Anda di halaman 1dari 17

FILSAFAT ILMU-ILMU KEISLAMAN

A.

Filsafat Menurut Islam; Telaah Historis dan Persefektif


Dalam sejarah islam, awal mula nama falsafah dipakai untuk julukan yang diberikan

kepada aktivitas ilmiyah pada akhir abad ke-8 M. yang utamanya mengkaji teks-teks Yunani.
Tidak

sedikit

para

ulama

yang

menolak falsafah pada

masa

itu,

khususnya

dari

para fuqaha, muh}addithun dan para ulama salaf lainnya.1


Hal itu tidak lain karena adanya pertentangan konsep falsafah dengan pandangan Islam
sendiri. Namun setelah adanya proses sebut saja islamisasi, nama falsafah dipahami sebagai
istilah umum yang dapat diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam.
Asal

usul

namafalsafah pun akhirnya

tidak

lagi

dipermasalahkan,

yang

jelas

falsafah dikenal sebagai ilmu tentang Wujud.2 Bahkan, Ibn Taimiyah yang sebelumnya menolak
keras, pada akhirnya menerima falsa>fah, tapi dengan syarat harus berdasarkan pada akal dan
berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi.Falsafah yang demikian, ia sebut
sebagai al-Falsafah al-Shahihah atau al-Falsafah al-Haqiqiyyah.3 Meskipun disisi lain ia tetap
saja menolak pemikiran Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rusyd yang dianggapnya masih bercampur
dengan pemikiran Yunani.
Adannya penolakan terhadap filsafat Yunani dan kemudian diterima oleh para ulama,
menunjukkan bahwa Islam telah mempunyai konsep filsafat yang bukan berasal dari Yunani. Yang
menurut Halter, bukti adanya filsafat identik dengan istilah hikmah menunjukkan filsafat sudah
ada dalam tradisi intelektual Islam. Alparslan Acikegence menambahkan, konsep-konsep semisal
dalam al-Quran tentang alam semesta, manusia, penciptaan, ilmu, etika, kebahagiaan dan lainlainnya adalah konsep-konsep asas bagi spekulasi filosofis dalam memahami realitas dan
kebenaran. Semua itu dalam tradisi intelektual Islam tergolong dalam apa yang disebut hikmah.4
Dari sini sangat jelas bahwa dalam Islam tradisi berpikir filosofis ada, dan kesan berbeda dengan
tradisi filsafat Yunnani.
1 Nasr, S.H., Science and Civilization in Islam, (Cambridge, Islamic Text Society, 1987) hal. 58
2 Hamid Fahmy Zarkasyi, Framework Kajian Orientalis dalam Filsafat Islam, Jurnal(Jakarta,
ISLAMIA, 2005) hal 57
3 Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah, hlm. 258; Ibid., hlm 47.
4 Namun, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, setelah datangnya gelombang Hellenisme,
istilah hikmahterdesak oleh istilah falsafah, yang ditandai dengan adanya penerjemahan karya-karya filosof
Yunani. Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Jurnal Framework hal. 57.

Ini diperkuat oleh C.A. Qadir.mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Yunani menurutnya
adalah jauh dari benar. Sumber pemikiran para pemikir Muslim yang asli adalah al-Quran dan alHadith.Yunani hanya memberi dorongan dan membuka jalan untuknya. Fakta bahwa Muslim
berhutang pada Yunani adalah sama benarnya dengan fakta bahwa Muslim juga bertentangan
dengan beberapa pemikiran filsafat Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta
misalnya, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam
filsafat Yunani.5 Polemik anatara pandangan apakah filsafat dalam islam itu murni warisan yunani
kuno ataukah produk islam sendiri, memang jawabanya masih kontra fersi. Pandanaganpandangan yang paling umum dilontarkan Pertama, dari kalangan mayoritas orientalis adalah,
bahwa Filsafat Islam merupakan kelanjutan dari filsafat Yunani kun; It is Greek philosophy in
Arabic garb, demikian kata Renan, Gutas, dan Adamson yang lebih suka menyebutnya sebagai
filsafat berbahasa Arab (Arabic Philosophy). Dibalik pandangan itu terselip rasisme intelektual
bahwa filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar mengambil dan
memelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Pendapat tersebut mungkin saja
ada benarnya bila berpatok pada literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat
Islam seringkali dimarginalkan, atau bahkan diabaikan sama sekali. Mulai dari Hegel sampai
Coplestone dan Russell, filsafat Islam hanya dibahas sambil lalu, sebagai jembatan peradaban
(Kulturvermittler) dari Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan.
Pandangan kedua menganggap, filsafat Islam itu reaksi terhadap doktrin-doktrin agama
lain yang telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir Muslim dituduh telah mencomot dan
terpengaruh oleh tradisi Yahudi-Kristen. Pendapat ini diwakili Rahib Maimonides, Yang
menurutnya

semua

yang

dilontarkan

golonganMutazilah maupun Asyariyah mengenai

oleh

orang

masalah-masalah

filsafat

Islam
berasas

dari
pada

sejumlah proposisi-proposisi yang diambil dari buku-buku orang Yunani dan Syria yang ditulis
untuk menyanggah para filosof dan mematahkan argumen-argumen mereka.6
Dua sudut pandang tersebut di atas menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.antara lain
oleh Seyyed Hossein Nasr. Menurutnya, Orientalis yang menganut perspektif GrecoArabic biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak museum, sehingga
pendekatannya melulu historis dan filologis. Di mata orientalis semisal Van den Bergh, Walzer
dan Gutas, filsafat Islam itu ibarat sesosok mummi yang hidup antara abad ke-9 hingga ke-12
Masehi. Akibatnya, menurut Nasr, para orientalis itu tidak tahu dan tak peduli akan fakta filsafat

5 Qadir, C.A., Philosophy and Science in the Islamic World, (London, Routledge,
1988), hlm. 28
6 Ibid, hal 29

Islam sebagai kegiatan intelektual yang terus hidup dari dahulu sampai sekarang, di pusat-pusat
keilmuan Dunia Islam.
Yang Ketiga adalah perspektif revisionis yang memandang filsafat Islam itu lahir dari
kegiatan intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Bukankah perbincangan
tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan, tentang hakikat kebebasan dan tanggung-jawab
manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat, Munculnya kelompok

Khawarij,

Syiah,Mutazilah dan lain-lain yang melontarkan pelbagai argumen rasional disamping merujuk
kepada ayat-ayat al-Quran jelas sekali mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam
Islam. Hingga pada abad-abad berikutnya berkembang pada seputar kedudukan logika, masalah
atom, ruang hampa, masa, dan yang tak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan
serta ke-aza>li-an dan keabadian alam semesta.
Pandangan revisionis ini diwakili, antara lain oleh M.M. Sharif, Oliver Leaman, dan
Alparslan Akgen.Filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti dengan kematian
Ibnu Rusyd.Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal Umat Islam itu sendiri, bangunan
filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Quran yang menduduki posisi
sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim. Bagi Oliver Leaman, filsafat Islam
merupakan nama generik keseluruhan pemikiran yang lahir dan berkembang dalam lingkup
peradaban Islam, terlepas apakah mereka yang punya andil berbangsa Arab ataupun non-Arab,
Muslim ataupun non-Muslim, hidup di Timur Tengah ataupun bukan, berbahasa Arab, Parsi,
Ibrani, Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak zaman dahulu sampai sekarang ini. 7
Leaman mencermati adanya cara pandang Islami yang membingkai itu semua sehingga ia
menambahkan, cakupan filsafat Islam itu luas dan kaya.
Tanpa menafikan adanya hubungan antara filsasat Islam dan Yunani, MM. Sharif
mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain, sedangkan pemikiran Yunani sebagai
sulaman. Meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu
kain.Ini artinya, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, meskipun di dalam filsafat Islam terdapat
unsur-unsur Yunani, tetapi filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani.8
Namun Pendapat lain mengatakan, Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad
ke-2 dan ke-3 H. bersamaan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya,
sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri.
Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H). pendapat ini lebih dekat
pandangannya ke yunanisme. Seolah-olah filsafat itu muncul dalam islam karna melalui proses
penerjemahan filsafat yunani.
7 Ibid, hal 31
8 Hamid Fahmy Zarkasyi, hal. 60.

Namun terlepas dari adanya perbedaan penjelasan mengenai filasafat islam itu murni hasil
karya yunani atau tidak, Menurut Peters, sejarah telah mencatat, karya-karaya aristoteles telah
berhasil dihimpun kedalam satu korpus madzhab dan ditambah dengan teks-teks neoplatonik leh
filosof islam semenjak abad ke-10 M. menurut pendapat ini, al-Farabi yang paling awal menjadi
filosof muslim. Meskipun Pendapat Peters di bantah oleh Ahmad Hanafi, menurutnya al-Kindi lah
yang pertama kali menjuluki filsafat kedalam islam. diperkuat oleh Hasyimsyah Nasution, bahwa
al-Kindi adalah filosof muslim yang pertama meberikan istilah filsafat islam.9
Perbedaan pandangan pandangan mengenai sejarah pertama kali munculnya filsafat tidak
hanya

terjadi

pada

letak

historisnya,

tetapi

penamaannyapun

masih

diperslisihkan

eksistensinya.apakah filsafat itu Islam atau Arab. Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam,
kemudian berkembang hingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa
filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawanpun banyak menulis
berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis menyebut
mereka kaum filosof Islam, ada pula yang menamakan bahwa mereka merupakan para filosof
beragama Islam, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan Para Hikmah Islam (FalasifatulIslam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukumaul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan
Syahrastani, Al-Qithi, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa Abdurrazaq
mengatakan bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian
nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan,
Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh
ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam
dan berada di bawah pengayoman negara Islam.10
Courban, seorang orientalis Perancis ahli tentang Islam dan Iran mempertahankan istilah
Filsafat Islam. Ia mengatakan :
Jika kita berpegang pada penamaan Filsafat Arab, maka pemikiran itu menjadi sempit bahkan
keliru. Bagaimana kita bisa menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya atau pemikiran
Afdhul Kasyani dan para ahli pikir Persia (Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga
abad ke-13, mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa Persia. Jika sebutan
Arab dalam zaman kita dewasa ini mencakup pengertian politik dan kebangsaan dapat
dibenarkan, pengertian itu tidak bisa membawa kita ke pangkalan ilmu atau sastra. Lagipula saya
sendiri menolak mengkaitkan pengertian keagamaan dengan tanah air atau kebangsaan tertentu.
Karena itu istilah yang paling tepat dan benar ialahFilsafat Dalam Islam atau Filsafat
Islam atau Filsafat di Negeri-NegeriIslam , kalau penamaan yang terakhir disebutkan terasa
9 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001) hal 15
10 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988) hal 6

terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk dijadikan istilah, saya tetap menolak
memberikan predikat muslimah (musulman) pada filsafat tersebut. Sebab penamaan itu masih
tetap mencakup keyakinan pribadi filosof yang bersangkutan, sedang filsafat islam mencakup
segala hal-akhwal.11
Demikian juga pendapat Dr. Ibrahim Madzakur dengan pernyataan bahwa penamaan
filsafat Arab tidak berarti pemikiran filsafat itu hasil karya suatu ras atau suatu bangsa. Ia lebih
suka menyebut Filsafat Islam, karena Islam bukan hanya aqidah atau keyakinan semata-mata,
melainkan juga peradaban dan sikap peradaban mencakup segi-segi kehidupan moral, material,
pemikiran dan perasaan. Jadi Filsafat Islam ialah segala studi filsafat yang dilukis di dalam dunia
Islam, baik penulisnya orang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi.
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimana pun
hidup dan suburnya pemikiran tersebut (filsafat), adalah di bawah naungan Islam, dan kebanyakan
karyanya ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan Filsafat Arab ialah bahwa
filsafat tersebut adalah hasil umat Arab semata-mata tidak benar, sebab kenyataan menunjukan
bahwa Islam telah mempersatukan berbagai umat dan kesemuanya telah ikut serta dalam
memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sedangkan kalau yang dimaksud dengan
Filsafat Islam tersebut adalah hasil pemikiran kaum Muslimin semata-mata juga berlawanan
dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius danJacobitas dari
golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Sabiah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan
berfilsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.
Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum Muslimin lebih tepat disebut Filsafat
Islam, pengingat Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga kebudayaan. Pemikiran filsafat
sudah barang tentu terpengaruh oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran tersebut
adalah Islam baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena
Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan.
Dan dalam pemakaian istilah Filsafat Islam lebih banyak dipahami dalam buku-buku filsafat,
seperti an-Najat dan as-Syifa dari Ibn Sina, dalam buku al-Milal wan-Nihal dari as-Syihrisaani,
dalam bukuAkhbar al-Hukuma dari al-Qafi dan Muqadimah Ibni Khaldun.12
Dengan demikian, filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam yang banyak dibicarakan
oleh orang-orang Arab adalah Filsafat Islam, karena kegiatan pemikirannya bercorak Islam.Islam
disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran.Filsafat disebut Islami bukan karena yang
melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan
Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman saja.Hakekat
11 Ibid, hal 9-10
12 A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat..hal 11

Filsafat Islam ialah akal dan al-Quran.Filsafat Islam tidak mungkin tanpa akaldan al-Quran.Akal
yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al-Quran juga menjadi ciri
keislamannya.Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat
spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi akal bekerja, akal tetap bekerja dengan otonomi
penuh, Namun tetap dilandasi Al-Quran.
Akal dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika akal dan alQuran

dipahami

begitu,

menyiratkan

adanya

hubungan

atas

bawah

yang

bersifat subordinatif dan reduktif.maka antara satu dengan lainnya menjadi saling mengatasbawahi, baik akal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi akal. Jika al-Quran
mengatasi akal maka akal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut
otonomi penuh. Sebaliknya jika akal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas
kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran.
Oleh karena itu, Filsafat Islam adalah akal dan al-Quran dalam hubungan yang bersifat
dialektis.Akal dengan otonomi penuh bekerja dengan semangat Quranik. Akal sebagai subjek,
dan sebagai subjek ia mempunyai komitmen, komitmen itu adalah wawasan moralitas yang
bersumber pada al-Quran. Akal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan
al-Quran memberikan wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh
akal.Hubungan dialektika antara akal dan al-Quran bersifat fungsional.13
Secara umum, Filsafat Islam berbeda dengan teologi (ilmu kalam) dari sisi metodologinya.
Filsafat mendasarkan diri pada metode burha>ni (kontekstual), sementara teologi pada jadalli.
Filsafat Islam berada pada semangat inkorporasi atau mendamaikan antara akal dengan
wahyu.Gabungan antara pemikiran liberal dan kepercayaan religius.Secara ontologis filsafat Islam
menyakini adanya realitas hierarkis yang terbentang dari alam metafisik hingga fisik. Secara
epistemologis filsafat Islam menyakini akal, hati, indra dan teks suci sebagai sumber pengetahuan
yang valid
Jadi jelaslah apa yang dikatakan al-Akhwani, baahwa Filsafat Islam adalah pembahasan
meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran
keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.14
B.

Konsepsi Ilmu Pengetahuan Menurut Tradisi Pemikiran Islam


Dalam kajian filsafat, ada tiga unsur utama yang tidak bisa dipisahkan, yaitu epistemologi,

ontologi dan aksiologi. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain, dan saling menetukan arah
13 Musa al- Asy-Arie, Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis,
Historis, Perspektif, (Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992) hal 16
14 Ibid, Ahmad Fuad Al-Ahwani, filsafathal 5

pemikiran filsafat. umumya dalam kajian filsafat yang di utamakan salah satu dari ketiganya
adalah unsur epistemologi. Bukan maksud menafikan yang lain. Tetapi sepanjang mengartikan
filsafat sebagai proses mencari pengetahuan, epistemologi menjadi dasar awal yang dipakai.
Membicarakan episteme (sistem pengetahuan), seperti yang telah dibahas sebelumnya,
mau tidak mau, secara fundamental harus bersentuhan dengan akal atau nalar (aql).15 secara
umum, al-Jabiri mengkalsifikasi tipoogi nalar mejadi dua bentuk, dengan mengikuti persefektif
Andre Lalenda, yaitu nalar pembentuk atau aktif (al-aqlu al-mukawwin) dan nalar terbentuk atau
dominan (al-aqlu al-mukawwan). Nalar aktif merupakan naluri yang dengannya manusia mampu
menarik asas-asas umum, berdasar pemahamannya terhadap hubungan segala sesuatu.Sedangkan
nalar dominan adalah sejumlah asas dan akidah yang dijadikan pegangan dalam argumentasi. Jika
yang pertama bersifat universal, hingga disebut dengan akal niversal (al-aqlu al-kauni), maka
yang kedua tidak universal, sebab ia menjadi sistem kaidah yang dibakukan dan diterima dalam
era tertentu.
Kadang kala, seseorang mampu melakukan penalaran terhadap sesuatu, tetapi sulit untuk
menyentuh setandar kebenaran.Karena tidak mampu menyeimbangkan (singkronisasi) antra
pernyataan dengan kondisi realitas yang sebenarnya. Tujuan utama adanya akal yang dimiliki
manusia adalah untuk berpikir, sejauh ia berpikir pada sesuatu yang diaggapnya benar dan salah.
Menurut Endang Syaifuddin Anshari, Manusia seyogyanya adalah mahluk pencari kebenaran.
Untuk mencapai sebuah kebanaran harus memliki kompoonen-komponen yang menyertainya.
Komponen-komponen itu meliputi ilmu, filsafat dan agama (dalam hal ini islam). Ketiga
komponen itu jika diterapkan bersama, niscaya akan memnghasilkan suatu kesimpulan yang
mendekati kebenaran. oleh karena itu, islam sangat menekankan tiga aspek tersebut sebagai dasar
rujukan untuk memperoleh pengetahuan.
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari
banyaknya ayat Al-Quran yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya
disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut
ilmu.
sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba hambanya hanyaklah ulama (orang
berilmu). (QS 35:28)16
Disamping ayat-ayat Al QurAn, banyak juga hadith yang memberikan dorongan kuat
untuk menuntut Ilmu. Antara lain hadit yang diriwayatkan Imam Baihaqi,
15 Zaprulkhan, Epistemology Burhani Dalam Pemikiran Para Filosof Muslim, Jurnal, Arah Baru
Study Islam (Yogyakarta, Arruz Media Group, 2008) hal 235

16 Departemen Agama R.I, Al-Quran Dan Terjemahnya, (Jakarta, Pentafsir al-Quran,


1971) hal 120

Carilah ilmu walai sampai ke negri Cina ,karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib
bagisetuap muslim17
Beberapa ayat dan hadith tentang anjuran mencari ilmu menunjukkan betapa islam sangat
memperhatikan sekali berkembangnya ilmu pengetahuan. Diaspek yang lain, Filsafat islam
mengakaji dari berbagai hal didalamnya, termasuk diantaranya tentang ketuhanan, alam gaib,
serta realitas yang ada di dunia ini. Yang kesemuanya dibawah lingkaran wahyu (Al-Quran) dan
sunnah (hadith). 18 Posisi akal sangat dominan perannya sebagai sarana memperoleh penegtahuan,
tetapi tetap dalam batah-batas koridor agama.
Dalam tradisi pengetahuan islam, Epistemologi yang diapakai guna mendapatkan sebuah
pengetahuan meliputi tiga aspek berbeda. Yaitu epistemologi baya>ni (tekstual) irfani (intuitif),
dan burhani (kontekstual), ketiganya tersebut, konsep yang diterapkan mempunyai ciri has
tersendiri dalam memperoleh pengethaun.
1. Epistemology Bayani.
Dalam

sejarahyna,

Munculnya

kodifikasi

tadwin

(kodifiasai

massif

ilmu

pngetahuan) disinyalir sebagai babak baru transformasi episteme bayani dari wacana kebahasaan
menuju wacana diskursif. Periode tadwin ini telah mengantarkan budaya arab kebudaya tulis (alkitabah). Dan penalaran (ad-dirayah). Diaman islam yang sebelumnya berada dalam budaya oral
atau

lisan

(al-mushafah}ah)

dan

transmisi-replektif

(ar-riwayah).Lebih

jauh,

epistemology bayani telah menjadai semacam persefektif (ruyah) dan sistem (manhaj) yang
melandasi pemikiran sistematis dalam menginterprestasi wacana (fi tafsiri al-khitab) dan
memproduksi wacana (fi intaj al-khitab).19
Menurut Mahmud Arif, mengutip dari pendapatnya Ibn Manzur, Secara leksikal,
terma bayan mengandung beragam arti, diantaranya (1) menimbang (al-was}l), (2) keterpilihan
(al-fasl), (3) jelas dan terang (az-zubur wat al-wuduh), (4) kemampuan membuat terang dan
jelas.20 Berdasarkan keragaman arti tersebut, Mahmud arif menyimpulkan, makna generic dari
term bayani adalah keterpilihan dan kejelasan. Yang berwujud pada sebuah persefektif dan
metode. hal ini, epistemologibaya>ni menjadi sebuah sitem pemikiran yang tidah hanya sekedar
17 Jalaludin Asy-suyuti, Jaamiu Ashogir (t.k., t.p. t.t.) hal 44
18 Lihat abdurrahman asegaf, filsafat.hal 27
19 Mahmud Arif, Pendidikanhal 57
20 M. Abd. Al-Jabiri, Bunyathal 36-37

mencakup arti tindakan memahamkan, tetapi juga segala sesuatu yang mendasri tindakan
memahami.
Ciri umum dari pemikiran bayani adalah menempatkan ilmu-ilmu arab islam sebagai dasar
pengetahuan istidlali murnai. Yaitu nahwu, balaghoh, fiqh dankalam. Dan ilmu-ilmu inilah yang
menjadi lokomutif bagi formulasi keilmuan naqliyah murni dan keilmuan naqliyah-aqliyah.
Otoritas teks yang sangat kuat juga menjadi perioritas utama dalam mencapai pengetahuan. Salah
satu tokoh yang terkenal epistemologbayani ini adalah imam Asy-Syafii, ia menjadi pioneer
utama bayaniun yang menteorisasi episteme bayani sebagaimana terformulasikan dalam
pemikiran ushul fiqihnya. Bahkan banyak kalangan terutama George A. Maqdisi menilai, AsySyafii adalah pahlawan pertama aliran tradisionalisme bayani dan memiliki pengaruh besar di
belantika pemikiran dunia islam sejajar dengan dengan pengaruh aristoteles dalam dunia
pemikiran yunani kuno. Dengan pemikiran fundamentalnnya tentang empat perinsip dasar
pengetahuan islam, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijma dan Qiyas. As-syafiI juga merumuskan
kerangka pikir yang menjadi basis penting epistemologi bayani Sekurang-kurang terdapat dua
aspek pokok yeng terkandung dlam pemikirannya, yaitu aspek hukum (legal) dan aspek teologi.21
2. Epistemology Irfani
Salah satu determinan historis budaya dan tradisi pemikiran arab islam adalah warisan
klasik. Dalam konteks keilmuan, produk determinan historis ini bisa dikenal denagn ulumu alawail (warisan keilmuan generasi terdahulu). Begitu banyak sumber-sumber warisan klasik yang
telah memebri kontribusi besar pemekaran budaya dan tradisi pemikiran arab islam. Hanya saja
sumber-sumber warisan klasik yang disinyalir telah menebar benih tradisi hermes.yang
didalamnya

bisa

dekleompokkan

menjadi

tiga

arus

utama,

yaitu

(1)

system

kepercayaan zoroster dan manna yang banyak dianut bangsa persi; (2) aliran as-sabiah; (3)
aliran-aliran filusuf. Dari antara isu sentral yang digulirkan oleh tradisi hermes 22 dan budaya
Persia adalah paham dualitas ekstrim antara tuhan dan materi, antara kebaikan (cahaya) dan
keburukan (kegelapan).
Paham keterkaitan antara dunia atas dan dunia bawah, begitu juga paham penyucian
jiwa dan asal muasl jiwa dari anasir ketuhanan, paham ilmu dan agama, serta orientasi kehidupan
akhirat dengan kepekaan terhadap keindahan bumi dengan citra keindahan langit, telah membawa
21 Lihat George Maqdisi, The Rises Of Humanism In Classical Islam And The Christian
West; With Special Reference To Scholastism, (Edinburgh, Edinburgh University Pers,
1990) hal 12
22 Konon, istilah hermes dalam mitologi yunani adalah nama dewa yang menjadi
perantara antara sang maha dewa (tuhan) dengan manusia. Perantara adantara
dunia dunia langit dengan bumi. Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa
Agama; Sebuah Kajian Hermeneutic (Jakarta, Paramadinan, 1996) hal 125-126

perubahan mendasar terhadap struktur nalar pemikiran islam (arab-islam). Hingga kemudian
meunculkan paham gnostik (al-aql al-mustaqil) yang dikenal dengan konsep metode irfani.23
Terma al-irfani dalam kata-kata bahasa arab mengandung arti pengetahuan (al-marifah
al-ilmu). Terma tersebut popular dekalangan untuk menunjukkan arti pengetahuan termulia yang
di hujumkan kelubuk hati melalui carakhasf (penyigkapan mata batin) atau ilham. Para penagnut
nalar gnostik (metode irfani) beranggapan bahwa pengetahuan yang ia miliki sebagai
bentuk ilham atau iluminasi setelah bersatu dengan daya-daya samawi yang tersembunyi. Ia
menambahkan, bahwa ada perbedaan antara pengetahuan yang diperoleh melalui indra, rasio, atau
keduanya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui khu>sf. ia memandang bahwa jenis
pengetahuan yang dipeoroleh lebih tinggi dan mulia.
Aliran metode epistemologi irfani dalam dunia islam umumnya merupakan kalangan
tasawuf. yang kemudian bermetamorfosis menjadi taswuf sunni dan taswuf falsafai. Tasawuf
sunni pemikirannya cendrung moderat, namun tetap berpegang teguh pada koridor syariat dan
dominan ciri-ciri moralnya. Sedangkan tasawuf falsafi, konsep dan praktek sufistiknya banyak
dipengaruhi oleh aliran mistik-filosofis.Dan acapkali menyimpang dari tuntunan syariat.
3. Epistemologi burhani
Secara historis, menurut Mahmud Arif, Masuknya pemikiran logika dan filsafat
Aristotelian ke dalam budaya dan tradisi pemikiran islam dinilai berlangsung lebih belakangan
bersamaan dengan periode kodifikasi (tadwin). Konon, dibalik gerakan tadwin terselubung
maksud dari khalifah Al-Makmun (813-835 M.) untuk mengembangkan wacana baru yang bisa
meng-counter ekspansi pengaruh gerakan-gerakan intelektual-politis yang dianggap akan
menagncam kelangsungan kekuasaanya.24
Strategi

politik

Al-Makmun

dalam

mengatasi

memanasnya

hubungan

antara

abbasiyyun dan alawiyun ini telah pada glorifikasi pemikiran Aristotelian, yakni penegakan
nalar universal (al-aql al-kauni), yang nayata-nayata bersebrangan dengan nalar gnostik yang
banyak didukung oleh kalangan alawiyun (khususnya syah ismailiyah). Hal ini merampabah
pada pergeseran format rasionalisasi keagamaan, Politik dan budaya, yang secara khusus ilmu
pengetahuan.
Secara bahasa, al-burha>ni mempunyai arti argumen yang tegas dan jelas. Kemudian jika
diperluas, burha>ni merupakan terminologi yang diapakai dalam sebuah metode ilmu
pengetahuan untuk menunjukkan arti proses penalaran yang menetapkan benar tidaknya suatu
proposisi melalui cara deduksi. kemudian ciri umum dari metode ini yaitu memadukan antara
23 Lihat Muhammad arif, Pendidikan56
24 Mahmud Arif, Pendidikanhal 65

persefektif pemikiran dengan persefektif realitas tertentu. Secara geneologis berhubungan erat
dengan tradisi pemikiran Aristotelian.
Sstem

epistimologi burha>ni bertumpu

sepenuhya

pada

seperangkat

kemampuan

intelektual manusia, baik berupa indra, pengalaman, maupun daya rasional, dalam upaya
memperoleh pengetahuan tentang semesta. Secara solidasi, sistemik dan postulatif. Disamping itu,
terdapat tiga perinsip penting yang melandasi konstruksi epistimologiburha>ni, yaitu (1)
rasionalisme

(al-aqliniyah),

(2)

kausalitas

(as-sababiyah), dan

(3)

esensialisme

(al-

mahiyah).25Yang dikembangkan lewat penggunaan metode utama yaitu, deduksi dan


induksi.sedangkan pengetahuan adakalanya diperoleh melalui indra dan juga adakalanya melalui
rasio.
Epistemologi burhani dikenal oleh orang islam melalu penerjemahan filsaftnya aristoteles
yang dikenal dengan metode demonstratif. Dalam penuturan aristoteles, Yang dimaksud dengan
metode demostratif adalah silogisme ilmiah, yakni silogisme yang apabila yang apabila seseorang
memiliknya maka ia akan memiliki pengetahuan. Menurutnya silogisme merupakan seperangkat
metode berpikir yang dengannya seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan baru dari
pengetahuan-pengetahuan sebelumnya (kesimpulan dari berbagai premis), terlepas pengetahuan
itu benar atau salah dan sesuan dengan relitas atau tidak.
Metode dasar yang diambil dalam metode ini adalah silogisme, yakni mengambil
kesimpulan dari premis mayor dan minor yang keduanya mengandung unsur yang sama, dengan
sebutan middle term (al-hadd al-ausath). Sebuah silogisme baru dikatakan demonstratif apabila
premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan pda kebenaran yang telah teruji atau
disebut kebenaran utama (primary truth), Karena apabila premis-premis benar maka akan
menghasilkan kesimpulan yang benar. Dalam sejarahnya aliran episteme ini telah melahirakan
beberapa nama besar filusuf muslim, seprti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan lain-lain.
C.

Aktualisasi Filsafat Menuju Peradaban Keilmuan; Tinjawan Terhadap pengembangan


ilmu-ilmu keislaman dan Lembaga Pendidikan Islam.
Pendidikanislampada

hakikatnya dalam

teori

dan

peraktek

selalu

mengalami

perkembanagn, hal ini disebabkan karena pendidikan islam secara teoritik memiliki sumber dasar
dan rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar (akal), melinkan juga wahyu. Kombinasi nalar
dengan wahyu ini adalah ideal, karena memadukan antara potensi akal manusia dengan tunutunan
firman Allah Swt. Terkait dengan masalah pendidikan. Kombinasi ini menjadi ciri khas
pendidikan islam yang tdiak dimilki oleh konsep pendidikan pada umumnya yang hanya
mengandalkan kekuatan akal dan budaya manusia.
25 Lihat, M. Athif Al-Iraqi, An-Nazah Al-Aqliyah Fi Falsafat Ibn Rusyd, (Kairo, Dar AlMaarif, t.t) hal 62-63

Harusnya dengan keterjalinan antara dua sumber akal dan wahyu tersebut dapat
mengahsilkan konsep pemikiran islam yang sembpurna. Hal itu dibuktikan secara historis melalui
upaya penggabungan konsep dan pemikiran pendidikan islam yang berjalan dimasa lalu dengan
kebanyakan karya tulis para ulama tentang pendidikan yang sebagian besar masih bisa diakses
hingga kini. Hanya saja, teori-teori pendidikn mereka seakan tenggelam karena masuknya trematerma baru yang muncul belakangan ini, terutama yang berasal dari refrensi barat.Sehingga
memunculkan kesan deolah-olah yang memunculkan teori pendidikan pertama kali adalah
seluruhnya orang barat.
Pada saat yang sama, pemikiran pendidikan islam klasik masih dipahami dalam kontek
klasik (back to basic), tidak ada proses aktualisasi kekinian, maka tidak berlibahan, jika dikatakan
bahwa sampai saat ini tradisi ilmiah dan hazanah intelektul umat islam masih mengalami
kemunduran dan terbelakang, bila dibandigkan kondisi keemasan islam dimasa lalu.
Kondisi tersebut membuka problem sekaligus tantangan bagi pendidikan islam kedepan,
agar dilakukan rekontekstualisasi dan rekonseptualisasi pendidikan yang relevan dengan
kebutuhan saat ini. Bila tidak dilakukan, maka hazanah intelketual islam dibidang pendidikan
akan semakin ketinggalan zaman dan menjadai setagnan.
Tafsir QS al-Dzariyat (51) sering digunakan untuk menunjukkan bahwa tujuan umum
pendidikan islam adalah untuk membentuk manusia yang beribadah, karena Aku (Tuhan) tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-ku.

26

Sepatutnya ayat

tentang ibadah ini dipahami secara konfrehensip, tidak dipersempit maknanya. Lazimnya ibadah
dimaknai sebagai pemenuhan proses penghambaan atau pengabdian seorang mahluk kepada sang
Halik melalui berbagai macam ritual yang umunya menjadi ajaran islam. Pendidikan juga
merupakan proses yang seharusnya tidak dipisahkan dari kategori ibadah. Karena bagaimanapun
juga tanpa pendidikan, seorang tidak akan mampu mencapai ibadah yang hakiki.
1. Problem Epistemologi
Persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan islam telah berjalan cukup lama. Terutama
sekali, semenjak madrash Nizhamiyah mempopulerkan ilmu-ilmu agama dan mengesampingkan
logika dan filsafat. Mengakibatkan terjadinya pengesampingan ulumual-diniyah dengan ulumualaqliyah. Terlebih lagi menuntut ilmu agama itu adalah fardhu ain sedangkan menuntut ilmu-imu
non-agama merupakan fardhu kifayah.Hal ini menimbulkan suatu keyakinan, bahwa mempelajari
agama sebagai kewajiban seraya mengabaikan pentingnya mempelajari imu-ilmu non-agama.
Akibat pola pikir pendidikan yang dekotomis ini, berimplikasi pada sebuah disharmoni relasi
antara ayat-ayat ilahiyah dengan ayat-ayat kauniyah, antara iman dengan ilmu, antara ilmu dengan
26 Departemen Agama R.I, Al-Quran Dan..hal 862

amal,

antara

dimensi

duniawi

dengan ukhrawi,

dan

dimensi

ketuhanan

(teosentres)

dengan kemanusiaan (antroposentris).


Selain itu, persolan yang membudaya dan sulit dihilangkan dalam tradisis keilmuan
pendidikan islam saat ini adalah pola pikir yang menjadi tendensi normatif dan deduktif.
terlihat ketika praktek pendidikan islam yang saat ini lebih mengarah pada pola mengajar
(teaching, talim) dari pada sistem mendidik (education, tarbiyah, dan tadib). Kedua sitem
mtersebut jelas-jelas perbedaannya sangat besar. Aktifitas mengajar dibatasi oleh ruang kelas dan
peranan guru yang amat besar, sedangkan mendidik tidak harus berpatokan pada tersebut.
Bergesernya praktek pendidikan menjadi identik dengan mengajar ini jugamenimbulakan
penekanan yang tidak seimbang pada aspek pengetahuan. Seakan proses pembelajaran hanya
memperioritaskan pada kemampuan kognitf saja ktimbang kemampuan psikomotorik dan
afektifnya. Peserta didik menirima pengetahuan hanya berdasar pada sistem transfer of knowledge
(penyampaian pengetahuan) dari orang yang dipandang lebih tahu (guru). Sementara dimensi
sikap dan (afektif) dan keterampilan (psikomotorik) kurang diperhatikan. 27 Inilah yang kemudian
pendidikan islam saat ini berjalan monoton. Sehingga asumsi yang dicapai, lulus sekolah dapat
mendapatkan ijazah dan menerima nilai yang baik.
2. Relefansi burhanidalam membangun paradigma keilmuan; implementasi pada sistem
pendidikan pola integrasi-interkoneksi
Pendidikan pada dasarnya berkenaan dengan keyakinan akan eksistensi pengembangan
sifat-sifat hakiki kemanusiaan yang sarat dengan nuansa moral. Peranan pendidikan sebagai
sarana pengembangan kemanusiaan kea arah lebih baik, selalu terakumulasi kedalam tujuan yang
di inginkan.baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, Sesuai dengan kebutuhan
seseorang atau sekelompok orang yang terlibat didalamnya. Dapat dikatakan, bahwa perubahan ka
arah lebih baik itu merupakan esensi dari pendidikan itu sendiri. 28 Sehingga jika tanpa ada
perubahan, menurut tujuan-tujuan pendidikan yang telah di tetapkan, sama artinya tidak ada
proses kependidikan.
Dalam konteks pendidikan islam, penciptaan manusia ka arah perubahan yang lebih baik
juga menjadi tujuannya. Upaya sadar yang dilakukan untuk menjadikan manusia sebagai manusia
utuh (humanis) adalah tugas utama pendidikan islam. Pendidkan islam sangat menekankan
dimensi moral yang selalu merujuk pada ajaran agama. Jika suatu saat, terjadi transformasi sosial
akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka disitu peranan pendidikan islam menjadi
27 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Konsep Of Knowledge In Islam, (London, Mansel,
1989) Hal 104
28 Lihat, Muhmidayeli, Membangun Paradigma Pendidikan Islam, (Pekan Baru, Penerbit UIN
Pasca Sarjana, 2007) hal 4

sangat kuat. sebab, tugas utama pendidikan islam dalam meng-rekontruksi sosial, menjadi
tanggung jawab utama yang harus dipenuhi.
Tetapi, Seharusnya Pendidikan islam saat ini tidak hanya bergerak dalam tataran dimensi
sosial menyangkut moral saja, namun perlu juga berorientasi pada arah pengembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan secara umum. Agar mampu berinteraksi dengan perkembangan jaman yang
semakin maju.pilar utama yang menjadi landasan spiritual umat islam, selalu menjadi sepirit agar
pendidikan islam saat ini dapat bersaing dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan
(secience). Untuk itu, untuk membangun kembali dari keterlelapan yang panjang, pendidikan
islam perlu merekonstruksi kembali sitem dan motode yang dipakai, Seperti halnya kemajuan
islam yang pernah dirasakan di jaman dahulu.
Meminjam bahasanya Abdurrahman Assegaf, sebagai uapaya untuk mendatangkan
kembali kemajuan dan peradaban islam, maka perlu adanya internalisasi motodelogis yang
bersifat Hadhari (peradaban)

terhadap

keilmuan

pendidikan

islam.

Salah

satunya

metode burhani atau lebih gampangnya disebut metode demonstratif, metode ini merupakan
aktifitas kognitif yang berbentuk iferensi rasional. Yaitu penggalian ilmu pengetahuan secara
rasional, redikal serta sistematis dan konfrehensif.29 Dari beberapa metodelogi yang dikembangkan
ilmu pengethuan islam jaman klasik, metode burhani dipandang paling akurat jika dijadikan
sebagai sistem paradigma dan metodelogi ilmiah dalam pendidikan islam saat ini. Selain metode
ini

telah

meimiliki

sejarah

panjang

dimasa

keemasan

islam,

perluanya

aktualisasi

metodeburhani saat ini lebih disebabkan problematika pendidikan islam kini kian hari kian
paradoksal.
Burhani merupakan metode logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji
kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan
keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Seharusnya, menurut Menurut
Amin Abdullah, adanya penegtahuan umum yang meliputi bidang-bidang ilmu pengetahuan
terpisah

seperti

biologi,

fisika,

sosilogi,

geografi,

matematika,

agama

dan

lain

sebaginya,30 merupakan suatu bidang yang perlu diakumulasikan secara integratif dan keterkaitan.
Sehingga mampu menghasilkan suatu kesimpulan ilmiah yang bersifat burhani.
Apa yang dikatakan aristoteles, tentang pencarian penyebab-penyebab objek yang
diselididiki juga menjadi tugas ilmu pengetahuan umumnya pendidikan islam saat ini. penyebab
tersebut terdiri empat macam yang semuanya harus disebut, yaitu Prtama, penyebab efisien
(efficient cause/fail), adalah faktor yang menjalankan kejadian.Kedua, peneyabab final (final
29 A. Abd. Al-jabiri, Tragedy Intelektual, terj. Afandi Abdillah (Yogyakarta, Pustaka
Alief, 2003) hal 247
30 Amin Abdullah, Pengantar, Islamic studys; Dalam Paradigama IntegrasiInterkoneksi (Yogyakarta, suka pers 2007) hal vii

cause/ghayah), yaitu tujuan yang menjadi arah kejadian.Ketiga, penyebab material (material
cause/madah), ini menjadi bahan dar mana benda dibuat. Dan yan keempat, penyebab formal
(formal cause/surah), yaitu, merupakan bentuk yang menyusun bahan .31 Dengan kempat tersebut,
secara lengkap suatu peristiwa ilmu pengetahuan dapat dijelskan dengan hasil ilmiah.
Paradigama pendidikan saat ini menggambarkan, seolah-olah ilmu pengetahuan umun
secara tegas sudah terpisah dengan ilmu pengetahuan agama.Jika ilmu pengetahuan umum adalah
produk hasil dari ilmuan-ilmua barat, dan ilmu pengetahuan agama merupakan produk hasil ajaran
agama.Tentunya pandangan dekotomis ini sangat bertentangan dengan sejarah perjalananya ilmu
pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian, untuk menyeimbangkan kembali persepsi dekotomis
antara ilmu pengetahuan agama dan umum, perlua danya integrasi-interkonektif yang
bersifat burhani. Karena, Jika semuanya sudah merujuk pada konsep pengembangan tersebut,
tentu ini menjadi dinamika baru, untuk membangun kembali hadhari (peradaban) islam yang
sudah lama terlelep.
D.

Penutup
Hakiktanya, ilmu pengatahuan dalam islam tidak bisa dipisahkan dari filasafat. Terlepas

adanya persepsi filsafat itu yunani (hellenisme) atau islam murni. Karena kenyataanya, konsep
filsafat dalam islam sedikit ada persamaan metode dengan yunani. tetapi disisi lain, islam
memiliki konsep sendiri dimana kerangka konseptualnya sangat berbeda dengan yunanian.
Sejatinya, yang membedakan corak pengetahuan islam dengan yang lain adalah, dimensi teologis
(wahyu) yang selalu menjadi acuan dan sumber utama filsafat islam.
Meskipun filsafat islam telah diakui keberadaannnya, Namun sebagian ada pula yang
menolaknya. Penolakan ini tidak lepas dari doktrin dan pandangan yang dimiliki. Apakah segala
pengetahuan dalam islam seluruhnya harus filosofis atau tidak. Tentunya, Ini menimbulkan suatu
dinamika pandangan yang berbeda, dan berdampak pada pola sistem pengetahuan (epistem)
dalam islam itu sendiri. Pandanagn yang mengakui sistem penbgetahuan diperoleh melalui
sistematika filosofis berhujung pada adanya suatu konsep yang dinamkan burhani. Pandanagn ini
mengatakan bahwa pengetahuan bisa diperoleh melalui akal dengan cara sistematis, redikal,
konfrehensif dan berpatokan pada Al-Quran dan hadith.
Sementara pandangan yang mengakui bahwa pengetahun bisa ditempuh dengan jalan
penyucian jiwa dan penyatuan terhadap sifat-sifat ketuahanan, sebagian besar dikumandangkan
oleh kelompok tasawuf yang mengakui konsep metodeogi irfani. ia mengatakan bahwa
pengetahuan bisa diperoleh melalui ilham dengan cara zuhud dan menyatukan diri terhadap tuhan.
Adapun Kelompok yang mayoritas di dominasi oleh kaum tradisional, juga memiliki pandangan
berbeda dalam memperoleh pengetahuan.Ia lebih memperioritaskan teks guna menemukan sebuah
31 K bertens, Sejarah Filsafat Islam, (Yogyakarta, Kanisius, 1999) hal 473

interpretasi pengetahuan. Penempatan ilmu-ilmu arab dalam membangun pengetahuan menjadi


tradisi yang kian berkembang, Sehingga memunculkan sebuah motodelogi bayani dalam
diskursus yang dikembangkan.
Beberapa konsep pengetahuan tersebut berhujung pula pada sebuah implikasi paradigma
pendidikan

islam

saat

ini,

khususnya

pendidikan

islam

di

indonesia. utamanya

metodelogi bayani yang menjadi basis utama kaum tradisional. Terkesan normatifisme tekstual
sangat dominan, sehingga terjadinya paradoksi antara perkembangan pengetahuan pendidikan
islam dengan pengetahuan umum sangat kuat. Maka, menjadi hal penting jika dilakukan
rekonsntrukturalisasi dan rekonseptualisasi ideologi pendidikan yang lebih bersifat demonstratif
(burhani), Guna membangun kembali hazanah peradaban ilmu pengethuan islam (hadhari)
kedepan yang lebih relefan.

Daftar Pustaka
Abdullah,

Amin,

Pengantar, Islamic

studys; Dalam

Paradigma

Integrasi-

Interkoneksi (Yogyakarta, Suka Pers, 2007)


AgamaR.I,,Departemen,Al-Quran Dan Terjemahnya, (Jakarta, Pentafsir al-Quran, 1971)
Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988)
A. Maqdisi, George,Cita Humanism Islam,(Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2005)
A. Maqdisi, George, The Rises Of Humanism In Classical Islam And The Christian West;

With Special Reference To Scholastism, (Edinburgh, Edinburgh University Pers, 1990)


Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta, LKIS, 2008)
Assegaf, Abd. Rahman,Membangun Format Pendidikan Islam Di Era Globalisasi Dalam
Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta, Al-Ruzz, 2004)
Asy-Arie (al), Musa, Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis,

Perspektif, (Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992


Bertens, K.,Sejarah Filsafat Islam, (Yogyakarta, Kanisius, 1999)
Bugir, Haidar,Buku Saku Tasawuf, (bandung, Mizan, 2005)
C.A.,Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, (London, Routledge, 1988)
Fahmy
Zarkasyi,
Hamid,
Framework
Kajian
Orientalis
dalam
Filsafat

Islam,Jurnal(Jakarta, ISLAMIA, 2005)


Hanafi, Ahmad,Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996)

Hidayat, Komaruddin,Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutic(Jakarta,


Paramadinan, 1996)
Iraqi (Al), M. Athif,An-Nazah Al-Aqliyah Fi Falsafat Ibn Rusyd, (Kairo, Dar Al-Maarif, t.t)
Jabiri (Al), M. Abd., Formasi Nalar Arab, Terj. Imam Khoyri, (Yogyakarta, Ircisod, 2003)
Jabiri (Al), M. Abd.,Bunyat Al-Aql Al-Arabi, (Bairut: Al Markaz Ats-Thaqafi Al-Arabi,
1993)
Jabiri (Al), A. Abd.,Tragedy Intelektual, terj. Afandi Abdillah (Yogyakarta, Pustaka Alief,
2003)
Muhmidayeli, Membangun Paradigma Pendidikan Islam, (Pekan Baru, Penerbit UIN Pasca

Sarjana, 2007
Mundiri, Logika, (Jakarta, Rajawali Pers, 2001)
Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge, Islamic Text Society, 1987)
Nasution, Hasyimsyah,Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001)
Nyubi, Nazih,Political Islam; Religion And Politics In The Arab Word, (London,

Reutledge,1991)
Nor Wan Daud, Wan Mohd, The Konsep Of Knowledge In Islam, (London, Mansel, 1989)
Suyuti (Asy), Jalaludin,Jaamiu Ashogir (t.k., t.p. t.t.)
Syaifuddin Anshari, Endang,Ilmu Filsafat Dan Agma, (Surabaya, Bina Ilmu, t.t)
Walbridge, Jhon,Mistisme Filsafat Islam, Keraifan Iluminatif Quthb Al-Din Al-Syirazi,

(Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2008)


Widodo, Kamus Ilmiah Popular (Yogyakrta, Absolut, 2002
Zaprulkhan, Epistemology Burhani Dalam Pemikiran Para Filosof Muslim, Jurnal,Arah Baru
Study Islam (Yogyakarta, Aruzz Media Group, 2008)

Anda mungkin juga menyukai