Abstrak
Penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia kerap kali
menimbulkan perbedaan, utamanya pada bulan-bulan yang sarat
dengan ibdah masa seperti Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijah. Hal
tersebut ditengarai adanya berbagai macam kriteria penentuan
awal bulan hijriyah, salah satunya adalah kriteria ijtima’. Ijtima’
menjadi acuan penting dalam penentuan awal bulan hijriyah, hal
ini dikarenakan berakhirnya bulan dipengaruhi oleh posisi
matahari, bulan, dan bumi yang berada pada satu garis atau satu
bidang yang tegak lurus bidang ekliptika (bulan berada diantara
matahari dan bumi), kejadian ini berlangsung pada saat fase bulan
mati ke bulan mati berikutnya. Dalam kajian ini, penulis akan
menyoroti kriteria ijtima’ dalam penentuan awal bulan hijriyah di
Indonesia dalam berbagai pendekatan, baik konsep syar’i maupun
astronomi.
Kata Kunci : Ijtima’ Awal Bulan Hijriyah,
Pendahuluan
Pada dasarnya cara atau sistem penetapan awal bulan kamariyah
dapat diklasifikasikan ke dalam dua sistem, yaitu sistem rukyat dan sistem
hisab. Sistem rukyat maupun hisab mempunyai sasaran yang sama, yaitu
hilal. Oleh karena itu, inti tujuan dari dilakukannya penentuan awal bulan
baik melalui rukyat ataupun hisab ialah memburu hilal.
Sistem rukyah yaitu melihat hilal dengan ‘mata telanjang’ atau
dengan menggunakan alat bantu lain yang dilakukan setiap akhir bulan
(tanggal 29 bulan kamariyah) menjelang pada saat matahari mulai
tenggelam. Jika hilal berhasil dirukyat, sejak malam itu sudah ditetapkan
tanggal satu bulan baru. Tetapi, jika tidak berhasil dirukyat, maka malam
itu dan keesokkan harinya masih merupakan bulan yang sedang berjalan
sehingga umur bulan tersebut disempurnakan 30 hari, atau istilah yang
Pembahasan
Pengertian Ijtima’
Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat kata ijtima’ disebut juga dengan
istilah iqtiran yaitu pertemuan atau berkumpulnya (berimpitnya) dua benda
1
Yaitu penyempurnaan bilangan bulan hijriyah menjadi tiga puluh hari
(khususnya Sya’ban, Ramadlan, dan Syawwal). Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah
saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “berpuasalah kamu karena melihat hilal
dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Bila hilal tertutup awan atasmu maka
sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.” Lihat Susiknan Azhari,
Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 104.
2
Ibid., 93.
3
Ilyasyahri Nawawi, Hisab Falak (Bandungsari, Ngaringan Grobongan Jawa
Tengah: PP Al-Ma’ruf), 43
4
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak, Teori dan Praktek cet. ke-II (Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2005), 139.
5
Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat (Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1998), 219.
6
Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama,
Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah dengan Ilmu Ukur Bola (Jakarta:,
1983), 3.
berbeda. Proses ijtima’ bisa kita ibaratkan dengan dua buah jarum jam yang
terus-menerus bergerak berputar mengelilingi piringan jam tersebut. Karena
kecepatan kedua jarum ini tidak sama maka suatu ketika pasti keduanya
akan mengalami peristiwa yaitu bertemunya kedua jarum jam tersebut
pada posisi yang sama pada suatu waktu dan tempat tertentu. Peristiwa
yang sama juga pasti dialami oleh dua makhluk yang kita sebutkan di atas,
yaitu Bulan dan Matahari. Peristiwa terjadinya fenomena yang hanya
memerlukan waktu sepersekian detik ini dikenal dengan sebutan ijtima’,
muhaq, iqtiran, konjungsi, bulan mati, atau new moon.
Sebenarnya bila diteliti, ternyata jarak antara kedua benda planet itu
berkisar sekitar 50 derajat. Dalam keadaan ijtima’ pada hakikatnya masih
ada bagian bulan yang mendapat pantulan sinar dari matahari, yaitu bagian
yang menghadap bumi. Namun kadang kala, karena sangat tipis, hal ini
tidak dilihat dari bumi, karena bulan yang sedang berijtima’ itu berdekatan
letaknya dengan matahari. Kondisi ini dipengaruhi oleh peredaran masing-
masing planet pada orbitnya. Bumi dan bulan beredar pada porosnya dari
arah barat ke timur.7
Dalil Syar’i
a. Qur’an al-Baqarah: 189
7
Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, 94.
b. Hadits
الشهر هكذا و هكذا –يعني مرة تسعة و, ال نكتب وال نحسب,إنا أمة أمية
8
ومرة ثالثين,عشرين
Artinya: “ Kami adalah ummat yang ummi, tidak dapat menulis dan
tidak dapat menghitung (tidak tahu ilmu hisab). Bulan adalah
sekian dan sekian, maksudnya ada yang 29 hari dan ada yang 30
hari.”
c. Pendapat Ulama
ي ٌّ أ َ ْم ٌر َخ ِف: ش ْم ِس َو ْالقَ َم ِر الَّذِي ُه َو ت َ َحاذِي ِه َما ْال َكائِ ُن قَ ْب َل ْال ِه َال ِل َّ ع ال
َ فَإ ِ َّن اجْ تِ َما
ير ٍ ِان َكثٍ ض ِييعِ زَ َم ْ َ ب َوت ٍ اس َم َع ت َ َع ِ َّض الن ُ ب يَ ْنفَ ِردُ ِب ِه بَ ْع َ ف َّإال ِب ِح
ٍ سا ُ َال يُ ْع َر
.ف ُ ْ
ُ اس َو َما َال بُدَّ لَهُ ِم ْنهُ َو ُربَّ َما َوقَ َع فِي ِه الغَلَط َو ِاال ْختِ َال َ َّع َّما يَ ْعنِي النَ َوا ْشتِغَا ٍل
َ
ُي َهذَا أ ْم ٌر َال يُد َْرك ْ َ
َّ ِي أ ْو الفُ َالن ْ ْ
َّ ِت الب ُْر َج الفُ َالن ْ َش ْم ِس َحاذ َّ َو َكذَلِكَ َك ْو ُن ال
ط فِي ِه َّ ْ
ُ ََاص ال ُم ْش ِك ِل الذِي َق ْد يُ ْغل ْ
ِ ب ال َخ ِفي ِ الخ ْ ِ سا ْ
َ َو ِإنَّ َما يُد َْركُ ِبال ِح. ار ِ ص َ ِب ْاْل َ ْب
9 اس ت َ ْق ِريبًا
ِ س ِ ْ َو ِإنَّ َما يُ ْعلَ ُم ذَلِكَ ِب
َ ْاْلح
Artinya: “bahwasanya berkumpulnya (konjungsi) matahari dan bulan
keduanya terjadi sebelum hilal (tanggal), karena hilal adalah
sesuatu yang tipis pada saat munculnya, maka tidak dapat
diketahui kecuali dengan hisab, akan tetapi hanya sedikit orang
memahami hisab, karena hisab merupakan sesuatu pekerjaan
yang menyita waktu dan merepotkan manusia, dan masih
memungkinkan terjadinya kesalahan dan perbedaan di
dalamnya. Sebagaimana juga adanya matahari yang dekat
dengan sesuatu yang tidak diketahui dengan penglihatan, ini
hanya dapat diketahui dengan hisab, namun meskipun
menggunakan hisab yang lebih kompleks, masih terdapat
kesalahan di dalamnya, dan ini hanya diketahui dengan
berdasarkan perkiraan saja.
8
HR. Bukhari & Muslim
9
641 : الصفحة رقم،44 : الجزء رقم:مجموعة فتاوى ابن تيمية
10
Sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang
sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak
beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap awal Bulan. Artinya boleh jadi dua
bulan berturut-berturut umurnya 29 hari atau 30 hari. Lihat Susiknan Azhari,
Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia; Studi atas Pemikiran Saadoe’ddin
Djambek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 25.
Artinya; Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu
Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf
dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
12
Ibid., 28.
13
Ibid.
14
Ibid., 29.
15
Ibid.
16
Ibid., 30.
17
Ibid., 32.
18
Parallaks adalah perbedaan arah sebuah benda langit dipandang dari titik
pusat bumi dan dari tempat pengamatan di permukaan bumi. Nama lengkapnya
adalah Geocentric Equatorial Parallax. Lihat Abdur Rachim. Ilmu Falak, Cet. Ke- I
(Yogyakarta: Liberty, 1983), 35. Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat, Parallax (Ikhtilaf
al-Mandar) adalah beda lihat, sudut yang terjadi antara dua garis yang ditarik dari
benda langit ketitik pusat bumi dan garis yang ditarik dari benda langit ke mata si
peninjau. Beda lihat itu berubah-ubah setiap saat. Harga yang terbesar terjadi ketika
benda langit berada di kaki langit dan harga terkecil ketika benda langit berada di zenit.
Besarnya parallax tergantung juga kepada jarak antara benda langit dan bumi. Makin
besar jaraknya makin kecil harga parallaxnya. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi
Hisab Rukyat, 97-98.
19
Susiknan Azhari, Pembaharuan...., 34.
20
Ibid., 36.
21
Gerak revolusi bulan adalah peredaran bulan mengelilingi bumi dari arah
barat ke timur. 1 kali putaran peneuh revolusi bulan memerlukan waktu rata-rata 27
hari 7 jam 43,2 menit. Periode waktu tersebut dikenal dengan waktu bulan sideris
(sideris month) yang disebut juga syahr nujumi. Akan tetapi waktu yang digunakan
untuk dasar dan pedoman penentuan bulan dan tahun kamariyah bukan waktu bulan
sideris, melainkan waktu bulan Sinodis (synodic month) disebut juga syahr iqtirani,
yaitu waktu yang ditempuh bulan dari posisi sejajar (iqtiran) antara matahari, bulan
dan bumi ke posisi sejajar berikutnya. Waktu iqtiran ini ditempuh berkisar antara lama
rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik sama dengan 29,53058796 hari atau 29,531
hari. Lihat Moh Murtadho, Ilmu Falak Praktis (Malang: UIN Malang Press, 2008),
218.
22
Ada beberapa sistem atau metode dalam melakukan perhitungan waktu
terjadinya Ijtima’. Di antaranya adalah metode yang dipedomani oleh Departemen
Agama RI yang dikenal dengan Hisab sistem Kontemporer, dimana perhitungannya
menggunakan data dari buku “Ephemeris Hisab Rukyat” yang diterbitkan setiap
tahun. Di beberapa tempat atau Pondok Pesantren sudah akrab dengan Hisab yang
datanya diambil dari kitab klasik seperti Sullam a-lNayyirain, Badi’ah al-Mitsal, Fath
al-Rauf al-Mannan, Khulashah al-Wafiyah, Risalah al-Qamarain, Nurul Anwar atau
Ittifaq dzat al-Bain, dan sebagainya.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kriteria
ijtima’ dalam penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia sarat dengan
konsepsi astronomi. Kemudian muncul paradigma awal bulan kamariyah
berdasarkan persepsi yang berbeda-beda. Awal bulan hijriyah menurut ahli
hisab adalah adanya hilal di atas ufuk pada saat matahari terbenam,
sedangkan ahli rukyat memberi ketentuan adanya hilal di atas ufuk pada
waktu matahari terbenam dan dapat dirukyat. Adapun pakar astronomi
menyatakan bahwa awal bulan hijriyah terjadi sejak terjadinya konjungsi
(ijtima’ al-hilal) segaris antara matahari dan bulan.
Dengan demikian, awal bulan hijriyah itu terjadi dengan beberapa
indikator yang meliputi sudah terjadi ijtima’, hilal berada di atas ufuk saat
matahari terbenam dan hilal tersebut dapat dilihat bagi yang menggunakan
sistem rukyat.
Daftar Pustaka
(Jakarta, 1983).
Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Cet. Ke-I (Yogyakarta: Liberty, 1983).
Lampiran:
Contoh Ijtim’ Akhir Bulan yang bernilai positif
Keterangan:
Ternamnya matahari lebiha dahulu dari pada bulan, hal tersebut yang
menjadilkan penanggalan awal bulan Hijriyah positif, tidak ada perbedaan,
karena lebih dari 2 derajat (Imkanurrukyah empat mazhab)