Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah Swt, karena atas rahmat dan karunianya
penyusun dapat diberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah
Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan judul “Tokoh-Tokoh Mufassir dan Kitab-Kitab
Tafsirnya”.
Berhasilnya penyusunan makalah ini tidak lepas dari jasa berbagai pihak yang terkait,
mulai dari proses penyusunan sampai makalah ini selesai dibuat. Maka tidak berlebihan
untuk mengucapkan terimakasih khususnya kepada bapak M. IMAMUDDIN, M.A, selaku
dosen pembimbing mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits dan kepada segenap pihak
yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan
dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfat bagi siapa saja yang membacanya.

Malang, 28 Februari 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Biografi Ibnu Katsir ..................................................................................... 2
2.2 Biografi Imam Fakhruddin Ar-Razi ............................................................. 7
2.3 Metode Penafsiran Kitab Tafsir Ibnu Katsir ................................................ 10
2.4 Metode Penafsiran Kitab Tafsir Fakhrurrazi ................................................ 11
2.5 Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur....................................................................... 12
2.6 Pengertian Tafsir Bi Ar-Ra’yi ...................................................................... 14

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran islam dan pedoman hidup bagi setiap
muslim. Ulum Al-Qur’an atau Study Al-Qur’an merupakan ilmu yang sangat penting
untuk dimiliki oleh seseorang untuk bisa mengkaji lebih dalam lagi mengenai ayat-ayat
Al-Qur’an. Sedangkan Al-Hadits yaitu sumber ajaran islam kedua setelah Al-Qur’an
dan merupakan pedoman dan tuntunan bagi umat islam dalam melakukan seluruh
aktivitasnya, baik masalah ibadah, budi pekerti, sosialisasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan lain sebagainya.
Untuk mengungkap dan menjelaskan kandungan Al-Qur’an, diperlukan
kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang
dikandungnya. Untuk itulah diperlukan adanya tafsir.
Para mufassir telah berusaha membedah kandungan Al-Qur’an, dengan memberi
muradif (padan kata) pada lafazh-lafazh sulit Al-Qur’an, menerangkan arti bahasa
kiasan (kinayah), mengeluarkan hukum (istinbath), dan beberapa hal lain, dengan
perangkat penafsiran, seperti: asbab an-nuzul (sebab-sebab turun ayat), nasikh-mansukh
(ayat yang dinyatakan menghapus dan dihapus), jidal (perdebatan), qasam (sumpah),
dan lain-lain, untuk mendekati murad (keinginan) Allah dalam Al-Qur’an. Jerih payah
ini merupakan sumbangan berharga bagi pelestarian ajaran Al-Qur’an, membantu
pemahaman isi dan kandungan Al-Qur’an, sebatas kemampuan mufassir.
Jadi pada makalah ini akan di bahas mengenai tokoh-tokoh mufassir, di antaranya
Ibnu Katsir dan Fakhrurrazi, kitab tafsir masing-masing tokoh dan bagaimana metode
penafsirannya serta penjelasan tentang kitab tafsir bil ma’tsur dan kitab tafsir birra’yi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Ibnu Katsir dan Fakhrurrazi beserta Kitab-Kitab Tafsirnya?
2. Bagaimana Metode Penafsiran Kitab Tafsir Ibnu Katsir dan Fakhrurrazi?
3. Bagaimanakah Pengertian Kitab Tafsir Bil Ma’sur dan Kitab Tafsir Birra’yi?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Biografi Ibnu Katsir dan Fakhrurrazi beserta Kitab-Kitab
Tafsirnya.
2. Untuk Mengetahui Metode Penafsiran Kitab Tafsir Ibnu Katsir dan Fakhrurrazi.
3. Untuk Mengetahui Pengertian Kitab Tafsir Bil Ma’sur dan Kitab Tafsir Birra’yi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Ibnu Katsir


Namanya adalah Ismail bin Umar bin Katsir bin Dhau bin Dar’in yang biasa
dipanggil Abul Fida dan dijuluki dengan Imaduddin dan dikenal dengan sebutan Al-
Hafizh Ibnu Katsir. Di lahirkan di desa Mujadal negeri Syam pada tahun 701 H. Di usia
anak-anak dia pindah bersama saudaranya ke Damaskus untuk menuntut ilmu, dan
berguru kepada Ibnu ‘Asakir, Al-Miziy, Al-Fazari dan Ibnu Taimiyah. Dia termasuk
salah seorang pakar dalam bidang fikih, tafsir, nahwu, hadits, sejarah dan ilmu rijal
hadits. Kesibukannya sebagai mufti dan pengajar.1
Di antara karyanya adalah Al-Bidayah wa an-Nihayah dalam ilmu sejarah, Tafsir Al-
Qur’an al-‘Azhim yang terkenal dengan Tafsir Ibnu Katsir, Tabaqat asy-Syafiyah dan
Al-Ba’its Al-Hatsits ila ma’rifati Ulum Al-Hadits. Dia wafat di Damaskus pada tahun
774 H.2
Dalam sumber lain juga dijelaskan bahwa Abu Al Mahasin Ad-Dimasyqi
berkomentar di dalam “Dzail Tadzkiratul Huffazh”:3
Ibnu Katsir adalah seorang syaikh, al imam, al alim, al hafizh, al mufid, tokoh
kaliber. Ia adalah Imaduddin Abu Fida Isma’il bin Umar bin Katsir bin Dzar’ Al
Bashrawi, Ad-Dimasyqi, Asy-Syafi’i (bermadzhab Syafi’i).
Ia lahir di dusun Mijdal, termasuk bagian kota Bushra pada tahun 706 H. Ia
menimba ilmu dari syaikh Burhanudin Al Fazari dan yang lainnya. Ia juga mendengar
dari Ibnu Suwaid, Al Qasim, Ibnu Asakir, dan banyak lagi.
Ia juga menjalin hubungan keluarga (menjadi menantu) dengan al hafizh Al-Mazyi,
maka ia pun banyak meriwayatkan darinya, berfatwa, menelaah, dan berdiskusi
dengannya. Ia sangat mumpuni dalam fiqih, tafsir, nahwu, dan sangat mengerti tentang
kondisi para perawi dan kritikus hadits.
Ia dipercaya memimpin majelis pengajian Ummu Shalih setelah Adz-Dzahabi.
Adz-Dzahabi menyebutkan di dalam “Masudah Thabaqat Al Hufazh dan Al Mu’jam
Al Mukhtash”: Ia adalah seorang yang fakih (mumpuni dalam ilmu fikih), solid,

1
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2007), hal. 348
2
Ibid.
3
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Derajat Hadits-Hadits dalam Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Putaka
Azzam, 2007), hal. 7
2
muhaddits, mufassir, pengkritik, dan memiliki beberapa karangan mushannaf yang
sangat baik.
Diantara mushannafnya adalah:
Kitab “At-Takmil fi ma’rifati ats-tsiqat wa adh-dhu’afa wa al majahil”. Ia
menggabung antara kitab “Tahdzib” dan “Al Mizan” yang meliputi 5 jilid.
Kitab “Al Bidayah wa An-Nihayah” yang meliputi 54 juz.
Kitab “Al Hadyu wa As-Sunan fi Ahadits Al Masanid wa As-Sunan” di dalamnya ia
menggabungkan antara hadits-hadits dari Musnad Imam Ahmad, Al Bazzar, Abu Ya’la,
Ibnu Abu Syaibah, hingga kutub sittah (enam kitab hadits terkemuka).
Al Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir mengabarkan kepadaku dengan membacanya, ia
berkomentar, “Abu Abbas Ahmad bin Abu Thalib mengabarkan kepada kami, juga
Ahmad Al Madzkur mengijazahkan kepadaku, ia berkata, Abu Manja bin Latta
mengabarkan kepadaku, ia berkata, Abu Al Waqt Ash-Shufi mengabarkan kepadaku, ia
berkata, Al Laits bin Sa’d meriwayatkan kepada kami dari Abu Zubair, dari jabir RA, ia
berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak seorang pun masuk neraka dari mereka yang ikut berbaiat di bawah pohon.”
HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dari Qutaibah dari Al-Laits. (Al Ba’its Al
Hatsits Syarh Ulum Al Hadits)
Nasab, kelahiran, dan guru-gurunya4
Dia adalah Abu Al Fida Imaduddin Isma’il bin syaikh Abu Hafsh Syihabuddin
Umar, ia adalah khatib di daerahnya, Ibnu Katsir bin Dhau’ bin Katsir bin Zar’ Al
Qursyi, asal Al Bashrawi. Tumbuh besar di Damaskus dan mendapatkan pendidikan di
sana.
Ia dilahirkan di desa Mijdal termasuk bagian kota Bushra, sebelah timur Damaskus
tahun 701 H. Ayahnya adalah seorang khatib yang wafat pada saat ia berusia 4 tahun.
Kemudian saudaranya, syaikh Abdul Wahhab, ia juga belajar fikih darinya pada
permulaan pengenalannya terhadap khazanah keilmuan.
Kemudian ia pindah ke Damaskus tahun 706 H, pada saat usianya 5 tahun.
Kemudian ia memperdalam fikih kepada syaikh Burhanuddin Ibrahim bin Abdurrahman
Al Fazari yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Farhah, wafat tahun 729. Ia
mendengar ilmu di Damaskus dari Isa bin Muth’im, dari Ahmad bin Abu Thalib yang
mencapai usia lebih dari 100 tahun, ia lebih tersohor dengan sebutan Ibnu Syahnah dan
Hijar, wafat tahun 730.

4
Ibid, hal. 8
3
Juga, dari Ibnu Qasim bin Asakir, Ibnu Syairazi, Ishaq bin Amidi, Muhammad bin
Zarrad.
Ia menyertai syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki Al Mazyi, pemilik kitab “Tahzdib
At-Tahzdib” dan “Athraf Al Kutub As-Sittah” wafat tahun 742 H. Ia banyak mengambil
manfaat (ilmu) darinya, takhrij, dan menikahi anak perempuannya. Ia juga banyak
membacakan kitab kepada syaikh Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah wafat tahun 728 dan
konsisten mengikutinya, mencintainya, serta banyak mengambil manfaat dari ilmunya.
Juga kepada syaikh Al Hafizh ahli sejarah Syamsuddin Adz-Dzahabi Muhammad
bin Ahmad bin Qaimaz wafat tahun 748.
Juga yang memberinya ijazah di Mesir adalah Abu Musa Al Qarafi, Al Husaini, Abu
Al Fath Ad-Dabusi, Ali bin Umar Al Wani, Yusuf Al Khatni, dan yang lainnya.
Al Hafizh Ibnu Hajar berkomentar di dalam “Ad-Durar Al Kaminah”: ia senantiasa
berusaha keras dan sibuk dalam mempelajari hadits, mengenai matan, perawi, dan
banyak merangkum. Ia sangat baik dalam canda dan bersosial, buku karangannya ia
terapkan dalam kehidupannya sehari-hari, dan bagi banyak orang merasakan manfaat
sepeninggalnya, tidak ada seorang pun yang mengklaimnya kurang baik dalam ilmu
hadits, ia cenderung disebut sebagai sebagai muhaddits yang ahli dalam fikih.”
As-Suyuthi mengomentari hal itu dengan mengatakan, “Ia adalah seorang yang patut
dijadikan panutan dalam pengetahuan mengenai kedudukan hadits, yang shahih, lemah,
cacat, perbedaan-perbedaan jalur dan para perawinya, serta jarh wa ta’dil. Adapun
mengenai Al Ali wa An Nazil dan sejenisnya, semua itu hanya tambahan, dan bukan
dasar-dasar yang penting.”5
Sejarawan tersohor, Abu Al Mahasin Jamaludin Yusuf bin Saifudin yang lebih
dikenal dengan sebutan Ibnu Taghari Burdi Al Hanafi di dalam kitabnya “Al Minhal
Ash-Shafi” dan “Al Mustaufi Ba’dal Wafi”: syaikh imam Al Allamah Imaduddin Abu
Al Fida senantiasa menyibukkan diri dalam ilmu, konsisten, menyimpulkan dan
berkarya, ia mahir dalam fikih, tafsir, dan hadits, ia menghimpun, menulis, meneliti,
membuat disiplin ilmu yang baru, dan mengarang. Ia sangat banyak meneliti hadits,
tafsir, fikih, bahasa Arab, dan lainnya. Juga berfatwa dan senantiasa mempelajari hal
baru hingga wafat.
Ia sangat terkenal dengan akurasi dan kejeliannya, ia adalah pemuka dalam berbagai
bidang ilmu, sejarah, tafsir, dan hadits. Ia pernah berucap dalam bait syairnya: 6

5
Ibid, hal. 9
6
Ibid, hal. 10
4
“Hari-hari berlalu, kita digiring menuju ajal yang telah ditentukan dengan mata
yang senantiasa mengawasi
Masa muda yang telah berlalu takkan pernah kembali, uban yang terus tumbuh tak
dapat dihindari.”
Murid-muridnya sangat banyak, diantaranya adalah: Ibnu Hajar yang berkomentar
tentangnya, “Ia adalah orang yang paling hafal matan hadits yang pernah kami jumpai,
yang paling mengerti tentang jarh wa ta’dil, rijal hadits, kedudukan shahih dan dha’if,
semua sahabat dan guru-gurunya mengakui hal itu. Setiap kali menghadiri halaqah yang
ia pimpin, saya senantiasa mendapatkan hal yang baru darinya meskipun intensitas
pertemuan itu sangat ketat.”
Ibnu Imam Al Hambali berkata di dalamnya “Syadzarat Adz-Dzahab”, “Al Hafizh
Al Kabir Imaduddin telah hafal At-Tanbih wa Ardhuhu pada usia 18 tahun, ia hafal
“Mukhtashar Ibnu Hajib”, banyak merangkum, jarang lupa, memiliki pemahaman yang
sangat baik, menguasai ilmu bahasa Arab, dan membuat nadzam yang sederhana.
Ibnu Habib berkomentar tentangnya, “Ia banyak mendengar, menghimpun dan
menyusun, paling peka saat mendengar fatwa, meriwayatkan dan memberi manfaat,
berbagai fatwanya terbesar ke seantero negeri, dan ia terkenal dengan akurasi dan
kejeliannya.”
Kitab-kitab besar dan berbagai mukhtasar karangannya
1. Diantara yang pernah dia karang adalah: Tafsir Al Qur’an Al Karim, ia termasuk
salah satu kitab tafsir yang banyak memberikan manfaat mengenai riwayat,
menafsirkan Al Qur’an, kemudian dengan hadits-hadits yang masyhur yang
terdapat dalam diwan para muhadditsin dengan berbagai sanadnya, ia banyak
mengomentari sanad-sanad itu dari sisi jarh wa ta’dil. Ia biasa menjelaskan
kejanggalan dan keanehan yang terdapat dalam sanad-sanad tersebut, kemudian
menyebutkan atsar para sahabat dan tabi’in. As-Suyuthi berkomentar dalam hal ini,
“Tidak pernah dikarang kitab yang sepertinya.”7
2. Kitab sejarah yang diberi nama “Al Bidayah wa An-Nihayah” yang banyak
menyebutkan tentang kisah para nabi dan umat-umat terdahulu yang tertera dalam
Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Ia menjelaskan berbagai penyimpangan,
kejanggalan dan kisah-kisah israiliyat, kemudian meneliti sejarah hidup nabi (sirah
nabawiyah) dan sejarah umat islam hingga zamannya. Kemudian menjelaskan pula
tentang bencana dan malapetaka (fitan), tanda-tanda kiamat, malahin, dan kondisi

7
Ibid, hal. 11
5
akhirat. Ibnu Taghari Burdi berkata, “Ia sangat baik dalam memaparkan semua itu,
Al Badri Al Aini pun mengikuti jejaknya dalam sejarah.”
3. Kitab “At-Takmil fi Ma’rifati Ats-Tsiqat wa Adh-Dhua’afa, wa Al Majahil” yang
mana ia menghimpun dua kitab gurunya syaik Al Mazyi dan Adz-Dzahabi, yakni
kitab “Tahdzibul Kamal fi Asma’i Ar-Rijal” dan “Mizan Al I’tidal fi Naqd Ar-Rijal”
dengan memberikan berbagai tambahan yang sangat baik dan berguna dalam hal
jarh wa ta’dil.
4. Kitab “Al Huda wa Sunan fi Alhadits Al Manasid wa Sunan” yaitu yang lebih
dikenal dengan “Jami’ Al Manasid”, ia menggabung antara Musnad Ahmad, Al
Bazzar, Abu Ya’la, Ibnu Abi Syaibah, dan kutub sittah; dua kitab shahih dan empat
Sunan, dan ia menyusunnya berdasarkan bab-bab pembahasan.8
5. “Thabaqat Syafi’ah” satu jilid sederhana dilengkapi manaqib Syafi’i.
6. Ia mentakhrij hadits-hadits “Adillah At-Tanbih” dalam fikih Syafi’i.
7. Ia mentakhrij hadits-hadits “Mukhtassar Ibnu Hajib Al Ashli.”
8. Membuat Syarah Bukhari, namun tidak menyempurnakannya.
9. Membuat kitab besar mengenai hukum, namun tidak menyempurnakannya, dan
sudah sampai pada bab tentang haji.
10. Membuat ringkasan kitab Ibnu Shalah dalam ilmu hadits. Al Hafizh Al Asqalani
berkata, “Ia banyak memberi manfaat dalam kitab itu.”
11. Musnad Syaikhaini, yakni Abu Bakar RA dan Umar RA.
12. Sirah nabawiyah yang panjang lebar. Ia menyebutkannya pada saat menafsirkan
surah Al Ahzaab dalam kisah perang Khandak.
13. Ringkasan sirah nabawiyah yang diterbitkan di Mesir pada tahun 1358 H. Dengan
nama “Al Fushul fi Ikhtishar Sirah Ar-Rasul”.
14. Kitab “Al Muqaddimat” yang ia sebutkan dalam ringkasan Muqaddimah Ibnu
Shalah dan menyempurnakannya.
15. Mukhtashar kitab Madkhal lil Baihaqi, sebagaimana telah disebutkan dalam
muqadimah risalah ini, yaitu “Ikhtisar Ulum Al Hadits.”
16. Risalah fil Jihad. Telah diterbitkan.
Wafatnya
Pengarang “Minhal Ash-Shafi” berkata, “Ia wafat pada hari Kamis, tanggal 26
Sya’ban, tahun 774 H pada usia 74 tahun.9

8
Ibid, hal. 12
9
Ibid, hal. 13
6
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ia kehilangan penglihatan (buta) di akhir usianya.
Semoga Allah senantiasa merahmati dan meridhainya.”

2.2 Biografi Imam Fakhruddin Ar-Razi


Namanya adalah Muhammad bin Umar bin Hasan Taimiy Al-Bakri, yang biasa
dipanggil Abu Abdullah dijuluki dengan Fakhrurrazi. Dilahirkan di kota Raz pada tahun
544 H. Bernasab Quraisy asalnya dari Thabrastani, tempat kelahirannya di desa Raz
maka disebut Razi. Pergi menuntut ilmu, sibuk dengan studi ilmu kalam, hikmah,
falsafah, fikih, ushul fikih, tafsir, adab, bahasa, falak, hadits. Semuanya dikuasai dan
ditulis. Dia mengajar dan mengawasi serta memberi nasehat dengan dua bahasa, Arab
dan Prancis. Sangat menjiwai nasehatnya sehingga banyak orang menangis terharu
bersamanya.10
Memperoleh kedudukan yang tinggi dalam dunia hukum, baik oleh para hakim
maupun terdakwa. Mendirikan majlis ta’lim dengan para tokoh, raja, pimpinan, menteri,
pejabat pemerintah, kaum fakir miskin dan rakyat umum. Banyak yang mendapat
petunjuk dengan nasehat darinya dan kembali dari kesesatan. Berkeliling ke
Khawarizm, negeri timur, Khurasan dan menetap di Harah.11
Pada masanya, antara dalil nash, logika dan realita menjadi satu argumentasi yang
tidak terpisahkan. Karyanya antara lain: Al-Mathalib al-Aliyah dalam ilmu kalam,
Mafatih al-Ghaib dalam ilmu tafsir, Al-Mahsul fi ilmi al-Usul dalam ilmu ushul fikih,
Syarh al Mufashil li az-Azamakhsyari dalam ilmu nahwu, Sarh al-Wajiz li al-Ghazali
dalam ilmu fikih, Ta’jiz al-Falasifah dalam ilmu filsafat. Mengakhiri hayatnya di Harah
pada tahun 606 H.12
Dalam sumber lain juga menjelaskan bahwa, nama lengkap Ar-Razi adalah Abdullah
Muhammad bin Umar bin Husain Hasan bin Ali at-Tamimi al-Bakri al-Habarastani ar-
Razi, penganut faham Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 544 H,13 tepatnya di kota Ray
yaitu sebuah kota terkenal di negara Dailan dekat kota Khurasan. 14 Beliau adalah anak
cucu dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., yang bernasab suku bangsa Quraisy.15 Adapun

10
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2007), hal. 348-349
11
Ibid, hal. 349
12
Ibid.
13
Muhammad Husain adz-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Dar al-fikr, Beirut, Juz I, t.th, hlm.290
14
Imam Fakhr al-Din ar-Razi, Tafsir al-kabir, Juz I, Dar al-Fikr, Beirut, 1990, hlm.3
15
Muhammad al-Hilawi, Mereka Bertanya Tentang Islam, Gema Insani, Jakarta, 1998, hlm.26
7
dalam kitab “Manna Khalil al-Qaththan” menyebutkan ar-Razi lahir pada tahun 543
H.16
Fakhruddin ar-Razi adalah ulama yang sangat terkenal dan besar pengaruhnya yang
tiada tandingannya pada saat itu, yang menguasai berbagai disiplin keilmuan baik di
bidang ilmu-ilmu sosial maupun bidang ilmu-ilmu alam (eksakta) ar-Razi juga seorang
sastrawan, penyair, ahli fiqh, ahli tafsir, ahli hikmah, ahli ilmu kalam, dan seorang
dokter medis dan sebagainya. Sehingga tidak diragukan lagi banyak para ilmuwan yang
belajar kepada beliau baik para ilmuwan dalam negeri maupun para ilmuwan luar
negeri.
Pendidikan awal diterima dari orang tuanya yang bernama Dziya’uddin Umar,
seorang ulama dan pemikir yang dikagumi masyarakat Ray. Selanjutnya, ar-Razi belajar
kepada ulama-ulama besar lainnya. Filsafat dipelajarinya dari dua ulama besar bernama
Muhammad al-Baghawi dan Majdin al-Jilli, ilmu kalam dipelajarinya dari Kamaluddin
al-Samawi.17
Imam ar-Razi menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan yang melingkupinya
yang berhubungan langsung dengannya, sehingga terpantul padanya pribadi yang
istimewa, sehingga terbentuklah pribadinya itu sebagai pribadi ilmiah yang dicetak
dengan cetakan ilmu pengetahuan. Maka Imam ar-Razi adalah seorang sastrawan,
penyair, ahli fikih, ahli tafsir, ahli hikmah, ahli ilmu kalam, dan seorang dokter medis.18
As-Subuki mengomentari keberadaan Imam Fakhruddin ar-Razi ini dengan
mengatakan, “Ia adalah imamnya para mutakallim, ahli ilmu kalam, luas pandangannya
dalam mengomentari berbagai bidang ilmu, mendalam pengetahuannya tentang hakikat
manthuq (dalil yang tertulis) dan mahfum (pemahamannya), sangat tinggi kasih
sayangnya, dengan kemampuannya yang tinggi maka tersusunlah untaian agama Islam
yang terulang dalam berbagai pembahasan dan disiplin ilmunya”19
Adapun karya-karya yang terpenting adalah:
1. Bidang Tafsir
At-Tafsir al-Kabir li al-Qur’an al-Karim (Mafatihul Ghaib);
Miftah al-Ulama, surat al-Fatihah
2. Bidang Fiqih
Al-Mahshal fi al-Fiqhi;

16
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir. AS., Litera Antar Nusa, Jakarta, 1992,
hlm.529
17
Sirajudin, Ak., dkk., Ensiklopedi islam, PT. Ikhtiar Baru van Howe, Jakarta, 1993, hlm. 327
18
Muhammad al-Hilawi, op.cit, hlm. 17.
19
Ibid, hlm. 18
8
Syarh al-Wajiz Fi al-Fiqhi li al-Ghazali.
3. Bidang Ushul Fiqih;
Al-Mahshul fi ushul al-Fiqhi;
Al-Ma’alim fi Ushul al-Fiqhi.
4. Bidang Ilmu Kalam:
Al-Qadha’ wa al-Qadar;
Al-Mahshul fi Nihayati’ Uqul fi Ilmi al-Ushul;
Al-Bayan wa al-Burhan Fi ar-Radd ‘ala Ahliz Zaigh wa ath-Thughyan;
5. Bidang Filsafat:
Al Mahabits al-Masyraqiyyah;
Al-Mulakhkhsh fii-Filsafah
Al-Mathalib al-‘Aliyah fil-Hikmah
6. Bidang Kedokteran
Masail fi ath-Thibb;
Al-Jami’ul Kabir fi ath-Thibb;
At-Tasyrih Minar Ra’si il al-Halqi
7. Bidang Ilmu Bahasa dan Balaghah
Nihyatal-‘Ijaz fi Dirasat al-I’jaz;
Syarh al-Mufhashal liz-Zamakhsyari.
8. Bidang Biografi dan Zuhud:
Fadhlush shahabah ar-Rasyidin;
Manaqib al-Imam asy-Syafi’i
Dzamm ad-Dunya.
Ia juga menyusun ensiklopedi ilmu pada tahun 574 Hijriyah. Seandainya Imam
Fakhruddin ar-Razi tidak meninggalkan karya tulisnya, selain Tafsir al-Kabir atau
Mafatih al-Ghaib, maka hal itu sudah menunjukkan kehebatan dan keilmuannya.20
Ar-Razi wafat pada hari senin 1 Syawal 606 H menurut pendapat ash-Subhi, sedang
menurut pendapat al-Qifthi, ar-Razi meninggal pada bulan Dzulhijjah pada tahun yang
sama.21 Dan dalam kitab “Manna al-Qaththan” disebutkan bahwa, ar-Razi wafat di
Harah pada tahun 606 H.22

20
Ibid., hlm. 20-21
21
Imam Fakhruddin ar-Razi, op.cit, hlm. 10
22
Manna Khalil al-Qaththan, op.cit, hlm. 529
9
2.3 Metode Penafsiran Kitab Tafsir Ibnu Katsir
M. Hasbi ash-Shiddieqy membagi corak-corak tafsir dan aliran-alirannya kepada
sebelas golongan, di mana dia menunjuk jurusan yang dianut tafsir-tafsir yang ada
dalam masyarakat. Corak dan aliran itu, adalah:
1. tafsir bi al-ma’tsur;
2. tafsir ulama’ kalam;
3. tafsir ulama’ tasyri;
4. tafsir ulama’ qawa’id
5. tafsir ulama’ balaghah;
6. tafsir ulama’ qira’at;
7. tafsir ulama mawa’izh ahli shufy;
8. tafsir dari ahli kisah;
9. tafsir shufy;
10. tafsir gharaib; dan
11. tafsir yang menitikberatkan pada pembelaan madzhab.23
Sedang al-Farmawi, membagi metode tafsir yang selama ini dipakai ulama’
menjadi empat metode, yaitu:
1. Metode tabliliy;
2. Metode ijmaliy;
3. Metode muqaran; dan
4. Maudhu’iy.
Kemudian dari empat metode tersebut, metode tabliliy diperinci menjadi tujuh
corak, yakni;
1. At-tafsir bi al-ma’tsur;
2. At-tafsir bi ar-ra’y;
3. At-tafsir as-shufi;
4. At-tafsir al-fiqhi;
5. At-tafsir al-falsafi;
6. At-tafsir al-‘ilmi; dan
7. At-tafsir al-adab al-ijtima’i24
Dari pembagian di atas, Tafsir Ibn Katsir menunjuk kepada metode tahliliy, suatu
metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan seluruh
aspeknya. Mufassir mengikuti susunan ayat sesuai mushaf (tartib mushhafi),

23
Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsir, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), hal. 62-63
24
Ibid, hal. 64
10
mengemukakan arti kosakata, penjelasan arti global ayat, mengemukakan munasabah
dan membahas sahab an-nuzul, disertai Sunnah Rasul, pendapat sahabat, tabi’un dan
pendapat penafsir itu sendiri dengan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan
sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang
dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’an tersebut.
Dalam Tafsir Ibn Katsir aspek arti kosakata dan penjelasan arti global, tidak selalu
dijelaskan. Kedua aspek tersebut dijelaskan ketika dianggap perlu. Atau, kadang pada
suatu ayat, suatu lafazh dijelaskan arti kosakatanya, sedang lafazh yang lain dijelaskan
arti globalnya karena mengandung suatu term (istilah), bahkan dijelaskan secara
terperinci dengan memperlihatkan penggunaan term itu pada ayat-ayat lainnya.
Disampaikan pula beberapa ayat yang menjadi latar belakang penjelasannya tersebut,
yaitu:
a. Fushhilat [41]: 44;
b. Al-Isra’ [17]: 82;
c. Yunus [10]: 57.25
Aspek asbab an-nuzul, Ibn Katsir tergolong ulama’ yang tidak intensif
menyampaikannya pada ayat-ayat atau surat-surat yang oleh beberapa mufassir lain
disampaikan.
Terhadap dua riwayat asbab an-nuzul atas satu ayat yang sama Ibn Katsir
menyatakan bahwa kedua-duanya sama-sama menjelaskan asbab an-nuzul, tapi
berhubung jarak waktu terjadinya jauh, maka bentuk komprominya adalah ayat itu
diturunkan dua kali.26

2.4 Metode Penafsiran Kitab Tafsir Fakhrurrazi


Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib merupakan karya monumental ar-Razi, dalam
menafsiri surat al-Fatihah yaitu berisi sanggahan-sanggahan dan pendapat-pendapat
ahli.
Al-Shofwadi dalam kitabnya al-Wafi bi al-Wafiyat berkata: ar-razi dalam mebahas
suatu permasalahan dalam kitabnya menggunakan metode yang belum pernah dijumpai
sebelumnya, karena beliau mulai menulis dengan menyodorkan masalah. Kemudian
mengklasifikasikan maslah tersebut lalu membahasnya dengan beberapa dalil, maka
tidak ada satupun masalah yang tidak dibahas, kemudian mengemukakan kaidah-kaidah
dengan menarik kesimpulan dari masalah tersebut. Sesungguhnya Imam ar-razi dalam

25
Ibid.
26
Ibid, hal. 65
11
menulis kitabnya adalah sarat ilmu hikmah dan ilmu filsafat, mengupas satu persatu
masalah sampai timbul kekaguman orang yang membacanya.27
Terhadap hadits, ar-Razi sangat sedikit menggunakannya sebagai pedoman dalam
menafsirkan sampai diskusi maslah fiqh, beliau hanya menggunakan pendapat-pendapat
ahli fiqh.
Syair banyak digunakan untuk memecahkan masalah bahasa, balaghah dan
kesesuaian bacaan. Ini menunjukkan bahwa ar-Razi sangat pandai bahasa Arab.
Asbab al-nuzul banyak dikemukakan oleh ar-Razi dalam kitab tafsirnya, baik itu
asbab al-nuzul yang bersanad maupun tidak, namun kebanyakan beliau menggunakan
asbab al-nuzul yang bersanad kepada sahabat atau tabi’in.28
Dalam menjelaskan munasabah antara satu ayat dengan ayat yang lain dan antara
satu surat dengan surat yang lain sangat berbeda dengan ahli tafsir yang lain ar-Razi
tidak cukup menyebutkan satu kesesuaian, tetapi disebut beberapa korelasi bahkan lebih
banyak.29
Ar-Razi dalam kitab tafsirnya banyak membahas ilmu-ilmu yang baru berkembang
pada saat itu seperti ilmu eksakta, fisika, falaq, filsafat dan kajian-kajian masalah
ketuhanan menurut metode dan argumentasi para filosof yang rasional. 30 Imam Ibnu
Athitah berkata: “dalam kitab Imam ar-Razi, segalanya ada, kecuali tafsir itu sendiri”.
Namun sesungguhnya Imam ar-Razi banyak berbicara tentang masalah-masalah ilmu
kalam dan tinjauan-tinjauan terhadap alam semesta, beliau telah berbicara tentang tafsir
al-Qur’an.31

2.5 Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur


Tafsir bil al-Matsur disebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul yaitu tafsir al-
Quran yang dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan atas sumber penafsiran
dalam Al-Quran dari riwayat para sahabat dan dari riwayat para tabi’in. Sebagaimana
definisi oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H. A dalam manaa’ul Qaththan. 32
‫هوالذي يعتمد علي صحيح المنقول بالترتيب القران بالقران او بالسنة النها جائت مبينة‬
‫لكتاب هللا او بماروي عن الصحابة النهم اعلم لناس بكتاب هللا او بما قال كبار التابعين ال نهم تلقو‬
.‫ذلك غالبا عن الصحابة‬

27
Imam fakhr ar-Razi, op.cit, hlm. 8-9
28
Ibid.
29
Muhammad Husain adz-Dzahabi, op.cit, hlm. 294
30
Manna Khalil Qaththan, op.cit, hlm. 301
31
Manna Basunni, Tafsir-Tafsir al-Qur’an, t.tp., Bandung, 1997, hlm. 80
32
Ibid, hlm. 120
12
“Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang
shahih yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan sunnah karena
ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah
yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh
besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.”33
Adapun ulama yang menyetujuinya diantaranya adalah ibnu katsir, Jalaluddin As
Sayuthi, Al Wahidy, Abu Ja’far An Nahhas.
Tafsir bil ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zaman ini tafsir bil ma’tsur
dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW atau dari sahabat oleh
sahabat, serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatannya, cara
seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya
menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan,
pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir
menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku – buku yang memuat
khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi Muhammad Saw, para
sahabat, tabi’in al tabi’in.
Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali
kitab yang dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta
mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat al-qur’an. Pada perkembangan
selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa
mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat-
pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatan yang shahih atau tidak.
Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi-studi kritis yang berhasil
menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufassir dapat
berhati-hati. Hal ini kita temukan ketika menafsirkan Al-Quran pada ayat yang mujmal
ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat Al-Quran yang mutlaq dengan ayat Al-
Quran yang muqayyad.
Namun perlu kita tekankan juga bahwa dalam perkembangan tafsir bil ma’tsur
sendiri, tidak bisa terlepas dari unsur ra’yi. Walaupun pada masa ini belum begitu
dikenal adanya tafsir bil ra’yi tetapi mereka dalam melakukan penafsiran bil ma’tsur
tidak bisa lepas dari unsur ra’yi secara tidak langsung. Begitupun dalam penafsiran bil
ra’yi mereka tidak serta lepas dari tafsir bil ma’tsur.

33
Ibid, hlm. 122
13
2.6 Pengertian Tafsir bi Al-Ra’yi
Kata al-Ra’yi berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut
definisinya, tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada
pendapat pribadi mufassir, setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat istiadat
bangsa Arab.34
Tafsir bi al-Ra’yi adalah antonim (lawan) nash dan riwayat. Oleh karena itu, ia
dinamakan dengan tafsir bi al-Dirayah (dengan rasio) sebagai antitesis tafsir bi al-
Riwayah (dengan riwayat). Dan makna al-Ra’yi adalah ijtihad dan olah pikir serta
penelitian dalam memahami al-Qur’an dalam batas pengetahuan tentang bahasa Arab
dan dalam kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh penafsir al-Qur’an dari
perangkat syarat keilmuwan dan akhlak.
Berdasarkan pengertian etimologi, Ra’yi berarti keyakinan (i’tiqad), analogi
(qiyas), dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian,
tafsir bi al-Ra’yi disebut juga tafsir bi al-Dirayah. Sebagaimana di definisikan Husen
Adz-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan
pemikiran mufassir yang telah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum
yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab an-nuzul, nasikh-mansukh,
dan sebagainya. Al-Farmawi mendefinisikan tafsir bi al-Ra’yi sebagai penafsiran al-
Qur’an dengan ijtihad setelah mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang
digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan ia pun mengetahui kosakata Arab
beserta muatan artinya.
Menurut al-Shabuni, tafsir bi al-Dirayah berarti tafsir yang berdasarkan ijtihad
dengan berpegang kepada prinsip-prinsip yang benar dan kaidah-kaidah yang benar,
yang umum berlaku, yang wajib dimiliki kepada siapa saja yang mau terjun langsung ke
dalam dunia menafsirkan al-Qur’an, atau siapa saja yang mau menyingkap keterangan-
keterangan arti ayat-ayat al-Qur’an.
Istilah ra’yun dekat maknanya dengan ijtihad (kebebasan penggunaan akal) yang
didasarkan atas prinsip-prinsip yang benar, menggunakan akal sehat dan persyaratan
yang ketat. Wajib bagi seseorang mufassir memperhatikan secara teliti tentang subyek
penafsiran kitab suci. Al-Qurthubi menyatakan barangsiapa yang mengucapkan sesuatu
berdasarkan pikiran dan kesannya tentang al-Qur’an atau memberikan isyarat-isyarat

34
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir. AS., Litera Antar Nusa, Jakarta, 1992,
hlm.600
14
dengan sengaja tentang prinsip dasar, ia patut dicap telah melakukan kesalahan dan
penyimpangan, dan kepribadian orang tersebut tidak dapat dipercaya.
Dari definisi di atas, perlu ditekankan bahwa yang dimaksud ijtihad di sini, bukan
hanya semata-mata ijtihad, atau karena hobi, akan tetapi mempergunakan akal dalam
mufassir tersebut sudah dapat mengetahui ungkapan-ungkapan bahasa Arab dari
berbagai aspeknya, seperti kebiasaan-kebiasaan orang-orang Arab mengungkapkannya,
atau pemakaian kata tersebut, mengetahui asbab an-nuzul, mengetahui nasikh-mansukh
dari ayat-ayat al-Qur’an.
Tafsir bi al-Ra’yi muncul sebagai corak penafsiran belakangan setelah tafsir bi al-
Ma’tsur muncul walaupun sebelum itu ra’yu dalam pengertian akal sudah digunakan
para sahabat ketika menafsirkan al-Qur’an. Apalagi kalau kita melihat bahwa salah satu
sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.35
Di antara sebab yang memicu kemunculan corak tafsir bi al-Ra’yi adalah semakin
majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu,
karya-karya para ulama, berbagai metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya
masing-masing. Akibatnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar
belakang ilmu yang dikuasainya.
Di antara mereka, ada yang lebih menekankan telaah balaghah seperti az-
Zamakhsyari, telaah hukum-hukum syara’ seperti al-Qurthubi, telaah keistemewaan
bahasa, seperti Abi As-Su’ud, atau qira’ah seperti An-Naisaburi dan An-Nasafi, telaah
madzhab-madzhab kalam dan filsafat, seperti Ar-Razi dan telaah lainnya. Hal ini dapat
dipahami sebab di samping sebagai seorang mufassir, seseorang dapat saja ahli dalam
bidang fikih, bahasa filsafat, astronomi, kedokteran, atau kalam.
Kemunculan tafsir bi al-Ra’yi dipicu oleh hasil interaksi umat Islam dengan
peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, dalam tafsir bi al-
Ra’yi, peranan akal sangat dominan.
Pendek kata, berbagai corak tafsir bi al-Ra’yi muncul dikalangan ulama-ulama
mutaakhirin, sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan
sastra Arab seperti Tafsir al-Manar, dan dalam bidang sains muncul pula karya Jawahir
Thanthawi dengan judul Tafsir al-Jawahir. Melihat, perkembangan tafsir bi al-Ra’yi
yang demikian pesat, maka tepatlah apa yang dikatakan Manna’ Al-Qaththan bahwa
tafsir bi al-Ra’yi mengalahkan perkembangan al-ma’tsur.

35
Ibid, hlm. 122
15
Meskipun tafsir bi al-Ra’yi berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya
para ulama terbagi dua, ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Tapi
setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi
(redaksional). Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang
berdasarkan ra’yi (pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah
dan kriteria yang berlaku. Penafsiran serupa inilah yang diharamkan oleh Ibn Taymiyah.
Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad yang
berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Rasul serta kaedah-kaedah yang mu’tabarat (diakui
sah secara bersama).

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang
shahih yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan sunnah
karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena
merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan
tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para
sahabat.
2. Kata al-Ra’yi berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut
definisinya, tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada
pendapat pribadi mufassir, setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat
istiadat bangsa Arab.
3. Syair banyak digunakan untuk memecahkan masalah bahasa, balaghah dan
kesesuaian bacaan. Ini menunjukkan bahwa ar-Razi sangat pandai bahasa Arab.
Sedangkan corak tafsir Ibnu Katsir menunjuk kepada metode tahliliy, suatu metode
tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan seluruh
aspeknya.

17
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. 2007. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Beirut: Dar al-fikr.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2007. Derajat Hadits-Hadits dalam Tafsir Ibnu
Katsir. Jakarta: Putaka Azzam.
Al-Hilawi, Muhammad. 1998. Mereka Bertanya Tentang Islam. Jakarta: Gema Insani.
Al-Qaththan, Manna Khalil. 1992. Studi Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Ar-Razi, Imam Fakhr al-Din. 1990. Tafsir al-kabir. Beirut: Dar al-Fikr.
Basunni, Manna. 1997. Tafsir-Tafsir al-Qur’an. Bandung: Pustaka Media.
Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id. 2007. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah.
Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Nur Faizin Maswan. 2002. Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsir. Yogyakarta: Menara
Kudus.
Sirajudin, Ak., dkk. 1993. Ensiklopedi islam. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van Howe.

18

Anda mungkin juga menyukai