PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dikalangan filosof dan para pemikir muslim, ada dua tokoh yang terkenal
dengan kritikan dan pembelaannya terhadap para filosof. Orang mengenalnya
dengan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Keduanya merupakan filosof dengan
pemikirannya yang cemerlang dan kelebihan masing-masing.
Al- Ghazali dikenal sebagai orang yang gencar mengecam filosof, seperti
al-Farabi, Ibnu Sina yang merupakan murid dan komentator Aristoteles. Masalah-
masalah kefilsafatan yang menjadi sasaran kritikannya adalah hal-hal yang
dianggap membahayakan umat Islam . 1
1
https://www.tongkronganislami.net/makalah-kritik-al-ghazali-vs-ibnu-rusyd/ di akses tanggal 5
Maret 2019 pukul 06.37 WITA
1
gagasannya telah mendorong lahirnya pemikiran-peikiran baru yang kreatif dan
inovatif. Karena itu, kajian terhadap tokoh yang berpengaruh ini akan memberi
sumbangan yang sangat berarti. Apalagi kenyataannya, saat ini tampak ada
kecenderungan kuat di kalangan muda Muslim klasik dalam upaya membangun
peradaban Islam masa depan.2
Makalah ini akan membahas tentang riwayat hidup kedua tokoh tersebut
dan pemikirannya, terutama kritikan yang dilakukan al- Ghazali terhadap para
filosof dan pembelaan yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd terhadap kritikan itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup dan karya-karya dari Al-Ghazali ?
2. Bagaimana sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof ?
3. Bagaimana riwayat hidup dan karya-karya dari Ibnu Rusyd ?
4. Bagaimana jawaban Ibnu Rusyd terhadap sanggahan Al-Ghazali ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana riwayat hidup dan karya-karya dari Al-Ghazali.
2. Untuk mengetahui bagaimana sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof.
3. Untuk mengetahui bagaimana riwayat hidup dan karya-karya dari Ibnu Rusyd.
4. Untuk mengetahui bagaimana jawaban Ibnu Rusyd terhadap sanggahan Al-
Ghazali.
2
Dr. H. A. Khudori Soleh, M. Ag, Epistemologi Ibn Rusyd Upaya Mempertemukan Agama dan
Filsafat, ( Malang: UIN Maliki Press, 2012), hal. 7
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Ghazali
1. Riwayat Hidup
3
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hal. 159
3
kegunaan pekerjaannya, sehingga ia jatuh sakit yang tidak bisa diobati dengan
obat-obatan lahir (fisiotera). Keragu-raguan itu pada mulanya timbul dari
pelilmu kalam yang dipelajari dari gurunya Al-Juwuwaini. Sebagaimana kita
ketahui, bahwa dalam ilmu kalam terdapat banyak aliran yang saling
bertentangan, sehingga muncul pertanyaan dalam pikirannya, aliran manakah
yang benardi antara semua aliran tersebut?4
Karena keragu-raguannya itu, ia akhirnya meninggalkan pekerjaannya
sebagai guru dan pindah ke Damsyik.Di kota inilah, Al-Ghazali banyak
merenung membaca dan menulis. Setelah tidak puas dengan ilmu kalam dan
filsafat yang menjadikannya ditimpa penyakit ragu-ragu, beliau menemukan
jalan hidupnya yang dapat menghilangkan keragu-raguannya yang telah lama
mengganggu dirinya.Akhirnya, beliau yakin bahwa itulah jalan yang selama
ini dicari-cari. Jalan itu adalah tasawwuf. Dengan tasawwut,Al-Ghazali
memperoleh keyakinannya kembali.
Kemudian, Al-Ghazali pindah ke Palestina dengan mengambil tempat
di Masjid Baital Maqdis. Di sanapun,beliau tetap merenung, membaca dan
menulis, kemudian tergerak hatinya untuk beribadah haji, sampai beliau me-
laksanakannya. Setelah selesai menunaikan ibadah haji,beliau langsung
pulang ke tempat kelahirannya (kota Tus).Sebagaimana biasanya, beliau tetap
merenung, membaca dan menulis. Tetapi, atas desakan penguasa pada masa
itu,Al-Ghazali kembali mengajar di Madrasah Nizamiyah,tempat dulu ia
mengajar, namun tidak berlangsung lama, kurang lebih hanya dua tahun.
Kemudian, beliau kembali lagi ke kota tempat kelahirannya, dan di sana
beliau mendirikan sekolah khusus bagi para mutasawwifin. Kemudian,di kota
kelahirannya ini, beliau meninggal dunia dalam usia 54 tahun, tepatnya pada
tahun 1111 M, bertepatandengan tahun 505 H.
4
Sunardji Dahri Tiam, “Historiografi Filsafat Islam: Corak, Periodesasi, dan Aktualitas”, (Malang:
Intrans Publising, 2014), hal. 73
4
2. Karya-Karyanya
5
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hal. 162
5
aliran-aliran tersebut dikajinva secara kritis, kemudian dijelaskan
kelebihan dan kesalahan- kesalahannya.
6
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam ( Jakarta: Bumi Aksara, 1991 ), hal. 70
6
doktrin mereka. Sebelumnya, ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang
guru pun dan menghabiskan waktu selama dua tahun. Setelah berhasil
dihayati dengan saksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya Maqashid al-
Falasifat (Tujuan Pemikiran Para Filosof).
Dalam buku Munqiz min al-Dhalal, Al-Ghazali mengelompokkan
filosof menjadi tiga golongan.7
7
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hal. 164
7
Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada dua puluh
masalah, yaitu.
10. menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dahr (kekal dalam arti tidak
bermula dan tidak berakhir);
8
13. membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat;
15. membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari
planet-planet;
20. membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan
dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan
kepedihan dalam neraka hanya roh.
8
Ibid, hal 167
9
Menurut Al-Ghazali kepercayaan dalam tiga masalah ini bertentangan
dengan kepercayaan umat Islam dan dipandang . mendustakan rasul-rasul
Allah, padahal tidak ada golongan Islam mana pun yang berpendapat seperti
ini. Untuk lebih jelasnya, kita tayangkan uraian yang dikemukakan Al-Ghazali
sebagai berikut.
Pada umumnya para filosof Muslim berpendapat bahwa alam ini kadim,
artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan
(kekadiman) Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak
dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab dari
akibat dan cahaya dari matahari. Untuk menopang pendapat ini, menurut
Al-Ghazali, para filosof Muslim mengemukakan argumen sebagai
berikut:9
9
Ibid, hal 166-178
10
datang dari zat-Nya atau dari luar zat-Nya? Keduanya adalah mustahil
karena Allah tidak mengalami perubahan.
11
Andaikan Allah mendahului alam dari segi zaman, bukan dari segi zat,
ini Derarti aida zaman sebelum alam diwujudkan. Pada wakn. itu alam
harus belum ada karena ketiadaan melalai wuind Oleh sebab iru, Allah
mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terhatas pada sisi
awal. Ini berarti sebelum ada aman sudah ada zaman yang tidak
terbatas akhirnya. Hal in paradoks Justru itu mustahil zaman sebagai
ukuran gerak baharu dan ia harus kadim.
12
dikatakan bahwa alam ini ada selama-lamanya (kadim) tentu ia tidak
baharu. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan kenyataan dan tidak
serasi (cocok) dengan teori kemungkinan.
13
2. Tuhan Tidak Mengetahui yang Juz’iyyat (Parsial)
14
lebih kecil (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua
tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Maufiuzh) .
Menurut para filosof Muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah
rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi, yang akan merasakan
kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran
dari agama berupa materi di akhirat, seperti surga dan neraka, semua itu pada
dasarnya . simbol-simbol (allegore) untuk memudahkan pemahaman orang
awam, Padahal, di akhirat terlalu suci dari apa yang digambarkan oleh orang
awam.
15
berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur. Penciptaan kembli
berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal
ini berarti mengimplikasikan kadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain.
Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh
jalan yang sulit dan panjang, seperti adanya manusia yang memakan manusia
dan adanya manusia yang cacat, pincang, dan lainnya, maka di Surga nanti
akan ada sifat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau
sebaliknya. Padahal di surga suci dari demikian. Jika tidak demikian, maka
akan terjadi proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas sampai
menjadi kain.
16
seorang teolog al-Asy'ary, ia aktif mengembangkan Asy'arisme selama
delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Bagdad, tentu saja
pemikirannyal diwarnai oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak
mutlak Tuhan dan interpretasinya tidak seliberal para filosot. Sementara itu,
pemikiran para filosof Muslim diwarnai oleh pemikiran rasional, tentu saja
interpretasi mereka lebih liberal dari Al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak
sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.
17
selengkapnya tentang ini terdapat dalam kitabnya Tahafut al-Falasifat, yang
secara garis besarnya dapat dipaparkan sebagai berikut,
Menurut Al-Ghazali, hubungan antara sebab dan akibat idak bersifat dharuriy
(kepastian), dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang
mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing memiliki individualitasnya
sendiri Sebagai contoh, antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan
yang bersifat keniscayaan. Artinya, orang makan tidak niscaya merasa
kenyang karena makan tidak mesti menyebabkan orang kenyang. Begitu pula
kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kertas atau
kain. Semua ini hanya merupakan adat atau kebiasaan alam, bukan suatu
kemestian. Terjadinya segala esuatu di dunia ini karena kekuasaan dan
kehendak Allah semata. Karena itu, kalau kertas yang terbakar terkena api,
orang makan menjadi kenyang, dan kain basah terkena air, itu semua semata-
mata hanya karena kekuasaan dan iradah Allah. Lebih lanjurt ia atakan bahwa
seorang ayah bukan pembuat (fa'il) terhadap anaknya. la tidak bisa
mengadakan anaknya dengan menaburkan benih (nuthfah) kepada rahim
istrinya. la juga tidak mampu. adannya sesuai dengan keinginannya. Anak itu
ada dan lahir ke dunia karena Sebab Pertama, yakni Allah Swt.10
B. Ibnu Rusyd
10
Ibid, hal 179-181
11
Sunardji Dahri Tiam, “Historiografi Filsafat Islam: Corak, Periodesasi, dan Aktualitas”, (Malang:
Intrans Publising, 2014), hal. 115
18
1. Riwayat Hidup
Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu. Rusyd
dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510H/1126 M, sekitar 15 tahun
wafatnya Al-Ghazali. la lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang
barat menyebutnya dengan nama Averr ois. Sebutan ini sebenarnya lebih
pantas untuk kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga terhormat yang
terkenal sebagai tokoh keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di
Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1 169 M diangkat pula menjadi
hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu
hukum, pada tahun 1173 ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung,
Qadhi al-Qudhat di Cordova.12
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar . sekali ghirah-
nya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan . salah satu faktor yang ikut
melempangkan jalan baginya menjadi ilmuwan. Faktor lain yang lebih
dominan bagi keberhasilannya adalah ketajaman berpikir dan kegeniusan
otaknya. Oleh karena . itu, tidaklah mengherankan ika ia dapat mewarisi
sepenuhnya . intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana
- all-round yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat,
kedokteran, astronomi, sastra Arab, dan lainnya.
Suatu hal yang sangat mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia
pergunakan untuk belajar dan membaca. Menurut Ibnu Abrar, —walaupun
rasanya terlalu fantastis—sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah
meninggalkan berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal
dan malam. perkawinannya.
Khalifah Abu Ya'cub Abu Muhammad Abd Al-Mu'min dari Dinasti Al-
Muwahhid sangat kagum atas keluasan pandangan. dan ke dalam filsatat Ibnu
Rusyd ketika ia diundang ke istanal khalifah atas prakarsa lbnu Thufail
12
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hal. 227-
231
19
sebagai guru dan sahabatnya. la juga berhasil membuat komentar terhadap
filsafat Aristoteles: pendek, sedang, dan panjang. Demikian bagus dan
mengesankan . pemahamannya tentang filsafat Aristoteles sehingga orang
tidak perlu membaca naskah aslinya. Cukup membaca komentar lbnu Rusyd,
orang akan memahaminya bagaikan membaca naskah aslinya. Padahal, ia
tidak menguasai bahasa Yunani, yakni bahasal yang dipakai Aristoteles dalam
karyanya.
Kariernya Tbnu Rusyd tidaklah mulus dan lancar. la sendiri tidak lepas
dari pengalaman pahit yang menimpa para. pemikir kreatif dan inovatif
terdahulu. Memang saat permulaan pemerintahan Khalifah Ya'cub Ibnu Yusuf
yang menggatikan ayahnya, Yusuf Abu Muhammad Abd Al-Mukmin, Ibnu
Rusyd tetap menerima kehormatan dan priviliasi yang diberikan kepadanya.
Akan tetapi, pada tahun 1195 M ia dituduh kafir, diadili, dan dihukum buang
ke Lucena, dekat Cordova dan dicopot. dalam segala jabatannya. Lebih dari
itu, semua bukunya dibakar, kecuali yang bersifat imu pengetahuan murni
(sains), seperti kedokteran, matematika, dan astronomi.' Menurut Nurcholish
Madjid, terjadinya tindakan khalifah yang tragis ini hanya berdasarkan
perhitungan politis." Suasana yang mencekam ini dimanfaatkan oleh ulama-
ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam
selama ini terhadap kedudukan lbnu Rusyd yang tinggi.
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung lama
(satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah . mencabut hukumannya dan
posisinya direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati
keadaan tersebut dan. ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M/9
Shafar 595 H d Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi
dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah.
20
2. Karya-karyanya
13
Sunardji Dahri Tiam, “Historiografi Filsafat Islam: Corak, Periodesasi, dan Aktualitas”, (Malang:
Intrans Publising, 2014), hal. 116
14
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hal. 232-
237
21
a. Alam Kadim
22
(parsial) dan kully (umum). Juz'i adalah satuan yang ada di alam yang
berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindra.
Kully, mencakup berbagai jenis (nu). Kully bersifat abstrak, yang hanya
dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja
pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra untuk mengetahui yang parsial.
Oleh. karena itulah, kata lbnu Rusyd, tidak ada para filosof Muslim yang
mengatakan imu Allah bersifat juz'i dan kully.
Namun demikian, Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal
kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk . iasmani dan rohani.
Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka
untuk melakukan pekerjaan atau amalan . yang baik dan menjauhkan
pekerjaan atau amalan yang buruk.
23
Menurut Ibnu Rusyd, sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling
bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam. buku Tahafuf al-
Falasifat, Al-Ghazali mengatakan tidak ada seorang Muslim pun yang
berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi, dalam
bukunya mengenai tasawuf, ia. mengemukakan bahwa pendapat kaum sufi
yang ada nanti hanya kebangkitan rohani.
Dalam karyanya Tahafut al-Tahafut, Ibnu Rusyd mengkritik apa yang telah
dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang hubungan sebab-akibat serta kaitannya
dengan perkara yang menyimpang dari kebiasaan dan mukjizat nabi. Berikut
ini dikemukakan bantahan Ibnu Rusyd tersebut. 15
15
Ibid, hal 238
24
satu mawjud dengan mawjud yang lain. Sepert api memiliki sifat zatiyat,
yakni membakar. Air memiliki pula sitat zatiyat-nva, vakni membasahi.
Sifat membakar dan membasahi inilah yang membedakan antara api dan
air. Jika tidak da sifat tertentu bagi tiap-tiap mawjud, maka tentu api dan
air meniadi sama saja. Sudah barang tentu, kata lbnu Rusvd, hal ini adalah
suatu kemustahilan.
25
yang menurutnya merupakan dasar yang menentukan. Kata Ibnu Rusyd,
menyangkal keberadaan sebab efisien yang tampak pada hal-hal yang
terasa adalah menyesatkan. Orang yang mengingkari hal tersebut berarti
mengingkari apal yang ada dalam pikiran dan lidahnya atau terbawa oleh
keraguan . yang menyesatkan. Lebih dari itu, Ibnu Rusyd memandang
bahwa filsafat tidak hanya berdiri di atas akal sehat, tetapi juga atas ilmu
pengetahuan. Enpirisme itu bermanfaat untuk tujuan praktis, bukan untuk
ilmu-ilmu pasti. Empirisme praktis didasarkan pada akal sehat.
Pengetahuan ilmiah mempercayai hukum sebab akibat, yang dipandang
sangat meyakinkan. Bersifat ilmiah berarti mampu meramalkan apa yang
akan terjadi di kemudian hari, apabila. suatu sebab telah diketahui.
Mempercayai ilmu dan kekuatannya ebabkan oleh kemampuan kita untuk
meramal atas dasar enguatkan keimanan kita menyangkut alam semesta
ini, dan nenyatakan bahwa segala sesuatu di alam ini terjadi menurut
eteraturan sempurna, yang dapat dipahami sebagai hukum sebab akibat.
Karena itu, secara tegas Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pengetahuan akal
tidak lebih daripada pengetahuan tentang egala yang mawjud beserta
sebab akibat yang menyertainya. Pengingkaran akan sebab berarti
pengingkaran terhadap akal dan imu pengetahuan.
Pengakuan akan adanya ikatan yang kuat antara sebab dengan akal
melahirkan pernyataan akan adanya hubungan yang pasti antara sebab
dengan akibat, yang pada gilirannya akan melahirkan pula suatu
pengakuan bahwa segala yang mawjud di alam ini penuh dengan hikmah
karena hikmah berarti mengetahui sebab-sebab berdasarkan pertimbangan
akal. Pengingkaran akan adanya hubungan yang pasti antara sebab dan
akibat, berarti pengingkaran akan hikmah-hikmah yang terdapat dalam
segala yang mawjud di alam ini. Lebih lanjut Ibnu Rusyd mengungkapkan
bahwa adanya akibat atau musabab yang lahir dari sebab hanya terjadi
26
dalam tiga bentuk. Pertama, karena keterpaksaan, sepert seseorang makan
karena lapar. Kedua, agar musabab dalam. bagi manusia. Ketiga, tidak
karena keterpaksaan dan juga tidak Karena adanya maksud untuk
kebaikan atau kesempurnaan, hal ini knsekuensi logis dari bentuk yang
terakhir ini adalah terjadinya musabab tidak tergambarkan di dalamnya
adanya pembuat sebab, apalagi adanya hikmah karena musabab tersebut
hanya terjadif arena kebetulan.
Sehubungan dengan itu, Ibnu Rusyd membedakan antara dual mukiizat, vaitu
mukjizat al-Barrany dan mukjizat al-Jawwaniy. Mukiizat yang disebut
pertama (al-Barraniy), ialah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi,
tetapi tidak sesuai dengan risalah enabiannya, seperti tongkat Nabi Musa
menjadi ular, Nabi Isa dapat menghidupkan orang mati, dan lainnya. Mukjizat
jenis. ini saat itu dipandang sebagai mukizat atau perbuatan di luar kebiasaan
dan boleh jadi satu waktu akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan.
Retika ilmu pengetahuan telah dapat mengungkapkannya, ia tidak lagi
dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan di luar kebiasaan. Sementara itu,
mukjizat yang kedua (al-Jawwaniy), ialah mukjizat yang diberikan kepada
seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti mukjizat Al-
Qur'an bagi Nabi Muhammad Saw. Mukjizat inilah dipandang sebagai
mukjizat yang sesungguhnya, karena mukjizat jenis ini tidak akan dapat
diungkapkan oleh iltmu pengetahuan (sains) di mana pun dan kapan pun.
27
Ternyata Ibnu Rusyd menentang adanya mukjizat al- Barraniy, sebagai yang
dipahami Al-Ghazali sesuatu yang terjadi penyimpangan dari adat atau
kebiasaan (khariq al-‘adat). Karenal itu, Nabi Isa dapat menghidupkan orang
mati, menurut Ibnu Rusyd, harus ditakwilkan dalam pengertian
menghidupkan hati orang yang tidak beriman menjadi beriman. Sedangkan
mukjizat Nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar api, mungkin saja waktu
itu pada diri Nabi Ibrahim diberikan sifat yang tidak bisa dibakar api, seperti
sifat asbestos umpamanya. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Allah
mencabut sifat membakar dari api karena sifat membakar adalah sifat zatiyah
dari api. Apabila sifat ini dihilangkan pada api, ia tidak dapat lagi disebut
dengan api. Atas dasar inilah, para filosof Muslim tidak ada seorang pun yang
mengingkari kemungkinan adanya perubahan dari satu materi ke materi lain,
apabila masih dalam satu jenis materi yang memiliki unsur-unsur yang sama,
seperti api, air, udara, dan tanah. Akan tetapi, yang diingkari filosof Muslim
ialah perubahan dari satu materi ke materi lain yang tidak memiliki unsur-
unsur yang sama karena jenisnya memang berbeda,
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Bagi pembaca harus lebih teliti dalam memahami sebuah prsepsi dari
yang lain agar tidakmenimbulkan kesalahpahaman.
29
DAFTAR PUSTAKA
Zar, Sirajuddin, “Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya”, Jakarta: Rajawali Press,
2014
30