DOSEN PEMBIMBING :
Hendrizal Hadi, Lc, MA
DISUSUN OLEH :
Rendi Permana
(1903112399)
BIOLOGI (B)
PEKANBARU
T.A.2019/2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan
hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung
Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah dengan judul “SEJARAH PENULISAN HADITS DAN BUKU-BUKU HADITS
”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan
pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
(i)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………..…..ii
BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………………………………………..………..1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………….……………..1
1.2 Rumusan masalah…………………………………………………………….………………..3
1.3 Tujuan………………………………………………………………………….……………………3
BAB 2 PEMBAHASAN……………………………………………………………………………………….4
2.1 Sejarah penulisan dan pembukuan hadits …………………...………………….4
2.2 Masalah-masalah dalam penulisan dan pembukuan hadits……..………12
BAB 3PENUTUP………………………………………………………………………………………………14
3.1Kesimpulan……………………………………………………………………………………….14
DAFTAR PUSTAKA.…………………………………………………………………………………………15
(ii)
BAB 1
PENDAHULUAN
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidaklah dikenal dengan kemampuan
membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak iC as
membaca dan menulis). Namun demikian, tidak berarti bahwa diantara mereka tidak ada
seorang pun yang Cias menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan
dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang diantara mereka ada yang
mampu membaca dan menulis, Adiy bin Zaid Al-Abbady (wafat 35 sebelum Hijriah)
misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang
menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra.
Kemudian pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tulis-menulis sudah tersebar
luas, dimana Al-Qur’an sendiri menganjurkan untuk belajar dan membaca, dan Rasulullah
sendiri mengangkat para penulis wahyu jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka
disebut dalam kitab “At-Taratib Al-Idariyah”. Bahkan Baladzuri dalam kitab “Futuhul Buldan”
menyebutkan adanya sejumlah penulis wanita, diantara mereka: ummul mukminin Hafshah,
Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa’ binti Abdullah Al-Qurasyiyah, Aisyah binti Sa’ad,
Karimah binti Al-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah, setelah perang Badar. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh Abdullah bin Sa’id bin Ash agar mengajar menulis di
Madinah. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli Abdullah bin Said bin Al-Ash adalah Al-
Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama dengan Abdullah, lalu menyuruhnya agar
mengajar menulis di Madinah.
Ada beberapa nash yang bertentangan dalam hal penulisan hadits. Sebagian
menunjukkan adanya larangan penulisan, dan sebagian lain membolehkan adanya penulisan
hadits.
(1)
a. Riwayat yang melarang penulisan hadits
– Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
datang kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, ‘Apa yang sedang kalian tulis?’ Kami menjawab, ‘hadits-hadits yang
kami dengar dari engkau.’ Beliau berkata, ‘Apakah kalian menghendaki kitab selain
Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis dari
kitab-kitab selain Kitabullah.’” (Diriwayatkan dari Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi)
– Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiada seorang pun dari sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih banyak haditnya dariku kecuali Abdullah bin Amru
Al-Ash karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR. Bukhari)
– Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Ikatlah ilmu dengan buku.’” (Diriwayatkan Al-Khatib dalam Taqyidul Ilmi)
Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits.
Ibnu Shalah berkata, “Para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits, sebagian
diantara mereka melarang penulisan hadits dan ilmu, serta menyuruh untuk menghafalnya.
Sedangkan sebagian yang lain membolehkannya.”
Mereka yang melarang penulisan hadits adalah Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa, Abu Sa’id Al-Khudri, dan sekelompok lainnya dari kalangan sahabat dan tabi’in.
Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits adalah Ali, Hasan bin Ali, Anas, Abdullah bin
Amru Al-Ash.
Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih antara mereka yang melarang
dan membolehkan penulisan hadits sebagai berikut:
(2)
Dan tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi pada masa awal saja,
kemudian ijma’ kamu muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut. Ibnu Ash-Shalah
berkata, “Lalu hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk membolehkannya.
Kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan, tentu hadits itu akan lenyap pada masa-
masa berikutnya.”
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah penulisan dan pembukuan hadits
2. Untuk mengetahui masalah-masalah dalam penulisan dan pembukuan hadits
(3)
BAB 2
PEMBAHASAN
Kitab hadits yang ditulis oleh ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama
yang ditulis atas perintah kepala negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan
semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah.
Membukukan hadits yang ada di Madinah itu, dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin
Muslim bin Syihah az Zuhry yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari
ulama-ulama hadits di masanya.
Kemudian dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas
anjuran Abu Abbas As Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-khalifah Abbasiyah.
Pada jaman dahulu, menyusun hadits tidak diberi upah, jangankan upah, tidak disuruh
juga mereka dengan senang hati menyusun hadits tanpa meminnta imbalan. Karena
mereka berfikir/berkata bahwa inilah hasil dari fikiran mereka, dan ini bukanlah suatu
pekerjaan yang harus diberi upah. Ulama jaman dahulu benar-benar berbeda dengan ulama
jaman sekarang, mereka benar-benar berjuang di jalan Allah dan tidak mengharapkan
imbalan apapun.
a. Di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H= 669 M – 150 H 767 M).
b. Di kota Madinah, Ibnu Ishaq (.....H = 151 M - ..... H=768 M), atau Ibnu Dzi’bin. Atau
Malik bin Anas (93 H = 703 M – 179 H = 798 M).
c. Di kota Bashrah, al-Rabi’ bin Shabih (.....H =.....M – 160 H = 777 M). Atau Hammad bin
Salamah (176 H), atau Sa’id bin Arubah (156 H= 773 M).
d. Di Kufah, Sufyan ats Tsaury ( 161 H ).
(4)
e. Di Syam, Al-Auza’y (156 H ).
f. Di Wasith, Husyaim al Wasithy ( 104 H = 772 M – 188 H = 804 M ).
g. Di Yaman , Ma’mar al Azdy (95 H = 753 M -153 H = 770 M ).
h. Di Rei, Jarir al Dlabby ( 110 H = 728 M – 188 H = 804 M ).
i. Di Khurasan, bin Mubarak (118 H = 735 M - 18 H = 797 M ).
Kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini ialah al Muwaththa’
susunan Imam Malik r.a. atas permintaan khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji pada
tahun 144 H (143 H).
Kitab al Muwaththa’ dianggap paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih tinggi
daripada kitab-kitab sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhary belum muncul, dari
sistematika itu yang paling baik.
Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara
bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang mempersulit para sahabat untuk
bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang
nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan
Nabi sebagai Panutan dan Pedoman dalam kehidupan mereka. jika ada permasalahan baik
dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya
pada Nabi. Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu
berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan. mereka. mempelajari hukum- hukum
syari'at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan
pelajaran (hadits Nabi)yang baru mereka terima
Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran
hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untukmembagikan
pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.Pada
saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah
pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Beliau
bersabda “Sampaikanlah daripadaku, walaupun hanya satu ayat.”
(5)
Dalam hadits lain disebutkan, “Ketahuilah, hendaknya orang yang hadir menyampaikan
kepada orang yang tidak hadir” (dalam majlis ini). Dengan adanya sabda-sabda Nabi diatas,
maka para sahabatpun sangat tergugah untuk mendengarkan, memperhatikan dan
menyampaikan hadits.kepada seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah
maupun yang di luar Madinah. sehingga mereka dapat mengetahui hukum–hukum agama
yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh
langsung dari Rasulullah, Mereka dapat memperoleh dari saudara–saudara yang langsung
mendengar dari rosulullah.metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai wafatnya
Rasulullah.
Para ulama abad kedua membukukan hadits dengan tidak menyaringnya. Mereka
tidak membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam
bukunya itu, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama-
sama. Maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits
maqthu’.
Masa pembentukan hadits tiada lain adalah pada masa kerasulan Nabi Muhammad
SAW itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya
berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. Periode ini disebut al-wahyu wa al-
takwin, yaitu hadits yang penyampaiannya belum ditulis/masih lisan, hanya masih dalam
benak mereka. Periode ini dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul
hingga wafatnya ( 610 M – 632 ).
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi
Muhammad SAW pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadits belum ditulis
ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah,
(6)
mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling
bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak
menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang
bergeser ke bidang syari’at dan aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat dan
tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam
permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum pernah dimiliki
sebelumnya, diteliti secermat-cermatnya, siapaa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa
hadits itu. Maka pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sekaligus sebagai
salah seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad ke-II
H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupahan hadits marfu’, mana
yang mauquf, dan mana yang maqthu’.
(7)
Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az
Zuhri pada sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama hadits pada pertengahan abad ke-II
H. Perintah kewarganegaraan mengenai pengumpulan hadits di atas dari khalifah ke-II
Abasyiah di Baghdad, yaitu Abu Ja’far al-Mansur yang memerintah selama 22 tahun (136 –
158 H). Perintah ini ditujukan kepada Malik bin Anas sewaktu Abu Ja’far Al-Manshur
berkunjung ke Madinah dalam rangka ibadah haji.
Banyak ulama hadits yang menghimpun bersamaan dengan kegiatan ulama dalam
bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam, dan sebagainya.
Karena itu masa ini dikenal dengan “Ashr al-Tadwin” (masa pembukuan). Karya ulama pada
masa ini masih bercampur antara hadits rasul dan fatwa sahabat serta tabi’in, bahkan
mereka belum mengklasifikasikan antara hadits sahih, hasan dan dha'if.
Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits mengenai masalah
yang sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain
dalam satu karangan.
1. Golongan politik: permulaan abad ke-II H, dari golongan Abbasiyah, syiah dan lain-
lain yang bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
2. Golongan tukang cerita: mereka mengarang hadits palsu untuk menambah hebat
ceritanya dan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.
3. Golongan zindik: mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah dan
kekacauan di golongan umat Islam.
(8)
Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama pada masa ini mengadakan
perjalanan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran hadits dan meneliti sumber-
sumbernya. Sehingga pada masa ini muncul kritikus hadits yang terkenal seperti Yahya bin
said bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi.
4. Untuk memverifikasi kebenaran orangnya, ketika hal ini sudah, ya sudah, yang lain
tidak diurus.
Di antara kitab-kitab abad kedua yang mendapat perhatian umum ulama adalah :
2. Al Musnad, susunan Imam Asy-Syafi’y. Kitab ini merupakan kumpulan hadits-hadits
yang terdapat dalam kitab beliau yang bernama “Al-Um”.
3. Mukhtaliful Hadits. disusun oleh Imam Syafi’i. Di dalamnya, dibahas tentang cara.-cara
menerima Hadits sebagai hujjah clan cara-cara mengkompromikan Hadits yang nampak
kontradiksi satu sama lain.
(9)
4. Al-Siratun Nabawiyah (Al-Maghazi wa Al-Siyar ). Disusun oleh Ibnu Ishaq. Berisi, antara
lain tentang perjalanan hidup Nabi dan peperangan-peperangan jaman Nabi.
Al Muwaththa’ yang paling terkenal dari kitab-kitab hadits abad kedua dan mendapat
sambutan yang besar sekali dari para ulama. Kitab ini mengandung 1726 rangkain khabar
dari Nabi SAW, dari sahabat dan dari tabi’in.[3] Kitab ini mendapat perhatian dari para ahli,
karena itu banyak yang membuat syarahnya dan yang membuat mukhtasharnya.
Adapun tingkat dan derajat hadits-hadits al-Muwaththa’ itu berbeda-beda. Ada di antaranya
yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang dha’if. Imam Asy-Syafi’y pernah berkata,
“Kitab yang paling shahih sesudah Alquran, ialah Al-Muwaththa’.”
Mukhaliful Hadits adalah sebuah kitab Asy-Syafi’y yang penting. Di dalamnya di terangkan
cara-cara menguatkan sunnah dan cara-cara yang mengharuskan kita menerima hadits
ahad. Adapun di dalamnya di terangkan pula cara-cara menyesuaikan hadits-hadits yang
terlihat bertentangan satu sama lainnya. Di dalamnya terdapat pula hasil perdebatan asy-
Syafi’y dengan Muhammad bin al Hasan dan lain-lain.
Di dalam abad yang kedua ini, mulai dipisahkan antara hadits-hadits tafsir dari hadits umum
dan mulai pula dipisahkan hadits-hadits sirah dan maghazinya. Maka yang mula-mula
memisahkan hadits-hadits sirah, ialah Muhammad bin Ishaq bin Yassar al Muththalaby (151
H). Lalu kitab ini terkenal dengan nama Sirah ibnu Hisyam.
(10)
Ahli hadits abad ketiga mulai bangkit mengumpulkan hadits, mereka memisahkan hadits
dari fatwa-fatwa itu. Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits berdasarkan
statusnya. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus kita akui, ialah mereka tidak
memisah-misahkan hadits. Yakni mereka mencampurkan hadits shahih dengan hadits hasan
dan dengan hadits dla’if. Segala hadits yang mereka terima, dibukukan dengan tidak
menerangkan keshahihannya.
Dapat kita katakan bahwa besar kemungkinan, Shahifah Abu bakar bin Hazm membukukan
hadits saja mengingat perkataan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz kepadanya :
Awal mulanya kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di kota
mereka masing-masing. Namun, keadaan ini dipecahkan oleh Imam Al-Bukhary. Beliaulah
yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau
pergi ke Maroko, Naisabur, Baghdad, Makah, Madinah dan masih banyak lagi kota yang
beliau kunjungi.
Di antara hal yang tumbuh dalam abad ketiga ini ialah muncul orang-orang yang
membuat hadits-hadits palsu. Hal itu terjadi sesudah Ali r.a. wafat. Sejak dari timbul
fitnah di akhir masa ‘Usman r.a. umat Islam pecah menjadi beberapa golongan.
- Pertama : golongan Ali bin Thalib, yang kemudian dinamakan golongan “Syiah”.
- Keempat: Penganut ajaran tasawuf, di antara pengikut ajaran tasawuf, ada yang
pengetahuan agamanya masih sangat terbatas dan bahkan salah. Tetapi biasanya, orang
yang demikian ini merasa dirinya serba tahu tentang ajaran Islam. Ditafsirkanlah ajaran
Islam sesuai dengan kehendaknya. Dan untuk memperkuat alasan atas pendapat dan
pemahamannya itu, maka dibuatnyalah hadits-hadits palsu. Dan pemalsuan Hadits yang
mereka buat, biasanya berkisar tentang persoalan yang berhubungan dengan “targhib
wat tarhib” (berita-berita yang menggembirakan dan mencemaskan).
Mulai saat itu, terdapatlah riwayat-riwayat yang shahih, dan riwayat-riwayat yang palsu,
dan kian hari kian bertambah banyaknya. Awal mula yang melakukan pekerjaan sesat ini
adalah golongan syi’ah, sebagaimana yang diakui sendiri oleh Ibn Abdil Hadid, seorang
ulama syi’ah dalam kitabnya Nahlul Balaghah, dia menulis, “Ketahuilah bahwa asal mula
timbul hadits yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah golongan syi’ah
sendiri.”
(12)
Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan sunnah (jumhur) yang bodoh-bodoh.
Mereka juga membuat hadits untuk mengimbangi hadits-hadits yang dibuat oleh
golongan syi’ah. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa kota yang mula-mula
mengembangkan hadits-hadits palsu ialah Baghdad (kaum syiah berpusat di sana).
Telah dijelaskan bahwa di samping para ulama’ membukukan hadits dan memisahkan
hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in atau memisahkan yang shahih dan dha’if,
beliau-beliau itu memberikan pula kesungguhannya yang mengagumkan untuk
menyusun kaidah-kaidah tahdis, usul-usulnya, syarat menerima riwayat, syarat
menolaknya, syarat shahih dan dha’if, serta kaidah yang dipegangi dalam menentukan
hadits maudhu’.
(13)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis
hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di samping
menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-
Qur’an.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang penulisan
hadits tersebut sudah dinaskh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya. Walaupun beberapa
sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-
Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk
membukukan hadits setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di
antara mereka yang wafat.
Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun
hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di
kota-kota besar yang lain. Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan
disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab
yang besar seperti kitab al-Muwaththa’,Kutubus Sittah dan lain sebagainya.
(14)
DAFTAR PUSTAKA
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/01/23/p3039u313-4-
periode-pengumpulan-hadis
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/18/04/04/p6n8c2313-sejarah-
penulisan-hadis
http://www.sarjanaku.com/2010/10/penulisan-hadits.html
http://www.yusufabdurrohman.com/2011/02/sejarah-penulisan-dan-pembukuan-
hadits.html
https://muslim.or.id/25321-sejarah-penulisan-hadits-1.html
https://belajarislam.com/hadits/penulisan-dan-pembukuan-hadits-nabi-shallallahu-alaihi-
wasallam/
https://emakalahonline.blogspot.com/2018/12/periodesasi-sejarah-penulisan-hadits.html
(15)