Anda di halaman 1dari 19

KLASIFIKASI ILMU PENGETAHUAN ISLAM

Makalah ini ditujukan untuk tugas mata kuliah Filsafat Ilmu


Dosen: Dr. Zaimudin, M.Ag

Disusun Oleh:
RIZQATUL ILMI
108015000077
V-C Pendidikan IPS

JURUSAN PENDIDIKAN IPS


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
(UIN) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim…
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kekuatan sehingga terselesaikannya penyusunan makalah studi kelayakan usaha ini. Sholawat
serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan
umt beliau sampai yaumil akhir.
Makalah ini membahas “Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Islam” yang terbagi kedalam
beberapa poin-poin penting dan pembahasannya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi
tugas mata kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Bpk Dr. Zaimudin, M. Ag.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalam penyusunan makalah ini. Untuk
itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan selalu mengaharapkan koreksi dari semua
pihak.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan.

Jakarta, 23 Desember 2010

Penulis

PENDAHULUAN

2
Islamisasi ilmu pengetahuan adalah merupakan sebuah tanggung jawab moral
parailmuwan dalam rangka menyelamatkan peradaban ummat manusia. Islamisasi
ilmupengetahuan mencakup istilah spiritualisasi, dan integrasi antara ilmu agama dan ilmuumum.
Integrasi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum ternyata memilikilandasan
normative teologis, historis empiris dan filosofis. Karenanya masalahintegrasi ini bukan
mengada-ngada melainkan  sebagai sebuah kenyataan  dansekaligus tuntutan.
Baik ajaran Al-quran maupun hadist ternyata amat kaya dengan kerangkapengembangan
ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun ilmu umum. Al-quran danhadist selain memberikan
landasan ontologism dan epistimologis juga landasanaksiologis, dengan landasan ini, kerangka
pengembangan ilmu pengetahuan dalamperspektif islam lebih bersifat utuh, kokoh,
komperehensif dan sejalan denganperkembangan umat islam.
Secara normative teologis sebenarnya tidak ada pemisahan atau dikotomi antara
ilmuagama dan ilmu umum. Al-quran dan al-sunnah tidak membeda-bedakan antara ilmi-ilmu
agama dan ilmu-ilmu. Keduanya terikat dengan prinsip tauhid, suatu prinsipyang melihat bahwa
baik aspek ontologis, epistimologis, maupun aksiologis ilmupengetahuan adalah sama.
Secara historis, islam terlebih dahulu memperkenalkan ilmu pengetahuan dalamkerangka
yang integrated. Dalam sejarah islam tidak membeda-bedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum. Hal ini terlihat dari adanya ulama-ulama besar yang selain ahli dalam ilmu agama
juga sekaligus ahli dalam ilmu umum.
Secara filosofis, integrasi ilmu agama dan ilmu umum memiliki landasan yang
amatkokoh, karena integrasi tersebut dapat dijumpai pada dataran pemikiran para filosofisdi
masa lalu. Integrasi ilmu agama dan ilmu umum mengahruskan seseorang untuk
memahamiprinsip-prinsip umum yang ada pada kedua bidang ilmu tersebut
sambilmebgembangkan keahlian pada bidang tertentu sesuai dengan bakat dan minatmasing-
masing.
Kebenaran yang tidak bisa dipungkiri atas sejarah kehidupan umat Islam pada beberapa
abad yang lalu adalah sangat jauh tertinggal dari umat-umat yang lain. Jika dikaji lebih dalam,
penyebab semua itu akan memunculkan spekulasi yang bermacam-macam dan yang paling

3
mungkin adalah karena di dunia Islam, ilmu pengetahuan dan sains tidak berkembang
sebagaimana di dunia barat.
Akan tetapi, jawaban spekulaif ini tidak bukan merupakan jawaban final karena masih
dimungkinkan untuk mengajukan pertanyaan lanjutan yaitu: mengapa di dunia Islam, ilmu
pengetahuan saintifik tidak berkembang? Mengapa yang justru berkembang luas baik secara
kualitas dan kuantitas adalah ilmu-ilmu agama, sedangkan ilmu-ilmu alam, sosial, dan
humaniora hampir tidak mempunyai ruang dalam tradisi dan kultur keagamaan umat Islam? Ini
tentunya dengan melihat realitas aktual sekarang dan beberapa abad sebelumnya serta tidak bisa
digeneralisasikan secara umum. Sebab dalam perjalanan historinya, dunia Islam juga pernah
jaya dan bahkan menjadi pioner dalam pengembangan bidang-bidang ilmu pengetahuan alam
dan sebagainya.
Dalam tataran definisi ilmu pengetahuan sudah mengalami perbincangan panjang, yaitu
ilmu pengetahuan untuk science atau untuk knowledge, namun pada umumnya yang dipakai
untuk saat ini adalah ilmu pengetahuan untuk science dan pengetahuan untuk knowledge, dan
ada yang mengatakan bahwa pengetahuan untuk knowledge dan ilmu untuk science dengan
asumsi awal bahwa dua ilmu pengtahuan memiliki dua kata benda, yakni ilmu dan
pengetahuan.
Pada perkembangan selanjutnya dimunculkan kata science yang dapat digunakan untuk
ilmu pengetahuan sebagai jalan keluar atas kebingungan semantic yang melanda definisi ilmu
pengetahuan itu sendiri. Kata sains merupakan terminology yang diadopsi atau bisa dipinjam
dari bahasa Inggris yakni science. Namun kata sains ini tidak banyak dipakai dalam
perkembangan aturan-aturan tersendiri.

PEMBAHASAN

4
Di dalam Islam Ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman
hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar,
Albert Enstein mengatakan bahwa “Science without Religion is blind, and Religion without
science is lame” Ilmu tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain. Karena
dalam pandangan Islam, ilmu agama dan umum sama-sama berasal dari Allah. Islam juga
menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari setiap
ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan Al-qur’an merupakan sumber dan rujukan utama ajaran-
Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu
agama. Memahami setiap misi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah memahami prinsip-
prinsip Al-quran1.

KLASIFIKASI ILMU PENGETAHUAN MENURUT ISLAM

1. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Ghazali


Pengklasifikasian Ilmu Oleh Al-Ghazali ada dua:
Ilmu Fardu ‘Ayn
Ilmu fardu ayn merupakan kewajiban kepada setiap orang Islam. Setiap aqil baligh tidak
boleh tidak tahu mengenainya. Dalam pandangan al-Khawarizmi, ilmu fardu ‘ayn wajib ke atas
semua manusia, baik kalangan masyarakat awam atau golongan terpilih (khawass), pemerintah
atau menteri, yang merdeka atau hamba, yang tua dan yang muda, dan seterusnya. Ilmu fardu
‘ayn memiliki tiga dimensi.

Dimensi pertama ilmu fardu 'ayn adalah i‘tiqad, yaitu, membenarkan segala apa yang
sahih disampaikan Allah kepada Rasulullah dengan i‘tiqad yang tetap dan pasti, yang bebas dari
sebarang shakk (keraguan). Dimensi pertama ilmu fardu ‘ayn ini juga terkenal dengan nama ilmu
al-tawhid, karena merangkum pengenalan mengenai Allah Maha Pencipta yang cabang-
cabangnya diperincikan dalam rukun iman yang lain. Kewajiban menuntut ilmu ini berkembang
menurut getaran keraguan hati yang terjadi akibat pembawaan sendiri atau tantangan pengaruh
1
Zainal Abidin Bangir. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Penerbit: Mizan. Jakarta: 2005 hal 41

5
masyarakat dalam bentuk kemungkaran akidah. Kadar ilmu I‘tiqad yang wajib dituntut adalah
secukupnya untuk menghilangkan kesangsian dan kekacauan aqidah yang boleh dialami. Yaitu,
mampu mengenal antara aqidah yang haqq dan yang batil sehingga terhindar dari kepercayaan
yang batil menurut hawa nafsu atau menafikan 'aqidah yang haqq
Dimensi kedua ilmu fardu 'ayn adalah berkenaan dengan perbuatan yang wajib
dilaksanakan.
 Pertama, kewajiban menuntut ilmu ini berkembang mengikuti waktu; semakin lama
seseorang mukallaf itu hidup, semakin berkembanglah urusan-urusan fardu aynnya yang
memerlukan ilmu yang berkaitan. Dimensi ini terdiri dari beberapa kaidah.
 Kaidah pertama, semakin lama seseorang mukallaf itu hidup, semakin
berkembanglah urusan-urusannya yang wajib, dari shalat lima waktu hinggalah
puasa ramadan, dari zakat harta sampai ke haji – yaitu, apa yang dinamakan rukun
Islam. Inipun hanyalah permulaan agama yang dapat dikembangkan lagi; seperti
akar pohon yang berkembang tumbuh berdahan, beranting dan berbuah.
Selanjutnya termasuk ilmu mengenai apa yang halal dalam soal makanan,
minuman, pakaian, pergaulan dan perhubungan sesama manusia dan lain-lain hal
yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan biasa. Perincian ilmu fardu ‘ayn
tentang amal sedikit-sebanyak berbeda, karena perberbedaan keadaan dan
kedudukan seseorang. Yang menjadi sebab wajibnya ilmu tertentu berkaitan
dengan apa yang dituntut oleh keperluan hidup.
 Kaedah kedua untuk memahami perkembangan ruang lingkup ilmu-ilmu fardu
‘ayn yang berkaitan dengan perbuatan yang wajib dilaksanakan adalah prinsip
“tidak diperbolehkan melakukan sesuatu usaha melainkan setelah mengenal
syarat-syaratnya dalam agama.”
Aspek ketiga ilmu fardu 'ayn adalah berkenaan dengan masalah yang wajib ditinggalkan.
Kewajiban ilmu ini berkembang menurut keadaan seseorang yang berbeda-beda antara satu sama
lain.

Ilmu Fardu Kifayah

6
Menurut al-Ghazzali, ilmu fardu kifayah adalah ilmu yang tidak dapat dikesampingkan
dalam menegakkan urusan duniawi masyarakat Islam. Dalam kewajiban fardu kifayah, kesatuan
masyarakat Islam secara bersama memikul tanggungjawab kefarduan untuk menuntutnya.
Menurut al-Ghazzali, ilmu fardu kifayah bisa dinilai dari dua jurusan.
 Pertama, pengkhususan dalam ilmu-ilmu Shari’ah yang wajib dituntut karena ia
menjadi perantara dalam menegakkan urusan keagamaan masyarakat Islam di dunia,
seperti disiplin bahasa Arab al-Qur'an, usul fiqh, fiqh jual-beli dan perdagangan,
pengurusan jenazah dan harta pewarisan, munakahat (nikah-kahwin dan perceraian),

jinayah dan ketatanegaraan, dan lain sebagainya.

 Bagian kedua ilmu fardu kifayah yang wajib dituntut adalah ilmu bukan Shari‘ah karena
ia tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi masyarakat Islam.
Dalam kewajiban ilmu fardu kifayah, kesatuan para mukallaf masyarakat Islam secara
bersama memikul tanggungjawab kefarduan untuk menuntutnya. Yaitu, jika sejumlah
mukallafin ada yang menegakkan kewajiban menuntut ilmu fardu kifayah tersebut, maka
kefarduan itu telah terpenuhi dan gugurlah dosa bagi yang tidak mengerjakannya.
Sebaliknya, jika tiada seorang pun yang menegakkan kewajiban menuntut ilmu fardu
kifayah tersebut, atau mengambil keputusan untuk bersepakat untuk meninggalkan ilmu
fardu kifayah itu, maka semua mukallaf masyarakat tersebut berdosa karena
mengabaikan kewajiban itu.

Klasifikasi Ilmu al-Ghazali:


 Ilmu teoritis dan Ilmu praktis
 Ilmu huduri dan Ilmu husuli
 Ilmu syariah dan Rasional
 Fardu ‘Ayn dan Fardu Kifayah

Fard ‘Ayn = Arkanul Islam


Fard Kifayah:

7
 Ilmu Syariah
Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma, atsar, fikih, ilmu pengantar (mukaddimah) sebagai alat, ilmu-
ilmu tafsir, usul-fikih, ilmu hadist, tarikh, sirah, kalam dan tasauf.
 Imu Non Syariah
Ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam.

2. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi


Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij suatu desa di Farab (Transoxania) pada
tahun 870 M. Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi,
kreativitas, kebebasan berfikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi
dipandang sebagai seorang filosof muslim dalam artian kata yang sebenarnya, maka al-Farabi
disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi filsafah dalam Islam yang sejak itu
terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar
setelah panutannya Aristoteles. Al-Farabi masyhur karena telah memperkenalkan dokrin
”Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai,
di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nasr2.
Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya Al-Farabi dapat dibagi
menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika. Tentang logika Al-Farabi mengatakan bahwa
filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada
keberadaan agama, baik ditinjau dari segi waktu (temporal) maupun dari sudut logika. Dikatakan
”lebih dahulu dari sudut pandang waktu” karena Al-Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan
filsafat secara luas bermula sejak Mesir Kuno dan Babiliona, jauh sebelum Ibrahim dan Musa.
Metafisika menurut Al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama:
 Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi
 Bagian yang berkenaan subtansi-subtansi material, sifat serta derajat keunggulannya
yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang ”suatu wujud yang sempurna yang
tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan” yang merupakan prinsip terakhir dari
segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaitu teologi.

2
e-books. Pemikiran Metafisika Al-Farabi. Nurisman. Hal 83

8
 Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-
ilmu khusus.

Ilmu tertinggi filosifis adalah metafisik (al-ilmi al-ilahi) karena materi subyeknya berupa
wujud non fisik mutlak. Dalam terminologi religius wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan
Malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud ini merujuk pada sebab pertama, dan sebab kedua
intelek aktif. Dalam kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid
secara benar. Segala yang selain Allah adalah makhluk, diciptakan3.
Manusia menurut Farabi memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan
yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia
disinari oleh Intelek Aktif. Pencerahan oleh Intelek Aktif memungkinkan transformasi serempak
intelek potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan
hubungan antara akal potensial dengan Akal Aktif seperti mata dengan matahari.
Mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia
menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang
bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumbe cahaya itu sendiri.
Di samping itu, intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan
primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya
tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah
angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya. Intelek potensial yang sudah
disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya
sebagai bentuk tersebut.
Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda
yang masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga
merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu.
Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Perolehan
aktualitas oleh akal potensial menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan
pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya.

3
e-books. Pemikiran Metafisika Al-Farabi. Nurisman. Hal 86-88

9
Pada tahap ini, intelek aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan intelek aktual
adalah pengetahuan murni. Intelek aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan
intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika intelek aktual sudah sampai pada tahap ini, ia
menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan intelek perolehan atau al-aql al-mustafad atau
acquired intelect.
Dengan demikian, intelek perolehan merujuk pada intelek aktual ketika mencapai tahap
mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses
pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Intelek perolehan adalah bentuk
intelek manusia paling tinggi. Intelek perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan Intelek
Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga
tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani
untuk aktifitas berpikirnya.

3. Klasifikasi Ilmu Menurut Ibnu Sina


Ibnu Sina mengembangkan kosep logikanya kurang lebih semodel dengan komentar al-
Farabi tentang Organon-nya Aristoteles. Filsafat Logikanya bisa ditemukan dalam kitabnya yang
berjudul al-Najat dan dalam beberapa bagian penting karya yang lain yang berjudul al-Isharat.
Dalam sebuah monograf ringkas tapi sangat penting yang berisi tentang ‘Klasifikasi Ilmu
Pengetahuan”, Ibn Sina membagi pengetahuan logika ke dalam sembilan bagian yang berbeda,
yang berkaitan dengan delapan buku Aristoteles yang didahului oleh Isagoge-nya Prophyry,
salah satu buku yang sangat terkenal di Timur pada abad pertengahan.
 Pertama, berhubungan dengan Isagoge, adalah filsafat umum tentang bahasa yang
berkaitan dengan pembicaraan dan elemen-elemen abstraknya.
 Kedua, berkaitan dengan ide-ide sederhana dan abstrak, yang dapat diterapkan pada
semua hal, dan disebut oleh Aristoteles dengan kategori.
 Ketiga, berkaitan dengan kombinasi dari ide-ide sederhana tersebut untuk menyusun
proposisi yang dinamakan Aristoteles dengan hermeneutika dan oleh filosof Muslim
dengan al-ibarah atau al-tafsir.

10
 Keempat, mengkombnsikan proposisi dalam bentuk-bentuk silogisme yang berbeda dan
merupakan bahasan pokok First Analytics Aristoteles, yaitu analogi (al-qiyas).
 Kelima, mendiskusikan berbagai hal yang harus dipenuhi oleh premis-premis yang
darinya rangkaian reasoning dijalankan dan ini disebut dengan Second Analytics, yaitu
pembuktian (al-burhan).
 Keenam, mempertimbangkan sifat dan batas-batasan penalaran yang mungkin, yang
berkaitan dengan Topic-nya Aristoteles, yaitu perdebatan (al-jadl).
 Ketujuh, membicarakan kesalahan penalaran logis, intensional atau yang lain, dan ini
disebut Sophisticii atau kesalahan-kesalahan (al-maghalit).
 Kedelapan, menjelaskan seni mempersuasi secara oratorikal dan ini disebut Rhetoric atau
pidato (al-khatabah).
 Kesembilan, menjelaskan seni mengaduk jiwa dan imajinsi pendengar melalui kata-kata.
Ia adalah puisi (al-shi’r) atau Poetics-nya Aristoteles yang dianggap filosof muslim
menjadi bagian dari organon logisnya.

Logika digunakan Ibn Sina dalam pengertian yang luas. Logika silogistik dianggapnya
hanya bagian darinya. Sekalipun Ibn Sina memberikan logika posisi yang sangat penting di
antara ilmu-ilmu yang lain, dia pada saat yang sama juga mengakui batas-batasnya. Fungsinya,
dia jelaskan sangat jelas, bisa juga digunakan untuk hal yang negatif. Tujuan utamanya adalah
menyediakan bagi kita beberapa aturan yang akan mengarahkan kita agar tidak jatuh ke dalam
kesalahan penalaran. Jadi, logika tidak menemukan kebenaran baru, tapi membantu kita untuk
menggunakan kebenaran yang telah kita miliki tersebut dengan baik dan mencegah kita dari dari
penggunaan yang salah atas kebenaran tersebut.
Penalaran, menurut Ibn Sina, berawal dari terma-terma khusus yang diterima dari luar. Ini
merupakan data awal pengalaman atau prinsip-prnsip pertama pemahaman. Rangkaian deduksi
dihasilkan dari pengetahuan, diturunkan dari pengetahuan yang mendahului, dan ini bukan tidak
terbatas. Ia harus memiliki starting point yang menjadi pondasi dari keseluruhan struktur logika.
Starting point ini tidak didirikan di dalam logika itu nsendiri, tetapi di luarnya. Ini secara jelas
mengindikasikan bahwa logika seperti itu semata-mata sistem formal, tidak terkait dengan

11
kebenaran atau kesalahan. Isi kebenaran dari sistem tersebut tidak datang dari dalam, tapi dari
luar, yaitu dari data pengalaman pertama.
Deskripsi atau definisi pertama dibentuk dari pengalaman langsung atau ide-ide dan
kemudian disusun dengan menggunakan argumen-argumen. Ibn Sina menyarakan untuk
menggunakan justifikasi pragmatis terhadap definisi dan argumen: dengan definisi, seseorang
dapat merepersentasikan obyek dan dengan argumen, dia dapat melakukan persuasi.
Ibn Sina menjelaskan bahwa pengalaman dan penalaran memiliki andil yang sama dalam
formasi dan pertumbuhan data seorang ilmuwan. Dengan melihat pengetahuan kita secara
umum, terlihat ada keyakinan dasar tetentu yang semua orang mengakuinya berdasarkan
perasaan bersama (common feeling), atau karena opini dari orang-orang terdidik yang tidak
bertentangan dengan orang-orang awam. Sebagian muncul dari kebiasaan-kebiasaan yang
terbiasakan sejak masa kanak-kanak dan yang lain berdasarkan atas pengalaman hidup.
Semua keyakinan-keyakinan dasar ini bergandengan dengan prinsip pertama penalaran
yang diproduksi dalam diri manusia oleh daya intelektualnya dengan mensyaratkan usaha sadar
untuk mengarahkannya kepada kebenaran-kebenaran tersebut. Sejauh prinsip-prinsip pertama ini
diperhatikan, pikiran merasakan dirinya sendiri meyakini validitasnya dan bahkan tidak
menyadari bagaimana keyakinan tersebut muncul. Ini memang benar, misalnya, aksioma
matematis, contohnya, bahwa keseluruhan lebih besar dari sebagian, atau hukum pemikiran
semisal A sama dengan B dan pada saat yang sama tidak sama dengan B.
Ketika membicarakan bentuk dan materi definisi dan argumen, Ibn Sina membedakan
antara definisi, deskripsi dan ringkasan. Pertama, apakah sesuatu itu, dan bagaimana ia
sesungguhnya. Kemudian, di mana ia, dan terakhir mengapa ia seperti itu. Ini adalah aplikasi
kategori Aristotelian terhadap pengetahuan dunia fenomena

4. Klasifikasi Ilmu menurut SH. Nasr


Seyyed Hossein Nasr lahir tanggal 7 April 1933 di Teheran. Sarjana dalam bidang Sains
(fisika) di MIT pada tahun 1954. Pada tahun 1951, mulai tertarik kepada sesuatu yang lain untuk
mengkaji alam. Terpengaruh dengan Giorgio Di Santillana. Pada awalnya, S2 di bidang geologi

12
dan geofisika di Universitas Harvard. Namun, akhirnya berubah ke bidang sejarah sains dan
filsafat di bawah bimbingan Sir Hamilton Gibb, H. A. Wolfson dan I. B. Cohen.

Memperoleh Phd pada tahun 1958 di Universitas Harvard dengan disertasi mengenai
Kosmologi Islam yang diterbitkan menjadi buku pada tahun 1964 dengan judul An Introduction
to Islamic Cosmological Doctrines: Conceptions of Nature and Methods Used for Its Study by
the Ikhwan al-Shafa, al-Biruni dan Ibn Sina.

Kritik terhadap Sains Modern yang sekular:


1. Pandangan sekular tentang alam semesta yang melihat tidak ada jejak Tuhan di dalam
keteraturan alam. Alam bukan lagi sebagai ayat-ayat Allah tetapi entitas yang berdiri sendiri.
2. Alam yang digambarkan secara mekanistis bagaikan mesin dan jam. Alam menjadi sesuatu
yang bisa ditentukan dan diprediksikan secara mutlak-yang menggiring kepada munculnya
masyarakat industri modern dan kapitalisme.
3. Rasionalisme dan empirisisme.
4. Warisan dualisme Descartes yang mengandaikan sebelumnya pemisahan antara subjek yang
mengetahui dan objek yang diketahui.
5. Eksploitasi alam sebagai sumber kekuatan dan dominasi.
Desakralisasi Ilmu Pengetahuan:
 Desakralisasi filsafat
 Desakralisasi kosmos
 Desakralisasi sains
 Desakralisasi bahasa
 Desakralisasi agama

Hikamah Abadi:
 menolak pandangan hidup filsafat modern yang relatifistik, positivistik dan rasionalistik.
 menegaskan titik-temu agama-agama.

13
Seyyed Hossein Nasr:
Makna Islam: Islam merujuk kepada dua makna. Pertama, Islam yang bermakna kepada agama
yang diwahyukan melalui al-Qur’an. Kedua, Islam dalam makna yang lebih umum, yaitu
bermakna agama saja. (In a particular sense Islam refers to the religion revealed through the
Quran but in a more general sense it refers to religion as such).

Agama-agama Samawi
“Tuhan tidak mengirim kebenaran-kebenaran yang berbeda kepada para Nabi-Nya yang banyak
tetapi ungkapan-ungkapan dan bentuk-bentuk yang berbeda dari kebenaran mendasar tentang
Tauhid. Nabi Ibrahim as merupakan simbol kesatuan tradisi Yahudi, Kristen dan Islam, dimana
anggota-anggota komunitas Ibrahim (Abrahamic community) berasal. Yahudi, Kristen dan Islam
berasal dari tradisi Ibrahim (Abrahamic tradition). Yahudi dianggap sebagai tradisi pertama
tradisi Ibrahim.”
“Islam merupakan manifestasi ketiga dari tradisi Ibrahim.” (…the third great manifestation of
the Abrahamic tradition, after Judaism and Christianity).

ِ ‫اختَلَفُوا ِف‬
‫يه‬ ْ ‫يما‬َ ‫حك َُم بَيْ َن الن ّ َِاس ِف‬ ْ َ‫اب بِال َْح ِ ّق لِي‬ َ َ ‫ين َو ُمن ْ ِذ ِر‬
َ َ‫ين َوأن ْ َز َل َم َع ُه ُم ال ْ ِكت‬ َ ّ‫ث الل َّ ُه النَّبِي‬
َ ‫ِين ُمبَ ِ ّش ِر‬ ِ ‫أ ُ َّم ًة َو‬
َ ‫اح َد ًة فَبَ َع‬ ‫َاس‬
ُ ّ ‫َان الن‬
َ ‫ك‬
‫يه‬ ْ ‫ين آ َ َمنُوا لِ َما‬
ِ ‫اختَل َ ُفوا ِف‬ َ ‫ات بَ ْغيًا بَيْن َ ُه ْم ف ََه َدى الل َّ ُه ال َّ ِذ‬ َ ‫وه ِم ْن بَ ْع ِد َما َج‬
ُ َ ‫اءتْ ُه ُم ال ْبَ ِيّن‬ ُ ُ‫ين أُوت‬ َ ‫يه ِإلَّا ال َّ ِذ‬
ِ ‫ِف‬ ‫ختَل ََف‬
ْ ‫َو َما ا‬
‫اط ُم ْستَ ِقيم‬ ُ ‫ِم َن ال َْح ِ ّق ِب ِإ ْذ ِن ِه َوالل َّ ُه يَ ْه ِدي َم ْن يَ َش‬
ٍ ‫اء ِإل َى ِص َر‬
Artinya:
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus
para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar,
untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah
berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu
setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka
sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang
yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Al-Baqarah 2: 213).

14
Sains Sakral SH. Nasr:
Kebenaran ada dalam semua tradisi, konsep Manusia Intelek dan Rasio
 Rasio dan Intelek
Dimensi esoteris dan eksoteris yang inheren dalam agama berasal dari dan diketahui
melalui lntelek. Meister Eckhart, akar intelek adalah Ilahi, karena intelek adalah increatus et
increabilis.
Secara psikologis, ego manusia terkait dengan badan (body), otak (brain) dan hati
(heart). Jika badan diasosiasikan dengan eksistensi fisik, otak dengan fikiran (mind), maka hati
(heart) dengan Intelek. Jika dikaitkan dengan realitas, maka Intelek dapat diasosiasikan dengan
Esensi Tuhan (Yang Satu) dan langit (alam yang menjadi model dasar) sedangkan fikiran dan
badan meliputi dunia fisik, terrestrial. Intelek sangat penting karena otak dan badan di bawah
kendali, dan berasal dari Intelek.
Intelek adalah pusat manusia (the centre of human being), yang bersemayam di dalam
hati. Kualifikasi intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral. Jika tidak, maka secara
spiritual, Intelek tidak akan berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan ‘spiritualitas’ adalah
bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran. Intelektualitas menjadi spiritualitas ketika
manusia sepenuhnya, bukan Intelektualitasnya saja, hidup di dalam kebenaran.
Intelek lebih tinggi dari rasio karena jika rasio itu menyimpulkan sesuatu berdasarkan
kepada data, maka mental berfungsi karena eksistensi intelek. Rasio hanyalah media untuk
menunjukkan jalan kepada orang buta, bukan untuk melihat. Sedangkan Intelek, dengan bantuan
rasio, terungkap dengan sendirinya secara pasti. Selain itu, Intelek dapat menggunakan rasio
untuk mendukung aktualisasinya.
Di dunia fisik, Intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body). Namun, hanya di
dunia fisik Intelek terbagi. Di alam langit yang menjadi model dasar, atau di dalam Ide Plato,
fikiran dan badan merupakan makna yang tidak dibedakan: Fikiran adalah eksistensi dan
eksistensi adalah fikiran.
Manusia memahami kebenaran melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, Intelek adalah dasar
bagi intuisi. Intuisi intelek membedakan antara yang ril dan ilusi, antara wujud yang wajib dan
wujud yang mungkin. Implikasinya, ada realitas transenden diluar dunia bentuk. Jadi, dengan

15
Intelek, manusia mengetahui bahwa Realitas dapat dibagi menjadi dua, Absolut dan relatif, Ril
dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan eksoteris.
Sumber dari kepastian logika dan matematika dallam fikiran manusia dan hukum-hukum
tersebut berkorespondensi dengan aspek-aspek realitas objektif karena bersumber dari Intelek
ilahi yang refleksi di dalam dataran manusia merangkum keyakinan, koherensi dan keteraturan
hukum-hukum logika dan matematika yang mana pada saat yang sama, adalah sumber dari
keteraturan objektif dan harmoni yang mana aakala manusia mampu untuk mengkaji melalui
hukum-hukum tersebut.Hukum-hukum logika berakar di dalam Ilahi dan memiliki realitas
ontologis.
Hukum-hukum logika tersebut merupakan ilmu pengetahuan prinsip yang secara
tradisional diasosiakan dengan hikmah. Sayangnya, perspektif hikmah pada zaman modern dan
desakralisasi ilmu bukan hanya telah mengabiakan teologi alami namun juga telah menceraikan
logika dna matematika dara yang sakral dana mereka telah digunakan sebagai alat-alat utama
untuk sekularisasi dan proses pengetahuan.
Dalam sains sakral, iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman.
(credo ut intelligam et intelligo ut credam). Rasio merupakan refleksi dan ekstensi dari Intellek.
Ilmu pengetahuan pada akhirnya terkait dengan Intelek Ilahi dan Bermula dari segala yang
sakral.
SH. Nasr:
 Menolak sekularisasi dan desakralisasi ilmu pengetahuan
 Mengartikulasikan kembali warisan S & T Islam sebagai contoh Islamisasi S & T modern
 Saintis Muslim terdahulu mengadaptasikan S & T kuno dan menyesuaikanya dengan
pandangan alam/hidup Islam untuk menciptakan S & T yang Islami.
 Tawhid digunakan sebagai dasar untuk integrasi alam tabi’i (natural world)
 Alam tabi’i sebagai tanda kepada Realitas Absolut
 Mengimani kepada multi-eksistensi seperti alam tabi’i, alam yang tidak tampak, dll.
 Alam adalah simbol/bayangan/dari Realitas Absolut
 Sains Islam: alam ini adalah sakral tetapi bagi sains modern tidak tetapi sebagai tujuan
akhir (an end in itself)

16
 Sains sakral dibangun di atas konsep kesatuan transendent agama-agama yang
termanifestasikan dalam ruang dan waktu yang berbeda.
 Phytagoras dan Plato mengekspresikan kebenaran dalam semua agama. Oleh sebab itu,
mereka berada dalam alam Islami dan tidak dianggap asing kepadanya. (Knowledge and
the Sacred, 71-72).
 Tradisionalisasi sains atau sains sakral.

Gagasan Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi:


 Akar dari persoalan ummat: politik, ekonomi, agama, budaya dan pendidikan.
 Memfokuskan pada ilmu-ilmu sosial
 (Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences)
 Islamisasi dibagun di atas konsep Tawhid, Penciptaan, Kebenaran dan Ilmu
Pengetahuan, Kehidupan dan Kemanusiaan.

Sistem pendidikan di dunia Muslim saat ini selain terpengaruh dengan ilmu sekular juga
memiliki kekurangan dan kelemahan internal. Kekurangan metodologi tradisional selanjutnya
diatasi dengan prinsip-prinsip metodologi Islam seperti Tawhid (The Unity of Allah), kesatuan
penciptaan (The Unity of Creation), Kesatuan Kebenaran dan Kesatuan Ilmu Pengetahuan (The
Unity of Truth and the Unity of Knowledge) dan Kesatuan Kehidupan (The Unity of Life).

KESIMPULAN

Berawal dari sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat ini
telah terkontaminasi pemikiran barat sekuler dan cenderung ateistik yang berakibat hilangnya
nilai-nilai religiusitas dan aspek kesakralannya. Di sisi lain, keilmuan Islam yang dipandang
bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas

17
tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Menyebabkan
munculnya sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan diantara keduanya
sehingga ilmu yang dihasilkan bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian
dikenal dengan istilah "Islamisasi Ilmu Pengetahuan".

Ide ini yang dilemparkan oleh Syed Hossein Nasr walaupun belum menggunakan
identitas atau label yang jelas, dilanjutkan Syed M. Naquib al-Attas dan disebarluaskan oleh
Ismail Raji al-Faruqi dengan langkah-langkah yang konkrit untuk mewujudkan tujuan gagasan
tersebut pada dasarnya adalah sama yaitu untuk mencegah penyebaran  lebih luas "virus-virus"
Westernisasi yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern (baca: sains Barat).

Walaupun masih menjadi perdebatan sampai saat ini tentang siapa yag menjadi
penggagas ide Islamisasi tersebut, karena masing-masing pihak meng"klaim" diri mereka sebagai
penggagasnya, tapi itu bukan persoalan yang penting. Hal mendesak yang harus dilakukan
sekarang adalah merealisasikan gagasan itu sendiri, sehingga gagasan Islamisasi tidak terhenti
dan hanya menjadi sebuah wacana yang berkembang dan selalu menimbulkan perdebatan.

http://www.scribd.com/doc/45621821/islamisasi-mkLh - outer_page_5

REFERENSI

Zainal Abidin Bangir. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Penerbit:
Mizan. Jakarta: 2005

18
Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Pustaka, 1984)

Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002)

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan


(Jakarta: Bulan Bintang, 1975)

e-books. Pemikiran Metafisika Al-Farabi. Nurisman

e-books. Islamisasi Ilmu Pengetahuan.

http://drmiftahulhudauin.multiply.com

http://oediku.wordpress.com/2009/06/15/hubungan-agama-islam-dan-ilmu-
pengetahuan/

http://averroes.or.id/2007/12/11/al-farabi-menguasai-hampir-setiap-subyek-yang-
dipelajari/

19

Anda mungkin juga menyukai