Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dikalangan filosof dan para pemikir muslim, ada dua tokoh yang terkenal
dengan kritikan dan pembelaannya terhadap para filosof. Orang mengenalnya
dengan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Keduanya merupakan filosof dengan
pemikirannya yang cemerlang dan kelebihan masing-masing.

Al- Ghazali dikenal sebagai orang yang gencar mengecam filosof, seperti
al-Farabi, Ibnu Sina yang merupakan murid dan komentator Aristoteles. Masalah-
masalah kefilsafatan yang menjadi sasaran kritikannya adalah hal-hal yang
dianggap membahayakan umat Islam . 1

Akibat serangan – serangan terhadap Fisafat yang berpengaruh terhadap


umat Islam itulah Ibnu Rusyd tampil membela para Filosof. Ia melakukan
pembelaan terhadap filosof karena serangan yang di lakukan oleh al- Ghazali
dalam berbagai argumentasi cukup ‘mematikan’ dan sangat berpengaruh terhadap
dunia Islam yang akhirnya menimbulkan kebencian terhadap fisafat. Tuduhan –
tuduhan itu menjadikan Ibnu Rusyd tidak tinggal diam dan melakukan
pembelaan- pembelaan terhadap pemikiran- pemikiran filosof, yang intinya
berusaha memadukan Agama dan filsafat.

Ibn Rusyd adalah tokoh yang mempunyai pengaruh besar bagi


perkembangan filsafat dan pemikiran sesudahnya, Islam maupun Barat. Gagasan-

1
https://www.tongkronganislami.net/makalah-kritik-al-ghazali-vs-ibnu-rusyd/ di akses tanggal 5
Maret 2019 pukul 06.37 WITA

1
gagasannya telah mendorong lahirnya pemikiran-peikiran baru yang kreatif dan
inovatif. Karena itu, kajian terhadap tokoh yang berpengaruh ini akan memberi
sumbangan yang sangat berarti. Apalagi kenyataannya, saat ini tampak ada
kecenderungan kuat di kalangan muda Muslim klasik dalam upaya membangun
peradaban Islam masa depan.2

Makalah ini akan membahas tentang riwayat hidup kedua tokoh tersebut
dan pemikirannya, terutama kritikan yang dilakukan al- Ghazali terhadap para
filosof dan pembelaan yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd terhadap kritikan itu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup dan karya-karya dari Al-Ghazali ?
2. Bagaimana sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof ?
3. Bagaimana riwayat hidup dan karya-karya dari Ibnu Rusyd ?
4. Bagaimana jawaban Ibnu Rusyd terhadap sanggahan Al-Ghazali ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana riwayat hidup dan karya-karya dari Al-Ghazali.
2. Untuk mengetahui bagaimana sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof.
3. Untuk mengetahui bagaimana riwayat hidup dan karya-karya dari Ibnu Rusyd.
4. Untuk mengetahui bagaimana jawaban Ibnu Rusyd terhadap sanggahan Al-
Ghazali.

2
Dr. H. A. Khudori Soleh, M. Ag, Epistemologi Ibn Rusyd Upaya Mempertemukan Agama dan
Filsafat, ( Malang: UIN Maliki Press, 2012), hal. 7

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Ghazali

Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-


Ghazali Al-Thusi. la dilahirkan pada tahun 450 H /1058 M di Ghazal, suatu kota
kecil yang terletak didekat kota Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran.3

1. Riwayat Hidup

Sejak kecil, beliau telah ditinggal ayahnya, tetapi sebelum wafat,


ayahnya sempat menitipkan bersama adiknya kepada seorang ulama sufi
terkenal untuk mendapatkanbimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya.
Pertama-tama, ia mempelajari ilmu agama di kota kelahirannya,
kemudian pindah ke Jurjan dan pindah lagi ke Nisabur. Di kota ini, beliau
berguru kepada seorang ulama besar dan masyhur dalam ilmu pengetahuan
agama yaitu Al-Kharomaini al-Juwaini. Dengan perantaraan gurunyaini, Al-
Ghazali berkenalan dengan Perdana Menteri Sultarn Saljuk Malik Syah di
Baghdad yang bernama Nizamul Mulk (pendiri Madrasah Nizamiyah 1091
M). Al-Ghazali diangkat menjadi guru di madrasah tersebut sampai enam
tahun lamanya. Selama di Baghdad, setiap setelah mengajar, Al-ghazali juga
memperdalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu kalam dan filsafat,
sehingga makin lama makin banyak prestasi kecerdasannya. Buah pikirannya
menarik perhatian banyak ulama, sehingga banyak yang menghadiri
ceramahnya. Pada waktu itu, Al-Ghazali ditimpa keragu-raguan tentang

3
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hal. 159

3
kegunaan pekerjaannya, sehingga ia jatuh sakit yang tidak bisa diobati dengan
obat-obatan lahir (fisiotera). Keragu-raguan itu pada mulanya timbul dari
pelilmu kalam yang dipelajari dari gurunya Al-Juwuwaini. Sebagaimana kita
ketahui, bahwa dalam ilmu kalam terdapat banyak aliran yang saling
bertentangan, sehingga muncul pertanyaan dalam pikirannya, aliran manakah
yang benardi antara semua aliran tersebut?4
Karena keragu-raguannya itu, ia akhirnya meninggalkan pekerjaannya
sebagai guru dan pindah ke Damsyik.Di kota inilah, Al-Ghazali banyak
merenung membaca dan menulis. Setelah tidak puas dengan ilmu kalam dan
filsafat yang menjadikannya ditimpa penyakit ragu-ragu, beliau menemukan
jalan hidupnya yang dapat menghilangkan keragu-raguannya yang telah lama
mengganggu dirinya.Akhirnya, beliau yakin bahwa itulah jalan yang selama
ini dicari-cari. Jalan itu adalah tasawwuf. Dengan tasawwut,Al-Ghazali
memperoleh keyakinannya kembali.
Kemudian, Al-Ghazali pindah ke Palestina dengan mengambil tempat
di Masjid Baital Maqdis. Di sanapun,beliau tetap merenung, membaca dan
menulis, kemudian tergerak hatinya untuk beribadah haji, sampai beliau me-
laksanakannya. Setelah selesai menunaikan ibadah haji,beliau langsung
pulang ke tempat kelahirannya (kota Tus).Sebagaimana biasanya, beliau tetap
merenung, membaca dan menulis. Tetapi, atas desakan penguasa pada masa
itu,Al-Ghazali kembali mengajar di Madrasah Nizamiyah,tempat dulu ia
mengajar, namun tidak berlangsung lama, kurang lebih hanya dua tahun.
Kemudian, beliau kembali lagi ke kota tempat kelahirannya, dan di sana
beliau mendirikan sekolah khusus bagi para mutasawwifin. Kemudian,di kota
kelahirannya ini, beliau meninggal dunia dalam usia 54 tahun, tepatnya pada
tahun 1111 M, bertepatandengan tahun 505 H.

4
Sunardji Dahri Tiam, “Historiografi Filsafat Islam: Corak, Periodesasi, dan Aktualitas”, (Malang:
Intrans Publising, 2014), hal. 73

4
2. Karya-Karyanya

Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat al-islam


(Argumentasi Islam) karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap
agama Islam, terutama terhadap kaum Bathiniyat dan kaum filosof.
Karenanya statemen yang dikemukakan sarjana- sarjana Eropa (juga sebagian
orang Islam) bahwa ia adalah Muslim . terbesar sesudah Muhammad Saw.
memperkuat kebesaran nama yang disandangnya.

Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa, la


seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan pengarang yang
produktif. Pemaparannya sangat bagus, gaya bahasanya menarik, dalil yang
disajikannya sangat kuat sehingga setiap ilmu yang dituliskannya dapat
dijadikan hujjah. Karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Buah tangannya ini tidak sedikit dialihbahasakan orang ke dalam berbagai
bahasa di Eropa. Di bawah ini hanya akan disebutkan beberapa warisan dari
karya ilmiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat
Islam. 5

1. Ihya' Ulum al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan


akidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.

2. Al-lqtishad fi al-I'tiqad, diuraikan di dalamnya akidah menurut aliran


al-Asy'ariah.

3. Maqasid al-Falasifat, berisikan ilmu mantiq, alam, dan ketuhanan.

4. Tahafut al-Falasifat, berisikan kritikan terhadap para filosof.

5. Al-Munqiz min al-Dhalal, dipaparkan di dalamnya seperangkat ilmu


yang mewarnai zamannya dan berbagai alran yang penting. llmu dan

5
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hal. 162

5
aliran-aliran tersebut dikajinva secara kritis, kemudian dijelaskan
kelebihan dan kesalahan- kesalahannya.

6. Mizan al-'amal, di dalamnya berisikan penjelasan tentang akhlak.

Dari hasil pemaparan di atas dapat dilihat bahwa Al-Ghazali dalam


hidupnya telah menempuh berbagai jalan dan meneliti berbagai mazhab;
dimulai sebagai seorang ahli hukum Islam, berbalik menjadi seorang teolog
Muslim, berpindah sebagai filosof Muslim, dan berakhir sebagai seorang sufi.

3. Sanggahan Al-Ghazali Terhadap Para Filosof

Sebelum al ghazali menulis buku Tahafut Al-Falasifah lebih dulu dia


telah menulis buku Maqashidul-Falasifah menurut metode buku An-najah
oleh Ibnu Sina yang terdiri dari masalah mantiq, alam dan ketuhanan. Setelah
ia menerangkan liku-liku filsafat, maka ditulisnyalah buku Tahafutul-
Falasifah untuk mengoreksi hal-hal yang dianggapnya keliru dalam pemkiran
kaun filosof.6
Al-Ghazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap
pemikiran para filosof. Adapun yang dimaksudkan para filosof di sini dalam
berbagai literatur disebutkan ialah Aristoteles dan Plato, iua Al-Farabi dan
lbnu Sina karena kedua filosof Muslim ini dipandang Al-Ghazali sangat
bertanggung jawab dalam menerima. dan menyebarluaskan pemikiran
filosofis dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan Plato) di dunia Islam. Kritik
pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifat
(The Incoherence of the Phlosopher; Kerancuan Pemikiran Para Filosof)
Dalam buku ini ia mendemonstrasikan kepalsuan para filosof beserta doktrin-

6
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam ( Jakarta: Bumi Aksara, 1991 ), hal. 70

6
doktrin mereka. Sebelumnya, ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang
guru pun dan menghabiskan waktu selama dua tahun. Setelah berhasil
dihayati dengan saksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya Maqashid al-
Falasifat (Tujuan Pemikiran Para Filosof).
Dalam buku Munqiz min al-Dhalal, Al-Ghazali mengelompokkan
filosof menjadi tiga golongan.7

1. Filosof Materialis (Dahriyyun) Mereka adalah para filosof yang


menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan
sendirinya.

2. Filosof Naturalis (Thabi’iyun) Mereka adalah para filosof vang


melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-
penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-
keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di
alam ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan
Rasul-Nya dan Hari Berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa
sebab mereka hanya memuaskan natsu seperti hewan.

3. Filosof Ketuhanan (Ilahiyun) Mereka adalah flosof Yunani, seperti


Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran
filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak
dapat membebaskan diri dari sisa-sisa kekafiran dan keheredoksian. Oleh
karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga Al-Farabi dan
Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.

Dalam bidang ketuhanan yang terdapat dalarm buka Tahafut al-


Falasifat, Al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid'at dan kafir.

7
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hal. 164

7
Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada dua puluh
masalah, yaitu.

1. membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali:

2. membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal;

3. menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allahlah Pencipta alam


semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya;

4. menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha


Pencipta;

5. menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil


adanya dua Tuhan;

6. membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunya sifat:

7. membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins


dan al-fashl (diffirentia);

8. membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunya substansi basith


(simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat);

9. menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjisim;

10. menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dahr (kekal dalam arti tidak
bermula dan tidak berakhir);

11. menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang


selain-Nya,;

12. menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa


Allah hanya mengetahui zat-Nya;

8
13. membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat;

14. menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang


bergerak dengan kemauan-Nya;

15. membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari
planet-planet;

16. membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua


yang jus yyat;

17. membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwal mustahil


terjadinya sesuatu di luar hukum alam;

18. menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar


(substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyal tubuh;

19. menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang. mustahilnya fana


(lenyap) jiwa manusia;

20. membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan
dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan
kepedihan dalam neraka hanya roh.

Tiga dari dua puluh masalah di atas, menurut Al-Ghazali, membuat


filosof menjadi kafir, yaitu:8

1. alam dan semua substansi kadim;

2. Allah tidak mengetahui yang juz'iyyat (perincian) yang terjadi di alam;

3. pembangkitan jasmani tidak ada.

8
Ibid, hal 167

9
Menurut Al-Ghazali kepercayaan dalam tiga masalah ini bertentangan
dengan kepercayaan umat Islam dan dipandang . mendustakan rasul-rasul
Allah, padahal tidak ada golongan Islam mana pun yang berpendapat seperti
ini. Untuk lebih jelasnya, kita tayangkan uraian yang dikemukakan Al-Ghazali
sebagai berikut.

1. Masalah Kekadiman Alam

Pada umumnya para filosof Muslim berpendapat bahwa alam ini kadim,
artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan
(kekadiman) Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak
dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab dari
akibat dan cahaya dari matahari. Untuk menopang pendapat ini, menurut
Al-Ghazali, para filosof Muslim mengemukakan argumen sebagai
berikut:9

a. Mustahil timbulnya yang baharu dari yang kadim. Proposisi ini


berlaku bagi sebab akibat, dengan arti, jika Allah kadim, maka
terjadinya alam merupakan suatu keniscayaan dan hal ini akan menjadi
kadim kedua-duanya (Allah dan alam). Jika diandaikan Allah yang
kadim sudah ada, sedangkan alam belum lagi ada, karena merupakan
kemungkinan semata, dan. setelah itu alam diadakan-Nya, maka apa
alasannya bahwa alam diadakan sekarang, tidak sebelumnya. Kalau
dikatakan sebelumnya motif (murajjih) belum lagi ada, mengapa baru
ada sekarang tidak sebelumnya? Jika dikatakan kekuasaan baru ada
tidak sebelumnya, bagaimana terjadinya kekuasaan itu. Jika dikatakan
sebelumnya Allah tidak berkehendak . (iradat) dan baru kemudian
berkehendak itu, mengapa terjadi kehendak itu, apakah kehendak itu

9
Ibid, hal 166-178

10
datang dari zat-Nya atau dari luar zat-Nya? Keduanya adalah mustahil
karena Allah tidak mengalami perubahan.

AI-Ghazali menjawab argumen filosof Muslim di atas yang ia


kemukakan sendiri. Menurut Al-Ghazali, tidak ada halangan apa pun
bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang
kadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud
alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah,
menurut Al-Ghazali, adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi
membedakan (memilih) sesuatu dari lain-nya yang sama. Jika tidak
demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat.
Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama
kedudukannya, harus ada suatu sifat khusus yang membedakannya,
yaitu sifat iradah. Andaikan para filosof Muslim menganggap sitat
tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal
itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekadar istilah tidak perlu
diperdebatkan, yang penting adalah isinya.Oleh karena itulah, jika
Allah menetapkan ciptaan-Nya dalam satu waktu dan tidak dalam
waktu yang lain, tidaklah mustahil terciptanya yang baru dari zat yang
kadim. Alasannya, iradah Allah bersifat mutlak dan tidak dihalangi
oleh waktu atau tempat. Hal ini sesuai dengan ta'alluq (hubungan)-nya
yakni pada yang mungkin.

b. Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi


(taqaddum zaty), sedangkan dari segi zaman (taqaddum zamany)
antara keduanya adalah sama. Hal ini sama seperti keterdahuluan
bilangan satu dari dua, atau keterdahuluan gerakan tangan dari cincin.
Kedua jenis ini serupa tingkatannya dalam zaman. Jika demikian
keadaan antara Allah dan alam, harus keduanya kadim atau baharu dan
tidak mungkin salah satunya kadim dan yang lainnya baharu.

11
Andaikan Allah mendahului alam dari segi zaman, bukan dari segi zat,
ini Derarti aida zaman sebelum alam diwujudkan. Pada wakn. itu alam
harus belum ada karena ketiadaan melalai wuind Oleh sebab iru, Allah
mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terhatas pada sisi
awal. Ini berarti sebelum ada aman sudah ada zaman yang tidak
terbatas akhirnya. Hal in paradoks Justru itu mustahil zaman sebagai
ukuran gerak baharu dan ia harus kadim.

Pendapat para filosof yang dikemukakan Al-Ghazali di atas. emudian


ia jawab sendiri. Menurutnya, memang wujud Alah lebih dahulu dari
alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan. Sebelum zaman
diciptakan tidak ada zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada
alam karena diciptakan Allah. Jadi, dalam keadaan pertama kita
bayangkan adanya. Allah saja, dan dalam keadaan yang kedua kita
bayangkan ada dua esensi, yakni Allah dan alam, dan tidak perlu kita
membayangkan adanya esensi yang ketiga, yakni zaman. Zaman
adanya serelah adanya alam sebab zaman adalah ukuran waktu yang
terjadi di alam." Menurut Al-Ghazali. mengandaikan zaman sebelum
zaman merupakan khayalan pemikiran semata, yang diasumsikannya
benar-benar ada, padahal realitanya tidak ada sama sekali. Sama
sifatnya, mengandaikan (mengkhavalkan) adanya ruang-tempat
kosong atau berisi—di sisi atas atau sisi bawah, kanan atau kiri dari
globe bumi ini.

c. Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin.


Kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.

Seperti sebelumnya, Al-Ghazali menjawab sendiri dari pendapat para


filosof yang ia kemukakan tersebut. Menurutnya alam ini senantiasa
mungkin terjadinya, dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya. Jika

12
dikatakan bahwa alam ini ada selama-lamanya (kadim) tentu ia tidak
baharu. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan kenyataan dan tidak
serasi (cocok) dengan teori kemungkinan.

Bagi Al-Ghazali, teolog al-Asy'ary yang paling artikulasi dan terbesar


pengaruhnya pada umat Islam, kadim mengandung arti tidak berawal,
tidak pernah tidak ada pada masa lampau. Oleh karena itu, bisa membawa
pengertian alam ini tidak diciptakan. Menurut Al-Ghazali (juga teolog
Muslim lain) bahwa yang kadim hanya Allah, sedangkan selain Allah
adalah hadis (baharu). Justru itulah dalam ilmu kalam syahadat la ilaha
illa Allah, berarti la qadima illa Allah. Implikasi paham ini akan
membawa pada:

1) paham syirik karena banyak yang kadim, banyaknya Tuhan:

2) paham ateisme, alam yang kadim tidak ada pencipta.

Kedua paham ini, menurut Al-Ghazall, secara tegas tentu saial


bertentangan dengan ajaran dasar dan absolut dalam Islam. Oleh karena
itu, menurutnya, alam ini diciptakan oleh Allah dari nihil menjadi ada (al-
ijad min al-'adam, creatio ex nihilo) dan hal ini bisa didemonstrasikan
secara rasional.

Pendapat Al-Ghazali ini, sebagai teolog Muslim, tentu saja


dipengaruhi oleh paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, artinya
Allah dapat berbuat apa pun tanpa ada yang menghalangi- Nya. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan jika ia berpendapat bahwa alam ini
diciptakan oleh Allah sesuai dengan kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya.

13
2. Tuhan Tidak Mengetahui yang Juz’iyyat (Parsial)

Para filosof Muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya


mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui vang selain-Nya (juz'iyyat).
Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan
ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof Muslim, Allah tidak mengetahui
yang juz’iyyat, bahwa di alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika
Allah ' mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa
perubahan kepada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa
perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil
terjadi pada Allah.

Pendapat para filosof Muslim yang dikemukakan Al-Ghazali di atas


dijawabnya sendiri. Menurutnya, pendapat para filosof itu merupakan
kesalahan fatal. Menurut Al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek
ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan
idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu
berubah tidak membawal perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang
yang mempunyai ilmu tidak berubah. Lebih lanjut Al-Ghazali
mengemukakan ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan Anda,
lalu berpindah ke sebelah kiri, kemudian berpindah ke depan atau ke
belakang, maka yang berubah adalah dia bukan Anda. Demikian pula ilmu
Allah. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya. yang satu (esa)
semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu
mengalami perubahan. Untuk memperkuat argumennya, Al-Ghazali
mengemukakan ayat-ayat. Al-Qur'an, di antaranya:.

a. QS Yunus [10]: 61 Tidak luput dari pengetahuan Tuharmau biarpun


sebesar zarrah (atom) di bumi ataupum di langit. Tidak ada yang

14
lebih kecil (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua
tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Maufiuzh) .

b. QS Al-Hujurat [49]: 16….dan Allah mengetchui apayang adadi langit


dan apa yang ada dt bumi dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.

3. Kebangkitan Jasmani di Akhirat

Menurut para filosof Muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah
rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi, yang akan merasakan
kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran
dari agama berupa materi di akhirat, seperti surga dan neraka, semua itu pada
dasarnya . simbol-simbol (allegore) untuk memudahkan pemahaman orang
awam, Padahal, di akhirat terlalu suci dari apa yang digambarkan oleh orang
awam.

Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof Muslim. lebih banyak


bersandar pada arti tekstual Al-Qur'an. Menurut Al Ghazali, tidak ada alasan
untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani
secara bersamaan. Allah berfirman (artinya) "tidak seorang pun mengetahui
apa yang disembunyikan untuk mereka (bermacam-macam nikmat) yang
menyedapkan pandangan mata." Demikian pula firman-Nya: Aku sediakan
bagi hamba-Ku yang saleh, apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar
oleh telinga, dan tidak tergores dalam hati manusia. " Janji-janji Allah Yang
Maha Sempurna, perpaduan di antara kedua hal (iasmani dan rohani) adalah
yang paling sempurna dan mesti mungkin. Karenanya wajib membenarkan.
kemungkinan ini sesuai dengan agama.

Para filosof Muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani


kepada jasad semula. Menurut mereka, rohani setelah berpisah dengan jasad,

15
berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur. Penciptaan kembli
berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal
ini berarti mengimplikasikan kadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain.
Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh
jalan yang sulit dan panjang, seperti adanya manusia yang memakan manusia
dan adanya manusia yang cacat, pincang, dan lainnya, maka di Surga nanti
akan ada sifat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau
sebaliknya. Padahal di surga suci dari demikian. Jika tidak demikian, maka
akan terjadi proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas sampai
menjadi kain.

Menurut Al-Ghazali, kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan


ajaran agama Islam. Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa roh-roh manusia
merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lain-lain. Semua ini sebagai
indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu, kebangkitan asmani secara
ekspilit telah ditegaskan syara' (agama), dengan arti jiwa dikembalikan pada
tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru
dijadikan. Karena tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil
menjadi besar, dari kurus menjadi gemuk, dan sebaliknya. Hal yang penting
ada suatu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan
kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu, Allah dengan
kemahakuasaan-Nya tidak merasa sulit menjadikan dari setitik sperma
menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf,
otot, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini ia mempunyai lidah, mata, gigi,
dan perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu bagi Allah jauh
lebih mudah mengembalikan rohani pada tubuh (jasmani) di akhirat
ketimbang penciptaan pertama kali.

Telah dijelaskan bahwa pertentangan antara Al-Ghazali dengan filosof


Muslim hanya perbedaan interpretasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali

16
seorang teolog al-Asy'ary, ia aktif mengembangkan Asy'arisme selama
delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Bagdad, tentu saja
pemikirannyal diwarnai oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak
mutlak Tuhan dan interpretasinya tidak seliberal para filosot. Sementara itu,
pemikiran para filosof Muslim diwarnai oleh pemikiran rasional, tentu saja
interpretasi mereka lebih liberal dari Al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak
sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.

4. Hukum Sebab Akibat (Kausalitas) dan Mukjizat

Dalam bukunya Tahafut al-Falasifat, Al-Ghazali mempersoalkan masalah


khariq al-‘adat (menyalahi kebiasaan) yang erat kaitannya dengan masaiah
hukum kuasalitas, dalam pengertian, apakah hubungan antara sebab dan
akibat merupakan hubungan yang pasti. Hal ini menurutnya, dapat
menyebabkan seseorang. memperaya atau tidak mempercaya adanya mukjizat
para nabl, yang olehnya, mukjizat ia artikan sebagai hal yang menyimpang
dari kebiasaan alamn.

Telah disebutkan bahwa Al-Ghazali sebenarnya tidak mengingkan adanya


hukum kausalitas. Namun yang ia ingkari. adalah pendapat para filosof
Musim yang mengatakan bahwa hubungan sebab akibat merupakan hubungan
kepastian atau. keniscayaan. Sikap Al-Ghazali ini didasari oleh konsep bahwa
Allah adalah Pencipa segala yang ada termasuk peristiwa yang berada di luar
kebiasaan. Pada sisi lain, untuk menjaga jangan ampai terjadi adanya
anggapan di kalangan kaum Muslimin ahwa apa yang terjadi di alam ini
hanya disebabkan kekuatan . kebendan semata. Padahal, ada sebab lain di
balik kebendaan iu yang merupakan rahasia tersembunyi, yang justru inilah
yang merupakan sebab hakiki, yakni Allah. Pendapat Al-Ghazali

17
selengkapnya tentang ini terdapat dalam kitabnya Tahafut al-Falasifat, yang
secara garis besarnya dapat dipaparkan sebagai berikut,

Menurut Al-Ghazali, hubungan antara sebab dan akibat idak bersifat dharuriy
(kepastian), dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang
mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing memiliki individualitasnya
sendiri Sebagai contoh, antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan
yang bersifat keniscayaan. Artinya, orang makan tidak niscaya merasa
kenyang karena makan tidak mesti menyebabkan orang kenyang. Begitu pula
kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kertas atau
kain. Semua ini hanya merupakan adat atau kebiasaan alam, bukan suatu
kemestian. Terjadinya segala esuatu di dunia ini karena kekuasaan dan
kehendak Allah semata. Karena itu, kalau kertas yang terbakar terkena api,
orang makan menjadi kenyang, dan kain basah terkena air, itu semua semata-
mata hanya karena kekuasaan dan iradah Allah. Lebih lanjurt ia atakan bahwa
seorang ayah bukan pembuat (fa'il) terhadap anaknya. la tidak bisa
mengadakan anaknya dengan menaburkan benih (nuthfah) kepada rahim
istrinya. la juga tidak mampu. adannya sesuai dengan keinginannya. Anak itu
ada dan lahir ke dunia karena Sebab Pertama, yakni Allah Swt.10

B. Ibnu Rusyd

Nama lengkapnya Abul Walid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusd. Di


Barat (Eropa) beliau dikenal dengan nama Averroes. Lahir di Cordova pada tahun
520 H/1126M dan wafat pada tahun 595 H/1198 M di Marokko.11

10
Ibid, hal 179-181
11
Sunardji Dahri Tiam, “Historiografi Filsafat Islam: Corak, Periodesasi, dan Aktualitas”, (Malang:
Intrans Publising, 2014), hal. 115

18
1. Riwayat Hidup
Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu. Rusyd
dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510H/1126 M, sekitar 15 tahun
wafatnya Al-Ghazali. la lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang
barat menyebutnya dengan nama Averr ois. Sebutan ini sebenarnya lebih
pantas untuk kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga terhormat yang
terkenal sebagai tokoh keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di
Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1 169 M diangkat pula menjadi
hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu
hukum, pada tahun 1173 ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung,
Qadhi al-Qudhat di Cordova.12
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar . sekali ghirah-
nya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan . salah satu faktor yang ikut
melempangkan jalan baginya menjadi ilmuwan. Faktor lain yang lebih
dominan bagi keberhasilannya adalah ketajaman berpikir dan kegeniusan
otaknya. Oleh karena . itu, tidaklah mengherankan ika ia dapat mewarisi
sepenuhnya . intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana
- all-round yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat,
kedokteran, astronomi, sastra Arab, dan lainnya.
Suatu hal yang sangat mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia
pergunakan untuk belajar dan membaca. Menurut Ibnu Abrar, —walaupun
rasanya terlalu fantastis—sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah
meninggalkan berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal
dan malam. perkawinannya.
Khalifah Abu Ya'cub Abu Muhammad Abd Al-Mu'min dari Dinasti Al-
Muwahhid sangat kagum atas keluasan pandangan. dan ke dalam filsatat Ibnu
Rusyd ketika ia diundang ke istanal khalifah atas prakarsa lbnu Thufail

12
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hal. 227-
231

19
sebagai guru dan sahabatnya. la juga berhasil membuat komentar terhadap
filsafat Aristoteles: pendek, sedang, dan panjang. Demikian bagus dan
mengesankan . pemahamannya tentang filsafat Aristoteles sehingga orang
tidak perlu membaca naskah aslinya. Cukup membaca komentar lbnu Rusyd,
orang akan memahaminya bagaikan membaca naskah aslinya. Padahal, ia
tidak menguasai bahasa Yunani, yakni bahasal yang dipakai Aristoteles dalam
karyanya.
Kariernya Tbnu Rusyd tidaklah mulus dan lancar. la sendiri tidak lepas
dari pengalaman pahit yang menimpa para. pemikir kreatif dan inovatif
terdahulu. Memang saat permulaan pemerintahan Khalifah Ya'cub Ibnu Yusuf
yang menggatikan ayahnya, Yusuf Abu Muhammad Abd Al-Mukmin, Ibnu
Rusyd tetap menerima kehormatan dan priviliasi yang diberikan kepadanya.
Akan tetapi, pada tahun 1195 M ia dituduh kafir, diadili, dan dihukum buang
ke Lucena, dekat Cordova dan dicopot. dalam segala jabatannya. Lebih dari
itu, semua bukunya dibakar, kecuali yang bersifat imu pengetahuan murni
(sains), seperti kedokteran, matematika, dan astronomi.' Menurut Nurcholish
Madjid, terjadinya tindakan khalifah yang tragis ini hanya berdasarkan
perhitungan politis." Suasana yang mencekam ini dimanfaatkan oleh ulama-
ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam
selama ini terhadap kedudukan lbnu Rusyd yang tinggi.
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung lama
(satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah . mencabut hukumannya dan
posisinya direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati
keadaan tersebut dan. ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M/9
Shafar 595 H d Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi
dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah.

20
2. Karya-karyanya

Meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan, antaralain fiqih, ushul fiqih,


kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan filsafat. Yang paling penting dan
terkenal di antaranyaadalah

1) Bidayatul Mujtahid (fiqih)


2) Fashlul maqal fima bainal hikmati was syari'ati minal ittishol(ilmu
kalam)
3) Manaahijul adillah bi'aqoo'idi ahlil millah (kalam)
4) Tahaafatut tahaafutul falaasifah (filsafat).13

3. Jawaban Ibnu Rusyd terhadap sanggahan Al-Ghazali.

Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari Al- Ghazali terhadap


para filosof Muslim,-tiga butir di antaranya para filosof Muslim dihukumnya
kafir: kadimnya alam, Allah tidak mengetahui yang rincian di alam, dan
kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada—Ibnu Rusyd sebagai seorang filosof
Muslim merasa wajib menjawab sanggahan tersebut, yang tidak pula kalah
mautnya dari sanggahan Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd bukan permikiran
para filosof Muslim yang rancu, melainkan permikiran A-Ghazali sendiri.
Justru itu, kata Ibnu Rusyd, judul buku Al- Ghazali tersebut yang paling tepat
adalah Tahafut Abf Hamid, kacaunya pemikiran Abu Hamid (Al-Ghazali),
bukan Tahafut al-Fulasifat, kacaunya pemikiran para filosof. Untuk jelasnya
di bawah ini kita kedepankan jawaban lbnu Rusyd dalam tiga butir masalah
tersebut sebagai berikut. 14

13
Sunardji Dahri Tiam, “Historiografi Filsafat Islam: Corak, Periodesasi, dan Aktualitas”, (Malang:
Intrans Publising, 2014), hal. 116
14
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hal. 232-
237

21
a. Alam Kadim

Menurut ibnu rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak


ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa kadimnya alam
sama dengan kadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang
ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada
(al-'adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak
mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi
sesuatu. Oleh karena itulah, materi asal alam ini mesti kadim.
Kelihatannya, menurut pemikiran Al-Ghazali, pada saat Allah
menciptakan alam, yang ada hanyalah Allah sendiri, dan tidak ada sesuatu
pun selain-Nva. Sementara itu, menurut pemikiran para filosof Muslim, di
kala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu selain Allah. Dari sesuatu
yang sudah ada itulah alam diciptakan Allah.

Untuk mendukung pendapatnya, bnu Rusyd mengemukakan. sejumlah


ayat Al-Qur'an: QS Al-Anbiya' [21]: 30; Hud [11]: 7; Fushshilat [41]: 11
dan Al-Mu'minin [23]: 12-14.

b. Allah Tidak Mengetahui Perincian yang Terjadi di Alam

Menurut Al-Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak


mengetahui yang parsial di alam. Dalam meniawab tuduhan ini, Ibnu
Rusyd menegaskan bahwa Al- Ghazali salah paham sebab tidak ada para
filosof Muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan para
filosof Muslim. adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini
tidak. sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat
kadim yakni seak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di bersifat
baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan
pengetahuan manusia berbentuk akibat. Demikian. dikatakan juz'i

22
(parsial) dan kully (umum). Juz'i adalah satuan yang ada di alam yang
berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindra.
Kully, mencakup berbagai jenis (nu). Kully bersifat abstrak, yang hanya
dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja
pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra untuk mengetahui yang parsial.
Oleh. karena itulah, kata lbnu Rusyd, tidak ada para filosof Muslim yang
mengatakan imu Allah bersifat juz'i dan kully.

c. Kebangkitan Jasmani di Akhirat

Menurut Ibnu Rusyd sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim,


tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak. ada, adalah tidak benar.
Mereka tidak mengatakan demikian. Semua agama, tegas Ibnu Rusyd,
mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda
interpretasi mengena bentuknya. Di antara mereka ada yang berpendapat
bahwa yang . akan dibangkitkan hanya rohani dan ada pula yang
mengatakan. rohani dan jasmani. Namun yang jelas, kehidupan di akhirat
tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini sesuai dengan hadis "Di
sana akan dijumpai apa yang tak pernah dililhat mata, tidak pernah
didengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran', dan ucapan Ibnu
Abbas: "Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat keduniaan
kecuali nama saja." Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi daripada hidup
di dunia.

Namun demikian, Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal
kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk . iasmani dan rohani.
Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka
untuk melakukan pekerjaan atau amalan . yang baik dan menjauhkan
pekerjaan atau amalan yang buruk.

23
Menurut Ibnu Rusyd, sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling
bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam. buku Tahafuf al-
Falasifat, Al-Ghazali mengatakan tidak ada seorang Muslim pun yang
berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi, dalam
bukunya mengenai tasawuf, ia. mengemukakan bahwa pendapat kaum sufi
yang ada nanti hanya kebangkitan rohani.

4. Hukum Sebab Akibat (Kausalitas) dan Hubungannya dengan Mukjizat

Dalam karyanya Tahafut al-Tahafut, Ibnu Rusyd mengkritik apa yang telah
dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang hubungan sebab-akibat serta kaitannya
dengan perkara yang menyimpang dari kebiasaan dan mukjizat nabi. Berikut
ini dikemukakan bantahan Ibnu Rusyd tersebut. 15

a. Terdapat Hubungan yang Dharuriy (Pasti) antara Sebab dan Akibat

Berbeda dengan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa antara sebab


dan akibat atau kausalitas terdapat hubungan keniscayaan. Pengingkaran
akan adanya sebab, yang melahirkan adanya musabab atau akibat,
merupakan pernyataan yang. tidak logis. Karena itu, menurut Ibnu Rusyd,
para mutakalimin termasuk Al-Ghazali sebenarnya mengatakan sesuatu
yang. berlawanan dengan hati nurani mereka. Selanjutnya. Ibnu Rusyd
menvatakan bahwa pada suatu benda atau segala sesuatu yang ada di alam
ini memiliki sifat dan ain tertentu, yang disebut dengan sitat zatiyah.
Dalam arti bahwa untuk terwuudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau
kakuatan yang telah ada sebelurnnya. Bagaimana seseorang, kata hntu
Rusyd. bisa mengingkari adanya sebab terhadap musabab, padahal segala
yang mawjud ini tidak bisa dipahami, kecuali dengan mengenali sebab-
sebab zatiyat. Tanpa sebab-sebab zatiyat ini tidak bisa dibedakan antara

15
Ibid, hal 238

24
satu mawjud dengan mawjud yang lain. Sepert api memiliki sifat zatiyat,
yakni membakar. Air memiliki pula sitat zatiyat-nva, vakni membasahi.
Sifat membakar dan membasahi inilah yang membedakan antara api dan
air. Jika tidak da sifat tertentu bagi tiap-tiap mawjud, maka tentu api dan
air meniadi sama saja. Sudah barang tentu, kata lbnu Rusvd, hal ini adalah
suatu kemustahilan.

b. Hubungan Sebab Akibat dengan Adat atau Kebiasaan

Telah disebutkan bahwa Al-Ghazali memandang hubungan sebab-abat


sebagai adat atau kebiasaan. Ternyata Ibnu Rusyd mempertanyakan apa
sebenarnya yang dimaksud Al-Ghazali sebagai adat tersebut. Apakah adat
fa'il (Allah), atau adati mawjud, atau adat bagi kita dalam menetapkan
sesuatu sifat ataul predikat terhadap mawjud ini. Kalau yang dimaksud
adat bagi Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut sebagai adat
adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan fa'il yang
mengakibatkan berulang-ulangnya perhatian fa il. Hal ini tentu
bertentangan dengan firman Allah yang menyatakan bahwa sunatullah itu
tidak akan berganti dan tidak akan berubah (QS Al-lsra' [17]: 77). Jika
yang dimaksud adalah adat bagi mawjud, maka hal ini hanya akan berlaku
bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain itu, bukanlah
adat namanya, tetapi tabiat. Dan apabila yang dimaksud adalah adat bagi
kita dalam menentukan sesuatu sifat atau predikat terhadap mawjud ini,
seperti si Fulan biasa (adat)-nya melakukan ini dan melakukan itu, maka
berarti yang mawjtd ini semuanya terlepas daripada nisbat (hubungan)-nya
kepada fa’il (Allah).

c. Hubungan Sebab Akibat dengan Akal

Ibnu Rusyd juga membantah pendapat Al-Ghazali tentang. hubungan


sebab akibat ini dengan pandangannya yang bertitik tolak dari akal sehat,

25
yang menurutnya merupakan dasar yang menentukan. Kata Ibnu Rusyd,
menyangkal keberadaan sebab efisien yang tampak pada hal-hal yang
terasa adalah menyesatkan. Orang yang mengingkari hal tersebut berarti
mengingkari apal yang ada dalam pikiran dan lidahnya atau terbawa oleh
keraguan . yang menyesatkan. Lebih dari itu, Ibnu Rusyd memandang
bahwa filsafat tidak hanya berdiri di atas akal sehat, tetapi juga atas ilmu
pengetahuan. Enpirisme itu bermanfaat untuk tujuan praktis, bukan untuk
ilmu-ilmu pasti. Empirisme praktis didasarkan pada akal sehat.
Pengetahuan ilmiah mempercayai hukum sebab akibat, yang dipandang
sangat meyakinkan. Bersifat ilmiah berarti mampu meramalkan apa yang
akan terjadi di kemudian hari, apabila. suatu sebab telah diketahui.
Mempercayai ilmu dan kekuatannya ebabkan oleh kemampuan kita untuk
meramal atas dasar enguatkan keimanan kita menyangkut alam semesta
ini, dan nenyatakan bahwa segala sesuatu di alam ini terjadi menurut
eteraturan sempurna, yang dapat dipahami sebagai hukum sebab akibat.
Karena itu, secara tegas Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pengetahuan akal
tidak lebih daripada pengetahuan tentang egala yang mawjud beserta
sebab akibat yang menyertainya. Pengingkaran akan sebab berarti
pengingkaran terhadap akal dan imu pengetahuan.

Pengakuan akan adanya ikatan yang kuat antara sebab dengan akal
melahirkan pernyataan akan adanya hubungan yang pasti antara sebab
dengan akibat, yang pada gilirannya akan melahirkan pula suatu
pengakuan bahwa segala yang mawjud di alam ini penuh dengan hikmah
karena hikmah berarti mengetahui sebab-sebab berdasarkan pertimbangan
akal. Pengingkaran akan adanya hubungan yang pasti antara sebab dan
akibat, berarti pengingkaran akan hikmah-hikmah yang terdapat dalam
segala yang mawjud di alam ini. Lebih lanjut Ibnu Rusyd mengungkapkan
bahwa adanya akibat atau musabab yang lahir dari sebab hanya terjadi

26
dalam tiga bentuk. Pertama, karena keterpaksaan, sepert seseorang makan
karena lapar. Kedua, agar musabab dalam. bagi manusia. Ketiga, tidak
karena keterpaksaan dan juga tidak Karena adanya maksud untuk
kebaikan atau kesempurnaan, hal ini knsekuensi logis dari bentuk yang
terakhir ini adalah terjadinya musabab tidak tergambarkan di dalamnya
adanya pembuat sebab, apalagi adanya hikmah karena musabab tersebut
hanya terjadif arena kebetulan.

Hubungan Sebab Akibat dengan Mukjizat .

Telah disebutkan bahwa menurut Al-Ghazali pengakuan akan danya


hubungan keniscavaan antara sebab akibat (kausalitas) akan mengakibatkan
orang tidak percaya terhadap adanya mukjizat nabi.

Sehubungan dengan itu, Ibnu Rusyd membedakan antara dual mukiizat, vaitu
mukjizat al-Barrany dan mukjizat al-Jawwaniy. Mukiizat yang disebut
pertama (al-Barraniy), ialah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi,
tetapi tidak sesuai dengan risalah enabiannya, seperti tongkat Nabi Musa
menjadi ular, Nabi Isa dapat menghidupkan orang mati, dan lainnya. Mukjizat
jenis. ini saat itu dipandang sebagai mukizat atau perbuatan di luar kebiasaan
dan boleh jadi satu waktu akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan.
Retika ilmu pengetahuan telah dapat mengungkapkannya, ia tidak lagi
dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan di luar kebiasaan. Sementara itu,
mukjizat yang kedua (al-Jawwaniy), ialah mukjizat yang diberikan kepada
seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti mukjizat Al-
Qur'an bagi Nabi Muhammad Saw. Mukjizat inilah dipandang sebagai
mukjizat yang sesungguhnya, karena mukjizat jenis ini tidak akan dapat
diungkapkan oleh iltmu pengetahuan (sains) di mana pun dan kapan pun.

27
Ternyata Ibnu Rusyd menentang adanya mukjizat al- Barraniy, sebagai yang
dipahami Al-Ghazali sesuatu yang terjadi penyimpangan dari adat atau
kebiasaan (khariq al-‘adat). Karenal itu, Nabi Isa dapat menghidupkan orang
mati, menurut Ibnu Rusyd, harus ditakwilkan dalam pengertian
menghidupkan hati orang yang tidak beriman menjadi beriman. Sedangkan
mukjizat Nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar api, mungkin saja waktu
itu pada diri Nabi Ibrahim diberikan sifat yang tidak bisa dibakar api, seperti
sifat asbestos umpamanya. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Allah
mencabut sifat membakar dari api karena sifat membakar adalah sifat zatiyah
dari api. Apabila sifat ini dihilangkan pada api, ia tidak dapat lagi disebut
dengan api. Atas dasar inilah, para filosof Muslim tidak ada seorang pun yang
mengingkari kemungkinan adanya perubahan dari satu materi ke materi lain,
apabila masih dalam satu jenis materi yang memiliki unsur-unsur yang sama,
seperti api, air, udara, dan tanah. Akan tetapi, yang diingkari filosof Muslim
ialah perubahan dari satu materi ke materi lain yang tidak memiliki unsur-
unsur yang sama karena jenisnya memang berbeda,

Tentang tuduhan Al-Ghazali bahwa para filosof Muslim menjadi kafir


lantaran tidak percaya terhadap mukjizat para nabi, dibantah Ibnu Rusyd
dengan mengatakan bahwa kejadian- kejadian tersebut tidak boleh
dipermasalahkan atau diteliti para filosof. Bagaimanapun keajaiban yang
terjadi dalam Islam tidak terletak pada keajaiban seperti mengubah seutas tali
menjadi seekor ular, melainkan pada Al-Qur'an, yang keajaibannya diakui
oleh setiap manusia lewat persepsi dan pemikirannya, dan keajaiban Al-
Qur'an jauh lebih hebat dibandingkan dengan yang lain. Menurut Ibnu Rusyd
tidak seorang pun di antara para flosof Muslim yang mempermasalahkan
mukjizat karena hal in antara para filosof Muslim yang membahasnya,
pelakunya patut dihukum.

28
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Imam Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah telah menyatakan


kekafiran kepada para filosof disebabkan tiga hal, yaitu adanya keyakinan
mereka bahwa alam adalaah qadim (ada tanpa permulaan), Allah tidak
mengetahuisegi-segi juz’iyyat dan interpretasi mereka tentang kebangkitan
jasmani (dari kubur) serta kehidupannya sesudah mati.

Pengkafiran dalam masalah kebangkitan jasmani tidak beralasan,


karena masalah ini bagi para Filosof adalah persoalan teori. Juga masalah
kedua lamanya yaitu tentang tuhan dalam mengetahui perkara-perkara
juziyyat, karena pendapat yang mengatakan dalam Tuhan tidak mengetahui
perkara-perkara juziyyat bukan pendapat para Filosof, dan tentang qadimnya
alam ada perbedaan tentang pengertian qadimnya alam yang difahami oleh
para ulama dengan para Filosof. Serangan Al-Gazali ini terhadap pemikiran
para filosof mengakibatkan filsafat tidak berkembang lagi di dunia Islam
bagian timur. Tetapi di dunia Islam bagian barat, yang berpusat di Cordoba,
filsafat sesudah Al-Ghazali muncul dan berkembang kembali. Dikenallah
filosof-filosof Andalusia seperti Ibn Rusyd, yang mengarang Tahaafut al-
Tahaafut untuk menentang pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan untuk
membela pendapat-pendapat para filosof yang dikritik hujjat al-Islam itu.

B. Saran

Bagi pembaca harus lebih teliti dalam memahami sebuah prsepsi dari
yang lain agar tidakmenimbulkan kesalahpahaman.

29
DAFTAR PUSTAKA

Zar, Sirajuddin, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, Jakarta: Rajawali Press,
2014

Soleh, Dr. H. A. Khudori, Soleh, M. Ag, Epistemologi Ibn Rusyd Upaya


Mempertemukan Agama dan Filsafat, Malang: UIN Maliki Press, 2012

Tiam, Sunardji Dahri, “Historiografi Filsafat Islam: Corak, Periodesasi, dan


Aktualitas”, Malang: Intrans Publising, 2014

Ali,Yunasril, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam . Jakarta: Bumi Aksara,


1991

30

Anda mungkin juga menyukai