Anda di halaman 1dari 16

TAFSIR KONTEMPORER

Tafsir Pemikiran Amina Wadud


Dosen Pengampu: Dr. Baiti Rahman, MA

Disusun oleh:

Muhdi Darojat
Nazaruddin
Raju Ahmad Ghifari

FAKULTAS TARBIYAH (PAI) SEMESTER V.B


INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN (PTIQ) JAKARTA
JAKARTA SELATAN 12440
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kenikmatan
terutama nikmat atas diberikannya kesehatan. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
kami tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Tafsir Kontemporer yang
telah mengembankan tugas ini kepada kami sebagai bahan pembelajaran. Kami berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat dan membantu dalam proses perkuliahan khususnya
pada mata kuliah Tafsir Kontemporer..
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami membutuhkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk perbaikan kami di masa yang akan datang.

Terima Kasih.
Jakarta, 16 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................2
A. Biografi Amina Wadud...........................................................................................................2
B. Integrasi Hermeneutika Dalam Kajian Tafsir.......................................................................3
C. Penerapan Konsep Hermeneutika al- Qur’an Amina Wadud Muhsin...............................4
D. Tafsir ayat-ayat Gender menurut Wadud Dalam Perspektif Hermeneutika Gadamer.....6
E. Konstruksi Pemikiran Amina Wadud....................................................................................9
F. Pemikiran Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita.......................................................10
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................12
Kesimpulan....................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-qur’an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia sebagaimana yang
difirmankan Allah di dalam surat Al-Baqarah ayat 185. Garis-garis besar kehidupan
manusia termaktub di dalam Al-Qur’an dan tidak jarang secara spesifik Al-Qur’an
menyebutkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia di dunia. Hal ini
membuktikan bahwa Al-Qur’an memang mukjizat terbesar yang diberikan kepada
Nabi Muhammad SAW yang terus relevan sepanjang zaman.
Keotentikan Al-Qur’an dengan segala keajaiban-keajaibannya juga perlu
dipelajari dan ditadabburi sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa Al-Qur’an hanya
memuat nilai-nilai keagamaan. Maka dari itu banyak bermunculan penafsiran-
penafsiran yang tujuannya adalah menarik makna Al-Qur’an jauh kepada situasi dan
kondisi yang terjadi saat ini. Bukan berarti mengubah Al-Qur’an, akan tetapi
menggali Al-Qur’an yang sangat luas itu dan mengambil pelajaran dan ilmu yang
dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi tersebut.
Para mufassir Al-Qur’an mencoba berbagai macam cara dan pendekatan
sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Termasuk di dalamnya
mengaitkan dengan ilmu-ilmu yang lain sehingga di setiap cabang ilmu selalu ada
perspektif Al-Qur’an di dalamnya. Terlebih lagi di zaman yang menuntut keilmiahan
dari suatu asumsi. Maka sebagai umat islam dan orang yang mendalami ilmu Al-
Qur’an kita harus sangat terbuka dan melihat lebih jauh jika ada suatu persoalan yang
terjadi nantinya.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa itu Amina Wadud?
2. Apa saja langkah yang ditempuh oleh Amina Wadud dan metode apa yang ia
gunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an?
3. Apa contoh ayat yang ditafsirkan Amina Wadud?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui biografi dan perjalanan hidup Amina Wadud sehingga memiliki
pandangan dan pemikiran terhadap Al-Qur’an
2. Mengetahui metode yang digunakan Amina Wadud dalam menafsirkan Al-Qur’an
3. Mengetahui ayat yang lahir dari pemikiran Amina Wadud berdasarkan langkah
dan metode yang digunakannya

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Biografi Amina Wadud
Cara terbaik memahami karakter dan pemikiran seseorang adalah melalui
autobiografi maupun tulisan yang bersangkutan. Sebagaimana Amina Wadud, dia
dilahirkan di Amerika Serikat, 1952.1 Dan mempunyai nama lengkap Amina Wadud
Muhsin, dia adalah warga Amerika keturunan Afrika Amerika (kulit hitam). 2
Ayahnya pendeta methodis dan ibunya keturunan Arab-Afrika. Sejak kecil dia
dibesarkan dalam lingkungan Kristen taat. Dia kuliah selama lima tahun dari 1970
hingga 1975 di Universitas Pennsylvania dan meraih gelar sarjana sains. Pada 1972,
dalam usia 20 tahun dia mendapatkan hidayah. Ketertarikannya terhadap Islam
mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimat syahadah setelah menikah dengan
seseorang laki-laki muslim.3 Pada hari yang ia namakan ‚Thanks giving day‛, tahun
1972.
Walaupun Amina Wadud seorang muallaf, ketekunan dalam melakukan studi
keislaman tidak pernah merasa tercukupi. Dia lalu melanjutkan menimba ilmu sampai
pergi ke Mesir untuk mendalami bahasa Arab di Universitas Amerika di ibukota
Kairo. Tidak sampai di situ, penjelajahan intelektualnya berlanjut sampai menuntun ia
mempelajari tafsir al-Qur’an di Universitas Kairo dan Filsafat di Universitas al-Azhar.
Dia sempat bekerja sebagai asisten profesor di Universitas Islam Internasional
Malaysia pada 1989 hingga 1992 dan menerbitkan disertasinya berjudul ‚ Qur’an dan
Perempuan : Membaca Ulang Ayat Suci dari Pandangan Perempuan‛. Penerbitan
buku itu dibiayai oleh lembaga nirlaba Sisters in Islam dan menjadi panduan buat
beberapa pegiat hak-hak perempuan serta akademisi. Buku itu dilarang beredar di Uni
Emirat Arab karena isinya dianggap provokatif dan membangkitkan sentimen agama.4
Pada 1992, ibu lima anak dan memiliki tiga cucu ini pindah kerja dan mengisi
posisi profesor di bidang Religi dan Filsafat Universitas Commonwealth di
Richmond, Virginia, Amerika. Sampai pensiun pada 2008. Selanjutnya dia menjadi
dosen tamu di Pusat Religi dan Lintas Budaya Universitas Gajah Mada, Indonesia
sampai sekarang. Selama berkarir di dunia pendidikan, Amina dipandang sebagai
muslimah feminis dan menganggap dirinya reformis Islam. Dia sering menjadi
narasumber dialog seputar kesetaraan gender dalam Islam, pemahaman antar budaya,
dan hak asasi.5
Ia menjadi terkenal secara Internasional, ketika ia menjadi Imam dalam shalat
jum’at pada bulan Maret tahun 2005 lalu. Hal inilah yang membuatnya menjadi sosok
kontroversial di kalangan umat Islam. Kecaman datang dari berbagai ulama, di
antaranya Syekh Qardhawi. Dia berpendapat walau perempuan bisa menjadi imam

1
Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer , (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal 66
2
Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis : Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufassir
Kontemporer, (Bandung: Nuansa, 2005), hal 109
3
Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
Kaukaba, 2013), hal 78.
4
Ibid., hal 60.
5
Ibid., hal 61.

2
shalat dari jamaah perempuan, bahkan keluarganya, tapi tidak boleh memimpin shalat
dari jamaah gabungan. Dalam wawancara di stasiun televisi Aljazeera, Qardhawi
menegaskan tindakan Amina itu melanggar ajaran Islam dan sesat. Alasan Amina
melakukan hal itu lantaran dia ingin mengetuk hati kaum muslim sejagat, yakni tidak
ada pemisah di antara mereka.
B. Integrasi Hermeneutika Dalam Kajian Tafsir
Dalam sejarah perkembangannya di dunia barat, diskursus hermeneutika telah
menunjukan intensitas mereka dalam usaha pencarian makna. Hermeneutika awalnya
berhubungan dengan penafsiran kitab suci orang Yahudi dan Nasrani sebelum
akhirnya berkembang menjadi sebuah kajian filsafat. Dengan kata lain, intensitas
kajian hermeneutika dalam tradisi Yahudi dan Nasrani sudah berlangsung sangat lama
bahkan kehadirannya mendahului diskursus hermeneutika dalam tradisi pemikiran
filsafat.6 Namun demikian, diskursus hermenutika yang begitu marak dalam tradisi
Yahudi dan Nasrani menemukan kenyataan yang berbeda dengan apa yang terjadi
dalam tradisi Islam. Dalam tradisi pemikiran Islam, intensitas perbincangan mengenai
problem hermeneutika tidak semarak seperti yang berlangsung dalam tradisi Yahudi
dan Nasrani.7 Kenyataan ini khususnya berlaku pada masa Nabi dan sahabat. Pada
masa itu, pemahaman dan pengamalan agama atas dasar pijakan hermeneutika belum
sepenuhnya dikenal. Ada dua faktor utama yang menyebabkan keringnya diskursus
hermeneutika dalam pemikiran Islam klasik, khususnya pada periode Nabi dan
sahabat. Pertama, faktor otoritas nabi. Pada masa Nabi dan sahabat, persoalan
penafsiran Al-Qur’an sangat terkait dengan kenabian Muhammad. Dalam posisi ini,
Muhammad tidak hanya berfungsi menyampaikan pesan Tuhan yang berwujud Al-
Qur’an, namun beliau juga berfungsi sebagai penafsir yang otoritatif dengan al-hadis
sebagai bentuk formalnya.8 Kedua, faktor kesadaran keagamaan umat Islam saat itu
yang masih kental dengan argumenargumen dogmatis ketimbang penalaran kritis.
Salah satunya terkait dengan persoalan keyakinan teologis bahwa Al-Qur’an adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.9 Mereka mempercayai
sakralitas Al-Qur’an yang secara literal berasal dari Allah dan karena itu membacanya
adalah ibadah.10 Implikasinya adalah bahwa penafsiran literal terhadap ayatayat Al-
Qur’an merupakan langkah popular yang dilakukan umat Islam dalam memahami
kandungan Al-Qur’an, dan mereka merasa tidak memerlukan perangkat metodologis
hermeneutika dalam memahami Al-Qur’an.11 Namun demikian, dalam perjalanan
sejarah Islam, seiring dengan berkembangnya kajiankajian berbagai disiplin keilmuan
dalam Islam, terutama pada masa abad ke-2 H, serta berlangsungnya persemaian
tradisi pemikiran Islam klasik, persoaan-persoalan hermeneutis dalam pengertian
6
Baca Ilyas Supena, “Rekonstruksi Sistematik Epistemologi Ilmu-ilmu Keislaman Dalam Pemikiran
Hermeneutika Fazlur Rahman”, Disertasi: PPS UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007, 134. Baca juga Robert
Audi, ed. The Cambrigde Dictionary of Philosophy (Cambrigde: Cambrigde University Press, 1995), 323.
7
Baca Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme (Jakarta:
Paramadina, 1998), 119.
8
Baca Ilyas Supena, “Rekonstruksi Sistematik Epistemologi”, 135.
9
Baca lebih lanjut J. M. S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960) (Leiden: E. J. Brill,
1968), 1.
10
Baca lebih jauh Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas, 106.
11
Baca Ilyas Supena, “Rekonstruksi Sistematik Epistemologi”, 136.

3
teokritik mulai muncul dalam diri umat Islam. Di samping itu pula, dengan semakin
luasnya wilayah dan pemeluk Islam yang diringi dengan perubahan dan
perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam dari budaya lisan ke budaya tulisan,
maka persoalan-persoalan baru mulai bermunculan. Mereka memerlukan jawaban
terhadap masalah-masalah tersebut, sehingga butuh kepada ijtihad dalam rangka
kontekstualisasi ajaran Islam. Sejak saat itulah mulai dirumuskan hermeneutika Al-
Qur’an yang sangat dekat dengan metode pemahaman teks. Umat Islam berusaha
mengembangkan pola-pola dalam ilmu tafsir dan sejarah penafsiran Al-Qur’an yang
secara umum menggambarkan adanya suatu kemiripan dengan pola yang
dikembangkan hermeneutika. Karena itu, Farid Esack mengatakan bahwa meskipun
istilah hermeneutika merupakan hal yang baru dalam tradisi keilmuan Islam, tetapi
praktek hermeneutika telah lama dilakukan oleh umat Islam. Praktek tersebut dapat
dilihat dari maraknya kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam di bawah
payung sebuah disiplin ilmu yang dikenal dengan nama ilmu tafsir.12
Hermeneutika dalam studi keagamaan dipandang sebagai pendekatan yang
komprehensif untuk menggali dan menjelaskan masalah masalah keagamaan. Istilah
hermeneutika sesungguhnya dapat ditemukan dalam khazanah tafsir Al-Qur’an klasik.
Secara operasional praktis, hermeneutika sesungguhnya sudah dipraktekkan tetapi
tidak ditampilkan secara teoritik. Indikasi dari pernyataan ini dapat ditunjukkan
dengan menyebut beberapa kitab tafsir seperti: Tafsīr al-Kashāf karya Zamakhshari
(w. 538 H), Tafsīr Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl karya alBaidawi (w. 685 H).13

C. Penerapan Konsep Hermeneutika14 al- Qur’an15 Amina Wadud Muhsin


Dalam studi islam, ada beberapa pendekatan yang ditawarkan para intelektual
untuk mendapatkan pesan moral islam sebagai agama yang memiliki perspektif
gender. Diantara teori-teori tersebut adalah, pendekatan normative dengan pendekatan
nash sosiologis dan teologis, hermeneutika dengan sejumlah teori, dan pendekatan
sejarah. Lahirnya sejumlah pendekatan dan teori-teorinya ini dapat dikatakan sebagai
respon terhadap kondisi masyarakat muslim yang menempatkan perempuan sebagai
makhluk tersubordinasi. Dengan pendekatan-pendekatan tersebut, diharapkan dapat

12
Baca Ilyas Supena, “Rekonstruksi Sistematik Epistemologi”, 137-138. Baca lebih lanjut Farid Esack, Qur’an
Liberation & Pluralism an Islamic Perspective of Intereligious Solidarity Against Oppression (England:
Oneworld Publications, 1997), 61.
13
Baca Nasr Hamid Abu Zayd, Ishkāliyāt al-Qirā’ah wa Aliyyāt at-Ta’wīl, 15. Baca Ahmad Hasan Ridwan,
“Metodologi Kritik Teks Keagamaan”, 118.
14
Aliran filsafat yang bisa didefinisikan sebagai teori interprestrasi dan penafsiran sebuah naskah melalui
percobaan. Biasanya dipakai untuk menafsirkan alkitab, terutama dalam studi kritik mengenai alkitab. Ahmad
Fanani, Kamus Istilah Popular, (Yogyakarta: Mitra Pelajar ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 224
15
Menurut ‘Abdal-Wahhab Khallaf al-Qur’ān adalah firman Allah yang dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin
(jibril) ke dalam hati sanubari Rasul Allah Muhammad Bin ‘Abd Allah sekaligus bersama lafadz arab dan
maknanya benar-benar sebagai bukti bagi raasul bahwa ia adalah utusan Allah dan menjadi peganngan bagi
manusia agar mereka terbimbing dengan petunjuk-Nya kejalan yang benar serta membacannya bernilai ibadah.
Semua firman itu terhimpun di dalam mushaf yang diawali dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-
Nas diriwayatkan secara mutawatir dari satu generasi ke generasi yang lain melalui tulisan dan lisan serta
senantiasa terpelihara keorisinilannya dari segala bentuk perubahan dan penukaran atau penggantian.
( Nasaruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsīr, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 16

4
melahirkan konsep yang menempatkan perempuan setara dengan laki-laki
sebagaimana pesan moral alQur’ān dan sunnah Nabi.16
Adapun yang dimaksud dengan model hermeneutika adalah salah satu bentuk
metode penafsiran yang dalam pengoprasiannya dimaksudkan untuk memperoleh
kesimpulan makna suatu teks atau ayat, Disini Amina Wadud Muhsin menawarkan
hermeneutika kritisnya yang cukup berbeda dengan yang lainnya, meskipun
hermenutika ini diklaim “baru”, tapi dengan penuh kejujuran, Amina Wadud Muhsin
mengakui bahwa ia terinspirasi dan bahkan sengaja mengggunakan metode yang
pernah ditawarkan oleh Faazlur Rahman. Dengan jujur Amina Wadud Muhsin
katakan: Thus, I attempt to use the method of Qur’anic interpretation proposed by
Fazlur Rahman ( Pakistan United Stated 1919-1988)17 yaitu “ Hermenutika Tauhid”
yang mana hermenutika ini tidak pernah terlepas dengan lima aspek, yaitu :
1. Dengan konteks apa teks itu ditulis, jika kaitannya dengan alQur’ān, maka
dalam konteks apakah ayat itu diturunkan atau melihat asbabun nuzul itu
sendiri, sedangkan jika berupa Hadis, maka lihatlah dulu asbabul
wurudnya.
2. Komposisi garamatikal teks yaitu bagaimana teks al-Qur’ān menuturkan
pesan yang dinyatakannya. Besearta sintaksis bahasa yang digunakan dalm
tempat lain yang berada dalam al-Qur’ān
3. Menurut konteks pembahsan tentang topik yang sama dalam al-Qur’ān
4. Dari sudut prinsip al-Qur’ān yang menolaknya
5. Bagaiman keseluruhan teks (ayat), weltanschauung atau pandangan
duniannya. Sering kali,perbedaan pendapat berakar pada perbedaan
penekanan terthadap salah satu dari kelima aspek ini.18
Menurut Amina Wadud Muhsin tidak ada metode penafsiran al-Qur’ān yang
benar-benar objektif. Setiap mufassir menetapkan beberapa pilihan subjektif. Uraian
tafsīr mereka sebagian mencerminkan pilihan subjektif. Uraian tafsīr mereka sebagian
mencerminkan pilihan subjektif itu dan tidak selalu mencerminkan maksud dari teks
yang mereka tafsīrkan. Namun, sering kali, orang tidak membedakan antara teks al-
Qur’ān dan tafsīrnya.
Dengan bantuan metode hermeneutika kritisnya diharapkan dapat menjadikan
kitab suci al-Qur’ān lebih bersikap pluralis terbuka dan toleran terhadap keragaman
16
Kurdi, Dkk, Hermeneutika al-Qur’ān dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm. 181
17
Lihat karya M. Masrur dalam buku M. Yusron, Dkk, Studi Kitab Tafsir Kajian Kontemporer, (Yogyakarta:
Teras, 2006), hlm. 88
18
Amina Wadud Muhsin, Qur’ān and Women, (terj.), Ali Abdullah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2006), hlm. 19

5
yang ada baik ragam internal maupun eksternal. Dari sini pesan-pesan yang digali al-
Qur’ān tidak mengabaikan faktor-faktor parsial tidak ahistoris dan lepas control.
D. Tafsir ayat-ayat Gender menurut Wadud Dalam Perspektif Hermeneutika
Gadamer
Sebagai seorang aktivis atau pejuang kesetaraan gender, Wadud mencoba
mengaplikasikan pemikirannya tentang tafsir dan hermeneutika ke dalam penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan gender. Ada
sekitar 27 ayat-ayat gender dalam Al-Qur’an, namun tidak semuanya mendapat
perhatian serius dari Wadud. Dalam penelitian ini peneliti hanya membahas sebagian
saja dari ayat-ayat tersebut yang cukup tajam dikritik oleh Wadud, dan juga telah
menjadi pembicaraan utama dalam kajian gender dan feminis, yakni ayat tentang
penciptaan, kepemimpinan, dan poligami.
1. Diskursus asal usul penciptaan perempuan Berbicara tentang awal mula
penciptaan perempuan, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konsep penciptaan
manusia yang sudah dipahami selama ini. Pendapat yang berkembang di
masyarakat saat ini adalah bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-
laki. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa asal usul perempuan berbeda
dengan laki-laki. Jika laki-laki diyakini berasal dari sumber yang pertama kali
diciptakan oleh Tuhan yakni tanah (saripati tanah), sedangkan perempuan tidak.
Jika laki-laki diakui memiliki eksistensi diri yang sempurna, sedangkan
perempuan tidak. Konsekuensi ini muncul karena perempuan diciptakan dari
sumber yang tidak sempurna pula yaitu bagian dari laki-laki. Dengan kata lain,
penciptaan perempuan sangat tergantung pada penciptaan laki-laki. Jika laki-laki
tidak atau belum diciptakan oleh Tuhan, maka perempuan tidak akan pernah pula
tercipta.19
Pendapat seperti yang dijelaskan di atas bukanlah muncul dengan tiba-tiba atau
tanpa dasar sama sekali. Salah satu dasar yang paling kuat yang dimunculkan oleh
pendukung pendapat ini adalah ayat Al-Qur’an QS. al-Nisa‘/4: 1. Dalam ayat tersebut
dijelaskan bahwa awalnya Tuhan menciptakan laki-laki dari sumber yang satu,
kemudian baru diciptakan perempuan dari sumber (bagian) dari diri laki-laki.
Sebelum mencermati penafsiran Wadud tentang ayat ini, ada baiknya dicermati
dulu penafsiran ulama klasik tentang ayat tersebut. Dalam mencermati ayat tersebut,
mufasir klasik cenderung menafsirkannya dengan mengacu kepada sebuah hadis
Nabi, yang menyatakan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk laki-
laki. Seperti al-Rāzi dalam tafsirnya Mafātih al-Ghaib menyatakan bahwa makna dari
kalimat khalaqakum min nafs wah idah dapat dicermati dari beberapa hal. Pertama,
bahwa kalimat ini menegaskan bahwa penciptaan seluruh umat manusia adalah
berasal dari manusia yang satu. Kedua, penciptaan manusia dari diri (manusia) yang
satu memberikan dampak tersendiri bagi kelangsungan kehidupan umat manusia.
Salah satu dampak yang dimaksud adalah akan terjalinnya hubungan silaturahmi yang

19
Baca Fakhr al-Din Mahmud ibn Umar ibn al-Husain ibn al-Hasan ibn Ali al-Tamimi al-Bakar al-Razi al-
Shafi’i, Mafatih} al-Ghaib (Tafsir al-Kabir) (Libanon: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 2009), jilid. 9-10, 159–160.

6
kuat antara sesama mereka dan dapat mempererat rasa kasih sayang (mahabbah) di
antara mereka. Ketiga, jika manusia mengetahui bahwa mereka berasal dari diri
(manusia) yang satu niscaya mereka akan merasa sederajat, tidak ada kesombongan
dan keangkuhan antara yang satu dan yang lainnya. Sebaliknya mereka akan
menampilkan sikap tawadhu dan akhlak yang baik. Namun demikian, terlepas dari
penjelasan di atas, al-Razi juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan
nafs wahidah sesungguhnya adalah Adam as.
Pendapat para mufasir klasik di atas tidak bisa diterima oleh Wadud. Alasan
utamanya adalah karena pendapat mereka tersebut sangat merugikan bagi pihak
perempuan. Dengan pemahaman seperti itu terkesan bahwa status perempuan lebih
rendah dari pada laki-laki. Dalam konteks inilah dia berpendapat bahwa perlu adanya
reinterpretasi terhadap ayat tersebut. Secara rinci Wadud membahas ayat tersebut
dengan analisis teks (komposisi bahasa) terlebih dahulu. Dia melakukan analisis
secara mendalam terhadap kata kunci dalam ayat tersebut, terutama nafs dan zawj.
Kata nafs (yang diartikan denga diri), secara konseptual, menurut Wadud,
mengandung makna yang netral, tidak mengacu kepada jenis kelamin. Jadi bisa
digunakan untuk laki-laki atau perempuan. Dia menegaskan bahwa dalam catatan Al-
Qur’an tentang penciptaan, Tuhan tidak pernah merencanakan untuk memulai
penciptaan–Nya berdasarkan jenis kelamin. Al-Qur’an juga tidak pernah memberikan
penjelasan bahwa asal usul umat manusia adalah Adam. Bahkan Al-Qur’an tidak
pernah menyatakan bahwa Allah memulai penciptaan umat manusia dengan nafs
Adam (seorang laki-laki). Pemahaman yang netral sepertinya telah terabaikan selama
ini, sehingga memberikan implikasi yang tidak setara terhadap asal usul penciptaan
laki-laki dan perempuan.20
Amina Wadud Muhsin mengelompokkan tafsīr-tafsīr tentang perempuan menjadi
tiga kategori :
1. Metode tradisional
Menurut Amina Wadud Muhsin model tafsīr ini menggunakan pokok bahasan
tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya, seperti hukum (fiqih),
nahwu, shorof, sejarah, tasawuf dan lain sebagainya. meski semua penekanan ini
bisa menimbulkan perbedaan, namun terdapat kesamaan diantara karya-karya ini
yaitu dengan metodelogi atomistik. Mungkin saja ada pembahasan mengenai
hubungan antara ayat satu dengan ayat yang lainnya. Namun, ketiadaan metode
hermeneutika atau metodelogi yang menghubungkan antara ide, struktur sintaksis,
atau tema yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap al-Qur’ān.
2. Tafsīr reaktif,
Yaitu tafsīr yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah
hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Qur’ān.
20
Baca Amina Wadud, Qur’an and Women, 19-20. Baca Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Qur’an al-Hakim
al-Mashhur bi Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), 263. Lihat Muhammad Jawad
Mughniyah, al-Tafsir al-Kasyif, juz. II, 242.
Hubungan

7
Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari
gagasan kaum feminis dan rasionalis. Yang melihat keterpasungan perempuan
sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang dilekatkan dengan al-
Qur’ān. Dalam kategori inilah banyak perempuan dan atau orang yang menentang
kuat pesan al-Qur’ān (atau lebih tepatnya, islam). Mereka menggunakan status
perempuan yang lemah dalam masyarakat muslim sebagai pembenaran atas
“reaksi” mereka. Namun, reaksi reaksi mereka juga tidak mampu membedakan
antara penafsiran dan teks al-Qur’ān.21
Tujuan yang ingin dicapai dan metode yang digunakan sering kali berasal dari
cita-cita dan pemikiran kaum feminis. tapi tanpa dibarengi analisis yang
komprehensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan menyebabkan mereka
memperbaiki kedudukan perempuan berdasarkan alasan-alasan yang sama sekali
tidak sejalan dengan pandangan al-Qur’ān tentang perempuan.
3. Tafsīr holistik
Yaitu penafsiran yang mempertimbangkan ulang semua metode tafsīr al-
Qur’ān menyangkut berbagai bidang seperti sosial, moral, ekonomi, dan politik
modern-termasuk isu tentang perempuan. Dalam kategori inilah Amina Wadud
Muhsin menempatkan karyanya ini. Kategori ini relative baru, dan belum ada
kajian substansial yang secara khusus membahas isu perempuan dari sudut
pandang keseluruhan alQur’ān dan prinsip-prinsip utamanya.
Amina Wadud Muhsin bermaksud menyusun “pembacaan” al-Qur’ān
berdasarkan pengalaman perempuan dan tanpa melibatkan steorotipe yang sudah
menjadi kerangka penafsiran laki-laki. Tak pelak lagi, pembacaan ini akan
bertabrakan dengan sebagian kesimpulan yang telah ada mengenai pokok bahasan
ini. Karena Amina Wadud Muhsin sedang menganalisis teks al-Qur’ān, bukan
tafsīrnyacara Amina Wadud Muhsin memperlakukan isu ini berbeda dengan
kebanyakan karya yang telah membahas topik ini.22
disinilah posisi Amina Wadud Muhsin dalam upaya menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’ān. Model semacam ini menurut hemat penulis mirip dengan apa yang
ditawarkan oleh Fazlur Rahman. Dalam hal ini Fazlur Rahman berpendapat
bahwa ayat-ayat al-Qur’ān yang diturunkan dalam waktu tertentu dalam sejarah
dengan keadaan umum dan khusus yang menyertainya menggunakan ungkapan
yang relatif sesuai dengan situasi yang mengelilinginya. Karenanya ia tidak dapat
direduksi atau dibatasi oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan. Dengan
semboyan itulah Amina Wadud Muhsin berpendapat bahwa dalam usaha
memelihara relevansi alQur’ān dengan perkembangan kehidupan manusia al-
Qur’ān harus terus ditafsīrkan ulang.

21
“Misalnya, Fatna A. Sabbah Dalam Bukunya Woman In The Muslim Unconscious, yang diterjemahkan oleh
Mary Jo dari bahsa prancis La Femme dans L’insconcient Musulman (New York; Pergamon press, 1984).
Sabbah memang membahas hal-hal yang valid berkenaan dengan itu ini, tetapi ketika membahas al-Qur’ān, dia
gagal membedakan antara alQur’ān dan para mufassir. (Amina Wadud Muhsin, Qur’ān and Women, (terj.),
Abdullah Ali, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 17
22
Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, (terj.), Yudian Wasmin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 19

8
E. Konstruksi Pemikiran Amina Wadud
Metode penafsiran Amina Wadud pada dasarnya didasarkan pada kerangka
penafsiran Fazlur Rahman, seorang perintis tafsir kontekstual. Dalam pandangan
Fazlur Rahman, ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan dalam kurun waktu tertentu
dalam sejarah mempunyai keadaan umum dan khusus yang melingkupinya, selain ia
juga menggunakan ungkapan yang relatif mengenai situasi tertentu. Karenanya pesan
al-Qur’an tidak bisa direduksi oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan saja.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi kaum muslim pada periode pasca
Rasulullah adalah memahami implikasi dari pernyataan al-Qur’an sewaktu
diwahyukan, untuk menentukan makna utama yang dikandungnya.
Menurut Fazlur Rahman, persoalan metode dan pemahaman terhadap al-
Qur’an belum cukup dibincangkan dalam tradisi keilmuan Islam, dan ini merupakan
perkara yang amat mendesak untuk dikaji pada zaman ini. Corak penafsiran yang
yang diwariskan oleh khazanah keilmuan Islam klasik dianggap telah gagal
memaparkan pesan-pesan al-Qur’an secara padu dan koheren. Hal ini diakibatkan
oleh kaidah penafsiran per ayat, serta kecenderungan terhadap penggunaan ayat-ayat
al-Qur’an secara atomistik. Kalangan mufassir dan umat Islam pada umumnya tidak
dapat menangkap keterpaduan pesan al-Qur’an yang dilandaskan atas suatu
weltanschaung atau worldview (pandangan dunia) yang pasti.
Berdasar pada argumen tersebut, Amina Wadud yakin bahwa dalam usaha
memelihara relevansinya dengan kehidupan manusia, al-Qur’an harus terus-menerus
ditafsirkan ulang. Dalam konteks ini Amina Wadud mengajukan metode
Hermeneutika al-Qur’an sebagaimana ditawarkan Fazlur Rahman. Salah satu tujuan
Amina Wadud menggunakan metode ini adalah menafsirkan ulang makna al-Qur’an.
Baginya penafsiran adalah penafsiran. Tidak ada penafsiran yang definitif (no
interpretation definitive). Dia mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib ‚al-Qur’an
ditulis pada dua garis lurus dan berada di antara dua cover, dia tidak berbicara dengan
sendirinya, ia membutuhkan penafsir, dan penafsirnya adalah manusia.23
Selain beberapa aspek di atas dan kategori di atas, prior text (latar belakang,
persepsi, dan kondisi) menjadi hal yang teramat penting dalam kerangka metodologi
tafsir Amina Wadud. Prior text memberi cakupan luas, sehingga tidak muncul
anggapan bahwa tafsir tertentu lebih benar dari tafsir yang lain, karena sikap seperti
itu justru membatasi luasnya makna suatu ayat. 24
Pada dasarnya al-Qur’an bersifat fleksibel untuk dapat mengakomodir
sejumlah situasi kultur yang berbeda, karena al-Qur’an sendirilah yang menyatakan
bahwa ia universal bagi setiap umat yang mengimaninya. Oleh karenanya
memaksakan pemahaman al-Qur’an dari perspektif kebudayaan tunggal (termasuk
juga perspektif masyarakat Islam pada zaman Nabi Muhammad) akan menyebabkan
terjadinya limitasi dalam penerapannya, dan berlawanan dengan tujuan universal al-
Qur’an itu sendiri.25
23
Amina Wadud, Inside the Gender jihad : women’s Refrom in Islam , dalam Mutrrofin, ‚Kesetaraan Gender
dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hassan‛..,hlm. 244.
24
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text Form a Woman’s Perspective, (New York:
Oxford University Press, 1990),hlm. 8
25
Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Refrom in Islam, (Oxford: Oneworld, 2006), hlm. 7

9
Maka dari itu, dalam menafsir ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan jenis
kelamin, penafsiran ala Amina Wadud tidak memberikan prioritas terhadap jenis
kelamin tertentu. Hal ini dilakukan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an yang bersifat
universal. Ayat-ayat al-Qur’an sebagai kalam Allah harus bisa mengatasi hakekat
keterbatasan bahasa sebagai alat komunikasi manusia. Yang perlu menjadi catatan
dalam pembahasan prior text dalam penafsiran al-Qur’an adalah sejauh mana
objektivitas mufasir dan bagaimana harus menyikapinya. Sebab tanpa adanya pre-
understanding sebelumnya, teks ini justru akan bisu dan mati.
Dalam merealisasikan proyek dekontruksinya, Amina Wadud berangkat dari
asumsi dasar bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari penciptaan yang sama,
lantas mengapa pada tataran pelaksanaan hukum ‘ubudiyah hal itu justru berbeda?
Menurut Amina Wadud, tradisi masyarakat Muslim yang menempatkan laki-laki
sebagai otoritas publik (agama, politik, dan sosial) justru mendistorsi maksud Islam
mengenai perempuan. Amina Wadud percaya bahwa yang menjadikan perempuan
sebagai second personality bukanlah agama, melainkan penafsiran da/n implementasi
al-Qur’an yang mempunyai struktur patriarkal yang telah mengungkung kebebasan
perempuan dalam segala hal.26
F. Pemikiran Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita
Dari metode pemahaman yang dibangun dan diyakininya, kemudian Amina
Wadud juga melakukan aplikasi metode tersebut terhadap fenomena gender dalam al-
Qur’an. Salah satu isu yang dianggapnya bias nilai-nilai keadilan gender adalah
persoalan bobot kesaksian wanita 2:1 dengan kesaksian laki-laki dalam al-Qur’an.
Yaitu QS. Al-Baqarah ayat 282.
Amina Wadud lebih memilih penafsiran dengan menggunakan susunan
struktur kata untuk merespon ayat tersebut. Dua saksi perempuan tersebut diartikan
sebagai penguat dan pengingat. Jadi meskipun dua orang, tiap-tiap perempuan
memiliki fungsi yang berbeda, sehingga dalam hal ini tidak bisa disamakan
kedudukan dua perempuan dan satu laki-laki. Masing-masing perempuan memiliki
fungsinya sendiri. Bagi Amina satu saksi laki-laki ditambah satu kesatuan berupa dua
saksi perempuan tidak termasuk formula dua banding satu seperti pehitungan dalam
pembagian waris, sebab jika (formulanya sama dengan dua banding satu) tidak
demikian maka empat saksi perempuan bisa menggantikan dua saksi laki-laki, tetapi
al-Qur’an tidak memberikan alternatif untuk itu.27
Ayat di atas memang penting untuk keadaan tertentu, namun bisa jadi ayat itu
telah usang dalam rangka merespon kehidupan saat ini, di mana ide untuk menjadikan
dua saksi perempuan yang satu sebagai saksi dan satunya lagi sebagai pengingat dan
penguat untuk menghindari penyelewengan dalam memberikan kesaksian, karena
pada saat itu perempuan mudah sekali ditekan. Jika hanya ada satu saksi laki-laki dan
satu saksi perempuan, maka perempuan akan menjadi sasaran pemaksaan oleh oknum
yang ingin mencabut kesaksiannya, dan akan berbeda jika ada dua saksi perempuan,
mereka akan saling mendukung satu sama lain. Khususnya jika dilihat dari penafsiran

26
Ibid,. Hlm. 8
27
Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, hlm. 147-148.

10
kata (tudilla) jika dia berbuat salah. (tuzakkir) maka yang satunya lagi dapat
mengingatkan.
Ayat di atas juga bersifat spesifik, hanya diperuntukkan dalam hal perjanjian
finansial dan tidak dimaksud untuk diberlakukan umum. Namun tetap saja setiap kali
al-Qur’an menerangkan tentang kesaksian tanpa menyebutkan jenis kelamin,
penafsiran androsentris kemudian menyimpulkan bahwa kesaksian itu hanya bisa
dilakukan oleh laki-laki. Formula yang diterapkan mengharuskan dua kali jumlah
perempuan sama dengan satu lakilaki, tidak hanya terjadi dalam menjadi saksi. Hal ini
yang kemudian hari juga berdampak pada berbagai aspek partisipasi perempuan
lainnya. Meskipun demikian, Amina tetap keberatan dengan pembatasan dua saksi
perempuan sama dengan satu saksi laki-laki dalam hal finansial, yang diberlakukan
juga pada perkara lain. Idealnya menurut Amina hendaknya penghadiran saksi pada
suatu perkara bukan ditentukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan siapa saja yang
dianggap mampu menjadi saksi, maka berhak untuk menjadi saksi.
Argumen ini berulang kali dikemukakan untuk meluruskan beberapa
ketentuan hukum yang mendiskriminasikan perempuan dan untuk memposisikan
perempuan setara dengan laki-laki. Memperbandingkan kondisi perempuan sekarang
di mana banyak perempuan menjadi pemimpin publik, bahkan menjadi presiden,
menjadi komisaris utama sebuah perusahaan besar, akuntan terkemuka, penghafal al-
Qur’an, menjadi seorang Hakim, dan lainlain sebagai jawaban dari tuduhan ulama
zaman dahulu. Bahwa perempuan daya ingatnya lemah, pelupa, tidak bisa memimpin,
akal dan agamanya kurang, maka tentu saja pandangan bahwa kesaksian perempuan
separuh dari kesaksian laki-laki harus diganti.
Kenyataan sekarang perempuan telah setara dengan laki-laki hampir dalam
segala bidang, karena perempuan juga telah memiliki akses yang hampir sama dengan
laki-laki. Mengikuti perkembangan ini, maka sepatutnya perempuan disetarakan
dengan laki-laki di hadapan hukum, termasuk dalam posisinya sebagai saksi dalam
semua urusan, baik muamalat, munakahat, maupun jinayat.28

28
Lia Aliyah al-Himmah, Kesaksian perempuan benarkah separuh laki-laki?, (Jakarta Selatan:Rahima, 2008),
hlm. 43.

11
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Amina Wadud adalah seorang seorang tokoh feminis perempuan Islam yang
memberikan penafsiran yang lebih jelas. Harus diakui bahwa semangat Qur’ani yang ingin
disampaikannya cukup mengemuka. Demikin juga metode penafsirannya yang ditawarkan
relative baik untuk diterapkan dalam rangka mengembangkan wacana tafsir yang sensitif
gender. Akan tetapi, hal ini bukanlah hal yang baru, karena sudah diawali oleh Fazlur
Rahman.

Dalam pon yang dapat diambil dari pemikirannya Amina Wadud adalah adanya upaya untuk
membongkar pemikiran lama dan mitos-mitos lama yang disebabkan oleh penafsiran yang
bias patriarki.

12
DAFTAR PUSTAKA

Soleh Khudori. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer , Yogyakarta: Jendela


Baidowi Ahmad. 2005. Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufassir
Kontemporer. Bandung: Nuansa.
Irsyadunnas. 2013. Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer,
Yogyakarta: Kaukaba
Supena Ilyas, 2007.“Rekonstruksi Sistematik Epistemologi Ilmu-ilmu Keislaman Dalam
Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman”, Disertasi: PPS UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Audi Robert. 1995. The Cambrigde Dictionary of Philosophy. Cambrigde:Cambrigde
University Press.
Hidayat Komarudin. 1998. Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme
Jakarta: Paramadina
Ilyas Supena, “Rekonstruksi Sistematik Epistemologi”,
Baljon J. M. S. 1968. Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960). Leiden: E. J. Brill.
Nasr Hamid Abu Zayd, Ishkāliyāt al-Qirā’ah wa Aliyyāt at-Ta’wīl.
Kurdi, Dkk. 2010. Hermeneutika al-Qur’ān dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press.
Yusron M, Dkk. 2006. Studi Kitab Tafsir Kajian Kontemporer, Yogyakarta: Teras.
Wadud Amina Muhsin. 2006. Qur’ān and Women, (terj.), Ali Abdullah, Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta
Fakhr al-Din Mahmud ibn Umar ibn al-Husain ibn al-Hasan ibn Ali al-Tamimi al-Bakar al-
Razi al-Shafi’i. 2009. Mafatih al-Ghaib (Tafsir al-Kabir) (Libanon: Dar alKutub al-
Ilmiyyah.
Arkoun Muhammad. 1996. Rethinking Islam, (terj.), Yudian Wasmin, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Wadud Amina. 2006. Inside the Gender Jihad: Women’s Refrom in Islam, Oxford: Oneworld
Aliyah Lia al-Himmah. 2008. Kesaksian perempuan benarkah separuh laki-laki?, Jakarta
Selatan:Rahima

13

Anda mungkin juga menyukai