PENDAHULUAN
Berbicara tentang filsafat islam dalam hal eksistensi atau keberadaannya dalam
lintas sejarah, memungkinkan untuk melihat filsafat islam dari berbagai sisi dan
celahnya. Minimnya bukti histografis melahirkan berbagai pemikiran dan pandangan.
Kecenderungan pertama mentiadakan keberadaan filsafat islam. Filsafat islam
dianggap tidak pernah ada dalam sejarah keilmuan di dunia ditambah kemajuan azman
saat ini tidak memiliki kaitan atara budaya dengan islam dan ajarannya. Bangsa barat
yang dalam ‘simbol’ kemajuan dan ke-modernan dapat dengan tenang berasumsi
bahwa barat sebagai pusat keilmuan saat ini merupakan peradaban yang terlahir dari
proses kreatifitas pikir dan pergulatan zaman mereka sejak dahulu kala.
METODOLOGI
Penelitian study kasus ini termasuk penelitian kepustakaan / literatur. Maka
metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Hal ini bertujuan untuk mendapatkan informasi menganai keadaan, kondisi atau hal-
hal yang berhubungan dengan objek kajian yang kemudian hasilnya dipaparkan dalam
bentuk penelitian( Arikunto, 2014 dalam Rosowulan, 2019).terkait penelitian ini
peneliti akan menyelidiki pemikiran beberapa tokoh dan pandangan terkait filsafat
islam dalam lintas keilmuan di dunia.filsafat islam sendiri
PEMBAHASAN
Eksistensi filsafat islam
Membahas filsafat islam dari segi perwujudannya atau eksistensi sebagai aspek
kebudayaan dan keilmuan banyak dipertanyakan keberadadanya baik oleh para ahli
ketimuran (orientalis) maupun dikalangan orang-orang islam sendiri. Terdapat banyak
pertentangan pendapat yang kontras tentang keberadaan dari filsafat islam dikancah
keilmuan dunia. Sebagian berpendapat bahwa filsafat islam hanyalah filsafat yunani
yang diterjemah dan dipelajari oleh kaum muslim. Sebagian ada yang berpandangan
bahwa filsafat islam tidak pernah ada keberadaannya dan sebagian lainnya mengakui
keberadaan filsafat islam sebagai pemikiran yang lahir dari para tokoh islam sendiri.
Perkembangan filsafat yang begitu pesat berkat dukungan dari para Khalifah
Bani Abbas(750-1258M) ini, khususnya sejak al-Makmun (811-833M), kemudian
mengalami sedikit hambatan pada masa Khalifah al-Mutawakkil(847-861M).
hambatan ini disebebkan oleh adanya penentangan dari sebgaian ulama salaf seperti
Imam Ibnu Hmbaldan orang –orang yang sepemikiran dengannya.
.
Menurut George N. Atiyeh (1923-2008 M),24 seorang peneliti dari Universitas
America di Beirut, Libanon, penentangan kalangan salaf tersebut disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, adanya ke-khawatiran di sebagian kalangan ulama fiqh bahwa
ilmu-ilmu filo-sofis akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam
terhadap ajaran agamanya. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayo-ritas dari mereka
yang menerjemahkan filsafat Yunani atau mem-pelajarinya adalah orang-orang
nonMuslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia, dan sarjana muslim penganut
mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan
atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga,
adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia
khususnya, maupun paham-paham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam
yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filosofis. Kecurigaan dan penentangan kaum
salaf terhadap ilmu-ilmu filsafat memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, memang
tidak sedikit tokoh Muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan
menyerang ajaran Islam sendiri.
Ditambah pesatnya keilmuan yang dimiliki islam (fiqh dan teologi) saat
dikenalnya pemikiran filsafat yunani dan juga kondisi sosial, kebudayaan dan
keyakinan para tokoh muslim menjadikan filsafat islam mempunyai ciri dan otentisitas
sendiri dan berbeda dari filsafat lainnya. Berikut beberapa karakteristik filsafat islam
sebagai pendukung otentisitas filsafat islam. Pertama, Landasan berfikir; filsafat Islam
berlandaskan pada prinsip agama Islam dalam hal ini al-Qur'an dan hadis. Maka
sumber ilmu dalam filsafat Islam adalah dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil rasional
(‘aqli). Menurut Nasr ada beberapa hal yang dapat menjadi indikasi bahwa filsof
muslim melandaskan pembahasannya paa al-Qur’an dan Hadis. Seperti pada
pembahasan pengenai penciptaan, landasan tekstual doktrin dapat ditemukan dalam
penggalan ayat al-Qur’an; “Sesungguhnya apabila menghendaki sesuatu. Dia hanya
berkata kepadanya: Jadilah!’’, maka terjadi”. Dari doktrin ini para filsuf
mengkonsentrasikan pemahaman mereka tentang “wujud” atau eksistensi suatu hal.
Kedua, Sistem analisis; filsafat Islam tidak hanya melandaskan diri pada prinsip prinsip
rasional tetapi juga spiritual Penyatuan rasional dan spiritual terlihat jelas dalam
berbagai diskursus yang dikaji oleh para filosof muslim. Teori Emanasi yang
dikembangkan al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina membuktikan hal tersebut, dikatakan
bahwa al-Farabi, merasa kecewa atas buku Metafisika Aristoteles. Dikisahkan, dalam
kitab metafisika tersebut tidak terlalu banyak berbicara tentang Tuhan, yang
dalam pandangan Islam merupakan tema pokok dalam metafisika. Dikatakan,
hanya dalam kitab Lambda dari bukunya itu Aristoteles berbicara tentang
Tuhan. Namun, bahkan ketika berbicara tentang Tuhan, tidak ada keterangan yang
memuaskan tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam. Lebih persisnya lagi
bagaimana dari Tuhan Yang Esa muncul alam semesta yang beraneka.
Ketiga, Subjek pengkaji; filsafat Islam merupakan hasil telaah dan analisis para
filosof muslim, artinya kajian filsafat ini dilakukan oleh orang- orang Islam. Selain
karena faktor penggunaan bahasa, filsafat Islam jelas tak bisa dibuat semakna dengan
filsafat Arab. Pertama, karena perkembangan filsafat ini berlangsung pada masa
kejayaan Islam yang tidak terkait dengan dimensi “Dinasti" tertentu. Kedua, para
filosof tidak seluruhnya merupakan orang Arab, Ibnu Sina adalah seorang Persia, al-
Farabi bahkan adalah seorang Turki. Ketiga, intisari filsafat Islam berada di seputar
wacana bagaimana para filosof Islam menafsirkan doktrin tauhid. Serta senantiasa ada
ketegangan antara deskripsi al- Our’an tentang ke-esaan dan apa yang kaum Muslim
kaji dari sumber- sumber Yunani.
Karenanya sulit menyebutkan filsafat yang dilakukan oleh non- muslim sebagai
subjek pengkaji filsafat Islam. Para filosof muslim adalah warna tersendiri dalam
perkembangan filsafat, kajiannya yang berdasarkan upaya “penafsiran" atau “perluasan
makna" dari al-Qur’an dan hadis dan rasionalitas Yunani merupakan sebuah ide kreatif
yang hanya filosof muslim saja-lah yang dapat melakukannya dan tidak non- muslim.
Perbenturan pemikiran dengan mutakallimin yang melahirkan dorongan kreativitas
berfikir mereka juga bagian dari pembentukan nuansa berfikir para filosof muslim.
Maka, filosof muslim tak pernah dan bukan hanya seorang filosof, filosof
muslim adalah seorang intelektual dalam berbagai bidang. Mereka mengkaji filsafat
tapi juga menguasai konsep syari’ah, mereka memahami al-Qur'an, seorang mufassir,
seorang sufi bahkan ahli ilmu- ilmu kealaman. Integritas keilmuan mereka di berbagai
bidang ini membuktikan bahwa tradisi ilmiah Islam adalah sebuah kesatuan antara
Iman, Islam dan amal.
Ke-empat, Objek yang dikaji; filsafat Islam mengkaji hal-hal yang berkaitan
dengan metafisika atau non materi, seperti asal-muasal kehidupan dunia, akal aktif, dan
sebagian pembahasan mengenai ruh. Mengkaji pula yang mencakup bidang fisik
seperti alam raya, kosmologi namun tetap dikaitkan dengan bidang metafisis.
Maka, Tuhan, alam dan manusia adalah objek dari filsafat Islam. Dimana
kajiannya bisa jadi tertuju pada hal fisis atau metafisis tiga komponen tersebut. Dan
untuk menspesialisasikan bidang kajian - karena pembahasan mengenai tiga objek
tersebut juga melahirkan ilmu- ilmu lainnya- ditetapkan beberapa tema yang hanya
para filosof muslim saja yang membahasnya dan tidak menjadi pembahasan di bidang
keilmuan lainnya.
Kelima, bidang kajian; awalnya para filosof muslim mengkaji filsafat-filsafat
yang datang dari Yunani, baik yang murni Yunani atau yang telah terhellenisasi, artinya
mirip sekali dengan upaya islamisasi filsafat Yunani, tetapi kemudian berkembang
menjadi kajian “hikmah" atau yang diistilahkan Henry Corbin dengan “theosophy".
PENUTUP
Banyak terjadi perbedaan pandangan terhadap eksistensi filsafat islam pada
masa awal perkembangannya. Sebagian besar kaum orientalis pada abad ke-19
berpendapat bahwa filsafat islam tidak pernah ada melainkan hanya filsafat Yunani
yang diterjemah dan dipelajari bangsa Arab. Dengan asumsi bahwa bangsa Arab
(semit) merupakan bangsa yang tidak mempunyai kemampuan untuk menelaah dan
menganalisa filsafat yunani dan kemudian melahirkan filsafat islam. Anggapan yang
demikian banyak ditentang oleh peneliti lainnya terutama peneliti muslim dengan
statemen bahwa pada kenyataannya islam telah memberikan warna baru dan kemajuan
dalam peradaban bangsa Arab. Selain itu pada saat masuknya pemikiran yunani
kedalam islam melalui penerjemahan oleh tokoh intelektual muslim, islam jauh lebih
dulu memiliki dasar berpikir rasional mereka berupa kitab suci mereka, al-Qur’an, dan
juga khazanah keilmuan pada masa itu sudah terbilang maju seperti adamya kajian fiqh
dan teologi. Ditambah sejarah pasang surut perkembangan filsafat islam sejak masa
Khalifah Dimasti Abbasiah sampai beberapa puluh taun kedepannya menjadi tinta
sejarah yang didalamnya banyak melahirkan pemikiran yang bercorak sesuai dengan
kondisi sosial dan geografis para tokoh pemikir. Menjadi sebuah bukti yang kuat
terhadap keberadaan dan keasliannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. (2019). ASPEK EPISTEMOLOGIS FILSAFAT ISLAM. Al-Jami'ah, 7, 9-23.
Soleh. (2016). FILSAFAT ISLAM KLASIK HINGGA MODERN. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Syafrinal, Randa, Amril. (2022). OTENTISITAS FILSAFAT ISLAM. Aqidah dan Filsafat Islam, 3
no. 2, 24-39.
Syam, M. b. (2017). PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG EKSISTENSI FILSAFAT ISLAM. Jurnal
Aqidah, 3, 26-30.