Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG

Ketika Bangsa Eropa mengalami masa kegelapan (The Dark Agesyang


berlangsung selama lebih kurang 8 abad (476 M – 1300 M), perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya filsafat nyaris terhenti ditelan monopoli dogma-dogma
gereja.

Hampir tidak ada penambahan yang berarti terhadap warisan ilmu


pengetahuan Yunani dan Romawi Kuno kecuali pemikiran yang mendukung dogma
gereja. Pada masa itulah Islam lahir menyelamatkan kekayaan intelektual dunia
dengan mengusung konsep Iqra‟ yang sangat apresiatif terhadap pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Khusus mengenai filsafat yang dianggap sebagai
Mater scientiarum (induk dari segala pengetahuan)2 sentuhan pertama ilmuan
muslim diawali dengan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani dan romawi
kedalam bahasa Arab.

Berbagai upaya penerjemahan ini akhirnya berhasil melahirkan sejumlah


filosoft muslim kenamaan yang karya dan pemikiran mereka kemudian menjadi
rujukan penting bagi ilmuwan Eropa ketika memasuki masa Renaissance (Era
Pencerahan atau kebangkitan kembali ilmu pengetahuan). Salah satu diantaranya
adalah Al-Farabi. Beliau disepakati sebagai peletak sesungguhnya pondasi piramida
studi falsafah Islam yang mendapat gelar kehormatan sebagai Mahaguru kedua (al-
Mu’alim al-Tsany) setelah Aristoteles. Dalam Pemikiran politiknya membicarakan
tentang negara, masyarakat, kekuasaan dan politik.

Disamping Filosuf muslim mempengaruhi bangsa-bangsa didunia dalam


berbagai kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan dan keberhasilannya tidak
dilepaskan oleh para pemikiran filosuf lainnya. Seperti Palto, Aristoles,
Machiavelli, Agustinus, Hegel, Karl Mark, Thomas Aquinas dan lain-lain.
Pandangan dan pemikiran para filosuf tersebut, memberikan manfaat yang besar
dalam sejarah peradaban dunia politik. Terutama yang berkenaan dengan negara,
hukum, politik dan kekuasaan. Diantara para filosuf itu adalah Al-Farabi.

2. RUMUSAN MASALAH

1. Siapakah Al-Farabi ?
2. Apa pemikiran-pemikiran yang di buat oleh Al-Farabi ?
3. Karya-karya apa saja yang di buat oleh Al-Farabi ?

3. TUJUAN PENULISAN

1. Mahasiswa mengetahui siapakah Al-Farabi


2. Mahasiswa mengetahui pemikiran yang di haliskan Al-farabi pada bidang
Filsafat
3. Mahasiswa mengetahui Karya-karya Yang di buat Al-farabi

FARABI 1
BAB II

PEMBAHASAN

1.) Biografi Singkat al-Farabi

Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn
Uzalagh Al-Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259H/872,13 selisih satu tahun setelah
wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran menikah dengan
wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas dasar itulah al-Farabi
dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani
pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) dan filsafat sangat
gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-mu’allim tsāni), layak disematkan.
Diriwayatkan telah belajar logika di Baghdad dari para sarjana Kristen Yuhanna ibn
Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr Matta (w.940 M), perlu segera dicatat bahwa,
Baghdad saat itu termasuk pewaris utama tradisi filsafat dan kedokteran di
Alexandria.

Pertemuan dan pergumulan pemikiran di Baghdad nantinya menjadi konektor


pemikiran al-Farabi yang meramu filsafat Islam dengan filsafat Yunani Neo-Platonis,
Al-Farabi dalam perkembangannya juga tercatat sebagai guru Yahya ibn Adi (w. 974
M), seorang penerjemah Kristen Nestorian sebagai tokoh logika Ibn al-Sarraj.Karir
pendidikannya cukup panjang hingga pada tahun 330/941 M. Al-Farabi meninggalkan
Baghdad menuju Aleppo kemudian ke Kairo dan menghembuskan nafas terakhirnya
di Damaskus, tepatnya pada bulan Rajab pada tahun 339 H atau Desember 950 M.

Beliau termasuk filosof yang produktif dalam melahirkan berbagai karya tulis,
baik berupa buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Di antara
karyanya adalah Aghrādh mā Ba’da al-Thābi’ah, Al-Jam’u Baina Ra’yai al-
Hākimain, karya ini menurut beberapa sumber berisi tentang kemampuan al-Farabi
mengulas dan mempertemukan pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles. Karya penting
lainnya adalah Risālah al-Itsbāt al-Mufāraqāt, At-Ta’līqāt, al- Jam’u Baina Ra’yu al-
Hākimain, kitab al-Siyāsāt al-Madīnah al-Fadhīlah, al-Miqā al- Kabīr, Risālah
Tahsīl al-Sā’adah,‘Uyūn al-Masāil, al-Madīnah al-Fadhīlah, Ārā’ Ahl al- Madīnah
al-Fadhīlah, adapun al-Ihshā al-Ulūm konon merupakan karya terakhir sebelum ia
wafat.Bukti bahwa al-Farabi sebagai filosof yang mendalami filsafat Aristoteles
adalah konon pada saat Ibn Sina tidak memahami isi Maqālah fī Aghrād al-Hakīm fī
Kulli Maqālah al-Marsūm bi al-Hurūf karya Aristoteles dan ia membacanya
berulangkali hingga 40 kali, akhirnya berlabuh pada karya al-Farabi yang berjudul
Tahqīq Gharad Aristātālīs fī Kitāb mā Ba’da al-Thabī’ah kemudian tersingkap ‘tabir
gelap’ isi pemikiran karya Aristoteles tersebut.1

2.) Sekilas tentang filsafat Al-Farabi


Pandangan filsafat al-Farabi dapat disebut sebagai filsafat yang unik dan
cukup mendasar. Mengapa demikian? Karena ia berusaha mengetengahkan hal-hal

FARABI 2
yang sangat fundamental dalam filsafat, seperti berusaha memadukan beberapa aliran
filsafat (al-falsafah al-taufiqiyyah atau wahdat al-falsafah) yang berkembang
sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama
dan filsafat. Karena itu ia dikenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai
kesatuan filsafat dan agama.

Di samping itu, al-Farabi mengaitkan konsep ketuhanan sebagai al-Mawjud


al-Awwal dengan filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme. Maka, dikenallah
konsepnya tentang Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud. Yang pertama adalah
Wujud Tuhan. Sementara yang kedua adalah wujud makhluk-Nya. Adapun mengenai
sifat Tuhan, pandangan al-Farabi tak jauh berbeda dengan aliran Mu‘tazilah: sifat
Tuhan tak berbeda dengan substansi- Nya. Mengenai jiwa, ia juga terpengaruh oleh
filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi,terwujud
setelah adanya badan dan jiwa tidak berpindah-pindah dari satu badan ke badan yang
lain. Sementara di antara pendapatnya yang penting adalah pandangan politiknya dan
konsep kenabiannya (al-nubuwwah).

Dan memang, dalam sejarah, al-Farabi disebut sebagai seorang filosof Muslim
dan pemikir politik Islam pertama yang mengemukakan konsepsi-konsepsi politik
kenegaraan secara jelas dan lengkap pada zamannya. Ia telah meluncurkan karya
monumentalnya, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, yang oleh sebagian pemikir politik
Islam disinyalir bahwa ia berusaha mencerminkan kehidupan politik Islam Madinah
semasa Nabi Muhammad menjadi pemimpin.

Pandangannnya dalam buku tersebut kemudian dikembangkan dalam


bukunya yang lain, al-Siyasah al-Madaniyyah yang menjelaskan peringkat atau
tingkatan manusia dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

a. Filsafat Metafisika
Tidak dapat dipungkiri bahwa semua muslim percaya bahwa semua wujud
yang ada adalah ciptaan Allah Swt, tetapi bila dikejar pada pertanyaan paling
mendasar tentang dari mana dan bagaimana prosesnya Tuhan Yang Maha Tunggal itu
menciptakan jagad raya? menjadi beragam, karena hal ikhwal penciptaan secara detail
tidak pernah dikupas secara elaboratif oleh Alquran maupun hadits, karena kita tahu
bahwa Alquran memuat hal-hal yang bersifat pokok dan global saja. Bagi filosof
memandang proses penciptaan semesta tak cukup puas dengan sekedar kata ‘percaya’
dan akhirnya berfikir mencari rujukan karya-karya filosof Yunani sebagai tangga
bantu dan sarana untuk menjawabnya secara rinci dan logis serta sistematis.

Dunia filsafat menyoal penciptaan dan terdapat dua pendapat tentang


penciptaan, Pandangan para filosof Yunani umumnya menyatakan bahwa, alam
semesta dengan segala pernak-perniknya yang ada ini tidak diciptakan dari bahan
tertentu bentuknya, melainkan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), Tuhan
menyelenggarakan penciptaan (creatio) dengan tidak memakai bahan apapun,
melainkan dari ketiadaan (ex nihilo), dengan hal ini berarti alam semesta adalah suatu
creatio ex nihilo dari pihak Tuhan. Sedangkan pandangan lain menyatakan bahwa
alam ini diciptakan dari materi awal (al-hayūlā) yang bersifat abadi, alam ini tidak
dicipta dari tiada (creatio an ex nihilo) melainkan ada sejak Tuhan ada, mustahil

FARABI 3
Tuhan ada namun tanpa ciptaan, meski secara prioritas waktu berdekatan, namun
Tuhan harus dipandang sebagai pencipta.

Mengawali filsafat emanasi versi al-Farabi, mungkin akan lebih mudah


dimengerti bila dilihat melalui tangga filsafat metafisika neo-platonisme, keduanya
mempunyai kedekatan dalam pola pikirnya. Menurut Plato (w. 347 SM) di balik
wujud alam ini, ada alam ide (‘alam mitsāl) yang kekal dan abadi. Ide-ide abadi
tersebut bersifat non-material bersifat tetap dan tidak berubah-ubah. Dunia ide adalah
dunia kekal dan abadi, sementara yang tampak di dunia ini adalah dunia bayang-
bayang atau copy dari dunia ide yang abadi tersebut.

Dunia ide tetap ada dan kekal meskipun dunia bayangannya musnah, seperti
manusia ini akan musnah tetapi dunia ‘ide’ manusia akan abadi selamanya, dengan
pemikirannya yang selalu berkaitan dengan ide ini, menujukkan bahwa Plato
termasuk aliran filsafat idealisme. Dengan membagi realitas menjadi dua seperti itu,
Plato berusaha mempertemukan antara ‘filsafat ada’ menurut Parmenindes dan
‘filsafat menjadi’ menurut Heraklitos.Lain Plato lain pula Aristoteles (w. 324 SM)
selaku murid Plato, ia mencoba melengkapi gagasan Plato yang masih sederhana,
baginya ide-ide yang dijelaskan plato tidak menghasilkan jawaban apa-apa.
Aristoteles memecah dualisme Plato antara alam idea dan alam materi dengan
mengemukakan bahwa, alam ide dan materi itu menyatu, sejalan dengan filsafat
metafisikanya Aristoteles bahwa setiap benda terdiri dari jiwa (matter) dan bentuk
(form) jiwa adalah substansinya sedangkan melalui bentuk itulah jiwa menampakkan
eksistensi.

Ia telah mengatasi dualisme Plato tentang idea dan wujud, sedangkan


Aristoteles lebih kepada jiwa dan materi menyatu dalam sebuah wujud. Penggeraknya
–menurut Aristoteles─ adalah sesuatu yang tak bergerak yang bersifat abadi dan kekal
atau lebih dikenal dengan penggerak yang tidak bergerak (al-muhārik al-ladzī lam
yatakharrāk) yaitu Tuhan atau dikenal dengan causa prima. Bagi neo-platonis, akal
menjadi adalah wujud yang paling jelas ‘menyerupai’ Tuhan dari segala alam
semesta. Kemudian dari akal tersebut ber-emanasi dan menghasilkan jiwa, jiwa-jiwa
ini mempunyai daya pemahaman dan melahirkan bentuk.

Ada tiga jiwa yang berbeda yaitu jiwa tumbuhan, hewan dan manusia. dari
jiwa melahirkan jasad yang merupakan pelimpahan wujud tingkat ketiga,

Akal Ide
Jiwa Pemahaman
Jasad Bentuk

Pada wujud ketiga ini telah mengalami perubahan yang jauh dari
sempurna.Mengingat jasad lebih jauh posisinya dengan Akal (bc. Tuhan). Namun
demikian, hal itu tidak kemudian mempunyai kemiripan dari segala-galanya. Jika akal
mempunyai ide, jiwa memiliki pemahaman, maka jasad memiliki bentuk. Semoga
gambaran singkat tersebut bisa dijadikan batu loncatan untuk memahami teori
emanasi ala al-Farabi.

Untuk mendapatkan pemahaman mendalam, Al-Farabi setelah membaca karya


metafisika-nya Aristoteles ratusan kali tapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan,

FARABI 4
kemudian memutuskan untuk menjelaskan kembali konsep metafisika penciptaan
alam dari wujud tunggal yang abadi dengan penjelasan yang lebih detail dan
sempurna, menurut al-Farabi, alam tercipta melalui pelimpahan atau emanasi. Proses
emanasi berlangsung dari akal pertama hingga akal ke sepuluh secara serentak dan
bertingkat. Disinilah nampak sekali pengaruh Neoplatonisme terhadap pemikiran
metafisikanya al-Farabi, dan dapat disimpulkan bahwa alam ini berasal dari zat yang
maha tunggal, kekal dan suci melalui pelimpahan (emanasi).

Argumen al-Farabi dalam penciptaan alam ini diawali dengan adanya semua
alam ini berasal dari wujud tunggal yang mesti ada (wajib al-wujūd) yaitu Tuhan,
kemudian melimpah menghasilkan (mumkin al-wujūd) . Argumen lain yang dijadikan
dasar oleh al-Farabi adalah keteraturan alam dan tata letaknya yang sangat teratur
seperti anggota tubuh yang bekerja sesuai fungsinya. Hal ini menunjukkan alam ini
tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dari wujud yang tunggal dan melimpah
sedemimikian rupa. Emanasi semua wujud pada dasarnya berasal dari wujud yang
satu dan menghasilkan wujud lain, terjadi dalam bentuk tunggal dan bertingkat secara
mekanis determinis yang melahirkan alam beraneka ragam. Menurutnya akal murni
berfikir tentang dirinya yang menghasil wujud pertama (al-maujud al-awwal) yaitu
Tuhan sebagai akal yang berdaya fikir tentang diri-Nya.

Dari daya pemikiran Tuhan yang besar dan hebat itu timbul wujud kedua yang
merupakan akal pertama yang juga punya subtansi Wujud kedua atau akal pertama
berfikir tentang dirinya dan menghasilkan wujud berupa langit pertama, akal kedua
berfikir tentang Tuhan melahirkan akal ketiga, akal ketiga berfikir tentang Tuhan
menghasilkan akal ke empat dan seterusnya sampai akal kesepuluh, dari kesepuluh
akal akal tersebut berfikir tentang dirinya menghasilkan wujud materi berupa Lagnit,
Bintang, Saturnus, Yupitaer, Mars, Matahari, Venus, Mercury dan Rembulan.

Pada akal kesepuluh dayanya sudah melemah dan tidak mampu lagi
beremanasi. Begitulah mata rantai emanasi berlangsung. Akal kesepuluh ini mengatur
dunia fana dan ruh ruh manusia serta empat unsur materi pertama dalam bentuk yakni
air, tanah, api, udara. Selanjutnya dari unsur-unsur ini bermunculan materi lain seperti
besi, aluminium, tembaga, perak, emas dan muncul juga tanaman dan hewan,
termasuk manusia yang diaktualkan oleh akal-akal yang berhubungan dengan akal
kesepuluh (‘aql fa’al). Dengan demikian, al-Farabi hendak menjelaskan bahwa
walaupun alam itu berasal dari dzat yang satu yaitu Tuhan, akan tetapi keberadaannya
qadim karena dalam proses emanasi menurutnya tidak berada dalam lingkup ruang
dan waktu seperti waktu di mana kita berada pada saat ini. Mungkin itulah yang
dimaksud dengan waktu transenden.

Menurut Harun Nasution, kalau kaum Mu’tazilah, berusaha memurnikan


tauhid dengan jalan peniadaan sifat-sifat Tuhan, berbeda dengan kaum sufi yang
mensucikan Tuhan dengan cara peniadaan wujud hakikat yang tampak selain wujud
Allah, maka kaum filosof Islam yang dipelopori oleh al-Farabi melalui teori
emanasinya (al-faidh alilāhiy) hendak men-taqdis-kan Tuhan dengan jalan
meniadakan arti banyak dalam diri Tuhan, di sini dapat ditarik benang merahnya,
bahwa, baik pemikiran filsafat, tasawuf dan wahyu sama sama ingin mengokohkan
ke-esa-an Tuhan melalui metode yang berbeda beda. yang membedakan adalah
metode yang ditempuhnya. Rupanya tidak hanya al- Kindi dan al-Farabi, tetapi hal

FARABI 5
yang sama juga dijadikan pedoman oleh Ibn Sina sebagai generasi sekaligus murid al-
Farabi.

b. Hubungan Akal, Wahyu dan Konsep Kenabian


Akal dalam pemikiran filsafat al-Farabi menempati tempat istimewa sebagai
pangkal epistemologinya, termasuk filsafat metafisika yang berhubungan dengan
penciptaan. Konsep akal ini erat kaitannya dengan teori kenabian, di mana akal Nabi
mampu berhubungan dengan akal ke sepuluh untuk mendapatkan gambaran ‘ada’ dari
yang abstrak berupa pengetahuan. Secara garis besarnya akal menurut al-Farabi
dibagi menjadi dua yaitu :
1) akal praktis yang berfungsi menyelesaikan hal hal tekhnis dan
keterampilan,
2) akal teoritis yang membantu jiwa mendapatkan inspirasi atau ilham,

Dari akal teoritis tersebut ia mampu menangkap konsep yang tak bermateri
(akal actual), kemampuan akal aktual ini dalam menangkap obyek-obyek yang
abstrak semata mata hanya dimiliki oleh orang orang tertentu, termasuk di dalamnya
adalah Nabi dan Filosof, atau disebut dengan akal intelektual. Melalui akal
intelektual, manusia bisa mencerap hal-hal abstrak yang sama sekali tidak
berhubungan dengan materi, bagi seorang Nabi dengan akal intelektual akal
mustafadh, seorang Nabi bisa menerima kode atau isyarat wahyu. Sedangkan upaya
filosof untuk berkomunikasi dengan akal fa’al melalui akal intelektual dapat dicapai
melalui jalan kontemplasi dan perenungan atau melalui kegiatan berfikir mendalam
terhadap sesuatu. Akal inilah yang nantinya akan menjadi modal bagi kita untuk
memahami konsep kenabian (nubuwwah) al-Farabi.

Secara bahasa, wahyu berasal dari kata waha, yahyi, wahyan yang berarti
samar atau rahasia adalah pemberitahuan dari Allah secara cepat dan samar disertai
dengan keyakinan yang penuh. Baik dengan perantara maupun tidak, denga suara
maupun langsung dihujamkan ke dalam hati. Wahyu dituangkan oleh Tuhan secara
langsung kepada Nabi pilihannya, bukan berdasarkan keinginannya sendiri. Sehingga
tidak diketahui oleh manusia, wahyu merupakan bisikan Tuhan kepada Nabinya
sebagai pengetahuan yang cepat dan sangat halus yang muncul dengan sendirinya
tanpa harus berijtihad.

Para nabi diberi kemampuan akal mustafadh untuk mencercap isyarat wahyu
dalam bentuk kemampuan akal intelek berkomunikasi dengan aql fa’al sehingga
kebenaran yang dihasilkan wahyu adalah kebenaran yang pasti bukan kebenaran
nisbi. Kemampuan istimewa untuk berkomunikasi dengan aql fa’al ini bersifat given
dari Allah. Menurut Amin Abdullah, pembahasan filsafat kenabian dalam filsafat
Islam merupakan pembahasan yang khas, tidak ditemui di dalam filsafat Yunani
secara detail. Filsafat kenabian ini juga disinyalir sebagai jawaban atas keraguan
filosof sebelumnya yaitu Abu Bakar Muhammad Ar-Razi (w.925 M) yang menolak
adanya kenabian. Menurutnya, para filosof bisa mempunyai kemampuan
berkomunikasi dengan ‘aql fa’al untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki, oleh
karena itu diperlukan kehadiran seorang Nabi untuk menjelaskan kebaikan dan
keburukan. Bahkan menganggap Alquran bukan mu’jizat, melainkan adalah semacam
cerita khayal belaka. Ar-Razi ingin membebaskan pemikirannya meskipun pemikiran

FARABI 6
semacam ini cenderung elitis dan inklusif terbatas hanya para filosof yang
memungkinkan untuk melakukannya.
Al-Farabi hadir dengan knsep kenabian untuk menepis keraguan Ar-Razi dan
pengikutnya. Bagi al-Farabi, Nabi merupakan gelar kehormatan yang disematkan oleh
Allah kepada hamba pilihan-Nya. Kepadanya dituangkan kalam Tuhan berupa wahyu
untuk di sampaikan kepada makhluk di alam ini. Menurut al Farabi, manusia bisa
berhubungan dengan aql fa’al melalui dua cara, yakni: penalaran atau perenungan
pemikiran dan imaginasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya bisa dilakukan oleh
pribadi terpilih yang dapat menembus alam materi untuk mencapai cahaya
keTuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh para Nabi. Dengan
cara kontemplasi dan latihan berfikir seseorang bisa sampai pada derajat akal
kesepuluh, sementara melalui penelitian jiwa, pembelajaran dan latihan, jiwanya akan
sampai pada akal mustafad untuk merespon dan menerima cahaya ilahi sebagai
puncak imajinasi tertinggi (al quwwah al mutakhayyilah).

Orang yang mampu mencapai derajat ini tentu hanya para Nabi, bukan orang
biasa secara umum. Konsep kenabian al-Farabi ada kaitan erat dengan politik pada
waktu itu, di mana ia berpendapat bahwa pemimpin yang ideal adalah para Nabi atau
Filosof, karena ia mempunyai kedekatan dan mampu berhubungan dengan akal fa’al,
yang merupakan sumber kebaikan. Pemimpin ideal seperti yang digagas oleh al-
Farabi memang jauh dari fakta yang terjadi, sehingga sangat sulit untuk
direalisasikan, setidaknya dengan konsep ini memberikan bekal dalam memilih
seorang pemimpin.

Seperti pemikir-pemikir lainnya, al-Farabi tidak menjadi pemikir yang kebal


kritik, pendapatnya tentang imajinasi tertinggi (al-quwwah al-mutakhayyilah) bisa
mendekatkan diri kepada aql fa’al sehingga ─nyaris─ sama antara filosof dengan
Nabi, mendapatkan kritik dari Ibn Taymiyah (w. 728) dengan argumen mukjizat
kauniyah seorang Nabi, seperti terbelahnya lautan oleh tongkat Musa, turunnya
manisan dan burung puyuh (manna wa salwa), memperbanyak makanan dan
minuman dari sela-sela jari, dibakar tidak terpanggang dan lain lain tidak mungkin
bisa dilakukakan semata mata dengan imajinasi. Walaupun bisa saja mukjizat yang
termaktub dalam kitab suci bisa ditakwilkan menjadi makna lain oleh filosof.

c. Konsep Negara Utama (al-Madīnah al-Fadhīlah)


Ada banyak ragam definisi negara, rupanya sesuai dengan latar belakang
tokoh dan keilmuwan yang digelutinya. Robert N Bella, membagi negara menjadi
tiga teori, pertama, Negara Kota yang kemudian dilanjutkan oleh al-Farabi dengan
konsepsi yang dinamai dengan negara utama (al-madinat al-fadhilat), kedua,
Masyarakat Universal yang diawali oleh Romawi dan berkembang terus hingga abad
pertengahan, kemudian dilanjutkan oleh al-Ghazali, ketiga Negara Nasional yang
dimulai dari zaman renaisance pada abad ke-15 sampai berkembangnya prinsip
nasionalis sampai saat ini. Teori ini dalam Islam dipelopori oleh Ibnu Khaldun dengan
teori ashabiyah dan Negara Kemakmurannya.

Dalam konteks filsafat al-Farabi mengenai negara utama (al-madinah al-


fadhilah), ia tuangkan dalam karyanya monumentalnya Ara’ Ahl al-Madinah al-
Fadhilah banyak diilhami dari konsep Yunani, terutama konsep negara ideal Plato.

FARABI 7
Plato membangun idenya tentang negara menurut skema tubuh yang disebutnya
macro anthropos (manusia makro), sebuah gambaran yang mendominasi filsafat
politik sepanjang zaman. Penduduk politik tubuh itu pemerintah adalah kepalanya,
militer adalah dadanya dan anggota tubuh lain adalah elemen negara penting lainnya.
Konsep negara menurut Plato tidak lain adalah negara etik, bahwa peraturan yang
menjadi dasar untuk mengurus kepentingan umum, peraturan tersebut─menurut
Plato─ tidak boleh diputus oleh kemauan atau pendapat seorang atau oleh rakyat
seluruhnya, melainkan ditentukan oleh suatu ajaran yang berdasarkan pengetahuan
dengan budi pekerti. Sehingga mencerminkan pemerintahan dipimpin oleh idea yang
tertinggi, yaitu idea kebaikan atau pengetahuan.

Secara ringkas al-Farabi dalam karyanya al-Madīnah al-Fadhīlah menyatakan


bahwa kecenderungan manusia hidup bersosial dengan orang lain yang kemudian
melalui proses yang panjang terbentuklah sebuah negara. Dari Negara tersebut
mereka hendak mencapai kebahagiaan secara bersama sama, indikasi kebahagiaannya
adalah tercukupinya sandang, pangan, papan dan keamanan kebahagiaan yang dicita-
citakan tersebut bisa dicapai dengan cara membentuk sebuah negara yang disebut
negara utama (al-madinat al-fadhilat). Dalam pandangan al Farabi, negara utama
diserupakan bagaikan badan sehat yang dilengkapi anggota tubuh sempurna, saling
membantu dan bersinergi dengan anggota tubuh lain dalam upaya menyempurnakan
kehidupan, di dalamnya mempunyai satu pemimpin yaitu jantung. Penisbatan jantung
sebagai pemimpin ini dalam hal sebagai penggeraknya, oleh karena itu, semua
anggota masyarakat bisa menjadi pemimpin negara, seseorang yang bisa memimpin
negara adalah orang yang mempunyai kapasitas tertinggi dalam sebuah negara.

Kriteria pemimpin yang ideal adalah, fisik sempurna, cerdas, mempunyai


pemahaman yang baik, pandai memberikan pemahaman kepada orang lain, cinta
terhadap ilmu pengetahuan, tidak rakus terhadap makanan, pandai bersosialisasi
dengan orang lain, mempunyai sifat berjiwa besar, tidak memandang kekayaan dunia
adalah segala-galanya, berlaku adil dan membenci kedhaliman, memiliki keseriusan
yang tinggi terhadap sesuatu yang dianggap penting. Dari sini nampak bahwa al-
Farabi ingin mengkombinasikan konsep negara pemikiran filsafat Yunani dengan
Konsep Negara Islam.

Ali Maksum menuliskan, Menurut pendapat al-Farabi, Nabi Muhammad


adalahseorang pemimpin yang sama persis seperti pemimpin yang dikonsepsikan oleh
Plato, yakni seorang ideal yang telah mampu mengungkapkan kebenaran universal
yang bersifat imajinatif yang bisa dimengerti oleh orang awam. Adapun sebagai mata
rantai kenabian sebagai pemimpin sebuah negara, negara utama haruslah dipimpin
oleh seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas, akal yang jernih dan
mempunyai kemampuan daya pikir yang kuat, pemimpin yang demikian ini tidak lain
adalah seorang filosof.

3.) Pengertian filsafat dan politik menurut Al-Farabi


Al-Farabi mengemukakan pendapatnya dalam filsafat politik, yaitu:
1. Pemerintahan,
2. Pandangan tentang negara,
3. Pembagian masyarakat dan macamnya,

FARABI 8
4. Politik kenegaraan dan macamnya.

Pertama, pemerintahan menurut Al-Farabi dipimpin oleh seorang kepala


negara yang dipilih oleh rakyat, dimana syarat-syarat bagi suatu negara ialah adanya
rakyat, daerah, pemerintah dan pengakuan negara lain. Disamping syarat-syarat
tersebut Al-Farabi menekankan suatu syarat yang dianggap lebih penting yaitu
masyarakat yang teratur dari warga-warga yang mempunyai kesanggupan dan dan
kepandaian yang berbeda-beda serta dapat memenuhi kebutuhan pokok dari hidup
mansia. Dalam Al-qur‟an atau haits memang tidak disebutkan secara explisit apakah
negara itu bebentuk republik atau kerajaan, sistem presidensil, dan pemberhentian
kepala negara. Demikian juga bagaimana mekanisme kekuasaan yang ada, apakah
terdapat keharusan memisahkan (separatioan of power ), pembagian (distribusition of
power) antara kekuasan dan ekskutif, legislatife maupun yudkatif. Yang jelas ketiga
kekuasaan ini terdapat dalam praktek asulullah dan Al-qur‟an , antara lain QS.
An_nisa‟:58-59.

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada


yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Kedua, Pandangan tentang negara utama dam macamnya Menurut Al-Farabi,


Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak sama satu
sama lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah warga yang
martabatnya mendekati martabat kepala, dan masing-masing memiliki bakat dan
keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara
(sebagai sebuah jabatan). Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada
sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah peringkat
tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan
Negara dan begitu seterusnya sampai golongan terendah.2

Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai


kebahagiaan yang nyata, menurut Al-Farabi adalah Negara Utama. Sedangkan warga
negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara. Yang diikuti dengan
segala prinsip-prinsipnya (mahadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, idiologi, dan
konsep dasar. Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang
menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan
kualitas serta jenis negara ditentukan oleh warganya. Mereka juga berhak memilih
seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di
antara mereka.

Didalam karya fenominal Al-Farabi yang berjudul Ara’Ahl al-Madinah al-


Fadilah, pembicaraan mengenai Negara ideal/utama dimulai dengan keterangan asal-

FARABI 9
usul negara bahwa negara muncul karena kumpulan manusia, yang didalamnya
manusia membutuhkan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhannya, dan ini
adalah bibit pertama bagi lahirnya negara. All-Farabi Menyatakan bahwa setiap
individu manusia secara natural saling membutuhkan didalam kelompoknya untuk
memenuhi kebutuhannya yang banyak, maka tidak mungkin dapat mengatasi
semuanya sendirian, tetapi ia membutuhkan untuk mengtasi setiap kebutuhannya.

Kemudian Al-Farabi berbicara mengenai komunitas dari sifat yang


berdasarkan atas pemenuhan yang terdiri dari komunitas sempurna dan komunitas
tidak sempurna.Komunitas sempurna adalah komunitas yang saling memenuhi
kebutuhan dan mempunyai cita-cita bersama. Komunitas tidak sempurna adalah
komunitas yang belum sanggup memenuhi kebutuhannya dan tidak mempunyai cita-
cita bersama.

Ketiga, Pembagian masyarakat dan macam-macamnya.Al-Farabi


mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:

1. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah).

Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di


antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu
mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-
unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya. Selanjutnya, masyarakat
yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat
sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling
membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa- bangsa), kedua
masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang
menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara nasional), ketiga
masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota
(negara kota).

2. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah).

Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang


kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa,
kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat
masih jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.

Keempat, Politik kenegaran dan macamnya. Al-Farabi dalam pemikirannya


menempatkan politik menduduki tempat yang paling penting karena bagian
filsafatnya mempunyai tujuan politik Namun politik bukanlah tujuan dalam dirinya,
tetapi sebagai sarana untuk memperoleh tujuan terakhir bagi manusia yaitu
kebahagiaan dengan memiliki sifat-sifat keutamaan yang dicapai. Mengeai filsafat
politik, A. Mustofa menyebutkan bahwa Al-Farabi berpendapat, ilmu politik adalah
ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak dan akhlak.26
Adpun kebahagiaan manusia dapat diperoleh karena perbuatan atau tindakannya
dan cara hidup yang dijalankan.

FARABI
10
Kebahagiaan hakiki (sebenarnya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang
(didunia ini) melainkan sesudah kehidupan (di akhirat). Namun kebahagiaan nisbi
seperti kehormatn, kesenangan, kekayaan yang tampak dijadikan pedoman hidup.

4.) Karya-karya Al-Farabi


Al-Farabi merupakan filosof Muslim yang banyak meninggalkan karya
penting dalam bidang yang digelutinya. Bahkan, menurut Osman Bakar, karya al-
Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada Abad
Pertengahan, dengan pengecualian khusus pada ilmu kedokteran. Para bibliographer
tradisional menisbahkan pada al-Farabi lebih dari seratus karya – yang panjangnya
bervariasi – yang sebagian besar masih terselamatkan.

Beberapa di antara karya-karya ini hanya terdapat dalam terjemahan bahasa


Ibrani atau Latin. Padahal, al-Farabi menulis seluruh karyanya dalam bahasa Arab,
dan sebagian besar karyanya itu ditulis di Baghdad dan Damaskus. Dari ratusan karya
al-Farabi – jika perhitungan ini benar berarti banyak karyanya yang tak terselamatkan.
Banyak di antara karya-karya ini yang baru belakangan tersedia dalam edisi modern-
nya, sehingga interpretasi atas tulisan al-Farabi terus mengalami revisi.

Sejauh ini, sebagian besar karya al-Farabi dicurahkan pada logika dan filsafat
bahasa. Karena sesungguhnya, kata sejumlah penulis biografi Abad Pertengahan,
ketajaman logika al-Farabi merupakan landasan kemasyhurannya. Filosof dan juga
sejarahwan, Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1406 M), menyatakan bahwa terutama
karena capaian-capaian dalam logikalah sebenarnya al-Farabi digelari “Guru Kedua”
(al-Mu‘allim al-Tsani), jika hanya dibandingkan dengan Aristoteles sendiri.Namun
segera harus dicatat bahwa sebelum al-Farabi belajar ilmu-ilmu logika dan yang
lainnya, sebagai seorang anak Muslim, ia terlebih dahulu belajar al-Qur’an.

Karena tradisi belajar informal sangat berlaku dalam konsep pendidikan Islam
klasik, terutama pada usia kecil al-Farabi, sebagaimana yang disinyalir oleh Ibn
Khaldun dalam al-Muqaddimah. Maka, pengaruh al-Qur’an inilah yang tampak jelas
pada sisi intelektual dan spiritual al-Farabi. Di samping belajar tata-bahasa Arab,
literatur, dan ilmu-ilmu agama (the religious sciences), khususnya: fikih
(jurisprudence), tafsir (exegesis), ilmu hadis (science of the traditions), dan
aritmatika. Di antara karya al-Farabi adalah sebagai berikut:

1. Maqalah fi Aghrad al-Hakim fi Kulli Maqalah min al-Kitab al-Marsum bi


al-Huruf.
2. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat.
3. Syarh Risalah Zainun al-Kabir al-Yunani.
4. Risalah fi Masa’il Mutafarriqah.
5. Al-Ta‘liqat.
6. Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain Aflatun wa Aristu.
7. Risalah fima Yajibu Ma‘rifatuhu Qabla Ta‘allum al-Falsafah.
8. Risalah Tahsil al-Sa‘adah.
9. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah.
10. Kitab al-Siyasat al-Madaniyyah.
11. Kitab al-Musiqa al-Kabir.

FARABI
11
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

FARABI
12
DAFTAR PUSTAKA

Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madīnah al-Fadhīlah, tahqiq Al Biir Nasri Nadir, (Beirut: Daar al-Masriq,
tt.), 21. lihat juga Ali Abdul Wahid Wafi, al-Madīnah al-Fadhīlah …,
Supriyadi, D, Pengantar Filsafat Islam , (Jakarta : Bulan-Bintang, 1999), h. 93

FARABI
13

Anda mungkin juga menyukai