Anda di halaman 1dari 45

Halaman 1 dari 45

muka | daftar isi


Halaman 2 dari 45

muka | daftar isi


Halaman 3 dari 45

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT)
Qawaid Fiqhiyah
Penulis : Ahmad Sarwat, Lc., MA
45 hlm

Judul Buku
Qawaid Fiqhiyah
Penulis
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Editor
Fatih
Setting & Lay out
Fayyad & Fawwaz
Desain Cover
Faqih
Penerbit
Rumah Fiqih Publishing
Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan
Setiabudi Jakarta Selatan 12940

Cetakan Pertama
9 April 2019

muka | daftar isi


Halaman 4 dari 45

Daftar Isi

Daftar Isi ................................................................. 4

A. Pengertian .......................................................... 6
1. Qawaid............................................................... 6
2. Kaidah Fiqih ....................................................... 7
a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah ....................... 7
b. Al-Jurjani .......................................................... 7
c. As-Subki ............................................................ 8
d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim .............................. 8
e. Al-Suyuthi ......................................................... 8

B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih ...................... 11

C. Manfaat, Objek dan Keutamaan ........................... 21


1. Manfaat ........................................................... 21
2. Objek ............................................................... 21
3. Keutamaan ....................................................... 21
4. Hubungannya dengan Ilmu lain........................ 22
5. Perkembangan Kaidah ..................................... 22

D. Kaidah Kubra Pertama .......................................24


1. Kaidah Turunan Pertama ................................. 24
2. Kaidah Turunan Kedua ..................................... 25
3. Kaidah Turunan Ketiga ..................................... 26

E. Kaidah Kubra Kedua ...........................................28


1. Kaidah Turunan Pertama ................................. 28
2. Kaidah Turunan Kedua ..................................... 28
muka | daftar isi
Halaman 5 dari 45
3. Kaidah Turunan Ketiga ..................................... 29
4. Kaidah Turunan Keempat ................................. 30
5. Kaidah Turunan Kelima .................................... 30

F. Kaidah Kubra Ketiga ...........................................32


1. Kaidah Turunan Pertama ................................. 32
2. Kaidah Turunan Kedua ..................................... 33
3. Kaidah Turunan Ketiga ..................................... 33
4. Kaidah Turunan Keempat ................................. 34
5. Kaidah Turunan Kelima .................................... 35

G. Kaidah Kubra Keempat.......................................36


1. Kaidah Turunan Pertama ................................. 36
2. Kaidah Turunan Kedua ..................................... 37
3. Kaidah Turunan Ketiga ..................................... 38
4. Kaidah Turunan Keempat ................................. 39
5. Kaidah Turunan Kelima .................................... 39
6. Kaidah Turunan Keenam .................................. 40

H. Kaidah Kubra Kelima ......................................... 41


1. Kaidah Turunan Pertama ................................. 41
2. Kaidah Turunan Kedua ..................................... 42
3. Kaidah Turunan Ketiga ..................................... 43
4. Kaidah Turunan Keempat ................................. 44
5. Kaidah Turunan Kelima .................................... 44

muka | daftar isi


Halaman 6 dari 45

A. Pengertian

1. Qawaid
Kata qawa'id (‫ )قواعد‬adalah bentuk jamak dari kata
qaidah (‫ )قاعدة‬yang arti secara bahasa bermakna asas,
dasar, atau pondasi.
Makna ini bisa dalam arti yang konkret maupun
yang abstrak, seperti kata-kata qawa'id al-bait, yang
artinya pondasi rumah, atau qawa'id al-din, artinya
dasar-dasar agama, atau qawa'id al-ilm, artinya
kaidah-kaidah ilmu.

ِ ِ‫البيت وإ‬
‫مساعيل‬ ِ ‫وإِذ يرفع إِبر ِاهيم القو‬
ِ ‫اعد ِمن‬
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-
dasar Baitullah bersama Ismail. (QS. al-Baqarah :
127)

‫اع ِد‬
ِ ‫قد مكر الّ ِذين ِمن قبلِ ِهم فأتى الل بنياهنم ِمن القو‬
ّ
Allah menghancurkan bagunan mereka dari
pondasi-pondasinya"(QS. al-Nahl : 26)

Dari dua ayat di atas, bisa disimpulakan bahwa arti


kaidah adalah dasar, asas atau pondasi, tempat yang
di atasnya berdiri suatu bagunan.
Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula
dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam ilmu
nahwu (grammer) bahasa Arab, seperti maf'ul itu
muka | daftar isi
Halaman 7 dari 45
manshub dan fa'il itu marfu'. Inilah yang disebut
dengan al-qawaid an-nahwiyyah (kaidah nahwu).
Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal
yang bersifat menyeluruh, yang mencakup banyak
bagian dan cabang yang ada di bawahnya.
Dengan demikian, maka al-Qawa'id al-Fiqihiyah
secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas
yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-
jenis Fiqih.

2. Kaidah Fiqih
Para ulama memang berbeda dalam
mendefinisikan ilmu Kaidah Fiqih secara istilah. Ada
yang mendefinisikannya dengan makna yang luas
tetapi juga ada yang mendefinisikannya dengan
mana yang sempit. Akan tetapi, substansinya tetap
sama.
a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah
Syeikh Muhammad Abu Zahrah mendefisikan
kaidah sebagai berikut:

‫اح ٍد‬
ِ ‫ياس و‬ ِ ‫هات اّلِتي‬
ٍ ‫ترج ُع ِإلى ِق‬ ِ ‫تشب‬
ِّ ‫الم‬
ُ ‫مجموع ُة األحكا ِم‬
ُ
‫يجمعها‬
ُ
"Kumpulan hukum-hukum yang serupa
berdasarkan qiyas (analogi) yang
mengumpulkannya."

b. Al-Jurjani
Sedangkan Al-Jurjani memberikan definisi bahwa
Kaidah Fiqih adalah:
muka | daftar isi
Halaman 8 dari 45

‫جمي ِع ُجزِئّي ِاتها‬


ِ ‫قضي ٌة ُكّلِي ٌة منط ِبق ٌة على‬
ُ ّ ّ
ِ

"Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang


mencakup seluruh bagian-bagiannya"

c. As-Subki
Imam Tajjuddin As-Subki (w.771 H) mendefisikan
kaidah fiqhiyah sebagai :

‫أحكامها‬ ‫فهم‬ ِ ‫الكّلِي اّ ِلذي ينطِبق‬


ِ ٌ ‫عليه جزِّئي‬
ُ ُ ‫ات كثيرةٌ ُي‬ ّ ُ ُ ُّ ُ ‫األمر‬
ُ
‫ِمنها‬

"Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang


meliputi bagian yang banyak sekali, yang dipahami
hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi"

d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim


Ibnu Abdin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya,
dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab Al-Asybah
Wa An-Nazhair dengan singkat mengatakan bahwa
kaidah itu adalah :
ُّ ُ‫اع ِد اّلِتي ت‬
ّ ‫رد ِإليها‬
‫وفرُعوا األحكام عليها‬ ِ ‫معرف ُة القو‬
ِ

"Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum


dan hukum tersebut dirinci dari padanya"

e. Al-Suyuthi
Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi dalam
kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan
kaidah adalah:

‫كم ُكِّل ٌّي ينطِب ُق على ُجزِئّي ِات ِه‬


ٌ ‫ُح‬
muka | daftar isi
Halaman 9 dari 45
"Hukum kulli (menyeluruh, gerenal) yang meliputi
bagian-bagiannya"

Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa


kaidah itu bersifat menyeluruh meliputi bagian-
bagian dalam arti bisa diterapkan kepada juz-iyat-nya
(bagian-bagiannya).
Kesimpulan
Jadi bisa kita simpulkan bahwa definisi kaidah
fiqhiyah adalah:

‫أحكامها ِمن ُه‬


ُ ‫كم أغلِب ٌّي ينطِب ُق على ُمعظ ِم ُجزِئّي ِات ِه لِتُعرف‬
ٌ ‫ُح‬
“Hukum yang bersifat mayoritas dan mencakup
sebagian besar bagian-bagiannya supaya dapat
diketahui hukum-hukumnya.”

Ada satu kata kunci definisi ini dengan yang lainnya


yaitu kalimat mayoritas bukan menyeluruh.
Karena dalam kaidah fiqih banyak sekali kasus
hukum yang menjadi pengecualian dari kaidah fiqih
yang ada, sehingga sifatnya mayoritas. Artinya
menampung banyak hukum dari permasalahan fiqih
namun tidak mencakup secara keseluruhan.
Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki ilmu ushul
fiqih yang sifatnya memang mencakup secara
keseluruhan.
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua
macam kaidah, yaitu kaidah ushul (‫ )القواعد األصولية‬dan
kaidah fiqih (‫)القواعد الفقهية‬:
▪ Kaidah Ushul. Kaidah ini kita temukan di
dalam kitab-kitab ushul fiqih, yang digunakan
muka | daftar isi
Halaman 10 dari 45
untuk menyimpulkan hukum (takhrij al-
ahkam) dari sumbernya yaitu Al-Quran dan
Al-Hadits.
▪ Kaidah Fiqih. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah
yang disimpulkan secara general dari materi
fiqih, kemudian digunakan pula untuk
menentukan hukum dari kasus-kasus baru
yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di
dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqih
maupun kaidah fiqih, bisa disebutkan sebagai bagian
dari metodologi hukum Islam.
Namun dengan catatan bahwa kaidah-kaidah
ushul sering digunakan di dalam takhrij al-akham,
yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-
Quran dan Sunnah). Sedangkan kaidah Fiqih sering
digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu
penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di
dalam bidang kehidupan manusia.
Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhilafahan
Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan
undang-undang yang disebut Majalah al-Ahkam Al-
Adliyah (‫ )مجلة األحكام العدلية‬yang merupakan penerapan
hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah Fiqih
di bidang muamalah dengan 1.851 pasal.

muka | daftar isi


Halaman 11 dari 45

B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih

Sulit diketahui siapa pembentuk kaidah Fiqih, yang


jelas dengan meneliti kitab-kitab kaidah Fiqih dan
masa hidup penyusunnya ternyata kaidah Fiqih tidak
terbentuk sekaligus, tetapi terbentuk secara
bertahap dalam proses sejarah hukum Islam.
Walaupun demikian, kalangan ulama di bidang
kaidah Fiqih, menyebutkan bahwa Abu Thahir al-
Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi, yang hidup di akhir
abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, telah
mengumpulkan kaidah Fiqih mazhab Hanafi
sebanyak 17 kaidah. Abu Thahir selalu mengulang-
ulang kaidah tersebut di masjid, sebelum para
jamaah pulang ke rumahnya masing-masing.
Kemudian Abu Sa'id al-Harawi, seorang ulama
mazhab Asy-Syafi'i mengunjungi Abu Thahir dan
mencatat kaidah Fiqih yang dihafalkan Abu Thahir.
Diantara kaidah tersebut adalah lima kaidah besar di
atas.
Setelah seratus tahun kemudian, datang ulama
besar Imam Abu Hasan al-Karkhi, yang
menambahkan kaidah Fiqih yang sudah dikumpulkan
Abu Thahir sehingga menjadi 37 kaidah.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kaidah-kaidah
Fiqih muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah.
Seperti kita ketahui dari perkembangan ilmu Islam,
muka | daftar isi
Halaman 12 dari 45
bahwa kitab-kitab tafsir, hadits, ushul fiqih dan kitab-
kitab Fiqih pada masa itu telah dibukukan. Dengan
demikian materi tentang tafsir, hadits, dan Fiqih
telah cukup banyak.
Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana
bagi kita untuk mempermudah menentukan hukum
pada masalah-masalah yang kita jumpai di
masyarakat. Maka para ulama’ telah memberikan
investasi besar kepada kita agar kita dapat
memahami hukum Islam ini dengan mudah.
Oleh karena itu, bahwa proses pembentukan
kaidah Fiqih adalah sebagai berikut :

1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;


2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi
di dalam penarikan hukum (istibath al-ahkam).
Dengan metodologi ushul fiqih yang
menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan
Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang
banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang
mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti
persamaannya dengan menggunakan pola piker
muka | daftar isi
Halaman 13 dari 45
deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap
kelompok merupakan kumpulan dari masalah-
masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan
menjadi kaidah-kaidah Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali
dengan menggunakan banyak ayat dan banyak
hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya
dengan substansi ayat-ayat Al-Quran dan hadits
nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-
Quran dan banyak hadits Nabi, baru kemudian
kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang
mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang
mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih
menggunakan kaidah tadi untuk menjawab
permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial,
ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya
memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila
ulama memberikan fatwa, terutama di dalam
hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan
kaidah-kaidah Fiqih, bahkan kekhalifahan Turki
Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah,
menggunakan 99 kaidah di dalam membuat
undang-undang tentang akad-akad muamalah
dengan 185 pasal;
8. Seperti telah disinggung di muka.
Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H) murid Ibnu
Taimiyah dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in
Rabb al-Alamin", memunculkan kaidah :

muka | daftar isi


Halaman 14 dari 45
ِ ‫األمك‬
ِ ‫نة واألحو‬
‫ال‬ ِ ‫حسب تغي ُِّر األزِم‬
ِ ‫نة و‬ ِ ‫تغيُّر الفتوى و‬
ِ ‫اختال ُفها ِب‬
ُ
‫ات والعو ِائ ِد‬
ِ ‫الني‬
ِ
ّّ ‫و‬
"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan
perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat
kebisaaan"

Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah


tersebut, demikian pula Ibnu Rusyd (w.520-595 H)
dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid Wa
Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan
perbedaan pendapat ulama tentang masalah batas
maksimal kehamilan, beliau berkesimpulan dengan
kaidah :

‫الن ِاد ِر‬ ِ


ّ ‫المعتاد ال ِب‬ ِ ‫والحكم ِإّنما‬
ِ ُ ‫يج ُب أن‬
ُ ‫يكون ب‬ ُ ُ
"Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang
biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang
terjadi"

Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan


fatwa kepada khalifah Harun al-Rasyid dengan kata-
kata :
ٍ ِ ِ ً ‫خرج‬ ِ ِ‫ليس ل‬
ٍّ ‫شيئا من يد أحد ِإالّ ِب‬
‫حق‬ ِ ‫إلما ِم أن ُي‬

"Tidak ada kewenangan bagi kepala Negara


(eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari tangan
seseorang, kecuali dengan cara yang dibenarkan"

Contoh lain:
ِ ‫ط ِبالمص‬
‫لحة‬ ٌ ‫منو‬ ِ ِ ‫اإلما ِم على‬
ِ ‫ف‬
ُ ‫الراعية‬
ّ ُ ‫تصر‬
ُّ
muka | daftar isi
Halaman 15 dari 45
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya
harus berorientasi kepada kemaslahatan.”

Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i


yang berbunyi :

‫اليتي ِم‬ ِ ‫كمنز‬


ِ ‫لة الولِ ِي ِمن‬ ِ ‫ية‬ِ ‫اع‬
ِ ‫منزل ُة الوالِي ِمن الر‬
ِ
ّ ّ
"Kedudukan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya seperti kedudukan wali kepada anak
yatim"

Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah


ulama-ulama lain, terutama ulama di bidang fiqih
siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di
atas.
Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan
dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah, kaidah tadi
menjadi sumber dan di bawah kaidah itu
dimunculkan kembali Fiqih bahkan dikelompokkan
lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah
Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih
oleh Al-Quran dan Sunnah sering bertemu kaidah
dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah,
seperti:
ِ ‫اليمين على المدعى‬
ِ ِ
‫عليه‬ ُّ ُ ‫الم ّدعي و‬ ِّ
ُ ‫البين ُة على‬
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh
penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang
mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu
'Abbas), atau juga hadits:
muka | daftar isi
Halaman 16 dari 45
ِ ‫الا ضرر والا‬
‫ض ارار‬ ‫ا اا ا‬
"Jangan memudaratkan dan jangan
dimudaratkan" (HR. Al-Hakim).

Hadits ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:

‫ال‬
ُ ‫رر ُيز‬
ُ ‫الض‬
ّ
"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu
kaidah Fiqih pokok yang lima)

Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di


dalam Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya,
baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat
dan banyak hadits, selanjutnya didiskusikan dan diuji
oleh para ulama, baru bisa dijadikan sebagai kaidah
yang mapan.
Kaidah yang sudah mapan ini akan menjadi alat
(metode) dalam menjawab problem-problem di
masyarakat dan memunculkan hukum-hukum Fiqih
baru.
Misalnya kaidah:

‫قاص ِدها‬
ِ ‫األُمور ِبم‬
ُ ُ
“Semua perkara itu tergantung kepada
maksudnya”

Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena


di dalam Fiqih, nilai suatu perbuatan tergantung
kepada niatnya.
Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau
muka | daftar isi
Halaman 17 dari 45
sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara
qadha.
Dalam muamalah, apakah menyerahkan barang
itu dengan niat memberi (hibah) atau meminjamkan.
Dalam jinayah apakah perbuatan criminal itu
dilakukan karena kesengajaan (dengan niat) atau
kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu
hukumnya dilandaskan kepada niat, maksud dan
tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan
masing-masing. Maka muncul kaidah tersebut di
atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits:

ِ ‫إِّّنا األعمال ِِبلنِّي‬


‫ات‬ّ
"Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR.
Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab)

Juga kepada Hadits:

ِ ‫رفِع عن أم ِِت اخلطأ والنِّسيان وما استك ِره‬


‫عليه‬ ّ
"Diangkat dari umatku (tidak dituliskan berdosa)
perbuatan karena keliru, lupa, dan terpaksa" (HR.
Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas)

Tidak hanya dengan dalil itu saja tapi juga


disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran yang
berubungan dengan niat, seperti ayat berikut :
"Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang
kami khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu" (QS. Al-Ahzab : 5)
muka | daftar isi
Halaman 18 dari 45
Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan
93 yang menyatakan adanya pembunuhan karena
kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan karena
sengaja (dengan niat).
Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik
atau buruk, apakah tujuannya penipuan yang
dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat
kepada manusia.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa;
▪ Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan
ternyata hadits-hadits tadi sama dengan kaidah,
maka hadits tadi bisa menjadi kaidah di kalangan
Ulama Fiqih.
▪ Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada
pemahaman nash-nash (Al-Quran dan Al-Hadits),
maka substansi pemahaman itulah yang jadi
kaidah.
Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi
kaidah yang mapan, para ulama mengelompokkan
kembali materi-materi Fiqih yang masuk dalam
kaidah tersebut dan apa-apa yang keluar
(pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan
kaidah.
Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair,
Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:

‫مقاص ِدها‬
ِ ‫األُمور ِب‬
ُ ُ
"Setiap perkara tergantung kepada niatnya"

Al-Suyuthi, membahas masalah niat dalam


beberapa sub poko bahasan:
muka | daftar isi
Halaman 19 dari 45
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit
di kelompokkan dan disandarkan kepada kaidah
tersebut, seperti masalah-masalah ibadah
mahdhah, munakahat, dan jinayat yang memiliki
kaidah-kaidah tersendiri;
3. Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan
adat kebisaaan dan masalah Fiqih yang tidak
diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam
hal perbuatan-perbuatan yang serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan
antara talafuzh (melafazkan niat) dengan apa
yang ada di dalam hati, maka yang dianggap sah
adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak
mendapatkan yang bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
Dalam hal ini, dengan mengambil pendapat al-
Rafi'i, al-Suyuthi memunculkan dhabith, yaitu:

‫الخاص‬ ِ
‫عم ُم‬ ِ ُ‫ين ت‬ ِ
ِ ‫الني ُة ِفي‬
ِ ‫اليم‬
ّ ّ ُ‫لعام وال ت‬
ّ ‫ص الّلفظ ا‬
ُ ‫خص‬
ّ ّّ
"Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang
diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan
tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus"

Bersumpah dengan tidak menyebutkan nama


orang atau sesuatu secara khusus maka harus
dijelaskan apa yang diniatkan itu siapa. Tetapi tidak
sebaliknya, apa yang di niatkan kepada seseorang,
maka tidak bisa digeneralisir;
8. Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu
muka | daftar isi
Halaman 20 dari 45
secara khusus yang tersebut dalam kitab-kitab
Fiqih mazhab Syafi'i.
Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih, karangan Ibnu
Rajab al-Hanbali, ada kaidah yang berbunyi:
ٍ ِِ
‫حرٍم ُعوِقب‬ ُ ‫تعجل حّق ُه أو ما أُِبيح‬
ّ ‫له قبل وقته على وجه ُم‬ ّ ‫من‬
‫رمان ِه‬
ِ ‫ِب ِح‬

"Barangsiapa yang mempercepat haknya atau


yang membolehkannya sebelum waktunya dengan
cara yang haram, maka ia dihukum dengan
keharaman (dilarang) menerima hak tersebut"

Contoh kaidah ini adalah seperti ahli waris yang


membunuh pewaris, maka ia dilarang mendapatkan
warisan tersebut.
Atau ada orang yang menikahi wanita sebelum
habis masa iddah-nya, maka ia diharamkan untuk
menikahi wanita tersebut.
Atau ada orang yang memburu binatang dalam
keadaan ihram, maka ia diharamkan memburu
binatang tersebut.
Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi
kaidah yang dianggap lebih mapan dengan
ungkapan:

‫رمان ِه‬
ِ ‫شيء قبل أو ِان ِه عوِقب ِب ِح‬
ُ
ٍ ‫من تعجل ِب‬
ّ
"Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum
waktunya, diberi sanksi dengan haramnya hal
tersebut"

muka | daftar isi


Halaman 21 dari 45

C. Manfaat, Objek dan Keutamaan

1. Manfaat
Adapun manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih
adalah memberi kemudahan di dalam menemukan
hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru
dan tidak jelas nash-nya dan memungkinkan
menghubungkannya dengan materi-materi Fiqih
yang lain yang tersebar di berbagai kitab Fiqih serta
lebih memudahkan kita dalam menentukan hukum.

2. Objek
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu
adalah perbuatan mukallaf itu sendiri, dan materi
Fiqih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah
Fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan nash-
nya secara khusus di dalam Al-Quran atau Sunnah
atau Ijma (konsensus para ulama).

3. Keutamaan
Orang yang ingin memahami Ilmu Fiqih, akan
mencapai kemahirannya dalam bidang fiqih apabila
dibekali dengan ilmu kaidah-kaidah Fiqih.
Oleh karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa menguasai ushul fiqih, tentu dia
akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa
yang menguasai kaidah-kaidah Fiqih pasti dialah
yang pantas mencapai maksudnya"
muka | daftar isi
Halaman 22 dari 45
4. Hubungannya dengan Ilmu lain
Kaidah Fiqih adalah bagian dari Ilmu Fiqih. Ia
memiliki hubungan erat dengan Al-Quran, Al-Hadits,
Akidah dan Akhlak.
Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah
dikritisi oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan
banyak ayat dan hadits nabi, terutama tentang
kesesuiannya dan substansinya.
Apabila kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan
banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat
dalil kulli (general), maka dia tidak akan menjadi
kaidah yang mapan.
Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah Fiqih
yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada
Al-Quran dan Hadits, setidaknya, kepada semangat
dan kearifan Al-Quran dan Hadits juga.

5. Perkembangan Kaidah
Para pencetus dan pengembang kaidah-kaidah
Fiqih adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmu
dan wawasannya dalam Ilmu Fiqih sampai muncul
Imam Abu Thahir al-Dibasi yang hidup pada akhir
abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang baru
mengumpulkan 17 kaidah Fiqih.
Di kalangan tiap mazhab, ada banyak ulama yang
menjadi pelopor dan tokoh dalam bidang kaidah
Fiqih.
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada ulama besar
yang bernama Imam 'Izzuddin bin Abd al-Salam
(w.660 H), beliau telah menyusun kitab berjudul
Qawa'id al-Ahkam fi Masailil al-'Anam (kaidah-
muka | daftar isi
Halaman 23 dari 45
kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia).
Intinya menjelaskan tentang maksud Allah
mensyariatkan hukum, dan semua kaidah
dikembalikan kepada kaidah pokok yaitu:

‫المفاس ِد‬
ِ ‫جلب المصالِ ِح ودرُء‬
ُ
"Meraih yang maslahat dan menolak yang
mafsadah"

Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep


al-ahkam al-khamsah, (wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram) tujuan adalah kembali kepada
kemaslahatan hamba Allah di dunia dan akhirat.
Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak akan
menambah apa-apa kepada kemahakuasaan dan
kemahasempurnaan Allah. Demikian pula sebaliknya,
kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi apapun
terhadap kemahakuasaan dan kemahasempurnaan
Allah.

muka | daftar isi


Halaman 24 dari 45

D. Kaidah Kubra Pertama

‫اص ِد اها‬ ِ ُ ‫األُم‬


‫ور ب اماق ا‬ ُ
Segala sesuatu tergantung tujuannya

1. Kaidah Turunan Pertama


ِ ‫ني الاِباألا الف‬
‫اظ اوالمـااب ِاني‬ ِ ‫اص ِد اوالمـاعا‬
ِ ‫في العُقوِد ِبالمـاق‬ ِ
‫ا‬ ُ ِ ُ‫الع ابرة‬
“Yang dapat dijadikan pegangan dalam akad
adalah maksud dan makna; bukan lafadz dan
bentuk perkataan”

Contoh
Jika ada seseorang yang mengatakan kepada
temannya, “Aku hadiahkan mobil ini kepadamu
dengan catatan berikan mobilmu itu kepadaku”,
maka akad yang terjadi disini bukanlah hadiah,
walaupun dia mengatakan itu hadiah.
Karena makna dan maksud akad tersebut sudah
jelas, yaitu jual beli (barter). Dan dalam akad, yang
dijadikan pijakan adalah maksud dan makna bukan
lafadz dan bentuk perkataan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadiah adalah
pemberian yang tidak membutuhkan imbalan dalam
bentuk apa pun.

muka | daftar isi


Halaman 25 dari 45
2. Kaidah Turunan Kedua
ِ ِ ‫ين تُخ‬ ِ ِ ُ‫اّلِنية‬
‫الخاص‬
‫ام او الا تُ اع ّم ُم ا‬
‫الع ا‬
‫ظ ا‬‫ص اللف ا‬ ّ ‫في الايم ِ ا‬
ُ ‫ص‬
“Dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata
yang masih umum namun tidak bisa merubah kata
yang bermakna khusus menjadi umum”

Contoh
Kaidah ini membutuhkan dua contoh. Karena
kaidah ini memiliki dua bagian yang berbeda.
Pertama Takhsis al-‘Aam bi An-Nyiyah dan kedua
Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah.
Untuk bagian pertama, bisa diterapkan dalam
kasus seperti ketika ada seseorang yang bersumpah
untuk tidak berbicara dengan siapapun, namun
dalam hatinya dia meniatkan hanya tidak berbicara
kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap melanggar
sumpah jika berbicara dengan selain zaid. Sebab,
meski lafadz sumpahnya adalah umum yaitu; tidak
berbicara dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya
khusus yaitu tidak mengajak bicara pada si Zaid saja.
Dan dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata
yang masih umum.
Sedangkan untuk bagian kedua yaitu Ta’mim al-
Khas bi an-Niyyah bisa diterapkan dalam kasus
berikut; Jika ada seseorang yang bersumpah untuk
tidak meminum air si Fulan jika merasa haus, namun
dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil
manfaat apapun dari air tersebut sama sekali, maka
berdasarkan kaidah ini, ia tidak dianggap melanggar
sumpahnya dengan memanfaatkan air si Fulan itu
muka | daftar isi
Halaman 26 dari 45
untuk mandi.
Karena lafadznya khusus dalam satu manfaat
yaitu; minum karena haus. Sedangkan niat dalam
hatinya yang umum yaitu; tidak mengambil manfaat
apapun, tidak bisa membuat lafadz khusus itu
menjadi umum.
Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di dalam
madzhab syafi’iyyah dan sebagian hanafiah. Namun
beberapa madzhab yang lain menganggap si
pengucap sumpah telah melanggar sumpahnya
karena mandi dengan air tersebut. Pasalnya niat yang
umum dalam hati tersebut -menurut madzhab ini-
bisa membuat lafadz sumpah yang khusus itu
menjadi umum.

3. Kaidah Turunan Ketiga


ِ ‫ين ِعند الاق‬ ِ ‫فظ على ِني ِة الال ِف ِظ ِإال ِفي‬
ِ ‫اصد الل‬
ِ ‫ماق‬
‫اضي‬ ‫اليم ِ ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ُ ‫ا‬
“Maksud atau kandungan makna suatu perkataan
akan diserahkan sepenuhnya kepada orang yang
mengucapkan, kecuali dalam masalah sumpah
diahadapan qadhi (hakim)”

Contoh Penerapannya :
Pada dasarnya ucapan atau lafadz sumpah
diserahkan maksud dan maknanya langsung kepada
orang yang mengucapkan. Sehingga, sebagaimana
kata-kata yang lain, sumpah juga berpeluang untuk
diinterpretasikan beragam sesuai kehendak orang
yang mengucapkan.
Namun, ketika sumpah dijadikan oleh fiqih sebagai
muka | daftar isi
Halaman 27 dari 45
salah satu jalan keluar penyelesaian suatu sengketa,
maka penafsiran lafadz sumpah -yang diucapkan oleh
salah satu pihak yang bersengketa di Meja Hijau-
diserahkan kepada hakim. Karena pengadilan adalah
institusi yang rawan akan intrik, manipulasi fakta
dengan kata-kata ataupun tipu muslihat.
Maka, ketika seorang hakim meminta kepada
terdakwa untuk bersumpah, penafsiran lafadz
sumpahnya diserahkan sepenuhnya kepada sang
Hakim.
Sebagai contoh, si Terdakwa kasus piutang telah
bersumpah bahwa ia tidak pernah berhutang kepada
pendakwa sama sekali. Dalam hatinya, ia niatkan
bahwa maksudnya adalah tidak berhutang pada
tahun yang lalu.
Maka niat itu tidak berfungsi sama sekali disini. Ia
tetap dianggap telah melanggar sumpahnya itu.
Sebab, meski maksud atau kandungan makna suatu
perkataan pada dasarnya diserahkan sepenuhnya
kepada orang yang mengucapkan, hanya saja hal
tersebut tidak berlaku jika kata-kata itu berupa
sumpah yang diucapkan di hadapan hakim atau Meja
Hijau.

muka | daftar isi


Halaman 28 dari 45

E. Kaidah Kubra Kedua

‫اليقين ال يزال بالشك‬

“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh


kebimbangan”

1. Kaidah Turunan Pertama

‫األصل بقاء ما كان على ما كان‬

“Hukum Asal adalah ketetapan yang telah


ada/dimiliki sebelumnya”

Contoh Penerapannya:
Jika seseorang telah berwudhu untuk shalat
fardhu, dan setelah shalat ia masih merasa yakin
dalam kedaan suci, namun ketika hendak shalat
fardhu berikutnya ia ragu apakah sudah batal atau
belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci.
Karena itulah ketetapan awalnya yang telah ada
sebelumnya. Dan hukum asal adalah ketetapan awal
itu.

2. Kaidah Turunan Kedua

‫األصل في األشياء اإلباحة‬

“Hukum Asal segala sesuatu adalah boleh”

Contoh penerapannya :
muka | daftar isi
Halaman 29 dari 45
Jika ada hewan yang tidak jelas dan buram
perkaranya, maka hewan tersebut dianggap halal
dimakan. Contoh hewan seperti ini –seperti yang
dicontohkan Imam Suyuti- adalah Jerapah. Menurut
Imam As-Subki, pendapat yang dipilih adalah bahwa
Jerapah boleh dimakan, karena hukum asal segala
sesuatu adalah boleh.
Jadi dalam tataran praktis, kaidah ini dapat
diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan,
atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya
dalam syariat. Semua jenis barang tersebut dihukumi
boleh sesuai substansi yang dikandung kaidah ini.
Namun, perlu diperhatikan disini, bahwa sebenarnya
masih ada perbedaan pendapat dikalangan para
fuqaha seputar hukum asal segala sesuatu.

3. Kaidah Turunan Ketiga

‫األصل في األبضاع التحريم‬

“Hukum Asal Abdha’(farji) adalah haram”

Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang yang mempunyai empat istri
kemudian dia mantalak salah satunya, tapi di
kemudian hari dia lupa siapa istri yang telah ia talak?
Maka haram baginya untuk berhubungan intim
dengan mereka semua karena adanya keraguan akut
tentang siapa yang telah menjadi haram baginya.
Karena walaupun yang haram Cuma satu, namun
hukum asal Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman
ini berlangsung sampai jelas siapa yang telah
ditalaknya.
muka | daftar isi
Halaman 30 dari 45
Para ulama berbeda pendapat dalam
menyelesaikan kasus seperti diatas. Ada yang
berpendapat dengan cara diundi dan ada yang
berpendapat harus ditunggu sampai benar-benar
jelas.

4. Kaidah Turunan Keempat

‫األصل في الكالم الحقيقة‬

“Hukum Asal dalam perkataan adalah makna


hakiki”

Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang bersumpah tidak akan
menjual rumahnya, maka ia tidak dianggap
melanggar sumpah jika mewakilkan ke orang lain
untuk menjualnya. Karena makna hakiki menjual
adalah dirinya sendiri yang menjual langsung bukan
orang lain yang menjual atas nama dirinya. Dan
hukum asal dalam perkataan adalah makna
hakikinya.

5. Kaidah Turunan Kelima

‫األصل براءة الذمة‬

“Hukum Asal adalah bebas dari tanggungan”

Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang merusak barang milik orang
lain yang harga belinya -sejauh pengetahuan si
perusak- sekitar sekian rupiah. Namun ternyata si
pemilik mengatakan bahwa harga belinya diatas
muka | daftar isi
Halaman 31 dari 45
harga yang diketahui si perusak. Dan si pemilik tidak
bisa menunjukkan bukti atas harga yang diklaimnya
itu. Maka klaim yang diterima adalah klaim si perusak
dengan disertai sumpah. Karena hukum asalnya
adalah terbebasnya si perusak dari beban atau
tanggungan tambahan harga yang diklaim si pemilik.

muka | daftar isi


Halaman 32 dari 45

F. Kaidah Kubra Ketiga

‫المشقة تجلب التيسير‬

“Kesulitan itu akan mendorong kemudahan”

1. Kaidah Turunan Pertama

‫إذا ضاق األمر اتسع و إذا اتسع األمر ضاق‬

“Ketika sesuatu menyempit, maka hukumnya


menjadi luas (ringan), dan Ketika keadaan lapang,
maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”

Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang memiliki tanggungan hutang
yang sudah jatuh tempo pembayarannya, namun dia
benar-benar belum memiliki uang untuk membayar,
maka pembayarannya wajib untuk ditunda. Atau jika
ia tidak bisa melunasinya secara kontan maka
pembayarannya boleh dengan cara diangsur.
Karena sebuah perkara jika menyempit,
hukumnya jadi luas (longgar). Namun jika ia tiba-tiba
mendapatkan rizki yang dengannya ia mampu
melunasi seluruh hutangnya, maka wajib baginya
untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara
jika sudah lapang, maka hukumnya kembali
menyempit (ketat).

muka | daftar isi


Halaman 33 dari 45
2. Kaidah Turunan Kedua

‫الضرورات تبيح المحظورات‬

“Kondisi dharurat akan memperbolehkan sesuatu


yang semula dilarang”

Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang hampir-hampir mati karena
kelaparan, dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali
bangkai yang diharamkan, maka baginya
diperbolehkan untuk memakan bangkai tersebut
untuk menghilangkan rasa lapar yang sangat. Karena
kondisinya saat itu adalah dharurat sehingga ia
diperbolehkan untuk mengonsumsi atau melakukan
seseuatu yang semula dilarang.

3. Kaidah Turunan Ketiga

‫الضرورة تقدر بقدرها‬

“Dharurat harus diukur kadar dharuratnya”

Contoh penerapannya :
Contoh kaidah ini hampir mirip dengan contoh
kasus pada kaidah sebelumnya. Bahwa seseorang
boleh makan bangkai yang awalnya diharamkan itu
ketika dalam kondisi dharurat itu.
Hanya saja, ia perlu mencukupkan diri dalam
memakannya pada porsi yang kira-kira sudah cukup
untuk menyambung atau menyelamatkan hidupnya.
Karena diperbolehkannya mengonsumsi makanan
haram tersebut, hanya dalam kondisi dharurat. Dan
muka | daftar isi
Halaman 34 dari 45
dharurat harus diukur kadar dharuratnya.
Contoh lainnya yang mungkin bisa ditulis disini
adalah ketika ada pasien yang harus membuka
auratnya demi terlaksananya terapi atau
pengobatan, maka si pasien hanya diperbolehkan
untuk membuka aurat yang memang dibutuhkan
untuk dibuka dalam pengobatan tersebut.
Dan dokter juga hanya diperbolehkan untuk
melihat aurat yang memang dibutuhkan untuk
dilihat. Lebih dari itu, maka tetap diharamkan.
Karena pembolehan membuka aurat bagi pasien dan
atau melihat aurat bagi dokter hanyalah dalam
kondisi dharurat saja. Dan dharurat harus diukur
kadar dharuratnya.

4. Kaidah Turunan Keempat

‫االضطرار ال يبطل حق الغير‬

“Keadaan darurat tidak mambatalkan hak orang


lain”

Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah kapal hampir-hampir tenggelam
karena terlalu beratnya beban muatan kapal,
kemudian untuk menyelamatkan kapal dari
tenggelam, ada penumpang yang melempar
beberapa barang-barang penumpang lain untuk
meringankan kapal tersebut, maka si pelempar tadi
wajib untuk menggantinya.
Sebab, keadaan dharurat tidak bisa membatalkan
hak orang lain. Dalam kaidah ini ada pembahasan
muka | daftar isi
Halaman 35 dari 45
yang lebih mendalam.

5. Kaidah Turunan Kelima

‫الحاجة قد نزلت منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة‬

“Suatu kebutuhan terkadang bisa naik menempati


posisi dharurat, baik kebutuhan umum maupun
khusus”

Contoh penerapannya :
Para pedagang membutuhkan gugurnya hak
khiyar ru’yah para pembeli untuk melihat semua
barang dagangan yang hendak dibelinya. Gugurnya
khiyar ru’yah ini diganti dengan melihat sample
komoditas yang hendak dibeli.
Maka gugurnya khiyar ru’yah ini diperbolehkan,
karena jika khiyar ru’yah tetap wajib dilakukan, maka
itu akan memberatkan para pedagang, apalagi jika
komoditas yang hendak dijual berjumlah banyak dan
dikemas dengan kemasan yang membukanya cukup
menyita waktu.
Maka hadirlah keringanan berupa gugurnya khiyar
ru’yah ini dalam kebutuhan mendesak yang naik
menempati posisi dharurat.

muka | daftar isi


Halaman 36 dari 45

G. Kaidah Kubra Keempat

‫ال‬
ُ ‫الض ارُر ُي از‬
“Bahaya harus dihilangkan”

1. Kaidah Turunan Pertama


ِ ‫در‬
‫اإلمكا ِن‬ ِ ‫الض ارُر ُيد اف ُع ِباق‬

“Bahaya harus ditolak semampu mungkin”

Contoh penerapannya :
Sebuah bahaya bisa saja terjadi pada siapa saja
dan kapan saja. Maka perlu dilakukan sebuah
tindakan untuk menolak bahaya tersebut. Jika kita
tidak berhasil menolak semuanya, maka setidaknya
kita menolak sebagiannya.
Dan jika kita sudah berusaha menolaknya, namun
bahaya tersebut terjadi juga maka setidaknya kita
bisa mengurangi efek bahaya tersebut setelah
terjadinya.
Maka penolakan bahaya bisa dibagi secara waktu
menjadi penolakan sebelum terjadi dan penolakan
setelah terjadi. Sedangkan secara prosentase
penolakan bisa dibagi menjadi penolakan secara
keseluruhan atau penolakan sebagian bahaya.
Contoh penolakan sebelum terjadi adalah

muka | daftar isi


Halaman 37 dari 45
pensyariatan khiyar majlis dan khiyar syart dalam
transaksi jual beli. Untuk menolak bahaya yang
mungkin bisa terjadi setelah dilakukannya transaksi
jual beli.
Contoh penolakan setelah terjadi adalah adanya
khiyar ghibn, khiyar aib dan khiyar tadlis setelah
transaksi jual beli selesai dilakukan. Untuk menolak
bahaya kerugian yang telah dialami oleh salah satu
pihak setelah transaksi tersebut.
Dua contoh diatas sekaligus sebagai contoh untuk
penolakan bahaya secara keseluruhan.
Sedangkan contoh penolakan bahaya sebagian
adalah jika ada seseorang yang suka mencelakai
orang lain dan dia tidak akan berhenti kecuali jika
diberi uang, maka pemberian uang dalam hal ini
merupakan sebagian dari bahaya yang tidak mungkin
ditolak demi menolak bahaya yang lebih besar sebisa
mungkin.

2. Kaidah Turunan Kedua

‫ال ِب ِمثلِ ِه‬


ُ ‫الض ارُار الا ُي از‬
“Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya
serupa dan setara”

Contoh penerapannya :
Jika ada orang faqir yang memiliki kerabat yang
dalam tanggungannya yang juga faqir, maka
keduanya tidak berkewajiban untuk memberi nafkah
bagi yang lain jika memang dia bahkan susah
menafkahi dirinya sendiri.
muka | daftar isi
Halaman 38 dari 45
Karena kondisi faqir adalah baya bagi dirinya, dan
kewajiban memberi nafkah adalah bahaya yang lain
yang tidak bisa menghilangkan bahaya pertama.
Atau dengan contoh lain misalnya ada orang yang
dipaksa untuk membunuh orang lain, dan jika tidak
mau maka ia yang akan dibunuh, maka dia tetap tidak
boleh membunuh orang lain tersebut.
Karena ancaman pembunuhan atasnya adalah
bahaya serupa dan setara dengan bahaya
pembunuhan terhadap orang lain. Dan bahaya tidak
dapat dihilangkan dengan bahaya serupa atau setara.

3. Kaidah Turunan Ketiga


ِ ِ ِ ‫الضرار األا اش ُّد يز‬
ّ ‫ال بالض ارِر األا اخ‬
‫ف‬ ‫ُا‬ ُ‫ا‬
“Bahaya yang lebih berat harus dihilangkan
dengan mengerjakan bahaya yang lebih ringan”

Contoh penerapannya :
Jika bahayanya tidak setara, maka bahaya yang
lebih berat bisa dihilangkan dengan menempuh
bahaya yang lebih ringan.
Contohnya adalah jika ada dua kerabat yang salah
satunya faqir dan yang lain berkecukupan, maka
wajib bagi yang berkecukupan untuk memberi
nafkah kepada si Faqir.
Karena meskipun kewajiban memberi nafkah oleh
yang berkecukupan adalah bentuk bahaya atasnya,
tapi ketiadaan nafkah bagi si Faqir adalah bahaya
yang lebih besar.
Dan bahaya yang lebih besar harus dihilangkan
muka | daftar isi
Halaman 39 dari 45
dengan menempuh bahaya yang lebih ringan.

4. Kaidah Turunan Keempat


ِ ‫ف الض ارار‬
‫ين‬ ُّ ‫ُيختا ُار أا اخ‬

“Yang harus dipilih adalah bahaya/resiko yang


lebih ringan”

Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang memiliki luka ditubuhnya
dan luka itu akan mengalirkan darah jika dibawa
sujud, maka ia shalat dengan meninggalkan sujud.
Karena ia sedang menghadapi dua bahaya;
meninggalkan sujud dalam shalat dan shalat dengan
bernajis.
Dan shalat bernajis adalah bahaya yang lebih besar
daripada shalat tanpa sujud. Maka harus ditempuh
bahaya yang lebih ringan.
Begitu pula, meninggalkan sujud dalam hal ini juga
bisa menolak bahaya yang lain yaitu keluarnya
banyak darah. Maka yang dipilih adalah bahaya atau
resiko yang lebih ringan.

5. Kaidah Turunan Kelima

‫صالِ ِح‬ ِ
‫لى اجلب المـا ا‬ ‫اس ِد مقدم ع‬
ِ ‫درء المـاف‬
‫ُا ٌ ا ا‬ ‫ا ُ ا‬
“Mencegah mafsadah lebih utama daripada
menarik datangnya maslahah”

Contoh penerapannya :
Jika ada wanita yang wajib mandi jinabah, namun
muka | daftar isi
Halaman 40 dari 45
ia tidak menemukan sarana untuk menutupinya dari
pandangan laki-laki, maka wajib baginya untuk
mengakhirkan mandi jinabah.
Karena meski dalam mandi janabah terdapat
maslahah, namun terbukanya aurat wanita di depan
laki-laki adalah mafsadah atau kerusakan yang jauh
lebih besar. Dan mencegah mafsadah lebih utama
daripada menarik datangnya maslahah.

6. Kaidah Turunan Keenam


ِ ُّ ‫يتاحمل الضرر الخا‬
‫ص ل ادف ِع الض ارِر ا‬
‫العا ِم‬ ُ‫ا‬ ُ ‫ا ا‬
“Bahaya khusus harus ditanggung demi menolak
bahaya umum”

Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah rumah yang memiliki pohon
dengan dahan dan ranting yang tumbuh lebat hingga
mengganggu para pengguna jalan, maka dahan dan
ranting yang mengganggu itu wajib untuk dipotong.
Sebab, meski dalam pemotongan tersebut
terdapat resiko kerugian bagi si pemilik pohon, hanya
saja kerugian tersebut adalah kerugian atau bahaya
khusus. Dan gangguan pengguna jalan adalah bahaya
umum. Dan bahaya khusus harus ditempuh dan
ditanggung demi menolak bahaya umum.

muka | daftar isi


Halaman 41 dari 45

H. Kaidah Kubra Kelima

‫الع اادةُ ُم احك ام ٌة‬


‫ا‬
“Adat istiadat dapat dijadikan pijakan hukum”

Adat atau apa yang dianggap sebagai kebiasaan


yang tidak bertentangan dengan hukum Allah dan
sudah berlaku secara umum di tengah masyarakat,
bisa dijadikan salah satu pedoman dalam hukum.

1. Kaidah Turunan Pertama

‫الع ام ِل ِب اها‬ ِ ِ ‫ال الن‬ ِ ِ


‫اس ُحج ٌة ايج ُب ا‬ ُ ‫عم‬
‫است ا‬
“Tradisi masyarakat (dalam berbahasa) adalah
hujjah yang harus dijadikan pijakan dalam
beramal”

Contoh Penerapan :
Kaidah ini memiliki kemiripan makna dengan
kaidah kubranya. Maka sebagian ulama ada yang
menyamakan antara keduanya, sedangkan sebagian
yang lain ada yang membedakan.
Bagi yang membedakan, perbedaannya adalah
bahwa kaidah kubra bersifat umum, sedangkan
kaidah ini bersifat khusus, yaitu khusus berlaku
dalam tradisi berbahasa saja. Perbedaan tersebut
dipicu oleh perbedaan mereka dalam memaknai kata

muka | daftar isi


Halaman 42 dari 45
isti’mal yang terdapat di awal kaidah.
Contohnya adalah ketika ada seseorang yang
bersumpah untuk tidak minum dari air sungai A. Dan
sudah jamak diketahui bahwa masyarakat di sekitar
orang tersebut menggunakan makna majazi lebih
banyak dari pada menggunakan makna hakiki.
Makna hakiki ‘minum dari sungai’ disini adalah
langsung meneguk dari sungai tersebut tanpa sarana
apapun. Sedangkan makna majazi ‘minum dari
sungai’ adalah minum dari air yang diambil atau
bersumber dari sungai tersebut.
Jika orang tersebut kemudian minum dari sungai
itu setelah bersumpah untuk tidak minum darinya,
maka hukumnya terjadi perbedaan diantara para
ulama menjadi tiga pendapat :
Pertama, dia dianggap melanggar sumpahnya
hanya jika meminumnya dengan sarana seperti
minum air dirumahnya yang bersumber dari sungai
tersebut, bukan langsung meneguk dari sungai.
Kedua, dia dianggap melanggar sumpahnya baik
meneguknya langsung dari sungai seperti para
musafir pedalaman, atau minum di rumahnya yang
air minumnya memang bersumber dari sungai
tersebut.
Ketiga, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya
jika meneguk langsung dari sungai sebagaimana para
musafir pedalaman.

2. Kaidah Turunan Kedua

‫الع ااد ِة‬ ِ ِ


‫ك ِب ادالاالة ا‬
ُ ‫الحقياق ُة تُ اتر‬
‫ا‬
muka | daftar isi
Halaman 43 dari 45
“Makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika
tradisi masyarakat menggunakan makna majazi”

Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak
menunjukkan ‘batang hidung’nya di depan bosnya,
maka ia tetap dianggap melanggar sumpahnya jika ia
menunjukkan dirinya dihadapannya. Karena,
walaupun secara hakiki ‘batang hidung’ hanya
menunjukkan salah satu anggota badan, namun yang
menjadi tradisi berbahasa masyarakat adalah makna
secara majazi. Sebab, makna hakiki sebuah kata
harus ditinggalkan jika tradisi masyarakat
menggunakan makna majazi.

3. Kaidah Turunan Ketiga

‫الع اادةُ ِإ اذا اط ارادت أاو اغالابت‬


‫ِإن اما تُعتااب ُر ا‬
“Sebuah tradisi hanya akan bisa diterima sebagai
pijakan hukum ketika tradisi tersebut sudah
berjalan berulang-ulang dan mendominasi”

Contoh penerapannya :
Jika ada dua orang di dua negara yang sedang
bertransaksi dalam suatu bisnis internasional dan
mereka sepakat bahwa pembayarannya
menggunakan mata uang dollar tanpa menyebutkan
dollar negara mana, maka dollar yang dimaksud
adalah dollar amerika. Karena transaksi dengan mata
uang tersebut sudah berulang-ulang dan
mendominasi.

muka | daftar isi


Halaman 44 dari 45
4. Kaidah Turunan Keempat

‫لغالِ ِب الش ِائ ِع الا لِلن ِاد ِر‬ ِ


‫الع ابرةُ لِ ا‬
“Yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan
dominan dan populer bukan kebiasaan yang
langka”

Contoh penerapannya :
Syariat telah menetapkan bahwa umur lima belas
adalah batasan dimulainya usia baligh bagi mereka
yang tidak memiliki tanda-tanda baligh. Karena usia
lima belas adalah usia yang secara kebiasaan
dominan manusia sudah mengalami baligh di usia
tersebut.
Sedangkan ‘belum mengalami baligh’ pada usia
tersebut adalah kejadian yang sangat jarang terjadi.
Sesuatu yang jarang ini, dalam syariat sama sekali
tidak dilirik untuk dijadikan sandaran hukum.
Justru yang belum mengalami tanda-tanda baligh
di usia lima belas tetap dihukumi sudah baligh hanya
dengan menginjak usia lima belas. Karena yang
dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan
populer bukan kebiasaan langka.

5. Kaidah Turunan Kelima


ِ ‫زم‬ ِ ‫نك ُر تا اغُّي ُر األا ا‬
‫ان‬ ‫حكا ِم بتا اغُّي ِر األا ا‬ ‫الا ُي ا‬
“Perubahan hukum ijtihadi karena adanya
perubahan zaman sama sekali tidak boleh dicela”

Contoh penerapannya :
muka | daftar isi
Halaman 45 dari 45
Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu bahwa masjid
tidaklah ditutup pada saat kapan pun. Karena masjid
adalah tempat suci yang dipersiapkan untuk
beribadah.
Namun, ketika zaman berubah, kejahatan
merajalela, maka para ulama kemudian
menfatwakan bolehnya mengunci masjid di luar
waktu shalat, demi menjaga masjid dari kesia-sian
atau pencurian. Dan perubahan hukum ini sama
sekali tidak boleh untuk dicela.

muka | daftar isi

Anda mungkin juga menyukai