Anda di halaman 1dari 7

Kitab Irsyad Al-Aql As-Salim Ila Mazaya Al-

Kitab As-Salim
Oleh Abu Su'ud Bin Muhammad Al-Amidi

DISUSUN OLEH:
NURSYAMSIH
ST. NURUL FAHMIAH
MA’HAD ALY AS’ADIYAH SENGKANG
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
TAFSIR ABI AL-SU'UD
A.   Latar Belakang Intelektual Penulis Tafsir

Nama lengkapnya adalah Abus Su’ud Muhammad bin Muhammad Al Imady, lahir
pada tahun 896 H=1490 M, dan meninggal pada tahun 982 H = 1574 M. Seorang ulama
fiqih dan tafsir. Berkali-kali beliau menjabat pekerjaan Qadli dan kemudian sekali beliau
menjadi mufti di Konstantinopel (Istambul). Di antara kitabnya tafsir Irsyaad al-‘Aql as-
Saliim Ilaa Mazaaya al-Kitaab al-Kariim.

Irsyad al-Aql as-Salim ila Mazaya al-Kitab as-Salim disusun oleh Abu Su'ud bin
Muhammad al-Amidi. Kitab tafsir ini menekankan masalah kebahasaan dan
kemukjizatan Alquran dari segi munasabah antara ayat dan kiraah, dan hal-hal yang
berkaitan dengan kaidah bahasa Arab. Riwayat isra'iliyyat dan masalah fikih kurang
ditampilkan dalam kitab tafsir ini.

Ia termasuk penganut aqidah Asya’riyyah yang mengikuti madzhab ar-Razy di


dalam membicarakan tentang sifat-sifat Allah dan menukil hal-hal yang dikuatkannya
serta menyetujuinya.

Ada yang mengatakan, bahwa ia adalah tafsir yang bagus, tidak terlalu panjang
sehingga membuat jenuh dan tidak pula terlalu pendek sehingga mengurangi
maknanya. Ia banyak membahas tentang sisi-sisi sentuhan dan sesuatu yang unik,
mengandung banyak faidah dan petunjuk. Pengarangnya fokus pada perhatian
menyingkap rahasia-rahasia balaghah al-Qur’an dengan mengacu pada pada kitab tafsir
al-Kasysyaaf (karya az-Zamakhsyari-red.,) dan kitab ‘al-Baidlawi’ di dalam
menafsirkannya.

Beliau memaparkan madzhab-madzhab fiqih secara ringkas dan hampir tidak


pernah terlibat dalam diskus-diskusi fiqih.

Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, dan sekali pun terkadang


menyinggungnya juga, maka ia terlebih dahulu membubuhkan kata, ‘Diriwayatkan’ atau
‘Katanya’ di depannya (yang mengesankan hadits megenainya lemah-red.,), ia malah
mengetengahkan hadits-hadits Maudlu’ (Palsu) di dalam masalah keutamaan surat pada
akhir penafsiran setiap surat.

Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab
mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri
untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang
bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah
pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab.

Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh
yang menonjol pada periode ini.

 Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak


bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi
fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini
disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab
fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab
persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk
pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
 Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani,
seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan.
Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh)
mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun
menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini
lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul
ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam
masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa
melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk
transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan
tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk
melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah.
Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya
yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan
indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini
dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan
Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya
menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
 Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai
mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah
Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan
kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani
berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.

B. Metode Yang Digunakan

            Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Abu as-Su’ud selalu menggunakan metode tafsir bi
ar-ra’yi, hal ini dapat kita lihat bahwa beliau lebih menonjolkan corak bahasa dan juga
kaedah nahwu serta balaghah. Sebagaimana dijelaskan, tafsir bi al-ra'yi adalah sebuah
metode penafsiran al-Qur’an dengan memakai akal pikiran (ijtihad). Karena itu, proses
dan hasil penafsiran ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan ideologi
mufasirnya, yaitu apakah dia seorang praktisi politik, ahli hukum, seorang sufi, teolog,
filosof atau yang lain.

C. Corak Penafsiran Yang Digunakan

Corak penafsiran yang digunakan dalam Tafsir Irsyâ d al-‘Aql al-Salîm Ila Mazaya
Al-qur’an Al-karim adalah Corak bahasa. Beliau menyinggung masalah Qira`at untuk
sekedar dapat menjelaskan suatu makna dan memperhatikan penyebutan aspek-aspek
singkronisasi antar ayat yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan kaedah nahwu
tidak terlepas dari penafsiran yang digunakan dalam mengulas gaya bahasa, sehingga
ayat yang ditafsirkan lebih mempunyai makna dan susunan kaedah yang baik.

            Ia menafsirkan al-Qur’an dengan menampilkan susunan tata bahasanya, makna-


makna susunan tersebut, makna-makna logika orang Arab, dan dengan banyak
membuat perbandingan antara ayat yang satu dengan lainnya atau antara ayat al-
Qur’an dengan syair-syair orang Arab.

D. Contoh Ayat Yang Ditafsirkan

Allah Subhana wa Ta`ala Berfirman :


yang Artinya : “Dia telah mensyari`atkan bagi kamu tentang Din ini apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan `Isa yaitu : Tegakkanlah Din ini
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”(QS. As Syura ayat 13).

Maksudnya tegakkanlah Din Islam ini dengan segala rukunnya, dan apa apa yang
ada di dalamnya tentang At Tauhid kepada Allah Ta`ala, menta`ati-Nya dan beriman
dengan Kitab kitab, rasul rasul, dan hari Akhirat serta apa apa yang ada padanya
diwajibkan bagi seseorang untuk mengimaninya, yang dimaksud dengan menegakkan
Ad Din ialahn : menegakkan rukun rukunnya dengan `adil dan memeliharanya dari
penyimpangan, selalu menerapkannya dan bersungguh sungguh untuk menegakkannya.
(Tafsir Abi As Su`ud : 5/60).

Sesungguhnya berhukum kepada Syari`at Allah- `Azza wa `Ala- dan berhukum


dengan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam,
ini merupakan tuntutan dari peribadatan kepada Allah, persaksian terhadap Risalah
Nabi-Nya Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam, bila berpaling dari demikian sedikit
saja akan ditimpa dia oleh azab dan sanksi Allah, urusan ini apakah antara Negara
dengan rakyatnya, atau sangat dianjurkan berpegangnya kelompok Muslimin di setiap
tempat dan waktu, apakah dalam situasi ikhtilaf dan pertikaian yang khusus dan umum
(Wujub Tahkim Syari`at Allah) oleh Mufti Kerajaan As Saudi, Samahatu As Syaikh Abdul
Aziz ibnu `bdullah bin Baz rahimahullah Ta`ala.

Berkata Abu As Su`ud : maksudnya; Barang siapa yang tidak berhukum dengan
Hukum-Nya serta melecehkan dan mengingkari.... Maka dia termasuk orang-orang yang
kafir disebabkan kerana pelecehannya terhadap hukum Allah itu (Tafsir Abi As Su`ud
(1/64).

E. Pandangan Ulama Terhadap Tafsir

Sudah barang tentu mengingat tafsir Abi As-Su’ud adalah tergolong tafsir bi ar-
ra’yi maka tafsir ini menuai kontroversi dikalangan para ulama, ada yang sepaham dan
ada yang tidak. Bagi yang sepaham berdasarkan bahwa tafsir ini banyak menuqil dari
tafsir Az-Zamakhsary termasuk bagian tafsir yang terkenal dikalangan para ulama.
F. Analisis

 Kelemahan

Bahwa tafsir Tafsir Abi Al-Su'ud/Irsyad Al Aql Al-Salim Ila Mazaya Al-Qur’an Al-Karim
yang menggunakan metode penafsiran bi ar-ra’yi ini sudah barang tentu memiliki
kelemahan menyangkut perihal kontroversi para ulama tentang tafsir bi ar-ra’yi itu
sendiri, sehingga sebagianulama menilai bahwa tafsir tersebut tidak kuat untuk
dijadikan hujjah bagi kalangan ahli tafsir.

Dalam tafsir Abi Al-Su'ud terkadang menyinggung Israilliyat sehingga membuat


tafsirnya mendapat tanggapan yang negatif dari sebagian ulama yang tidak sejalan
dengannya. Disamping itu beliau dalam menafsirkan ayat selalu menuqil dari tafsir lain
seperti tafsir Az-zamakhsyari.

 Kelebihan

Semangat menggunakan metode linguistik dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an ini


mempunyai keistemewaan tersendiri. Yaitu, susunan kata-kata yang dipakainya
berbeda dengan metode yang lain. Ia mampu menguraikan suatu ayat yang tidak
dimiliki oleh metode lain, mampu menguraikan sebuah susunan kalimat dalam suatu
ayat dengan memakai kalimat-kalimat dan huruf-huruf yang ada di dalam ayat tersebut
tanpa memakai kalimat dan huruf yang lain.

G. Kesimpulan

Keseluruhan kitab-kitan fikih berbagai madzhab sebagaimana dicantumkan di


atas, menyatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Hal ini
dikuatkan lagi dalam kitab Al Fiqh ala Madzahib Al Arba’ah (Fikih Empat Madzhab)
susunan Dewan Ulama Saudi yang menyimpulkan, “Adapun bila di hadapan laki-laki
yang bukan mahramnya atau di hadapan wanita non muslim, maka aurat wanita adalah
keseluruhan badannya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Keduanya bukan
aurat sehingga boleh ditampakkan bila aman dari gangguan”.

Adapun para mufasir yang berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangan
wanita bukan aurat adalah:
a. Ath Thabari (wafat 310 H) dalam Jami’ul Bayan ‘an Takwil Ayatil Qur’an
b. Al Jashash (wafat 370 H), dalam Ahkamul Qur’an
c. Al Wahidi (wafat 468 H), dalam Al Wafiz Fi Tafsiril Qura’anil Aziz
d. Al Baghawi (wafat 516 H), dalam Ma’alimut Tanzil Fit Tafsir
e. Az Zamakhsyari (wafat 528), dalam Tafsir Al Kasysyaf
f. Al Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi (wafat 543 H), dalam Ahkamul Qur’an
g. Al Fakhur Razi (wafat 606 H), dalam At Tafsirul Kabir
h. Al Qurthubi (wafat 671 H), dalam Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an
i. Al Khazin (wafat 725 H), dalam Lubabut Ta’wil Fi Ma’anit Tanzil
j. An Naisaburi (wafat 728 H), dalam Ghara’ibul Qur’an wa Ragha’ibul Furqan
k. Abu Hayyan Al Andalusi (wafat 754 H), dalam Al Bahrul Muhith
l. Abu Su’ud (wafat 951 H) dalam Tafsir Abis Su’ud
m. Ibnu Badis (wafat 1359 H) dalam Min Atsari Ibni Badis.

Meski al-Qur’an memerintahkan untuk berpikir dan menggali isi kandungannya,


akan tetapi cara-cara yang digunakan dan untuk mencapai ke arah itu tidak mudah.
Tidak semua orang bisa dan boleh melewatinya. Diperlukan kemampuan dan
pengetahuan yang cukup, sehingga tidak dikhawatirkan akan terpeleset. Namun, hal itu
tidak boleh membuat kita pesimis atau mandeq. Justru itu adalah tantangan, bagaimana
kita bisa menguasai alat-alat yang diperlukan untuk melakukan penafsiran-penafsiran
tersebut, sehingga dari sana lahir konsep-konsep baru tentang suatu ilmu, atau teori-
teori baru tentang tatanan kehidupan masyarakat,  apalagi pada masa-masa seperti ini.

Saat ini masyarakat Islam dituntut tidak hanya menyemarakkan kegiatan-


kegiatan “qur’ani” seperti MTQ, khataman al-Qur’an atau yang lain. Lebih dari itu, juga
dituntut untuk bisa mengerti, memahami dan akhirnya merealisasikan ajaran-ajaran
yang terkandung di dalamnya. Adalah ironi jika seseorang mengaku beragama Islam
dan mengaku berpedoman pada kitab suci al-Qur’an, tetapi tidak pernah membacanya,
apalagi mempelajari, memahami dan mengamalkan ajarannya. Wallahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai