Anda di halaman 1dari 11

“Sumbangsi dalam Falsafah Islam dan Filsafat Ketuhanan Al-Farabi dalam

Peningkatan Kualitas Keimanan Manusia”


Rudi Atmajaya (210401210001)
Dr. H. Achmad Khudori Sholeh M.Ag
Mahasiswa Program Magister Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
210401210001@student.uin-malang.ac.id
khudorisholeh@pps.uin-malang.ac.id

Abstract
Filasafat ketuhanan dan agama adalah sebuah pemikiran yang mempunyai pengaruh
penting bagi paradigma masyarakat sehingga bisa mempengaruhi keimanan dan semangat
beribadah kepada Allah sang pencipta Alam. Banyak gagasan falasafah ketuhanan dan islam
dalam berbagai prespektif ilmuwan dan filosof islam. Salah satunya adalah filosof Al-Farabi
penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, dan kebebasan
berpikir yang lebih tinggi, menyebabkan hasil pemikiran Al-Farabi lebih bisa diterima oleh
para filosof setelahnya. Al-Farabi berperan penting dalam perkembangan filsafat di dunia
Islam, dan menghasilkan pemikiran filsafat Islam. Metode yang digunakan adalah kualitatif
dengan menggunakan pendekaan studi pustaka, baik melalui referensi buku, artikel atau jurnal-
jurnal, dan penggunaan media audio-visual, seperti youtube yang relevan kemudian mengolah
hasil referensi tersebut menjadi bahan penelitian Hasil penelitian adalah falsafah islam dan
Ketuhanan yang di gagas oleh al farabi membantu manusia untuk mempunyai pondasi
keimanan karena Tuhan menurut pendapat Al Farabi adalah, Tuhan adalah wujud yang wajib,
wujud yang wajib itu merupakan sebab yang pertama dari dari segala wujud yang mumkin
(makhluq), oleh karena itu Tuhan adalah substansi yang Azali. Karena Tuhan Maha Sempurna
tidak ada yang lebih sempurna kecuali wujud-Nya, sehingga tidak perlu sekutu bagi-Nya.
Kemudian interpretasi kajian histori terhadap ilmu psikologi yaitu sebagai dasar standart
prilaku benar salah dalam menilai prilaku ataupun tindakan di dasari nilai ketuhanan dan
agama.

Keyword : Filsafat Islam , Ketuhanan , Al-Farabi


Pendahuluan

Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas,
dan kebebasan berpikir yang lebih tinggi, menyebabkan hasil pemikiran Al-Farabi lebih bisa
diterima oleh para filosof setelahnya, Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas
terbesar setelah panutannya Aristoteles. Sebab beliau mempunyai julukan guru kedua yang
Pertama adalah , sangat menonjol dalam Ilmu Logika (manthīq) yang menjadi pondasi semua
cabang ilmu, terutama Ilmu Filsafat dan Logika yang dibangun Aristoteles dijelaskan kembali
dalam karyanya fi al-‘Ibārat, penguasaannya terhadap Ilmu Logika dalam usia yang relatif
sangat muda, bahkan mampu mengungguli gurunya Abu Bisyir Matta bin Yunus yang kala itu
termasuk orang termasyhur bidang logika di Baghdad. Kedua, al- Farabi filosof terbesar setelah
filosof Yunani yang berhasil mengharmoniskan pemikiran-pemikiran Aristoteles dan Neo-
Platonis. Ketiga, kepiawaiannya menyusun rambu-rambu pengetahuan filsafat sehingga mudah
dikaji orang orang sesudahnya, ia tuangkan dalam kitab Ihshā’ul ‘Ulūm.

Beliau mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai. Maka dari makalah ini, penulis
ingin mencoba mengupas lebih dalam pemikiran al-Farabi tentang konsep Tuhan. Yang mana
pemikiran beliau tentang konsep Tuhan disadari atau tidak telah banyak dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran yunani kuno, yang pada akhirnya tulisan-tulisan beliau akan mendapat
kritikan-kritikan dan pertentangan dari semisal Imam al-Ghozali (1058 M/450 H – 1111 M/505
H), dalam bukunya Tahafut al-Falasifah dan Ihya’ ‘ulum al-Din. Untuk itu tulisan ini tujuannya
mengambil pembelajaran tentang filasafat ketuhanan yang di gagas oleh al-farabi guna di
gunakan secara kontekstual dalam penerapan kehidupan agama dan treatmen psikologis yang
mengunakan bangunan dasar spiritual ketuhanan. Adapun tujuannya adalah supaya kita
mendapatkan pemahaman yang integral dan menyeluruh antara hubungan akal-akal dalam
filsafat al-Farabi dengan filsafat kenabian dan filsafat politik tentang tujuan bernegara.

Biografi Al-Farabi

Nama lengkap Al-Farabi mempunyai nama lengkap Abu Nashr Muhammad Ibn
Thorkhan Ibn Al-Uzalagh Al-Farabi, beliau lahir di desa wasij di distrik Farab, sebelah utara
provinsi Transoxiana, Terkestan. Ayahnya bernama Muhammad Ibn Auzalgh, dan ayahnya
adalah seorang jendral Perang pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana
wilayah otonom dalam kekhalifahan Bani Abbasyyah, sedangkan ibunya berasal dari
Turkestan oleh karena itu beliau di katakan berasal keturunan Turkestan.
Al Farabi menempuh pendidikan dasar di Faryab Khurasan dan melanjutkan ke
Bukhara. Ia kemudian pindah ke Baghdad untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Di
kota itulah ia mempelajari filsafat dan menguasai beragam cabang ilmu pengetahuan salah
satunya adalah belajar ilmu logika dan filasafat kepada abu bisyir matta dan juga belajar
kaidah-kaidah bahasa arab kepada Abu Bakar Al Saraj, setelah itu Al-Farabi pindah ke haran
salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk belajar di seorang tokoh filasafat
yunani yaitu Yuhanna Ibn Hailan aliran pemikiran yang mengutamakan pemikiran aristotelia,
beliau tinggal selama 8 tahun di konstatinopel mendalami ilmu filsafat dan beliau mendapat
julukan Al Mu’allim At Tsany setelah Aristotel di karenakan pemahamannya yang sangat
mendalam terhadap pemikiran aristotel. Selain itu Al-Farabi juga menguasai ilmu-ilmu
filasafat yang beraliran neo-platonis, terbukti dengan usaha untuk mengahiri kontradiksi antara
pemikiran plato dengan Aristotoles melalui tulisan di Al- Jami’u baina ra’yay al-Hakimain
Aflatun wa Aristhu’. Oleh karena itu Al-Farabi di pandang sebagai filosof Islam yang mulai
menciptkan Falsafah Taufiqqiyah karena ia di percaya adanya “ Kesatuan Falsafah” ( Wahdatu
al-Falsafah ). Baginya kebenaran itu hanya satu, sedangkan perbedaan pendapat hanyalah pada
lahirnya saja, tidak pada hakikat. Intinya walaupun ada kontradiski antara pemikiran aristotoles
sebenarnya hakikat dari inti pemikiran mereka adalah sama.

Beliau termaksud filosof yang produktif dalam melahirkan berbagai kaya tulis baik
berupa buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Beberapa karya yang
diwariskannya, yakni Kitab al Musiqa al kabir (The Great Book of Music), al Madinah al fadila
(The Virtuous City), Risala fi'l aql (Surat pada Akal), Kitab al Huruf (Kitab Sastra), Kitab Ihsa
'al 'ulum (Kitab Pencacahan Ilmu Pengetahuan). Karya-karya beliau tersebut tersimpan baik
dan dicetak menjadi buku rujukan.

Al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada 970 M. Jasadnya dimakamkan di Bab


as-Saghir, berdekatan dengan makam Mu'awiyah, pendiri dinasti Ummayyah. Tak jelas
penyebab kematiannya. Beberapa menyebut ia meninggal begitu saja. Sebagian sumber lain
menyebut ia meninggal karena dirampok dan dibunuh saat melakukan perjalanan dari
Damaskus ke Ascalon.

Filsafat Metafisika

Ilmu Menurut Al-Farabi di bagi menjadi dua bagian yaitu ilmu umum dan ilmu khusus.
Ilmu khusus berbicara segala sesuatu yang berasal dari ilmu umum. Sedangkan ilmu umum
disbut dengan Ilmu metafisika yang membahas tentang “ada” atau bisa di sebut ontologi, dan
metafisika umum membahas tentang teologi ( ketuhanan ), antropologi ( manusia ) dan
kosmologi ( alam ). Menurut Al-Farabi Metafisika di bagi menjadi tiga bagian utama yaitu
bagian yang berkenaan dengan ekstistensi wujud yaitu ontologi, bagian yang berkenaan dengan
subtansi-subtansi material, sifat dan bilanganya, serta derajat keunggulannya, yang pada
akhirnya memuncak dalam study tentang “ suatu wujud sempurna yang tidak lebih besar
daripada yang dapat di bayangkan”, yang merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu yang
lainnya mengambil sebagai sumber, yaitu teologi, bagian yang bekenaan dengan prinsip-
prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.

Hakekat Tuhan menurut Al-Farabi dalam bukunya Fushus al-hikam ada dua bagian
wujud yaitu wujud mukmin ( wajib al-wujub li ghairihi ). Dan wujud yang nyata dengan
sendirinya ( wajib al-wujub li dzatihi ). Yang di maksud dengan wujud mukmin adalah wujud
yang adanya karena wujud lain, seperti contoh cahaya karena adanya matahari. Dengan
demikian wujud mukmin menjadi saksi adanya wujud yang pertama yang menyembakan ada.
Segala yang mukmin berawal dari sesuatu yang pertama kali dan hal ini disebut kausalitas.
Sedangkan wujud nyata ( wajib-al wujud li dzatihi ) adalah adanya karena diri sendiri tanpa
campur tangan yang lain. wujud ini adalah sebagai dasar dari wujud mukmin dan wujud ini
disebut dengan causa prima atau sebab pertama, sang ada yang pertama dan sebab pertama
menurut Al-Farabi hanyalah satu yaitu Tuhan sang pencipta Alam. Tuhan adalah subtansi yang
tiada mula, azali, sudah ada dengan sendirinya. Subtansi sendiri telah cukup menjadi sebab
Adanya yang kekal. Al-Fabari mendefinisikan Tuhan adalah maha esa yang tunggal
menciptakan segala kesempurnaan yang ada di alam semesta.

Dalam Pemikiran terhadap hakekat Tuhan, Al Farabi membantah anggapan yang


mengatakan tuhan lebih dari satu. Karna definisi tuhan itu adalah Mutlak, Menurutnya jika
Tuhan lebih dari satu, maka tuhan tersebut akan sama-sama sempurna dalam sifat tertentu dan
berbeda dalam sifat lainnya. Dengan demikian berarti pada setiap Tuhan memiliki dua sifat,
yaitu sifat utama yang di miliki oleh seluruh Tuhan, dan sifat khusus yang berbeda dalam setiap
Tuhan jika demikian menurut Al-Farabi berarti antara Tuhan yang satu dengan yang lainnya
akan saling memikirkan dan menjadi sebab terjadi Tuhan-Tuhan baru lagi dan hal itu tentu saja
mustahil.

Memahami Sifat Tuhan Menurut Al-Farabi, menurut beliau sifat Tuhan tidak berbeda
dari zat-Nya. Karena Tuhan adalah dzat yang tunggal yang benar-benar akal (pikiran) murni,
Karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi akal atau pikiran dan berfikir adalah
berada, maka sesuatu itu berada, kalau wujud sesuatu itu tidak membedakan benda, maka
sesuatu itu benar-benar akal (pikiran). Demikianlah keadaan wujud yang pertama (Tuhan). Jadi
dari apa yang telah diterangkan di atas kita mengetahui bahwa Al-Farabi berusaha keras untuk
menunjukkan ke-Esaan Tuhan dan ketunggala-Nya, dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak lain adalah
zat-Nya sendiri. Tuhan tidak memerlukan obyek-obyek lain untuk difikirkan untuk
memunculkan wujud-wujud yang lain, dengan demikian Tuhan menurut Al-Farabi adalah (al-
aql, aqil dan maqul ) Tuhan adalah pikiran, yang berfikir dan yang di fikirkan

Jadi, Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan pada Tuhan: al-'Aql (akal) , sebagai
zat atau hakikat dari akal-akal; al-'Aqil (yang berakal) , sebagai subyek lahirnya akal-akal; al-
Ma'qul (yang menjadi sasaran akal) , sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal.

Al-Farabi memeberikan contoh sifat Tuhan yang Maha Mengetahui (‘alim).


Menurutnya, pengetahuan Tuhan tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk dapat diketahui,
atau dengan kata lain Tuhan tidak memerlukan objek pengetahuan. Tetapi cukup Tuhan yang
mengetahui dengan zat-Nya, dan zat-Nya tersebut pula yang menjadi objek pengetahuannya
serta zat-Nya pula yang menjadi pengetahuan itu. Jadi Tuhan dalam persepsi al-Farabi adalah
Tunggal dalam pengetahuan, mengetahui dan diketahui (‘ilm,’alim, dan ma’lum ).

Teori Emanasi

Di Teori Emanasi Al-Farabi mencoba menjelaskan Emanasi berkaitan dengan bahasan


penciptaan. Bahwa penciptaan alam semesta ini tiada lain merupakan pancaran dari Yang Satu.
Memang, bahasan tentang penciptaan sejak mula memantik banyak pandangan. Keragaman
pandangan tersebut dimulai dari pertanyaan: apakah alam semesta ada karena memang ada
dengan sendirinya, ataukah alam semesta ada karena diadakan. Pertanyaan pun berlanjut pada:
kalaulah alam semesta ada karena diadakan, bagaimana proses penciptaan alam semesta itu
sendiri dan teori emanasi termasuk teori yang muncul oleh pertanyaan menarik tersebut.

Di dalam bahasa Inggris, kata emanasi disebut emanation yang berarti proses
munculnya sesuatu dari pemancaran; bahwa yang dipancarkan substansinya sama dengan yang
memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses terjadinya wujud yang
beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari
wujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala
yang ada, karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.
Argumen al-Farabi dalam penciptaan alam ini diawali dengan adanya semua alam ini
berasal dari wujud tunggal yang mesti ada (wajib al-wujūd) yaitu Tuhan, kemudian melimpah
menghasilkan (mumkin al-wujūd). Argumen lain yang dijadikan dasar oleh al- Farabi adalah
keteraturan alam dan tata letaknya yang sangat teratur seperti anggota tubuh yang bekerja
sesuai fungsinya. Hal ini menunjukkan alam ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dari
wujud yang tunggal dan melimpah sedemimikian rupa. Emanasi semua wujud pada dasarnya
berasal dari wujud yang satu dan menghasilkan wujud lain,36 terjadi dalam bentuk tunggal dan
bertingkat secara mekanis determinis yang melahirkan alam beraneka ragam. Menurutnya akal
murni berfikir tetang dirinya yang menghasil wujud pertama (al-maujud al-awwal) yaitu Tuhan
sebagai akal yang berdaya fikir tentang diri-Nya. Dari daya pemikiran Tuhan yang besar dan
hebat itu timbul wujud kedua yang merupakan akal pertama yang juga punya subtansi Wujud
kedua atau akal pertama berfikir tentang dirinya dan menghasilkan wujud berupa langit
pertama, akal kedua berfikir tentang Tuhan melahirkan akal ketiga, akal ketiga berfikir tentang
Tuhan menghasilkan akal ke empat dan seterusnya sampai akal kesepuluh, dari kesepuluh akal
akal tersebut berfikir tentang dirinya menghasilkan wujud materi berupa langit, Bintang,
Saturnus, Yupitaer, Mars, Matahari, Venus, Mercury dan Rembulan.

Sampai Kesepuluh Proses Emanasi Terhenti, sehingga munculnya benda-benda langit


juga berhenti pada kosmos, yang senantiasa mempunyai tabiat gerak melingkar. Akan tetapi
sebagai gantinya, dari akal kesepuluh muncul jiwa-jiwa bumi dan materi dasar ( al-hayula )
yang di miliki secara bersama oleh seluruh benda-benda bumi. Dari hayula ini yang kemudian
berproses melalui gerakan kosmos, terbentuk unsur-unsur benda seperti air, udara,api dan tanah
yang dari unusr-unusr itu terciptalah benda-benda bumi. Dari akal ke sepuluh teremansi bentuk
( ash-shura), sehingga akal kesepuluh di sebut sebagai pemberi bentuk (wahib ash-shuwar),
atau sebagai akal aktif (al-aql al-fa’al ). Benda-benda yang terbentuk kemudian berproses dan
akhirnya menjadi benda-benda hidup, seperti tumbuhan, hewan, manusia, yang itu terdiri dari
materi ( al-maddah ) dan bentuk ( ash-hurah )

Hubungan Akal, Wahyu dan Konsep Kenabian

Akal dalam pemikiran filsafat Al-Farabi memiliki kedudukan yang sangat istimewa
sebagai bagunan dasar epistemologi, termaksud filsafat metafisikia yang berhubungan dengan
penciptaan alam semesta.pandangan akal secara garis besar Al-Farabi mempunyai dua garis
besar yaitu yang pertama akal bernilai praktis yang berfungsi menyelesaikan hal-hal teknis
ketrampilan. Hal ini di sesuai dengan kemampuaan manusia masing-masing di karenakan
kemampuan manusia berbeda-beda contoh penerapan akal praktis adalah ketika manusia
menyelesaikan pekerjaan kantor butuh kemampuan dan ketrampilan untuk memecahkan
masalah pekerjaanya. Yang kedua adalah akal teoritis yang membantu jiwa manusia
mendapatkan inspirasi atau ilham. Akal teoritis ini juga bisa menemukan makna kehidupan dan
spirit kehidupan manusia. Sebagai contoh ketika manusia mengalami down ketidak
bermaknaan dalam hidup. Dengan mengunakan akal teoritis ini manusia akan menemukan
pengetahuan-pengetahuan baru sehingga bisa meningkatkan keimanan. Dan dari akal teoritis
ini manusia mampu menangkap konsep yang tak bermateri( akal actual ). dari akal aktual ini
dalam mengakap obyek-obyek abstrak semata hanya di miliki oleh orang-orang tertentu seperti
nabi dan filosof atau disebut dengak akal intelektual.

Sedangkan wahyu dalam gagasan Al-Farabi Adalah Kata wahyu (wahy) dipakai dalam
dua pengertian oleh al-Farabi. Pertama, wahyu sebagai ma’rifah yaitu pengetahuan tertinggi
tentang objek-objek inteligensi natural (alma’qulat al-thabi’iyah). Objek ini merupakan objek
berpikir teoretis yang didefinisikan sebagai eksistensi-eksistensi yang tidak dapat diubah dari
satu kondisi ke kondisi lain. Al-Farabi memberi contoh objek matematis yang berupa angka-
angka, di mana kita tidak dapat mengubah bilangan-bilangan ganjil menjadi genap atau
sebaliknya. Kedua, wahyu sebagai hikmah (kebijaksanaan) yang didefinisikan sebagai
“pengetahuan tertinggi tentag eksistensi-eksistensi paling utama, Melalui hikmah ini manusia
mampu mengetahui kebahagiaan yang hakiki. Al-Farabi menyatakan bahwa orang yang
menerima wahyu (nabi) berarti telah menerima ma’rifah dan hikmah. Wahyu dalam pandangan
al-Farabi, adalah sejenis proses pemahaman kosmik. Dia menggambarkannya sebagai
fenomena objektif yang terjadi ketika jiwa sang nabi berada dalam persenyawaan proses
pemahaman dengan akal aktif. Melalui akal aktif yang memahami esensi dari Sebab Pertama
dan sebab-sebab sekunder (prinsip-prinsip benda langit) di samping memkirkan dirinya sendiri
seorang nabi mempunyai visi tentang Tuhan dan seluruh alam ruh.

Namun, karena wahyu bukan hanya pengetahuan bagi si penerima, melainkan pula
harus disampaikan kepada manusia, maka dari titik sang nabi (si penerima), wahyu
mengandung dua dimensi: teoretis dan praktis.Dimensi teoretis wahyu adalah realitas-realitas
spiritual dan intelektual seperti yang dilihat dan dipahami nabi sendiri, sedangkan dimensi
praktisnya adalah undang-undang (syari’ah) atau kebijaksanaan-kebijaksanaan praktis yang
disampaikan nabi kepada manusia demi tercapainya kebahagiaan.Secara lebih ringkas, konsep
dua dimensi wahyu tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Bagan 1 : Dimensi-Dimensi Wahyu

Wahyu
Realitas
Realitas Intelektual
Spiritual

Hikmah Undang-Undang

Dari dimensi ini wahyu di tuangkan Tuhan secara langsung kepada nabi bukan berdasarkan
dengan keinginan sediri namun tergantung konteks masalah yang hendak di pecahkan dalam
permasalahan konteks kenabian. Sehingga tidak di ketahui oleh manusi bahwa wahyu adalah petunjuk
Tuhan kepada nabi sebagai pemecahan masalah konteks masalah yang ada. Dengan berbagai macam
dimensi yang di keluarkan.

Sedangkan hubungan akal dan wahyu adalah wahyu yang di sampaikan oleh nabi bersumber
dari akak aktif yang berasal dari pancaran Tuhan yang di keluarkan sesuai dengan pemecahan masalah
dala konteks tersebut. Sedangkan yang selainnya wahyu juga harus bisa di pahami dengan kognitif
manusia yang tujuannya sesuai dengan konteks permasalahan yang di pecahkan. Dari sini ada hal postif
dari pendekatan Al-Farabi salah satunya adalah dalam mengunakan wahyu harus di dasari oleh akal
aktif sehingga bisa di terapkan pada konteks kekinian manusia hidup di dunia. Karena ada beberapa
wahyu yang bersifat informatif sesuai dengan konteks Mekkah dan Madina, seperti layaknya penerapan
undang-undang atau wahyu tentang turunya hukum dalam konteks meka madina. Dan wahyu juga bisa
di pahami secara general dengan akal seperti mengambil hikmah maupun menghayati realitas spiritual
maupun intelektual.

Hikmah Psikologi dalam Peningkatan Kualitas Keimanan Manusia

Di dalam psikologi manusia , manusia mengalami naik turun frekuensi mental, perasaan dan
pemikiran sehingga mempengaruhi mood, kebermaknaan maupun keimanan yang di miliki manusia.
Ada beberapa pandangan masyarakat tentang hidup bermakna berasal dari bangunan dasar diri manusia
seperti memahami tujuan hidup, menjadikan diri bisa menjadi bermanfaat untuk orang lain,
kebermaknaan bisa di artikan mempunyai hubungan spritual dengan Tuhan, meningkatkan Amal Shaleh
dan ibadah. Menurut ( bastaman 2007 ) makna hidup dapat di temukan dalam setiap keadaan
menyenangkan atau tidak menyenangkan, keadaan bahagia dan menderita. Setiap orang bisa memiliki
kebermaknaan hidup yang berbeda-beda setiap waktu dan setiap jamnya apabila hasrat makna hidup
terpenuhi maka berguna, berharga dan berarti ( Meaningfull )akan di alami jika tidak maka sebaliknya.
Lantas bagaimana jika manusia mengalami titik terendah dan mengalami rasa ketidak
bermaknaan dalam hidup. Dalam pembelajaran tentang konsep teologi yang di paparkan oleh Al-Farabi
ada beberapa hikmah yang bisa di ambil salah satunya adalah manusia bisa membangun kebermaknaan
hidup dengan memahami kekuasaan Allah lewat Penciptaanya dan tujuan manusia itu di ciptakan. Ada
beberapa hal positif jika manusia bisa memahami kekuasaan Allah lewat memahami wujud kekuasaan-
kekuasaan Allah yang telah di paparkan oleh Al-Farabi bahwa Allah adalah Causa Prima yang
mempunyai kuasa tertinggi, dan segala sesuatu yang tercipta di alam semesta ini tercipta melalui
mekanisme alam yang sangat sempurna. Dari pembelajaran ilmu ini manusia bisa mempelajari bahwa
tidak ada yang tidak mungkin ketika manusia berharap kepada Allah, Kun Fayakun bahwa Allah adalah
Kausa Prima yang mengatur semsesta Alam dengan indahnya sesuai dengan sunatullah ketentuaan
pertimbangan yang matang.

Dalam memahami Wahyu Allah manusia bisa memahami kontesktual penerapan yang mudah
di terapkan sesuai konteks masalah yang ada, tidak kolot atau tradisional karna segala sesuatu bagunan
dasarnya adalah akal. Dengan akal manusia bisa menganalis permasalahan dengan mengunakan
metode-metode yang tepat. Ada beberapa fungsi akal yang positif jika manusia mengunakan dengan
baik salah satunya manusia akan menemukan kebenaran-kebenaran sang pencipta lewat analis akal
sehingga menciptakan pemahaman yang luar biasa dan disinilah implikasi positif bisa terjadi yaitu bisa
membentuk keimanan manusia, kembali lagi pada apa motif manusia tersebut dalam mengunakan akal
dan menguhubungkan akal dan wahyu dalam pemecahan masalah.

Jadi dari proses pengambilan hikmah untuk pemecahan masalah hidup manusia dalam
memahami konsep teologi ketuhanan Al-farabi banyak sekali manfaat yang di dapatkan seperti
meningkatkan pengetahuaan rasional sehingga berimpilkasi pada keyakinan agama dan keimanan yang
di miliki sehingga dari sini bisa menerapkan konsep Ilmu, Iman, Amal dalam kehidupan yang bisa di
terapkan untuk menjadi bermanfaat. Dan jika manusia mengalami ketidak bermaknaan konsep al-farabi
inilaih bisa membantu manusia pemulihan mental dengan memahami kekuasaan-kekuasaan Allah
sehingga bisa menjadi Spirit dan bisa mengecash kehidupan agar mempunyai semangat yang membara.

Kesimpulan

Pengertian tentang Tuhan menurut pendapat Al Farabi adalah, Tuhan adalah wujud yang wajib,
wujud yang wajib itu merupakan sebab yang pertama dari dari segala wujud yang mumkin (makhluq),
oleh karena itu Tuhan adalah substansi yang Azali. Karena Tuhan Maha Sempurna tidak ada yang lebih
sempurna kecuali wujud-Nya, sehingga tidak perlu sekutu bagi-Nya. Tuhan Maha Esa, Maha
Sempurna, maka keesaan dan kesempurnaan wujud-Nya tidak mungkin diwujudkan dalam definisi
sebagaimana benda sebab suatu definisi akan menghilangkan ke Esaan dan kesempurnaan wujud
Tuhan, Tuhan tidak lagi substansi yang tidak terbatas karena definisi akan membatasi Tuhan yang
Mutlak.
Sifat Tuhan menurut al-Farabi tidak berbeda dari zat-Nya. Hal itu karena bagi al-Farabi Tuhan
merupakan akal (pikiran) murni, tanpa bentuk dan tidak membutuhkan bentuk atau benda. Jika sesuatu
dalam wujudnya tidak membutuhkan benda dan bentuk, berarti sesuatu itu adalah benar-benar akal
(pikiran). Al-Farabi menyebut wujud Tuhan ini dengan wujud yang pertama. Dan Emanasi adalah teori
tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat
yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud”

Dalam Pembahasan Teori Ketuhanan Al-Farabi ini Penulis juga bisa mengambil hikmah
dengan memahami dan mempelajari teori ini manusia akan mempunyai pemahaman yang postif yaitu
bisa mempotensikan akalnya dengan baik sehingga bisa menemukan ilmu-ilmu baru dan membentuk
keimanan manusia sehingga mempunyai kebermankaan dan tujuan hidup yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Dengan kebermaknaan hidup manusia bisa mengamalkan kebaikan-kebaikan yang di miliki pada
masyarakat yang membutukan ilmu tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, Makalah Diskusi, Yogyakarta, 1992.

Bakar, Osman, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al- Farabi,
Al-Ghazali dan Quthb Al-Din Al-Syirazi, diterjemahkan oleh Purwanto Bandung: Mizan,
1997.

Fuadi, “Peran Akal menurut Pandangan al-Ghazali”, dalam Jurnal Substantia, Vol. 15, No.
1, April 2013

Hawa, Said, Allah Jallā Jalāluhu, diterjemahkan oleh Muhtadi Abdul Mun’im, Allah swt.,
Jakarta: Gema Insani Press, 1998.

Majid, Abdul. “Filsafat Al-Farabi Dalam Praktek Pendidikan Islam”. Jurnal Manarul
Alquran, abcd.unsiq.ac.id

Muhammad, Hasbi, “Pemikiran Emanasi Dalam Filsafat Islam dan Hubungannya dengan
Sains Modern”, Al-Fikr. Volume 14. No. 3, 2010.

Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, Bandung: Mizan,
2000

Nurseha Dzulhadi, Qosim, “Al Farabi Dan Filsafat Kenabian”, Jurnal Kalimah, Maret,
volume. 12,

Sholihin, KH. Muhammad, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, Yogyakarta: Narasi, 2008.
Petrus L.Tjahjayi, Simon, Petualangan Intelektual: konfrontasi dengan para filusuf dari

zaman yunani hingga modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Bastaman, H.D 2007. Logoterapi. “ Psikologi dalam menentukan makna hidup dan meraih
hidup bemakna”. Jakarta :Raja grafindo Persada

https://datarental.blogspot.com/2016/04/akal-dan-wahyu-menurut-al-farabi.html

https://www.kompasiana.com/wahyudikaha/54f933b0a33311b6078b48bc/perihal-teori-
emanasi-alfarabi

https://www.republika.co.id/berita/qb4fxi430/alfarabi-filsuf-muslim-abad-pertengahan-
2#:~:text=Menurut%20Al%2DFarabi%2C%20Tuhan%20mengetahui,yang%20tidak%20mel
alui%20upaya%20mereka.

https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi

https://www.ilmusaudara.com/2016/05/biografi-al-farabi-dan-fisafatnya.html

Anda mungkin juga menyukai