Anda di halaman 1dari 13

EKSISTENSI DAN OTENTISITAS FILSAFAT ISLAM

Sadam Nurhuda (21030426)


ABSTRAK
Eksistensi dan otentisitas filsafat islam merupakan kajian yang didalamnya bertujuan
untuk mengetahui bagaimana kebenaran atas keberadaan dan keaslian dari filsafat
islam sendiri. Menurut beberapa penelitian terdahulu, pada awal perkembangan filsafat
islam terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai eksistensi dan otentisitasnya,
banyak dari kaum orientalis lebih meng-ingkari keberadaan dari filsafat islam dengan
asumsi yang mereka bawa. Tetapi setelah abad ke-20 banyak juga peneliti baik peneliti
muslim maupun noon-muslim mulai mengakui eksistensi filsafat islam dengan asumsi
dan juga penelitian yang mereka lakukan. Pada penelitian kali ini penulis akan
mencoba mengkaji tentang bagaimana eksistensi dan otentisitas filsafat islam yang
mana penelitian ini termasuk study literatur, maka penulis akan menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan historis umtuk memudahkan dalam
analisi objek kajian.
Keyword: eksistensi, islam, filsafat, otentisitas

PENDAHULUAN
Berbicara tentang filsafat islam dalam hal eksistensi atau keberadaannya dalam
lintas sejarah, memungkinkan untuk melihat filsafat islam dari berbagai sisi dan
celahnya. Minimnya bukti histografis melahirkan berbagai pemikiran dan pandangan.
Kecenderungan pertama mentiadakan keberadaan filsafat islam. Filsafat islam
dianggap tidak pernah ada dalam sejarah keilmuan di dunia ditambah kemajuan azman
saat ini tidak memiliki kaitan atara budaya dengan islam dan ajarannya. Bangsa barat
yang dalam ‘simbol’ kemajuan dan ke-modernan dapat dengan tenang berasumsi
bahwa barat sebagai pusat keilmuan saat ini merupakan peradaban yang terlahir dari
proses kreatifitas pikir dan pergulatan zaman mereka sejak dahulu kala.

Kecenderungan kedua beranggapan filsafat islam tidak lebih sebagai


‘jembatan’ yang menghubungkan kemajuan bangsa barat dengan kemajuan keilmuan
yunani. Mereka dengan gampang menilai bahwa filsafat islam adalah sebuah hibriditas
atau dengan kata lain filsafat islam merupakan pemikiran luar yang dipaksakan
diadopsi oleh islam.

Jika kedua kecenderungan tersebut terkesan menolak dan kurang menerima


keberadaan filsafat islam dalam sejarah keilmuan di dunia, keecenderungan ketiga
telah mengakui dan menyetujui filsafat islam ikut serta mewarnai keilmuan di dunia
bahkan pernah mencapai masa keemasannya. Ketiga kecenderungan ini tentu bergerak
dengan asumsi dan teori yang berjalan secara terpisah yang tentunya dipengaruhi oleh
cara pandang masing-masing penelitian.

Selanjutnya dalam keberadaan filsafat islam tersebut pernah terjadi perbedaan


pandangan pula mengenai keontentikannya. Seperti ada yang menamai filsafat islam
sebagai filsafat arab, diasumsikan dengan arab karenakajian-kajian yang dilakukan
oleh umat muslim tersebut menggunakan bahasa arab. Kedua ada pandangan yang
lebih menamai filsafat islam sebagai filsafat muslim karena para pengkaji dan
pentelaahnya adalah seorang muslim, tetapi belum tentu kajian filosofis mereka
didasarkan pada ajaran-ajaran islam. Tetapi sebagaimana yang disampaikan Mulyadhi
Kertanegara terdapat banyak hal yang memperkuat bahwa dari seluruh nama yang
disematkan tersebut “Filsafat Islam" adalah nama yang tepat dari pada kata “Filsafat
Muslim" atau “Filsafat Arab”.
Disebut filsafat Islam dituturkan Mulyadhi, karena ketika filsafat Yunani
diperkenalkan ke dalam Islam, Islam telah menyusun sistem theologi yang sangat
menekankan keesaan Tuhan dan hukum syari’ah. Pandangan syari’ah yang dominan
dalam Islam memaksa seluruh sistem yang bersandar pada Islam untuk mengikuti
njaran-ajaran Islam, prosedur inilah yang mengilhami para filosof muslim untuk
merubah mind-set Yunani menjadi mind-set muslim. Yakni mendasarkan kajian
filsafat pada tauhid, pada alQur'an dan Hadis. Selain itu filsof muslim tidak begitu saja
menerima pendapat-pendapat yunani tetapi juga mengkritisi pendapat yunani. Filsafat
islam merupakan interaksi antara islam sebagai agama dengan filsafat yunani, dalam
hal ini filsof muslim telah mengembangkan filsafat ke dalam bidang- bidang tertentu
yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh para filsof, seperti kajian filosofis
terhadap kenabian.
Berdasarkan paparan latar belakang diatas, untuk lebih memberikan penekanan
problem akademik yang akan diangkat dalam penelitian ini, penulis merumuskan
masalahnya dalam bentuk kata tanya. Tujuannya agara problem atau topik yang
diangkat tidak meluas pembahasannya sehinggakeluar dari esensi yang akan
dibahas.adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana eksistensi
dan otentisitas filsafat islam menurut beberapa kritikus?

METODOLOGI
Penelitian study kasus ini termasuk penelitian kepustakaan / literatur. Maka
metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Hal ini bertujuan untuk mendapatkan informasi menganai keadaan, kondisi atau hal-
hal yang berhubungan dengan objek kajian yang kemudian hasilnya dipaparkan dalam
bentuk penelitian( Arikunto, 2014 dalam Rosowulan, 2019).terkait penelitian ini
peneliti akan menyelidiki pemikiran beberapa tokoh dan pandangan terkait filsafat
islam dalam lintas keilmuan di dunia.filsafat islam sendiri

Selain itu berkaitan dengan objek penelitian, peneliti juga melakukan


pendekatan historis filosofis. Penggunaan pendekatan ini dilakukan karena objek
kajian penelitian merupakan hasil konsepsi pemikiran yang sudah ada sejak puluhan
tahun bahkan ratusan tahun silam yang juga telah dibakukan kedalam suatu konsep.
Selain itu pendekatan historis juga cukup tepat dijadikan penjembatan dalam
memahami objek penelitian ini.

PEMBAHASAN
Eksistensi filsafat islam
Membahas filsafat islam dari segi perwujudannya atau eksistensi sebagai aspek
kebudayaan dan keilmuan banyak dipertanyakan keberadadanya baik oleh para ahli
ketimuran (orientalis) maupun dikalangan orang-orang islam sendiri. Terdapat banyak
pertentangan pendapat yang kontras tentang keberadaan dari filsafat islam dikancah
keilmuan dunia. Sebagian berpendapat bahwa filsafat islam hanyalah filsafat yunani
yang diterjemah dan dipelajari oleh kaum muslim. Sebagian ada yang berpandangan
bahwa filsafat islam tidak pernah ada keberadaannya dan sebagian lainnya mengakui
keberadaan filsafat islam sebagai pemikiran yang lahir dari para tokoh islam sendiri.

Para orientalis bahkan berbeda pendapat dalam menganalisa eksistensi filsafat


islam. Pada umumnya orientalis abad ke-19 menolak adanya filsafat islam, sedangkan
mereka yang hidup di abad ke-20 mulai mengakui eksistensinya. Sebagian
memandang sebagai salinan dari filsafat sebelumnya (Yunani), sementara yang lain
mengakui sebagai produk orang islam. Menurut Tennemann dalam (Syam, 2017)karya
kaum muslim hanyalah sekedar ulasan terhadap filsafat Aristoteles yang diterapkan
atas ajaran-ajaran islam yang menghendaki kepercayaan yang buta. Sehingga karya
mereka tidak dapat diperhitungkan sebagai karya sendiri. Pendapat ini didasarkan atas
beberapa faktor yang menurutnya menyebabkan kaum muslim tidak dapat berfilsafat
sendiri diantaranya; kitab suci al-Qur’an yang menghalangi kebebasan berfikir,
kefanatikan golongan as-Sunnah, keterpakuan terhadap pemikiran Aristoteles yang
sesungguhnya tidak dapat dipahaminya dengan tepat, dan tabiat mereka yang condong
kepada angan-angan.

Pendapat Tennemann ini kemudian dikembangkan oleh Ernes Renan (1892)


dalam bukunya “Averroes et1'Averroisme”menurut pengamatannya terhadap bangsa
Semit dimana umat yang paling maju adalah Arab, tidak mampu berfilsafat karena
kecenderungannya berangan-angan seperti yang nampak salam syair-syairnya. Selain
itu menurutnya bangsa semit hanya memiliki kemampuan untuk menerjemahkan dan
tidak memiliki kemampuan untuk menelaah dan menganalisisnya. Oleh karena itu
menurutnya bahwa filsafat yang ada pada mereka tidak lain hanyalah kutipan atau
terjemahan dari filsafat Yunani, karena tanpa kemampuan analisis dan telaah tersebut
filsafat yang disampaikan dengan bahasa Arab tersebut jelas takkan pernah dipengaruhi
oleh konsep-konsep islam. Lebih lanjut E. Renan bahkan lebih menyetujui penggunaan
kata filsafat Arab dari pada filsafat islam, asumsi tersebut disematkan karena filsafat
ini dipopulerkan oleh bangsa Semit, ras asli Arab dan menggunakan bahasa Arab.

Analisis Renan ini bagi Ibrahim Madkur telah menginspirasi orientalis-


orientalis lainnya untuk menunjukkan kesan kuat bahwa "filsafat Islam” tidaklah
benar-benar Islam, la tidak lebih dari sekedar filsafat Yunani kuno berbaju Islam yang
berbahasa Arab. Mereka sedikit menambahkan,peran filsafat Islam tidak lebih sebagai
penyambung peradaban Yunani setelah terputus berabad-abad dibawah hegemoni
gereja, tidak ada otentisitas dalam filsafat Islam melainkan duplikasi atau jiplakan
dari filsafat Yunani. Lebih dari itu menurut mayoritas orientalis aktivitas intelektual
umat Islam telah mati akibat kelalaian umat Islam memahami filsafat.

Dalih yang disampaikan orientalis mengenai kelalaian umat Islam


sekaligus meragukan peran muslim dalam berfilsafat adalah, isu tertutupnya pintu
ijtihad, yang telah berlangsung selama seribu tahun; 'seranganserangan” al-Ghazali
terhadap filsafat melalui karya Tahafut, Falasifah; meninggalnya Ibn Rusyd yang
dianggap kalangan barat m.'bagai seorang Rasionalis.

Musa Kazhim dalam pengantar Sejarah Filsafat Islam menyebutkan setidaknya


ada dua faktor penyebab munculnya kesan negatif terhadap filsafat Islam. Pertama,
militansi kalangan terpelajar muslim dalam menelaah, mengulas dan menerjemahkan
teks-teks poindaban Yunani. Gairah intelektual muslim tersebut oleh sebagian

Meskipun demikian, para orientalis pada abad ke-20 seperti L. Gauthier


misalnya, mulai mengakui kemampuan orang-orang Arab untuk berpikir layaknya
bangsa lain. Selanjutnya ia melihat Islam sebagai agama yang kuat sekali
keSemitikannya yang dipertentangkan dengan filsafat Yunani yang memiliki corak ke-
Ariaan yang sangat kuat. Dari pertentangan tersebut, filosof-filosof Islam berusaha
mempertemukannya, mengingat kedudukan mereka sebagai orang-orang Islam yang
memegang agama dan kedudukannya sebagai filosof-filosof berusaha untuk
menyiarkan aliran-aliran filsafat Yunani. L. Gauthier mengagumi ketelitian mereka
dalam tugas tersebut walaupun harus menghadapi kesulitan-kesulitan.

Max Horten (1908), melangkah lebih jauh lagi. Ia tidak mengikutsertakan


persoalan Semit dan Aria. Dikatakannya bahwa, berbicara tentang filsafat Islam tidak
sewajarnya bila dibatasi obyek persoalannya pada pikiran-pikiran yang dikenal sebagai
kelompok filosof saja, melainkan harus Pula diikutsertakan karya-karya mutakallimin.
Pikiran-pikiran mereka, terutama menyangkut pembahasan-pembahasan mengenai
keadaan wujud dan pengenalan terhadap alam telah mendahului pandangan kelompok
filosof tersebut. Horten mengakui bahwa Para filosof Islam telah melengkapi
kekurangan-kekurangan Aristoteles, suatu hal yang menunjukkan kreativitas yang
patut dihargai. Dari segi lain ia melihat keorisinilan filsafat Islam karena keimanan
yang teguh dimiliki oleh tokoh-tokohnya, yakni bahwa Islam adalah agama wahyu
yang mutlak kebenarannya. Selain itu ia juga lebih melihat islam sebagai faktor yang
ikut menentukan corak filsafat ini, seperti yang ia ketahui dalam sejarah bahwa dengan
islam, bangsa Arab memperoleh kemajuan yang gemilang seperti yang terlihat pada
masa keemasan Dinasti Abbasiyah. Lagi pula pada umumnya filosof Islam bukan dari
kalangan bangsa Arab melainkan filsafat Islam tumbuh dan berkembang di negeri-
negeri Islam, di bawah naungan khalifah-khalifah Islam.

Oliver Leaman (1950M) seorang Orientalis asal University Kentucky, USA,


berpendapat bahwa merupakan suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat
islam bermula dari proses penerjemahan teks-teks pemikiran Yunani, atau hanya
menukil dari filsafat Aristoteles seperti yang dituduhkan E. Renan diatas. Adda
beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak
berarti hanya meniru atau mengikuti semata. Seorang ber-hak mengambil sebagian
gagasan orang lain dan menampilkan teori pemikiran atau filsafatnya sendiri. Hal
seperti inilah yang terjadi pada filsuf muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Rusd misalnya,
meski banyak mempelajari pemikiran Yunani, tetapi mereka mempunyai
pandangannya sendiri yang tidak sama dengan filsafat Yunani. Kedua, seperti
pernyataan Karl A. Steenbrink, bahwa gagasan , atau pemikiran adalah ekspresi dan
hasil komunikasi seseorang dengan kondisi sosial lingkungannya, artinya ide gagasan
tidak bisa lepas dari akar sosial, tradisi dan keberadaan pemikir tersebut. Pemikiran
filsafat Yunani dan Islam lahir dari keyakinan, budaya dan kondisi sosial yangberbeda.
Karena itu tidak bisa dinyatakan bahwa filsafat islam hanyalah salinan dari filsafat
Yunani tanpa ada rekonstruksi sama sekali. Transmisi filsafat Yunani ke Arab atau
Islam pada dasarnya merupakan suatu proses panjang dan kompleks yang justru lebih
banyak dipengaruhi oleh keyakinan dan teologis, kondisi lingkungan, budaya para
pelakunya.

Ketiga, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah lebih


dahulu ada dalam tradisi keilmuan muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Seperti
yang banyak dinyatakan oleh para peneliti, baik muslim maupun non-muslim,
pemikiran rasional islam bukan lahir dari pihak luar, melainkan dari kitab suci mereka
al-Qur’an dan juga as-Sunnah dari Rasulullah. Dimana kedua hal ini telah lebih dulu
mengakar di kalangan muslim jauh sebelum kedatangan filsafat yunani. Bahkan masa
saat kedatangan filsafat Yunani, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam
tradisi peradaban masyarakat intelektual Arab-Islam, seperti dalam konsep fiqh
(yurisprudensi) dan kalam (teologi).

Dengan beberapa penuturan pendapat mengenai eksistensi filsafat islam yang


banyak terdapat perbedaan pandangan beberapa tokoh diatas, penulis lebih cenderung
untuk mengakui keberadaan atau eksistensi filsafat islam dalam kancah keilmuan di
dunia. Hal ini didukung atas beberapa alasan yang penulis dapat dari beberapa pendapat
tokoh sebelumnya seperti yang dinyatakan Karl A. bahwa pemikiran adalah ekspresi
atas proses sang tokoh dengan kondisi sosial lingkungan dan keyakinannya.
Membuktikan bahwa filsafat islam bukan hanya berasal dari terjemahan filsafat yunani
tetapi juga merupakan buah pikiran tokoh muslim setelah mempelajari filsafat yunani
yang juga dipadukan dengan kondisi sosial saat itu.
Kemudian penulis juga mengetahui sejarah bahwa filsafat islam pernah
berkembang dan mencapai masa keemasan. Hal ini penulis dapatkan setelah membaca
beberapa literatur mengenai sejarah panjang islam dimasa lampau. Untuk lebih
jelasnya berikut penulis sampaikan sedikit mengenai sejarah filsafat islam.

Dalam “Sejarah Perkembangan Filsafat Islam” yang ditullis oleh Sri


Wahyuningsih, disebutkan bahwa Sejarah pemikiran filsafat hadir dan berkembang
ditengah-tengah islam pasca penerjemahan ata buku-bukku yunani , pertama kali
dikenalkan oleh Al-Kindi (806-875). Dalam Kata Pengantar untuk buku ‘Filsafat
Utama’ (al-falsafah ‘Ula) yang dipersembahkan pada khalifah al-Mu’sahim (833-842),
al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat; serta
ketidaksenangannya pada orang-orang anti filsafat, meski demikian karena
dominannnya kaum fuqaha’ ditambah minimnya referensi filsafat yang telah
diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. akan tetapi al-
Kindi telah memperkenalkan hal baru dalam pemikiran islam dan mewariskan
persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang(1)bagaimana terjadinya
penciptaan alam semesta(2) keadaan jiwa, apa artinya dan bagaimana
pembuktiannya(3) pengetahuan tuhan, apa ada hubungannya dengan astrologi dan
bagaimana terjadinya. Sepeninggalan alKindi, pemikiran filsafat terus berkembang,
lahir al-Razi(865-925), tokoh yang dikenal ekstrim dalam teologi dan juga sebagai
seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal.

Perkembangan filsafat yang begitu pesat berkat dukungan dari para Khalifah
Bani Abbas(750-1258M) ini, khususnya sejak al-Makmun (811-833M), kemudian
mengalami sedikit hambatan pada masa Khalifah al-Mutawakkil(847-861M).
hambatan ini disebebkan oleh adanya penentangan dari sebgaian ulama salaf seperti
Imam Ibnu Hmbaldan orang –orang yang sepemikiran dengannya.
.
Menurut George N. Atiyeh (1923-2008 M),24 seorang peneliti dari Universitas
America di Beirut, Libanon, penentangan kalangan salaf tersebut disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, adanya ke-khawatiran di sebagian kalangan ulama fiqh bahwa
ilmu-ilmu filo-sofis akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam
terhadap ajaran agamanya. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayo-ritas dari mereka
yang menerjemahkan filsafat Yunani atau mem-pelajarinya adalah orang-orang
nonMuslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia, dan sarjana muslim penganut
mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan
atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga,
adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia
khususnya, maupun paham-paham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam
yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filosofis. Kecurigaan dan penentangan kaum
salaf terhadap ilmu-ilmu filsafat memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, memang
tidak sedikit tokoh Muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan
menyerang ajaran Islam sendiri.

Meski demikian, hambatan tersebut sesungguhnya hanya terjadi di lingkar


pusat kekuasaan, di Baghdad. Di luar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom,
khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan,
sehingga melahirkan seorang filsuf besar, yakni Abu Nasr al-Farabi (870-950).
AlFarabi, tokoh yang mempunyai pengaruh besar pada pemikiran sesudahnya ini, baik
dalam Islam sendiri maupun di BaratEropa, tidak hanya mengembangkan pemikiran-
pemikiran metafisika Islam melainkan juga memberikan landasan bagi pengembangan
keilmuan pada umumnya. Dalam bidang metafisika, antara lain, ia mengembangkan
teori emanasi yang menggabungkan antara teori Neo-platonis dengan tauhid Islam
untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan Yang Maha Gaib dengan realitas yang
empirik, Tuhan Yang Maha Esa dengan realitas yang plural dan seterusnya;
mempertemukan antara konsep idealisme Plato (427-348 SM) dengan empirisme
Aristoteles (384-322 SM), dan mempertemukan antara agama dan filsafat. Prinsip-
prinsip penalaran filosofis yang dikembangkan al-Farabi tersebut , pada masa
berikutnya tidak hanya dipakai oleh kaum filsuf murni, tetapi juga digunakan oleh para
tokoh yang menolak pemikiran filsafat seperti al-Ghazali, bahkan juga digunakan oleh
para fuqaha seperti a-Syafi’I (Ali Sami dalam Wahyuningsih, 2021)

Pemikiran filsafat kemudian semakin berkibar dalam kancah pemikiran bangsa


Arab pada masa Ibnu Sina(980-1037M).baliau selain mengembangkan konsep emanasi
al-Farabi, juga berusaha menjelaskan dan membuktikan konsep kenabian dengan
menyatakan bahwa kenabian adalah sesuatu yang “lumrah” yang dapat dipahami
secara nalar. Menurutnya, kenabian adalah tingkat tertinggi dalam fase manusia di
mana ia menghimpun seluruh potensi kemanusiaan dalam wujudnya yang paling
sempurna. Baginya, syarat kenabian hanya 3 hal: kecerdasan intelek, kesempurnaan
daya imajinasi, dan kemampuan untuk menundukkan hal-hal yang muncul dari luar
dirinya agar bisa tunduk dan taat. Ketika ketiga syarat ini terpenuhi, maka seseorang
akan memperoleh kesadaran kenabian, mendapat limpahan pengetahuan secara
langsung tanpa butuh pengajaran dari orang lain. Berdasarkan atas prestasi-prestasinya
yang luar biasa dalam filsafat, Ibnu Sina (980-1037 M) kemudian diberi gelar “Guru
Utama” (alSyaikh al-Raîs), di samping gelarnya sebagai “Pangeran Para Dokter” (Amîr
al-At}}ibbâ’) karena jasanya yang besar dalam bidang kedokteran.

Akan tetapi setelah Ibnu Sina pemikiran filsafat kembali mengalami


kemunduran karena serangan al-Ghazali salah satuya lewat tulisannya dalam Tahafut
al-Falasifah yang diulangi lagi dalam al-Munqidh mi al-Dzalal. Meskipun setalah itu
pemikiran filsafat dinilai telah terhenti tetapi justru muncul banyak tokoh –tokoh besar
filsafat lainnya seperti Ibnu Rusdy(1126-1198M) yang telah berjasa mempertemukan
antara agama dan filsafat. Setelah kembali terhenti lagi , pemikiran filsafat islam terus
berkembang dan melahirkan tokoh besar lainya sampai menjelang abad 18.

Otentisitas Filsafat Islam


Filsafat islam pada awal perkembangannya memang menjadi banyak
perdebatan selain dari keberadaanya juga mengenai ke-otentikan yang membedakanya
dari filsafat yunani. Secara etimologi filsafat berasal dari bahasa Yunani Philo-sophos
yang dapat diartikan cinta- pengetahuan,atau kebijaksanaan. Kata filsafat yang telah
mengakar dalam pemikiran yunani juga ada dalam pemiikiran islam dengan kata
falsafah yang dalam islam kata falsafah atau filsafat sendiri juga dimaknai sebagai
hikmah, yang diartikan sebagai suatu proses pencarian makna terdalam dari suatu sikap
dengan perantara ilmu dan akaluntuk memperoleh kebenaran (Syafrinal, Randa, Amril,
2022).
Memang pada abad ke-19 para orientalis memandang filsafat islam atau
sebagian mengatakan filsafat Arab hanyalah sebagai produk terjemahan dari pemikiran
Yunani dengan asumsi bahwa mereka yang menerjemah filsafat yunani kedalam
bahasa Arab dan mempelajarinya merupakan bagian dari bangsa Semit yang tidak bisa
berfilsafat karena ketidakmampuannya dalam menelaah dan menganalisis filsafat
yunani. Jika dilihat kembali sejarah bangsa semit merupakan suatu bangsa yang jauh
ada sebelum peradapan islam memang terbelakang dari bangsa lainnya yang tidak
mengenal filsafat dan juga tidak menaruh perhatian lebih terhadap perkembangan
keilmuan, namun jika tuduhan para orintalis ini menuju pada umat Islam maka tuduhan
tersebut keliru, dimana Islam telah memberikan warna baru bagi bangsa Arab.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, tuduhan-tuduhan terhadap filsafat
islam terus berdatangan terutama dari para orientalis yang mengatakan bahwa filsafat
islam hanyalah filsafat yunani yang kemudian ditulis kembali dan dilegitimasi menjadi
filsafat islam. Memang benar perkembangan keilmuan islam juga dipengaruhi oleh
keilmuan Yunani, namun tidak secara keseluruhan. Filsafat islam pada dasarnya
merupakan filsafat yang bergagaskan islam. Dengan sember rasional yang berbeda
dengan filsafat yunani. Meskipun pada awalnya filsafat islam berasal dari
penerjemahan filsafat yunani, tetapi jauh sebelum itu islam sendiri telah memilki
sumber pijakan berfikir berupa kitab suci al-Qur’an.

Ditambah pesatnya keilmuan yang dimiliki islam (fiqh dan teologi) saat
dikenalnya pemikiran filsafat yunani dan juga kondisi sosial, kebudayaan dan
keyakinan para tokoh muslim menjadikan filsafat islam mempunyai ciri dan otentisitas
sendiri dan berbeda dari filsafat lainnya. Berikut beberapa karakteristik filsafat islam
sebagai pendukung otentisitas filsafat islam. Pertama, Landasan berfikir; filsafat Islam
berlandaskan pada prinsip agama Islam dalam hal ini al-Qur'an dan hadis. Maka
sumber ilmu dalam filsafat Islam adalah dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil rasional
(‘aqli). Menurut Nasr ada beberapa hal yang dapat menjadi indikasi bahwa filsof
muslim melandaskan pembahasannya paa al-Qur’an dan Hadis. Seperti pada
pembahasan pengenai penciptaan, landasan tekstual doktrin dapat ditemukan dalam
penggalan ayat al-Qur’an; “Sesungguhnya apabila menghendaki sesuatu. Dia hanya
berkata kepadanya: Jadilah!’’, maka terjadi”. Dari doktrin ini para filsuf
mengkonsentrasikan pemahaman mereka tentang “wujud” atau eksistensi suatu hal.
Kedua, Sistem analisis; filsafat Islam tidak hanya melandaskan diri pada prinsip prinsip
rasional tetapi juga spiritual Penyatuan rasional dan spiritual terlihat jelas dalam
berbagai diskursus yang dikaji oleh para filosof muslim. Teori Emanasi yang
dikembangkan al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina membuktikan hal tersebut, dikatakan
bahwa al-Farabi, merasa kecewa atas buku Metafisika Aristoteles. Dikisahkan, dalam
kitab metafisika tersebut tidak terlalu banyak berbicara tentang Tuhan, yang
dalam pandangan Islam merupakan tema pokok dalam metafisika. Dikatakan,
hanya dalam kitab Lambda dari bukunya itu Aristoteles berbicara tentang
Tuhan. Namun, bahkan ketika berbicara tentang Tuhan, tidak ada keterangan yang
memuaskan tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam. Lebih persisnya lagi
bagaimana dari Tuhan Yang Esa muncul alam semesta yang beraneka.

Ketiga, Subjek pengkaji; filsafat Islam merupakan hasil telaah dan analisis para
filosof muslim, artinya kajian filsafat ini dilakukan oleh orang- orang Islam. Selain
karena faktor penggunaan bahasa, filsafat Islam jelas tak bisa dibuat semakna dengan
filsafat Arab. Pertama, karena perkembangan filsafat ini berlangsung pada masa
kejayaan Islam yang tidak terkait dengan dimensi “Dinasti" tertentu. Kedua, para
filosof tidak seluruhnya merupakan orang Arab, Ibnu Sina adalah seorang Persia, al-
Farabi bahkan adalah seorang Turki. Ketiga, intisari filsafat Islam berada di seputar
wacana bagaimana para filosof Islam menafsirkan doktrin tauhid. Serta senantiasa ada
ketegangan antara deskripsi al- Our’an tentang ke-esaan dan apa yang kaum Muslim
kaji dari sumber- sumber Yunani.

Karenanya sulit menyebutkan filsafat yang dilakukan oleh non- muslim sebagai
subjek pengkaji filsafat Islam. Para filosof muslim adalah warna tersendiri dalam
perkembangan filsafat, kajiannya yang berdasarkan upaya “penafsiran" atau “perluasan
makna" dari al-Qur’an dan hadis dan rasionalitas Yunani merupakan sebuah ide kreatif
yang hanya filosof muslim saja-lah yang dapat melakukannya dan tidak non- muslim.
Perbenturan pemikiran dengan mutakallimin yang melahirkan dorongan kreativitas
berfikir mereka juga bagian dari pembentukan nuansa berfikir para filosof muslim.
Maka, filosof muslim tak pernah dan bukan hanya seorang filosof, filosof
muslim adalah seorang intelektual dalam berbagai bidang. Mereka mengkaji filsafat
tapi juga menguasai konsep syari’ah, mereka memahami al-Qur'an, seorang mufassir,
seorang sufi bahkan ahli ilmu- ilmu kealaman. Integritas keilmuan mereka di berbagai
bidang ini membuktikan bahwa tradisi ilmiah Islam adalah sebuah kesatuan antara
Iman, Islam dan amal.

Ke-empat, Objek yang dikaji; filsafat Islam mengkaji hal-hal yang berkaitan
dengan metafisika atau non materi, seperti asal-muasal kehidupan dunia, akal aktif, dan
sebagian pembahasan mengenai ruh. Mengkaji pula yang mencakup bidang fisik
seperti alam raya, kosmologi namun tetap dikaitkan dengan bidang metafisis.

Karena metodologis filsafat yang berkaitan dengan ontologis (asal-usul


hakikat), epistemologis (paradigma pengetahuan) dan aksiologis (persepsi nilai)
memungkinkan seorang filosof melakukan telaah terhadap berbagai bidang keilmuan.
Itu sebabnya seorang filosof muslim seperti al-Razi adalah seorang theolog, dokter,
ahli kimia, ahli fisika, mufassir dan juga seorang filosof terkemuka. Namun, untuk
menspesialisasi objek-objek kajian ini perlu ditelaah terlebih dahulu “tema-tema yang
dikaji dalam filsafat Islam". Tema disini dimaknai dengan kecenderungan yang diteliti
oleh para filosof muslim. Dari pengetahuan tentang tema ini akan didapati substansi
yang diteliti sebagai sebuah objek kajian filosof muslim.
Amsal Bakhtiar misalnya menunjuk emanasi, jiwa/ruh, akal, teori kenabian,
eskatologi, kebaikan kejahatan,alam antara kekal dan baharu, pengetahuan Tuhan,
hukum kausalitas, ruang dan waktu, etika. Lebih global, Mulyadhi Kartanegara
mengikhtisarkan tema tersebut yakni kajian mengenai Tuhan, alam dan manusia.Tiga
komponen dasar ini-lah menurut Ibrahim Madkur yang kemudian melahirkan beragam
kajian diantaranya adalah emanasi, jiwa/ruh dan lainnya - sebagaimana yang
disampaikan Amsal Bakhtiar-. Salah satu contoh misalnya adalah kajian mengenai
manusia, dimana manusia dilihat dari segi pengetahuan mereka terhadap Tuhan yang
kemudian melahirkan analisis mengenai nubuwwah. Ketika menelaah konsep
“nubuwwah" muncul beragam asumsi-asumsi yang berubah menjadi hipotesis seperti
“apa perbedaan antara nubuwwah dan filosof?', “signifikansi wahyu dan akal",
“nubuwwah itu sesuatu yang ditetapkan atau sesuatu yang dapat diupayakan ?"
(Gholib, 2009)

Maka, Tuhan, alam dan manusia adalah objek dari filsafat Islam. Dimana
kajiannya bisa jadi tertuju pada hal fisis atau metafisis tiga komponen tersebut. Dan
untuk menspesialisasikan bidang kajian - karena pembahasan mengenai tiga objek
tersebut juga melahirkan ilmu- ilmu lainnya- ditetapkan beberapa tema yang hanya
para filosof muslim saja yang membahasnya dan tidak menjadi pembahasan di bidang
keilmuan lainnya.
Kelima, bidang kajian; awalnya para filosof muslim mengkaji filsafat-filsafat
yang datang dari Yunani, baik yang murni Yunani atau yang telah terhellenisasi, artinya
mirip sekali dengan upaya islamisasi filsafat Yunani, tetapi kemudian berkembang
menjadi kajian “hikmah" atau yang diistilahkan Henry Corbin dengan “theosophy".

Sebagaimana kata aslinya, filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang


diterima Islam dari Yunani dan dunia hellenis. Meski jika dikaji secara metodologis,
Islam melalui ayat-ayat al-Qur’an telah mengisyaratkannya namun karena
pengembangan dan ketetapannya sebagai sebuah disiplin ilmu oleh Yunani. Maka,
filsafat menjadi “hak paten" bangsa Yunani. Wajar jika kemudian Islam sebagai
pewaris “tunggal’’ filsafat Yunani di awal penelaahannya mengkaji pemikiran-
pemikiran dalam filsafat Yunani. Setelah pengkajian itu, dilakukan semacam
penyaringan atau kounterisasi dari pemikiran-pemikiran Yunani yang dirasa kurang
“pas’’. Arah pembaruan inilah yang secara perlahan menggeser tema- tema kajian yang
awalnya berkarakter Yunani menjadi karakter Islam. Oleh karena itu, kata filsafat
yang merupakan bahasa transliterasi dirubah dengan bahasa Arab yang diperkirakan
memiliki makna sama yakni “hikmah".

Semakin jauh perkembangan filsafat Islam berjalan, al-Qur’an dan hadis


semakin melandasi pemikiran-pemikiran filosof muslim. Secara perlahan karakteristik
Yunani mulai berkurang dan Islam menunjukkan identitasnya. Bahkan sebagaimana
yang dikatakan A. Epping, filsafat skolastik yang dikembangkan oleh St. Thomas
Aquinas merupakan hasil produksi pemikiran filosof muslim. (Masyirah, 2020)
Dari beberapa karakter diatas menjadikan perbedaan tersendiri filsafat islam
dengan filsafat yang lainnya, demikian juga sebagai bukti otentisitas dari filsafat islam.

PENUTUP
Banyak terjadi perbedaan pandangan terhadap eksistensi filsafat islam pada
masa awal perkembangannya. Sebagian besar kaum orientalis pada abad ke-19
berpendapat bahwa filsafat islam tidak pernah ada melainkan hanya filsafat Yunani
yang diterjemah dan dipelajari bangsa Arab. Dengan asumsi bahwa bangsa Arab
(semit) merupakan bangsa yang tidak mempunyai kemampuan untuk menelaah dan
menganalisa filsafat yunani dan kemudian melahirkan filsafat islam. Anggapan yang
demikian banyak ditentang oleh peneliti lainnya terutama peneliti muslim dengan
statemen bahwa pada kenyataannya islam telah memberikan warna baru dan kemajuan
dalam peradaban bangsa Arab. Selain itu pada saat masuknya pemikiran yunani
kedalam islam melalui penerjemahan oleh tokoh intelektual muslim, islam jauh lebih
dulu memiliki dasar berpikir rasional mereka berupa kitab suci mereka, al-Qur’an, dan
juga khazanah keilmuan pada masa itu sudah terbilang maju seperti adamya kajian fiqh
dan teologi. Ditambah sejarah pasang surut perkembangan filsafat islam sejak masa
Khalifah Dimasti Abbasiah sampai beberapa puluh taun kedepannya menjadi tinta
sejarah yang didalamnya banyak melahirkan pemikiran yang bercorak sesuai dengan
kondisi sosial dan geografis para tokoh pemikir. Menjadi sebuah bukti yang kuat
terhadap keberadaan dan keasliannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. (2019). ASPEK EPISTEMOLOGIS FILSAFAT ISLAM. Al-Jami'ah, 7, 9-23.

Amirudin. (2019). MEMAHAMI OTENTISITAS KONSEP TUHAN. Kaca Ushuluddin, 9, 65-86.

Badruzaman, D. (2019). PERKEMBANGAN PARADIGMA EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT


ISLAM. Humaniora, 2, 52-64.

Gholib, A. (2009). FILSAFAT ISLAM. Jakarta: Faza Media.

Masyirah, A. (2020). BUKTI EKSISTENSI TUHAN. Ilmu Ushuluddin, 19, 137-146.

Rosowulan, T. (2019). TEOLOGI DAN FILSAFAT DARI POLEMIK DISKURSIFTEOSENTRIS


MENUJU APLIKATIF ANTROPOSENTRIS. Wahana Islamika:Studi Keislaman, 5, 165-
187.

Soleh. (2016). FILSAFAT ISLAM KLASIK HINGGA MODERN. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Syafrinal, Randa, Amril. (2022). OTENTISITAS FILSAFAT ISLAM. Aqidah dan Filsafat Islam, 3
no. 2, 24-39.
Syam, M. b. (2017). PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG EKSISTENSI FILSAFAT ISLAM. Jurnal
Aqidah, 3, 26-30.

Wahyuningsih, S. (2021). SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM. Jurnal Mubtadiin, Vol.


7, 82-99.

Anda mungkin juga menyukai