Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu :
Dr. Ade Imelda, M.Pd.I
Disusun Oleh:
Diah Ayu Andina
NPM. 2013034039
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan rahmat inayah, taufik
dan hidayahnya sehingga saya selaku penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang bertajuk ‘PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM
ISLAM’ ini tepat pada waktunya, untuk memenuhi tugas kuliah daring dimasa
pandemic ini.
Saya selaku penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca maupun penulis, sehingga dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan terhadap
makalah ini. Oleh kerena itu, saya selaku penulis meminta kepada pembaca untuk
memberikan masukan bermanfaat yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini agar dapat diperbaiki bentuk maupun isi makalah sehingga kedepannya
dapat menjadi lebih baik.
Dengan ini penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima
kasih dan semoga Allah SWT. memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan
manfaat.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................................i
ii
BAB I
PENDAHULUAN
2
1. Dapat memberikan pemahaman mengenai konsep ilmu pengetahuan dalam
Islam.
2. Dapat memberikan pemahaman mengenai apa saja sumber, sarana, dan
metode ilmu pengetahuan.
3. Dapat memberikan pemahaman mengenai apa saja klasifikasi ilmu.
4. Dapat memberikan pemahaman mengenai bagaimana perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Islam
4
Besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik
perhatian Franz Rosenthal, seorang orientalis, dengan mengatakan:
”Sebenarnya tak ada satu
konsep pun yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban
Islam di segala aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu. Hal ini tetap
benar, sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam kehidupan
keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhîd” (pengakuan atas keesaan Tuhan), “al-
dîn” (agama yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara terus
menerus dan bergairah disebutsebut. Tak satupun di antara istilah-istilah itu yang
memiliki kedalaman dalam makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang sama
dengan kata ilmu itu.Tak ada satu cabangpun dalam kehidupan intelektual kaum
muslimin yang tak tersentuh oleh sikap yang begitu merasuk terhadap “pengetahuan”
sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi, dalam menjadi seorang muslim.”
Apa yang terjadi dalam Islam berbeda dengan agama lain, khususnya
agama Kristen di Barat, yang dalam sejarahnya memperlihatkan hubungan
kelam antara ilmu dan agama. Hubungan disharmonis tersebut ditunjukkan
dengan diberlakukannya hukuman berat bagi para ilmuwan yang temuan
ilmiahnya berseberangan dengan “fatwa” gereja. Misalnya, Nicolaus
Copernicus mati di penjara pada tahun 1543 M, Michael Servet mati dibakar
tahun 1553 M, Giordano Bruno dibunuh pada tahun 1600, dan Galileo Galilei
mati di penjara tahun 1642 M. Oleh karena hubungan agama dan ilmu di
Barat tidak harmonis, maka para ilmuwan—dalam melakukan aktivitas
ilmiahnya—pergi jauh meninggalkan agama. Akibatnya, ilmu di Barat
5
berkembang dengan paradigma antroposentris dan menggusur sama sekali
paradigma teosentris. Dampak yang lebih serius, perkembangan ilmu menjadi
sekuler terpisah
dari agama yang pada akhirnya menimbulkan problema teologis yang sangat krusial.
Banyak ilmuwan Barat yang merasa tidak perlu lagi menyinggung atau melibatkan
Tuhan dalam argumentasi ilmiah mereka. Bagi mereka Tuhan telah berhenti menjadi
apapun, termasuk menjadi pencipta dan pemelihara alam semesta.
6
menangkap obyek-obyek spiritual dan metafisik. Antara akal dan intuisi,
meskipun sama-sama mampu
menangkap obyek-obyek spiritual, keduanya memiliki perbedaan fundamental secara
metodologis dalam menangkap obyek-obyek tersebut. Sebab sementara akal
menangkapnya secara inferensial, intuisi menangkap obyek-obyek spiritual secara
langsung, sehingga mampu melintas jantung yang terpisah lebar antara subyek dan
obyek.
Jika ilmu pengetahuan dalam Islam bisa dicapai melalui tiga sumber/alat;
indra, akal budi, dan hati, maka dalam epistemologi Barat, pengetahuan ilmiah hanya
bisa diraih melalui indra dan akal. Penggunaan kedua alat ini sebagai sumber ilmu
pengetahuan didahului konflik tajam ilmuwan Barat selama kurang lebih dua abad.
Konflik tersebut tercermin dalam dua aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan
Empirisme. Rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes (1596-1650) berpandangan
bahwa sumber pengetahuan yang dipandang memenuhi syarat ilmiah adalah akal
budi. Akal merupakan satusatunya sumber pengetahuan yang benar. Pengetahuan
yang diperoleh melalui akal tidak mungkin salah. Sementara itu empirisme
berpendapat bahwa sumber satu-satunya pengetahuan manusia adalah pengalaman
indrawi, yakni pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan panca indra.
Dalam pandangan kaum empiris, panca indra memainkan peranan penting dibanding
akal budi karena; pertama, semua proposisi yang diucapkan manusia merupakan hasil
laporan dari pengalaman. Kedua, manusia tidak memiliki konsep atau ide apapun
tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman.
Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi apabila memiliki acuan ke realitas atau
pengalaman.
7
(ontologi, teologi, kosmologi, angelologi, dan eskatologi), dalam ilmu-ilmu
matematika (geometri, aljabar, aritmatika, musik, dan trigonometri), dan dalam ilmu-
ilmu fisik (fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, dan optika).
Sedangkan ilmu ghair syarī’ah oleh al-Ghazālī dibagi tiga; ilmu-ilmu yang
terpuji (al-‘ulūm al-mahmūdah), ilmu-ilmu yang diperbolehkan (al-‘ulūm al-
mubāhah), dan ilmu-ilmu yang tercela (al-‘ulūm almadzmūmah). Ilmu yang terpuji
adalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan umat manusia seperti
8
kedokteran, pertanian, teknologi. Ilmu yang dibolehkan adalah ilmu-ilmu tentang
kebudayaan seperti; sejarah, sastra, dan puisi yang dapat membangkitkan keutamaan
akhlak mulia. Sedangkan ilmu yang tercela adalah ilmu-ilmu yang dapat
membahayakan pemiliknya atau orang lain seperti; ilmu sihir, astrologi, dan beberapa
cabang filsafat.
Ibn Khaldūn membagi ilmu pengetahuan menjadi dua kelompok, yaitu; ilmu-
ilmu naqlīyah yang bersumber dari syarā’ dan ilmu-ilmu ‘aqlīyah/ilmu falsafah yang
bersumber dari pemikiran. Yang termasuk dalam kelompok ilmu-ilmu naqlīyah
adalah; Ilmu Tafsir, Ilmu Qirā’ah, Ilmu Hadīts, Ilmu Ushūl Fiqh, Fiqh, Ilmu Kalam,
Bahasa Arab (Linguistik, Gramatika, Retorika, dan Sastra). Sedangkan yang termasuk
dalam ilmu-ilmu ‘aqlīyah adalah; Ilmu Mantiq, Ilmu Alam, Metafisika, dan Ilmu
Instruktif (Ilmu Ukur, Ilmu Hitung, Ilmu Musik, dan Ilmu Astronomi).
Ibn Buthlān (wafat 1068 M) membuat klasifikasi ilmu menjadi tiga cabang
besar; ilmu-ilmu (keagamaan) Islam, ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu alam, dan
ilmu-ilmu kesusastraan. Hubungan ketiga cabang ilmu ini digambarkannya sebagai
segitiga; sisi sebelah kanan adalah ilmu-ilmu agama, sisi sebelah kiri ilmu filsafat dan
ilmu alam, sedangkan sisi sebelah bawah adalah kesusastraan.
9
Fonologi, Sintaksis dan Semantik), dan Ilmu-Ilmu Bantu (meliputi; Metafisika Islam,
Perbandingan Agama, dan Kebudayaan Islam). Sedangkan yang termasuk dalam ilmu
acquired adalah; Seni (meliputi; Seni dan Arsitektur Islam, Bahasa, Sastra), Ilmu-ilmu
Intelektual/studi sosial teoritis, (meliputi; Filsafat, Pendidikan, Ekonomi, Ilmu
Politik, Sejarah, Peradaban Islam, Geografi, Sosiologi, Linguistik, Psikologi, dan
Antropologi), Ilmu-Ilmu Alam/teoritis (meliputi; Filsafat Sains, Matematika, Statistik,
Fisika, Kimia, Ilmu-Ilmu Kehidupan, Astronomi, Ilmu Ruang, dan sebagainya), Ilmu-
Ilmu Terapan (meliputi; Rekayasa dan Teknologi, Obat-Obatan, dan sebagainya), dan
Ilmu-Ilmu Praktik (meliputi; Perdagangan, Ilmu Administrasi, Ilmu Perpustakaan,
Ilmu Kerumah tanggaan, Ilmu Komunikasi).
10
2.4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Periodisasi sejarah dalam peradaban Islam secara garis besar terbagi tiga
bagian, yaitu fase klasik dimulai tahun 650-1250 M, fase pertengahan pada tahun
1250-1800 M, dan fase modern mulai 1800 sampai sekarang. Berikut kajian
perkembangan ilmu pengetahuan Islam dalam tiga periode, yaitu perkembangan ilmu
pada periode awal Islam, Umayah, Abbasiyah, dan modern.
Periode awal Islam sering juga disebut sebagai fase yang mana kitab suci Al-
Qur’an baru diturunkan di tengah-tengah umat manusia. Periode ini dimulai dari abad
ke 7 sampai abad ke 13 Masehi. Periode ini bermula dengan ditandainya kemajuan
kepustakaan Arab, pengajaran Islam dan penyebaran pokok-pokok peradaban Islam
(hadlârah Islâmiyyah) yang merangkul tiga unsur penting dalam peradaban, yaitu:
keagamaan (aqîdah), kesukuan (qabaliyyah), dan aristokratik (aristhuqrâthiyyah).
Setelah islam mengalami ekspansi wilayah lebih luas, tentu pemeluk Islam
semakin banyak seiring bertambahnya waktu. Serta kehidupan masyarakat kian pesat
dan meningkat dalam sektor ekonomi. Pun para pemikir yang datang silih berganti
dari seluruh penjuru kota, menjadi faktor utama terhadap cikal bakal lahirnya ilmu
pengetahuan dalam Islam. Serta kemunculan permasalahan-permasaahan masyarakat
11
yang semakin komplek menuntut para khalifah turun langsung ke pemukiman warga
untuk mengajarkan Islam.
12
generasi pada masa kepemimpinan umayah. Tidak cukup perkembanagan Nahwu
saja, namun kemampuan orang Arab berotorika dengan apik yang dibungkus dengan
karya-karya sastra juga berkembang pesat pada masa ini. Kemampuan para penyair
pra Islam dan awal Islam (mukhadzram) ikut mewarnai dunia sastra pada periode ini.
Seperti, Hasan Ibn Tsabit, Ka’b Ibn Zuhair Ibn Abi Sulma, dan Hasan Ibn Tsabit.
Serta pidato-pidato (khithâbah) Ali Ibn Abi Tholib ikut serta memperkaya khazanah
sastra pada masa itu. Kemudian kumpulan pidato ini, belakangan dikemas menjadi
sebuah karya sastra agung yang berjudul Nahjul Balaghah (Zayyad, 2011).
13
kota tersebut dengan Madinah. Sehingga kota Fusthat dibangun di sebelah timur
sungai Nil yang sekarang ramai dengan rumah-rumah penduduk.
B. Masa Umawiyah
Sebutan Daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn Abdi Sayms Ibn
Abdi Manaf, salah satu seorang pemimpin suku Qurays pada zaman Jahiliyah (pra-
Islam). Bani Umayyah baru masuk Islam setelah Rasulullah berhasil menaklukan
kota Mekah (fathu makkah). Sepeninggalnya Rasulullah, Bani Umayyah bercita-cita
ingin mengganti jabatan Rasulullah sebagai khalifah. Namun keinginan itu tidak
mereka buka secara terang-terangan, lantaran khalifah yang ditunjuk langsung oleh
masyarakat yaitu Abu Bakar dan kemudian digantikan Umar Ibn Khatab. Setelah
diangkatnya Usman Ibn Affan sebagai khalifah, di sinilah Bani Umayyah mulai
menyebarkan misi-misinya untuk meletakkan dasar-dasar khilafah Umayyah. Dan
masa inilah, Umayyah berusaha sekuat tenaga untuk memperkuat posisinya agar bisa
menaklukan kota Syam tunduk di bawah kendalinya.
Demikian ini sisi gelap yang tercatat sejarah yang pernah melekat pada
kepemimpinan Bani Umayyah. Namun terlepas itu semua, banyak sekali kemajuan-
kemajuan kekuasaan yang di bawah kepemimpinan mengalami kemajuan yang amat
pesat. Seperti peran Ali al-Qali yang berhasil membumikan bahasa Arab di Andalusi,
Cordova. Pada tahun 330 H/ 941 M. ia memenuhi undangan Al-Nashir untuk
menetap di Cordova dan mengembangkan ajaran Nahwu sampai akhir hayatnya (358
14
H/ 969 M). Ali Al-Qali banyak sekali meninggalkan karya-karyanya yang sanagt
bermanfaat di Cordova dan yang menjadi cikal bakal berkembangnya Bahasa Arab di
sana. Karangannya antara lain, al-Amâli dan al-Nawâdlir.
Tokoh lain di bidang Fikih yang tidak kalah terkenal di Andalusia antara lain,
Abu Bakar Muhammad Ibn Marwan Ibn Zuhr (422 H). Ia merupakan sosok
sastrawan besar pada masanya yang pernah ada di Andalusia. Selain itu, Abu
Muhammad Ali Ibn Hazm (455 H). yang memiliki karya al-Fashl; fi al-Milâl wa al-
Ahwâ’ wa al-Nihal yang merupakan masterpiece yang fenomenal hingga saat ini.
Semula Ibn Hazm menganut mazhab Syafi’I, namun seiringnya waktu ia talfiq pada
mazhab Daud Azzahiri. Kemudian pengalaman dalam kedua mazhab ini mampu
menginspirasi penduduk Andalusia secara khusus daan pada masyarakat sekitar
secara umum. Ibn Hazm merupakan ulama yang sangat produktif sekali dalam
menulis karya-karya ilmiah. Karyanya yang berhasil tercatat, terdapat sekitar 400
judul buku. Baik dalam bidang sejarah, teologi, fikih, sastra, Hadis dan lain-lain.
Selain maju di bidang agama, ilmu filsafat juga sudah mulai dijamah di kota
Andulisia. Luthfi Abdul Badi’ mengemukakan, bahwa Muhammad Ibn Abdillah Ibn
Missarah al-Bathini, ialah orang pertama kali yang menekuni bidang filsafat di
Andulisia. Hal ini berarti, ilmu filsafat sudah dikenal sebelum al-Jabali. Dan ilmu itu
berkembang pesat pada masa al-Nashir dan sampai pada puncaknya di masa al-
Mustanshir.
15
Di samping maju di di bidang ilmu pasti, Andalusia juga diperkaya dengan
sarjana-sarjana pribumi yang pakar di bidang ilmu kedokteran. Seperti, Ahmad Ibn
Ilyas al-Qurthubi dan al-Harrani yang hidup pada masa kekuasaan Muhammad I Ibn
Abdurrahman II al-Ausath, Yahya Ibn Ishaq yang hidup pada masa Abdullah Ibn
Mundzir, yang kemudian diangkat menteri oleh al-Nashir. Selain tokoh di atas,
Andalusia juga memeliki dokter ahli bedah, yaitu Abu Qasim al-Zahrawi yang
dikenal dengan sebutan Abulcasis. Kemahirananya selain di bidang bedah, ia juga
mahir di bidang penyakit telinga dan spesialis kulit. Karya fenomalnya yang berjudul,
al-Tashrîf li Man ‘Ajaza ‘An Ta’lîf pada abad XII M. yang kemudian diinggriskan
oleh Gerard of Cremona dan dicetak ulang di Genoa (1497), Besle (1541), dan di
Oxford (1778).
C. Masa Abbasiyah
Kemajuan ilmu pada masa Abbasiyah yang paling menonjol dibanding masa
Umayyah, yaitu adanya perpustakaan dan observatorium Baitul Hikmah. Tempat ini
berfungsi sebagai perpustakaan sekaligus tempat pusat pengembangan ilmu
pengetahuan. Institusi ini merupakan lanjutan dari institusi di masa Imperium Sasania
Persia yang bernama Jundisaphur Academy. Namun bedanya, istitusi ini pada masa
Harun Arrasyid direbuh menjadi khizânah al-Hikmah (pusat filsafat). Serta objek
16
penelitian pada masa Imperium Sasania Persia hanya focus pada penyimpanan puisi-
puisi dan cerita raja-raja, di masa Harun Arrasyid diperluas penggunannya pada
semua ilmu pengetahuan.
Pada masa ini juga, perkembangan mazhab-mazhab Islam juga sangat banyak
bermunculan. Antaranya, Imam Auza’I (774 M). yang merupakan pendiri mazhab
Auza’I di Syiria. Pendiri Mazhab besar kedua, Malik Ibn Anas (795 M), yang
memiliki karya agung di bidang Hadis kitab al-Muawaththa’. Dan lahir juga pendiri
mazhab islam besar ketiga, Imam Syafi’I (820 M) yang telah berhasil merapikan
kaidah-kaidah Ushul fikih dalam kitabnya Arrisalah. Serta pendiri mazhab besar
keempat, Imam Ahmad Ibn Hanbal (855 M), yang memiliki kumpulan-kumpulan
Hadis dalam Musnad Ibn Hanbal yang berisi 30.000 Hadis Nabi.
Selain kaya akan pengembangan bidang agama, pada masa ini juga bidang
perekonomian juga berkembang pesat. Ekonomi imperium Abbasiayah digerakkan
oleh perdagangan barang-barang mewah dan bahan-bahan pokok. Selain melakukan
transaksi sesama imperium, Abbasiyah juga membuka gerbang perekonomian dengan
Dinasti T’ang di China.
D. Masa Modern
Periode modern ini secara umum dimulai dari akhir abad ke delapan belas
hingga saat ini. Tentu dalam perjalanan perkembangan ilmu pengetahuan di semua
Negara memiliki corak dan pembaharu masing-masing. Seperti Indonesia,
perkembangan pengetahuan Islam di Negara ini tidak bisa lepas dari peran dua
organisasi masyarakat besar, yaitu Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama.
17
kolonialisme. Dalam lembaga tersebut, KH. Ahmad Dahlan mengenalkan pemikiran
para reformis Islam terkemuka, seperti Jamaludin Afghani, Rasyid Ridlo, Muhammad
Abduh dan sebagainya.
18
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Secara garis besar, sejarah peradaban Islam terpusatkan di dua periode, yaitu
pada masa Umayyah dan Abbasiyah. Sebab pada periode ini, umat Islam mengalami
kemajuan di satu sisi, serta mengalami masa disintegrasi di sisi lain. Terlebih pada
masa Umayah yang mampu menaklukan beberapa kerajaan besar, menjadikan Islam
semakin menyebar luas di seluruh dunia. Dan gerakan terjemah kitab-kitab asing
yang dilakukan secara besar-besaran di masa Abasiyah juga menjadikan citra Islam
semakin bersinar dan menguasai panggung akademis.
3.2. Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis menyarankan agar kita sebagai seorang
muslim dapat mengetahui dan memahami seperti apa perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Siapa saja tokoh-tokoh yang terkait dan bagaimana sejarah
perkembangannya mulai dari periode awal Islam sampai perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa modern seperti sekarang ini.
Untuk kedepannya tugas dalam membuat makalah ini sangat dianjurkan untuk
dilanjutkan, karena bisa menambah wawasan kita tentang perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Selain itu, makalah ini diharapkan dapat membantu penulis
maupun pembaca untuk menggali lebih dalam bagaimana perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i, Imam, Ruswanto, Nunung Rodliyah, Eka, Mualimin, Ari Setiawan. 2012.
Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter Di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Al-Lanang, Arif. 2019. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam
Islam. VOL. III, NO. 2, 98-108. Yogyakarta : Universitas Negeri Sunan
Kalijaga.
Kosim, Muhammad. 2008. IlmuPengetahuan dalam Islam. Vol. 3, No. 2. Indonesia.