Anda di halaman 1dari 11

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Al-Farabi menduduki posisi yang sangat istimewa di jajaran para filosof muslim.
Terbukti pemikirannya masih mengilhami pemikiran filsafat paripatetik lainnya. Masignon
memuji al-Farabi sebagai pemikir muslim pertama yang setiap kalimatnya bermakna.
Bahkan, Ibn Khulkan memujinya sebagai filosof muslim yang tidak mungkin tertandingi
derajat keilmuannya. Ia telah berhasil merekonstruksi bangunan Ilmu Logika (manthiq)
yang telah diletakkan pertama kali oleh Aristoteles. Bila Aristoteles yang telah berjasa
memperkenalkan Ilmu Logika (manthiq) dan mendapat sebutan ‘guru pertama’, maka al-
Farabi atas jasa besarnya mengkombinasikan filsafat Plato dan Aristoteles ia layak disebut
sebagai guru kedua (al-mu’alim ats-tsāni). Julukan guru kedua yang disematkan kepada al-
Farabi antara lain dengan alasan; Pertama, sangat menonjol dalam Ilmu Logika (manthīq)
yang menjadi pondasi semua cabang ilmu, terutama Ilmu Filsafat dan Logika yang
dibangun Aristoteles dijelaskan kembali dalam karyanya fi al-‘Ibārat, penguasaannya
terhadap Ilmu Logika dalam usia yang relatif sangat muda, bahkan mampu mengungguli
gurunya Abu Bisyir Matta bin Yunus yang kala itu termasuk orang termasyhur bidang
logika di Baghdad. Kedua, al- Farabi filosof terbesar setelah filosof Yunani yang berhasil
mengharmoniskan pemikiran- pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonis. Ketiga,
kepiawaiannya menyusun rambu-rambu pengetahuan filsafat sehingga mudah dikaji orang
orang sesudahnya, ia tuangkan dalam kitab Ihshā’ul ‘Ulūm. Kitab tersebut berisi lima bab
dengan kategori berbeda yaitu ilmu lisan yang membahas lafadz dan pedoman
pengambilan dalil bayaninya, ilmu mantiq atau silogisme, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan
teologi serta ilmu fiqh dan ilmu kalam, Dalam kitab tersebut Sebagaimana Aristoteles
yang membuat rumusan filsafat dan bisa dimengerti dengan sistematis orang orang
setelahnya. Dalam Ihsha’ul Ulum al-Farabi menjelaskan beberapa kategori ilmu dan
urutan mempelajarinya. Definisi filsafat menurut al-Farabi adalah al-‘ilm bi al-maujūdāt
bi māhiya al- maujudāt. Ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada,
termasuk menyingkap tabir metafisika penciptaan. 5Al-Farabi menuangkan pemikiran
filsafat penciptaannya dalam karyanya Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fadhīlah yang dimulai
pembahasan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, menunjukkan keseriusannya
menyingkap tabir gelap pemikiran filsafat metafisika. Tuhan menurutnya sebab pertama

1
2

dari semua wujud yang ada di jagat raya ini, sama dengan konsep Tuhan menurut
madzhab Aristoteles bahwa, Tuhan maha hidup, azali dan abadi, tiada yang paling awal
darinya dan tiada yang paling akhir selainnya, tidak memerlukan iradah yang muaranya
adalah sebuah pilihan, karena Tuhan telah sempurna. Dia tidak percaya bahwa Tuhan
tibatiba saja memutuskan untuk menciptakan alam, karena hal itu akan menimbulkan
pemahaman Tuhan yang abadi dan statis tiba-tiba mengalami perubahan. Al-Farabi
sependapat bahwa alam ini ‘baru’ yang terjadi dari tidak ada --sama dengan pendapat al
Kindi--, Berbeda dengan konsep filsafat metafisikanya Plato yang dikonsepsikan dengan
alam idea, Plato hendak mengingkari sifat wujud Tuhan dalam mensucikan Tuhan, karena
apabila mempunyai sifat maka Tuhan tidak berbeda dengan wujud yang lain. Al-Farabi
mengartikan alam idea dari segi kekekalannya --mirip dengan alam akhirat. Dalam
perjalanan sejarahnya ‘alam idea’ Plato ini dihidupkan kembali oleh Plotinus, yang
kemudian lebih masyhur dikenal dengan nama neoplatonis.

Al-Farabi memandang wujud yang ada merupakan mata rantai wujud abadi yang
memancar dari wujud tunggal, kekal dan abadi. Penciptaan jagad raya ini terjadi dalam
sepuluh emanasi secara bertingkat, masing masing membentuk bidang wujud tersendiri,
langit, bintang dan seterusnya, pada tingkat kesepuluh emanasi terhenti karena daya akal
sudah melemah. Bila ditelisik hingga relung-relung pemikiran al-Farabi akan kita dapati
samudera keilmuannya yang sangat luas bagai lautan yang tak bertepi. Untuk itu, tulisan
ini hanya akan mengulas secara kritis, tentang filsafat metafisika penciptaan alam, konsep
akal dan wahyu yang berhubungan dengan kenabian serta ditambahkan dengan konsep
negara utama, kesemuanya mempunyai kaitan yang sangat erat satu dengan lainnya.
Adapun tujuannya adalah supaya kita mendapatkan pemahaman yang integral dan
menyeluruh antara hubungan akal-akal dalam filsafat al-Farabi dengan filsafat kenabian
dan filsafat politik tentang tujuan bernegara.

B.Rumusan Masalah

1.Tuliskan secara singkat biografi Al-farabi

2. Apa pemikiran pemikiran Al-farabi dalam bidang filsafat

C.Tujuan

1. Untuk mengetahui biografi Al-farabi

2. Untuk mengetahui pemikiran pemikiran Al-Farabi

2
3

BAB II

PEMBAHASAN

A.Biografi Al-Farabi

Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn Uzalagh al
Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259H/872, selisih satu tahun setelah wafatnya filosof
muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran menikah dengan wanita Turki
kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai
orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani pemikiran Yunani dan
Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) dan filsafat sangat gemilang, sehingga gelar
sebagai guru kedua (al-mu’allim tsāni), layak disematkan. Diriwayatkan telah belajar
logika di Baghdad dari para sarjana Kristen Yuhanna ibn Hailan (w. 910 M) dan Abu
Bisyr Matta (w.940 M), perlu segera dicatat bahwa, Baghdad saat itu termasuk pewaris
utama tradisi filsafat dan kedokteran di Alexandria. Pertemuan dan pergumulan pemikiran
di Baghdad nantinya menjadi konektor pemikiran al-Farabi yang meramu filsafat Islam
dengan filsafat Yunani Neo-Platonis, Al-Farabi dalam perkembangannya juga tercatat
sebagai guru Yahya ibn Adi (w. 974 M), seorang penerjemah Kristen Nestorian sebagai
tokoh logika Ibn al-Sarraj. Karir pendidikannya cukup panjang hingga pada tahun 330/941
M. Al- Farabi meninggalkan Baghdad menuju Aleppo kemudian ke Kairo dan
menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus, tepatnya pada bulan Rajab pada tahun
339 H atau Desember 950 M.

Beliau termasuk filosof yang produktif dalam melahirkan berbagai karya tulis, baik
berupa buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Di antara karyanya adalah;
Aghrādh mā Ba’da al-Thābi’ah, Al-Jam’u Baina Ra’yai al-Hākimain, karya ini menurut
beberapa sumber berisi tentang kemampuan al-Farabi mengulas dan mempertemukan
pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles.Karya penting lainnya adalah Risālah al-Itsbāt al-
Mufāraqāt, At-Ta’līqāt, al- Jam’u Baina Ra’yu al-Hākimain, kitab al-Siyāsāt al-Madīnah
al-Fadhīlah, al-Mūsiqā al- Kabīr, Risālah Tahsīl al-Sā’adah,‘Uyūn al-Masāil, al-Madīnah
al-Fadhīlah, Ārā’ Ahl al- Madīnah al-Fadhīlah, adapun al-Ihshā al-Ulūm konon
merupakan karya terakhir sebelum ia wafat. Bukti bahwa al-Farabi sebagai filosof yang
mendalami filsafat Aristoteles adalah konon pada saat Ibn Sina tidak memahami isi
Maqālah fī Aghrād al-Hakīm fī Kulli Maqālah al-Marsūm bi al-Hurūf karya Aristoteles
dan ia membacanya berulangkali hingga 40 kali, akhirnya berlabuh pada karya al-Farabi

3
4

yang berjudul Tahqīq Gharad Aristātālīs fī Kitāb mā Ba’da al-Thabī’ah kemudian


tersingkap ‘tabir gelap’ isi pemikiran karya Aristoteles tersebut.

B.Pemikiran pemikiran Al-farabi

1.Filsafat Metafsika dan Teori Emanasi

Secara bahasa Metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika (sesudah
fisika). Istilah ini merupakan judul yang diberikan Andronikos terhadap empat belas buku
karya Aristoteles yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku.
Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah metafisika, melainkan filsafat pertama
(Proote Philosophy). Dalam bahasa Arab, istilah metafisika dikenal dengan ungkapan ma
ba’d al-thabi’ah atau segala sesuatu dibalik realitas yang tampak.

Dalam kajian-kajian kuno, filsafat metafisika lebih banyak bertumpu pada soal
eksistensi (wujud) tuhan dan kuasa-Nya serta soal penciptaan alam. Dalam konteks inilah
pembicaraan tentang teori emanasi menjadi populer. Emanasi ialah teori tentang keluarnya
sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti
adanya: Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”.
Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda

Konsep ini erat kaitannya dengan teori wujud (eksistensi) yang oleh alFarabi dibagi
menjadi dua bagian, yaitu :

a) Wujud yang mungkin ada karena lainnya (mumkin al-Wujub). Seperti wujud cahaya
yang tidak akan ada kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurt
tabi’atnya bisa wujud dan bisa pula tidak. Karena matahari telah wujud, maka cahaya
itu menjadi wujud disebabkan wujudnya matahari. Wujud yang mungkin ini menjuadi
bukti adanya sebab yang pertama, karena segala yang mungkin harus berakhir pada
suatu wujud yang nyata dan pertama kali ada.

b) Wujud yang ada dengan sendirinya ( wajib al-wujud). Wujud ini adalah wujud yang
tabi’atnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Kalau ia tidak ada, maka yang lainpun
tidak akan ada sama sekali, ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan
wujud yang wajib ada inilah Tuhan.

Berdasarkan konsep ini, al-Farabi berpendirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak
terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir

4
5

karena ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia
memiliki zat yang agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta dalam
keseluruhan sejak azali.

Sesuai dengan firman Allah dalam Surat Yasin ayat 82.

”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata


kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).

Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari
pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul
awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga
mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi.
Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul
wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).

2.Filsafat kenabian

Filsafat kenabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya dengan agama. Agama
yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi adalah manusia
seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan
berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam,
seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan
Allah yang diberikan Al Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa
yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang
tidak keluar dari nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5

”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.”

Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa
besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk
berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat keNabian ini disebabkan adanya
pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-
Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya tentang keingkaran

5
6

kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW. Di antara kritikan yang di
gambarkan olehnya adalah:

pertama, Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan
manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala
nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan
larangan-Nya.

Kedua, ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya Thawaf di
Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan tempattempat lainnya.

Ketiga, mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau
sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang
Uhud tidak.

Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa. Orang
yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan
mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah Khalifah yang paling fasahah dikalangan
orang Arab.

Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci,
lebih berguna membaca buku ilsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi,
logika dan obat-obatan menurutnya.

Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat bertentangan dengan
al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam ajaran Islam, al-Qur’an adalah Wahyu
Ilahi yang merupakan sumber inspirasi yang benar, dapat diterima akal, dipercaya melalui
keyakinan, dan sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu berarti
ia telah menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan ini dipandang sebuah
pelanggaran dalam kehidupan. Dalam al-Qur’an ada dijelaskan:

”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (Q.S. al-Baqarah:
2-3)

6
7

Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu
ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan
ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran
dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al
(akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat
berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya
tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal
kesepuluh. Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada
kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan
filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu (al-
Qur’an) ia akan tersesat, karena antara keduanya samasama mendapatkan dari sumber
yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti
ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam
karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad. Kalau
dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi untuk berhubungan
dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan terjaga maupun tertidur. Mukjizat itu
tetap diterimanya karena pada hakikatnya Wahyu bukanlah sebuah argumen dari Nabi
ataupun karangan sebuah cerita dan kebohongan yang di buat oleh Nabi. Wahyu berisikan
firman-firman Allah, datangnya langsung dari Allah, melalui perantara Jibril, dan melalui
tabir mimpi. Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya.
Ada sebagian manusia yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka
mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang mereka mengalaminya
ketika tidur, mereka ini di sebut para Auliya. Ada lagi lebih ke bawah yakni, manusia yang
awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali sehingga tidak bisa berhubungan dengan
Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun terbangun.

Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai
dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan. Menurutnya,
Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan
masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al
yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan Negeri.
Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih hubungan dengan Akal
Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.

3.Filsafat politik

7
8

Dalam konteks ini filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada pemikiran Plato, Aristotoles
dan Ibnu Abi Rabi’, bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai
kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu
memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain.
Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan
memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga
sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti. 3Pendapatnya ini
menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat. Al-Farabi
mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:

1.Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah).

Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara


unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai
kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu
lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya. Selanjutnya, masyarakat yang sempurna,
diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat sempurna besar (gabungan
banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta bekerjasama,
biasa disebut perserikatan bangsabangsa), kedua masyarakat sempurna sedang
(masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi
biasa disebut negara nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang
terdiri atas para penghuni satu kota (negara kota).

2. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah).

Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil


seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun,
dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak
sempurnaan adalah keluarga.

Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala
Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala
negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani, kuat, cerdas,
pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad yang dapat berkomunikasi
dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai Wahyu.

8
9

Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan kemampuan


yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah
warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan masing-masing memiliki bakat
dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara
(sebagai sebuah jabatan). Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada
sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah peringkat tersebut,
ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan
begitu seterusnya sampai golongan terendah.

Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam satu
pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat khayalan
semata. Perlu dipahami bahwa seorang filosof belum akan merasa puas dalam
membicarakan sesuatu sebelum sampai pada hakikatnya, yakni dasar segala dasar. Maka
sama halnya dengan filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar berfilsafat atau
teori untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar

manusia hidup dalam satu pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga
akhirat. Atas dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama filsafat
pemerintahan al-Farabi adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.

4.Filsafat pendidikan

Al-farabi dalam sebuah risalahnya menyebutkan bahwa yang pertama dilakukan dalam
pendidikan dan pengajaran adalah dimulai dengan memperbaiki akhlak. Hal ini
dikarenakan orang yang tidak memiliki kepribadian yang baik tidak mungkin belajar ilmu
baik. Alasan yang dikemukan al-Farabi ini berdasarkan pendapat filsuf Plato “
Sesungguhnya orang yang tidak bersih dan suci tidak dekat dengan orang yang bersih dan
suci “. Menurut al-Farabi, memperbaiki akhlak tidak cukup hanya dengan menggunakan
perkataan. Akan tetapi hal yang lebih penting adalah dengan contoh dan perbuatan para
pendidik (pendekatan akhlak praktis), barulah kemudian guru dapat memperbaiki akhlak
dan wawasan peserta didiknya.

9
10

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Pertalian pemikiran al-Farabi sangat erat dengan filsafat Yunani, Oleh karena itu untuk
memahami pokok pikiran al-Farabi mutlak dibutuhkan menyelami pemikiran filsafat
Yunani. Al-Farabi adalah sosok filosof muslim yang pengetahuannya mapan, di samping
ilmuwan juga ‘alim yan ghidup dalam kesederhanaan. Dalam filsafat metafisika, al-Farabi
berpendapat bahwa penciptaan alam ini terjadi secara emanasi atau pancaran Tuhan (al
faidh al ilahiy) melalui daya akal yang tunggal dan esa, kekal, abadi yang disebut akal
murni, kemudian menjadi alam raya yang beraneka ragam, proses emanasi berhenti pada
akal ke sepuluh yang dinamai akal fa’al, pada akal ke sepuluh ini tidak lagi ber-emanasi
karena daya kekuatan akalnya melemah. Dari akal kesepuluh ini melahirkan materi,
seperti air, api, udara, tanah kemudian diikuti berbagai unsur lainnya. Pada konsep
emanasi ini, nampak sekali pengaruh filsafat metafisikanya neo-platonisme. Bagi al-
Farabi, baik Nabi, Filosof dan Raja adalah satu kesatuan makna, namun berbeda
pendekatannya. Nabi adalah orang suci yang terpilih untuk menerima titah kebenaran
berupa wahyu, sedangkan filosof melalui logika berpikirnya dapat mencapai sebuah
kebenaran yang hakiki, sedangka raja atau pemimpin adalah orang yang berkemampuan
dan kecerdasan tinggi serta kepribadian yang luhur untuk mempropagandakan kebaikan
kepada rakyatnya. Dari kepribadian luhur itulah negara digerakkan, anggota tubuh sebagai
menterinya, sinergisasi fungsinya akan menciptakan kebahagiaan sebagai salah satu tujuan

B.Saran

Kami menyadari bahwa makalah kami masih sangat jauh dari kesempurnaan dan

memiliki banyak kesalahan.Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran mengenai

subtansi subtansi dari makalah kami.

10
11

DAFTAR PUSTAKA

Atjeh, Abu Bakar, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: CV. Ramadhani, 1970

Bakar Osman, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-

Farabi, Al-Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi, (Bandung : Penerbit Mizan 1998)

Daudi Ahmad, Kuyliah Filsafat Islam, (jakarta : Bulan-Bintang, 1986)

Esha, Muhammad In’am, Menuju Pemikiran Filsafat, (Malang : UIN MalikyPress,

2010)

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991)

Kanisius 1996, Pengantar Filsafat (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2000)

Mustofa, HA, Filsafat Islam (Bandung : Pustaka Setia, tt)

Sebuah Pengantar oleh Prof. H.Mukhtar Yahya dalam Hanafi, Ahmad, Pengantar

Filsafat islam (Jakarta : Bulan-Bintang, 1991)

11

Anda mungkin juga menyukai