Anda di halaman 1dari 10

PENENTUAN AWAL AWAL BULAN ISLAM MENURUT MADZHAB HANAFI

Muhammad Sholehuddin

C06219023

Program Studi Ilmu Falak Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Email: udin11sholeh@gmail.com

Abstarct

This research departs from the many differences of opinion in determining the beginning of
the month of qamariah which often cause polemics in the community. Each group has their
own beliefs and understandings in determining the start of the qamariah month, especially in
certain months such as Ramadan, Shawwal and Dzulhijjah which have an important role in
the implementation of worship for Muslims. The difference of opinion in determining the
beginning of the month of qamariah is motivated by differences in methods or systems in its
determination, as well as due to differences in the flow adopted by each group. There are also
differences of opinion among the scholars of the four schools of thought, namely the Hanafi,
Maliki, Syafi'i and Hanafi schools. So because of that, it is necessary to have an in-depth
study of each of these groups to be able to mediate the differences that occur in each group to
be implicated in the community so that there is no blaming one another. The authors of this
research will deepen the hadiths and methods used by the ulama 'Hanafi madzab and their
followers.

Keywords: The beginning of the lunar month, Ulama '4 schools

Abstrak

Penelitian ini berangkat dari banyaknya perbedaan pendapat dalam penentuan awal bulan
qamariah yang sering menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Setiap golongan memiliki
keyakinan dan pemahaman masing-masing dalam menentukan awal bulan qamariah,
khususnya pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah yang
memiliki peranan waktu penting dalam pelaksanaan ibadah bagi umat muslim. Perbedaan
pendapat dalam penentuan awal bulan qamariah dilatarbelakangi adanya perbedaan metode
atau sistem dalam penetapannya, sekaligus karena adanya perbedaan aliran yang dianut dari
masing-masing golongan. Perbedaan pendapat tersebut juga terdapat di kalangan para ulama’
empat madzhab yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanafi. Maka sebab itu,
diperlukanlah sebuah penelitian yang mendalam dari masing-masing golongan tersebut untuk
dapat menengahi perbedaan yang terjadi pada masing-masing golongan untuk diimplikasikan
kepada masyarakat supaya tidak terjadi saling menyalahkan satu sama lain. pemakalah pada
penelitian ini akan memperdalam mengenai hadits-hadits dan metode yang dipakai oleh
ulama’ madzab Hanafi beserta para pengikutnya..

Kata Kunci: Awal bulan kamariah, Ulama’ 4 madzhab

A. PENDAHULUAN

Penentuan awal bulan qamariah di Indonesia sampai saat ini belum juga
menemukan titik terang terhadap masalah ijtihādynya, disebabkan setiap madzhab
pastinya memiliki keyakinan terhadap pendapatnya masing-masing1.

Latarbelakang munculnya perselisihan yakni adanya perbedaan dalam menafsirkan


hadits-hadits tentang hisab dan rukyat yang masih bersifat umum. Selain itu,
perselisihan juga bersumber dari perkembangan zaman yang semakin maju, dari sebab
itu menjadikan ulama’ harus menjawab segala persoalan dan segala perbedaan dari
setiap golongan yang ada supaya tidak terjadi ketimpangan sosial.

Permasalahan penentuan awal bulan di Indonesia selalu dikaitkan dengan


pembahasan mazhab hisab dan mazhab rukyat. kedua mazhab tersebut memiliki
pendapat yang sangat kontras. Mazhab hisab menafsirkan hadits yang bersifat umum
yang diambil secara langsung dari konteks hadits yang mengahasilkan sebuah metode
ru‘yah bi al-‘ilmi sedangkan mazhab rukyat menafsirkan ayat sesuai dengan teks hadits
yang ada dan menghasilkan ru‘yah bi al-‘ayni sebagai hasil hukumnya, sehingga
mengharuskan mazhab rukyat untuk melakukan praktek rukyat al hilal terlebih dahulu
untuk menetapkan kapan awal bulan qamariah akan terjadi.

Melihat kebelakang dari permasalahan yang muncul, bagiamana sebenarnya


ulama’ terdahulu khususnya para imam 4 mazhab dalam menafsirkan hadits-hadits
rukyat tersebut dan bagiamana metode yang ditetarapkan dalam menghadapi
1
Rohmah, Nihayatur. “Otoritas dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah”. Jurnal AlMabsut, LP3M STAI Ngawi.
Vol.9. No.1. 2015. Hal. 14
permasalahan yang ada pada masa kini. Pada pembahasan kali ini, kita bertujuan untuk
menggali dan menemukan hadis-hadis mengenai penentuan awal bulan qamariah serta
pendapat ulama’ mazhab Hanafi dan pengikutnya terhadap penentuan awal bulan
qamariah. Diharapkan pembahasan ini dapat dijadikan sebagai rujukan untuk
pengkajian ulang teori-teori dalam penentuan awal bulan qamariah. .

B. PEMBAHASAN
1. Hadis-Hadis Penetapan Awal Bulan

Hadits mengeni penetapan awal bulan terdapat banyak sekali jumlahnya, untuk
memudahkan dalam mengkajinya maka beberapa hadits tersebut dapat dikelompokkan
menjadi empat kategori,

1) Hadis-hadis tentang perintah berpuasa Ramadan dan beridul fitri ketiika telah
melakukan rukyat hilal. Seperti tertera dalam hadits berikut:

‫حدشني حرملة بن يحي أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب قال حدثني سالم بن عبدهللا أن عبد هللا‬
‫أن عبد هللا بن عمر رضي هللا عنهما قال سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول إذا رأيتموه فصوموا وإذ‬
‫رأيتموه فصوموا وإذا رأتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدرواله‬

Artinya : Telah menceritakan pada saya Harmalah ibnu Yahya, telah memberi kabar
kepada kami Ibnu Wahbi, telah memberi kabar kepada saya Yunus dari Ibnu Syihab
berkata : telah menceritakan kepada saya Salim Ibnu Abdillah bahwa Abdullah Ibnu
Umar r.a berkata : saya mendengar Rasullullah saw bersabda: apabila melihat hilal
berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya maka berbukalah (beridulfitrilah) jika
hilal terhalang oleh awan terhadapmu, maka kadarkanlah. HR. Muslim ( Muslim,
1992: 760/2)

2) Hadis-hadis tentang larangan berpuasa dan beridul fitri sebelum melakukan rukyat.
‫وحدسني زهيربن حرب حدسنا إسمعيل عن أيب عن نافع عن ابن عمر رضياهلل عنهما قال قال رسول هللا صلى‬
‫عليه وسلم إنما الشهرتسع وعسرون فال تصومو ا حتى تروه وال تفطرو ا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدرواله‬
Artinya : Telah menceritakan kepada saya Zuhair Ibnu Harb, telah menceritakan
kepada kami Ismail dari Ayyub dari Nafi’ dari Ibn Umar r.a berkata bahwa
Rasulallah saw bersabda : sesungguhnya jumlah bulan itu adalah 29 hari. Janganlah
kamu berpuasa hingga melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat
hilal, jika hilal terhalang oleh awan terhadapmu, maka kadarkanlah. HR. Muslim2

3) Hadis-hadis tentang penggenapan bilangan bulan apabila hilal tertutup awan


sehingga tidak bisa dirukyat
‫حدسنا آدم حدسنا شعبة حدثنا محمد بن زباد قال سمعت أبا غريرة رضي هللا عنه يقولوقال النبي صلى هللا عليه‬
‫وسلم أو قال قال أبو القاسم صلى هللا عليه وسلم صومو لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غني عليكم فأكملوا عدة‬
‫شعبان ثال ثين‬
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami
Syu ‘bah, telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Ziyad, ia berkata: saya
mendengar Abu Hurairah r.a mengatakan : Nabi saw bersabda: berpuasalah kamu
karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula, jika Bulan
terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban tiga
puluh hari. HR. Bukhari3

4) Hadis tentang umat yang ummi dalam pengertian tidak menguasai baca tulis dan
tidak bisa melakukan hisab.
‫حدسنا آدم حدسنا شعبة حدسنا األسود بن قيس حدسنا سعيد بن عمرو انه سمع ابن عمر رضي هللا عنهما عن‬
‫النبي صلى هللا عليه وسلم أنه قال إنا أمة أمية ال نكتب وال نخسب الشهر هكذا وهكذا يغني مرة تسعة وعشرين‬
Ž‫ومرة ثالثين‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami
Syu’bah, telah menceritakan kepada kami al-Aswad Ibnu Qais, telah menceritakan
kepada kami Said Ibnu Amr, sesungguhnya ia telah mendengar dari Ibnu Umar r.a, :
Nabi saw bersabda: sesungguhnya kami umat yang ummi; kami tidak bisa menulis
dan menghitung. Bulan itu demikian-demikian, maksudnya adalah kadang-kadang
dua puluh sembilan, dan kadang-kadang tiga puluh hari. HR. Bukhari dan Muslim4

Hadis-hadis di atas menerangkan metode terhadap penetapan awal bulan.. hadis


pertama sampai ketiga membahas mengenai metode ru‘yah al-hilal dan istikmal, jika
kita perhatikan secara tekstual kita tidak akan menemukan satupun perkataan nabi yang
mencerminkan perintah untuk melakukan hisab (menghitung), namun justru semuanya
2
Shahih Bukhari, kitab as-shaum bab qawl an-nabiy idza ra’itum al-hilal. Hadis nomor 1774
3
Shahih Bukhari, kitab as-shaum bab qawl an-nabiy idza ra’itum al-hilal. Hadis nomor 1776. Shahih Muslim,
kitab as-shiyam bab wujub shaum ramadhan li ru’yati al-hilal. Hadis nomor 1796. 7
4
Ibid. Hadis nomor 1795.
mencontohkan praktek ru’yah al-hilal5. Pada hadis ke-4 secara tekstual juga
mendukung hadis nomor 1 sampai 3 yakni bahwa nabi hanya memakai rukyatul hilal
dan umat nabi tidak bisa menulis dan menghisab. Begitulah gambaran argumen dari
mazhab rukyat. Namun, hadis-hadis tersebut juga digunakan oleh mazhab hisab sebagai
pedoman hukum utama dalam memegang teguh prinsipnya yakni hadis yang terdapat
pada nomer 4 diatas. Pada zaman nabi memang tidak ada hisab, jadi wajar saja kalau
metode hisab tidak digunakan dan lebih memilih rukyat. Namun, di era sekarang
tingkatan hisab (perhitungan) sudah sangat akurat maka sebab itu perintah rukyat
dengan sendirinya bergeser menjadi perintah hisab, juga hadis nomor 1 sampai 3 diatas
juga terdapat perubahan pemahamnnya yang mulanya praktek rukyat secara langsung
(ru’yah bi al-‘ayni) menjadi hisab (ru’yah bi al-‘ilmi).6
Menanggapi penentuan awal bulan dengan menggunakan hisab (perhitungan), ulama’
hanifiyah berpendapat sebagai berikut:

(‫ واليجوز )وال عبرة بقول المؤقتين‬.‫أي في وجب الصوم على الناس بل في المعرج الي يعتبر قولهم باإلجماع‬
‫للمنجم أن يعمل بجساب نفسه‬

Artinya : Tidak dapat dianggap perkataan ahli hisab dalam kewajiban puasa atas orang-
orang, bahkan perkataan para ahli hisab dalam kitab al-Mi’raj tidak di anggap dengan
kesepakatan ijmak, dan bagi ahli perbintangan tidak diperbolehkan menghisab untuk
dirinya sendiri.
Ulama Hanafiyah melarang penentuan awal bulan dengan menggunakan hisab, dan
tidak menjadikannya sebagai kesepakatan (ijmak), bahkan untuk dirinya (ahli hisab)
sendiri, hisab tidak boleh digunakan untuk penentuan awal bulan7.

2. Metode Awal Bulan Qamariah Perspektif Mazhab Hanafi


a. Metode Penetapan Awal Bulan

‫يجب ان يلتمس الناس الهالل في التاسع والعشرين من شعبان وقت الغروب فإن راوه صاموه وإن غم أكملوه شال‬
‫ثين‬

Artinya : Wajib bagi seseorang untuk mencari (melihat) hilal pada hari ke 29 bulan
Syakban saat ghurub (terbenam Matahari), maka jika mereka melihat hilal maka

5
Anwar, Syamsul. “Metode Penetapan Awal Bulan Qamariah”. Jurnal Analytica Islamica. Vol.1, No.1, 2012
6
Suhardiman, “Kriteria Visibilitas Hilal dalam Penetapan Awal Bulan Kamariah di Indonesia”. Jurnal
Khatulistiwa-Journal of Islamic Studies. Vol.3, No.1. Maret 2013.
7
‘Abidin, Ibnu. Raddu al-Mukhtar, Juz VII, tp.
mereka berpuasa, dan jika terhalang mendung maka mereka menyempurnakannya
menjadi 308
Keterangan mazhab hanafi dalam penentuan awal bulan dapat dilihat dari kutipan
beriku ini:
‫ يعرف بإكمال شعبان‬Ž‫ وإن كانت متغيمة‬,‫ فإن كانت السماء مصحية يعرف برؤته الهالل‬, ‫بيان ما يعرف به وقته‬
‫شالثين يوما‬
Artinya : Penjelasan untuk mengetahui waktu Ramadan, maka jika langit cerah dapat
diketahui dengan ru‘yah al-hilal, dan jika langit mendung dapat diketahui dengan
menggenapkan Syakban menjadi 30 hari9
Dari dua keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam penetapan awal bulan
Ramadan, ulama Hanafiyah berpatokan pada dua metode yakni metode ru‘yah alhilal
Ramadan pada saat Matahari terbenam pada tanggal 29 Syakban, jika hilal terlihat,
maka puasa dilakukan keesokan harinya, dan jika hilal tidak terlihat, atau terhalang
oleh mendung maka bulan Syakban digenapkan menjadi 30 hari (istikmal)
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila langit cerah, maka untuk
menetapkan awal bulan Hijriah dengan persaksiannya orang banyak. Tetapi jika langit
tertutup awan, maka persaksian seorang lelaki dapat diterima.
Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban puasa atas kaum Muslimin itu bergantung
pada ru’yah secara muthlak, dan perintah yang muthlak itu berlaku sesuai dengan
kemutlakannya. Maka dari itu, ru’yah sekelompok orang atau satu orang yang dapat
diterima kesaksiannya terhitung cukup. Menjadikan hadits ini sebagai dalil berlakunya
ru’yah penduduk suatu negeri atas penduduk negeri-negeri lain lebih zahir daripada
menjadikannya sebagai dalil atas tidak berlakunya hal tersebut. Sebab apabila hilal
telah terlihat oleh penduduk suatu negeri, berarti ia telah terlihat oleh kaum muslimin.
Maka, kewajiban puasa yang harus mereka laksanakan juga harus dilaksanakan oleh
kaum muslimin di negeri-negeri lain.

b. Syarat Ru’yah al-hilal


Mengenai pendapat ulama tentang kesaksian dalam rukyah al-hilal ada beberapa
asumsi tentang hal tersebut untuk itu apabila rukyah al-hilal tersebut digunakan untuk
menentukan awal bulan Ramadhan, maka kesaksian seorang yang berkriteria adil yang

8
Nidham, Syaikh. al-Fatawa al-Hindiyyah fi Madhhabi al-Imam al-A’dham Abi Hanifah al-Nu’man, Juz I, Beirut :
Darul Fikir. 1991.
9
Kasany, Abu Bakar bin Mas’ud bin Ah}mad. Bada’i al-Sanai’ fi Tartibi al-Sharai’, Mauqi’ul Islam, Juz IV.
berjumlah satu saja dapat diterima dan hal ini merupakan syarat seorang perukyah yang
dalam perspektif ini seorang yang fasik secara otomatis dianggap tidak falid
kesaksianya terhadap melihat hilal di saat awal bulan ramadhan. Kemudian apabila
rukyah al-hilal dipakai untuk menentukan awal bulan Syawal (Idul Fitri), maka
kesaksian yang hanya berasal dari seorang yang adil yang jumlahnya hanya satu belum
bisa diterima. Yang dalam hal ini Setidaknya dibutuhkan saksi yang adil yang
berjumlah dua orang minimal.

c. Metode Ittihâdul Mathla’ untuk Penentuan Awal Bulan di Indonesia


metode ittihâdul mathla’ ialah persatuan tempat melihat hilal tanpa dibatasi oleh
perbedaan geografis dan batas daerah kekuasaan. Ayat al-Qur’an maupun hadishadis
yang dijadikan dasar hukum dalam penentuan awal bulan, telah memberikan informasi
kepada kita bahwa “hilal” merupakan sesuatu yang menjadi landasan dalam perubahan
waktu (masuknya bulan baru). Untuk mengetahui masuknya bulan baru dapat dilakukan
observasi hilal dengan berdasarkan kepada mathla’. Terjadinya perbedaan dalam
penetapan awal bulan juga dapat disebabkan oleh perbedaan mathla’.
Begitu banyak perbedaan tentang mathla’, ada pendapat yang setuju menjadikan
mathla’ kedalam metode penyatuan mathla’ dan ada pendapat yang tidak
menyetujuinya berdasarkan alasan tertentu. Pendapat yang menyetujui hal ini
mengemukakan pendapatnya bahwa dalam argumen sebuah hadits “‫صوموا لرؤيته وأفطروا‬
‫ ”لرؤيته‬berpuasalah kalian ketika melihatnya (hilal) dan berbukalah ketika melihatnya.
Argumen dari hadits ini dijadikan alasan oleh sebagian kelompok untuk mendasarkan
bahwa kalimat shaumu (puasalah kalian) disini bermakna umum untuk siapa saja, oleh
karena itu maka siapa saja yang melihat hilal, maka persaksiannya ini diterima dan
dapat berlaku untuk seluruh umat muslim.
Menurut mazhab Hanafi, perbedaan mathla’ ini adalah zahir madzhab, dan
merupakan pendapat mayoritas syekh, serta menjadi pegangan fatwa. Jadi, penduduk di
daerah timur harus melaksanakan puasa jika penduduk di daerah barat telah melihat
hilal. Hal ini berlaku jika penduduk timur telah mengetahui hal itu secara pasti,
misalnya dengan ada dua orang yang melaporkan kesaksian penduduk di daerah barat
kepada mereka, atau ada dua orang yang bersaksi telah melihat keputusan hakim di
daerah barat, atau beritanya telah tersebar luas
Jumhur ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali beragumen tentang
dibolehkannya penyatuan mathla’ dengan dua alasan. Pertama mereka beralasan
dengan Hadits Abu Hurairah:
‫ فإن غم عليكم فأكملوا‬,‫ صوموا لرؤيته و أفطروا لر ؤيوته‬: ‫ قال رسوالهلل صلى هللا عليه و سلم‬:‫عن أبي هريرة قال‬
)‫عدة شعبان ثالثين (رواه البخاري‬.

Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, berpuasalah kalian
karena melihatnya (yakni hilal Ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya
(yakni hilal Syawal). Jika tidak terlihat oleh kalian (karena tersembunyinya hilal) maka
sempurnakan hitungan Sya’ban hingga tiga puluh (hari)”. (H.R. Al-Bukhari)10
Pengikut Mazhab Hanafi sepakat jika ada persatuan mathla’ agar ummat tidak
terpecah belah dalam penetuan awal bulan. Bahkan Rasulullah juga pernah
melaksanakan puasa dimana pada saat itu Ibnu Umar yang melihat hilal.

‫ تراءى الناس اهالل فأخيزت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم إني رأيته فصما و أمر الناس‬: ‫ قال‬,‫عن ابن عمر‬
)‫ وهوثقة‬.‫ عن وهب‬,‫ تفرد به مروان بن محمد‬: ‫ (رواه أبو داود و الدارقطني وقال‬.‫بصيامه‬
Artinya : “Dari Ibnu Umar ia berkata, “ketika orang-orang sedang melihat-lihat
munculnya bulan sabit (hilal Ramadhan), aku memberitahu Rasulullah SAW bahwa
aku telah melihatnya, maka beliau pun berpuasa dan mmerintahkan orang-orang agar
berpuasa pula.” (HR. Abu Daud dan AdDaraquthni, ia mengatakan, “Marwan bin
Muhammad meriwayatkan sendirian dari Ibnu Wahb. Ia tsiqah)11

C. KESIMPULAN
Penentuan masuknya bulan hijriah, khususnya bulan Ramadhan, Syawal dan
Dzulhijjah dapat dilakukan dengan salah satu dari 3 cara, yaitu: melihat hilal (ru’yatul
hilal), menyempurnakan bulan (istikmal), dan mentakdirkan adanya hilal dengan ilmu
hisab. Cara tersebut saling berkaitan dengan hilal sebagai kunci utama masuknya bulan
baru. hilal terlihat di suatu tempat, maka tempat lainnya yang tidak atau belum melihat
hilal dapat mengikuti tempat yang telah melihat hilal. Dan kemunculan hilal tersebut
terbukti dengan kesaksian dua orang yang ‘adil atau berdasarkan penuturan dari orang
banyak yang tidak mungkin berdusta. Indonesia merupakan salah satu wilayah yang
dapat disebut dengan istilah wilayatul hukmi karena Indonesia termasuk dalam 13

10
Syaikh Faishal, Bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Ringkasan, hal. 342-343
11
ibid , hal, 337.
negara teritorial (wilayah) Asia Tenggara. Jika hilal dapat diru’yah pada beberapa
negara dalam wilayah Asia Tenggara, maka negara dalam wilayah tersebut dapat
mengikuti wilayah lain yang telah melakukan ru’yah. Dalam artian, bahwa negara
tersebut masih dalam kawasan wilayah Asia Tenggara. Metode Ittihadul mathla’ ini
bertujuan untuk mempersatukan negara muslim agar dapat bersama melakukan ibadah
puasa Ramadhan, dan melaksanakan shalat Idul Fitri secara serentak
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syamsul. “Metode Penetapan Awal Bulan Qamariah”. Jurnal Analytica Islamica.

Vol.1, No.1, 2012

Kasany, Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad. Bada’i al-Sanai’ fi Tartibi al-Sharai’, Mauqi’ul

Islam, Juz IV.

Nidham, Syaikh. al-Fatwa al-Hindiyyah fi Madhhabi al-Imam al-A’dham Abi Hanifah al-

Nu’man, Juz I, Beirut : Darul Fikir. 1991.

Rohmah, Nihayatur. “Otoritas dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah”. Jurnal AlMabsut,

LP3M STAI Ngawi. Vol.9. No.1. 2015.

Shahih Bukhari, kitab as-shaum bab qawl an-nabiy idza ra’itum al-hilal. Hadis nomor 1776.

Shahih Muslim, kitab as-shiyam bab wujub shaum ramadhan li ru’yati al-hilal. Hadis nomor

1796.

Suhardiman, “Kriteria Visibilitas Hilal dalam Penetapan Awal Bulan Kamariah di

Indonesia”. Jurnal Khatulistiwa-Journal of Islamic Studies. Vol.3, No.1. Maret 2013.

‘Abidin, Ibnu. Raddu al-Mukhtar, Juz VII, tp.

Syaikh Faishal, Bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Ringkasan.

Anda mungkin juga menyukai