Anda di halaman 1dari 10

HERMENEUTIKA AMINA WADUD

Abd Malik
STAIN Majene
abdmalik1006@gmail.com
Muh Zharman Juansyah
STAIN Majene
m.zharmanjuansyah@gmail.com

Abstrak
Dalam karya tulis ini membahas tentang bagaimana metodologi
hermeneutika Amina Wadud, pembacaan kontestualisasi terhadap Al-Quran,
serta penafsiran yang lebih menonjolkan kepada obyekif dalam menafsirkan
Al-Qur’an. Bias patriarki yang selama ini menyelimuti kaum perempuan
menjadikan perempuan semakin dipandang sebelah mata bahkan tidak
dianggap sama sekali. Padahal agama islam adalah agama yang menjunjung
tinggi keadilan. Amina Wadud hadir dengan membawa perubahan dalam
polemik tersebut dengan pandangan gendernya bahwasannya perempuan pun
juga memiliki peran dalam kehidupan bahkan dalam menafsirkan Al-Qur’an
yang dimana sejak dahulu penafsiran lebih dominan dilakukan oleh kaum pria.
Sehingga dengan hermeneutika gender ala Amina Wadud perempuan pun
dapat ikut andil dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Kata kunci: Amina Wadud, Hermeneutika Gender

Pendahuluan
Model hermeneutika yang diusung Amina Wadud, fokus pada penafsiran
Al Qur’an bahwa dalam memaknai sebuah teks (ayat), pastiberkaitan dengan
beberapa aspek, diantaranya; 1) Teks (ayat) tersebut turun dalam konteks apa; 2)
bagaimana struktur bahasa, pengungkapannya, dan apa isinya.; 3) secara
universal, bagaimana weltanschaung-nya (pandangan hidup). Maka ketika ketiga
unsur ini dipelajari secara mendalam akan dapat dilacak perbedaan-perbedaan dan
variasi penafsirannya.1 Terdapat kata-kata khusus dalam menafsirkan Al Qur’an
secara konvensional/umum yang dipermasalahkan oleh Amina Wadud. Salah satu
diantara kata-kata yang dimaksud adalah kata-kata dan istilah yang sebelumnya
dipercaya sebagai kata-kata dan istilah yang bersangkut dengan jenis kelamin,
menjadi suatu yang netral.2

Ragam fakta yang diketahui oleh Amina Wadud melatar belakangi


pemikirannya. Asumsinya bahwa hingga saat ini belum ada metodologi dan
kategori penafsiran yang benar-benar obyektif. Pilihannya jatuh pada “Neo
Modernism” Fazlur Rahman dengan metode holistik. Inilah yang menjadi kiblat
pandangan Amina Wadud dalam penafsiran Al Qur’an. Meskipun kedua tokoh ini
tidak saling memberikan definisi secara eksplisit tentang metode holistik, namun
dapat dikatakan metode ini merupakan turunan dari metode hermeneutic
penafsiran Al Qur’an. Melalui metode holistic, Amina Wadud berharap akan
memperoleh pemahaman terhadap teks Al Qur’an yang mengandung makna
sejalan dengan konteks kehidupan masa kini.Prinsipnya, Al Qur’an abadi
sepanjang zaman tidak terikat waktu dan historinya.3
Biografi Amina Wadud
Amina Wadud memiliki nama lengkap Amina Wadud Muhsin. Terlahir
dengan nama Maria Teasley, di Bethesda, Maryland Amerika Serikat pada 25
September 1952. Ayahnya seorang penganut Methodist dan ibunya keturunan
Berber, Arab, dan Afrika. Ia memeluk Islam pada tahun 1972. Wadud
memilikilima anak, yang ia anggap sebagai saudara-saudara seiman.10Wadud
meraih gelar sarjana (B.S) pada tahun 1975 di University of Pennsylvania dalam
bidang pendidikan. Gelar magister (M.A.) ia raih pada tahun 1982 di bidang
Kajian-kajian Timur Dekat (Near Eastern Studies) di The University of Michigan,
dan di universitas yang sama juga Wadud meraih gelar Doktor (Ph.D) pada tahun
1988 di bidang Kajian-kajian Keislaman dan Bahasa Arab (Islamic Studies and

1
Muh Fahrizal Amin, “Amina Wadud: Hermeneutika Untuk Gerakan Gender” Al-Adyan
Jurnal Studi Lintas Agama, Vol.15, No.2(2020), hlm. 238. https:/ /doi.org/10.24042/ ajsla.v15i2.
7040
2
Muh Fahrizal Amin, loc.cit., hlm. 239
3
Ibid.
Arabic). Ia juga belajar bahasa Arab di American University. Selain itu ia juga
pernah belajar filsafat Islam di al-Azhar dan kajian tafsir al-Qur’ân di Cairo
University, Mesir.4
Wadud banyak menguasai bahasa asing diantaranya, Inggris, Arab, Turki,
Spanyol, Prancis, dan Jerman. Penguasaan banyak bahasa membuat Wadud
banyak ditawari menjadi dosen tamu di berbagai universitas di antaranya, Harvard
Divinity School (1997-1998), International Islamic Malaysia (1990-1991),
Michigan University, American University di Kairo (1981-1982), dan Pensylvania
University (1970-1975). Ia juga pernah menjadi konsultan workshop dalam
bidang studi Islam dan gender yang diselenggarakan oleh Maldivian Women‟s
Ministry (MWM) dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1999. Di
luar aktivitas sebagai seorang feminis Wadud adalah seorang guru besar di
Commonwealth University, Richmond Virginia. Karya Wadud lebih banyak
berupa artikel lepas di media dan jurnal-jurnal ilmiah. Karya dalam bentuk buku
yang dapat dijadikan sebagai referensi utama kajian pemikirannya diantaranya;
Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective
yang terbit pada tahun 1999 dan Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in
Islam yang terbit pada tahun 2006. Charles Kurzman dalam Liberal Islam13
menyatakan bahwa karya wadud Qur’an and Woman, muncul dalam suatu
konteks historis yang erat kaitannya dengan pengalaman dan pergumulan para
perempuan Afrika-Amerika dalam memperjuangkan keadilan gender. Karena
selama ini, sistem relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat memang
seringkali mencerminkan adanya bias-bias patriarki. Sebagai impliksinya
perempuan kurang mendapat keadilan secara lebih proporsional.5
Hermeneutika Gender Amina Wadud
Salah satu keseriusan Wadud dalam mengkaji al-Qur’an adalah beliau
melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap model penafsiran klasik yang
sarat dengan nuansa patriarki. Pemikirannya memiliki asumsi dasar bahwa al-
Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukan laki-laki

4
Aspandi, Lc., M.H.I, “Hermeneutika Aminah Wadud; Upaya Pembacaan Kontekstual
Teks Keagamaan”, Legitima : Vol. 1, No.1 (2018), hlm. 47
5
Aspandi, Lc., M.H.I, loc.cit., hlm. 48
dan wanita setara. Perintah dan petunjuk yang termuat dalam al-Qur’an harus
diinterpretasikan dalam konteks situasi sosio-historis-kultural ketika ayat al-
Qur’an turun. Latar budaya (cultural background) yang melingkupi mufasir pun
perlu diperhatikan. Karena memberikan pengaruh terhadap penafsirannya
(IrsyaDunnas, 2007). Di antara pokok-pokok pikiran Amina Wadud sebagai kritik
terhadap berbagai metode dan penafsiran sebelumnya adalah: menurutnnya tidak
ada penafsiran yang benar-benar obyektif, karena mufasir sering terjebak dalam
prasangkanya sendiri sehingga makna kandungan teks menjadi terdistorsi. Setiap
penafsiran terhadap suatu teks, termasuk kitab suci al-Qur’an sangat dipengaruhi
oleh prespektif mufasir, latar belakang budayanya, dan prasangka, yang oleh
Wadud disebut Prior teks. Sebuah penafsiran tidak hanya sebuah upaya
memproduksi makna teks, tetapi juga memproduksi makna baru. Menurutnya
untuk memperoleh penafsiran yang relatif objektif, seorang mufasir harus kembali
kepada prinsip dasar al-Qur’an sebagai paradigmanya.6
Sedangkan yang dimaksud dengan bentuk hermeneutik menurut Amina
Wadud adalah salah satu bentuk metode penafsiran kitab suci, dalam
pengoperasianya untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks (ayat). Selalu
berhubungan dengan tiga aspek teks itu, yaitu: a. Dalam konteks apa suatu teks
ditulis jika dikaitkan dengan Al-Qur’an , dalam konteks apa ayat itu diwahyukan,
b. Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut (bagaimana
pengungkapannya, apa yang dikatakannya, c. Bagaimana keseluruhan teks (ayat),
Weltanschauungnya, atau pandangan dunianya, seringkali perbedaan pendapat
bisa dilacak dari variasi dalam penekanan ketiga aspek ini (Wadud, 2006).
Hermeneutik sebagai inti penafsiran, harus menjadi titik penekanan karena
sumber yang satu bisa membawa pada kesimpulan yang berbeda. Amina Wadud
melihat, metode penafsiran baik dulu maupun sekarang, kebanyakan tidak
memasukkan tentang perempuan dan pengalaman-pengalamannya. Oleh karena
itu, penafsiran Quran dan Sunah serta aplikasinya dalam membentuk hukum
Islam, pemerintah, kebijakan umum didasarkan pada hak istimewa penafsiran

6
Suheri, Robin Dayyan, “Implementasi Hermeneutika Amina Wadud atas Bias
“Politik Gender” dalam Syari’at: Rekontruksi Aurat Pada Pria, Vol. 5, No. 1 (2019), hlm. 6
mufasir (laki-laki). Amina Wadud mencoba menggunkan metode penafsiran Al-
Qur’an yang diajukan oleh Fazlur Rahman, berpandangan bahwa Al-Qur’an
muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosio-
historis. Amina Wadud berpendapat bahwa perlu adanya rekontruksi kembali
dalam penafsiran.7
Salah satu kelompok penafsiran menurut pengamatan Amina Wadud
adalah holistik. Tafsir holistik, merupakan tafsir yang memakai metoda secara
komprehensif dan mengkolaborasikan antara trouble social, ethical ekonomic,
politic, juga trouble-trouble perempuan yang tumbuh di jaman modern. Hal-hal
demikian ini menjadi ladang Amina Wadud dalam menafsirkan ayat-ayat Al
Qur’an. Dalam kategori holistic, penafsiran Al Qur’an Amina Wadud
menggunakan beberapa pendekatan, yaitu; 1) penafsiran harus didasarkan pada
prinsip analisis filologi, yaitu menganalisis bahasa, kajian linguistic, makna kata-
kata dan ungkapan dalam teks Al Qur’an; 2) penafsiran analisis tematik/maudhu’i,
yaitu mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang terpisah-pisah dari surat- surat
dengan kesamaan tema baik secara lafadz mauupun hukum, dan menafsirkannya
sehingga mengarah pada pengertian yang sama; 3) penafsiran dengan analisis
social/konteks ayat; 4) penafsiran dengan analisis perspektif perempuan. Amina
Wadud juga menganggap bahwa penafsiran selama ini masih menggunakan
sistem patriarki.8 Pemikiran Amina Wadud dalam mencari kebenaran kesamaan
substansi laki-laki dan perempuan, menggunakan tujuh istilah, diantaranya;
1. Asas Tauhid, yaitu fitrah manusia itu sama di hadapan Tuhan dan tidak ada
perbedaan. Kelas, ras, gender, suku tradisi keagamaan, asal negara tidak dapat
dijadikan alasan untuk berbeda dihadapan Tuhan. Satu-satunya aspek yang
membedakan adalah taqwa.9
2. Asas Khalifah, bahwa dalam diri manusia ada sifat Tuhan yang diwakilkan
kepada manusia. Sifat ini diamanahkan kepada manusia agar menjadi khalifah
di bumi. Tuhan mempercayakan dua hal kepada manusia berkaitan denga
7
Dedi Junaedi, Muhammadong, Sahliah, “Metodologi Tafsir Amina Wadud Dalam
Menafsirkan Al-Qur’an” Ta’dib: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 8, No. 2 (2019) hlm. 660, https:/
/ejournal.unisba.ac.id/index.php/tadib.article/view/5229
8
Muh Fahrizal Amin, loc.cit., hlm. 246
9
Muh Fahrizal Amin, loc.cit., hlm. 247
fungsinya sebagai khalifah, yaitu; ketaatan terhadap apa yang dikehendaki
Tuhan dan perannya dalam ketaatan tersebut di bumi ini.10
3. Asas Etika, bahwa terjadi banyak perbedaan interpretasi etika yang diajarkan
dalam Al-Qur’an sebagai basispokok kehidupan. Etika Islam
diimplementasikan dengan cara yang berbeda pula. Relativitas inilah membuat
sebuah makna Al Qur’an dengan berbagai macam wajah.11
4. Asas Taqwa, perkembangan spirit seseorang dibentuk sejak manusia itu
dilahirkan ke dunia. Al Qur’an diwahyukan telah memberi makna taqwa yang
bersifat spiritual dan semua ethical inklud di dalamnya.12
5. Asas Keadilan,perwujudan dari keadilan itu harus bernilai typical dan
berkeadilan sesuai dengan tempat dan waktu, sehingga penting untuk
didialogkan secara continue.13
6. Asas Syari'ah dan Fiqh, substansi syari’ah menurut Amina Wadud,yaitu
hokum yang sah dari Al Qur’an dan hadits. Makna fiqh adalah apresiasi sah
dari seorang muslim yang menjalankan syari’ah sebagai cara pemahaman yang
berbeda- beda tergantung perspektif dan perkembangan metodogi. Tetapi
perbedaan motode tersebut terabaikan dan tidak dipahami oleh muslimin.
Kompleksitas hubungan dan perbedaannya semakin tampak nyata ketika tidak
ada konsistensi.14
7. Asas Kekuatan atau Kekuasaan, ada dua istilah yang digunakan Amina
Wadud dalam memaknai keuatan dan kekuasaan, yaitu “strength to” dan
“strength over”. Power over diartikan sebagai sebuah istilah terhadap
dekadensi ethical dan ketamakan bagi kaum laki-laki maupun perempuan
sebagai konsumen yang menggebu dan berlebihan. Sehingga membutuhkan
kekuatan yang disebut dengan strength over. Sedangkan "strength to" adalah
sebuah keadaan landau dimana seorang perempuan ingin kenyamanan dalam
bekerja, pelayanan yang berperikemanusiaan di ranah public, political

10
Ibid
11
Ibid
12
Ibid
13
Ibid
14
Ibid
authority, semangat kepemimpinan, tidak cukup dengan “strength to”
kenyamanan bekerja bagi perempaun, public carrier yang baik, political
authority, spirit leadership, tidak cukup dengan kesederhanaanwawasan
"strength to", tetapi harus didukung interrelationship antara information
perempuan dan peningkatan peran sosialnya. Mereka akan menjadi bonafit jika
dapat berkontribusi dalam hal tersebut.15
Aplikasi Penafsiran Hermeneutika Amina Wadud

Waris (QS An-Nisa ayat 11)

‫ن َُيِن َك نّ ِيَٓا ءً َُف ْْ َُ ٱْفَُفتُ ْ ي‬


ّ‫ن َُفلُ َه ن‬ ‫ِْي َُۖ نّ يى َُْللُ يِ َك مۖ ليل نُّك يِ يَُِْ َ ي‬
‫ِ ْأََُِفيُ ْ يي‬
ّ ‫ُ ي‬
ُ ُ َ ْ ْ ‫َ َ ا‬ َ
‫م‬
…ُۖ ُِ ‫ٱَفلََُٓ ُِٓ ُف‬
Artinya: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian
warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan”…

Dalam penafsiran klasik bahwa pembagian waris antara laki-laki dan


perempuan berbeda, yakni 2:1. Ada beberapa alasan yang diungkapkan oleh
Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya, bahwa pertama, laki-laki lebih utama
dibandingkan perempuan. Hal ini berkaca pada zaman jahiliyah, perempuan tidak
maju di medan perang karena perempuan dianggap lemah. Kedua, secara ethical
intelektual dan keagamaan, laki-laki dianggap lebih sempurna. Ketiga, dengan
kesempurnaan yang dimiliki oleh laki-laki, dianggap mampu menjalankan roda
perokonomian dengan mengelola harta tersebut. Perumusan pembagian waris
yang seperti ini dikritik oleh Amina Wadud. Menurutnya, perbandingan 2:1
adalah rumusan matematis kebenarannya tidak mutlak karena itu hanya sebuah
version pembagian saja. Artinya dapat memungkinkan adanya version lain yang
dapat digunakan dalam pembagian waris. Pembagian waris haruslah adil dengan

15
Muh Fahrizal Amin, loc.cit., hlm. 248
memperhatikan kemanfaatan dari harta waris bagi ahli waris. Parameternya
aadalah kemanfaatan (naf’a).16

Kontribusi pemikiran Amina Wadud dalam hal pembagian warisan


sebagai berikut; 1) Pembagian warisan diperuntukkan bagi keluarga yang masih
hidup baik laki-laki maupun perempuan, 2) Keseluruhan harta dapat diwariskan
kepada ahli waris, 3) namun tetap memperhatikan keadaan ahli waris dan
kemanfaatan harta yang diwariskan. Yang jelas bagi Wadud yang prinsip dasar
dalam pembagian harta waris tersebut ialah pada manfaat dan keadilan bagi yang
ditinggalkan. Oleh karenanya ayat-ayat tentang teknis pembagian warisan
merupakan ayat yang lebih bersifat sosiologis dan hanya merupakan salah satu
alternasi saja, bukan suatu keharusan yang harus diikuti. Sebagai konsekuensinya
ayat-ayat tersebut mestinya dipahami semangat (ruh) atau perfect ethical, yakni
semangat keadilan yang ada dibalik teks yang prison formal tersebut. Semangat
keadilan itulah yang muhkamat atau qathi’, sedangkan teknis operasionalnya
dapat dipandang masih zanni, seiring dengan akulturasi dan kebutuhan zaman.17

Kesimpulan
Latar belakang pemikiran Amina Wadud adanya kegelisahan intelektual
tentang fenomena patriarki dalam masyarakat muslim, penafsiran Al Qur’an yang
bias gender. Adanya marjinalisasi kapasitas perempuan dalam social humanis
yang berlangsung terus menerus hingga saat ini, mendorongnya untuk melakukan
rekonstruksi pemikiran, membongkar pemikiran bias gender. Alqur’an sebagai
pembawa nilai keadilan, menurut Amina Wadud belum mampu terasimilasi dalam
kehidupan masyarakat muslim. Dasar/landasan teori pemikiran Amina Wadud
adalah kerangka penafsiran Fazlur Rahman. Amanat Al Qur’an berlaku sepanjang
zaman, tidak hanya dikecualikan untuk situasi tertentu saja. Maka masalah-
masalah social, ethical dan kepercayaan secara umum bangsa Arab pada zaman
jahiliyah perlu ditinjau kembali agar pesan Al Qur’an dapat diapresiasikan dalam
kehidupan current saat ini.

16
Muh Fahrizal Amin, loc.cit., hlm. 248-249
17
Muh Fahrizal Amin, loc.cit., hlm. 249
Hermeneutika gender menurut Amina Wadud dalam penafsirannya dapat
digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) tradisional 2) reaktif dan 3) holistic,
dengan menggunakanpendekatan dalam penafsiran Al Qur’an, yaitu; 1) penafsiran
harus didasarkan pada prinsip analisis filologi; 2) penafsiran dengan analisis
tematik/maudhu’I; 3) penafsiran dengan analisis social/konteks ayat; 4) penafsiran
dengan analisis perspektif perempuan.Sedangkan azas pemikiran Amina Wadud
terdiri dari; 1) Azas Tauhid; 2) Azas Khalifah; 3) Azas Etika; 4) Azas Taqwa; 5)
Azas Keadilan; 6) Azas Syari’ah dan Fiqh; 7) Azas Kekuatan dan Kekuasaan.
Aplikasi penafsiran hermeneutika Amina Wadud berciri feminis, dukhususkan
untuk menciptakan identitas diri perempuan sebagai manusia. Selama berabad-
abad identitas perempuan telah dirampas oleh pemahaman keagamaan yang
bias.Hal penting bagi Amina Wadud adalah identitas perempuan yang secara
simbolik menggambarkan electricity Islam dalam konteks muslim yang beragam,
sehingga perlu dikaji secara mendalam. Termasuk pembahasan hal waris, asal
usul manusia dan kesetaraan gender, dan nuyuz. Ini adalah contoh bahasan geliat
aplikasi pemikiran feminismenya dalam buku- buku karyanya.

KONSEP HERMENEUTIKA AMINA WADUD


TEKS

KONTEKSTUALISASI

(CULTURAL/SOSIAL CONTRUCTION)

KOMUNIKASI BARU (PRIA-WANITA)

/ALTERNATIVE ACTION
DAFTAR PUSTAKA

Muh Fahrizal Amin, “Amina Wadud: Hermeneutika Untuk Gerakan

Gender” Al-Adyan Jurnal Studi Lintas Agama, Vol.15, No.2 (2020).

Aspandi, Lc., M.H.I, “Hermeneutika Aminah Wadud; Upaya


Pembacaan Kontekstual Teks Keagamaan”, Legitima : Vol. 1, No.1 (2018).

Suheri, Robin Dayyan, “Implementasi Hermeneutika Amina Wadud


atas Bias “Politik Gender” dalam Syari’at: Rekontruksi Aurat Pada Pria, Vol.
5, No. 1 (2019).

Dedi Junaedi, Muhammadong, Sahliah, “Metodologi Tafsir Amina Wadud


Dalam Menafsirkan Al-Qur’an” Ta’dib: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 8, No. 2

(2019).

Anda mungkin juga menyukai