Yang
dimaksud dengan al-mashdar al-ashliy, menurut Mahmûd al-Thahhân adalah:
Menurut penulis, terdapat kekurangan dalam pengertian diatas. Karena boleh jadi hadis yang
terdapat dalam suatu kitab memuat hadis tetapi hadis tersebut dikutipnya dari kitab hadis lain
bukan diterimanya langsung dari gurunya. Menurut penulis al-mashdar al-ashliy adalah kitab
yang memuat hadis dengan sanad dan hadis tersebut diterimanya langsung dari gurunya
sampai ke periwayat pertama dari Rasulullah. Jadi suatu sumber disebut al-mashdar al-ashliy
apabila memenuhi dua kriteria:
Al-Mashdar al-Ashliy diklasifikasikan pada: ilmu hadis dan selain ilmu hadis. Diantara al-
mashdar al-ashliy dalam hadis adalah kitab Shahîh al-Bukhâriy, Shahîh Muslim, dan lainnya dan
dalam ilmu hadis adalah Ma’rifat Ulum al-Hadîts karya al-Hâkim. Diantara al-mashdar al-ashliy
pada selain ilmu hadis aadalah:
Kitab-kitab selain ilmu hadis diatas dikategorikan pada al-mashdar al-ashliy karena memuat
hadis dengan sanad dan penyusunnya menerimanya langsung dari gurunya, dan sanad-nya
sampai kepada periwayat pertama dari Rasulullah Saw.
Adapun al-mashdar al-tsânawiy adalah kitab yang memuat hadis yang tidak memenuhi kriteria
al-mashdar al-ashliy. Misalnya hadis didalam suatu kitab ber-sanad tetapi penyusunannya tidak
menerimanya langsung dari gurunya dan sanad-nya tidak sampai ke periwayat pertama dari
Rasulullah. Atau penyusunnya menerimanya langsung dari gurunya tetapi hadis tersebut tidak
ber-sanad. Misalnya, dalam hadis, kitab Bulûgh al-Marâm min Adillat al-Ahkâm, karya Ahmad
ibn Aliy ibn Hajar al-‘Asqalâniy []; kitab Riyâdh al-Shâlihîn, karya Yahyâ ibn Syaraf al-
Nawawiy; kitab al-Adab al-Nabawiy, karya al-Amîn al-Khûliy; al-Lu’lu’ wa al-Marjân, karya
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bâqiy.
1. 1. Al-Muwaththa’
Kata al-Muwaththa’ adalah ism maf’ul dari kata ( )توطئةtawthi’ah yang secara bahasa berarti
“المسهل المهيأ. (Ibn Manzhûr, 2004: …: …)
Yang dimaksud dengan al-Muwaththa’ dalam metode penyusunan kitab hadis, menurut Mahmûd
al-Thahhân adalah:
Untuk memudahkan pemahaman tentang metode penyusunan kitab hadis dengan metode al-
Muwaththa’ maka dibawah ini dikemukakan Muwaththa’ al-Imâm Mâlik.
Secara eksplisit, tidak ada pernyataan yang tegas tentang metode yang dipakai Imâm Mâlik
dalam menghimpun hadis dalam kitab al-Muwaththa’. Namun secara implisit, dengan melihat
paparan Imâm Mâlik dalam kitabnya, metode yang dipakai adalah metode pembukuan hadis
berdasarkan klasifikasi hukum Islam (al-abwâb al-fiqhiyyah) dengan mencantumkan hadis
marfû’ (berasal dari Nabi), mawqûf (berasal dari shahabiy) dan maqthu’ (berasal dari
tâbi’iy).(Ya’qub, 2000: 76).
Berdasarkan kitab yang telah di-tahqîq oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Bâqiy, kitab al-
Muwaththa’ terdiri dari 2 juz, 61 kitab (bab) dan 1824 hadis. Adapun perinciannya adalah
sebagai berikut:
Juz I: (1) Waktu-waktu Shalat, 80 tema, 30 hadis, (2) Bersuci, 32 tema, 115 hadis, (3) Shalat,
delapan tema, 70 hadis, (4) Lupa dalam Shalat, satu tema, tiga hadis, (5) Shalat Jum’at, Sembilan
tema, 21 hadis, (6) Shalat pada Bulan Ramadhân, dua tema, tujuh hadis, (7) Shalat Malam, lima
tema, 33 hadis, (8) Shalat Jama’ah, 10 tema, 38 hadis, (9) Meng-qashar Shalat dalam perjalanan,
25 tema, 95 hadis, (10) Dua Hari Raya, tujuh tema, 13 hadis, (11) Shalat dalam keadaan Takut,
satu tema, empat hadis, (12) Shalat Gerhana Bulan dan Matahari, dua tema, empat hadis, (13)
Shalat Minta Hujan, tiga tema, enam hadis, (14) Menghadap Kiblat, enam tema, 15 hadis, (15)
Alquran, 10 tema, 49 hadis, (16) Shalat Mayat, 16 tema, 60 hadis, (17) Zakat, 30 tema, 55 hadis,
(18) Puasa, 22 tema, 60 hadis, (19) I’tikaf, 8 tema, 16 hadis, (20) Haji, 83 tema, 255 hadis.
Juz II: (21) Jihad, 21 tema, 50 hadis, (22) Nadzar dan Sumpah, Sembilan tema, 17 hadis, (23)
Qurban, enam tema, 13 hadis, (24) Sembelihan, empat tema, 19 hadis, (25) Binatang Buruan,
tujuh tema, 19 hadis, (26) Aqiqah, dua tema, tujuh hadis, (27) Farâ’id, 15 tema, 16 hadis, (28)
Nikah, 22 tema, 59 hadis, (29) Thalaq, 35 tema, 109 hadis, (30) Persusuan, tiga tema, 17 hadis,
(31) Jual Beli, 49 tema, 101 hadis, (32) Pinjam Meminjam, 15 tema, 16 hadis, (33) Penyiraman,
dua tema, tiga hadis, (34) Menyewa Tanah, satu tema, lima hadis, (35) Syuf’ah, dua tema, empat
hadis, (36) hokum, 41 tema, 54 hadis, (37) Washiyyat, 10 tema, Sembilan hadis, (38)
Kemerdekaan dan Persaudaraan, 13 tema, 25 hadis, (39)Budak Mukâtabah, 13 tema, 15 hadis,
(40)Budak Mudharabah, tujuh tema, delapan hadis, (41) Hudûd, 11 tema, 35 hadis, (42)
Minuman, lima tema, 15 hadis, (43) Orang Berakal, 24 tema, 16 hadis, …
Dari tema dan hadis yang disusunlah jelaslah bahwa metode penyunannya dengan tema hokum
Islam (al-abwâb al-fiqhiyyah).
Bahkan bukan hanya itu, Imâm Mâlik menggunakan tahapan-tahapan berupa (a) penseleksian
terhadap hadis yang disandarkan kepada Nabi, (b) atsar/fatwa shahâbiy, (c) fatwa tâbi’în, (d)
ijmâ’ ahl al-Madînah, dan (e) pendapat Imâm Mâlik sendiri.
Meskipun kelima tahapan tersebut tidak selalu muncul bersamaan dalam setiap pembahasannya,
urutan pembahasan dengan mendahulukan penelusuran dari hadis Nabi yang telah diseleksi
merupakan acuan pertama yang dipakai Imâm Mâlik, sedangkan tahapan kedua dan seterusnya
dipaparkan Imâm Mâlik tatkala menurutnya perlu untuk dipaparkan.
Tentang penamaan kitab al-Muwaththa’ adalah orisinil berasal dari Imâm Mâlik sendiri. Hanya
saja tentang mengapa kitab tersebut dinamakan dengan al-Muwaththa’ ada beberapa pendapat.
Pertama, sebelum kitab ini disebarluaskan, Imâm Mâlik telah menyodorkan karyanya ini di
hadapan 70 ulama fiqh al-Madînah dan mereka menyepakatinya. Dalam sebuah riwayat al-
Suyûthiy menyatakan: “Imam Mâlik berkata: “aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli fiqh
al-Madînah, mereka semua setuju denganku atas kitab tersebut, maka aku namakan dengan al-
Muwaththa’. (Abû Zahwu, t. th.: 246)
1. 2. Al-Musnad
Kata al-Musnad adalah ism maf’ûl dari kata isnâd. Secara bahasa kata المسندberarti “ ما ارتفع عن
( األرض و عال عن السطحIbn Manzhûr, 2004: …/…)(sesuatu yang tinggi dari tanah dan berada diatas
permukaan).
Istilah al-musnad digunakan dalam tiga pengertian. Pertama, untuk menyatakan الراوي
(periwayat hadis); kedua, untuk menyatakan gabungan hadis marfû’ dan muttashil, dan; ketiga,
metode penyusunan kitab hadis.
إال أن أكثر استعمالهم هذه العبارة هو فيما، يريدون أن إسناده متصل بين راويه و بين من أسند عنه،وصفهم الحديث بأنه مسند
( أسند عن النبي صلى هللا عليه و سلم خاصةal-Khathîb al-Baghdâdiy, …: 58).
Artinya: (apabila) mereka mendefinisikan suatu hadis dengan musnad, maka yang dimaksud
adalah isnâd-nya bersambung antara periwayatnya dan gurunya, hanya saja istilah ini lebih
banyak digunakan untuk riwayat yang disandarkan kepada Nabi Saw secara khusus.
Berdasarkan makna diatas, sebangian penyusun kitab hadis memberi judul kitabnya dengan al-
Musnad, seperti الجامع الصحيح المسندkarya al-Bukhâriy.
Para ahli berbeda pendapat dalam mengemukakan pengertian al-Musnad dalam pengertian
ketiga. Menurut al-Kattâniy (w. 1345 H.) adalah:
مرتبين على حروف الهجاء في، صحيحا كان أو حسنا أو ضعيفا،الكتب التي موضوعها جعل حديث كل صحابي على حدة
أو غير ذلك، أو الشرافة النسبية، أو السابقة في اإلسالم،أسماء الصحابة … أو على القبائل. (al-Kattâniy, 1995: 54)[ii]
Artinya: Kitab-kitab yang objeknya, menjadikan hadis setiap shahâbiy dalam batas tertentu, baik
hadis tersebut shahîh, hasan atau dha’îf, yang disusun berdasarkan huruf hijaiyah berdasarkan
nama-nama shahâbiy, … suku, orang yang dahulu memeluk Islam, kemuliaan nasab atau
lainnya.
و ضم أحاديث كل واحد من الصحابة بعضها إلى بعض،و هي التي تخرج األحاديث على أسماء الصحابة. [iii](al-
Zahrâniy, 1998: 114-5)
Artinya: Dan dia [al-musnad] adalah [kitab] yang mengemukakan hadis-hadis berdasarkan
nama-nama shahâbiy, dan menghimpun hadis-hadis tiap-tiap shahâbiy satu dengan lainnya.
أو تبعا لألنساب،ما تذكر فيه األحاديث على أسماء الصحابة حسب السوابق اإلسالمية. [iv](Shubhiy, 1988: 123)
Terdapat persamaan substansi antara ketiga pengertian diatas walaupun redaksinya berbeda.
Kesamaan tersebut, pertama, kitab disusun berdasarkan nama shahâbiy, dengan ungkapan:
Kedua, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh shahâbiy dikumpulkan dalam satu lokus di bawah
nama shahâbiy tersebut, dengan ungkapan:
Disamping persamaan, terdapat perbedaan antara ketiga pengertian di atas. Perbedaan tersebut
adalah:
Pertama, urutan shahâbat yang ditampilkan. Pada pengertian pertama, dikemukakan beberapa
alternatif: (a) yang disusun berdasarkan huruf hijaiyah berdasarkan nama-nama shahâbiy, (b)
suku, (c) orang yang dahulu memeluk Islam, (d) kemuliaan nasab atau lainnya. Sementara pada
pengertian kedua, hanya pada nama-nama shahabat saja dan pengertian ketiga dengan dua
alternative: (a) shahâbat yang dahulu memeluk Islam dan (b) nasab.
Kedua, pada pengertian pertama dikemukakan kualitas hadis –shahîh, hasan dan dha’îf.
Sementara pada pengertian kedua dan ketiga tidak dikemukakan.
Yang dimaksud dengan al-Musnad adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama
shahâbat yang nama-nama tersebut disusun berdasarkan huruf hijaiyah, suku, yang
dahulu masuk Islam dan kemuliaan nasab dan lainnya dan hadis-hadisnya disusun dalam
lokus nama masing-masingnya tanpa mengklasifikasikan kualitasnya.
Yang dimaksud dengan al-musnad dalam metode penyusunan kitab adalah pengertian ketiga.
1. Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, karya Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 164-
241 H.)
2. Musnad Abiy Dâwud al-Thayâlisiy, yang disusun oleh Abiy Dâwud Sulaymân ibn Dâwud
ibn al-Jârûd al-Thayâlisiy al-Qurasyiy Mawlâ Alu al-Zubayr al-Fârisiy al-Ashl al-
Bashriy, yang popular dengan Musnad Abiy Dâwud al-Thayâlisiy (203 atau 204 H).
1. 3. Al-Jâmi’
Kata al-Jâmi’ secara bahasa adalah ism al-fâ’il dari kata( جمعjam’), yang berarti .
Para ahli berbeda ungkapan dalam mengemukakan pengertian al-Jâmi’. Menurut Shubhiy al-
Shâlih al-Jâmi’ adalah:
و، و التفسير و التاريخ و السير، آداب الطعام و الشراب، و الرقاق، و األحكام،الكتاب المشتمل على األبواب الثمانية من العقائد
و المناقب و المثالب، و الفتن،السفر و القيام و القعود. (Shubhiy, 1988: 122)
Artinya: Kitab yang mencakup delapan bab, yakni aqidah, hukum, riqâq, etika makan dan
minum, tafsir, sejarah dan perjalanan hidup; perjalanan, menetap dan duduk; fitnah, dan;
manaqib dan matsâlib.
Artinya: Kitab hadis yang disusun dalam bab-bab yang ditemukan hadis-hadisnya dalam semua
tema agama dan babnya, jumlahnya delapan bab pokok, yakni aqidah, hukum, perjalanan hidup,
etika, tafsir, fitnah, tanda kiamat dan; manaqib.
كل كتاب حديثي يوجد فيه من الحديث جميع األنواع المحتاج إليها من العقائد و األحكام و الرقاق و آداب األكل و الشرب و
97) .السفر و المقام و ما يتعلق بالتفسير و التاريخ و السير و الفتن و المناقب و المثالب و غير ذلكal-Thahhân, 1991: )
Artinya: Setiap kitab hadis yang didalamnya terdapat segala macam hadis yang dibutuhkan,
yakni aqidah, hukum, riqâq, etika makan dan minum, bepergian dan menetap, [hadis] yang
berhubungan dengan tafsir, sejarah dan perjalanan hidup, fitnah, manaqib, matsâlib dan lainnya.
Walaupun pengertian diatas dikemukakan oleh para ahli dengan redaksi yang berbeda tetapi
dapat disimpulkan bahwa kitab hadis dengan metode al-Jâmi’ adalah kitab hadis yang disusun
dengan memuat hadis yang mencakup seluruh aspek.
Sebagai contoh, berikut dikemukakan sistematika hadis dalam Shahîh al-Bukhâriy sebagai
berikut:
1. 2. كتاب اإليمان 43
1. 3. كتاب العلم 54
1. 4. كتاب الوضوء 79
1. 5. كتاب الغسل 29
1. 6. كتاب الحيض 31
Dari sistematika penyusunan diatas dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh aspek agama
dimuat dalam kitab tersebut.
1. 4. Sunan
Yang dimaksud dengan sunan dalam metode penyusunan kitab hadis adalah:
ألن، و ليس فيه شيء من الموقوف،الكتب المرتبة على األبواب الفقهية من اإليمان و الطهارة و الصالة و الزكاة إلى آخره
الموقوف ال يسمى في اصطالحهم سنة و يسمى حديثا. (al-Kattâniy, 1995: 33)
Artinya: Kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh, yakni iman, thaharah, shalar, zakat
sampai akhirnya, dan didalamnya tidak terdapat [hadis] mawqûf, karena mawqûf dalam istilah
mereka tidak dinamakan sunnah tetapi hadis.
Pengertian diatas juga dikemukakan oleh al-Zahrâniy (al-Zahrâniy, 1998: 149), Sa’d ibn ‘Abd
Allâh Alû Humayd (Sa’d, 1999: 69) dan Mahmûd al-Thahhân (al-Thahhân, 1991: 115)
Jika diperhatikan kitab Sunan, maka pengertian tersebut tidak dapat diterapkan pada seluruh
kitab yang diberi judul Sunan. Karena dalam kitab Sunan ditemukan hadis yang tidak sesuai
dengan pengertian di atas. Ini dapat dilihat dari dua aspek: pertama, cakupan. Dalam sebagian
kitab Sunan ditemukan hadis yang mirip al-Jâmi’ dari segi cakupannya pada seluruh aspek
agama, dan banyak ditemukan hadis mawqûf dan maqthû’, karena hadis mawqûf dan maqthû’
dalam pengertian mereka juga disebut sunnah. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Kattâniy.
Sebagai contoh, para ahli mutaqaddimûn, seperti Ibn Juraij, Sufyân al-Tsawriy, al-Awza’iy,
Husyaim ibn Basyîr dan Ibn al-Mubârak. Mereka dan banyak lagi yang lain menyusun hadis
dalam kitab yang diberi judul Sunan, dan ditemukan bahwa mereka menyusun kitab dengan
menghimpun hadis marfû’ dan mawqûf dan maqthû’.
Akan tetapi, karena kitab-kitab mereka tidak sampai kepada kita, maka mungkin dijadikan
contoh dengan kitab yang ada pada kita. Sunan Sa’îd ibn Manshûr mengemukakan hadis-hadis
mawqûf dan maqthû’ disamping hadis-hadis marfû’. Kitab ini dapat dijadikan sampel dari kitab-
kitab sunan yang tidak sampai kepada kita. Hal yang sama ditemukakan dalam kitab al-Sunan al-
Kubrâ karya al-Baihaqiy dan Sunan al-Dârimiy, karya al-Dârimiy.
Berdasarkan hal di atas, pengertian yang dikemukakan al-Kattâniy perlu dikritik. Pendapat al-
Kattâniy mungkin dimaksudkan untuk kitab Sunan yang empat atau tiga saja, dan tidak
mencakup seluruh kitab yang diberi judul al-Sunan.
Diantara kitab yang disusun dengan menggunakan metode penyusunan al-sunan adalah:
Sebagai contoh, berikut dikemukakan sistematika hadis dalam Sunan Abiy Dâwud sebagai
berikut:
Dari sistematika penyusunan diatas dapat disimpulkan bahwa kitab tersebut memuat hadis yang
terkait dengan hukum.
1. 8. Al-Ma’â’jim
Kata al-Ma’âjim merupakan jamak dari kata Mu’jam. Yang dimaksud dengan al-Mu’jam dalam
penyusunan kitab hadis adalah:
و الغالب أن يكونوا مرتبين على حروف الهجاء.ما تذكر فيه األحاديث على ترتيب الصحابة أو الشيوخ أو البلدان أو غير ذلك.
(al-Kattâniy, 1995, )
Artinya: [Kitab] yang hadis-hadis di dalamnya disebutkan dengan urutan shahâbat, guru, negari
atau lainnya. Pada umumnya disusun berdasarkan huruf hijaiyah.
Pendapat diatas juga dikutip oleh Shubhiy al-Shâlih. (Shubhiy, 1988: 124)
Diantara kitab yang disusun dengan metode al-Mu’jam adalah al-Mu’jam al-Kabîr karya Abû al-
Qâsim Sulaymân ibn Ahmad ibn Ayyûb al-Lakhmiy al-Thabarâniy (260-360 H.)
1. 9. Al-Mustadrakât
Kata al-Mustadrakât merupakan jamak kata al-Mustadrak. Yang dimaksud dengan al-
Mustadrak, menurut, Shubhiy al-Shâlih adalah:
ما استدرك فيه ما فات المؤلف في كتابه على شرطه. (Shubhiy, 1988: 124)
Artinya: [Kitab] yang memuat [hadis] yang didasarkan atas syarat penyusun suatu kitab tertentu
[dimana hadis tersebut] tidak dikemukakan olehnya.
كل كتاب جمع فيه مؤلفه األحاديث التي استدركها على كتاب آخر مما فاته على شرطه. (al-Thahhân, 1991: 102)
Artinya: Setiap kitab yang penyusunnya menghimpun hadis-hadis yang ditemukannya
didasarkan pada syarat [penyusun kitab] tertentu yang dijadikan acuan [sementara dia] tidak
memuatnya di kitabnya.
Terdapat perbedaan redaksi dalam pengertian diatas, walaupun terdapat kesamaan substansi.
Adapun kesamaan substansi keduanya adalah:
Kitab yang menggunakan metode ini dalam penyusunan hadis adalah kitab al-Mustadrak ‘alâ al-
Shahîhayn karya Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Abd Allâh ibn Muhammad ibn Hamdawayh
ibn Nu’aym ibn al-Hakam al-Dhabbiy. Dia populer dengan Ibn al-Bay’ al-Hâkim al-Naysâbûriy
(321-405 H.).
1. 10. Al-Mustakhrajât
Kata al-Mustakhrajât merupakan jamak dari kata al-Mustakhraj. Yang dimaksud dengan al-
Mustakhraj, menurut Shubhiy al-Shâlih sebagaimana dikutip dari al-‘Irâqiy adalah:
فيجتمع معه في شيخه أو من فوقه، من غير طريق صاحب الكتاب،أن يأتي المصنف إلى كتاب فيخرج أحاديثه بأسانيد لنفسه.
(Shubhiy, 1988: 125)
Artinya: Penyusun mengacu ke suatu kitab, kemudian dia meriwayatkan hadis-hadisnya dengan
sanad–sanad-nya sendiri yang berbeda dengan [sanad] kitab yang dijadikan acuan, dia dan
penyusun [kitab yang dijadikan acuan] bertemu pada gurunya atau guru sebelumnya.
فيجتمع، من غير طريق صاحب الكتاب،أن يأتي المصنف المستخرج إلى كتاب من كتب الحديث فيخرج أحاديثه بأسانيد لنفسه
معه في شيخه أو من فوقه و لو في الصحابي. (al-Thahhân, 1991: 100)
Artinya: Penyusun mengacu ke suatu kitab diantara kitab hadis, kemudian dia meriwayatkan
hadis-hadisnya dengan sanad–sanad-nya sendiri yang berbeda dengan [sanad] kitab yang
dijadikan acuan, dia dan penyusun [kitab yang dijadikan acuan] bertemu pada gurunya atau guru
sebelumnya hingga ke shahâbiy.
Terdapat perbedaan redaksi dalam pengertian diatas, walaupun terdapat kesamaan substansi.
Adapun kesamaan substansi keduanya adalah:
Diantara kitab yang menggunakan metode ini dalam penyusunan kitab hadis adalah:
1. 11. Al-Zawâ’id
Yang dimaksud dengan al-Zawâ’id dalam penyusunan kitab hadis, menurut Mahmûd al-Thahhân
adalah:
المصنفات التي يجمع فيها مؤلفها األحاديث الزائدة في بعض الكتب عن األحاديث الموجودة في كتب أخرى. (al-Thahhân,
1991: 104)
Diantara kitab yang menggunakan metode al-Zawâ’id dalam penyusunan hadis adalah:
1. مصباح الزجاجة في زوائد ابن ماجة, karya Abû al-‘Abbâs Ahmad ibn Muhammad al-Bûshiriy
(w. 840 H.);
2. فوائد المنتقي لزوائد البيهقي, karya Abû al-‘Abbâs Ahmad ibn Muhammad al-Bûshiriy (w. 840
H.);
3. أتحاف السادة المهرة الخيرة بزوائد المساند العشرة, karya Abû al-‘Abbâs Ahmad ibn Muhammad al-
Bûshiriy (w. 840 H.);
4. المطالب العالية بزوائد المساند الثمانية, karya Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar al-‘Asqalâniy (852 H.);
5. مجمع الفوائد و منبع الفوائد, karya Aliy ibn Abiy Bakr al-Haytsamiy (w. 807 H.).
1. 12. Al-Majâmi’
Kata al-Majâmi’ merupakan jamak kata al-Majma’. Yang dimaksud dengan al-Majma’ menurut
Mahmûd al-Thahhân adalah:
و رتبه على ترتيب تلك المصنفات التي جمعها،كل كتاب جمع فيه مؤلفها أحاديث عدة مصنفات. (al-Thahhân, 1991:
104)
Artinya: Setiap kitab yang penyusunnya menghimpun hadis-hadis beberapa karya, dan
menyusunnya berdasarkan karya-karya yang dihimpunnya.
Diantara kitab yang menggunakan metode ini dalam penyusunan kitab hadis adalah:
1. الجمع بين الصحيحين المسمى بـ”مشارق األنوار النبوية من صحاح األخبار المصطفوية, karya al-Hasan ibn
Muhammad al-Shâghâniy (w. 650 H.);
2. الجمع بين الصحيحين, karya Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Abiy Nashr Futûh al-Humaydiy
(w. 488 H.);
3. ”الجمع بين األصول الستة المسى بـ”التجريد للصحاح و السنن, karya Abû al-Hasan Razîn ibn
Mu’âwiyah al-Andalûsiy (w. 535 H.);
4. الجمع بين األصول الستة المسى بـ”جامع األصول من أحاديث الرسول, karya Abû al-Sa’âdât yang
dikenal dengan Ibn al-Atsîr (w. 606 H.).
5. جمع الفوائد من جامع األصول و مجمع الزوائد, karya Muhammad ibn Muhammad ibn Sulaymân al-
Maghribiy (w. 1094 H.).
1. 13. Al-Ajzâ’
Yang dimaksud dengan al-Ajzâ’ dalam metode penyusunan kitab hadis, menurut Mahmûd al-
Thahhân adalah:
Contoh kitab yang pertama, adalah جزء ما رواه أبو حنيفة عن الصحابة, karya Abû Ma’syar Abb al-
Karîm ibn Abd al-Shamad al-Thabariy (w. 178 H.). contoh yang kedua adalah جزء رفع اليدين في
الصالةdan دزء القراءة خلف اإلمامkarya al-Bukhâriy (w. 256 H.)
[i] Mahmûd al-Thahhân, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsât al-Asânid, (al-Riyâdh: Maktabat al-
Ma’ârif, 1991 M./1412 H.), h. 10.
[ii] Muhammad ibn Ja’far al-Kattâniy, al-Risâlat al-Mustathrifat li Bayân Masyhûr Kutub al-
Sunnah al-Musyarrafah, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1416 H./1995 M.), h. 54.
[iv] Shubhiy al-Shâlih, Ulum al-Hadîts wa Mushthalahuhu: ‘Ardh wa Dirâsah, (Bairût: Dâr al-
Ilm li al-Malâyîn, 1988), h. 123.
[v] Nûr al-Dîn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiy ‘Ulûm al-Hadîts, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1997), 198-9.