Anda di halaman 1dari 16

SEKILAS SEJARAH PERTUMBUHAN

KEILMUAN DALAM ISLAM

Disusun oleh :

SABRINA PUTRI FERNANDA

NIM 2411419005

Fakultas Bahasa dan Seni

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Tahun 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Sekilas Sejarah Pertumbuhan
Keilmuan dalam Islam” dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya
tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ali Sunarso, M. Pd. selaku
dosen pendidikan agama islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan saya. Saya juga mengucapkan terima kasih
kepada keluarga, teman, dan pihak-pihak lainnya yang telah mendukung saya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pendidikan
agama islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
mengenai sejarah pertumbuhan ilmu dalam islam bagi para pembaca dan juga bagi
saya sendiri. Dalam hal ini, saya ingin membahas mengenai bagaimana
perkembangan pertumbuhan ilmu pengetahuan dalam islam.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya menerima
kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi. Saya mohon maaf jika ada salah kata, kalimat,
dan penulisan, serta jika ada informasi yang berbeda sehingga tidak sama dengan
pengetahuan pembaca lain. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat
sebagaimana mestinya bagi para pembaca. Terima kasih.

Jakarta, 26 Maret 2020

Penulis, Sabrina Putri Fernanda

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................2
1.3 Tujuan Pembahasan............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
BAB III
PENUTUP.............................................................................................................12

3.1 Kesimpulan........................................................................................................8
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................................................9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan pertumbuhan ilmu pengetahuan dalam islam merupakan substansi
peradaban islam yang memiliki ibarat pohon (syajarah) yang akarnya tertanam kuat
di bumi, sedangkan dahan-dahannya menjulang tinggi ke langit dan memberi rahmat
bagi alam semesta. Akar tersebut adalah teologi Islam (tauhid) yang berdimensi
epistemologis.
Berkembangnya tradisi dan pemahaman terhadap Alquran sehingga lahir
intelektual Islam yang mana dari tradisi ini, kemudian terbentuklah komunitas
sehingga melahirkan konsep keilmuan dan disiplin keilmuan Islam. Dari sini, lalu
lahir sistem sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan Islam.
Islam menganggap hanya manusia yang dihiasi dengan ilmu pengetahuan saja,
golongan yang benar-benar bertakwa kepada Allah. Jelas disini bahawa ilmu
pengetahuan dalam Islam mengandung satu arti ilmu yang menyeluruh dan
berkesinambungan dan nilai yang tidak dapat dipisahkan sama sekali. Termasuk
dalam konteks ini, ilmu sains dan teknologi adalah antara cabang ilmu pengetahuan
yang memberi manfaat dan faedah besar kepada kelangsungan tamadun manusia.
Istilah sains itu sebenarnya berasal dari kata Latin, scientia dan pada bahasa Arab
yang membawa pengertian sama yaitu ilmu pengetahuan.
Pada asalnya, ilmu sains ini merangkum semua cabang ilmu yang dihasilkan
oleh pemikiran manusia yang ahli seperti falsafah, matematik, astronomi, geografi,
geologi, fisika, kimia, pengobatan dan sebagainya. Semua cabang ilmu itu disatukan
dalam ilmu sains. Kemudian, apabila cabang ilmu itu semakin berkembang dan luas
pembahasannya, cabang ilmu itu mulai memisahkan diri dari ilmu sains dan mulai
membentuk identitas ilmunya sendiri. Maka, lahirlah ilmu geografi, ilmu
pengobatan, ilmu fisika dan lain-lain. Al-Quran sumber sains Islam, bahkan al-Quran
menganjurkan umat manusia baik beriman atau tidak, supaya menyelidiki alam
sebagai tanda membuktikan wujud dan kebesaran Allah.

iv
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, antara lain :
1. Mengapa Al -Qur’an sebagai Sumber dari Segala Ilmu Pengetahuan?
2. Kemana Arah Pengembangan Iptek dalam Islam
3. Bagaimana Kedudukan Ilmu pengetahuan dalam islam ?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan dalam islam.
2. Mengetahui para ilmuan muslim yang telah berjasa dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
3. Mengetahui kontribusi islam dalam perdaban ilmu pengetahuan hingga saat ini.

v
BAB II
PEMBAHASAN

Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab ‫علم‬, masdar dari – ‫َعـِلَم‬
‫ َيـْع ـَلُم‬yang berarti tahu atau mengetahui. Dalam bahasa Inggris Ilmu biasanya
dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam
bahasa Indonesia kata science umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan
dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna yang
sama.
Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-
gejala tertentu dibidang pengetahuan. Ilmu memang mengandung arti pengetahuan,
tapi pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang tersusun secara sistematis. Ilmu
menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari
banyaknya ayat Al-qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi
dan mulya disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya
untuk terus menuntut ilmu.
Islam merupakan sebuah agama yang rasional, Menurut Ziaudin Sardar, Islam
telah mengembangkan sebuah kesadaran yang tinggi mengenai kedudukan akal
sebagai inti dalam tradisi agama, dan dalam mempertahankan sikap terhadap ilmu
pengetahuan, Islam tidak hanya menghargai dan menyuruh belajar, tetapi juga
memberikan metode pengamatan yang rasional. Dibawah pengaruh Islam, sains
tumbuh subur dan mempunyai bentuk yang unik, tidak hanya dalam metode, namun
juga dalam epistemology.

Didalam Al-qur’an, kata ilmu dan kata-kata jadianya di gunakan lebih dari 780
kali, ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari Al- qur’an sangat
kental dengan nuansa-nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri
penting dari agama Islam.

vi
Allah SWT. berfirman dalam Al-qur’an surat Al-Mujadilah ayat 11 :

“Allah meninggikan beberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang beriman


diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmupengetahuan). Dan ALLAH
maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Ayat di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan
memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi
pendorong untuk menuntut ilmu, dan ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia
sadar betapa kecilnya manusia dihadapan Allah SWT, sehingga akan tumbuh
rasa kepada Allah SWT bila melakukan hal-hal yang dilarangnya.
Terkadang manusia tidak menyadari bahwa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
yang muncul dalam pemikiran mereka akan alam beserta isinya terdapat dalam Al-
Qur’an. Namun bukannya justru kembali ke Al-Qur’an, malah mencari sumber dari
berbagai buku, internet dan sebagainya. Padahal jawaban dari masalah pengetahuan itu
secara tersurat/tersirat terdapat dalam Al-Qur’an.
Mulai dari hal yang kecil, seperti Metodologi Penelitian. Islam memandang
bahwa dalam menyususn penelitian, seorang peneliti harus dapat memandang
permasalahan secra jujur an melepaskan subyektifnya, baik subyektif dalam hal
perasaan ataupun lingkungannya. Dalam Al-Maidah ayat 27-31 disebutkan bahwa
seorang anak Adam yang mengambil kesimpulan berdasarkan subyektifnya, akan
berakibat melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap saudaranya. Akibat dari
tindak-tanduknya yang tidak mampu menyelesaikan permasalahan secara tuntas,
membuatnya bingung sendiri. Selain itu, ayat ini menjelaskan bahwa manusia banyak
pula mengambil pelajaran dari alam dan jangan segan-segan mengambil pelajaran dari
yang lebih rendah tingkatan pengetahuannya.
Bidang Keilmuan Islam

Hasymi mengemukakan terdapat tiga bidang keilmuan Islam, yaitu,

a. Ilmu Dinniyah (Tafsir, Al-Hadits, Fiqh dan Akhlak)

b. Gerakan Tarikh (Pengembangan ilmu dalam bidang sejarah)

c. Ilmu Filsafat (Ilmu bidang Mantiq, kimia, kedokteran)

vii
A. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Sejarah Islam
Bani Abbasiah di Baghdad
Berbicara ilmu pengetahuan dalam sejarah islam, maka tidak lepas dari masa
daulah Abbasiah, yaitu sebuah pemerintahan yang didirikan pada tahun 132 H atau
750 M oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass,
atau lebih dikenal dengan sebutan Abu al-Abbas al-Saffah. Masa Daulah Bani
Abbasiah ini termasuk masa keemasan islam (the golden age of islam). Penyebabnya
adalah berkembangnya ilmu pengetahuan yang sangat pesat.
Perkembangan ilmu pengatahuan dalam daulah Abbasiah ini dirintis oleh khalifah
yang ke 5, yaitu Abu Ja’far Harun al-Rasyid (786-806). Dia melanjutkan kebijakan-
kebijakan yang dilakukan oleh khalifah-khalifah sebelumnya. Hanya saja, dia tidak
memfokuskan pada perluasan daerah kekuasaan, melainkan pada perkembangan
kebudayaan islam. Apa yang diinginkan oleh Harun Al-Rasyid diwujudkan dalam
bentuk pembangunan-pembangunan sarana-sarana sosial yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, diantaranya: Rumah Sakit dan lembaga pendidikan. Kesejahteraan sosial,
kesehatan, pendidikan, kebudayaan, serta kesusasteraan terwujud dengan baik pada
masa ini. Maka tak heran ketika di masa ini islam menempatkan dirinya menjadi
negara terkuat dan tak tertandingi.
Sesuatu yang dirintis oleh Harun al-Rasyid ini dilajutkan oleh sang putra mahkota,
al-Makmun. Khalifah yang berkuasa selama kurang lebih 20 tahun ini menjadikan
ilmu pengetahuan semakin berkembang di dunia islam. Salah satu cara yang ia tempuh
adalah dengan melakukan penterjemahan berbagai karya dari beberapa macam disiplin
keilmuan kedalam bahasa Arab. Cara yang dilakukan ini cukup efektif, karena orang
islam akan dengan mudah mempelajari berbagai ilmu yang sebelumnya tidak
ditemukan dalam islam, semisal filsafat, logika, dan lain sebagainya. Sehingga muncul
pada periode ini beberapa filosof muslim, seperti: al-Kindi dan al-Farabi.
Di samping menggalakkan penterjemahan, al-Makmun juga mendirikan pusat
penterjemahan yang sekaligus dijadikan pusat pendidikan yang diberi nama Baitul
Hikmah. Di tempat inilah orang islam semakin memiliki pengetahuan luas.
Pengetahuan yang akan memajukan peradaban islam. Pada masa inilah, Baghdad yang
tak lain sebagai pusat pemerintahan islam didaulat menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.

viii
Bani Umayyah di Andalusia
Bani Umayyah pertama kali didirikan oleh Mu’awiyah Bin Abu Sufyan melalui
politik Arbitrase. Masa keemasan Daulah Umayyah ketika dipimpin oleh Khalifah Umar
Bin Abdul Aziz. Hanya saja perkembangan ilmu pengetahuan atau sain masih belum
tampak pada periode-periode ini sampai akhirnya Daulah Umayyah hancur setelah
direbut oleh Bani Abbasiah. Ketika semua keturunan Bani Umayyah dibunuh, dan satu
yang berhasil lari ke Spanyol, yaitu Abdurrahman (756-788).
Bermula dari inilah, perkembangan Islam di Andalusia cukup pesat. Perhatian
pemerintah pada ilmu pengetahuan cukup terasa. Abdul Rahman adalah seorang
pemimpin yang terpelajar, berwibawa dan amat berminat di bidang kesastraan. Karena
begitu cintanya pada bidang itu, ia mendirikan satu tempat khusus di dalam istanyanya
yang diberi nama “Darul Madaniyat” untuk kegiatan kesusasteraan untuk kalangan
wanita Andalus.
Setelah masa Abdul Rahman, penggantinya juga adalah seorang pemerintah yang
menitikberatkan dibidang kelimuan. Jasa beliau yang terbesar adalah tentang penyebaran
bahasa Arab dan melemahkan bahasa aing di di seluruh semenanjung Iberia (Spanyol dan
Portugal). Beliau yang menjadikan bahasa arab sebagai Lingua Franca dalam hubungan
antar bangsa pada zamannya dan zaman berikutnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini menjadikan kota-kota di Spanyol
pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban yang membuat banyak pelajar-
pelajar Eropa menimba ilmu di sana. Andalusia sudah mengetahui bahwa matahari
sebagai pusat tata surya, sedangkan saat itu bangsa Eropa masih memperdebatkan teori
geosentris ptolemeus (bumi sebagai pusat edar). Betapa jauh peradaban Andalusia. Pada
saat itu, Andalusia merupakan sebuah pusat pendidikan. Kota-kota seperti Toledo,
Sevilla, Granada, dan Cordoba adalah tempat yang pernah menjadi sejarah bagi kejayaan
Islam hingga 5 abad lamanya.
Ilmuan-ilmuan pun akhirnya bermunculan saat itu. Ahli matematika (Al-Khwarizmi,
Orang pertama yang menulis buku berhitung dan aljabar), ahli kedokteran (Al-Kindi
penulis buku ilmu mata, Ar-Razi atau Rhazez penulis buke kedokteran, Abu Al-Qasim
al-Zahrawi ahli bedah, Ibnu Nafis penemu sirkulasi darah, dan Ibnu Sina), ahli satra (Ibn
Abd Rabbih, Ibn Bassam, Ibn Khaqan), ahli hukum, politik, ekonomi, astronomi

ix
(Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqash, penentu gerhana dan pembuat teropong bintang
modern), ahli hadits dan fikih (Ibnu Abdil Barr, Qadi Iyad), sejarah (Ibn Khaldun
penemu teori sejarah), ahli kelautan (Ibnu Majid). Bahkan penjelajah Andalusia
menginjakkan kakinya di Benua Amerika lima abad sebelum Christopher Colombus.

Kecemerlangan pemerintahan Islam di Andalusia boleh dikatakan berlaku pada


zaman pemerintahan Bani Umayyah Andalusia, selepas mereka bertindak keluar dari
penguasaan Abbasiyah terhadap wilayah Islam. Kejayaan ini berlaku pada zaman
Abdul Rahman al-Dakhil yang mula mengukir nama di Andalusia pada tahun 138H /
756M. Zaman ini berterusan selama kira-kira 3 abad sehingga 422H / 1031M di mana
pemimpinnya berjaya membentuk satu masyarakat yang dinamis dan harmonis dalam
kepelbagaian latarbelakang penduduknya. Dalam hal ini, Ahmad Zaki
mempertegaskan bahawa kecemerlangan di zaman pemerintahan Umayyah ini telah
berlansung dalam dua peringkat pentadbiran yang penting iaitu pertama: era
kepimpinan Umayyah yang memerintah tanpa campur tangan asing dan kedua: era
pemerintahan Umayyah yang tidak dipengaruhi oleh kerajaan Abbasiyyah di Baghdad
dari segi politik bersama semangat rohnya.14 Melihat kepada zaman kecemerlangan
ini, boleh dikatakan bahawa pentadbiran yang diberi kuasa mentadbir secara sendiri
tanpa pengaruh anasir luar, boleh sebenarnya memacu kecemerlangan yang ingin
dicapai. Apabila pentadbiran itu tidak dicampur dengan urusan-urusan lain, maka
mereka tidak akan disibukkan dengan pergolakan luaran yang berlaku. Lalu, tumpuan
mereka adalah dalam kerangka mempertingkat daya dan usaha ke arah merealisasikan
matlamat yang digariskan. Oleh yang demikian, tidak hairanlah Andalusia itu muncul
sebagai satu ketamadunan yang cukup membanggakan Timur dan Barat. Bermula
dengan era pemerintahan Abdul Rahman al-Dakhil jugalah telah memperlihatkan
perkembangan pesat ketamadunan berlaku. Di zaman beliau, masjid Cordova15 telah
dibina dan sekolah-sekolah telah didirikan di beberapa kota besar Andalusia. Hisham
pula merupakan orang yang mengungguli syariat Islam dan Hakam didapati banyak
memberi sumbangan dalam melengkapkan aspek ketenteraan dari segi kelengkapan
dan latihan yang sempurna untuk pasukan pertahanan ini. Bermula pada zaman Abdul
Rahman III yang dikenali juga dengan nama Abdul Rahman al-Nasir, pemerintahan di
Andalusia mula menggunakan gelaran Khalifah, mungkin disebabkan oleh merekalah
satu-satunya kerajaan yang meneruskan pemerintahan Bani Umayyah di kala Bani
Abbasiyyah mula mengukir kuasa di Baghdad. Ada yang mengatakan bahawa

x
pemakaian gelaran Khalifah itu berlaku kerana Abdul Rahman III melihat bahawa
Kerajaan Bani Abbasiyyah mungkin akan runtuh disebabkan oleh pergolakan yang
menyaksikan al-Mu’tadil dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Gelaran Khalifah ini
sudah tentu akan mengangkat martabat beliau kerana ia akan dianggap sebagai
pemerintah bagi keseluruhan wilayah Islam. Di atas semangat Abdul Rahman III
inilah telah memperlihatkan kejayaan pemerintahan beliau dalam mendirikan pusat
kecemerlangan ilmu, iaitu Universiti Cordova yang terus berdiri megah sehingga hari
ini. Namun begitu, seakan sudah menjadi lumrah bahawa di sana ada kitaran
ketamadunan seperti yang dibicarakan oleh Ibn Khaldun. Kitaran ketamadunan itu
menyebabkan kita berfikir bahawa segala apa yang berada dipuncak pasti akan melalui
zaman menurun. Kitaran inilah yang turut melanda Andalusia sehingga kejayaan yang
dibina semakin lama semakin menunjukkan ketidakmampuan untuk dipertahankan.
Apa yang dimaksudkan ialah ketidakmampuan untuk mempertahankan penguasaan
Islam di sana dari sudut politik pentadbiran, bukannya dari sudut kecemerlangan
intelektual dan fizikal. Kejatuhan Andalusia tidak berlaku sekelip mata, tetapi ia
melalui proses yang panjang. Sayangnya, tiada dikalangan pemimpin umat Islam pada
ketika itu yang berjaya mempertahankan ketuanan Andalusia. Bibit-bibit kejatuhan itu
bermula apabila pemerintahan Andalusia dijuzukkan kepada kerajaan-kerajaan kecil.

Kerajaan-kerajaan kecil yang muncul di Andalusia terbentuk apabila kepimpinan


utama mula lemah. Lebih tepat, ia rentetan daripada kelemahan pemimpin dikalangan
Bani Umaiyyah yang menguasai Andalusia selepas daripada Khalifah al-Mustansar
Billah (961 – 976M). Bermula dari itu, Andalusia yang diperintah oleh satu kerajaan,
berpecah menjadi banyak daerah yang membentuk lebih daripada 20 kerajaankerajaan
kecil. Pembentukan kerajaan-kerajaan kecil ini yang turut dikenali sebagai Muluk al-
Tawa’if wujud disebabkan oleh antaranya semangat puak, iaitu untuk mengangkat kaum
sendiri. Mereka seolah-olah secara tidak langsung berpegang kepada semangat
Ukhuwwah Islamiyyah dan seakan menjurus kepada perkauman sesama sendiri.
Fenomena ini berlaku setelah pucuk pimpinan di Cordova menghadapi masalah dalaman
iaitu bergaduh dan bercakaran, malah ada yang saling menindas untuk merebut kuasa
khalifah. Secara tidak lansung, kerajaan-kerajaan kecil ini wujud pada dekad akhir
pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia, iaitu kira-kira sekitar tahun 403 H / 1012 M.
Namun bibit-bibit perpecahan awal telah pun wujud atau dapat dilihat 20 tahun lebih
awal iaitu semasa Khalifah Hisham II memegang tampuk pemerintahan. Perpecahan

xi
adalah jelas ketara setelah Al-Mansur Ibn Abi Amir meninggal dunia pada tahun 392H/
1002 M. Cordova yang masyhur di dalam Bahasa Arab sebagai al-Qurtubah merupakan
bandar terakhir di bawah penguasaan Islam sebelum Andalusia jatuh sepenuhnya ke atas
tangan golongan Kristian. Kedaifan dalam mempertahan pemerintahan Islam di
Andalusia amat menyedihkan. Ia berlaku pada zaman pemerintahan terakhir Islam di
bawah Bani al-Ahmar yang menguasai wilayah terakhir Andalusia iaitu Granada dari
tahun 620 – 897H. Penyerahan wilayah terakhir ini terpaksa dilakukan demi menyelamat
maruah pemerintah Islam di bawah pimpinan Abu Abdullah daripada diguling dengan
lebih teruk. Penyerahan dalam bentuk perjanjian yang ditandatangani oleh pihak Islam
dan Kristian itu dilakukan dan penyerahannya kepada Raja Kristian Sepanyol iaitu
Ferdinand dan Isabella. Perjanjian yang dikatakan mempunyai 67 perkara itu antara lain
menjamin keselamatan orang Islam untuk tinggal di Sepanyol dan juga jaminan
keselamatan sekiranya mereka ingin keluar dari Sepanyol menuju ke daerah lain,
terutama untuk kembali ke daerah Afrika Utara. Namun perjanjian yang tidak pernah
ditunaikan oleh pihak Kristian itu nampaknya menjadi senjata yang menikam umat Islam
terus menerus sehingga mereka tidak lagi mampu bertahan, apatah lagi untuk merampas
kembali Andalusia ini. Kesan-kesan peninggalan umat Islam, ketamadunan yang dibina
dan seumpamanya telah banyak dimusnahkan. Penulis ketika menjejaki kaki ke
Andalusia seketika dahulu melihat sendiri bagaimana kota yang dibina oleh
pemerintahan Islam kelihatan
dihancurkan dan hampir tidak ditemui oleh para sejarawan dan ahli arkeologi. Dalam
kes ini, lebih jelas jika dilihat bagaimana kota Madinah al-Zahra17 ditemui dalam
keadaan yang sangat menyedihkan dengan runtuhan kota itu seolah tidak dapat untuk
diselamatkan. Walaupun kota ini dikhabarkan musnah akibat pergolakan dan peperangan
saudara pada tahun 1010M, namun keunggulan kota ini terus malap apabila Andalusia
jatuh ke tangan bukan Islam. Ketika Bani Ahmar memerintah Andalusia, wilayah
pemerintahan mereka sudah menguncup, tidak lagi sepertimana pada zaman
kegemilangan pemerintahan Abdul Rahman III. Secara khusus, pemerintahan mereka
hanya melibatkan wilayah Granada sahaja yang menjadi daerah terletaknya istana yang
masyhur iaitu istana Al-Hamra’ atau dalam bahasa Sepanyol hari ini lebih dikenali
sebagai al-Hambra.18 Oleh kerana berlaku perselisihan keluarga dalam hal mewarisi
kepimpinan, akhirnya telah menyebabkan pergolakan anak-beranak berlaku dan
seterusnya melemahkan lagi pemerintahan Islam di Granada ini. Disebabkan Abu
Abdullah tidak berpuas hati dengan pewarisan takhta yang ditunjukkan oleh bapanya

xii
sendiri, iaitu kepada saudaranya yang lain, lalu beliau memberontak sehingga dalam
pemberontakan tersebut telah mengorbankan nyawa bapanya. Namun, takhta
pemerintahan tidak menyebelahi Abu Abdullah, tetapi ia beralih kepada Muhammad ibn
Sa’ad.

Lalu perancangan dibuat dalam bentuk kerjasama antara Raja Ferdinand dan Abu
Abdullah untuk merampas kembali takhta pemerintahan. Rampasan itu berjaya,
ringkasnya Abu Abdullah dapat menduduki takhta tetapi bagi jangkamasa yang
pendek disebabkan tekanan dari Ferdinand untuk mendapatkan habuan. Habuannya
tidak lain tidak bukan ialah penyerahan wilayah Granada ini kepada beliau, lantas
masyhurlah Ferdinand yang beristerikan Isabella sebagai raja yang berjaya
menumbangkan kerajaan terakhir Islam di Andalusia. Kejatuhan Andalusia rupanya
adalah kelemahan pemerintahan yang sanggup menggadai prinsip mereka demi
mendapat bantuan sokongan untuk menduduki takhta yang hanya buat sementara
sahaja. Selain itu, ia turut disebabkan beberapa faktor, yaitu:

i. Usaha agresif puak Kristian untuk menakluk kembali wilayah yang


ditadbir oleh kaum Muslimin sehingga menyebabkan pertahanan mereka
terus rapuh dan tidak mampu bertahan atas serangan fikri dan askari yang
dilakukan tentera musuh. Gerakan ini lebih dikenali sebagai Reconquista.
Tidak dinafikan ia mempunyai kaitan dengan usaha pihak Kristian untuk
menakluk wilayah yang telah jatuh ke tangan umat Islam di seluruh dunia
di mana ia seolah turut terkesan dengan pergerakan tentera Salib yang
menumpukan perhatian di wilayah umat Islam di Asia Barat.
ii. Ketiadaan sokongan dari pemerintah Islam di wilayah luar Andalusia,
melainkan sokongan yang sering diterima hanyalah dari Afrika Utara
sahaja.
iii. Tiada mekanisme dalam mencari pengganti yang layak (succession plan)
untuk meneruskan pemerintahan di mana kebanyakkan mereka
mewariskan kepimpinan kepada anak beranak atau ahli keluarga.
iv. Tiada kesepakatan (wehdatul fikri dan wehdatul amal) dalam mentadbir
wilayah yang dikuasai sehingga wujud perbezaan pemerintahan antara
satu-wilayah dengan wilayah yang lain.

xiii
Perbezaan fikrah yang wujud dalam kalangan mereka banyak membawa keruntuhan
dan kurang usaha untuk bekerjasama dalam hal-hal yang disepakati. Kesan daripada
kejatuhan inilah umat Islam dihina dan dihalau keluar dari Andalusia. Ia turut terpalit
kepada kaum Yahudi, di mana tiada kuasa yang boleh melindungi mereka setelah
kerajaan Islam menjadi lemah seterunya runtuh. Kehinaan yang diterima sepertimana
berdasarkan perintah yang dikeluarkan pada tahun 1492M iaitu setiap orang Yahudi
yang enggan dibaptis, mereka perlulah keluar dari Andalusia dalam tempoh 3 bulan.
Ia dikuti perintah yang dikeluarkan 10 tahun selepas itu kepada mereka yang tidak
mahu dibaptiskan, iaitu perintah pada Februari 1502 di mana pihak Kristian mengusir
golongan pendatang yakni orang Islam dari Seville dan sekitarnya.19 Jelas, kejatuhan
pemerintahan yang berlaku bukan sekadar peralihan kuasa politik, tetapi ia turut
memberi kesan kehinaan kepada umat Islam, malah ada di antara mereka yang
diperangi ketika sudah bersedia keluar dari Andalusia.

xiv
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Peranan yang diambil umat Islam yang utama dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi setidaknya ada 2 (dua). Yang pertama, menjadikan Aqidah
Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma Islam,
yang bukan paradigma sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat Islam dalam
membangun struktur ilmu pengetahuan. Dan yang kedua, menjadikan syariah Islam
sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat
utilitarianisme yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam
mengaplikasikan iptek. Jika kedua peran ini dapat dilakukan oleh umat Islam dengan
baik, insyaallah akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga
seluruh umat manusia.

xv
DAFTAR PUSTAKA

Elmubarok, Zaim. 2018. Islam Jalan Lurus. Semarang: Asosiasi Penerbit Perguruan
Tinggi Indonesia.
Karim,Abdul. 2014. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Kudus. Fikrah Journal
of Aqidah dan Filsafat Islam STAIN Kudus.

xvi

Anda mungkin juga menyukai