya di-Indonesia-kan menjadi ‘ilmu’ atau ‘ilmu
pengetahuan.’ Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan
mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh (ijtihād) dari para ilmuwan
muslim (‘ulamā’/mujtahīd) atas persoalanpersoalan duniawī dan ukhrāwī
dengan bersumber kepada wahyu Allah.

Al-Qur’ān dan al-Hadīts merupakan wahyu Allah yang berfungsi


sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini adalah
petunjuk tentang ilmu dan aktivitas ilmiah. Al-Qur’ān memberikan perhatian
yang sangat istimewa terhadap aktivitas ilmiah. Terbukti, ayat yang pertama
kali turun berbunyi ; “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah
menciptakan”. Membaca, dalam artinya yang luas, merupakan aktivitas utama
dalam kegiatan ilmiah. Di samping itu, kata ilmu yang telah menjadi bahasa
Indonesia bukan sekedar berasal dari bahasa Arab, tetapi juga tercantum
dalam al-Qur’ān. Kata ilmu disebut sebanyak 105 kali dalam al-Qur’ān.
Sedangkan kata jadiannya disebut sebanyak 744 kali. Kata jadian
yang dimaksud adalah; ‘alima (35 kali), ya’lamu (215 kali), i’lām (31 kali), yu’lamu
(1 kali), ‘alīm (18 kali), ma’lūm (13 kali), ‘ālamīn (73 kali), ‘alam (3 kali), ‘a’lam (49
kali), ‘alīm atau ‘ulamā’ (163 kali), ‘allām (4 kali), ‘allama (12 kali), yu’limu (16
kali), ‘ulima (3 kali), mu’allām (1 kali), dan ta’allama (2 kali).

Selain kata ‘ilmu, dalam al-Qur’ān juga banyak disebut ayat-ayat


yang, secara langsung atau tidak, mengarah pada aktivitas ilmiah dan
pengembangan ilmu, seperti perintah untuk berpikir, merenung, menalar, dan
semacamnya. Misalnya, perkataan ‘aql (akal) dalam al- Qur’ān disebut
sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja
lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah:
”Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allah adalah mereka (manusia)
yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan akalnya”. Kata fikr (pikiran) disebut
sebanyak 18 kali dalam al-Qur’ān, sekali dalam bentuk kata kerja lampau dan 17 kali
dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah; “…mereka yang selalu
mengingat Allah pada saat berdiri, duduk maupun berbaring, serta memikirkan
kejadian langit dan bumi”. Tentang posisi ilmuwan, al-Qur’ān menyebutkan: “Allah
akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu beberapa derajat”.

Di samping al-Qur’ān, dalam Hadīts Nabi banyak disebut tentang aktivitas


ilmiah, keutamaan penuntut ilmu/ilmuwan, dan etika dalam menuntut ilmu. Misalnya,
hadits-hadits yang berbunyi; “Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim
dan muslimah” (HR. Bukhari-Muslim). “Barang siapa keluar rumah dalam rangka
menuntut ilmu, malaikat akan melindungi dengan kedua sayapnya” (HR. Turmudzi).
“Barang siapa keluar rumah dalam rangka menuntut ilmu, maka ia selalu dalam jalan
Allah sampai ia kembali” (HR. Muslim). “Barang siapa menuntut ilmu untuk tujuan
menjaga jarak dari orang-orang bodoh, atau untuk tujuan menyombongkan diri dari
para ilmuwan, atau agar dihargai oleh manusia, maka Allah akan memasukkan orang
tersebut ke dalam neraka” (HR. Turmudzi).

4
Besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik
perhatian Franz Rosenthal, seorang orientalis, dengan mengatakan:
”Sebenarnya tak ada satu
konsep pun yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban
Islam di segala aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu. Hal ini tetap
benar, sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam kehidupan
keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhîd” (pengakuan atas keesaan Tuhan), “al-
dîn” (agama yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara terus
menerus dan bergairah disebutsebut. Tak satupun di antara istilah-istilah itu yang
memiliki kedalaman dalam makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang sama
dengan kata ilmu itu.Tak ada satu cabangpun dalam kehidupan intelektual kaum
muslimin yang tak tersentuh oleh sikap yang begitu merasuk terhadap “pengetahuan”
sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi, dalam menjadi seorang muslim.”

Penjelasan-penjelasan al-Qur’ān dan al-Hadīts di atas menunjukkan


bahwa paradigma ilmu dalam Islam adalah teosentris. Karena itu, hubungan
antara ilmu dan agama memperlihatkan relasi yang harmonis, ilmu tumbuh
dan berkembang berjalan seiring dengan agama. Karena itu, dalam sejarah
peradaban Islam, ulama hidup rukun berdampingan dengan para ilmuwan.
Bahkan banyak ditemukan para ilmuwan dalam Islam sekaligus sebagai
ulama. Misalnya, Ibn Rusyd di samping sebagai ahli hukum Islam pengarang
kitab Bidāyah al-Mujtahīd, juga seorang ahli kedokteran penyusun kitab al-
Kullīyāt fī al-Thibb.

Apa yang terjadi dalam Islam berbeda dengan agama lain, khususnya
agama Kristen di Barat, yang dalam sejarahnya memperlihatkan hubungan
kelam antara ilmu dan agama. Hubungan disharmonis tersebut ditunjukkan
dengan diberlakukannya hukuman berat bagi para ilmuwan yang temuan
ilmiahnya berseberangan dengan “fatwa” gereja. Misalnya, Nicolaus
Copernicus mati di penjara pada tahun 1543 M, Michael Servet mati dibakar
tahun 1553 M, Giordano Bruno dibunuh pada tahun 1600, dan Galileo Galilei
mati di penjara tahun 1642 M. Oleh karena hubungan agama dan ilmu di
Barat tidak harmonis, maka para ilmuwan—dalam melakukan aktivitas
ilmiahnya—pergi jauh meninggalkan agama. Akibatnya, ilmu di Barat

5
berkembang dengan paradigma antroposentris dan menggusur sama sekali
paradigma teosentris. Dampak yang lebih serius, perkembangan ilmu menjadi
sekuler terpisah
dari agama yang pada akhirnya menimbulkan problema teologis yang sangat krusial.
Banyak ilmuwan Barat yang merasa tidak perlu lagi menyinggung atau melibatkan
Tuhan dalam argumentasi ilmiah mereka. Bagi mereka Tuhan telah berhenti menjadi
apapun, termasuk menjadi pencipta dan pemelihara alam semesta.

2.2. Sumber, Sarana, dan Metode Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan ilmiah merupakan segala sesuatu yang bersumber dari


alam fisik dan non-fisik. Dengan demikian menjadi jelas bahwa sumber
pengetahuan dalam Islam adalah alam fisik yang bisa diindra dan alam
metafisik yang tidak bisa diindera seperti Tuhan, malaikat, alam kubur, alam
akhirat. Alam fisik dan alam non-fisik sama bernilainya sebagai sumber ilmu
pengetahuan dalam Islam. Hal ini sangat berbeda dengan epistemologi Barat
yang hanya mengakui alam fisik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, sesuatu yang bersifat non-indrawi, non-fisik, dan metafisik tidak
termasuk ke dalam obyek yang dapat diketahui secara ilmiah.

Terdapat perbedaan antara Islam dan Barat. Dalam epistemologi


Islam, ilmu pengetahuan bisa dicapai melalui tiga elemen; indra, akal, dan
hati. Ketiga elemen ini dalam praktiknya diterapkan dengan metode berbeda;
indra untuk metode observasi (bayānī), akal untuk metode logis atau
demonstrative (burhānī), dan hati untuk metode intuitif (‘irfānī). Dengan
panca indra, manusia mampu menangkap obyek-obyek indrawi melalui
observasi, dengan menggunakan akal manusia dapat menangkap obyek-obyek
spiritual (ma’qūlāt) atau metafisik secara silogistik, yakni menarik
kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal yang telah
diketahui. Dengan cara inilah akal manusia, melalui refleksi dan penelitian
terhadap alam semesta, dapat mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya.
Melalui metode intuitif atau eksperensial (dzauq) sebagaimana dikembangkan
kaum sufi dan filosof iluminasionis (isyrāqiyah), hati akan mampu

6
menangkap obyek-obyek spiritual dan metafisik. Antara akal dan intuisi,
meskipun sama-sama mampu
menangkap obyek-obyek spiritual, keduanya memiliki perbedaan fundamental secara
metodologis dalam menangkap obyek-obyek tersebut. Sebab sementara akal
menangkapnya secara inferensial, intuisi menangkap obyek-obyek spiritual secara
langsung, sehingga mampu melintas jantung yang terpisah lebar antara subyek dan
obyek.

Jika ilmu pengetahuan dalam Islam bisa dicapai melalui tiga sumber/alat;
indra, akal budi, dan hati, maka dalam epistemologi Barat, pengetahuan ilmiah hanya
bisa diraih melalui indra dan akal. Penggunaan kedua alat ini sebagai sumber ilmu
pengetahuan didahului konflik tajam ilmuwan Barat selama kurang lebih dua abad.
Konflik tersebut tercermin dalam dua aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan
Empirisme. Rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes (1596-1650) berpandangan
bahwa sumber pengetahuan yang dipandang memenuhi syarat ilmiah adalah akal
budi. Akal merupakan satusatunya sumber pengetahuan yang benar. Pengetahuan
yang diperoleh melalui akal tidak mungkin salah. Sementara itu empirisme
berpendapat bahwa sumber satu-satunya pengetahuan manusia adalah pengalaman
indrawi, yakni pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan panca indra.
Dalam pandangan kaum empiris, panca indra memainkan peranan penting dibanding
akal budi karena; pertama, semua proposisi yang diucapkan manusia merupakan hasil
laporan dari pengalaman. Kedua, manusia tidak memiliki konsep atau ide apapun
tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman.
Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi apabila memiliki acuan ke realitas atau
pengalaman.

2.3. Klasifikasi Ilmu

Secara umum ilmu dalam Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga


kelompok yang meliputi; metafisika menempati posisi tertinggi, disusul kemudian
oleh matematika, dan terakhir ilmu-ilmu fisik. Melalui tiga kelompok ilmu tersebut,
lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan, misalnya; dalam ilmu-ilmu metafisika

7
(ontologi, teologi, kosmologi, angelologi, dan eskatologi), dalam ilmu-ilmu
matematika (geometri, aljabar, aritmatika, musik, dan trigonometri), dan dalam ilmu-
ilmu fisik (fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, dan optika).

Dalam perkembangan berikutnya, seiring dengan perkembangan zaman,


kemajuan ilmu pengetahuan, dan untuk tujuan-tujuan praktis, sejumlah ulama
berupaya melakukan klasifikasi ilmu. Al-Ghazālī membagi ilmu menjadi dua bagian;
ilmu fardlu ‘ain dan ilmu fardlu kifāyah. Ilmu fardlu ‘ain adalah ilmu yang wajib
dipelajari setiap muslim terkait dengan tatacara melakukan perbuatan wajib, seperti
ilmu tentang salat, berpuasa, bersuci, dan sejenisnya. Sedangkan ilmu fardlu kifāyah
adalah ilmu yang harus dikuasai demi tegaknya urusan dunia, seperti; ilmu
kedokteran, astronomi, pertanian, dan sejenisnya. Dalam ilmu fardlu kifāyah tidak
setiap muslim dituntut menguasainya. Yang penting setiap kawasan ada yang
mewakili, maka kewajiban bagi yang lain menjadi gugur.

Di samping pembagian di atas, al-Ghazālī masih membagi ilmu menjadi dua


kelompok, yaitu; ilmu syarī’ah dan ilmu ghair syarī’ah. Semua ilmu syarī’ah adalah
terpuji dan terbagi empat macam; pokok (ushūl), cabang (furū’), pengantar
(muqaddimāt), dan pelengkap (mutammimāt). Ilmu ushūl meliputi; al-Qur’ān,
Sunnah, Ijmā’ Ulamā’, dan Atsār Shahābāt. Ilmu furū’ meliputi; Ilmu Fiqh yang
berhubungan dengan kemaslahatan dunia, dan ilmu tentang hal-ihwal dan perangai
hati, baik yang terpuji maupun yang tercela. Ilmu muqaddimāt dimaksudkan sebagai
alat yang sangat dibutuhkan untuk mempelajari ilmu-ilmu ushūl, seperti ilmu bahasa
Arab (Nahw, Sharf, Balāghah). Ilmu mutammimāt adalah ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan ilmu al-Qur’ān seperti; Ilmu Makhārij al-Hurūf wa al-Alfādz
dan Ilmu Qirā’at.

Sedangkan ilmu ghair syarī’ah oleh al-Ghazālī dibagi tiga; ilmu-ilmu yang
terpuji (al-‘ulūm al-mahmūdah), ilmu-ilmu yang diperbolehkan (al-‘ulūm al-
mubāhah), dan ilmu-ilmu yang tercela (al-‘ulūm almadzmūmah). Ilmu yang terpuji
adalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan umat manusia seperti

8
kedokteran, pertanian, teknologi. Ilmu yang dibolehkan adalah ilmu-ilmu tentang
kebudayaan seperti; sejarah, sastra, dan puisi yang dapat membangkitkan keutamaan
akhlak mulia. Sedangkan ilmu yang tercela adalah ilmu-ilmu yang dapat
membahayakan pemiliknya atau orang lain seperti; ilmu sihir, astrologi, dan beberapa
cabang filsafat.

Ibn Khaldūn membagi ilmu pengetahuan menjadi dua kelompok, yaitu; ilmu-
ilmu naqlīyah yang bersumber dari syarā’ dan ilmu-ilmu ‘aqlīyah/ilmu falsafah yang
bersumber dari pemikiran. Yang termasuk dalam kelompok ilmu-ilmu naqlīyah
adalah; Ilmu Tafsir, Ilmu Qirā’ah, Ilmu Hadīts, Ilmu Ushūl Fiqh, Fiqh, Ilmu Kalam,
Bahasa Arab (Linguistik, Gramatika, Retorika, dan Sastra). Sedangkan yang termasuk
dalam ilmu-ilmu ‘aqlīyah adalah; Ilmu Mantiq, Ilmu Alam, Metafisika, dan Ilmu
Instruktif (Ilmu Ukur, Ilmu Hitung, Ilmu Musik, dan Ilmu Astronomi).

Al-Farābī mengelompokkan ilmu pengetahuan ke dalam lima bagian, yaitu;


pertama, ilmu bahasa yang mencakup sastra, nahw, sharf, dan lain-lain. Kedua, ilmu
logika yang mencakup pengertian, manfaat, silogisme, dan sejenisnya. Ketiga, ilmu
propadetis, yang meliputi ilmu hitung, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik,
dan lain-lain. Keempat, ilmu fisika dan matematika. Kelima, ilmu sosial, ilmu hukum,
dan ilmu kalam.

Ibn Buthlān (wafat 1068 M) membuat klasifikasi ilmu menjadi tiga cabang
besar; ilmu-ilmu (keagamaan) Islam, ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu alam, dan
ilmu-ilmu kesusastraan. Hubungan ketiga cabang ilmu ini digambarkannya sebagai
segitiga; sisi sebelah kanan adalah ilmu-ilmu agama, sisi sebelah kiri ilmu filsafat dan
ilmu alam, sedangkan sisi sebelah bawah adalah kesusastraan.

Konferensi Dunia tentang Pendidikan Islam II di Islam abad Pakistan tahun


1980 merekomendasikan pengelompokan ilmu menjadi dua macam, yaitu; ilmu
perennial/abadi (naqlīyah) dan ilmu acquired/perolehan (‘aqlīyah). Yang termasuk
dalam kelompok ilmu perennial adalah ; al-Qur’ān (meliputi; Qirā’ah, Hifdz, Tafsir,
Sunnah, Sīrah, Tauhid, Ushūl Fiqh, Fiqh, Bahasa Arab al-Qur’ān yang terdiri atas

9
Fonologi, Sintaksis dan Semantik), dan Ilmu-Ilmu Bantu (meliputi; Metafisika Islam,
Perbandingan Agama, dan Kebudayaan Islam). Sedangkan yang termasuk dalam ilmu
acquired adalah; Seni (meliputi; Seni dan Arsitektur Islam, Bahasa, Sastra), Ilmu-ilmu
Intelektual/studi sosial teoritis, (meliputi; Filsafat, Pendidikan, Ekonomi, Ilmu
Politik, Sejarah, Peradaban Islam, Geografi, Sosiologi, Linguistik, Psikologi, dan
Antropologi), Ilmu-Ilmu Alam/teoritis (meliputi; Filsafat Sains, Matematika, Statistik,
Fisika, Kimia, Ilmu-Ilmu Kehidupan, Astronomi, Ilmu Ruang, dan sebagainya), Ilmu-
Ilmu Terapan (meliputi; Rekayasa dan Teknologi, Obat-Obatan, dan sebagainya), dan
Ilmu-Ilmu Praktik (meliputi; Perdagangan, Ilmu Administrasi, Ilmu Perpustakaan,
Ilmu Kerumah tanggaan, Ilmu Komunikasi).

Nurcholish Madjid, cendekiawan muslim asal Indonesia, mengelompokkan


ilmu-ilmu keislaman ke dalam empat bagian yaitu; Ilmu Fiqh, Ilmu Tasawuf, Ilmu
Kalam, dan Ilmu Falsafah. Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan
hukum, Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan
keagamaan yang lebih bersifat pribadi, Ilmu Kalam membidangi segi-segi mengenai
Tuhan dan berbagai derivasinya, sedangkan Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang
bersifat perenungan spekulatif tentang hidup dalam arti seluas-luasnya. Termasuk
dalam lingkup Ilmu Falsafah adalah “ilmuilmu umum” seperti; metafisika,
kedokteran, matematika, astronomi, kesenian.

Klasifikasi ilmu-ilmu keislaman yang dilakukan para ilmuwan muslim di atas


mempertegas bahwa cakupan ilmu dalam Islam sangat luas, meliputi urusan duniawi
dan ukhrāwi. Yang menjadi batasan ilmu dalam Islam adalah; bahwa pengembangan
ilmu harus dalam bingkai tauhid dalam kerangka pengabdian kepada Allah, dan
untuk kemaslahan umat manusia. Dengan demikian, ilmu bukan sekedar ilmu, tapi
ilmu untuk diamalkan. Dan ilmu bukan tujuan, melainkan sekedar sarana untuk
mengabdi kepada Allah dan kemaslahatan umat.

10
2.4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Periodisasi sejarah dalam peradaban Islam secara garis besar terbagi tiga
bagian, yaitu fase klasik dimulai tahun 650-1250 M, fase pertengahan pada tahun
1250-1800 M, dan fase modern mulai 1800 sampai sekarang. Berikut kajian
perkembangan ilmu pengetahuan Islam dalam tiga periode, yaitu perkembangan ilmu
pada periode awal Islam, Umayah, Abbasiyah, dan modern.

A. Periode Awal Islam

Periode awal Islam sering juga disebut sebagai fase yang mana kitab suci Al-
Qur’an baru diturunkan di tengah-tengah umat manusia. Periode ini dimulai dari abad
ke 7 sampai abad ke 13 Masehi. Periode ini bermula dengan ditandainya kemajuan
kepustakaan Arab, pengajaran Islam dan penyebaran pokok-pokok peradaban Islam
(hadlârah Islâmiyyah) yang merangkul tiga unsur penting dalam peradaban, yaitu:
keagamaan (aqîdah), kesukuan (qabaliyyah), dan aristokratik (aristhuqrâthiyyah).

Corak perkembangan peradaban Islam pada periode ini lebih cenderung


meramu antara peradaban Islam dengan konsep-konsep imperium Timur sebelumnya,
baik dari sisi ekonomi maupun monoteistik yang telah ada. Kemajuan periode
tersebut ditandai dengan adanya kreativitas umat untuk mendirikan sebuah konsep
Negara baru dan institusi kemasyarakatan yang bisa berjalan selaras antara institusi
Negara dengan agama. Kemudian dari sini, lahirlah kebijakan-kebijakan baru dari
kepemimpinan setelah wafatnya Nabi Alaihisalam—masa khulafâ’ râsyidûn— yang
mampu membawa kebijakan Islam bisa diterima luas di seluruh kalangan.

Setelah islam mengalami ekspansi wilayah lebih luas, tentu pemeluk Islam
semakin banyak seiring bertambahnya waktu. Serta kehidupan masyarakat kian pesat
dan meningkat dalam sektor ekonomi. Pun para pemikir yang datang silih berganti
dari seluruh penjuru kota, menjadi faktor utama terhadap cikal bakal lahirnya ilmu
pengetahuan dalam Islam. Serta kemunculan permasalahan-permasaahan masyarakat

11
yang semakin komplek menuntut para khalifah turun langsung ke pemukiman warga
untuk mengajarkan Islam.

Dalam periode ini, perkembangan ilmu pengetahuan Islam lebih cenderung


kearah ilmu-ilmu syari’at (ulûm naqliyyah, ulûm syar’iyyah) dibanding ilmu-ilmu
logika (ulûm aqliyyah). Ilmu syari’at yang bertumpu paada sumber primer Islam, Al-
Qur’an dan Hadis, mampu menjawab permasalahan-permasalahn seputar ibadah
(‘ubudiyyah) paska sepeninggal Rasulullah Alaihisalam. Termasuk juga munculnya
ilmu qirâ’at yang erat kaitannya dengan cara membaca dan memahami kandungan
Al-Qur’an. Dalam rangka penyebaran ilmu qirâ’at ini, khalifah Umar mengirim
beberapa delegasi untuk menyebarkan bacaan yang benar. Antara lain, Muadz Ibn
Jabal ke Palestina, Ubadah Ibn Shamit ke kota Hims, Abu Darda’ ke Damaskus,
sementara Ubay Ibn Ka’b dan Abu Ayub tetap di Madinah.

Tokoh-tokoh besar di atas, di samping memeliki keahlian dibidang ilmu Al-


Qur’an, mereka juga ahli di bidang fikih (faqîh) ulung pada masanya. Sebab ilmu
fikih merupakan suatu ilmu yang mengupas tentang permasalaahn sehari-hari yang
bersumber utama dari Al-Qur’an dan Hadis. Makanya tidak heran ketika para ahli Al-
Qur’an tersebut juga ahli dalam ilmu fikih. Seperti halnya juga sahabat-sahabat lain
yang ahli Al-Qur’an juga ahli dalam fikih, yaitu: Umar Ibn Khatab, Ali Ibn Abi
Thalib, Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud, Anas Ibn Malik,
Muadz Ibn Jabal dan Abdullah Ibn Amru Ibn Ash.

Di samping perkembangan kajian ilmu naqliyyah pada abad ini berkembang


pesat, pemahaman ilmu aqliyyah juga sudah mulai dipandang serius oleh masyarakat
pada masa itu. Ilmu Nahwu (Arabic grammar) lahir dan berkembang pesat di dua
kota besar, yaitu Kufah dan Basrah. Sebab kota tersebut banyak di tempati orang-
orang yang berbahasa Persia serta kekayaan dialektika (lahjat) setempat. Dari sini,
Ali Ibn Abi Thalib melakukan pembinaan-pembinaan terhadap penduduk setempat
tentang kaidah-kaidah dasar Ilmu Nahwu. Kemudian lahirlah sosok pengumpul
kaidah-kaidah dasar ilmu Nahwu pertama, yaitu Abul Aswad Addu’ali yang termasuk

12
generasi pada masa kepemimpinan umayah. Tidak cukup perkembanagan Nahwu
saja, namun kemampuan orang Arab berotorika dengan apik yang dibungkus dengan
karya-karya sastra juga berkembang pesat pada masa ini. Kemampuan para penyair
pra Islam dan awal Islam (mukhadzram) ikut mewarnai dunia sastra pada periode ini.
Seperti, Hasan Ibn Tsabit, Ka’b Ibn Zuhair Ibn Abi Sulma, dan Hasan Ibn Tsabit.
Serta pidato-pidato (khithâbah) Ali Ibn Abi Tholib ikut serta memperkaya khazanah
sastra pada masa itu. Kemudian kumpulan pidato ini, belakangan dikemas menjadi
sebuah karya sastra agung yang berjudul Nahjul Balaghah (Zayyad, 2011).

Selain karya satra yang berkembang pesat di masa ini, kemajuan


pembangunan juga mengalami konstruksi yang amat pesat. Arsitektur dalam Islam
dimulai dengan berdirinya masjid-masjid yang dibangun sejak Rasulullah. Seperti
masjid Quba yang didirikan oleh Rasulullah ketika melakukan perjalanan hijrah
sebelum sampai di Madinah. Disamping itu juga terdapat Majid al-Haram yang
merupakan masjid besar yang dimiliki umat muslim sepanjang masa. Masjid ini
mulai diperluas saat Umar Ibn Khatab menjabat sebagai khalifah. Bangunan masjid
ini di kelilingi dengan tembok dari batu bata yang tersusun rapih yang menjulang
tinggi sekitar satu setengah meter. Namun masjid ini, mengalami pemugaran kembali
serta diperluas saat Usman Ibn Affan menjabat sebagai Khalifah.

Pembangunan dalam Islam juga mengalami perkembangan pesat di luar


Mekah. Seperti pembangunan kota Basrah pada tahun 14-15 H. dengan arsiteknya
Ubay Ibn Gazwah dan dibantu 800 pekerja lainnya. Dalam pembangunan kota ini,
khalifah Umar sendiri yang mengusulkan lokasinya yang berjarak 10 mil dari
pengaliran sungai Tigris supaya warga bisa memanfaatkan peraairan air sungai
dengan mudah.

Di Mesir, juga terdapat pembangunan sebuah kota yang bernama Fusthat.


Kota ini dibangun pada tahun 21 H. atas ketidak setujuan khalifah Umar untuk
Iskandariyah sebagai propinsi Mesir yang telah diusulkan gubernur Amru Ibn Ash.
Ketidak setujuan Khalifah Umar ini beralaskan adanya sungai Nil yang membatasi

13
kota tersebut dengan Madinah. Sehingga kota Fusthat dibangun di sebelah timur
sungai Nil yang sekarang ramai dengan rumah-rumah penduduk.

B. Masa Umawiyah

Sebutan Daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn Abdi Sayms Ibn
Abdi Manaf, salah satu seorang pemimpin suku Qurays pada zaman Jahiliyah (pra-
Islam). Bani Umayyah baru masuk Islam setelah Rasulullah berhasil menaklukan
kota Mekah (fathu makkah). Sepeninggalnya Rasulullah, Bani Umayyah bercita-cita
ingin mengganti jabatan Rasulullah sebagai khalifah. Namun keinginan itu tidak
mereka buka secara terang-terangan, lantaran khalifah yang ditunjuk langsung oleh
masyarakat yaitu Abu Bakar dan kemudian digantikan Umar Ibn Khatab. Setelah
diangkatnya Usman Ibn Affan sebagai khalifah, di sinilah Bani Umayyah mulai
menyebarkan misi-misinya untuk meletakkan dasar-dasar khilafah Umayyah. Dan
masa inilah, Umayyah berusaha sekuat tenaga untuk memperkuat posisinya agar bisa
menaklukan kota Syam tunduk di bawah kendalinya.

Ketika Ali Ibn Thalib menjabat sebagai Khalifah menggantikan Usman,


Mu’awiyah selaku gubernur di Syam membentuk kekuatan partai yang sangat kuat,
serta membangkang pada seruan-seruan Ali di Madinah. Kemudian Mu’awiyah
mendesak Ali agar membalaskan dendam terhadap pembunuh Usman, atau kalau Ali
tidak bergerak, maka Mu’awiyah mengancam akan menyerang kedudukan khilafah-
khilafah dengan bantuan kekuatan tentara Syams. Kemudian peristiwa ini meledak
dalam suatu pertempuran yang kemudian dikenal dengan perang Shiffin (37 H/657
M).

Demikian ini sisi gelap yang tercatat sejarah yang pernah melekat pada
kepemimpinan Bani Umayyah. Namun terlepas itu semua, banyak sekali kemajuan-
kemajuan kekuasaan yang di bawah kepemimpinan mengalami kemajuan yang amat
pesat. Seperti peran Ali al-Qali yang berhasil membumikan bahasa Arab di Andalusi,
Cordova. Pada tahun 330 H/ 941 M. ia memenuhi undangan Al-Nashir untuk
menetap di Cordova dan mengembangkan ajaran Nahwu sampai akhir hayatnya (358

14
H/ 969 M). Ali Al-Qali banyak sekali meninggalkan karya-karyanya yang sanagt
bermanfaat di Cordova dan yang menjadi cikal bakal berkembangnya Bahasa Arab di
sana. Karangannya antara lain, al-Amâli dan al-Nawâdlir.

Tokoh lain di bidang Fikih yang tidak kalah terkenal di Andalusia antara lain,
Abu Bakar Muhammad Ibn Marwan Ibn Zuhr (422 H). Ia merupakan sosok
sastrawan besar pada masanya yang pernah ada di Andalusia. Selain itu, Abu
Muhammad Ali Ibn Hazm (455 H). yang memiliki karya al-Fashl; fi al-Milâl wa al-
Ahwâ’ wa al-Nihal yang merupakan masterpiece yang fenomenal hingga saat ini.
Semula Ibn Hazm menganut mazhab Syafi’I, namun seiringnya waktu ia talfiq pada
mazhab Daud Azzahiri. Kemudian pengalaman dalam kedua mazhab ini mampu
menginspirasi penduduk Andalusia secara khusus daan pada masyarakat sekitar
secara umum. Ibn Hazm merupakan ulama yang sangat produktif sekali dalam
menulis karya-karya ilmiah. Karyanya yang berhasil tercatat, terdapat sekitar 400
judul buku. Baik dalam bidang sejarah, teologi, fikih, sastra, Hadis dan lain-lain.

Selain maju di bidang agama, ilmu filsafat juga sudah mulai dijamah di kota
Andulisia. Luthfi Abdul Badi’ mengemukakan, bahwa Muhammad Ibn Abdillah Ibn
Missarah al-Bathini, ialah orang pertama kali yang menekuni bidang filsafat di
Andulisia. Hal ini berarti, ilmu filsafat sudah dikenal sebelum al-Jabali. Dan ilmu itu
berkembang pesat pada masa al-Nashir dan sampai pada puncaknya di masa al-
Mustanshir.

Seiring berkembangnya filsafat, berkembang juga ilmu-ilmu pasti. Ilmu pasti


yang digemari bangsa Arab bersumber pada buku India Sinbad yang di-Arab-kan
oleh Ibrahim al-Fazari pada tahun 771 M. dengan perantara ini bangsa Arab lebih
mengenal dan menggunakan angka-anagka India yang di Eropa angka itu dikenal
dengan angka Arab. Pembesar Andalusia pada periode ini antara lain, Abu Ubaidah
Muslim Ibn Ubaidah al-Balansi. Ia seorang astrolog dan pakaar di bidang ilmu
hitung. Untuk kalangan masyarakat waktu itu, ia dikenal dengan sebutan shâhib al-
Qiblat (ahli mendirikan sholat).

15
Di samping maju di di bidang ilmu pasti, Andalusia juga diperkaya dengan
sarjana-sarjana pribumi yang pakar di bidang ilmu kedokteran. Seperti, Ahmad Ibn
Ilyas al-Qurthubi dan al-Harrani yang hidup pada masa kekuasaan Muhammad I Ibn
Abdurrahman II al-Ausath, Yahya Ibn Ishaq yang hidup pada masa Abdullah Ibn
Mundzir, yang kemudian diangkat menteri oleh al-Nashir. Selain tokoh di atas,
Andalusia juga memeliki dokter ahli bedah, yaitu Abu Qasim al-Zahrawi yang
dikenal dengan sebutan Abulcasis. Kemahirananya selain di bidang bedah, ia juga
mahir di bidang penyakit telinga dan spesialis kulit. Karya fenomalnya yang berjudul,
al-Tashrîf li Man ‘Ajaza ‘An Ta’lîf pada abad XII M. yang kemudian diinggriskan
oleh Gerard of Cremona dan dicetak ulang di Genoa (1497), Besle (1541), dan di
Oxford (1778).

C. Masa Abbasiyah

Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa Daulah Abbasiyah.


Ilmu pengetahuan pada masa ini sangat maju secara pesat. Kemajuan ilmu
pengetahuan pada masa ini disebabkan adanya gerakan terjemah besar-besaran
terhadap naskah-naskah asing ke dalam bahasa Arab terutama naskah-naskah Yunani.
Meskipun gerakan terjemah naskah-naskah asing sudah dimulai sejak masa
Umayyah, namun puncak keemasan ada pada masa Abbasiyah. Upaya penerjemahan
yang dilakukan Abbasiyah tidak hanya bersumber dari naskah Yunani saja,
melainkan sumber lain, seperti bahasa Persia ke dalam bahasa Arab. Para penerjemah
juga bukan hanya dari kalangan muslim saja, namun banyak juga ditemukan
penerjemah-penerjemah (mutarjim) Nasrani Syiria dan Majusi Persia.

Kemajuan ilmu pada masa Abbasiyah yang paling menonjol dibanding masa
Umayyah, yaitu adanya perpustakaan dan observatorium Baitul Hikmah. Tempat ini
berfungsi sebagai perpustakaan sekaligus tempat pusat pengembangan ilmu
pengetahuan. Institusi ini merupakan lanjutan dari institusi di masa Imperium Sasania
Persia yang bernama Jundisaphur Academy. Namun bedanya, istitusi ini pada masa
Harun Arrasyid direbuh menjadi khizânah al-Hikmah (pusat filsafat). Serta objek

16
penelitian pada masa Imperium Sasania Persia hanya focus pada penyimpanan puisi-
puisi dan cerita raja-raja, di masa Harun Arrasyid diperluas penggunannya pada
semua ilmu pengetahuan.

Pada masa ini juga, perkembangan mazhab-mazhab Islam juga sangat banyak
bermunculan. Antaranya, Imam Auza’I (774 M). yang merupakan pendiri mazhab
Auza’I di Syiria. Pendiri Mazhab besar kedua, Malik Ibn Anas (795 M), yang
memiliki karya agung di bidang Hadis kitab al-Muawaththa’. Dan lahir juga pendiri
mazhab islam besar ketiga, Imam Syafi’I (820 M) yang telah berhasil merapikan
kaidah-kaidah Ushul fikih dalam kitabnya Arrisalah. Serta pendiri mazhab besar
keempat, Imam Ahmad Ibn Hanbal (855 M), yang memiliki kumpulan-kumpulan
Hadis dalam Musnad Ibn Hanbal yang berisi 30.000 Hadis Nabi.

Selain kaya akan pengembangan bidang agama, pada masa ini juga bidang
perekonomian juga berkembang pesat. Ekonomi imperium Abbasiayah digerakkan
oleh perdagangan barang-barang mewah dan bahan-bahan pokok. Selain melakukan
transaksi sesama imperium, Abbasiyah juga membuka gerbang perekonomian dengan
Dinasti T’ang di China.

D. Masa Modern

Periode modern ini secara umum dimulai dari akhir abad ke delapan belas
hingga saat ini. Tentu dalam perjalanan perkembangan ilmu pengetahuan di semua
Negara memiliki corak dan pembaharu masing-masing. Seperti Indonesia,
perkembangan pengetahuan Islam di Negara ini tidak bisa lepas dari peran dua
organisasi masyarakat besar, yaitu Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama.

Muhammadiyyah yang didirikan Muhammad Darwisy atau kemudian dikenal


dengan KH. Ahmad Dahlan, secara garis besar membawa misi ingin mengajak umat
Islam Indonesia disamping belajar ilmu-ilmu agama juga mendalami ilmu-ilmu
umum. Keinginan itu kemudian diejawantahkan dengan membangun lembaga-
lembaga formal yang diajarkan dengan sistem dan model seperti sekolah pada zaman

17
kolonialisme. Dalam lembaga tersebut, KH. Ahmad Dahlan mengenalkan pemikiran
para reformis Islam terkemuka, seperti Jamaludin Afghani, Rasyid Ridlo, Muhammad
Abduh dan sebagainya.

Kemudian, organisasi besar kedua yaitu Nahdlatul Ulama yang diprakarsai


KH. Hasyim Asy’ari. Secara umum, organisasi ini—dalam bidang pendidikan—lebih
menfokuskan pengajaran-pengajaran dengan sistem klasik, yaitu mengajarkan kitab-
kitab kuning (turats) di lembaga non-formal atau yang lebih umum disebut pesantren.
Kemunculan organisasi NU telah membuka pintu besar di Indonesia terhadap kajian-
kajian ke-Islam-an dengan pelbagai mazhab. Secara garis besar, dalam mazhab fikih
NU menganut mazhab Syafi’i. Namun mazhab-mazhab Islam yang lain juga
diajarkan dalam sistem pendidikan NU. Di sini kemudian NU mengajarkan para
pengikutnya bisa bersikap lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan.

Dalam dunia kampus Islam di Indonesia, juga terdapat inovasi-inovasi baru


dalam wacana keislaman. Sebagai contoh, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
menyeru gagasan pendidikan Islam integrasi interkoneksi yang diusung Prof. Amin
Abdullah rektor kampus sebelumnya. Amin Abdullah mengilustrasikan ide besarnya
ini dengan jaring laba-laba. Yang mana ditengah-tengah jaring itu sebagai symbol al-
Qur’an sebagai dasar utama. Disusul jaring kedua yaitu symbol dari Sunah, dan
disusul ilmu-ilmu pengetahuan yang lain pada setiap jaring berikutnya. Disamping
bentuk jaring laba-laba (scientific spider web), ide Amin Abdullah juga ditampilkan
dalam bentuk fisik bangunan di setiap kampus UIN Yogyakarta yang saling berkatan
antara bangunan satu dengan yang lain. Maksud dari arsitek ini melambangkan, ilmu
pengetahuan selalu terjadi relasi dengan ilmu-ilmu yang lain, sekalipun ilmu agama
dengan ilmu sains. Intinya, secara teoritis konsep keilmuan Islam integrasi
interkoneksi merupakan sebuah konsep keilmuan yang terpadu erat dan terkait antara
keilmuan agama (al-Din) dan keilmuan sosial dan masyarakat (al-Ilm) dengan
harapan mencetak output yang mampu menyeimbangakan etis filosofis dan agama.

18
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Ilmu dalam Islam merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang


sungguh-sungguh dari para ilmuwan muslim atas persoalan-persoalan duniawī dan
ukhrāwī dengan berlandaskan kepada wahyu Allah. Pengetahuan ilmiah diperoleh
melalui indra, akal, dan hati/intuitif yang bersumber dari alam fisik dan alam
metafisik.

Secara garis besar, sejarah peradaban Islam terpusatkan di dua periode, yaitu
pada masa Umayyah dan Abbasiyah. Sebab pada periode ini, umat Islam mengalami
kemajuan di satu sisi, serta mengalami masa disintegrasi di sisi lain. Terlebih pada
masa Umayah yang mampu menaklukan beberapa kerajaan besar, menjadikan Islam
semakin menyebar luas di seluruh dunia. Dan gerakan terjemah kitab-kitab asing
yang dilakukan secara besar-besaran di masa Abasiyah juga menjadikan citra Islam
semakin bersinar dan menguasai panggung akademis.

3.2. Saran

Dari penulisan makalah ini, penulis menyarankan agar kita sebagai seorang
muslim dapat mengetahui dan memahami seperti apa perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Siapa saja tokoh-tokoh yang terkait dan bagaimana sejarah
perkembangannya mulai dari periode awal Islam sampai perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa modern seperti sekarang ini.

Untuk kedepannya tugas dalam membuat makalah ini sangat dianjurkan untuk
dilanjutkan, karena bisa menambah wawasan kita tentang perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Selain itu, makalah ini diharapkan dapat membantu penulis
maupun pembaca untuk menggali lebih dalam bagaimana perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Imam, Ruswanto, Nunung Rodliyah, Eka, Mualimin, Ari Setiawan. 2012.
Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter Di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Al-Lanang, Arif. 2019. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam
Islam. VOL. III, NO. 2, 98-108. Yogyakarta : Universitas Negeri Sunan
Kalijaga.
Kosim, Muhammad. 2008. IlmuPengetahuan dalam Islam. Vol. 3, No. 2. Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai