Anda di halaman 1dari 13

AD-DAKHIL DALAM TAFSIR LUBÂB AT-TA’WIL FI MA’ÂN AT-

TANZIL

(Studi Analisis Terhadap Kisah-Kisah dalam Surah Al-Anbiya’)

Proposal ini Diajukan


Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Tugas Akhir
Skripsi

Oleh:

Siti Sholihatul Hadzikoh


NIM. 16210791

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN SDAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ)
JAKARTA
1440 H/2020 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Tafsir Lubâb at-Ta’wil fi Ma’ân at-Tanzil yang lebih dikenal


dengan Tafsir Al-Khazin1 karya ‘Alauddin Abu al-Hasan Ali bin
Muhammad bin Ibrahim bin Umar bin Khalil asy-Syihi al-Baghdadi (w.
741 H) termasuk tafsir periode pertengahan2 yang dianggap sebagai
Tafsir yang paling masyhur dengan riwayat-riwayat isrâîliyat.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Adz-Dzahabi dalam dua karyanya
Tafsir wa al-Mufassirun3 dan isrâîliyat dalam Tafsir dan Hadis. Bahkan
dalam Israiliyyat fi at-Tafsir wa al-Hadis Adz-Dzahabi lebih jelas
mengatakan bahwa Tafsir ini merupakan tafsir yang paling masyhur
mengemukakan riwayat isrâîliyat tanpa disertai sanadnya. Terkadang al-
Khazin memberi petunjuk akan kedhaifan dan ketidakshahihannya,
tetapi seringkali ia tidak memberikan komentar apapun terhadap riwayat
isrâîliyat yang ia kutip meskipun riwayat tersebut bertentangan dengan
kaidah-kaidah syariat. Al-Khazin dianggap tidak selektif dalam mengutip
riwayat isrâîliyat.4
Isrâîliyât merupakan salah satu rujukan penafsiran Al-Qur`an yang
dikategorikan sebagai ad-dakhi. Ad-Dakhîl merupakan lawan kata dari
al-Ashil. Fayed mendefinisikan al-Ashîl dengan: pertama, tafsir-tafsir
yang memiliki asal-usul, dalil-dalil dan argumentasi yang jelas dari

1
Dinisbatkan kepada pengarangnya yang mendapat gelar al-Khazin yang berarti
penjaga. Gelar tersebut didapatkan saat ia menjadi penjaga buku-buku khanaqah (majelis
tasawuf) as-Samaisatiyyah di Damaskus.
2
Periode Pertengahan merupakan Era di mana kajian tafsir merupakan tafsir yang
telah dibukukan dan telah menjadi disiplin ilmu tersendiri. Lihat Abdul Mustaqim, Dinamika
Sejarah Tafsir Al-Qur`an, (Yogyakarta: Idea Press, 2016), Cet. II, h. 89.
3
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dâr al-Hadis,
2012), h. 257.
4
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Israiliyat dalam Tafsir dan Hadis, terj: Didin
Hafidhuddin, (Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1993), Cet. II, h. 166-167.

1
2

agama. kedua, tafsir yang ruh dan napasnya bersandar pada Al-Qur`an,
Sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in. setelah kita mengetahui
definisi dari al-Ashil, maka dengan mudah kita akan mendapat definisi
dari ad-dakhil. Ad-Dakhil dapat didefinisikan sebagai tafsir-tafsir yang
tidak memiliki asal-usul, dalil-dalil dan argumentasi yang jelas dari
agama. 5
Secara bahasa, isrâ’îliyyât ialah bentuk jama dari kata Isrâ’îliyyah.
Term Isrâ’îliyyât kemudian dipakai untuk menyebut kabar-kabar yang
bersumber dari anak-cucu Nabi Ya’qûb (Bani Israil) baik Yahudi
maupun Nasrani, mengingat Israil sendiri merupakan nama lain dari
Nabi Ya’qûb.
Term isrâîliyat juga digunakan oleh para ulama untuk menyebut
kisah-kisah yahudi (dongeng umat terdahulu) yang masuk (merembes)
ke dalam Tafsir dan Hadis yang bersumber dari Yahudi, Nasrani dan
lainnya.6
Menurut Musa’id Muslim Abdillah yang dikutip oleh Rofiq Junaidi
dalam jurnalnya yang berjudul Al-Ashil Wa Dakhil fi Tafsir, kaum
yahudi merupakan golongan yang memiliki peradaban paling tinggi,7
akan tetapi pada kisaran tahun 70 M, Yahudi berada di titik yang rendah.
Mereka ditindas oleh penguasa diktator yang bernama Titus Ar-Rumani.8
Dan untuk lari dari penindasan itu mereka pindah ke Jazirah Arab,
dengan tetap membawa kebudayaan dan pengetahuan mereka mengenai
agama. Perpindahan Yahudi ke Jazirah Arab inilah yang kemudian
5
Jamâl Mushthafa Abd al-Hamîd al-Wahhab an-Najâr, Ushûl ad-Dakhîl fî Tafsîr Ây
at-Tanzîl, (Kairo: t.p., 2009), Cet. IV, h. 26.
6
Ibn Hammad, Ilmu Ushûl at-Tafsîr Muhâwalatun fî al-Binâ, (Kairo: Dâr as-Salâm,
2010), Cet. I, h. 116. Lihat juga Ihsan al-Amin, Manhaj an-Naqd fî at-Tafsîr, (Beirut: Dâr al-
Hâdi, 2007), Cet. I, h. 83
7
Rofiq Junaidi, “Al-Ashil wa Dakhil fi Tafsir”, dalam Jurnal Al-A’raf, Vol. XI, No.
2, Juli 2014, h. 74.
8
Ahmad Dimyati Badruzzaman, Kisah-Kisah Israiliyat dalam Tafsir Al-Munir,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), Cetakan Pertama, h. 39-40.
3

menjadi gerbang masuknya ad-dakhil. Karena dari perpindahan tersebut


terjadi sebuah akulturasi budaya yang mereka bawa dengan kebudayaan
yang ada di Jazirah Arab.9
Pendapat lain mengatakan bahwa munculnya ad-dakhil
dikarenakan maraknya orang-orang yahudi yang masuk Islam, dengan
tetap mempertahankan ajaran-ajaran yang mereka anut.10 Sehingga
pemahamannya tak jarang bercampur antara ajaran yang mereka anut
dengan ajaran Islam. Disamping itu, adanya keinginan umat Muslim
untuk mengetahui lebih detail kisah-kisah yang hanya dijelaskan secara
global dalam Al-Qur`an pun menjadi faktor yang mendorong para
mufassir untuk menggali detail kisah-kisah itu dari orang Yahudi.11
Terdapat tiga tahapan Rasulullah dalam menyikapi riwayat yang
bersumber dari ahli kitab. Pada mulanya Rasulullah sangat melarang dan
marah saat Umar bin Khattab membawa sebuah lembaran dari ahli kitab.
Sebagaimana yang terdapat dalam musnad ahmad.12

‫ ع َِن‬،ٌ‫ أ َ ْخبَ َرنَا ُم َجا ِلد‬،‫ش ْي ٌم‬ َ ‫ َح َّدثَنَا ُه‬:‫ قَا َل‬،‫ان‬ ِ ‫س َر ْي ُج ْبنُ النُّ ْع َم‬ ُ ‫َح َّدث َ َنا‬
‫ أَتَى النَّ ِب َّي‬،‫ب‬ ِ ‫طا‬ ُ ‫ أ َ َّن‬،ِ‫ع ْب ِد هللا‬
َّ ‫ع َم َر ْب َن ا ْل َخ‬ َ ‫ ع َْن َجا ِب ِر ْب ِن‬،ِ‫ش ْع ِبي‬ َّ ‫ال‬
ُ‫ فَقَ َرأَه‬،‫ب‬ ِ ُ ‫ض أ َ ْه ِل ا ْل ُكت‬ ِ ‫صا َبهُ ِم ْن َب ْع‬ َ َ‫ب أ‬
ٍ ‫سلَّ َم ِب ِكتَا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ
‫ " أ َ ُمت َ َه ِوكُو َن‬:‫ب َوقَا َل‬ َ ‫سلَّ َم فَغَ ِض‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫علَى النَّبِ ُّي‬ َ
‫ضا َء‬ َ ‫ َوالَّذِي نَ ْفسِي بِيَ ِد ِه لَقَ ْد ِجئْت ُ ُك ْم بِ َها بَ ْي‬،‫ب‬ ِ ‫طا‬ َّ ‫فِي َها يَا ا ْب َن ا ْل َخ‬
‫ أ َ ْو‬،‫ق فَتُك َِذبُوا ِب ِه‬ ٍ ‫سأَلُو ُه ْم ع َْن ش َْيءٍ فَيُ ْخ ِب ُرو ُك ْم بِ َح‬ ْ َ ‫ ََل ت‬،ً‫نَ ِقيَّة‬
9
Rofiq Junaidi, Al-Ashil wa Dakhil fi Tafsir, dalam Jurnal Al-A’raf, Vol. XI, No. 2,
Juli 2014, h. 74. Lihat juga
10
Penjelasan serupa lihat di Manna Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj.
Mudzakir AS, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), Cet. Ke-18, h. 497.
11
Ignaz Goldziher, Madzâhib at-Tafsîr, (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1955), h. 75.
Lihat juga Muhammad Ulinnuha, Ad-Dakhîl fî at-Tafsîr: Sebuah Metode Kritik Tafsir Al-
Qur`an, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI, 2012), Cetakan Pertama, h.142.
12
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Al-
Resalah Publisher, 1998), Cet. I, Juz 23, h. 349.
4

َ ‫ َوالَّذِي نَ ْفسِي ِب َي ِد ِه لَ ْو أ َ َّن ُمو‬،‫ص ِدقُوا ِب ِه‬


َ ‫سى ك‬
،‫َان َحيًّا‬ َ ُ ‫اط ٍل فَت‬
ِ ‫ِب َب‬
)‫سعَهُ إِ ََّل أ َ ْن يَتَّبِعَنِي " (رواه أحمد‬ ِ ‫َما َو‬
“Umar bin Khattab datang kepada Nabi SAW sambil membawa
sebuah kitab yang ia dapatkan dari sebagian ahli kitab. Kemudian
Nabi dibacakan kitab tersebut. Kemudian Nabi marah dan
bersabda: ‘Apakah engkau merasa bingung dengan apa yang ada di
dalamnya wahai putra Khattab? Demi dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya. Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan
membawa sesuatu yang jelas. Janganlah kalian bertanya kepada
ahli kitab tentang satu hal, karena (mungkin) mereka akan
memberitahu kalian satu kebenaran, akan tetapi kalian
mendustakannya. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan, akan
tetapi kalian percaya. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya.
Seandainya Musa masih hidup, maka wajib baginya untuk
mengikutiku’.” (HR. Imam Ahmad)
Kemudian Rasulullah SAW mulai memberi green light terhadap
riwayat ahli kitab dengan berpesan kepada para sahabat untuk tidak
membenarkan (keterangan) Ahli kitab dan tidak pula mendustakannya,
tetapi ia menganjurkan para sahabatnya untuk mengatakan “kami
beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada apa yang
kami”. Sikap tersebut sebagaimana yang termaktub dalam kitab Shahih
Bukhari.13

‫ع ِل ُّي ْب ُن‬ َ ‫ أ َ ْخبَ َرنَا‬،‫ع َم َر‬ُ ُ‫عثْ َمانُ ْبن‬ ُ ‫ َح َّدثَنَا‬،‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْب ُن بَش ٍَّار‬
‫ ع َْن أ َ ِبي‬،َ‫سلَ َمة‬ َ ‫ ع َْن أ َبِي‬،‫ير‬ ٍ ِ‫ ع َْن يَ ْحيَى ْب ِن أَبِي َكث‬،‫ار ِك‬ َ َ‫ال ُمب‬
،‫ون الت َّ ْو َراةَ ِبال ِع ْب َرانِيَّ ِة‬
َ ‫ب يَ ْق َر ُء‬ ِ ‫َان أ َ ْه ُل ال ِكتَا‬ َ ‫ ك‬:‫ قَا َل‬،َ‫ُه َر ْي َرة‬
ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫ّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬،‫سالَ ِم‬ ِ ‫َويُفَس ُِرونَ َها ِبال َع َر ِبيَّ ِة ِِل َ ْه ِل‬
ْ ‫اإل‬
:‫ب َوَل ت ُك َِذبُو ُه ْم َوقُولُوا‬ ِ ‫ص ِدقُوا أ َ ْه َل ال ِكتَا‬َ ُ ‫ " َلَ ت‬:‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ
)‫اّللِ َو َما أ ُ ْن ِز َل} " اآليَة (رواه البخاري‬ َّ ِ‫{آ َمنَّا ب‬
“Janganlah kamu benarkan orang-orang ahli kitab dan jangan
pula kamu dustakan mereka. Berkatalah kamu sekalian, ‘kami
13
Imam Bukhari, Matnu Masykul al-Bukhari bi Hasyiah as-Sindy, (Beirut: Dâr al-
Fikr, t. th), Jilid IV, h. 352-353.
5

beriman kepada Allah dan kepada apapun yang diturunkan kepada


kami’.” (HR. Bukhari)

Hingga akhirnya Rasulullah memperbolehkan para sahabat untuk


menyampaikan (keterangan) dari Bani israil. Hal ini dapat dipahami dari
sabda Nabi yang tertulis dalam kitab Shahi Bukhari14

‫ َح َّدثَنَا‬،‫ أ َ ْخبَ َرنَا اِل َ ْو َزا ِع ُّي‬،ٍ‫ض َّحاكُ ْب ُن َم ْخلَد‬ ِ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ع‬
َّ ‫َاص ٍم ال‬
‫ أ َ َّن‬،‫ع ْم ٍرو‬ َ ‫ّللاِ ْب ِن‬ َ ‫ ع َْن‬،َ‫ ع َْن أ َ ِبي َك ْبشَة‬،َ‫سانُ ْبنُ ع َِطيَّة‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ َّ ‫َح‬
‫ َو َح ِدث ُوا‬،ً‫عنِي َولَ ْو آيَة‬ َ ‫ «بَ ِلغُوا‬:‫ قَا َل‬،‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫النَّ ِب َّي‬
ْ‫ فَ ْل َيت َ َب َّوأ‬،‫علَ َّي ُمت َ َع ِم ًدا‬
َ ‫ب‬ َ َ‫ َو َم ْن َكذ‬،َ‫س َرائِي َل َوَلَ َح َرج‬ ْ ‫ع َْن َبنِي ِإ‬
)‫َم ْقعَ َدهُ ِم َن النَّ ِار» (رواه البخاري‬
“Sampaikanlah yang dat ang dariku walaupun satu ayat, dan
ceritakan (apa yang kamu dengar) dari Bani Israil dan hal itu tidak
ada salahnya. Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja,
maka bersiaplah untuk menempati tempatnya di neraka.” (HR.
Bukhari)
Berdasarkan sabda tersebut para sahabat menerima dan
menceritakan sebagian perincian kisah-kisah dari ahli kitab yang
dianggap tidak ada kaitannya dengan masalah akidah dan tidak pula
dengan hukum.15
Sebenarnya, para sahabat hanya mengambil riwayat ahli kitab
dengan jumlah yang sedikit untuk menafsirkan al-Qur`an. Menurut Adz-
Dzahabi yang dikutip oleh Muhammad Ulinnuha dalam Ad-Dakhîl fî at-
Tafsîr: Sebuah Metode Kritik Tafsir Al-Qur`an para sahabat sangat
selektif dalam menerima riwayat ahli kitab (isrâîliyat) dan hanya
membatasi pada kisah-kisah yang global dalam al-Qur`an dan tidak Nabi
jelaskan. Tetapi pada masa tabiin, jumlah isrâîliyat yang dikutip oleh
14
Imam Bukhari, Matnu Masykul al-Bukhari bi Hasyiah as-Sindy, h. 293. Lihat juga
Muhammad Wahib Allam, al-Israiliyyat fi at-Tafsir, (Beirut: Dâr al-‘Ulûm al-Arabiyyah,
2007), Cet. I, h. 62-63.
15
Manna Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS, h. 498.
6

para tabiin untuk menafsirkan al-Qur`an semakin banyak. Hal ini


disebabkan oleh semakin banyaknya orang Yahudi yang memeluk Islam.
Pengutipan isrâîliyat ini berkembang dengan begitu pesatnya pada masa
pasca tabiin. Mufassir pada masa setelah tabiin tidak lagi mengoreksi
terlebih dahulu kutipan cerita isrâîliyat yang mereka ambil. Padahal di
antaranya terdapat cerita isrâîliyat yang tidak benar dan batil.16
Seperti yang telah peneliti sebutkan di atas, salah satu mufassir
yang banyak mengutip cerita isrâîliyat ialah ‘Alauddin Abu al-Hasan
Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar bin Khalil asy-Syihi al-
Baghdadi atau yang lebih dikenal dengan al-Khâzin (w. 741 H) dalam
tafsirnya Lubâb at-Ta’wil fi Ma’ân at-Tanzil.
Sebagai contoh, penafsirannya mengenai kisah Nabi Ayyub as
dalam surah Al-Anbiya’ ayat 83-84:
    
   
  
  
    
 
  
  
 

“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya


Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau
adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua
Penyayang”.Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu
Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan
keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka,
sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan
bagi semua yang menyembah Allah. (QS. Al-Anbiya’’ [21]: 83-84)

16
Muhammad Ulinnuha, Ad-Dakhîl fî at-Tafsîr: Sebuah Metode Kritik Tafsir Al-
Qur`an, h. 141.
7

Al-Khâzin (w. 741 H) menyebutkan suatu kisah yang sangat


panjang mengenai kisah Nabi Ayyub, mulai dari nasab Nabi Ayyub as
sampai kepada kisah mengenai ujian yang menimpa Nabi Ayyub as yang
ia kutip dari Wahab bin Munabbih, kisah tersebut tidak memiliki sumber
yang kuat dan sangat tidak masuk akal karena di dalamnya mengandung
kisah yang tidak mungkin terjadi pada diri seorang Nabi. Ia
menyebutkan kisah ini tanpa diakhiri dengan satu komentar pun.17
Ia menyebutkan bahwa Nabi Ayyub ditimpa suatu penyakit yang
sangat mengerikan dan menjijikan, dari telapak kakinya keluar ulat-ulat
yang mengakibatkan rasa gatal. Lalu Nabi Ayyub menggaruknya dengan
kukunya hingga ulat-ulat itu berjatuhan dan dibersihkannya ulat-ulat itu
dengan sapu hingga sapunya terputus. Rasa gatal masih terasa di sekujur
tubuhnya hingga ia kembali menggaruknya dengan tembikar yang
mengakibatkan luka. Penyakit yang dideritanya membuatnya dicemooh
bahkan diusir/diasingkan oleh penduduk setempat. Tak ada satupun yang
mau mendekatinya kecuali sang istri.18
Kisah yang dikutip oleh Al-Khazin (w. 741 H) di atas jelas sangat
tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang Nabi Allah mendapat
ujian yang membuatnya terhina bahkan diusir oleh penduduk setempat
kecuali istrinya. Jika hal itu terjadi, kemana perginya pengikutnya yang
beriman? Apakah mereka juga ikut mengusirnya? Menjadi sangat tidak
masuk akal seorang pengikut mengusir panutannya.19 Meski cerita di
atas sangat tidak masuk akal, Al-Khâzin (w. 741 H) dalam mengutip

17
Muhammad Husein adz-Dazahabi, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 267-268.
18
‘Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar bin Khalil asy-
Syihi al-Baghdadi, Lubâb at-Ta’wil fi Ma’ân at-Tanzil, (Beirut: Dâr al-Fikr, t. th), Jilid IV, h.
307-316.
19
Lihat Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Israiliyyat wa al-Maudhu’at fî
Kutûb at-Tafsîr, (Kairo: Maktabah As-Sunnah, 1407 H), Cet. IV, h. 280.
8

cerita tersebut tidak mengutarakan komentar apa pun, baik yang


menunjukkan kedustaan cerita itu ataupun keraguannya.
Berdasarkan hal di atas, peneliti berkeinginan melakukan penelitian
terhadap isrâîliyat dalam penafsiran surah Al-Anbiya’ yang dilakukan
oleh Al-Khâzin (w. 741 H) untuk mengetahui apakah isrâîliyat dalam
penafsiran, apakah dapat diterima atau ditolak juga untuk menganalisa
sistem periwayatan isrâîliyat yang dilakukan olehnya. Oleh karena itu.
Peneliti mengambil judul penelitian “ Ad-Dakhil dalam Tafsir Lubâb at-
Ta’wil fi Ma’ân at-Tanzil (Studi Analisis Terhadap Kisah-Kisah Para
Nabi dalam Surah Al-Anbiya’)”.
Secara lebih sistematis, keinginan peneliti untuk meneliti Ad-Dakhil
dalam Tafsir Lubâb at-Ta’wil fi Ma’ân at-Tanzil (Studi Analisis
Terhadap Kisah-Kisah Para Nabi Dalam Surah Al-Anbiya’) tersebut
dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, yaitu:
Pertama, peneliti menjatuhkan pilihan untuk menganalisis
penafsiran Al-Khâzin (w. 741 H) dalam Tafsir Lubâb at-Ta’wil fi Ma’ân
at-Tanzil, karena merupakan salah satu kitab tafsir yang terindikasi
isrâîliyyât di dalamnya, sebagaimana yang telah dikatakan oleh
Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam at-Tafsîr wa al-Mufassirûn dan
juga diteliti oleh para peneliti terdahulu seperti Hana Andriani. Penelitian
ini dirasa perlu untuk ditindaklanjuti mengingat ia hanya meneliti
isrâîliyyât dalam kisah Hârût dan Mârût.
Kedua, sering kali para mufassir memuat isrâîliyyât ketika
menafsirkan kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu.
Ketiga, peneliti tidak menemukan satu penelitian pun yang
membahas tentang Ad-Dakhil dalam Tafsir Lubâb at-Ta’wil fi Ma’ân at-
Tanzil (Studi Analisis Kisah-Kisah Para Nabi dalam surah Al-Anbiya’).
9

Sehingga melalui penelitian ini diharapkan ada temuan yang melengkapi


temuan-temuan para pengkaji Tafsir Lubâb at-Ta’wil fi Ma’ân at-Tanzil.
10

OUTLINE

PROPOSAL SKRIPSI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
D. Tujuan Penelitian
E. Kegunaan Penelitian
F. Tinjauan Pustaka
G. Kerangka Teori
H. Metode Penelitian
I. Teknik Penelitian dan Sistematika Penelitian
BAB II
AD-DAKHIL
A. Definisi Ad-Dakhil
B. Sejarah Masuknya Ad-Dakhil
C. Perawi Ad-Dakhil
D. Klasifikasi Ad-Dakhil
E. Hukum Meriwayatkan Ad-Dakhil
BAB III
MENGENAL TAFSIR LUBÂB AT-TA’WIL FI MA’ÂN AT-TANZÎL
A. BIOGRAFI MUFASSIR
1. Riwayat Hidup
2. Rihlah Ilmiah
3. Madzhab Fiqh dan Teologi
11

4. Guru dan Murid


5. Karya
B. METODOLOGI TAFSIR LUBÂB AT-TA’WIL FI MA’ÂN AT-
ANZÎL
1. Identifikasi Fisiologis
2. Identifikasi Metodologis
a. Latar Belakang Penulisan dan Penamaan
b. Sumber dan Referensi
c. Metode dan Corak Tafsir
d. Sistematika Penulisan
e. Karakteristik Tafsir
BAB IV
ANALISIS AD-DAKHIL DALAM SURAH AL-ANBIYA
A. Kisah Para Nabi dalam Surah Al-Anbiya
B. Penafsiran Al-Khazin terhadap Kisah Para Nabi Dalam Surah Al-
Anbiya
C. Analisis Ad-Dakhil dalam Kisah Para Nabi
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai