Judul Buku
Qawaid Fiqhiyah
Penulis
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Editor
Fatih
Setting & Lay out
Fayyad & Fawwaz
Desain Cover
Faqih
Penerbit
Rumah Fiqih Publishing
Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan
Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Cetakan Pertama
9 April 2019
Daftar Isi
A. Pengertian .......................................................... 6
1. Qawaid............................................................... 6
2. Kaidah Fiqih ....................................................... 7
a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah ....................... 7
b. Al-Jurjani .......................................................... 7
c. As-Subki ............................................................ 8
d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim .............................. 8
e. Al-Suyuthi ......................................................... 8
A. Pengertian
1. Qawaid
Kata qawa'id ( )قواعدadalah bentuk jamak dari kata
qaidah ( )قاعدةyang arti secara bahasa bermakna asas,
dasar, atau pondasi.
Makna ini bisa dalam arti yang konkret maupun
yang abstrak, seperti kata-kata qawa'id al-bait, yang
artinya pondasi rumah, atau qawa'id al-din, artinya
dasar-dasar agama, atau qawa'id al-ilm, artinya
kaidah-kaidah ilmu.
ِ ِالبيت وإ
مساعيل ِ وإِذ يرفع إِبر ِاهيم القو
ِ اعد ِمن
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-
dasar Baitullah bersama Ismail. (QS. al-Baqarah :
127)
اع ِد
ِ قد مكر الّ ِذين ِمن قبلِ ِهم فأتى الل بنياهنم ِمن القو
ّ
Allah menghancurkan bagunan mereka dari
pondasi-pondasinya"(QS. al-Nahl : 26)
2. Kaidah Fiqih
Para ulama memang berbeda dalam
mendefinisikan ilmu Kaidah Fiqih secara istilah. Ada
yang mendefinisikannya dengan makna yang luas
tetapi juga ada yang mendefinisikannya dengan
mana yang sempit. Akan tetapi, substansinya tetap
sama.
a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah
Syeikh Muhammad Abu Zahrah mendefisikan
kaidah sebagai berikut:
اح ٍد
ِ ياس و ِ هات اّلِتي
ٍ ترج ُع ِإلى ِق ِ تشب
ِّ الم
ُ مجموع ُة األحكا ِم
ُ
يجمعها
ُ
"Kumpulan hukum-hukum yang serupa
berdasarkan qiyas (analogi) yang
mengumpulkannya."
b. Al-Jurjani
Sedangkan Al-Jurjani memberikan definisi bahwa
Kaidah Fiqih adalah:
muka | daftar isi
Halaman 8 dari 45
c. As-Subki
Imam Tajjuddin As-Subki (w.771 H) mendefisikan
kaidah fiqhiyah sebagai :
e. Al-Suyuthi
Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi dalam
kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan
kaidah adalah:
Contoh lain:
ِ ط ِبالمص
لحة ٌ منو ِ ِ اإلما ِم على
ِ ف
ُ الراعية
ّ ُ تصر
ُّ
muka | daftar isi
Halaman 15 dari 45
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya
harus berorientasi kepada kemaslahatan.”
ال
ُ رر ُيز
ُ الض
ّ
"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu
kaidah Fiqih pokok yang lima)
قاص ِدها
ِ األُمور ِبم
ُ ُ
“Semua perkara itu tergantung kepada
maksudnya”
مقاص ِدها
ِ األُمور ِب
ُ ُ
"Setiap perkara tergantung kepada niatnya"
الخاص ِ
عم ُم ِ ُين ت ِ
ِ الني ُة ِفي
ِ اليم
ّ ّ ُلعام وال ت
ّ ص الّلفظ ا
ُ خص
ّ ّّ
"Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang
diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan
tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus"
رمان ِه
ِ شيء قبل أو ِان ِه عوِقب ِب ِح
ُ
ٍ من تعجل ِب
ّ
"Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum
waktunya, diberi sanksi dengan haramnya hal
tersebut"
1. Manfaat
Adapun manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih
adalah memberi kemudahan di dalam menemukan
hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru
dan tidak jelas nash-nya dan memungkinkan
menghubungkannya dengan materi-materi Fiqih
yang lain yang tersebar di berbagai kitab Fiqih serta
lebih memudahkan kita dalam menentukan hukum.
2. Objek
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu
adalah perbuatan mukallaf itu sendiri, dan materi
Fiqih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah
Fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan nash-
nya secara khusus di dalam Al-Quran atau Sunnah
atau Ijma (konsensus para ulama).
3. Keutamaan
Orang yang ingin memahami Ilmu Fiqih, akan
mencapai kemahirannya dalam bidang fiqih apabila
dibekali dengan ilmu kaidah-kaidah Fiqih.
Oleh karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa menguasai ushul fiqih, tentu dia
akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa
yang menguasai kaidah-kaidah Fiqih pasti dialah
yang pantas mencapai maksudnya"
muka | daftar isi
Halaman 22 dari 45
4. Hubungannya dengan Ilmu lain
Kaidah Fiqih adalah bagian dari Ilmu Fiqih. Ia
memiliki hubungan erat dengan Al-Quran, Al-Hadits,
Akidah dan Akhlak.
Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah
dikritisi oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan
banyak ayat dan hadits nabi, terutama tentang
kesesuiannya dan substansinya.
Apabila kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan
banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat
dalil kulli (general), maka dia tidak akan menjadi
kaidah yang mapan.
Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah Fiqih
yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada
Al-Quran dan Hadits, setidaknya, kepada semangat
dan kearifan Al-Quran dan Hadits juga.
5. Perkembangan Kaidah
Para pencetus dan pengembang kaidah-kaidah
Fiqih adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmu
dan wawasannya dalam Ilmu Fiqih sampai muncul
Imam Abu Thahir al-Dibasi yang hidup pada akhir
abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang baru
mengumpulkan 17 kaidah Fiqih.
Di kalangan tiap mazhab, ada banyak ulama yang
menjadi pelopor dan tokoh dalam bidang kaidah
Fiqih.
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada ulama besar
yang bernama Imam 'Izzuddin bin Abd al-Salam
(w.660 H), beliau telah menyusun kitab berjudul
Qawa'id al-Ahkam fi Masailil al-'Anam (kaidah-
muka | daftar isi
Halaman 23 dari 45
kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia).
Intinya menjelaskan tentang maksud Allah
mensyariatkan hukum, dan semua kaidah
dikembalikan kepada kaidah pokok yaitu:
المفاس ِد
ِ جلب المصالِ ِح ودرُء
ُ
"Meraih yang maslahat dan menolak yang
mafsadah"
Contoh
Jika ada seseorang yang mengatakan kepada
temannya, “Aku hadiahkan mobil ini kepadamu
dengan catatan berikan mobilmu itu kepadaku”,
maka akad yang terjadi disini bukanlah hadiah,
walaupun dia mengatakan itu hadiah.
Karena makna dan maksud akad tersebut sudah
jelas, yaitu jual beli (barter). Dan dalam akad, yang
dijadikan pijakan adalah maksud dan makna bukan
lafadz dan bentuk perkataan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadiah adalah
pemberian yang tidak membutuhkan imbalan dalam
bentuk apa pun.
Contoh
Kaidah ini membutuhkan dua contoh. Karena
kaidah ini memiliki dua bagian yang berbeda.
Pertama Takhsis al-‘Aam bi An-Nyiyah dan kedua
Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah.
Untuk bagian pertama, bisa diterapkan dalam
kasus seperti ketika ada seseorang yang bersumpah
untuk tidak berbicara dengan siapapun, namun
dalam hatinya dia meniatkan hanya tidak berbicara
kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap melanggar
sumpah jika berbicara dengan selain zaid. Sebab,
meski lafadz sumpahnya adalah umum yaitu; tidak
berbicara dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya
khusus yaitu tidak mengajak bicara pada si Zaid saja.
Dan dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata
yang masih umum.
Sedangkan untuk bagian kedua yaitu Ta’mim al-
Khas bi an-Niyyah bisa diterapkan dalam kasus
berikut; Jika ada seseorang yang bersumpah untuk
tidak meminum air si Fulan jika merasa haus, namun
dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil
manfaat apapun dari air tersebut sama sekali, maka
berdasarkan kaidah ini, ia tidak dianggap melanggar
sumpahnya dengan memanfaatkan air si Fulan itu
muka | daftar isi
Halaman 26 dari 45
untuk mandi.
Karena lafadznya khusus dalam satu manfaat
yaitu; minum karena haus. Sedangkan niat dalam
hatinya yang umum yaitu; tidak mengambil manfaat
apapun, tidak bisa membuat lafadz khusus itu
menjadi umum.
Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di dalam
madzhab syafi’iyyah dan sebagian hanafiah. Namun
beberapa madzhab yang lain menganggap si
pengucap sumpah telah melanggar sumpahnya
karena mandi dengan air tersebut. Pasalnya niat yang
umum dalam hati tersebut -menurut madzhab ini-
bisa membuat lafadz sumpah yang khusus itu
menjadi umum.
Contoh Penerapannya :
Pada dasarnya ucapan atau lafadz sumpah
diserahkan maksud dan maknanya langsung kepada
orang yang mengucapkan. Sehingga, sebagaimana
kata-kata yang lain, sumpah juga berpeluang untuk
diinterpretasikan beragam sesuai kehendak orang
yang mengucapkan.
Namun, ketika sumpah dijadikan oleh fiqih sebagai
muka | daftar isi
Halaman 27 dari 45
salah satu jalan keluar penyelesaian suatu sengketa,
maka penafsiran lafadz sumpah -yang diucapkan oleh
salah satu pihak yang bersengketa di Meja Hijau-
diserahkan kepada hakim. Karena pengadilan adalah
institusi yang rawan akan intrik, manipulasi fakta
dengan kata-kata ataupun tipu muslihat.
Maka, ketika seorang hakim meminta kepada
terdakwa untuk bersumpah, penafsiran lafadz
sumpahnya diserahkan sepenuhnya kepada sang
Hakim.
Sebagai contoh, si Terdakwa kasus piutang telah
bersumpah bahwa ia tidak pernah berhutang kepada
pendakwa sama sekali. Dalam hatinya, ia niatkan
bahwa maksudnya adalah tidak berhutang pada
tahun yang lalu.
Maka niat itu tidak berfungsi sama sekali disini. Ia
tetap dianggap telah melanggar sumpahnya itu.
Sebab, meski maksud atau kandungan makna suatu
perkataan pada dasarnya diserahkan sepenuhnya
kepada orang yang mengucapkan, hanya saja hal
tersebut tidak berlaku jika kata-kata itu berupa
sumpah yang diucapkan di hadapan hakim atau Meja
Hijau.
Contoh Penerapannya:
Jika seseorang telah berwudhu untuk shalat
fardhu, dan setelah shalat ia masih merasa yakin
dalam kedaan suci, namun ketika hendak shalat
fardhu berikutnya ia ragu apakah sudah batal atau
belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci.
Karena itulah ketetapan awalnya yang telah ada
sebelumnya. Dan hukum asal adalah ketetapan awal
itu.
Contoh penerapannya :
muka | daftar isi
Halaman 29 dari 45
Jika ada hewan yang tidak jelas dan buram
perkaranya, maka hewan tersebut dianggap halal
dimakan. Contoh hewan seperti ini –seperti yang
dicontohkan Imam Suyuti- adalah Jerapah. Menurut
Imam As-Subki, pendapat yang dipilih adalah bahwa
Jerapah boleh dimakan, karena hukum asal segala
sesuatu adalah boleh.
Jadi dalam tataran praktis, kaidah ini dapat
diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan,
atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya
dalam syariat. Semua jenis barang tersebut dihukumi
boleh sesuai substansi yang dikandung kaidah ini.
Namun, perlu diperhatikan disini, bahwa sebenarnya
masih ada perbedaan pendapat dikalangan para
fuqaha seputar hukum asal segala sesuatu.
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang yang mempunyai empat istri
kemudian dia mantalak salah satunya, tapi di
kemudian hari dia lupa siapa istri yang telah ia talak?
Maka haram baginya untuk berhubungan intim
dengan mereka semua karena adanya keraguan akut
tentang siapa yang telah menjadi haram baginya.
Karena walaupun yang haram Cuma satu, namun
hukum asal Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman
ini berlangsung sampai jelas siapa yang telah
ditalaknya.
muka | daftar isi
Halaman 30 dari 45
Para ulama berbeda pendapat dalam
menyelesaikan kasus seperti diatas. Ada yang
berpendapat dengan cara diundi dan ada yang
berpendapat harus ditunggu sampai benar-benar
jelas.
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang bersumpah tidak akan
menjual rumahnya, maka ia tidak dianggap
melanggar sumpah jika mewakilkan ke orang lain
untuk menjualnya. Karena makna hakiki menjual
adalah dirinya sendiri yang menjual langsung bukan
orang lain yang menjual atas nama dirinya. Dan
hukum asal dalam perkataan adalah makna
hakikinya.
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang merusak barang milik orang
lain yang harga belinya -sejauh pengetahuan si
perusak- sekitar sekian rupiah. Namun ternyata si
pemilik mengatakan bahwa harga belinya diatas
muka | daftar isi
Halaman 31 dari 45
harga yang diketahui si perusak. Dan si pemilik tidak
bisa menunjukkan bukti atas harga yang diklaimnya
itu. Maka klaim yang diterima adalah klaim si perusak
dengan disertai sumpah. Karena hukum asalnya
adalah terbebasnya si perusak dari beban atau
tanggungan tambahan harga yang diklaim si pemilik.
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang memiliki tanggungan hutang
yang sudah jatuh tempo pembayarannya, namun dia
benar-benar belum memiliki uang untuk membayar,
maka pembayarannya wajib untuk ditunda. Atau jika
ia tidak bisa melunasinya secara kontan maka
pembayarannya boleh dengan cara diangsur.
Karena sebuah perkara jika menyempit,
hukumnya jadi luas (longgar). Namun jika ia tiba-tiba
mendapatkan rizki yang dengannya ia mampu
melunasi seluruh hutangnya, maka wajib baginya
untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara
jika sudah lapang, maka hukumnya kembali
menyempit (ketat).
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang hampir-hampir mati karena
kelaparan, dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali
bangkai yang diharamkan, maka baginya
diperbolehkan untuk memakan bangkai tersebut
untuk menghilangkan rasa lapar yang sangat. Karena
kondisinya saat itu adalah dharurat sehingga ia
diperbolehkan untuk mengonsumsi atau melakukan
seseuatu yang semula dilarang.
Contoh penerapannya :
Contoh kaidah ini hampir mirip dengan contoh
kasus pada kaidah sebelumnya. Bahwa seseorang
boleh makan bangkai yang awalnya diharamkan itu
ketika dalam kondisi dharurat itu.
Hanya saja, ia perlu mencukupkan diri dalam
memakannya pada porsi yang kira-kira sudah cukup
untuk menyambung atau menyelamatkan hidupnya.
Karena diperbolehkannya mengonsumsi makanan
haram tersebut, hanya dalam kondisi dharurat. Dan
muka | daftar isi
Halaman 34 dari 45
dharurat harus diukur kadar dharuratnya.
Contoh lainnya yang mungkin bisa ditulis disini
adalah ketika ada pasien yang harus membuka
auratnya demi terlaksananya terapi atau
pengobatan, maka si pasien hanya diperbolehkan
untuk membuka aurat yang memang dibutuhkan
untuk dibuka dalam pengobatan tersebut.
Dan dokter juga hanya diperbolehkan untuk
melihat aurat yang memang dibutuhkan untuk
dilihat. Lebih dari itu, maka tetap diharamkan.
Karena pembolehan membuka aurat bagi pasien dan
atau melihat aurat bagi dokter hanyalah dalam
kondisi dharurat saja. Dan dharurat harus diukur
kadar dharuratnya.
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah kapal hampir-hampir tenggelam
karena terlalu beratnya beban muatan kapal,
kemudian untuk menyelamatkan kapal dari
tenggelam, ada penumpang yang melempar
beberapa barang-barang penumpang lain untuk
meringankan kapal tersebut, maka si pelempar tadi
wajib untuk menggantinya.
Sebab, keadaan dharurat tidak bisa membatalkan
hak orang lain. Dalam kaidah ini ada pembahasan
muka | daftar isi
Halaman 35 dari 45
yang lebih mendalam.
Contoh penerapannya :
Para pedagang membutuhkan gugurnya hak
khiyar ru’yah para pembeli untuk melihat semua
barang dagangan yang hendak dibelinya. Gugurnya
khiyar ru’yah ini diganti dengan melihat sample
komoditas yang hendak dibeli.
Maka gugurnya khiyar ru’yah ini diperbolehkan,
karena jika khiyar ru’yah tetap wajib dilakukan, maka
itu akan memberatkan para pedagang, apalagi jika
komoditas yang hendak dijual berjumlah banyak dan
dikemas dengan kemasan yang membukanya cukup
menyita waktu.
Maka hadirlah keringanan berupa gugurnya khiyar
ru’yah ini dalam kebutuhan mendesak yang naik
menempati posisi dharurat.
ال
ُ الض ارُر ُي از
“Bahaya harus dihilangkan”
Contoh penerapannya :
Sebuah bahaya bisa saja terjadi pada siapa saja
dan kapan saja. Maka perlu dilakukan sebuah
tindakan untuk menolak bahaya tersebut. Jika kita
tidak berhasil menolak semuanya, maka setidaknya
kita menolak sebagiannya.
Dan jika kita sudah berusaha menolaknya, namun
bahaya tersebut terjadi juga maka setidaknya kita
bisa mengurangi efek bahaya tersebut setelah
terjadinya.
Maka penolakan bahaya bisa dibagi secara waktu
menjadi penolakan sebelum terjadi dan penolakan
setelah terjadi. Sedangkan secara prosentase
penolakan bisa dibagi menjadi penolakan secara
keseluruhan atau penolakan sebagian bahaya.
Contoh penolakan sebelum terjadi adalah
Contoh penerapannya :
Jika ada orang faqir yang memiliki kerabat yang
dalam tanggungannya yang juga faqir, maka
keduanya tidak berkewajiban untuk memberi nafkah
bagi yang lain jika memang dia bahkan susah
menafkahi dirinya sendiri.
muka | daftar isi
Halaman 38 dari 45
Karena kondisi faqir adalah baya bagi dirinya, dan
kewajiban memberi nafkah adalah bahaya yang lain
yang tidak bisa menghilangkan bahaya pertama.
Atau dengan contoh lain misalnya ada orang yang
dipaksa untuk membunuh orang lain, dan jika tidak
mau maka ia yang akan dibunuh, maka dia tetap tidak
boleh membunuh orang lain tersebut.
Karena ancaman pembunuhan atasnya adalah
bahaya serupa dan setara dengan bahaya
pembunuhan terhadap orang lain. Dan bahaya tidak
dapat dihilangkan dengan bahaya serupa atau setara.
Contoh penerapannya :
Jika bahayanya tidak setara, maka bahaya yang
lebih berat bisa dihilangkan dengan menempuh
bahaya yang lebih ringan.
Contohnya adalah jika ada dua kerabat yang salah
satunya faqir dan yang lain berkecukupan, maka
wajib bagi yang berkecukupan untuk memberi
nafkah kepada si Faqir.
Karena meskipun kewajiban memberi nafkah oleh
yang berkecukupan adalah bentuk bahaya atasnya,
tapi ketiadaan nafkah bagi si Faqir adalah bahaya
yang lebih besar.
Dan bahaya yang lebih besar harus dihilangkan
muka | daftar isi
Halaman 39 dari 45
dengan menempuh bahaya yang lebih ringan.
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang memiliki luka ditubuhnya
dan luka itu akan mengalirkan darah jika dibawa
sujud, maka ia shalat dengan meninggalkan sujud.
Karena ia sedang menghadapi dua bahaya;
meninggalkan sujud dalam shalat dan shalat dengan
bernajis.
Dan shalat bernajis adalah bahaya yang lebih besar
daripada shalat tanpa sujud. Maka harus ditempuh
bahaya yang lebih ringan.
Begitu pula, meninggalkan sujud dalam hal ini juga
bisa menolak bahaya yang lain yaitu keluarnya
banyak darah. Maka yang dipilih adalah bahaya atau
resiko yang lebih ringan.
صالِ ِح ِ
لى اجلب المـا ا اس ِد مقدم ع
ِ درء المـاف
ُا ٌ ا ا ا ُ ا
“Mencegah mafsadah lebih utama daripada
menarik datangnya maslahah”
Contoh penerapannya :
Jika ada wanita yang wajib mandi jinabah, namun
muka | daftar isi
Halaman 40 dari 45
ia tidak menemukan sarana untuk menutupinya dari
pandangan laki-laki, maka wajib baginya untuk
mengakhirkan mandi jinabah.
Karena meski dalam mandi janabah terdapat
maslahah, namun terbukanya aurat wanita di depan
laki-laki adalah mafsadah atau kerusakan yang jauh
lebih besar. Dan mencegah mafsadah lebih utama
daripada menarik datangnya maslahah.
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah rumah yang memiliki pohon
dengan dahan dan ranting yang tumbuh lebat hingga
mengganggu para pengguna jalan, maka dahan dan
ranting yang mengganggu itu wajib untuk dipotong.
Sebab, meski dalam pemotongan tersebut
terdapat resiko kerugian bagi si pemilik pohon, hanya
saja kerugian tersebut adalah kerugian atau bahaya
khusus. Dan gangguan pengguna jalan adalah bahaya
umum. Dan bahaya khusus harus ditempuh dan
ditanggung demi menolak bahaya umum.
Contoh Penerapan :
Kaidah ini memiliki kemiripan makna dengan
kaidah kubranya. Maka sebagian ulama ada yang
menyamakan antara keduanya, sedangkan sebagian
yang lain ada yang membedakan.
Bagi yang membedakan, perbedaannya adalah
bahwa kaidah kubra bersifat umum, sedangkan
kaidah ini bersifat khusus, yaitu khusus berlaku
dalam tradisi berbahasa saja. Perbedaan tersebut
dipicu oleh perbedaan mereka dalam memaknai kata
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak
menunjukkan ‘batang hidung’nya di depan bosnya,
maka ia tetap dianggap melanggar sumpahnya jika ia
menunjukkan dirinya dihadapannya. Karena,
walaupun secara hakiki ‘batang hidung’ hanya
menunjukkan salah satu anggota badan, namun yang
menjadi tradisi berbahasa masyarakat adalah makna
secara majazi. Sebab, makna hakiki sebuah kata
harus ditinggalkan jika tradisi masyarakat
menggunakan makna majazi.
Contoh penerapannya :
Jika ada dua orang di dua negara yang sedang
bertransaksi dalam suatu bisnis internasional dan
mereka sepakat bahwa pembayarannya
menggunakan mata uang dollar tanpa menyebutkan
dollar negara mana, maka dollar yang dimaksud
adalah dollar amerika. Karena transaksi dengan mata
uang tersebut sudah berulang-ulang dan
mendominasi.
Contoh penerapannya :
Syariat telah menetapkan bahwa umur lima belas
adalah batasan dimulainya usia baligh bagi mereka
yang tidak memiliki tanda-tanda baligh. Karena usia
lima belas adalah usia yang secara kebiasaan
dominan manusia sudah mengalami baligh di usia
tersebut.
Sedangkan ‘belum mengalami baligh’ pada usia
tersebut adalah kejadian yang sangat jarang terjadi.
Sesuatu yang jarang ini, dalam syariat sama sekali
tidak dilirik untuk dijadikan sandaran hukum.
Justru yang belum mengalami tanda-tanda baligh
di usia lima belas tetap dihukumi sudah baligh hanya
dengan menginjak usia lima belas. Karena yang
dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan
populer bukan kebiasaan langka.
Contoh penerapannya :
muka | daftar isi
Halaman 45 dari 45
Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu bahwa masjid
tidaklah ditutup pada saat kapan pun. Karena masjid
adalah tempat suci yang dipersiapkan untuk
beribadah.
Namun, ketika zaman berubah, kejahatan
merajalela, maka para ulama kemudian
menfatwakan bolehnya mengunci masjid di luar
waktu shalat, demi menjaga masjid dari kesia-sian
atau pencurian. Dan perubahan hukum ini sama
sekali tidak boleh untuk dicela.