Anda di halaman 1dari 22

AL-DAKHIL DALAM TAFSIR IBNU KATSIR

MAKALAH

Diajukan oleh :

Kelompok 8

M. Alfarabi (180303052)
Zia Misbahuddin (180303094)
Ahmad Firdaus bin Mohd Darus (180303121)
Rizki Afriandi (180303051)
Ulil Azmi (190303056)

Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat


Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Mata Kuliah al-Dakhil fi al-Tafsir

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM - BANDA ACEH
2021 M / 1443 H
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya bagi Allah swt. yang telah mencurahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua, khususnya bagi kami sehingga kami bisa
menyelesaikan pembuatan makalah ini. Selawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad saw. Beliau adalah panutan dan teladan bagi kita semua dalam
mengaruhi kehidupan di dunia ini.

Kami sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah ini sebagai


pemenuhan tugas mata kuliah al-Dakhil fi al-Tafsir. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada seluruh pihak, terutama kepada Bapak Dr. Muslim Djuned, M.Ag. selaku
pengampu mata kuliah ini. Selanjutnya kami juga mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak dalam rangka perbaikan makalah-makalah yang akan datang.

Banda Aceh, 3 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
C. Tujuan dan Manfaat ................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2

A. Profil Singkat Ibnu Katsir ........................................................................ 2


B. Profil Singkat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim ............................................... 3
C. Israiliyyat dalam Tafsir Ibnu Katsir ......................................................... 4

BAB III PENUTUP ................................................................................................ 18

A. Kesimpulan ............................................................................................... 18
B. Saran .......................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan mukjizat yang abadi. Dalam menelusuri pemahaman yang
mendalam terhadap Al-Qur’an, berkembanglah berbagai penafsiran di kalangan
umat Islam. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim merupakan salah satu contoh dari usaha
yang telah dilakukan oleh Ibnu Katsir dalam memperkaya dan mendalami makna
Al-Qur’an yang sangat luas. Di lain sisi, seiring berkembangnya peradaban dan
berkembangnya Islam ke seluruh penjuru dunia, mulailah masuk riwayat-riwayat
yang tidak bersumber dari nash agama yang dimasukkan ke dalam penafsiran yang
disebut dengan al-dakhil. Al-dakhil juga berasal dari pendapat-pendapat yang tidak
ada dasarnya dalam agama. Pada makalah ini, penyusun akan membahas tentang al-
dakhil yang terdapat dalam penafsiran Ibnu Katsir atau lebih dikenal dengan Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana profil singkat dari Ibnu Katsir?
2. Bagaimana profil singkat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim?
3. Bagaimana penjelasan Israiliyyat dalam Tafsir Ibnu Katsir?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Mengetahui profil singkat dari Ibnu Katsir.
2. Mengetahui profil singkat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.
3. Mengetahui penjelasan Israiliyyat dalam Tafsir Ibnu Katsir.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Profil Singkat Ibnu Katsir


Ibnu Katsir hidup pada abad 8 H bertepatan dengan abad 14 M.1 Nama beliau
adalah Isma’il bin ‘Umar bin Katsir bin Dhau’ bin Katsir bin Katsir bin Dhau’ bin
Dzar’i al-Qaysi al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Laqab beliau
adalah ‘Imaduddin. Sedangkan kuniyah beliau adalah Abu al-Fida’. Beliau
dilahirkan pada tahun 701 H bertepatan dengan tahun 1301 M. Sebagian ulama
berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun 700 H. Ia lahir di Mijdal, sebuah
kampung di timur Bushra yang merupakan wilayah bagian Damaskus.2 Ayah beliau
adalah seorang ahli fiqh, ahli sastra dan seorang khatib di negerinya.3
Pada saat Ibnu Katsir berusia tujuh tahun, ia dan saudaranya, Kamaluddin Abdul
Wahab berangkat ke Damaskus. Saudaranya itu seperti ayah bagi Ibnu Katsir dan
guru yang pertama baginya. Di Damaskus, Ibnu Katsir mulai menapaki jalan
keilmuannya. Ia telah mampu menghafal Al-Qur’an pada usia 10 tahun. Ia juga telah
menghafal kitab al-Tanbih, salah satu kitab penting dalam bidang fiqh mazhab
Syafi’i. Karir keilmuan Ibnu Katsir mulai menanjak ketika beliau banyak
menduduki jabatan-jabatan penting sesuai bidang keilmuan yang dimilikinya.
Misalnya dalam bidang ilmu hadis, ia menggantikan gurunya, adz-Dzahaby di
Madrasah Umm Shalih di Damaskus pada tahun 748 H.4 Selain itu ia juga diangkat
menjadi pimpinan Dar al-Hadits al-Asyrafiyah di Damaskus pada tahun 756 H
setelah meninggalnya Taqiyyuddin as-Subky.5 Selain sebagai pimpinan dari
beberapa lembaga pendidikan, Ibnu Katsir juga seorang pengajar, ahli hadis,
penyusun, penyair dan sosok yang memiliki kedudukan tinggi dalam ilmu
pengetahuan.

1
Muhammad az-Zuhaili, Ibn Katsir al-Dimasyqi: al-Hafiz al-Mufassir al-Muarrikh al-Faqih
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1995), hlm. 15.
2
Muhammad Sofyan, Tafsir wal Mufassirun (Medan: Perdana Publishing, 2015), hlm. 52.
3
Muhammad az-Zuhaili, Ibn Katsir al-Dimasyqi: al-Hafiz al-Mufassir al-Muarrikh al-Faqih,
hlm. 58.
4
Muhammad az-Zuhaili, Ibn Katsir al-Dimasyqi: al-Hafizh al-Mufassir al-Muarrikh al-Faqih,
hlm. 101.
5
Maliki, ‘Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya’, dalam Jurnal el-Umdah, No. 1,
(2018), hlm. 76-77.

2
Banyak karya yang telah beliau hasilkan sebelum beliau meninggal. Di
antaranya adalah Tafsir al-Qur’an al’Azhim, Fadhail al-Qur’an, al-Bidayah wa al-
Nihayah, dan masih banyak lagi. Sebelum meninggal, beliau kehilangan
penglihatannya. Ia pun mengehembuskan nafas terakhirnya pada bulan Sya’ban
tahun 774 H dan dimakamkan di pemakaman ash-Shufiyyah di Damaskus di sisi
gurunya, Ibnu Taimiyyah.6

B. Profil Singkat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim


Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim atau Tafsir Ibnu Katsir ini tergolong dalam kitab
tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an menggunakan metode tahlili (analitis) dengan
mengambil bentuk penafsiran bi al-ma’tsur.7 Kitab tafsir ini menduduki tempat
kedua setelah Tafsir Ibnu Jarir.8 Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyajikannya secara
runtut dari al-Fatihah sampai an-Nas sesuai dengan mushaf Utsmani dengan tidak
mengabaikan aspek asbab al-nuzul dan al-munasabah antara ayat Al-Qur’an.9
Dalam kitabnya, Ibnu Katsir sangat memperhatikan penafsiran-penafsiran dari
para salaf al-shalih. Ibnu Katsir banyak menukil pendapat dari Ibnu Jarir, Ibnu Abi
Hatim, Ibnu ‘Athiyyah dan ulama-ulama lainnya.10 Dalam muqaddimah kitabnya,
Ibnu Katsir banyak mengambil kata-kata gurunya, Ibnu Taimiyyah dalam kitab
Ushul al-Tafsir. Ibnu Katsir menyajikan kitab tafsir yang mudah dipahami. Satu per
satu ayat dijelaskan dengan ringkas dan padat. Jika memungkinkan, ia akan
memperinci penjelasannya dengan menyebutkan ayat lain dan membandingkannya
hingga tampak penjelasan dan maksud dari ayat tersebut. Kemudian ia menyebutkan
hadis-hadis yang berhubungan dengan ayat tersebut. Ia juga menjelaskan hal-hal
lainnya yang terkait dengan penjelasan ayat serta juga menukil pendapat para
Sahabat, tabi’in dan para ulama dari golongan salaf al-shalih.
Salah satu ciri khas dari Tafsir Ibnu Katsir adalah perhatian dan peringatannya
terhadap riwayat bi al-ma’tsur yang bercampur dengan riwayat-riwayat munkar

6
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Kairo: Maktabah Wahbah,
Tanpa Tahun), hlm. 173-174.
7
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
hlm. 32.
8
Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995),
hlm. 355.
9
Maliki, ‘Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya’, hlm. 83.
10
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 175.

3
Israiliyyat. Terkadang ia memperingatkannya secara umum dan terkadang juga
secara rinci.11 Tercatat dalam Tafsir Ibnu Katsir terdapat 48 kisah Israiliyyat.
Walaupun ia adalah seorang ahli hadis yang sangat selektif, hal tersebut tidak
menutup kemungkinan ia mengutip riwayat Israiliyyat yang memiliki sanad yang
dha’if. Ketika ia mengutip riwayat Israiliyyat yang shahih, ia menjelaskan letak ke-
shahih-annya. Begitu juga dengan riwayat-riwayat yang dha’if. Kisah-kisah
Israiliyyat yang sanadnya dha’if dalam Tafsir Ibnu Katsir bukan merupakan
ungkapan bahwa dalam konteks ayat tersebut terdapat kisah-kisah Israiliyyat yang
tidak dapat dipegangi. Ibnu Katsir memiliki pandangan tentang riwayat-riwayat
Israiliyyat bahwa karena kisah-kisah Israiliyyat tersebut tidak diketahui benar atau
dustanya, maka riwayat tersebut tidak perlu dibenarkan sebab dimungkinkan
mengandung dusta tetapi juga jangan didustakan sebab dimungkinkan adanya
kebenaran.12 Karakteristik lainnya dari Tafsir Ibnu Katsir adalah terkadang juga
dipaparkan beberapa aturan-aturan linguistik, i’rab, nahwu, dan aspek balaghah.
Hal tersebut dilakukan semata-mata ditujukan untuk membantu dan mempermudah
para pembaca dalam memahami ayat secara luas.13

C. Israiliyyat dalam Tafsir Ibnu Katsir


Contoh Israiliyyat dalam Tafsir Ibnu Katsir adalah penafsiran terhadap Q.S. Al-
Baqarah ayat 67-74 yang menceritakan kisah Nabi Musa As. memerintahkan
kaumnya (Bani Israil) untuk menyembelih sapi betina.

ۡ َ َّ ُ َ َ َ ُ َ ُ َّ َ َ ْ ٓ ُ َ ٗ َ َ َ ْ ُ َ ۡ َ َ ۡ ُ ُ ُ ۡ َ َ َّ َّ ٓ ِ ۡ َ ‫َ ۡ َ َ ُ َ ٰى‬
‫خذنا ه ُز ٗواۖٗ قال أ ُعوذ بِٱَّللِ أن‬ ِ ‫وِإذ قال موس ل ِقومهِۦ إِن ٱَّلل يأمركم أن تذبحوا بقرة ۖٗ قالوا أتت‬
َ َ ٞ َ َّ ٞ َ َ َ َ َّ ُ ُ َ ُ َّ َ َ َ َ َ َّ َ ُ َ َّ َ َ َ ُ ۡ ْ ُ َ َ ٰ َ ۡ َ َ ُ َ
‫ قالوا ٱدع لنا ربك يبيِن لنا ما ِه َۚي قال إِنهۥ يقول إِنها بقرة لا فارِض ولا‬٦٧ ‫أكون مِن ٱلج ِهل ِين‬
ُ ُ َّ َ َ ُ َ َّ َ َ ُ ۡ ْ ُ َ َ ُۡ ْ ُ ۡ َ َ َ ۡ ُ ۡ
‫ قالوا ٱدع ل َنا َر َّبك يُبَيِن ل َنا َما ل ۡون َها َۚ قال إِن ُهۥ َيقول‬٦٨ ‫بِك ٌر َع َوانُۢ َبي َن ذٰل ِكۖٗ فٱف َعلوا َما تؤ َم ُرون‬
ۡ َّ َ َّ َ َ َ ُ ۡ ْ ُ َ َّ ُّ ُ َ َ ُ ۡ َّ ٞ َ ُ ٓ َ ۡ َ ٞ َ َ َ َ َّ
‫ش َب َه‬ٰ َ َ ‫ك يُبَيِن ل َنا َما ِه َي إ ِ َّن ٱل َب َق َر ت‬ ‫ قالوا ٱدع لنا رب‬٦٩ ‫ين‬ َ ‫ٱلنٰ ِظر‬
ِ ‫إِنها بقرة صفراء فاق ِع لونها تسر‬
َ َ َ َ َ ۡ ُ ُ ٞ ُ َ َّ ٞ َ َ َ َ َّ ُ ُ َ ُ َّ َ َ َ َ ُ َّ َ ٓ َ ٓ َّ َ
‫ قال إِنهۥ يقول إِنها بقرة لا ذلول تثِير ٱلأۡرض ولا تس ِقي‬٧٠ ‫ٱَّلل ل ُم ۡه َت ُدون‬
ۡ ‫َعل ۡي َنا َوِإنا إِن شاء‬

11
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 175.
12
Maliki, ‘Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya’, hlm. 85.
13
Muhammad Sofyan, Tafsir wal Mufassirun, hlm. 56.

4
ۡ َ ۡ َ ُ ۡ ْ ُ َ َ ُ َ َ َ َۡ َ ‫ِيها َۚ قَالُوا ْ ٱلَٰۡٔـ َن ج ۡئ‬ َ ۡ َۡ
َ ‫ لَّا ش َِي َة ف‬ٞ‫ث ُم َس َّل َمة‬
‫ َوِإذ ق َتل ُت ۡم‬٧١ ‫ق فذبحوها َو َما كادوا َيف َعلون‬ ِّۚ ِ ‫ت بِٱلح‬ ِ ‫ٱلحر‬
ُ َّ ‫ض َها َۚ َك َذٰل َِك يُ ۡحي‬ ۡ ُ ‫ٱضر ُب‬ ۡ َۡ َُ َ ُ ُ ۡ َ ۡ ُ ُ َّ ٞ ۡ ُ ُ َّ َ َ ۡ ُ َ ٰ َّ َ ٗ ۡ َ
‫ٱَّلل‬ ِ ِ ‫وه ب ِ َبع‬ ِ ‫ا‬ ‫ن‬‫ل‬ ‫ق‬ ‫ف‬ ٧٢ ‫ون‬ ‫نفسا فٱدرَٰٔتم فِيهاۖٗ وٱَّلل مخ ِرج ما كنتم تكتم‬
َ َ َ ۡ َ َ َ َ ُ ُ ُ ُ ۡ َ َ َّ ُ َ ُ َ ُ َّ َ َ ُ َ ۡ
‫ارةِ أ ۡو‬ ‫وبكم ِم ُۢن َب ۡع ِد ذٰل ِك ف ِه َي كٱلحِج‬ ‫ ثم قست قل‬٧٣ ‫ٱل َم ۡوت ٰى َو ُي ِريك ۡم َءايٰتِهِۦ ل َعلك ۡم ت ۡعقِلون‬
َّ ٓ ۡ ۡ َ َّ َّ َ َّ َۡۡ َ َ َ َ ۡ َ َّ َ ٗ َ ۡ َ ُّ َ َ
‫ارةِ ل َما َي َتف َّج ُر م ِۡن ُه ٱلأن َه ٰ ُر َۚ َوِإن م ِۡن َها ل َما يَشق ُق ف َيخ ُر ُج م ِۡن ُه ٱل َما ُء َۚ َوِإن‬ ‫أشد قسوة َۚ وِإن مِن ٱلحِج‬
َ ُ َ َ َ ُ َّ َ َ َّ َ ۡ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ ۡ
٧٤ ‫ٱَّلل بِغ ٰ ِف ٍل ع َّما ت ۡع َملون‬ ‫ِمنها لما يهبِط مِن خشيةِ ٱَّللِِۗ وما‬
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Sungguh Allah
memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya,
“Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab,
“Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.”
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia
menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu.” Dia (Musa) menjawab, “Dia
(Allah) berfirman, bahwa sapi betina itu tidak tua dan tidak muda, (tetapi)
pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia
menjelaskan kepada kami apa warnanya.” Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah)
berfirman, bahwa (sapi) itu adalah sapi betina yang kuning tua warnanya, yang
menyenangkan orang-orang yang memandang(nya).” Mereka berkata,
“Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami
tentang (sapi betina) itu. (Karena) sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kami,
dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk.” Dia (Musa)
menjawab, “Dia (Allah) berfirman, (sapi) itu adalah sapi betina yang belum pernah
dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sehat, dan
tanpa belang.” Mereka berkata, “Sekarang barulah engkau menerangkan (hal)
yang sebenarnya.” Lalu mereka menyembelihnya, dan nyaris mereka tidak
melaksanakan (perintah) itu. Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seseorang,
lalu kamu tuduh-menuduh tentang itu. Tetapi Allah menyingkapkan apa yang kamu
sembunyikan. Lalu Kami berfirman, "Pukullah (mayat) itu dengan bagian dari
(sapi) itu!" Demikianlah Allah menghidupkan (orang) yang telah mati, dan Dia
memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti.
Kemudian setelah itu hati kamu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu,
bahkan lebih keras. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir
sungai-sungai dari padanya. Ada pula yang terbelah lalu keluarlah mata air dari
padanya. Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah
tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.

5
Berikut ringkasan kisah sapi betina Bani Israil tersebut.14
Pada masa Nabi Musa As. terjadi pembunuhan di kalangan Bani Israil yang
tidak diketahui siapa pelakunya. Kemudian, terjadilah kesalahpahaman di antara
mereka. Satu sama lain saling tuduh-menuduh. Lalu, mereka pun membawa perkara
itu kepada Nabi Musa As. agar disidangkan. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi
Musa As. agar memerintahkan Bani Israil menyembelih sapi betina, yakni sapi
betina apa saja tanpa adanya kriteria khusus. Jikalau mereka mengambil sapi betina
apa saja lalu menyembelihnya, sungguh mereka telah melaksanakan perintah-Nya.
Akan tetapi, mereka menyukai perdebatan dan penundaan dalam menjalankan
perintah telah membuat mereka mengabaikan perintah tersebut dengan membuat
ulah dan banyak bertanya.
Mereka menanyakan kepada Nabi Musa As. tentang usia sapi betina itu. Nabi
Musa As. pun menjawab bahwa usianya tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda.
Kemudian mereka menanyakan warnanya. Nabi Musa As. menjawab bahwa warna
sapi betina itu adalah kuning tua yang elok dipandang. Setelah itu, mereka bertanya
tentang tabiat kerja sapi tersebut. Lalu dijawablah bahwa sapi itu sangat berharga
bagi pemiliknya, tidak begitu jinak, tidak dipakai untuk membajak dan tidak juga
untuk mengairi tanaman.
Pada akhirnya sapi betina itu pun disembelih walaupun hampir saja mereka lalai
terhadapnya. Setelah itu, Nabi Musa As. memerintahkan mereka untuk memukulkan
sebagian anggota badan sapi betina itu ke tubuh mayat korban pembunuhan. Mereka
pun melaksanakannya. Tiba-tiba Allah swt. memasukkan roh ke dalam tubuh
korban pembunuhan itu dan menghidupkannya kembali. Korban itu pun
menceritakan siapa yang membunuhnya. Kemudian mayat hidup itu pun kembali
mati di tengah kaum Bani Israil. Mereka pun heran dan takjub atas kejadian
tersebut.
Ibnu Katsir menyebutkan beberapa riwayat tentang kisah ini dan
mengomentarinya, “Riwayat-riwayat ini dari ‘Ubaidah, Abi al-‘Aliyah, as-Suddi
dan lainnya yang di dalamnya terdapat perbedaan. Yang pasti riwayat-riwayat
tersebut dikutip dari kitab-kitab Bani Israil. Riwayat-riwayat tersebut boleh

14
Nur Alfiah, “Israiliyyat dalam Tafsir Ath-Thabari dan Ibnu Katsir (Sikap Ath-Thabari dan
Ibnu Katsir terhadap Penyusupan Israiliyyat dalam Tafsirnya)” (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, 2010),
hlm. 87-88.

6
dinukilkan, tetapi tidak untuk dipercayai maupun didustakan selama tidak
bertentangan dengan kebenaran.”15 Kemudian jika Ibnu Katsir menjumpai riwayat-
riwayat yang gharib, tidak masuk akal dan bertentangan dengan syariat, maka ia
menolak dan mengingkarinya. Cukuplah riwayat-riwayat yang ada dalam Al-Qur’an
walaupun hanya secara umum.16
Contoh lainnya adalah penafsiran terhadap Q.S. Al-Baqarah ayat 102 tentang
kisah Harut dan Marut.

ْ ُ َ َ َ َ َّ َّ ٰ َ َ ُ ٰ َ ۡ َ ُ َ َ َ َ َ ۡ َ َ ُ َ َّ ْ ُ ۡ َ َ ْ ُ َ َّ َ
‫كن ٱلشيٰ ِطين كفروا‬ ِ ‫ك ُسل ۡيم ٰ َنۖٗ َو َما كفر سليمن ول‬ ِ ‫ين عل ٰى ُمل‬ ‫وٱتبعوا ما تتلوا ٱلشيٰ ِط‬
َ َ ‫كيۡن ب َباب َل َهٰ ُر‬
َ ‫وت َو َم ٰ ُر‬ َ َ َۡ ََ َ ُ ََٓ َ ۡ َ َّ َ ُ َ ُ
‫ان م ِۡن أ َح ٍد َح َّت ٰى‬ ِ
َ ‫وتَۚ َو َما ُي َعل‬
‫ِم‬ ِ ِ ِ ‫نزل على ٱلمل‬ ِ ‫يعل ِمون ٱلناس ٱلسِحر وما أ‬
ُ ۡ ‫ون بهِۦ َبي ۡ َن ٱل ۡ َم ۡر ِء َو َز‬ َ ُ َ ُ َ َ ُ ۡ َ ُ َّ َ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ ٞ َ ۡ ُ ۡ َ َ َّ ٓ َ ُ َ
‫جهَِۚۦ َو َما هم‬ ِ ‫و‬ ِ ‫يقولا إِنما نحن ف ِتنة فلا تكفر ۖٗ فيتعلمون مِنهما ما يف ِرق‬
ۡ َ َ ْ ُ َ ۡ َ َ َ ۡ ُ ُ َ َ َ َ ۡ ُ ُّ ُ َ َ َ ُ َّ َ َ َ َ َّ ۡ َّ َ َ ۡ
َ‫ٱشتَ َرى ٰ ُه ما‬ َ ‫ب َضآر‬
‫ين بِهِۦ مِن أح ٍد إِلا بِإِذ ِن ٱَّللَِۚ ويتعلمون ما يضرهم ولا ينفعه َۚم ولقد عل ِموا لم ِن‬ ِ ِ
َ َ ْ ُ َ َ ُ َ ْ َ ۡ َ َٰ َ ۡ َ َ
١٠٢ ‫ق َول ِبئ َس َما ش َر ۡوا بِه ِٓۦ أنف َس ُه ۡ َۚم ل ۡو كانوا َي ۡعل ُمون‬ ِّۚ ‫ل ُهۥ فِى ٱٓأۡلخِرةِ مِن خل‬
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman. Sulaiman tidak kafir tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat
di negeri Babilonia yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan
sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanyalah
cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kafir." Maka mereka mempelajari dari
keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami)
dengan istrinya. Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya
kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan
tidak memberi manfaat kepada mereka. Dan sungguh, mereka sudah tahu, barang
siapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak akan mendapat keuntungan di
akhirat. Dan sungguh, sangatlah buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya
dengan sihir, sekiranya mereka tahu.

Berikut ringkasan kisah Harut dan Marut versi Israiliyyat.17


Para malaikat menghalang-halangi dipilihnya manusia sebagai khalifah di bumi
dan keutamaan manusia yang beriman di atas derajat malaikat. Allah swt.

Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Tanpa
15

Tahun), hlm. 193.


16
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadits (Kairo: Maktabah
Wahbah, Tanpa Tahun), hlm. 109.
17
Nur Alfiah, “Israiliyyat dalam Tafsir Ath-Thabari dan Ibnu Katsir (Sikap Ath-Thabari dan
Ibnu Katsir terhadap Penyusupan Israiliyyat dalam Tafsirnya)”, hlm. 71-73.

7
menerangkan kepada mereka bahwa manusia yang beriman lebih utama dari
malaikat karena pada manusia ada syahwat dan kecenderungan untuk berbuat
maksiat. Malaikat pun berkata, “Jika Engkau jadikan syahwat dalam diri kami,
maka kami tidak akan berbuat maksiat.” Maka dipilihlah dua malaikat untuk
menjalankannya, yakni Harut dan Marut. Mereka diberikan syahwat dan diturunkan
ke bumi serta dilarang untuk melakukan maksiat. Mereka pun diturunkan di
Babilonia.
Pada suatu hari, mereka melihat seorang wanita yang sangat cantik di kota itu
dan terbesitlah hasrat di hati mereka terhadapnya. Mereka pun merayu wanita
tersebut. Wanita itu pun memberikan beberapa pilihan kepada mereka antara
menyembah berhala, membunuh anak kecil atau meminum khamar sebelum mereka
boleh memiliki wanita itu. Mereka pun berkata, “Menyembah berhala adalah
perbuatan kufur, membunuh anak kecil adalah dosa besar, sedangkan meminum
khamar hanyalah dosa kecil.” Mereka pun memilih untuk meminum khamar.
Setelah meminum khamar, mereka pun mabuk. Akibatnya, mereka juga
membunuh anak kecil dan menyembah berhala serta berbuat keji bersama wanita
tersebut. Maka dicabutlah sifat kemalaikatan dari mereka yang dengan sifat tersebut
mereka dapat naik ke langit. Kemudian Allah swt. mengubah wanita tersebut
menjadi bintang terang di langit yang dikenal dengan nama az-zahra. Allah swt.
murka terhadap keduanya dan memberikan pilihan antara azab di dunia dan azab di
akhirat. Maka mereka memilih azab di dunia agar bisa selamat di akhirat nanti.
Kemudian, digantunglah keduanya di angkasa sampai hari kiamat.
Pada penafsiran ayat tersebut, Ibnu Katsir menyebutkan beberapa kisah dari
riwayat Israiliyyat. Kemudian ia mengomentari, “Telah diriwayatkan pada kisah
Harut dan Marut dari jumhur tabi’in seperti Mujahid, as-Suddi, Hasan al-Bashri,
Qatadah, Abi al-‘Aliyah, az-Zuhri, ar-Rabi’ bin Anas, Muqatil bin Hayyan dan
selain mereka. Telah diriwayatkan juga oleh para mufassir, baik dari kalangan
mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin. Detail kisahnya merujuk kepada berita-berita
Bani Israil, karena tidak ditemukan hadis shahih yang bersambung sanadnya. Hal
yang pasti adalah bahwa yang disampaikan dalam Al-Qur’an adalah cerita yang
umum dan tidak panjang lebar. Kita beriman dengan apa yang ada di dalam Al-
Qur’an sebagaimana yang diinginkan oleh Allah swt. dan Allah swt. yang lebih

8
mengetahui kejadiannya.”18 Ibnu Katsir memandang riwayat yang tidak rasional dan
bertentangan dengan nash-nash syariat harus ditolak dan diingkari. Kemudian ia
menolak dengan pendekatan kebahasaan.19
Contoh berikutnya adalah penafsiran terhadap Q.S. Al-Maidah ayat 20-26
tentang kisah Bani Israil yang tersesat selama empat puluh tahun.

ٗ ُ ُ َ ٓ َ ُ َ ۡ ُ َ َّ َ ْ ُ ۡ َ َ َ َ ُ َ َ ۡ َ
‫وس ٰى ل ِق ۡو ِمهِۦ يٰق ۡو ِم ٱذك ُروا ن ِۡع َمة ٱَّللِ َعل ۡيك ۡم إِذ َج َعل فِيك ۡم أۢنب ِ َيا َء َو َج َعلكم ُّملوكا‬ ‫وِإذ قال م‬
ُ َ ُ َّ َ َ َ َّ َ َ َّ َ ُ ۡ َ َ ۡ ْ ُ ُ ۡ ِ ۡ َ ٰ َ َ ‫ت أَ َح ٗدا م َِن ٱلۡ َعٰلَم‬ ۡ َ َّ ُ َ
‫ٱَّلل لك ۡم‬ ‫ يقوم ٱدخلوا ٱلأۡرض ٱلمقدسة ٱلتِى كتب‬٢٠ ‫ين‬ ِ ِ ‫َو َءاتىٰكم ما ل ۡم يُؤ‬
َ‫ين َوِإنَّا لَن نَّ ۡد ُخلَها‬ َ ‫ِيها قَ ۡو ٗما َج َّبار‬ َ ‫وس ٰٓى إ َّن ف‬َ ‫ قَالُوا ْ َي ٰ ُم‬٢١ ‫ين‬
َ ‫نقل ُِبوا ْ َخ ٰ ِسر‬َ َ َ ۡ ُ َ ۡ َ ٰٓ َ َ ْ ُّ َ ۡ َ َ َ
ِ ِ ِ ‫ولا ترتدوا على أدبارِكم فت‬
ُ َّ ‫ون َأ ۡن َع َم‬ َ ُ َ َ َ َّ َ َ ُ َ َ َ َ ُ َ َّ َ َ ۡ ْ ُ ُ ۡ َ َ َ ۡ ْ ُ ُ ۡ َ َّ َ
‫ٱَّلل‬ ‫ان مِن ٱلذِين يخاف‬ ِ ‫ قال رجل‬٢٢ ‫حت ٰى يخرجوا مِنها فإِن يخرجوا مِنها فإِنا دٰخِلون‬
َ ِ ‫نتم ُّم ۡؤ ِمن‬ َّ َ َ َ َ ُ ٰ َ ۡ ُ َّ َ ُ ُ ُ ۡ َ َ َ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ ْ ُ ُ ۡ َ ۡ َ َ
ُ ‫ٱَّللِ َف َت َو َّكلُ ٓوا ْ إن ُك‬
‫ين‬ ِ ‫ون وعلى‬ َۚ ‫علي ِهما ٱدخلوا علي ِهم ٱلباب فإِذا دخلتموه فإِنكم غل ِب‬
َ َ َ َّ ٓ َ َ َ َ
٢٤ ‫نت َو َر ُّبك فقٰتِلا إِنا هٰ ُه َنا ق ٰ ِع ُدون‬ َ َ‫ب أ‬ ۡ َ َ ْ ُ َ َّ ٗ َ َ ٓ َ َ ُ ۡ َّ َ َّ ٰٓ َ ُ ٰ َ ْ ُ َ
ۡ ‫ٱذ َه‬ ‫ قالوا يموسى إِنا لن ندخلها أبدا ما داموا فِيها ف‬٢٣
ٌ َ ُ َّ َ َ َ َۡ َۡ ۡ ََۡ ۡ ۡ َ َ ۡ َ َّ ُ ۡ َ ٓ َ َ ‫قَ َال‬
‫ قال فإِن َها مح َّر َمة‬٢٥ ‫ين‬ َ ِ‫سق‬ ِ ٰ‫ب إِنِى لا أمل ِك إِلا نف ِسى َوأ ِخيۖ فٱف ُرق بَيننا َو َبي َن ٱلق ۡو ِم ٱلف‬ ِ ‫ر‬
َ ِ‫سق‬ َۡ َۡ ََ َ َ ََ ۡ َ ۡ َ ُ َ َٗ َ َ َۡ َ َۡ َ
٢٦ ‫ين‬ ِ ٰ‫ۡرض فلا تأس على ٱلق ۡو ِم ٱلف‬ ِّۚ ِ ‫علي ِه ۡ ۛۡم أربعِين سنة ۛۡ يتِيهون فِى ٱلأ‬
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku!
Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di
antaramu, dan menjadikan kamu sebagai orang yang merdeka, dan memberikan
kepada kamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat
yang lain.” Wahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah
ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke belakang (karena takut
kepada musuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi. Mereka berkata, “Wahai
Musa! Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan
kejam, kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka
keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.” Berkatalah dua orang laki-laki di
antara mereka yang bertakwa, yang telah diberi nikmat oleh Allah, “Serbulah
mereka melalui pintu gerbang (negeri) itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu
akan menang. Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu benar-
benar orang-orang beriman.” Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, aku hanya
menguasai diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan
orang-orang yang fasik itu.” (Allah) berfirman, “(Jika demikian), maka (negeri) itu
terlarang buat mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan

18
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz I, hlm. 245-246.
19
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hlm. 109.

9
mengembara kebingungan di bumi. Maka janganlah engkau (Musa) bersedih hati
(memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.”

Berikut ringkasan kisah Bani Israil yang tersesat selama empat puluh tahun.20
Allah swt. telah menyelamatkan Bani Israil dari Fir’aun dan mengeluarkan
mereka dari gurun Sinai serta memberikan nikmat kepada mereka dengan
memancarnya dua belas mata air dari batu untuk mereka. Mereka dinaungi oleh
awan putih dan menjadikan makanan manna dan salwa. Nabi Musa As.
memerintahkan mereka untuk memasuki tanah suci dan Allah swt. akan
memberikan pertolongan kepada mereka dari musuh. Akan tetapi, mereka berwatak
penakut. Mereka pun menolak perintah Nabi Musa As. dan berkata, “Sesungguhnya
terdapat di negeri itu sekelompok orang besar dan perkasa yang sadis. Kami tidak
kuasa memeranginya. Kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar
darinya.”
Muncullah dua orang laki-laki dari Bani Israil itu yang Allah swt. berikan
keberanian. Keduanya heran dengan sikap kaumnya yang pengecut itu. Mereka pun
menyusun taktik untuk menggapai kemenangan. Orang-orang Yahudi itu merasa
bahwa dua orang laki-laki tersebut telah membuat mereka terdiam dan tidak dapat
membantah. Namun orang Yahudi tersebut tetap membangkang dan berkata kepada
Nabi Musa As., “Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasuki negeri itu
selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah bersama
Tuhanmu dan berperanglah. Kami hanya duduk berpangku tangan di sini saja.”
Nabi Musa As. pun mengadu kepada Allah swt. seraya berkata, “Wahai
Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Karenanya,
pisahkanlah aku dari orang-orang fasik itu.” Kemudian Allah swt. menghukum para
pengecut itu dengan mengharamkan mereka dari kemuliaan, nikmat, kemenangan
dan kebahagiaan memasuki tanah suci. Allah swt. menakdirkan kepada mereka
pengalaman pahit untuk berputar-putar kebingungan di gurun Sinai selama empat
puluh tahun. Allah swt. berfirman, “... maka (negeri) itu terlarang buat mereka
selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan mengembara kebingungan di

20
Nur Alfiah, “Israiliyyat dalam Tafsir Ath-Thabari dan Ibnu Katsir (Sikap Ath-Thabari dan
Ibnu Katsir terhadap Penyusupan Israiliyyat dalam Tafsirnya)”, hlm. 64-66.

10
bumi. Maka janganlah engkau (Musa) bersedih hati (memikirkan nasib) orang-
orang yang fasik itu.”
Ibnu Katsir meriwayatkan sebagian riwayat terhadap kisah Jabbarin ini dan
tidak menyebutkan secara spesifik keadaan tubuh mereka. Ia mengkritik riwayat
dari kisah ini dengan mengatakan, “Dalam sanad ini terdapat kritik.” Kemudian
Ibnu Katsir melanjutkan dengan riwayat-riwayat lain yang menyifati kaum tersebut
dan diakhiri dengan logika dengan benar dan memvonis bahwa sanad tersebut
perawinya berdusta dan telah keluar dari syariat dan akal dengan pandangannya.
Dan banyak dari apa yang telah diriwayatkan oleh sebagian dari kisah-kisah
Israiliyat yang telah diriwayatkan oleh sebagian mufassir dalam kitab tafsirnya. Ia
memandang bahwa berpegang pada apa yang telah ia katakan lebih baik daripada
periwayatannya dikarenakan menyibukkan diri dengannya merupakan hal yang
tidak berfaedah. Sebagian riwayat dari Israiliyat tidak mungkin menjadi shahih dari
sisi sanad dan matannya yang mana dapat merusak akidah dan agama.21
Contoh lainnya adalah penafsiran terhadap Q.S. Al-Anbiya’ ayat 51 sebagai
berikut.

َ ‫ِيم ُر ۡش َدهُۥ مِن َق ۡب ُل َو ُك َّنا بهِۦ َعٰلِم‬


٥١ ‫ين‬ َ ‫َولَ َق ۡد َءاتَ ۡي َنا ٓ إبۡ َرٰه‬
ِ ِ ِ
Dan sungguh, sebelum dia (Musa dan Harun) telah Kami berikan kepada
Ibrahim petunjuk, dan Kami telah mengetahui dia.

Dalam kitabnya, Ibnu Katsir berkata, “Allah swt. mengabarkan perihal kekasih-
Nya, Nabi Ibrahim As., bahwa Dia telah menganugerahinya hidayah kebenaran
sebelum itu, yakni sejak kecil Allah swt. telah mengilhamkan kebenaran dan hujjah
kepadanya untuk menghadapi kaumnya, sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-
An’am ayat 83.

َ َ َ ٰ َ ۡ ٓ َ ٰ َ ۡ َ َ ٓ َ ُ َّ ُ َ ۡ َ
... ‫ِيم عَل ٰى ق ۡو ِمهَِۚۦ‬ ‫وت ِلك حجتنا ءاتينها إِبره‬
Dan itulah keterangan Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk
menghadapi kaumnya. ...

21
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hlm. 111.

11
Diceritakan pula kisah-kisah lainnya yang menyangkut Nabi Ibrahim, bahwa
semasa kecilnya ayahnya pernah memasukkannya ke dalam sebuah terowongan;
saat itu ia masih menyusu. Sesudah beberapa hari ayahnya membawa keluar
sehingga Ibrahim dapat melihat bintang-bintang di malam hari dan juga makhluk-
makhluk lainnya, maka Ibrahim melihat adanya kekuasaan Allah swt. pada hal-hal
tersebut. Kisah-kisah yang dikemukakan oleh ulama tafsir, juga oleh selain mereka,
kebanyakan bersumber dari riwayat-riwayat Israiliyat. Maka jika di antaranya ada
yang sesuai dengan keterangan yang ada pada kita yang bersumber dari Nabi saw.
yang terpelihara, kita dapat menerimanya. Dan mana saja dari kisah-kisah itu yang
tidak sesuai dengan pegangan kita, maka kita tidak dapat menerimanya. Sedangkan
mengenai kisah-kisah itu yang tidak ada kesesuaian dan pertentangannya dengan
sumber-sumber yang ada pada kita, kita bersikap tidak membenarkannya, tidak pula
mendustakannya, melainkan kita bersikap abstain (tidak memberikan tanggapan apa
pun) terhadapnya. Kebanyakan ulama salaf memperbolehkan mengemukakan kisah-
kisah jenis terakhir ini dalam periwayatannya, tetapi kebanyakan dari kisah-kisah
jenis ini tidak mengandung faedah apa pun dan tiada suatu masukan pun yang
bermanfaat bagi agama kita. Jikalau kisah-kisah ini mengandung faedah yang
bermanfaat bagi agama orang-orang yang mukallaf, tentulah hal tersebut dijelaskan
oleh syariat agama kita yang sempurna ini. Sikap yang kami ambil dalam tafsir ini
ialah mengesampingkan banyak hadis Israiliyat yang dengan mengemukakannya
berarti menyia-nyiakan waktu. Juga karena di dalam kisah-kisah Israiliyat banyak
hal dusta yang dipublikasikan oleh para empunya, karena sesungguhnya menurut
mereka tidak ada bedanya antara berita yang benar dan berita yang dusta, seperti
yang telah dibuktikan oleh para imam ahli huffaz yang mendalam dari kalangan
umat ini (umat Islam).22
Secara garis besarnya dapat disimpulkan bahwa Allah swt. memberitahukan
bahwa Dia telah memberikan hidayah kebenaran kepada Nabi Ibrahim sebelum
Nabi Musa dan Nabi Harun. Adapun firman Allah, “dan adalah Kami mengetahui
(keadaan)nya”, yakni Nabi memang berhak untuk memperolehnya. Kemudian
disebutkan dalam firman selanjutnya, “(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada
bapaknya dan kaumnya, "Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadah

22
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz V, hlm. 305.

12
kepadanya?” Inilah yang dimaksud dengan hidayah kebenaran yang telah diperoleh
Ibrahim sejak dia masih usia kanak-kanak. Ia mengingkari kaumnya yang
menyembah berhala-berhala. Untuk itu ia berkata kepada mereka, seperti yang
termaktub dalam Al-Qur’an, “Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadah
kepadanya?”, yakni kalian menyembahnya dengan penuh ketekunan.
Ayat lainnya adalah Q.S. Al-Ahzab ayat 37.

َ ۡ َ َ ُّ َ َ ُ َّ َ َ َّ َ َۡ َ َۡ
ُ َّ ‫ِك َما‬ ُۡ
... ٗۖ‫ٱَّلل ُم ۡبدِيهِ َوتخشى ٱلناس وٱَّلل أحق أن تخشىه‬
ُ ٰ ‫ َوتخ ِفي فِى نفس‬...
... sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan
oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau
takuti. ...

Terhadap ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir dalam
bab ini telah menceritakan beberapa asar dari sebagian ulama salaf, tetapi kami lebih
suka tidak mengetengahkannya, karena sanadnya tidak sahih.”
Contoh lainnya juga pada saat Ibnu Katsir menafsirkan Q.S. Shad ayat 21-24.

ۡ َ َ َ ْ ُ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ ُ َ َٰ َ ْ ُ َ َ ۡ َ َ ۡ ۡ ْ ُ َّ َ َ ۡ ۡ َۡ ْ ُ َ َ َ ٰ َ َ ۡ َ َ
ٗۖ‫ إِذ دخلوا على داوۥد فف ِزع مِنهمۖٗ قالوا لا تخف‬٢١ ‫وهل أتىك نبؤا ٱلخص ِم إِذ تسوروا ٱل ِمحراب‬
َّ َٓ َ ٰ َ ٓ َ ۡ َ ۡ ۡ ُ َ َ َۡ ُ ۡ َ َ ُ َ َ ۡ َ
‫ إِن‬٢٢ ‫ٱلص َر ٰ ِط‬
ِ ِ
‫ء‬ ‫ٱحكم بَ ۡي َن َنا بِٱلح ِق ولا تش ِطط وٱهدِنا إِلى سوا‬ ‫ان َبغ ٰي َب ۡعض َنا عَل ٰى َب ۡعض ف‬
ِ ‫خصم‬
َ َ َ ‫ِيها َو َع َّزنى فى ٱلۡخ‬ ۡ َ َ َ َ ٞ َ َٰ ٞ َ ۡ َ َ َ ٗ َ ۡ َ َ ُ ۡ َ ٞ ۡ َُ َ ٓ َ َٰ
َ ‫كفِ ۡلن‬
‫ ﵟقال‬٢٣ ‫اب‬ ِ ‫ِط‬ ِ ِ ‫هذا أ ِخي لهۥ ت ِسع وت ِسعون نعجة ولِى نعجة وحِدة فقال أ‬
َ ُ َ ٓ َ ُۡ ٗ ِ ‫ِإن َكث‬
َّ َ َ ‫ك إل َ ٰى ن‬
َ َ َۡ َ ُ َ ََ َ ۡ ََ
‫يرا م َِن ٱلخل َطا ِء ل َي ۡب ِغي َب ۡعض ُه ۡم عَل ٰى َب ۡع ٍض‬ ‫جهِۖٗۦ و‬
ِ ‫ا‬‫ِع‬ ِ ِ ‫لقد ظلمك بِسؤا ِل نعجت‬
َ ۡ ۡ َ ُ ٰ َّ َ َ َ َّ َ ُ ُ َ َّ َ َ ۡ ُ َّ ٞ َ َ ٰ َ ٰ َّ ْ ُ َ َ ْ ُ َ َ َ َّ َّ
‫ٱس َتغف َر َر َّب ُهۥ‬ ‫ت وقل ِيل ما همِۗ وظن داوۥد أنما فتنه ف‬ ِ ‫إِلا ٱلذِين ءامنوا وع ِملوا ٱلصل ِح‬
٢٤ ۩ ‫اب‬َ َ‫َوَّۤرَخ ۤاٗعِكاَر َو َأن‬
Dan apakah telah sampai kepadamu berita orang-orang yang berselisih ketika
mereka memanjat dinding mihrab? Ketika mereka masuk menemui Dawud lalu dia
terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, "Janganlah takut! (Kami)
berdua sedang berselisih, sebagian dari kami berbuat zalim kepada yang lain;
maka berilah keputusan di antara kami secara adil dan janganlah menyimpang dari
kebenaran serta tunjukilah kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini
mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai
seekor saja, lalu dia berkata, “Serahkanlah (kambingmu) itu kepadaku! Dan dia
mengalahkan aku dalam perdebatan.” Dia (Dawud) berkata, "Sungguh, dia telah

13
berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan)
kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu
berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu." Dan Dawud
menduga bahwa Kami mengujinya; maka dia memohon ampunan kepada Tuhannya
lalu menyungkur sujud dan bertobat.

Terhadap ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Para ulama tafsir sehubungan dengan
ayat ini telah mengetengahkan suatu kisah yang kebanyakan sumbernya berasal dari
kisah-kisah Israiliyat dan tidak ada suatu hadis pun dari Nabi saw. yang
menerangkannya sehingga dapat dijadikan sebagai pegangan. Akan tetapi, Ibnu Abu
Hatim sehubungan dengan masalah ini telah mengetengahkan sebuah hadis yang
sanadnya tidak sahih, melalui riwayat Yazid Ar-Raqqasyi dari Anas. Dan Yazid
sekalipun ia termasuk orang yang saleh, tetapi dalam periwayatan hadis predikatnya
lemah menurut penilaian para imam ahli hadis. Maka bisikan yang paling utama
ialah hanya membatasi diri terhadap kisah ini sebagai bahan bacaan semata,
mengenai pengetahuan yang sebenarnya kita kembalikan kepada Allah swt. Yang
Maha Mengetahui. Karena sesungguhnya Al-Qur’an merupakan hal yang hak, dan
apa yang terkandung di dalamnya pun adalah kebenaran.”23
Di dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim juga didapati riwayat-riwayat
Israiliyyat yang gharib (asing) yang tidak dikomentari oleh Ibnu Katsir walaupun ia
banyak memperingatkannya pada banyak bagian dalam kitabnya.24 Contohnya
seperti dalam penafsiran terhadap Q.S. Al-Baqarah ayat 258.

ُ‫ك إ ۡذ قَ َال إبۡ َرٰهِـ ُۧم َرب َى ٱلَّذِي يُ ۡحيۦ َو ُي ِميت‬َ ۡ ُ ۡ ُ َّ ُ ٰ َ َ ۡ َ ٓ َ َ ٰ َ ۡ َّ ٓ َ َّ َ َ َ ۡ َ َ


ِ ِ ِ ِ ‫ألم تر إِلى ٱلذِي حاج إِبرهِـۧم فِى ربِهِۦ أن ءاتىه ٱَّلل ٱلمل‬
َ ‫ت ب َها م َِن ٱل ۡ َم ۡغرب َف ُبه‬ َۡ ۡ َۡ َ ۡ َ َ َّ َّ َ ُ ‫قَ َال َأنَا ۠ أُ ۡحيۦ َوأُم‬
‫ت‬ ِ ‫أ‬ ‫ف‬ ‫ق‬ ‫ر‬ ‫ش‬ ‫م‬ ‫ٱل‬ ‫ِن‬‫م‬ ‫س‬ ِ ‫م‬
َّ
ۡ ‫ٱلش‬ ‫ب‬ ‫ى‬ ‫ت‬ ‫أ‬ ‫ي‬ ‫ٱَّلل‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ‫ف‬ ُ ‫ِيتۖٗ قَ َال إبۡ َرٰهِـ‬
‫ۧم‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َّ َ ۡ َ ۡ
َ ‫ٱلظٰلِم‬ َ ُ َّ َ َ َ َ َّ
٢٥٨ ‫ين‬ ِ ‫ٱَّلل لا َي ۡهدِي ٱلقوم‬ ‫ٱلذِي كفر ِۗ و‬
Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai
Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim
berkata, "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," dia berkata, "Aku
pun dapat menghidupkan dan mematikan." Ibrahim berkata, "Allah menerbitkan

23
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz VII, hlm. 51.
24
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hlm. 112.

14
matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat." Maka bingunglah orang
yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan, “Abdur Razzaq meriwayatkan dari


Ma’mar, dari Zaid bin Aslam, bahwa Raja Namrud menyimpan makanan pokok dan
orang-orang datang kepadanya untuk makanan itu. Lalu Namrud mengirimkan
sejumlah utusannya, mengundang Nabi Ibrahim untuk makanan tersebut. Setelah
terjadi perdebatan di antara keduanya, maka Nabi Ibrahim tidak diberi makanan itu
sedikit pun, sebagaimana orang-orang diberi makanan; bahkan dia keluar tanpa
membawa makanan sedikit pun. Ketika Nabi Ibrahim telah berada di dekat rumah
keluarganya, ia menuju ke suatu gundukan pasir, maka ia memenuhi kedua
kantongnya dengan pasir itu, kemudian berkata, “Aku akan menyibukkan
keluargaku dari mengingatku, jika aku datang kepada mereka.” Ketika ia datang, ia
langsung meletakkan pelana kendaraannya yang berisikan pasir itu dan langsung
bersandar, lalu tidur. Maka istrinya yaitu Siti Sarah bangkit menuju ke arah kedua
kantong tersebut, dan ternyata ia menjumpai keduanya dipenuhi oleh makanan yang
baik. Ketika Nabi Ibrahim terbangun dari tidurnya, ia menjumpai apa yang telah
dimasak oleh keluarganya, lalu ia bertanya, “Dari manakah kalian memperoleh
semua ini?” Sarah menjawab, “Dari orang yang engkau datang darinya." Maka Nabi
Ibrahim menyadari bahwa hal tersebut merupakan rezeki dari Allah yang
dianugerahkan kepadanya. Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa setelah itu Allah
mengirimkan seorang malaikat kepada raja yang angkara murka itu untuk
menyerunya kepada iman. Tetapi si raja menolak, lalu malaikat itu menyerunya
untuk yang kedua kalinya dan untuk yang ketiga kalinya, tetapi si raja tetap
menolak. Akhirnya malaikat berkata, “Kumpulkanlah semua kekuatanmu dan aku
pun akan mengumpulkan kekuatanku pula.” Maka Namrud mengumpulkan semua
bala tentara dan pasukannya di saat matahari terbit, dan Allah mengirimkan kepada
mereka pasukan nyamuk yang menutupi mereka hingga tidak dapat melihat sinar
matahari. Lalu Allah menguasakan nyamuk-nyamuk itu atas mereka. Nyamuk-
nyamuk itu memakan daging dan menyedot darah mereka serta meninggalkan
mereka menjadi tulang-belulang. Salah seekor nyamuk memasuki kedua lubang
hidung si raja, lalu ia bercokol di bagian dalam hidung si raja selama empat ratus
tahun sebagai azab dari Allah untuknya. Tersebutlah bahwa Raja Namrud memukuli

15
kepalanya dengan palu selama masa itu hingga Allah membinasakannya dengan
palu tersebut.”25
Contoh lainnya adalah penafsiran terhadap Q.S. Thaha ayat 20.

َ ٞ َ َ َََۡ
٢٠ ‫فألقى ٰ َها فإِذا ِه َي َح َّية ت ۡس َع ٰي‬
Lalu (Musa) melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular
yang merayap dengan cepat.

Di dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan, “Wahb bin Munabbih telah
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, “Lalu (Musa) melemparkan
tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.”
Maka Musa melemparkannya ke tanah. Ketika pandangan matanya tertuju kepada
tongkat itu, tiba-tiba ia menjumpainya telah berubah wujud menjadi ular yang
sangat besar yang baru ia lihat. Ular itu merayap seakan-akan sedang mencari
sesuatu yang hendak diterkamnya. Ular itu melewati sebuah batu besar yang
besarnya sama dengan unta yang paling besar, maka ia menelannya sekali telan. Dan
salah satu dari taringnya ia tancapkan ke sebuah pohon yang besar, lalu pohon itu
dicabutnya. Kedua mata ular itu menyala bagaikan api, sedangkan cabang yang ada
pada ujung tongkatnya itu berubah ujudnya menjadi mulut ular yang menyemburkan
api. Besarnya sama dengan sebuah sumur yang sangat lebar, di dalamnya dipenuhi
dengan gigi taring dan gigi kunyah, sedangkan dari mulut ular itu terdengar suara
desisan yang sangat keras. Ketika Musa menyaksikan pemandangan yang sangat
mengerikan itu, ia lari tanpa menoleh ke belakang. Musa pergi jauh hingga ia
merasa bahwa ular itu tidak akan mengejarnya. Musa ingat kepada Tuhannya, maka
ia berdiri dengan rasa malu kepada-Nya. Kemudian ia diseru, “Hai Musa,
kembalilah kamu ke tempat semula!” maka kembalilah Musa dengan hati yang
masih dipenuhi oleh rasa takut. Lalu dikatakan kepadanya, “dan jangan takut. Kami
akan mengembalikannya kepada keadaannya semula”. Saat itu Musa memakai baju
lapis yang terbuat dari kain wol (bulu). Maka tatkala ia diperintahkan untuk
memegang ular itu, ia melilitkan baju wolnya itu ke tangannya, tetapi malaikat
berkata kepadanya, “Hai Musa, bagaimanakah menurutmu jika Allah mengizinkan
terjadinya hal yang kamu hindari itu, apakah kain bajumu itu dapat memberikan

25
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz I, hlm. 526.

16
sesuatu manfaat kepadamu?” Musa menjawab, “Tentu tidak, tetapi saya adalah
makhluk yang lemah dan diciptakan dari sesuatu yang lemah.” Akhirnya Musa
melepaskan bajunya dari tangannya dan meletakkan tangannya ke mulut ular itu
sehingga ia mendengar desisan yang keluar dari mulut ular dan merasa taring yang
dipegangnya. Tiba-tiba dengan serta-merta ular itu menjadi tongkat seperti keadaan
semula. Dan tiba-tiba tangannya berada pada posisi semula sewaktu ia
memegangkan tangannya pada tongkatnya, yaitu pada kedua cabangnya. Karena
itulah disebutkan oleh firman-Nya, “Peganglah ia!” yakni dengan tangan kananmu.
“Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.” yakni kepada
keadaan semula yang biasa kamu kenal sebagai tongkat.”26

26
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz V, hlm. 247.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim atau Tafsir Ibnu Katsir ini tergolong ke dalam kitab
tafsir yang menggunakan metode tahlili (analitis) dengan mengambil bentuk
penafsiran bi al-ma’tsur. Kitab tafsir ini sangat memperhatikan riwayat-riwayat
yang dicatutkan di dalamnya. Oleh karena itu, kitab ini menduduki posisi kedua
dalam penafsiran bi al-ma’tsur setelah kitab tafsir karya ath-Thabari. Dalam
penafsirannya, Ibnu Katsir juga mencantumkan beberapa riwayat Israiliyyat. Dalam
kitab ini, riwayat-riwayat Israiliyyat tersebut dapat digolongkan menjadi dua
macam, yakni yang diberikan peringatan terhadapnya dan yang tidak diberi
komentar sama sekali.

B. Saran
Berkaitan dengan pembahasan “al-Dakhil dalam Tafsir Ibnu Katsir” ini, kami
menyadari bahwa dari berbagai referensi yang ada, masih banyak kesalahan dan
kekurangan dalam segi penulisan, sehingga terjadi kesalahpahaman dalam
memahaminya. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pribadi kami,
juga bagi para pembaca.

18
DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadits. Kairo:


Maktabah Wahbah, Tanpa Tahun.

Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Maktabah


Wahbah, Tanpa Tahun.

Al-Qaththan Manna’ Khalil, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah,


1995.

Az-Zuhaili, Muhammad. Ibn Katsir al-Dimasyqi: al-Hafizh al-Mufassir al-Muarrikh al-


Faqih. Damaskus: Dar al-Qalam, 1995.

Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Tanpa
Tahun.

Maliki. ‘Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya’, dalam Jurnal el-Umdah,
No. 1, (2018), hlm. 74-86.

Sofyan, Muhammad. Tafsir wal Mufassirun. Medan: Perdana Publishing, 2015.

19

Anda mungkin juga menyukai