Abstrak
Kata Kunci: Awal bulan qomariyah, Rukyat, Hisab, Perhitungan Metode Ephimeris
A. PENDAHULUAN
Tidak lagi menjadi asing, bahwa umat Islam di Indonesia dapat memntukan setiap awal
bulan, yang dimana digunakan sebagai kegiatan ibadah oleh umat Islam. Dari awal bulan
Ramadhan, Syawal hingga Dzulhijjah. Penetapan awal bulan qomariyah ditandai dengan muncul
atau terbitnya hilal, dimana bulan sabit yang pertma kali terlihat yang terus menerus membesar
hingga menjadi bulan purnama, lalu menipis hingga hilang kembali1 (Butar-Butar, 2014, hal 8).
Penentuan awal bulan qomariyah sangat diperlukan dalam kontribusi kehidupan. Dalam
hal ini, eksistensinya untuk beribadah antara manusia dengan Allah swt juga berpengaruh, karena
ada hari besar Islam yang pada awal dan akhir bulan Ramadhan selalu dinanti-nanti untuk
keberlangsungan ibadah puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri pada awal Syawal, juga pada
bulan Dzulhijjah.
Mengingat penentuan awal bulan dan akhir bulan, baik bulan Ramadhan, Syawal maupun
Dzulhijjah tidak terlepas dari perhitungan yang pada dasarnya menggunakan sistem peredaran
bulan mengelilingi bumi, sehingga disebut sebagai sistem “kalender hijriyah”. Karena dalam
penentuan awal bulan maupun akhir bulan tidak terlepas dari sistem bulan tersebut.
Dalam penentuan awal bulan qomariyah terdapat dua metode, yaitu hisab dan rukyat.
Hisab memiliki pengertian perhitungan benda - benda langit untuk mengetahui kedudukan
benda-benda langit tersebut. Apabila hisab dikhususkan untuk menentukan awal bulan
qomariyah, dengan tujuan menentukan kedudukan matahari atau bulan sehingga dapat diketahui
kedudukan matahari dan bulan pada bola langit pada waktu tertentu2 (Sakirman, 2017, hal 2).
Ada beberapa metode penetapan awal bulan qomariyah, dengan menggunakan hisab dan
rukyat3 (Mukarram, 2017, hal 129). Perkembangan teknologi juga sangat berpengaruh terhadap
hisab dan rukyat, hingga saat ini penentuan awal bulan, baik Ramadhan, Syawal juga mengalami
perkembangan dari bermacam-macam teknologi yang sudah dikembangkan pada masa kini.
1
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Problematika Penentuan Awal Bulan Diskursus Antara Hisab dan Rukyat
(Malang: Madani. 2014), 8
2
Sakirman, Kontroversi Hisab dan Rukyat dalam Menetapan Awal Bulan Hijriyah di Indonesia (ELFALAKY: Jurnal
Ilmu Falak. Vol. 1. No. 1. Tahun 2017), 2
3
Akh. Mukarram, Ilmu Falak Dasar-Dasar Hisab Praktis (Sidoarjo: Grafika Media. 2017), 129
Metode penentuan awal bulan qomariyah dengan mengginakan metode hisab juga telah
dilakukan pada zaman Rasullulah saw. bahkan dalam perhitungannya dijelaskan secara eksplisit.4
Mengingat pada saat ini penentuan awal bulan dikolaborasikan menggunakan hisab juga rukyat,
yang disebut sebagai hisab kontemporer.
Hisab kontemporer adalah metode hisab yang saat ini akurat dan terpercaya, mengingat
saat ini pengambilan data menggunakan data yang disebut ephemeris, dimana hisab ephemeris
perhitungannya menggunakan data matahari dan bulan. Ada hisab yang menggunakan
perhitungan lain dengan menggunakan Almanak Nautika sebagai data kedudukan benda langit
guna untuk pelayaran, tetapi dapat digunakan untuk menghitung awal waktu sholat, perhitungan
awal bulan qomariyah, dan gerhana5.
Pengetahuan tentang akurasi perhitungan awal bulan dengan berbagai metode, dimana
metode tersebut juga mengalami perkembangan setiap tahun, dengan upgrade data ephemeris
dari kemenag setiap tahunnya. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui metode perhitungan
awal bulan menggunakan data ephemeris dengan step by step dalam perhitungannya.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Awal Bulan Qomariyah
Setiap ibadah yang dilakukan umat muslim sedunia, tentunya tidak terlepas dari waktu
yang telah ditentukan. Dari awal waktu shalat, bagaimana menentukan arah kiblat, hingga awal
bulan, bahkan awal bulan yang selalu dinantikan oleh umat muslim sedunia, seperti awal bulan
Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Penetapan-[penetapan awal bulan dalam islam disebut
sebagai awal bulan qomariyah.
Awal bulan qomariyah ditandai dengan dua hal, yaitu adanya rukyat dan hisab. Dimana
keduanya saling berkesinambungan dalam penetapannya. Rukyat atau disebut observasi, dimana
saat menentukan awal bulan perukyat tersebut terjun langsung ke lapangan dan memastikan
secara langsung. Sedangkan hisab adalah perhitungan dengan menggunakan suatu data dalam
penetapan awal bulan qomariyah.
4
Ibid, 129
5
Abd. Rahman, Analisis Metode Awal Bulan Kamariah dalam Kitab Tarwih karya Ik.H. Kholiqul Fadhi (Skripsi S-1
Kearsipan Perpustakaan UINSA. Fakultas Syariah dan Hukum. 2001), 32
Rukyat atau observasi adalah aktifitas melihat hilal pada akhir bulan, khususnya pada
bulan Ramdhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk menentukan tanggal satu, baik bulan-bulan
khusus maupun bulan dalam kalender Islam lainnya. Hukum melakukan pengamatan pada
kalangan fuqoha merupakan fardhu kifayah.6
Hisab merupakan pelengkap dari rukyat. Hisab merupakan komponen dimana sebagai
acuan dalam pengamatan. Hisab adalah perhitungan menggunakan data-data yang bersifat akurat
dan tepat. Hisab dalam penentuan awal bulan qomariyah digunakan untuk mengitung posisi
pergerakan matahari dan bulan dalam gerak hakiki.7
2. Metode Hisab
Hisab dibedakan menjadi dua bagian, yakni hisab urfi dan hisab haqiqi. Yang dimaksud
dengan hisab urfi atau hisab Jawa Islam, karena masih ada perpaduan hisab Hindu Jawa dengan
hisab Hijriyah yang dilakukan oleh Sultan Agung Anyokrokususmo pada tahun 1633 M atau
1043 H atau 1555 Ceka.8 Hisab urfi juga sistem hisab yang dicetuskan oleh Khalifah Umar bin
Khattab berserta sahabatnya9. Hisab ini perhitungannya menggunakan umur bulan. Dalam satu
tahun bulan qomariyah berganti-ganti antara 30 hari dan 29 hari. Bulan genap 30 hari dimulai
dari Muharram, dan bulan ganjil 29 hari dimulai bulan safar. Khusus bulan Dzulhijjah pada
tahun kabisat adalah 30 hari.10
Beriku ini nama-nama bulan dan harinya dalam hisab urfi sebagai berikut:11
1. Suro : 30 hari
2. Sapar : 29 hari
3. Mulud : 30 hari
6
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Problematika Penentuan Awal Bulan Diskursus Antara Hisab dan Rukyat……14
7
Ibid,. 16
8
Pengurus Besar Nahdatul Ulama, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdatul Ulama (Jakarta: Lajnah Falakiyah Pengurus
besar Nahdatul Ulama. 2006), 48
9
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Problematika Penentuan Awal Bulan Diskursus Antara Hisab dan Rukyat…. 95
10
Akh. Mukarram, Ilmu Falak Dasar-Dasar Hisab Praktis …… 130
11
Ahmad Salahudin Al-Ayubi, Studi Analisis Metode Hisab Awal Bulan Qamariyah Mohammad Uzal Syahruna
Dalam Kitab As-Syahru (Skripsi S-1 UIN Walisongo Semarang. 2015), 38
5. Jumadil awal : 30 hari
7. Rajab : 30 hari
8. Ruwah : 29 hari
9. Poso : 30 hari
10.Sawal : 29 hari
11.Zulkangidah : 30 hari
12.Besar : 29 hari
Kemudian untuk tahun-tahun dalam setiap windunya diberi lambang dengan huruf-huruf
alif abjadiyah75 berturut-turut sebagai berikut:12
1. Alif
2. Ehe
3. Jimawal
4. Ze
5. Dal
6. Be
7. Wawu
8. Jim Akhir
Secara umum ketentuan pada hisab ini adalah ; pertama ; penanggalan akan berulang
secara berkala setiap tiga puluh tahun. Kedua ; 1 Muharram 1 Hijriyah sebagai awal tahun
pertama pada bulan hijriyah, yang bertepatan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M, berdasarkan
sistem hisab. Berdasarkan rukyatul hilal yang terlihat pada malam Jumat tanggal 16 Juli 622 M
12
Ibid,. 39
menurut Rukyat. Ketiga ; bulan bergantian panjangnya antara 29 dan 30 hari selain bulan pada
tahun kabisat, bulan Dzulhijjah menjadi 30 hari, keempat ; satu daur 30 tahun, di dalamnya 19
tahun basitah, yaitu 1,3,4, 6, 8, 9, 11,12, 14, 15, 17, 19, 21, 22, 23, 25, 27, 28, dan 30. Sedang
tahun kabisat yaitu 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 20, 24, 26, dan 29.6. Hisab urfi ini memudahkan
sistematika penyusunan kalender hijriyah, tetapi hal ini tidak bisa memberikan gambaran konkrit
penampakan hilal, sehingga tidak bisa digunakan untuk keperluan ibadah umat muslim.13
Kedua ; hisab haqiqi adalah suatu hisab yang dimana penentuan awal bulannya sistem
perhitungannya dengan menggunakan data-data astronomi yang akurat dan konkrit. Dengan
posisi hilal yang diperhitungkan saat tenggelamnya matahari14. Sistem ini berdasarkan umur
bulan tidak tetap 30 hari atau 29 hari, melainkan bergantung pada posisi hilal setiap bulannya.
Hisab haqiqi menggunakan data astronomis gerak bulan dan matahari dan menggunakan kaidah
ilmu ukur segituga bola (hisab al- mutsallatsāt)15.
Hisab haqiqi terbagi menjadi tiga, diantaranya adalah Hisab Taqribi, Hisab Taqribi
Hakiki, dan Hisab Kontemporer16. Hisab Taqribi dimana hisab ini melakukan perhitungan saat
terjadinya ijtima’ (konjungsi) dan ketinggian hilal dengan mencari rata-rata waktu ijtima’ dengan
ditambah koreksi sederhana.17
Hisab Taqribi Hakiki adalah hisab yang proses perhitungannya hisab Hakiki Tahkiki
dengan detail koreksinya, dan lebih banyak dan teliti, meskipun hasilnya kurang akurat. Untuk
hisab kontemporer yang memiliki akurasi tinggi dengan menggunakan data-data astronomis yang
tinggi, sistem hisab ini adalah yang paling cocok digunakan menentukan hilal. Dengan
memperhatikan posisi pengamat, data deklinasi, sudut waktu dan kemiringannya juga koreksi
hasil dari perhitungannya. Hal ini menjadikan hisab kontemporer sebagai acuan, salah satunya
menggunakan data ephemeris.18
13
Alimuddin, Hisab Hakiki: Metode Ilmiah Penentuan Awal Bulan Kamariyah (Al Risalah: Jurnal Ilmu Syariah dan
Hukum. Volume 19, Nomor 2, November 2019), 230
14
Ibid,. 230
15
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Problematika Penentuan Awal Bulan Diskursus Antara Hisab dan Rukyat…. 96
16
Ibid,. 97
17
Akh. Mukarram, Ilmu Falak Dasar-Dasar Hisab Praktis …… 131
18
Ibid,. 131
Ephemeris merupakan sistem hisab yang dikembangkan oleh Departemen Agama RI
menggunakan data-data kontemporer19. Metode ephemeris adalah metode perhitungan hilal
dengan menggunakan data bulan dan matahari saat mengalami konjungsi (berada pada garis
yang sama)20.
B. Data Bulan
Berikut ini ephemeris data bulan sebagai berikut:
1. Apparent Longitude atau Bujur Astronomis
2. Apparent Latitude atau Lintang Astronomis
3. Apparent Right Ascension atau Asensio Rekta
4. Apparent Declination atau Deklinasi Bulan
5. Horizontal Parallax atau Paralaks
6. Semi Diameter atau Jari-Jari Bulan
7. Angle Bright Limb atau Sudut kemiringan
8. Franction Illumination atau Besar Piringan Bulan
Ephe
meris Data Bulan
Untuk menghitung awal bulan qamariyah secara tepat, setidak-tidaknya ada beberapa
peristiwa alam yang harus diperhitungkan, yakni :
1. Ijtima’, disebut juga Iqtiran atau Conjunction (Bhs.Inggris), yakni suatu peristiwa alam
yang berulang setiap bulannya, dimana tiga buah benda langit, yakni bumi, bulan dan
matahari berada pada satu garis bujur astronomis yang sama (utara-selatan) dengan posisi
bulan berada di antara bumi dan matahari. Peristiwa inilah yang mengawali terjadinya
Hilal (bulan sabit) sebagai pertanda dimulainya hitungan bulan baru dalam kalender
qamariyah.
2. Irtifa’, yakni derajat ketinggian hilal dari garis batas ufuk barat saat matahari terbenam.
Untuk keperluan penghitungan awal bulan qamariyah biasanya yang dihitung adalah
ketinggian hilal pada hari terjadinya ijtima’. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan
apakah besuknya sudah masuk tanggal baru atau belum. Untuk keperluan ru’yatul hilal,
irtifa’ dibedakan atas dua macam, yakni :
a. Irtifa’ Hilal Haqiqie, yakni ketinggian hilal sebenarnya menurut perhitungan
ilmu hisab.
b. Irtifa’ Hilal Mar’ie, yakni ketinggian hilal yang dapat dilihat dengan mata biasa
dari suatu tempat di muka bumi ini, seandainya tidak terhalang pandangan mata
kita oleh mendung ataupun benda-benda lainnya. Antara keduanya terdapat
perbedaan sedikit, mengingat adanya bias lihat akibat keterbatasan kemampuan
mata kita.
3. Mukuts, yakni lamanya hilal tampak di atas ufuk, mulai terbenamnya matahari sampai
dengan terbenamnya hilal itu sendiri.
4. Azimuth, yakni posisi bulan dan matahari diukur dari titik arah utara. Azimuth ini
dipakai untuk menentukan dimana letak bulan dari posisi terbenamnya matahari dan
kemiringan sabitnya.
C. Ijtima’
Peristiwa terjadinya ijtima’ ini akibat adanya peristiwa gerak revolusi bulan (bulan mengelilingi
bumi) dan gerak revolusi bumi (bumi mengelilingi matahari). Perhatikan gambar berikut ini
M1
M2
Keterangan :
S = Sun (Matahari)
E = Earth (Bumi)
M = Moon (Bulan)
P = titik Pertolongan
Dari gambar di atas dapat kita lihat bahwa saat ijtima’ bulan lalu posisi M 1 berada di bawah garis
pertolongan (+ 15°), sedangkan pada ijtima’ bulan berikutnya, posisi M 2 berada di atas gari
pertolongan (+ 15°), dan posisi M selanjutnya ditempati titiki pertolongan [P]. (Sudut M2E2P =
30°). Dari gambaran di atas dapat dipahami bahwa perjalanan orbit bulan mengelilingi bumi
tidak cukup hanya menempuh satu kali lingkaran (360°), tetapi harus ditambah sebesar 30°,
akibat bumi yang dikelilingi juga bergerak mengelilingi Matahari. Dengan kata lain dari satu
ijtima’ ke ijtima’ berikutnya, bulan menempuh perjalanan sepanjang : 360° + 30° = 390°.
Perjalanan bulan mengelilingi bumi sepanjang 360° disebut Bulan Sederis, yang membutuhkan
waktu rata-rata 27 hari 7 jam 43 menit 11,51 detik atau 27,321660995 hari. Sedangkan sampai
dengan ijtima’ bulan berikutnya sepanjang 390° dinamakan Bulan Sinodis, yang membutuhkan
waktu sepanjang rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 2,82 detik, atau kalau diubah menjadi angka
desimal menjadi : 29,53058449 hari. Secara astronomis, saat ijtima’ itulah dimulai penghitungan
umur bulan.
1. Memperkirakan Ijtima’ dengan Tabel Jean Meeus
Menghitung saat terjadinya ijtima’ dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, mulai
dari penghitungan yang bersifat perkiraan dengan tingkat akurasi yang rendah sampai dengan
penghitungan tingkat tinggi dengan didukung data yang akurat dan tentunya hasil yang
diperolehpun akurat juga. Tabel Jean Meeus merupakan cara penghitungan yang sebenarnya
menggunakan penghitungan yang cukup cermat, tetapi dengan cara yang dipermudah sehingga
hasil penghitungannyapun tergolong cukup akurat juga. Tabel ini dipetik dari buku Astronomical
Tables of the Sun, moon and Planets yang disusun oleh Jean Meeus. Tabel ini sebenarnya bukan
hanya untuk menghitung saat ijtima’ (New Moon) saja, melainkan juga untuk menghitung fase-
fase bulan yang lain, yakni First Quarter (saat bulan mencapai separuh yang pertama), Full
Moon (bulan purnama), dan Last Quarter (bulan separuh yang kedua, sesudah bulan purnama).
Tabel-tabel ini terdiri dari 9 (sembilan) macam tabel. Tabel 1 sampai dengan tabel 3 merupakan
argumen penghitungan abad, tahun dan bulan, sedangkan tabel 4 s.d. tabel 8 merupakan koreksi-
koreksi, dan tabel 9 untuk merubah dari ET (Ephemeris Time) menjadi UT (Universal Time) atau
sekarang disebut GMT (Greenwich Mean Time). Jadi hasil akhir yang didapat dari penghitungan
ini adalah GMT. Untuk mengubahnya menjadi waktu daerah sesuai keinginan kita, misalnya
WIB, maka harus diubah sesuai dengan beda waktu standar dengan GMT.
Keuntungan menggunakan tabel Jean Meeus ini di samping relatif lebih sederhana
prosesnya, juga langsung kita peroleh tanggal, jam, menit sampai detiknya. Hal ini berbeda
ketika kita menggunakan data lain yang lebih akurat, misalnya Almanak Nautika atau
Ephemeris Hisab Rukyat, dimana tanggalnya harus kita cari dulu menggunakan cara lain
yang lebih sederhana, misalnya dengan konversi sistem urfy.
Cara Mencari Waktu Ijtima’
1. Buatlah tabel dengan kolom-kolom secara berturut-turut : Tabel, Argumen, Waktu, A, B,
C, dan baris di bawah kolom tabel diisi angka 1 s.d. 8 yang merupakan petunjuk bagi
pengambilan data pada tabel yang bersangkutan.
2. Carilah nilai argumen waktu, A, B, dan C dari tabel 1 s.d. 3 terlebih dahulu, kemudian
kolom A, B, dan C masing-masing dijumlahkan. Hasil penjumlahan kolom A
dimasukkan pada kolom argumen baris ke-4, jumlah B pada baris ke-5 dan jumlah C
pada baris ke-6, dengan catatan apabila jumlahnya mencapai lebih dari 1000, maka angka
ribuannya dihilangkan.
3. Tambahkan hasil penjumlahan kolom A dan kolom B (A+B) dengan menghilangkan
angka ribuannya dan masukkan pada kolom argumen baris ke-7. Dan kurangkan A dari B
(A-B), dengan catatan apabila A lebih kecil dari B maka A ditambah 1000. Hasilnya
dimasukkan kolom argumen baris ke-8
4. Selanjutnya bukalah berturut-turut tabel 4 s.d. 8 untuk mencari nilai dari masing-masing
koreksi waktu dan tuliskan pada kolom waktu.
5. Jumlahkan seluruh kolom waktu mulai dari baris ke-1 s.d. 8. Untuk mengubah dari ET ke
UT gunakan tabel 9.
6. Angka utuh adalah tanggal, sedangkan angka pecahan adalah jam, menit dan detik. Untuk
mengubahnya, kalikan angka pecahan dengan 24.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita ikuti contoh penghitungan berikut :
1. Menghitung saat Ijtima’ bulan Oktober 1582 M
Tabe Argumen Waktu A B C
l
1 Abad : 1500 0.4390 42 83 190
2 Thn. : 82 23.5480 61 789 948
3 Bln: 22.7750 728 645 534
September
4 A : 831 - 0.1589 831 1517 1672
5 B : 517 + 0.0469
6 C : 672 - 0.0100 A + B = 1348
7 A + B: 348 - 0.0040 A – B = 314
8 A-B : 314 + 0.0070
Jumlah 46.6430 – 0.002 = 46.641
Tanggal = 46 - 30 = 16 Oktober 1582 M
Jam = 0.641 x 24 = 15:23:02.4 GMT + 7 = 22:23:02.4 WIB
2. Menghitung saat Ijtima’ bulan Agustus 1945 M
Tabe Argumen Waktu A B C
l
1 Abad : 1900 1.259 998 850 118
2 Thn. : 45 12.538 32 945 908
3 Bln. : Juli 25.714 566 502 193
4 A : 596 - 0.096 1596 2297 1219
5 B : 297 - 0.398
6 C : 219 + 0.010 A + B = 893
7 A + B: 893 - 0.005 A – B = 299
8 A-B : 299 - 0.007
Jumlah 39.015 – 0.000 = 39.015
Tanggal = 39 – 31 = 8 Agustus 1945 M
Jam = 0.015 x 24 = 0:21:36 GMT + 7 = 7:21:36 WIB
3. Menghitung saat Ijtima’ bulan Maret 1994 M
Tabe Argumen Waktu A B C
l
1 Abad : 1900 1.259 998 850 118
2 Thn. : 94 11.075 26 403 166
3 Bln. : Maret 0.061 162 143 341
4 A : 186 + 0.170 1186 1396 625
5 B : 396 - 0.275
6 C : 625 + 0.007 A + B = 582
7 A + B: 582 + 0.002 A – B = 790
8 A-B : 790 - 0.007
Jumlah 12.306 – 0.001 = 12.305
Tanggal = 12 Maret 1994 M
Jam = 0.305 x 24 = 07:19:12 GMT + 7 = 14:19:12 WI
M’
M2 M1
Bumi
Misalkan S1 adalah posisi matahari pada jam sebelum ijtima’ dan M1 adalah posisi bulan
sebelum ijtima’, dimana posisi matahari berada di depan bulan. Sedangkan S 2 dan M2 adalah
posisi matahari dan bulan sesudah terjadi ijtima’, maka S’ dan M’ berada pada satu garis
bujur yang sama. Posisi inilah yang dinamakan Ijtima’. Dengan data keberadaan matahari
dan bulan dari waktu ke waktu tersebut, maka dengan perbandingan kecepatan di antara
kedua benda langit itu kita bisa memperoleh hasil yang tepat mengenai kapan kedua benda
langit itu berada pada satu garis bujur yang sama.
Catatan : Pada peristiwa pergerakan matahari dan bulan ini kenyataan yang sesungguhnya
adalah bulan bergerak lebih cepat dari matahari dan keduanya bergerak berlawanan arah
jarum jam dari arah barat menuju timur. Namun yang terlihat oleh mata kita sebagai gerak
semu adalah bahwa matahari bergerak lebih cepat daripada bulan dari arah timur menuju
barat. Hal ini disebabkan oleh rotasi bumi yang berputar jauh lebih cepat dibanding
keduanya dengan arah yang sama. Perbandingan kecepatan di antara ketiga benda langit
itu adalah sebagai berikut :
DIP = 1,76 √ M
60°
Catatan :
21
Barmawi, Op.Cit. p. 29 – 33B
Data tentang bujur dan lintang suatu tempat dapat kita temukan melalui berbagai data yang
sudah siap pakai atau melalui pencarian sendiri dengan cara-cara yang sudah diuraikan pada
Jilid 1 terdahulu. Sedangkan ketinggian tempat dari permukaan laut dapat kita peroleh
melalui berbagai instansi yang berkaitan dengan itu.
2. Perkirakan Ghurubusy Syams
Hitunglah perkiraan saat terbenamnya matahari di Markaz, dengan cara :
a. 12 – E + (to + B – ω)/15
dimana [E] adalah Equation of Time (Perata Waktu) yang datanya bisa kita cari
pada tabel Ephemeris untuk hari itu, [B] adalah bujur kota dan [ω] bujur yang
digunakan pedoman untuk waktu daerah (misalnya WIB = 105°), sedangkan [t o]
adalah sudut waktu matahari dihitung dari titik Zenit.
b. Untuk menghitung besarnya [to] digunakan rumus :
Cos to = -tan φ. tan δ + Sin ho .
Cos φ Cos δ
Rumus inipun terdapat satu data yang masih harus dicari, yakni [ho], yaitu jarak
matahari dari garis horizon.
c. Untuk menghitung besarnya [ho] digunakan rumus :
ho = - (SD + 0°34,5’ + DIP)
dimana SD = semi diameter matahari pada jam sekitar ghurub yang datanya bisa
kita lihat pada tabel Ephemeris. Sedangkan angka 0°34,5’ adalah Refraksi, yakni
indeks kerembangan saat benda langit mendekati garis ufuk.
3. Interpolasi semua Data Ghurub
Perlu dipahami bahwa data-data yang kita ambil dari tabel ephemeris yang meliputi
Equation of Time (E), Decination (δ) dan Semi Diameter (SD) untuk menghitung saat
terbenamnya matahari di atas adalah data dari jam utuh, yakni jam 10 atau 11 bila kita
menghitung untuk daerah waktu Indonesia bagian Barat. Sedangkan data yang
sebenarnya kita cari adalah data-data pada saat matahari terbenam. Karena itu setelah
kita temukan perkiraan ghurubusy syams, maka data-data tersebut harus kita
interpolasikan pada jam ghurub perkiraan, yang selanjutnya digunakan untuk
mencari jam ghurub haqiqie. Rumus interpolasi adalah sebagai berikut :
A–(A–B)xC/I
dimana :
A = data pada jam utuh sebelumnya.
B = data pada jam utuh sesudahnya.
C = Selisih antara jam utuh sebelumnya dengan ghurub.
I = Interval waktu antara jam sebelumnya dan jam sesudahnya
4. Menghitung Ghurub Haqiqie
Setelah kita temukan data-data matahari pada saat ghurub perkiraan, maka data-data
tersebut kita gunakan untuk menghitung ghurub haqiqie dengan langkah dan rumus
sebagaimana diuraikan pada point 2 di atas. Pengulangan penghitungan saat terbenam
matahari semacam ini dimaksudkan agar penghitungan ketinggian hilal dapat benar-
benar memperoleh hasil penghitungan yang tepat.
5. Interpolasi data-data matahari dan bulan
Sama dengan langkah ke-2 dan 3 di atas, pada langkah ini yang kita interpolasi
adalah data-data matahari dan bulan yang berkaitan dengan penghitungan irtifa’,
dengan nilai [C] adalah hasil penghitungan pada langkah ke-4. Adapun data-data
yang kita interpolasi meliputi22 :
a. RAo (Apparent Right Ascension) atau dikenal dengan Asensiorekta Matahari,
yakni jarak matahari dari titik Aries diukur sepanjang lingkaran Equator.
b. RAc atau Asensiorekta Bulan.
c. dc atau deklinasi bulan, yang dalam tabel disebut Apparent Declination.
d. SDc atau semi diameter bulan, yakni jari-jari bulan yang tampak dari bumi diukur
dari titik pusatnya.
e. HPc atau Horizontal Parallax, yakni “beda lihat” saat bulan berada di garis ufuk
yang disebabkan oleh sudut yang terbentuk dari titik pusat bumi, titik pusat bulan
dan permukaan bumi (tempat kita berada).
6. Menghitung Irtifa’ Hilal Haqiqie
Sampai pada langkah ini sebenarnya kita mempunyai tiga data yang cukup akurat mengenai
kedua benda langit (matahari dan bulan) yang sama-sama bertolak dari titik zenit. Ketiga data
tersebut adalah
22
Untuk selanjutnya karena data-data yang kita ambil dari tabel Ephemeris adalah data matahari dan bulan,
sedangkan jenis data seringkali sama, maka perlu kita sepakati bahwa simbul [ o ] menunjukkan data matahari dan
simbul [ c ] menunjukkan data bulan.
a. to, yakni sudut waktu matahari saat terbenam, yang telah kita hitung pada langkah
kedua dan keempat di atas.
b. RAo yang sudah kita interpolasi ke saat matahari terbenam.
c. RAc yang juga sudah kita interpolasi.
Ketiga data tersebut kalau kita gabung akan menunjukkan perbedaan matahari dan
bulan pada saat bulan terbenam. Hal ini dapat kita ibaratkan dua orang pengendara
yang melaju dalam jalur yang sama dan kecepatan berbeda. Keduanya pernah
bertemu dalam satu titik, maka selanjutnya yang terjadi adalah pengendara yang
lambat akan tertinggal. Bila yang kita ibaratkan itu adalah matahari dan bulan, maka
seberapa jauh ketertinggalannya saat mencapai km tertentu, itulah yang kita namakan
irtifa’. Jadi menghitung irtifa’ adalah dengan menggabungkan ketiga data tersebut di
atas, yakni :
hc = Sin-1 (Sin φ .Sin δc + Cos φ. Cos δc. Cos tc)
dimana :
tc = to + RAo - RAc
Catatan : Pada rumus” hc” di atas diperhitungkan data “φ” (lintang markaz
pengamat) dan “δc” (deklinasi bulan). Hal ini karena data pada tabel adalah
berdasarkan posisi dari garis katulistiwa, sedangkan lintang markaz merupakan
simpangan arah pandang dari garis katulistiwa. Karena itu keduanya harus
diperhitungkan.
7. Koreksi Irtifa’ Hilal Mar’ie
Kemampuan manusia melihat sesuatu ada batasannya. Pada kegiatan ru’yatul hilal benda
yang kita lihat jaraknya sangat jauh dari kita, karena itu terdapat beberapa hal yang ikut
mempengaruhi hasil penglihatan mata kita. Walaupun digunakan dengan alat optik yang canggih
sekalipun, selama masih kita lakukan di atas permukaan bumi, maka bias-bias terhadap hasil
penglihatan tentu ada. Adapun hal-hal yang mempengaruhi hasil penglihatan kita terhadap
a. Semi Diameter bulan [SDc] hal ini karena data-data penghitungan yang kita
gunakan adalah berporos pada titik pusat bulan, sedangkan yang tampak sebagai
hilal adalah permukaan bagian bawah. Karena itu harus dikoreksi dengan
mengurangi semi diameter bulan.
P
O
K
Z
(Zenit)
H O (Observer)
(Horizon)
OH lebih panjang daripada OZ.
c. Parallax, atau beda lihat, yakni perbedaan posisi antara sudut pandang data
dengan pengamat. Sama halnya dengan point a di atas, dari bumipun mengalami
permasalahan yang sama, yakni data-data itu diasumsikan dari titik pusat bumi.
Sedangkan kita mengamati dari permukaan bumi, karena itu ada pengaruh sudut
pandang akibat berbeda posisi. Adapun rumus menghitung Parallax adalah :
Pc = HPc cos hc
(1,76 √ M) / 60’
8. Penghitungan Irtifa’
Berdasarkan data ephemeris, ijtima’ terjadi pada tanggal 23 Nopember 2003. tetapi
setelah dihitung jamnya adalah 23:04:11,32 GMT, kalau dikonversikan ke WIB
menjadi tanggal 24 Nopember 2003 pukul 06:04:11,32” WIB, yang kita lakukan
adalah sebagai berikut :
a. Mengumpulkan data Markaz Tanjung Kodok dan data matahari tanggal 24
Nopember 2003 :
Data Markaz :
- Bujur Markaz (λ) : 112°21’27,8” (BT)
- Lintang Markaz (φ) : - 06°51’52,22” (LS)
- Ketinggian dari permukaan laut : 10 m
- DIP : 1,76 √ 10 /60’ = 0°5’34”
Data matahari : (dalam hal ini kita ambil jam 10, dengan pertimbangan bahwa
selisih WIB dan GMT adalah 7 jam, sedangkan perkiraan ghurub di Tanjung
Kodok sekitar jam 17 lebih)
- Perata Waktu (E) : 0°13’27”
- Deklinasi (δ) : - 20°30’06”
- Semi Diameter : 0°16’11,91”
Dalam hal ini, hisab dan rukyat sangat berkaitan dalam penentuan awal bulan
qomariyah, namun di sisi lain ada beberapa persoalan hisab dan rukyat, salah satunya yaitu
dengan adanya perbedaaan, hingga dapat membuat permusuhan dalam ukhwah Islamiyah. Ada
dua madzab fiqh yang meninjolkan salah satu dari hisab ataupun rukyat. Muhammadiyah
menggunakan metode hisab sebagai penentuan awal bulan, sednagkan Nahdlatul ulama
menggunakan rukyat. Melihat hal ini, seorang Orientalis Belanda yang menyatakan surat kepada
gubernur jendral Belanda:
“Tiidak perlu heran jika di negeri ini jika setiap tahun ada perbedaan mengenai awal
bulan dan akhir bulan puasa. Bahkan perbedaannya it
Jika melakukan rukyat, lalu karena hilal belum bisa dilihat atau cuaca yang sedang
mendung (ada gangguan), maka penentuan awal bulan tersebut harus istikmal (menggenapkan 30
hari) menurut madzab rukyat hal ini sifatnya ta’abuddi – ghair al ma’qul ma’na. Yang artinya
tidak dapat dirasionalkan pengertiannya tidak dapat diperluas dan dikembangkan. Jadi dalam
perhitungannnya sebatas pada melihat dengan mata telanjang, itulah secara mutlak perhitungan
hisab hakiki tidak dapat digunakan.24 Ini adalah pendapat yang digunakan oleh madzab rukyat.
Ada yang berpendapat bahwa dalam hadis-hadis rukyat termasuk ta’aqquli ma’na yang
artinya dapat dirasionalkan, diperluas dan dikembangkan. Sehingga dapat diartikan sebagai
23
Ahmad Izuddin, Ilmu Falak Praktis Metode Hisab – Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahan……. 91
24
Kementrian Agama Republik Indonesia, Ilmu Falak Praktis (Jakarta: Sub Direktorat Syariah dan Hisab RUkyat
Direktorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian
Agama Republik Indonesia. 2013), 96
mengetahui walaupun sifatnya zanni (dugaan kuat) tentang adanya hilal dan tidak mungkin
dapat dilihat berdasarkan hisab.25
Saat ini banyak para perukyat saat yang sudah melakukan rukyat dimana untuk
menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Tetapi para ulama juga banyak
memadukan antara hisab rukyat saat ini, mengingat menggunakan keduanya mempunyai tujuan
yang menarik sehingga persoalan ini juga banyak yang memeperdebatkan di antara ahli-ahli
setiap bidang masing-masing.
D. KESIMPULAN
Dalam perhitungan hisab kontemporer dimana dinilai yang paling akurat dan
dapat digunakan sebagai penentuan awal bulan, bahwa seiring berjalannya waktu,
teknologi semakin canggih hingga dapat membuat data-data astronomi, bahkan dengan
jangka panjang. Karena hisab kontemporer saat ini juga di kaitkan dalam rukyat,
menjadikan hal ini sebagai acuan dalam menentukan awal bulan qomariyah.
Dengan ini, seputar gagasan tentang hisab rukyat dapat disimpulkan bahwa ada
dua madzab yang menganut masing-masing cara menentukan awal bulan, yaitu madzab
rukyat dan madzab hisab. Dimana korelasi keduanya juga sama-sama dapat
menghasilkan keputusan dengan tepat, ibarat kata adalah simbiosis mutualisme yang
saling membutuhkan kan berkesinambungan.
25
Ibid,. 96
Lampiran 1 :
Abad 1500 Kalender Julius s.d. 4 Oktober 1582 dan Kalender Gregorius mulai 15 Oktober 1582
Tabel 2 (Nilai untuk Tahun)
Lanjutkan
Lanjutan Tabel 2 :
FQ Feb(B) 6.913 101 340 713 LQ Agst 16.862 627 306 821
FM Feb 13.296 121 608 256 NM Agst 24.245 647 574 363
FM Feb(B) 14.296 121 608 256 FQ Sept 0.627 667 842 906
LQ Feb 20.679 141 875 798 FM Sept 8.010 687 110 448
LQ Feb(B) 21.679 141 875 798 LQ Sept 15.393 707 377 991
NM Maret 0.061 162 143 341 NM Sept 22.775 728 645 534
FM Maret 14.826 207 679 426 FM Okt 7.541 768 181 629
LQ Maret 22.209 222 947 969 LQ Okt 14.923 788 449 162
NM Maret 29.597 243 215 511 NM Okt 22.306 608 717 704
FM April 13.357 283 751 596 FM Nop 6.071 849 253 769
NM April 28.122 323 287 682 NM Nop 20.836 889 789 874
FM Mei 12.888 364 823 767 FM Des 5.602 930 325 940
NM = New Moon (Bulan Baru / Ijtima’) FQ Des 27.750 990 128 587
Tabel 5 Tabel 6
(Koreksi Kedua) (Koreksi Ketiga)
B NM/FM FQ/LQ B NM/FM FQ/LQ C NM/FM FQ/LQ
0 0.000 0.000 500 0.000 0.000 0 0.000 0.000
Al-Ayubi, Ahmad Salahudin. 2015. Studi Analisis Metode Hisab Awal Bulan Qamariyah
Mohammad Uzal Syahruna Dalam Kitab As-Syahru (Skripsi S-1 UIN Walisongo
Semarang.
Alimuddin. 2019. Hisab Hakiki: Metode Ilmiah Penentuan Awal Bulan Kamariyah. Al Risalah
Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum. Volume 19, Nomor 2.
Butar-Butar, Arwin Juli Rakhmadi. 2014. Problematika Penentuan Awal Bulan Diskursus
Antara Hisab dan Rukyat. Malang. Madani.
Izuddin, Ahmad. 2017. Ilmu Falak Praktis Metode Hisab – Rukyat Praktis dan Solusi
Permasalahan. Semarang. PT Pustaka Rizki Putra.
Kementrian Agama Republik Indonesia. 2013. Ilmu Falak Praktis (Jakarta: Sub Direktorat
Syariah dan Hisab RUkyat Direktorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama Republik Indonesia.
Mukarram, Akh. 2017. Ilmu Falak Dasar-Dasar Hisab Praktis. Sidoarjo. Grafika Media.
Pengurus Besar Nahdatul Ulama. 2006. Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdatul Ulama (Jakarta:
Lajnah Falakiyah Pengurus besar Nahdatul Ulama.
Rahman, Abd. 2017. Analisis Metode Awal Bulan Kamariah dalam Kitab Tarwih karya Ik.H.
Kholiqul Fadhi. Skripsi S-1 Kearsipan Perpustakaan UINSA. Fakultas Syariah dan
Hukum.
Sakirman.2017. Kontroversi Hisab Dan Rukyat dalam Menetapan Awal Bulan Hijriyah Di
Indonesia. ELFALAKY. Jurnal Ilmu Falak. Vol. 1. No. 1.
Septi Sari dkk. 2017. Menentukan Hisab Awal Bulan Hijriyah 1436 H dengan Metode
Ephemeris Jurnal Penelitian Sains: Volume 19 Nomor 3