Anda di halaman 1dari 14

KRITERIA IJTIMA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH DI INDONESIA

KRITERIA IJTIMA’ DALAM PENENTUAN AWAL


BULAN HIJRIYAH DI INDONESIA
Sakirman
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Email : sakirman87@gmail.com

Abstrak
Penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia kerap kali
menimbulkan perbedaan, utamanya pada bulan-bulan yang sarat
dengan ibdah masa seperti Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijah. Hal
tersebut ditengarai adanya berbagai macam kriteria penentuan
awal bulan hijriyah, salah satunya adalah kriteria ijtima’. Ijtima’
menjadi acuan penting dalam penentuan awal bulan hijriyah, hal
ini dikarenakan berakhirnya bulan dipengaruhi oleh posisi
matahari, bulan, dan bumi yang berada pada satu garis atau satu
bidang yang tegak lurus bidang ekliptika (bulan berada diantara
matahari dan bumi), kejadian ini berlangsung pada saat fase bulan
mati ke bulan mati berikutnya. Dalam kajian ini, penulis akan
menyoroti kriteria ijtima’ dalam penentuan awal bulan hijriyah di
Indonesia dalam berbagai pendekatan, baik konsep syar’i maupun
astronomi.
Kata Kunci : Ijtima’ Awal Bulan Hijriyah,

Pendahuluan
Pada dasarnya cara atau sistem penetapan awal bulan kamariyah
dapat diklasifikasikan ke dalam dua sistem, yaitu sistem rukyat dan sistem
hisab. Sistem rukyat maupun hisab mempunyai sasaran yang sama, yaitu
hilal. Oleh karena itu, inti tujuan dari dilakukannya penentuan awal bulan
baik melalui rukyat ataupun hisab ialah memburu hilal.
Sistem rukyah yaitu melihat hilal dengan ‘mata telanjang’ atau
dengan menggunakan alat bantu lain yang dilakukan setiap akhir bulan
(tanggal 29 bulan kamariyah) menjelang pada saat matahari mulai
tenggelam. Jika hilal berhasil dirukyat, sejak malam itu sudah ditetapkan
tanggal satu bulan baru. Tetapi, jika tidak berhasil dirukyat, maka malam
itu dan keesokkan harinya masih merupakan bulan yang sedang berjalan
sehingga umur bulan tersebut disempurnakan 30 hari, atau istilah yang

Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 121


Sakirman

populer disebut adalah Istikmal.1 Sedangkan yang dimaksud sistem hisab


adalah cara menentukan awal bulan kamariah dengan menggunakan
perhitungan berdasarkan peredaran benda-benda langit, yaitu bumi dan
matahari. Sistem ini dapat memperkirakan awal bulan jauh sebelum terjadi
karena tidak tergantung pada munculnya hilal pada saat matahari terbenam
menjelang masuk tanggal satu bulan baru.
Rukyat dan hisab pada hakekatnya adalah cara instrumen untuk
mengetahui kapan pergantian bulan, dari bulan lama (yang sedang
berlangsung) ke bulan baru berikutnya (bulan yang akan datang), itu
terjadi. Rukyat maupun hisab semata-mata tidak dapat menjawab
pertanyaan “kapan bulan kamariyah itu berganti” sepanjang konsep bulan
baru itu belum dijawab, itulah sebabnya, maka termasuk hal yang
mendasar, adalah bagaiman kita dapat mengetahui konsp bulan baru
kamariyah itu berlangsung. Bulan baru adalah suatu proses atau fenomena
dimana pada saat matahari terbenam setelah terjadi Ijtima’ bulan sudah
mengejar atau melewati matahari, atau dengan pernyataan lain yang mudah
dikenali adalah, fenomena dimana setelah terjadi Ijtima’ matahari lebih
dulu terbenam dari pada bulan.
Menegtahui saat terjadinya Ijtima’ sangat penting dalam penentuan
awal bulan kamariyah setiap bulannya. Sekalipun hanya sebagian kecil para
ahli yang menetapkan tanggal dan bulan kamariyah yang berdasarkan
ijtima’ qabla al-ghurub, namun semua sepakat bahwa peristiwa ijtima’
merupakan batas penentuan secara astronomis antara bulan kamariyah
yang sedang berlangsung ke bulan kamariyah berikutnya. Oleh karena itu,
para ahli astronomi umumnya menyebut ijtima’ atau konjungsi
(Conjuction) atau New Moon sebagai konsep dalam penentuan awal bulan
baru kamariyah.

Pembahasan
Pengertian Ijtima’
Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat kata ijtima’ disebut juga dengan
istilah iqtiran yaitu pertemuan atau berkumpulnya (berimpitnya) dua benda

1
Yaitu penyempurnaan bilangan bulan hijriyah menjadi tiga puluh hari
(khususnya Sya’ban, Ramadlan, dan Syawwal). Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah
saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “berpuasalah kamu karena melihat hilal
dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Bila hilal tertutup awan atasmu maka
sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.” Lihat Susiknan Azhari,
Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 104.

122 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013


KRITERIA IJTIMA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH DI INDONESIA

yang berjalan secara aktif.2 Dalam redasksi lain, Ilyasyahri Nawawi


memberikan definisi ijtima’ yaitu berkumpulnya matahari dan bulan pada
satu bujur astronomi ‫دائرة البروج‬.3
Muhyiddin Khazin, memeberikan elaborasi tentang ijtima’ dalam
bukunya Ilmu Falak; Teori dan Praktek bahwa, kata Ijtima’ disebut juga
Iqtiran yaitu ‘bersama’ atau ‘kumpul’, yakni posisi matahari dan bulan
berada pada satu bujur astronomi yang sama. Dalam istilah astronomi kata
Ijtima’ dikenal juga dengan nama Conjunction (konjungsi) atau new moon.4
Dalam buku Almanak Hisab Rukyat Departemen Agama, kata
ijtima’ yang disebut juga dengan istilah iqtiran, yaitu apabila matahari dan
bulan berada pada bujur astronomi ‫ دوائر البروج‬yang sama. Dalam dunia
astronomi, ijtima’ dikenal juga dengan istilah konjungsi (conjuction). Oleh
para ahli hisab, Ijtima’ dijadikan pedoman untuk menentukan masuknya
bulan baru kamariyah, sehingga dalam ilmu hisab ijtima’ disebut juga
dengan ‫إجتماع النيرين‬.5 Bila dikaitkan dengan bulan baru kamariah, ijtima’
adalah suatu peristiwa saat bulan baru dan matahari terletak pada posisi
garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat.
Berdasarkan pengertian di atas, sedikit menggarisbawahi, bahwa
ijtima’ adalah suatu istilah dalam ilmu falak, istilah itu diambil dari bahasa
Arab yang mempunyai arti ‘berkumpul’, istilah lain untuk pengertian yang
sama adalah iqtiran, dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal pula dengan
sebutan ‘konjungsi’ yang diambil dari bahasa Inggris ‘conjunction’.6 Dalam
prosesnya, ijtima’ adalah suatu peristiwa saat bulan dan matahari terletak
pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah
barat. Fenomena ijtima’ terjadi pada saat matahari, bulan, dan bumi berada
pada satu garis atau satu bidang yang tegak lurus bidang ekliptika (bulan
berada diantara matahari dan bumi), kejadian ini berlangsung pada saat fase
bulan mati. Kita tahu perjalanan matahari lebih cepat dibandingkan dengan
perjalanan bulan setiap harinya. Keduanya setiap saat kita saksikan dari
bumi bergerak dari arah timur menuju arah barat dengan kecepatan yang

2
Ibid., 93.
3
Ilyasyahri Nawawi, Hisab Falak (Bandungsari, Ngaringan Grobongan Jawa
Tengah: PP Al-Ma’ruf), 43
4
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak, Teori dan Praktek cet. ke-II (Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2005), 139.
5
Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat (Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1998), 219.
6
Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama,
Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah dengan Ilmu Ukur Bola (Jakarta:,
1983), 3.

Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 123


Sakirman

berbeda. Proses ijtima’ bisa kita ibaratkan dengan dua buah jarum jam yang
terus-menerus bergerak berputar mengelilingi piringan jam tersebut. Karena
kecepatan kedua jarum ini tidak sama maka suatu ketika pasti keduanya
akan mengalami peristiwa yaitu bertemunya kedua jarum jam tersebut
pada posisi yang sama pada suatu waktu dan tempat tertentu. Peristiwa
yang sama juga pasti dialami oleh dua makhluk yang kita sebutkan di atas,
yaitu Bulan dan Matahari. Peristiwa terjadinya fenomena yang hanya
memerlukan waktu sepersekian detik ini dikenal dengan sebutan ijtima’,
muhaq, iqtiran, konjungsi, bulan mati, atau new moon.

Sebenarnya bila diteliti, ternyata jarak antara kedua benda planet itu
berkisar sekitar 50 derajat. Dalam keadaan ijtima’ pada hakikatnya masih
ada bagian bulan yang mendapat pantulan sinar dari matahari, yaitu bagian
yang menghadap bumi. Namun kadang kala, karena sangat tipis, hal ini
tidak dilihat dari bumi, karena bulan yang sedang berijtima’ itu berdekatan
letaknya dengan matahari. Kondisi ini dipengaruhi oleh peredaran masing-
masing planet pada orbitnya. Bumi dan bulan beredar pada porosnya dari
arah barat ke timur.7

Dalil Syar’i
a. Qur’an al-Baqarah: 189

‫ْس ْال ِب ُّر ِبأ َ ْن ت َأْتُوا‬


َ ‫اس َو ْال َحجِ َولَي‬
ِ َّ‫ِي َم َواقِيتُ ِللن‬ َ ‫ع ِن ْاْلَهِلَّ ِة قُ ْل ه‬ َ َ‫َيسْأَلُونَك‬
‫ورهَا َولَ ِك َّن ْالبِ َّر َم ِن اتَّقَى َوأْتُوا ْالبُيُوتَ ِم ْن أَب َْوا ِب َها َواتَّقُوا‬ِ ‫ظ ُه‬ ُ ‫ْالبُيُوتَ ِم ْن‬
َ‫َّللاَ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬
َّ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:


"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-
rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah

7
Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, 94.

124 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013


KRITERIA IJTIMA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH DI INDONESIA

itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar


kamu beruntung.

b. Hadits
‫ الشهر هكذا و هكذا –يعني مرة تسعة و‬,‫ ال نكتب وال نحسب‬,‫إنا أمة أمية‬
8
‫ ومرة ثالثين‬,‫عشرين‬
Artinya: “ Kami adalah ummat yang ummi, tidak dapat menulis dan
tidak dapat menghitung (tidak tahu ilmu hisab). Bulan adalah
sekian dan sekian, maksudnya ada yang 29 hari dan ada yang 30
hari.”

c. Pendapat Ulama

‫ي‬ ٌّ ‫ أ َ ْم ٌر َخ ِف‬: ‫ش ْم ِس َو ْالقَ َم ِر الَّذِي ُه َو ت َ َحاذِي ِه َما ْال َكائِ ُن قَ ْب َل ْال ِه َال ِل‬ َّ ‫ع ال‬
َ ‫فَإ ِ َّن اجْ تِ َما‬
‫ير‬ ٍ ِ‫ان َكث‬ٍ ‫ض ِييعِ زَ َم‬ ْ َ ‫ب َوت‬ ٍ ‫اس َم َع ت َ َع‬ ِ َّ‫ض الن‬ ُ ‫ب يَ ْنفَ ِردُ ِب ِه بَ ْع‬ َ ‫ف َّإال ِب ِح‬
ٍ ‫سا‬ ُ ‫َال يُ ْع َر‬
.‫ف‬ ُ ْ
ُ ‫اس َو َما َال بُدَّ لَهُ ِم ْنهُ َو ُربَّ َما َوقَ َع فِي ِه الغَلَط َو ِاال ْختِ َال‬ َ َّ‫ع َّما يَ ْعنِي الن‬َ ‫َوا ْشتِغَا ٍل‬
َ
ُ‫ي َهذَا أ ْم ٌر َال يُد َْرك‬ ْ َ
َّ ِ‫ي أ ْو الفُ َالن‬ ْ ْ
َّ ِ‫ت الب ُْر َج الفُ َالن‬ ْ َ‫ش ْم ِس َحاذ‬ َّ ‫َو َكذَلِكَ َك ْو ُن ال‬
‫ط فِي ِه‬ َّ ْ
ُ َ‫َاص ال ُم ْش ِك ِل الذِي َق ْد يُ ْغل‬ ْ
ِ ‫ب ال َخ ِفي ِ الخ‬ ْ ِ ‫سا‬ ْ
َ ‫ َو ِإنَّ َما يُد َْركُ ِبال ِح‬. ‫ار‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ِب ْاْل َ ْب‬
9 ‫اس ت َ ْق ِريبًا‬
ِ ‫س‬ ِ ْ ‫َو ِإنَّ َما يُ ْعلَ ُم ذَلِكَ ِب‬
َ ْ‫اْلح‬
Artinya: “bahwasanya berkumpulnya (konjungsi) matahari dan bulan
keduanya terjadi sebelum hilal (tanggal), karena hilal adalah
sesuatu yang tipis pada saat munculnya, maka tidak dapat
diketahui kecuali dengan hisab, akan tetapi hanya sedikit orang
memahami hisab, karena hisab merupakan sesuatu pekerjaan
yang menyita waktu dan merepotkan manusia, dan masih
memungkinkan terjadinya kesalahan dan perbedaan di
dalamnya. Sebagaimana juga adanya matahari yang dekat
dengan sesuatu yang tidak diketahui dengan penglihatan, ini
hanya dapat diketahui dengan hisab, namun meskipun
menggunakan hisab yang lebih kompleks, masih terdapat
kesalahan di dalamnya, dan ini hanya diketahui dengan
berdasarkan perkiraan saja.

8
HR. Bukhari & Muslim
9
641 :‫ الصفحة رقم‬،44 : ‫ الجزء رقم‬:‫مجموعة فتاوى ابن تيمية‬

Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 125


Sakirman

Macam- macam Kriteria Ijtima’


Setidaknya ada dua aliran besar dalam menetapkan awal bulan
kamariyah dengan menggunakan sistem hisab hakiki.10 Pertama, aliran
yang berpegang pada ijtima’ semata. Kedua, aliran yang berpegang pada
posisi hilal di atas ufuk.
a. Aliran Ijtima’ Semata
Aliran ini menetapkan bahwa awal bulan kamariyah itu mulai masuk
ketika terjadinya ijtima’. Para pengikut aliran ini mengemukakan adagium
yang terkenal ‫“ إجتماع النيرين إسبتوا بين الشهرين‬bertemunya dua benda yang
bersinar (matahari dan bulan) merupakan pemisah di antara dua bulan”.
Kriteria awal Bulan (New-Moon) yang ditetapkan oleh aliran ijtima’ semata
ini sama sekali tidak memperhatikan rukyah. Artinya tidak
mempermasalahkan hilal dapat dilihat atau tidak. Dengan kata lain, aliran
ini semata-mata hanya berpegang pada astronomi murni.
Dalam astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi sejak saat
matahari dan bulan dalam keadaan ijtima’. Jadi menurut aliran ini ijtima’
merupakan pemisah antara dua bulan kamariyah yang berurutan. Waktu
yang berlangsung sebelum terjadinya ijtima’ termasuk bulan sebelumnya.
Sedangkan waktu yang berlangsung sesudah Ijtima’ termasuk bulan baru.
Dalam wilayah empirik, jarang sekali ditemukan yang secara murni
memegang kriteria ini. Ketika menentukan awal bulan kamariyah, aliran ini
biasanya memadukan saat ijtima’ tersebut dengan fenomena alam lain,
sehingga kriteria tersebut di atas menjadi berkembang dan akomodatif.
Fenomena alam yang dihubungkan denagan saat ijtima’ itu tidak hanya
satu, sehingga aliran ijtima’ semata ini terbagi lagi dalam sub-sub aliran
yang lebih kecil lagi.
b. Ijtima’ Qabla al-Ghurub
Aliran ini mengaitkan saat ijtima’ dengan saat terbenam matahari.
Mereka membuat kriteria “jika ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari
maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru (new moon), sedangkan
jika ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu dan keesokan
harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang
berlangsung.”

10
Sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang
sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak
beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap awal Bulan. Artinya boleh jadi dua
bulan berturut-berturut umurnya 29 hari atau 30 hari. Lihat Susiknan Azhari,
Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia; Studi atas Pemikiran Saadoe’ddin
Djambek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 25.

126 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013


KRITERIA IJTIMA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH DI INDONESIA

Aliran ini menetapkan bahwa pergantian hari atau tanggal terjadi


pada saat ghurub (terbenam) matahari. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an
surat Yaasin ayat: 40
َ‫ار َو ُك ٌّل فِي فَلَكٍ يَ ْسبَحُون‬ َ ‫س يَ ْنبَغِي لَ َها أ َ ْن تُد ِْركَ ْالقَ َم َر َو َال اللَّ ْي ُل‬
ِ ‫سابِ ُق النَّ َه‬ َّ ‫َال ال‬
ُ ‫ش ْم‬
Artinya; “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing
beredar pada garis edarnya”

Para ahli hisab memahami bahwa ungkapan ‫والاليل سابق الهار‬


menunjukkan bahwa permulaan hari atau tanggal adalah saat terbenam
mahari, yakni saat bergantinya siang menjadi malam. Pendapat para ahli
hisab ini diperaktekkan juga dengan praktek rukyah yang dilakukan oleh
para sahabat pada masa Rasulullah saw. Mereka melakukan rukyah pada
saat terbenam matahari. Ini menunjukkan bahwa pergantian hari dan
tanggal adalah pada saat terbenam matahari.11
Aliran ini sama sekali tidak mempersoalkan rukyat juga tidak
memperhitungkan posisi hilal dari ufuk. Asalkan sebelum matahari
terbenam sudah terjadi ijtima’ meskipun hilal masih di bawah ufuk maka
malam hari itu berarti sudah masuk Bulan baru.
Dengan demikian, menurut aliran ini, ijtima’ adalah pemisah di
antara dua bulan kamariyah. Namun karena hari menurut Islam dimulai
sejak terbenam matahari, maka jika ijtima’ terjadi sebelum terbenam
matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru, dan jika ijtima’
terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu masih merupakan
bagian akhir dari bulan yang sedang berlangsung.
c. Ijtima’ Qabla al-Fajr
Beberapa orang ahli hisab mensinyalir adanya pendapat yang
menetapkan bahwa permulaan bulan kamariyah ditentukan pada saat
ijtima’ dan terbit fajar.
Pendapat ini didasarkan atas pemahaman terhadap firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 187

‫َّللاُ أَنَّ ُك ْم‬


َّ ‫ع ِل َم‬ ٌ َ‫اس لَ ُك ْم َوأ َ ْنت ُ ْم ِلب‬
َ ‫اس لَ ُه َّن‬ ٌ َ‫سائِ ُك ْم ُه َّن ِلب‬ َ ِ‫ث إِلَى ن‬ ُ َ‫الرف‬ ِ َ‫أ ُ ِح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَة‬
َّ ‫الصيَ ِام‬
ُ‫َّللا‬َّ ‫َب‬ َ ‫ع ْن ُك ْم فَ ْاْلَنَ بَا ِش ُرو ُه َّن َوا ْبتَغُوا َما َكت‬ َ ‫عفَا‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم َو‬َ ‫َاب‬ َ ‫س ُك ْم فَت‬ َ ُ‫ُك ْنت ُ ْم ت َْخت َانُونَ أ َ ْنف‬
‫ض ِمنَ ْال َخي ِْط ْاْلَس َْو ِد ِمنَ ْالفَجْ ِر ث ُ َّم‬ ُ َ‫ط ْاْل َ ْبي‬ ُ ‫لَ ُك ْم َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخ ْي‬
ِ‫َّللا‬ َّ ُ‫اج ِد تِ ْلكَ ُحدُود‬ ِ ‫س‬َ ‫عا ِكفُونَ فِي ْال َم‬ َ ‫ام إِلَى اللَّ ْي ِل َو َال تُبَا ِش ُرو ُه َّن َوأ َ ْنت ُ ْم‬ ِ ‫أَتِ ُّموا‬
َ َ‫الصي‬
َ‫اس لَعَلَّ ُه ْم يَتَّقُون‬ ِ َّ‫َّللاُ آَيَاتِ ِه ِللن‬
َّ ‫فَ َال ت َ ْق َربُوهَا َكذَلِكَ يُبَيِ ُن‬
11
Ibid., 43.

Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 127


Sakirman

Artinya; Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu
Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf
dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Mereka menetapkan kriteria bahwa “apabila ijtima’ terjadi sebelum


terbit fajar maka sejak terbit fajar itu sudah masuk bulan baru dan apabila
ijtima’ terjadi sesudah terbit fajar maka hari sesudah terbit fajar itu masih
termasuk hari yang terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. Mereka
juga berpendapat bahwa saat Ijtima’ tidak ada sangkut pautnya dengan
terbenam matahari.12
d. Ijtima’ dan Terbit Matahri
Kriteria awal bulan menurut aliran ini adalah “apabila Ijtima’ terjadi
di siang hari maka siang itu, yakni sejak terbit Matahari tersebut maka
malamnya sudah termasuk bulan baru. Akan tetapi sebaliknya jika ijtima’
terjadi di malam hari maka awal bulan dimulai pada siang hari
berikutnya.13
e. Ijtima’ dan Tengah Hari
Kriteria awal bulan menurut kriteria ini adalah “apabila ijtima’
terjadi sebelum tengah hari (zawal) maka hari itu sudah termasuk bulan
baru. Akan tetapi jika ijtima’ terjadi sesudah tengah hari maka hari itu
masih masuk bulan yang sedang berlangsung.14
f. Ijtima’ dan Tengah Malam
Kriteria awal bulan menurut aliran ini adalah “apabila ijtima’ terjadi
sebelum tengah malam maka sejak tengah malam itu sudah masuk awal
Bulan. Akan tetapi bila ijtima’ terjadi sesudah tengah malam maka malam
itu masih termasuk bulan yang sedang berlangsung dan awal bulan (new

12
Ibid., 28.
13
Ibid.
14
Ibid., 29.

128 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013


KRITERIA IJTIMA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH DI INDONESIA

moon) ditetapkan mulai tengah malam berikutnya.15


g. Ijtima’ dan Posisi Hilal di atas Ufuk
Para penganut aliran ini mengatakan bahwa awal bulan kamariyah
dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan hilal pada
saat itu sudah berada di atas ufuk. Dengan demikian, secara umum kriteria
yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan kamariyah oleh para
penganut aliran ini adalah: Pertama, awal bulan kamariyah dimulai sejak
saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’. Kedua, hilal sudah berada di
atas ufuk pada saat matahari terbenam.16
Menurut aliran ini, awal bulan kamariyah dimulai sejak terbenam
matahari sama persis dengan aliran ijtima’ qabla al-ghurub. Akan tetapi ada
perbedaan yang cukup menonjol dalam menetapkan kedudukan bulan di
atas ufuk. Pada ijtima’ qabla al-ghurub sama sekali tidak memperhatikan
dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat terbenam
matahari (sunset). Sedangkan ijtima’ dan posisi hilal di atas ufuk selalu
memperhatikan kedudukan hilal di atas ufuk. Tegasnya, walaupun ijtima’
terjadi sebelum terbenam matahari, pada saat terbenam matahari tersebut
belum dapat ditentukan sebagai awal bulan kamariyah sebelum diketahui
posisi hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari itu.
Apabila pada saat terbenam matahari itu hilal sudah berada di atas
ufuk, maka sejak saat itu masuk bulan baru kamariyah, sebaliknya jika
pada saat itu hilal masih berada di bawah ufuk maka saat itu masih
dianggap sebagai hari terakhir dari bulan kamariyah yang sedang
berlangsung. Oleh karena itu, yang menjadi standar adalah ijtima’ qabla al-
ghurub dan posisi hilal di atas ufuk.
Aliran ini kemudian terbagi lagi menjadi tiga cabang. Masing-
masing memberikan interpretasi yang berbeda terhadap kriteria posisi hilal
di atas ufuk.
h. Ijtima’ dan Ufuk Hakiki
Awal bulan kamariyah menurut aliran ini dimulai saat terbenam
matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah berada di atas
ufuk hakiki (true horizon). Adapun dari ufuk hakiki adalah lingkaran bola
langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis
vertikal dari si peninjau. Sedangkan posisi atau kedudukan hilal pada ufuk
adalah posisi atau kedudukan titik pusat bulan pada ufuk hakiki. Jelasnya,
menurut aliran ini awal bulan kamariyah dimulai pada saat terbenam
matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu titik pusat bulan sudah

15
Ibid.
16
Ibid., 30.

Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 129


Sakirman

berada di atas ufuk hakiki.17


i. Ijtima’ dan Ufuk Hissi
Awal bulan kamariyah menurut aliran ini dimulai pada saat
terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah
berada di atas ufuk hissi (astronomical horizon). Adapun pengertian dari
ufuk hissi adalah lingkaran pada bola yang bidangnya melalui permukaan
bumi tempat si pengamat dan tegak lurus pada garis vertikal dari si
pengamat tersebut.
Ufuk hissi dikenal juga dengan istilah horison semu atau
astronomical horizon. Bidang ufuk hissi ini sejajar dengan bidang ufuk
hakiki, perbedaannya dengan ufuk hakiki terletak pada beda lihat
(parallax).18
Jelasnya, menurut aliran ini, awal bulan kamariyah dimulai pada
saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu titik pusat
Bulan berada pada ufuk hissi.
j. Ijtima’ dan Imkan al-Rukyat
Awal bulan kamariyah menurut aliran ini dimulai pada saat
terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah
diperhitungkan untuk dapat dirukyat, sehingga diharapkan awal bulan
kamariyah yang dihitung sesuai dengan penampakkan hilal sebenarnya
(actual sighting). Jadi yang menjadi acuan adalah penentuan kriteria
visibilitas hilal untuk dapat dirukyat.19
Para ahli hisab yang mendukung aliran ini masih berbeda pendapat
dalam menetapkan kriteria visibilitas hilal untuk dirukyat. Di kalangan
mereka ada yang hanya menetapkan ketinggian hilal saja dan ada pula yang
menambah kriteria lain, yakni angular distance (sudut pandang/jarak
busur) antara Bulan dan Matahari. Kedua kriteria tersebut digunakan secara

17
Ibid., 32.
18
Parallaks adalah perbedaan arah sebuah benda langit dipandang dari titik
pusat bumi dan dari tempat pengamatan di permukaan bumi. Nama lengkapnya
adalah Geocentric Equatorial Parallax. Lihat Abdur Rachim. Ilmu Falak, Cet. Ke- I
(Yogyakarta: Liberty, 1983), 35. Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat, Parallax (Ikhtilaf
al-Mandar) adalah beda lihat, sudut yang terjadi antara dua garis yang ditarik dari
benda langit ketitik pusat bumi dan garis yang ditarik dari benda langit ke mata si
peninjau. Beda lihat itu berubah-ubah setiap saat. Harga yang terbesar terjadi ketika
benda langit berada di kaki langit dan harga terkecil ketika benda langit berada di zenit.
Besarnya parallax tergantung juga kepada jarak antara benda langit dan bumi. Makin
besar jaraknya makin kecil harga parallaxnya. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi
Hisab Rukyat, 97-98.
19
Susiknan Azhari, Pembaharuan...., 34.

130 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013


KRITERIA IJTIMA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH DI INDONESIA

kumulatif. Konferensi Internasional tentang penentuan awal bulan


kamariyah yang diselenggarakan di Turki pada tahun 1978 menetapkan
bahwa untuk dapat terlihatnya hilal (cresent visibility) ada dua syarat yang
harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 05
derajat dan angular distance antara hilal dan matahari 07 derajat sampai 08
derajat.20

k. Ijtima’ dalam Penentuan Awal Bulan di Indonesia


Sebagaimana diketahui bahwa perjalanan waktu-waktu di bumi ini
ditandai dengan peredaran benda-benda langit, terutama matahari dan
bulan. Hal ini secara teologis telah dinyatakan oleh Allah swt dalam al-
Qur’an surat Yunus: 4.

َ‫السنِين‬ َ ‫َاز َل ِلت َ ْعلَ ُموا‬


ِ َ‫عدَد‬ ً ُ‫ض َيا ًء َو ْالقَ َم َر ن‬
ِ ‫ورا َوقَد ََّرهُ َمن‬ ِ ‫س‬ َ ‫ش ْم‬ َّ ‫ُه َو الَّذِي َج َع َل ال‬
ِ ‫ص ُل ْاْلَيَا‬
َ‫ت ِلقَ ْو ٍم َي ْعلَ ُمون‬ ِ ‫َّللاُ ذَلِكَ ِإ َّال ِب ْال َح‬
ِ َ‫ق يُف‬ َّ َ‫اب َما َخلَق‬ َ ‫َو ْال ِح‬
َ ‫س‬
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian
itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

Oleh karena itu, di antara benda-benda langit yang dianggap paling


penting menurut ahli falak (astronomi) adalah matahari, bumi dan bulan.
Peredaran ketiga benda langit tersebut penting untuk pedoman
menentukan awal bulan, bilangan tahun, waktu shalat, dan lain sebagainya.
Peredaran bulan mengelilingi bumi menjadi kaedah penyusunan bulan
kamariyah sedangkan peredaran bumi mengelilingi matahari menjadi dasar
penentuan bulan Syamsiyah dan waktu-waktu shalat.
Pada dasarnya, bulan mempunyai dua gerakan yang penting, yaitu
rotasi dan revolusi bulan. Rotasi bulan adalah peredaran bulan pada
porosnya dari arah barat ke timur. Satu kali berotasi bulan memerlukan
waktu sama dengan satu kali berevolusi mengelilingi bumi. Oleh karena
waktu berotasi dan berevolusi sama maka permukaan bulan yang
menghadap bumi relatif tetap. Adanya sedikit perubahan pada permukaan

20
Ibid., 36.

Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 131


Sakirman

bulan karena adanya gerak angguk bulan pada porosnya.21


Dalam lintasan bulan terdapat rasi-rasi (gugusan bintang) atau
manzilah-manzilah. Bulan melintasi manzilah-manzilah tersebut pada suatu
saat berada persis antara bumi dan matahari yaitu saat ijtma’. Maka seluruh
bagian bulan tidak menerima sinar matahari dan sedang menghadap ke
bumi. Akibatnya, saat itu bulan tidak tampak dari bumi yang diistilahkan
dengan muhaq atau bulan mati. Begitu bulan bergerak, maka ada bagian
bulan yang kelihatan sangat kecil menerima sinar matahari terlihat dari
bumi berbentuk sabit (hilal).22
Periode ijtima’ ke ijtima’ berikutnya disebut sebagai periode bulan
sinodis (syahr iqtirani), masa antar dua ijtima’ inilah yang sering disebut
sebagai usia bulan yang hakiki. Dalam al-Qur’an, Allah swt menegaskan
bahwa jumlah bulan dalam satu tahun terdapat 12 bulan, sebagai berikut:

‫ت‬ َّ ‫َّللاِ يَ ْو َم َخ َلقَ ال‬


ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫ب‬ ِ ‫ش ْه ًرا فِي ِكت َا‬ َ ‫عش ََر‬ َ ‫َّللاِ اثْنَا‬ َّ َ‫ور ِع ْند‬ ِ ‫ش ُه‬ ُّ ‫إ ِِ َّن ِعدَّة َ ال‬
ُ
‫س ُك ْم َوقَاتِلوا‬ َ ْ ْ
َ ُ‫ِين القَ ِي ُم فَ َال ت َظ ِل ُموا فِي ِه َّن أ ْنف‬ ٌ َ
ُ ‫ض ِم ْن َها أ ْربَعَة ُح ُر ٌم ذَلِكَ الد‬ َ ‫َو ْاْل َ ْر‬
َ‫َّللاَ َم َع ْال ُمتَّقِين‬
َّ ‫ْال ُم ْش ِركِينَ َكافَّةً َك َما يُقَاتِلُونَ ُك ْم َكافَّةً َوا ْعلَ ُموا أ َ َّن‬
Artinya; “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)

21
Gerak revolusi bulan adalah peredaran bulan mengelilingi bumi dari arah
barat ke timur. 1 kali putaran peneuh revolusi bulan memerlukan waktu rata-rata 27
hari 7 jam 43,2 menit. Periode waktu tersebut dikenal dengan waktu bulan sideris
(sideris month) yang disebut juga syahr nujumi. Akan tetapi waktu yang digunakan
untuk dasar dan pedoman penentuan bulan dan tahun kamariyah bukan waktu bulan
sideris, melainkan waktu bulan Sinodis (synodic month) disebut juga syahr iqtirani,
yaitu waktu yang ditempuh bulan dari posisi sejajar (iqtiran) antara matahari, bulan
dan bumi ke posisi sejajar berikutnya. Waktu iqtiran ini ditempuh berkisar antara lama
rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik sama dengan 29,53058796 hari atau 29,531
hari. Lihat Moh Murtadho, Ilmu Falak Praktis (Malang: UIN Malang Press, 2008),
218.
22
Ada beberapa sistem atau metode dalam melakukan perhitungan waktu
terjadinya Ijtima’. Di antaranya adalah metode yang dipedomani oleh Departemen
Agama RI yang dikenal dengan Hisab sistem Kontemporer, dimana perhitungannya
menggunakan data dari buku “Ephemeris Hisab Rukyat” yang diterbitkan setiap
tahun. Di beberapa tempat atau Pondok Pesantren sudah akrab dengan Hisab yang
datanya diambil dari kitab klasik seperti Sullam a-lNayyirain, Badi’ah al-Mitsal, Fath
al-Rauf al-Mannan, Khulashah al-Wafiyah, Risalah al-Qamarain, Nurul Anwar atau
Ittifaq dzat al-Bain, dan sebagainya.

132 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013


KRITERIA IJTIMA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH DI INDONESIA

agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu


dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu
semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya,
dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa”.

Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kriteria
ijtima’ dalam penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia sarat dengan
konsepsi astronomi. Kemudian muncul paradigma awal bulan kamariyah
berdasarkan persepsi yang berbeda-beda. Awal bulan hijriyah menurut ahli
hisab adalah adanya hilal di atas ufuk pada saat matahari terbenam,
sedangkan ahli rukyat memberi ketentuan adanya hilal di atas ufuk pada
waktu matahari terbenam dan dapat dirukyat. Adapun pakar astronomi
menyatakan bahwa awal bulan hijriyah terjadi sejak terjadinya konjungsi
(ijtima’ al-hilal) segaris antara matahari dan bulan.
Dengan demikian, awal bulan hijriyah itu terjadi dengan beberapa
indikator yang meliputi sudah terjadi ijtima’, hilal berada di atas ufuk saat
matahari terbenam dan hilal tersebut dapat dilihat bagi yang menggunakan
sistem rukyat.

Daftar Pustaka

Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2002).
----------------------, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia; Studi atas
Pemikiran Saadoe’ddin Djambek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002).
Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1998.
Fathurrohman, Oman, Hisab Awal Bulan Qamariyah, Modul Pelatihan
Hisab Rukyat (Yogyakarta: Majlis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, 2007).
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak; Teori dan Praktek, cet. ke-II (Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2005).
Murtadho, Moh, Ilmu Falak Praktis (Malang: UIN Malang Press, 2008).
Nawawi, Ilyasyahri, Hisab Falak, (Grobogan: PP Al-Ma’ruf, t.t.).
Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama; Pedoman
Perhitungan Awal Bulan Qamariyah dengan Ilmu Ukur Bola

Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 133


Sakirman

(Jakarta, 1983).
Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Cet. Ke-I (Yogyakarta: Liberty, 1983).

Lampiran:
Contoh Ijtim’ Akhir Bulan yang bernilai positif

Keterangan:
Ternamnya matahari lebiha dahulu dari pada bulan, hal tersebut yang
menjadilkan penanggalan awal bulan Hijriyah positif, tidak ada perbedaan,
karena lebih dari 2 derajat (Imkanurrukyah empat mazhab)

Contoh Ijtima’ yang menimbulkan perselisihan antar Umat karena


Imkanurukyah belum mencapai 2 derajat

Contoh ijtima’ negatif, antar mazhab tidak ada perselisihan

134 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013

Anda mungkin juga menyukai