Anda di halaman 1dari 87

MAKALAH

PEMIKIRAN AL- RAZI DAN AL-FARABI

Oleh:
Dedy Ibmar
NIM: 1113033100005

MADRASAH ALIYAH HIDAYATUL MUBTADIEN


YAYASAN HIDAYATUL MUBTADIEN
TAHUN PELAJARAN 2023
Abstrak

Dalam literatur falsafah Islam, metafisika sering disebut dengan bermacam-


macam ungkapan, seperti Ma’ba’d al-Thabi’ah (sesuatu yang berada setelah
alam), al-falsafah al-Ula (filsafat pertama), al-Illahiyat (ketuhanan) atau bahkan
al-Hikmah (kebijaksanaan). Istilah-istilah ini merupakan suatu upaya
penyepadanan yang di lakukan para failasuf muslim dengan model pengistilahan
metafisika Yunani.
Oleh al-Razi dan al-Farabi ilmu ini kemudian diadopsi dan diintegralkan
dengan corak keislaman sehingga menjadi keilmuan khas yang disebut Metafisika
Islam. Metafisika al-Razi dikenal dengan sebutan teori lima kekal dan al-Farabi
dikenal dengan sebutan emanasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan
kedua teori tersebut melalui prosedur pemahaman gramatikal dan intertekstual
sekaligus pemahaman konteks dan latar belakang keduanya.
Hasilnya, al-Razi dan al-Fārābī satu pendapat dalam medekskripsikan
metafisika. Menurut keduanya, metafisika merupakan ilmu yang mempelajari
entitas-entitas sebelum adanya alam semesta. Mereka juga bersepakat bahwa
selain wujud Tuhan, yang oleh keduanya disebut maha segalanya, terdapat entitas
lain yang pula bersifat kekal. Al-Razi menyebutnya lima entitas kekal, sementara
al-Fārābī menyebutnya wujud-wujud inkoporeal.
Keduanya sama-sama terpengaruh metafisika Yunani kuno, terutama Neo-
Platonis. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemikiran al-Razi cenderung lebih
dekat dengan emanasi primer plotinus. Dengan kata lain, al-Fārābī telah
melakukan modifikasi emanasi, terutama penjabarannya mengenai akal I hingga
akal aktif dan benda-benda langit, yang sangat jauh dibanding yang dilakukan
oleh al-Razi.

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

“All the sciences, indeed, are more necessary than this, but none is better”, 1

kata Aristoteles ketika menggambarkan metafisika yang ia sebut dengan istilah

First Philosophy. Metafisika merupakan ilmu yang mempelajari entitas-entitas

diluar/melampaui fisik seperti Tuhan, Jiwa, Wujud, Ruang dan Waktu. metafisika

memiliki kaitan langsung dengan beberapa tema seperti ontologi, teologi dan

kosmologi.

Dalam literatur falsafah Islam, metafisika sering disebut dengan bermacam-

macam ungkapan, seperti ma‟ba‟d al-thabi‟ah (sesuatu yang berada setelah alam),

al-falsafah al ula (filsafat pertama), illahiyat (teologi, ketuhanan) atau bahkan

hikmah (kebijaksanaan). Failasuf pertama yang memiliki andil besar, terutama

dalam menghidupkan rumusan falsafah dan memperkenalkan ilmu metafisika

ialah Abu Yusuf Ya‘qub ibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imran al-Ash‘ats ibn Qais al-

Kindī (801-873 M2).

Al-Kindī melahirkan teori metafisika yang termaktub dalam karyanya al-

Falsafah al-Ula. Dalam buku tersebut, al-Kindī menyebut Tuhan dengan istilah

al-Wahid al-Haqq.3 Menurutnya, Tuhan merupakan satu-satunya entitas yang

1
Aristoteles, ta Meta ta Physica, terj. W. D. Ross (Oxford: The Clarendon Press, 1924),
Book 1, CH 2.
2
Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj., R.Cecep L.Y. dan Dedi S.R. (Jakarta:
Serambi, 2006), h.463
3
Istilah al-Wahid al-Haqq oleh Alfred L. Ivry diterjemahkan dengan kata ―The
True One‖. Lih. Al-Kindī, fi al-Falsafah al-Ula, terj., Alfred L. Ivry, (New York: State
University New York Press, 1974), h.14.

1
2

bersifat kekal. Dengan kata lain, entitas selainnya merupakan entitas baharu yang

diciptakan dari ketiadaan.

Hal-hal baharu tersebut bukan hanya merujuk pada fisik alam semata,

termasuk di dalamnya juga mengenai ruang, gerak dan waktu. Menurutnya, ketiga

hal ini memiliki permulaan dan tentu saja akan berakhir. Oleh peneliti-peneliti

kontemporer, pola metafisika al-Kindī ini disebut dengan istilah creatio ex nihilo,4

suatu proses penciptaan dari tiada menjadi ada yang seringkali disebut paling

berkesesuaian dengan doktrin agama, khususnnya Islam.

Menariknya, tak semua muslim bersepakat dengan sistem metafisis al-Kindī

tersebut. Bahkan terdapat banyak filososf yang menolak paham tersebut dan

mencoba memberi suatu alternatif pemahaman, sebagaimana disebutkan dalam

buku ―Waktu dan Ruang‖ karya Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin al-Hasan al-

Marzuuqy al-Ashfahaany5 (cetakan Hyderabad 1332) jilid I halaman 143-152:

“Kalangan yang mengira bahwa yang kekal itu lebih dari satu, terbagi

menjadi empat golongan. Pertama, golongan yang berpandangan bahwa yang

kekal itu ada dua; Subjek dan Substansi. Maksud dari substansi adalah materi.

Kedua, golongan yang mendaulat kekekalan pada tiga hal; Subjek. Substansi

(Materi) dan Kekosongan. Ketiga, golongan yang menjadikannya empat: Subjek,

Substansi, Kekosongan, dan Durasi. Keempat, golongan yang tokohnya adalah

4
Tony Abboud, Al-Kindī: The Father of Arab, (Rosen Pub Group, 2006), h.50.
5
Wafat tahun 421 H, lihat Mu‟jam al-Udabaa karya Yaquut jilid 2 halaman 103, dan
Bagiyyatul Wi‟aah karya as-Suyuuthy halaman 159 dalam ―Rasail Falsafiyah‖
3

Muhammad bin Zakariya al-Mutathobbib, dia menambahkan Jiwa yang Berakal

sehingga jumlahnya menjadi lima dalam omong kosongnya tersebut”.6

Abu Bakr Muhammad ibn Zakariyya al-Rāzī atau al-Rāzī dari Reyy

(Rhazez, 865-925 M7),8 satu diantara yang paling vokal menolak Creatio ex

Nihilo dan menyuarakan teori lima kekal (al-Qudamail al-Khamsah9) sebagai

alternatif metafisikanya. Al-Rāzī mengenal metafisika al-Kindī itu melalui

seorang yang dikenal sebagai pengikut al-Kindī yang terpercaya. Murid itu

bernama Ahmad Ibn al-Thayyib al-Sarakhsi 10. Dari daftar judul buku-buku al-

Rāzī, penulis bahkan menemukan bahwa ia pernah menulis buku yang

dikhususkan menentang al-Sarakhsi.11

Dalam skema lima kekal, pada awalnya kelima wujud ini ada secara

berdampingan (co-exist). Tuhan dan Jiwa berada diluar ruang dan waktu,

6
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, (Beirut: Mansyur al-Dar al-Afaq al-Jadidah, 1982), h.
196.
7
Dari beberapa data yang tersedia, ada banyak pendapat yang berbeda-beda tentang
tahun kelahiran dan kematian al-Rāzī. Tien Rohmatien menyebutkan mulai dari 863-925 M.
(Harun Nasution 1999), 865-922/923 M. (Montgomery Watt, 1987; M.M Sharif, 1995), hingga
yang terkuat menurutnya yaitu 865-925 (Rasail Falsafiyat al-Rāzī. Disamping pandangan tokoh
yang disebut Tien Rohmatien, ada tokoh lain lagi yang memiliki pandangan tahun yang
berbeda, yaitu Mehdi Mohaghegh yang menyebut 932 M. sebagai tahun kematian al-Rāzī. Lih.
Tien Rohmatien, al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, (Jakarta: Hipius, 2013), h.21-22. Lihat juga.
Mehdi Mohaghegh, Notes on the ―Spiritual Physics‖ of al-Rāzī, dalam Jurnal Studia Islamica
No. 26 (1967), h. 6.
8
Pada tahun 1930-an, Paul Kraus mengumpulkan bagian-bagian dari karya orisinil al-
Rāzī. Upaya ini menghasilkan antologi yang luar biasa, yang disertai dengan sebuah analisis
mengenai implikasi dari bagian-bagian tersebut. Meskipun telah berlalu lebih dari setengah
abad, semenjak Kraus mempublikasikan karya al-Rāzī, hasil kerja Kraus hingga saat ini
berhasil menjadi landasan bagi setiap kajian tentang al-Rāzī. Lih. Sarah Stroumsa, Para
Pemikir Bebas Islam, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogjakarta: Lkis, 2006), h.132
9
Tien Rohmatien menerjemahkannya dengan sebutan ―Doktrin Lima Kekal‖ sementara
Harun Nasution menyebutnya dengan istilah ―Prinsip Lima Kekal‖, lih. Tien Rohmatien,
al- Rāzī Sang Penolak Nabi?, h.50. Bandingkan dengan, Harun Nasuotion, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam, h. 22.
10
Lihat F. Rosenthal, ―al-Sarakhsi; Articel al-Sarakhsi‖, The enciklopedia of Islam (2),
Vol. IX, h. 35. Dalam sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, h.243
11
Sayangnya buku tersebut telah lenyap bersamaan dengan karya-karya al-Rāzī lainnya.
4

sedangkan materi diperluas dalam ruang dan waktu. Namun bukan sepanjang

ruang dan waktu sehingga menyisakan ruang bagi kekosongan. Materi pertama ini

belum berada dalam gerak sampai jiwa membaurkan diri dengannya.

Tuhan sebagai akal murni memancarkan akalnya (al-Faidh) kepada jiwa

yang memiliki hasrat untuk berbaur dengan materi. Karna itu, sebagai hasil dari

pancaran akal dari tuhan dan berbaurnya jiwa dengan materi terjadilah tatanan

gerak alam. Bagi al-Rāzī teori al-Huduts (kebaharuan/creatio ex nihilo) tidak

dapat dipertahankan, dibanding teori lima kekal yang interaksinya, telah

membentuk alam semseta.12

Karna keberaniannya, oleh lawan-lawan debatnya di masa itu, semisal Abu

Hatim al-Rāzī, al-Rāzī, al-Rāzī dituduh sebagai penganut pagan, mulhid, hingga

ateis. Dan bukan hanya lawan debatnya, beberapa penelliti kontemporer bahkan

juga melihat al-Rāzī dengan nada yang serupa, sehingga al-Rāzī dinilai

―menolak kenabian‖13 hingga dituduh telah keluar dari ajara Islam.14

Pada masa yang kuarng lebih bersamaan, di belahan dunia Islam yang lain,

hidup seorang failasuf yang juga menolak paham creatio ex nihilo, dengan

emanasi (al-Faidh) sebagai alternatifnya. Ia bernama Abu Nashr Muhammad ibn

Tarkhan ibn Auzalagh, yang populer dengan nama al-Fārābī (Farabhius, 870-950

M).
12
Sayyed Hossen Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, buku
pertama (Banudng: Mizan, 2003), h.252.
13
Beberapa tokoh yang menyebut al-Rāzī menolak kenabian ialah Harun Nasuiton dan
Sayyed Hossein Nasr, lih. Harun Nasuotion, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), h. 22. Lih. Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(New York, Toronto dan London: New American Library, 1970), h. 269.
14
Abdurrahman Badawi, Sejarah Ateis Islam, terj., Khoiron Nahdiyyin, (Yogjakarta:
Lkis, 2003), h. 245.
5

Tuhan dalam skema emanasi al-Fārābī, dicirikan sebagai intelek yang

aktivitas utamanya adalah ―merenungkan dirinya sendiri‖. Sebagai hasil

dari perenungan itu, terjadilah pelimpahan (al-Faidh) berupa intelek kedua dari

Tuhan. Intelek kedua itu, seperti Tuhan, dicirikan oleh aktivitas kontemplasi diri

dan selain itu juga memikirkan wujud Tuhan. Berdasarkan perenungan atas

Tuhan, memunculkan intelek ketiga, sedangkan berdarsar perenungan atas dirinya

sendiri terpancarlah langit (al-Falaq) yang berkesesuaian dengan dirinya yaitu

langit pertama. Pancaran sedemikian berlangsung terus-menerus hingga jumlah

intelek menjadi epuluh selain Tuhan.15

Menurut al-Fārābī, keseluruhan dari pancaran-pancaran ini, terdiri dari

maujud-maujud kamil (incporeal intity) yang semakin jauh pancarannya, semakin

menurunkan kesempurnaannya. Oleh al-Fārābī disusun menjadi; Tuhan, Langit-

langit, Intelek Aktif, Jiwa, Bentuk dan Materi. Kesemua itu menurutnya bersifat

kekal, dalam artian telah ada bersama dengan adanya Tuhan (co-eksis).

Skema emanasi ini, tentu saja berlawanan dengan creatio ex nihilo al-Kindī,

karna itu beberapa abad setelahnya, al-Ghazali sebagai penganut paham creatio ex

nihilo selanjutnya melabeli failasuf dengan paham ini sebagai kafir. Meskipun

demikian, emanasi yang diperkenalkan al-Fārābī ini cukup memberi sumbangan

penting, terutama dalam menggusur creatio ex nihilo al-Kindī. Sejak abad IX

hingga dewasa kini, emanasi amat mendominasi bangunan metafisika dalam

tradisi falsafah Islam, yang tentu saja telah mengalami pembaharuan seiring

dengan kreativitas para failasuf setelahnya.

15
Sayyed Hossen Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.., h.237
6

Bertolak dari latar belakang ini, sebagai hasil penolakan atas creatio ex

nihilo yaitu lima kekal al-Rāzī dan emanasi al-Fārābī, menjadi menarik dan tentu

saja sangat penting dibicarakan untuk diperbandingkan secara akademis.

Baik teori lima kekal al-Rāzī maupun emanasi al-Fārābī, keduanya

merupakan penolakan terhadap creatio ex nihilo yang sebelumnya dikembangkan

oleh al-Kindī. Dalam formulasinya, kedua teori ini sama-sama menggunakan term

al-Faidh sebagai alternatif term dari al-Ibda‟16 dalam Falsafah al-Ula sistem al-

Kindī. Pada skema emanasi al-Fārābī, jiwa muncul karna aktifitas pemikiran akal

pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui

dirinya. Setelah Tuhan, hirarkisnya, akal pertama hingga kesebelas adalah hal

paling transenden, kemudian jiwa, langit, dan terakhir dunia materi.17 Sedang

dalam skema lima kekal al-Rāzī, jiwa merupakan pancaran langsung dari Tuhan

yang disebut akal murni. Secara hirarkis, jiwa ialah al-Mabda‟ al-Qadim al-Tsani

(sumber kekal kedua) setelah Tuhan.18

Keduanya juga menganggap bahwa selain Tuhan, terdapat entitas lain yang

juga bersifat kekal. Al-Rāzī menyebut Jiwa, Materi, Ruang dan Waktu, al-Fārābī

bahkan menyatakan keseluruhan dari skema emanasi tidak memiliki awalan dan

akhiran19.

16
Kata ibda` menunjukkan arti yang lebih luas dari pada khalq yakni menciptakan
sesuatu dari ketiadaan. Selain itu, ia juga menunjukkan arti ―pengurusan‖ dan
―pengaturan‖ sesuatu yang diciptakan. Fuad Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1985), h. 101.
17
M.M. Sharif, a History of Muslim Philosophy, (Delhi: Low Price Publication, 1995),
h. 488-489.
18
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 197
19
T.J.De Boer, The History of Philosophy in Islam, terj., Edward R Jones, B.D., (New
York: Dover Publication, 1967), h.107.
7

Hal yang tidak kalah menarik lainnya ialah al-Rāzī dan al-Fārābī merupakan

dua failasuf yang mewakili zaman yang sama, bahkan beberapa peneliti juga

menyebut keduanya mewakili doktrin aliran teologis yang sama (Syiah). Tapi

anehnya, teori lima kekal al-Rāzī ditolak dan dinilai sesat ketika itu (bahkan

hingga sekarang), sedangkan al-Fārābī meski kemudian juga menerima hujatan,

namun emanasi ketika itu terus dilanjutkan dan diperbaharui sedemikian banyak.

Bagi peneliti fenomena ini mencerminkan kondisi sosio-kultural masing-masing

wilayah di masa itu; al-Rāzī mewakili Rayy dan al-Fārābī mewakili ibu kota

Bagdad.
8

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Penelitian yang berjudul ―Metafisika Islam: Analisis Komparatif Teori

Lima Kekal al-Rāzī dan Emanasi al-Fārābī‖ ini, memiliki masalah pokok yang

hendak dijawab yaitu:

1. Bagaimana entitas-entitas metafisik al-Rāzī dan al-Fārābī?

2. Bagaimana persamaan dan perbedaan teori lima kekal al-Rāzī dan

emanasi al-Fārābī?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Pertama, menjelaskan struktur dari teori lima kekal al-Rāzī dan emanasi al-

Fārābī sebagai tawaran lain dari sistem creatio ex nihilo. Kedua, mengungkap titik

singgung persamaan dan perbedaan antara teori lima kekal dan emanasi.

Kemudian, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-

manfaat, diantaranya:

1. Penelitian ini dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya,

sehingga diharapkan dapat memberi sintesa baru yang lebih aktual.

2. Penelitian ini mendialogkan dua teori sezaman dari daerah berbeda

yang diharapkan dapat memberi gambaran sosio-kultural pengembangan ilmu

pengetahuan.

3. Penelitian ini dapat dijadikan bahan ajar dalam matakuliah Filsafat

Islam Klasik di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi peneliti-peneliti

yang mengkaji tentang teori lima kekal al-Rāzī dan emanasi al-Fārābī.
9

Dua poin pertama merupakan manfaat penelitian secara teoritis, sedangkan

dua poin terakhir merupakan manfaat praktis yang dapat diaktualisasikan dalam

proses pengembangan ilmu pengetahuan.

D. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa karya yang telah membahas mengenai pemikiran Abu Bakar

al-Rāzī semisal, buku yang berjudul Usul al-Fikr al-Falsafi inda Abi Bakr al-Rāzī

karya Abdul Latif Muhammad al-Abd. Buku ini terbagi kedalam dua bagian.

Bagian pertama berisi upaya Abdul Latif memposisikan al-Rāzī sebagai failasuf

dan dokter yang jenius. Sedangkan bagian kedua berisi pembahasan tentang

aktifitas al-Rāzī dibidang kedokteran.

Kesimpulan yang diberikan Abdul Latif dalam buku ini cukup menarik, ia

secara tegas menyebutkan bahwa al-Rāzī adalah seorang intelektual muslim yang

shaleh dan bukan Atheis (Mulhid).

Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyah, karya lain dari Abdul Latif pada bab 5

dalam buku tersebut juga membahas tentang pemikiran al-Rāzī, khususnya perihal

akal dalam pemikiran filsafat al-Rāzī. Beberapa bagian dari buku tersebut

menyebutkan bahwa al-Rāzī adalah failasuf rasional dan pemikir jenius. Salah-

satu yang menarik dalam buku itu ialah Abdul Latif juga menulis tentang mazhab

al-Rāzī yang sejauh ini masih minim dijadikan objek peneleitian di lingkungan

akademis.20

20
Abdul Latif Muhammad al-Abd, Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyat (kairo: Maktabat
al-Nahdah al-Misriyyat, 1979), hal. 281.
10

Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam adalah bunga rampai beberapa pakar

failasuf Islam yang disunting oleh Sayyed Hosein Nasr dan Oliver Leaman.

Dalam buku ini terdapat satu tulisan Lenn E.Goodman, salah seorang pengajar di

Universitas Vanderbilt, yang menulis perihal al-Rāzī. Ia mengupas secara detil

tentang pengaruh Galen terhadap karya kedokteran al-Rāzī dan hipotesa Epikurus

tentang moralitas dan etika yang banyak menginspirasi al-Rāzī.21

Kemudian Sarah Stroumsa dengan karyanya yang berjudul Freethinker of

Medieval Islam yang kemudian diterjemahkan Lkis dengan judul ―Para

Pemikir Bebas Islam‖. Buku ini menyajikan dua tokoh pemikir bebas; Ibn

Rawandi dan Abu Bakr al-Rāzī. Perihal pembacaannya tentang al-Rāzī, Stroumsa

menilai bahwa ia sebagai satu fenomena khas yang pernah tercatat dalam

literature peradaban Islam klasik.22

Kemudian, ―Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam‖ oleh Harun Nasution dan

―Tujuh Filsuf Muslim‖ karya Ahmad Zainul Hamdi. Tanpa mengurangi

keseriusan penulisan serta kredibilitas kedua penulis diatas, kedua buku belum

memberi cukup ruang penelusuran dan penjelasan tentang teori lima kekal al-

Rāzī. Meski tidak dapat dipungkiri, buku ini ditujukan sebagai pengantar

sekaligus pengenalan Intelektual Muslim yang tercatat dalam sejarah Islam.

Penelitian lain yang cukup dekat dengan isi penelitian ini, yaitu tesis Tien

Rohmatien yang berjudul Pemikiran Filsafat Abu Bakr al-Rāzī. Tesis yang

21
Sayyed Hosein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam 1,
(Bandung: Mizan, 2003) hal. 243.
22
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, ter., Khoiron Nahdiyyin (Yogjakarta:
Lkis, 2006) hal. 207
11

ditujukan pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, membahas pemikiran al-

Rāzī mulai dari riwayat hidup, pemikiran metafisika, kenabian, hingga pemikiran

moral dan etiknya. Dalam penelitian tersebut, Tien Rohmatien menjawab

beberapa persoalan posisi teologis dari al-Rāzī hingga kemudian secara tegas

menyimpulkan bahwa al-Rāzī adalah Failasuf yang mukmin dan saleh, memiliki

aqidah yang bersih serta berakhlak mulia.

Dengan demikian, penulis berusaha memposisikan diri untuk mengisi ruang

yang belum diteliti secara kompleks. Peneliti belum menemukan kajian pustaka

yang membahas studi komparatif al-Rāzī dan al-Fārābī, khususnya mengenai teori

masing-masing failasuf tersebut. Penelitian ini penting untuk melihat persamaa

dan perbedaan teori tersebut.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian kali ini, peneliti menggunakan teknik library research

(studi kepustakaan). Teknik ini berupaya untuk mengumpulkan data-data terkait

permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini dari berbagai macam sumber dan

literatur, baik sumber primer maupun sekunder. Adapun sumber primer, karya

atau buku yang paling pokok peneliti gunakan ialah al-Falsafah al-Ula karya al-

Kindī dibantu dengan komentar Alfred L. Ivry, al-Sirah al-falsafiyah karya al-

Rāzī, Arad al-Madinah al-Fadilah karya al-Fārābī. Sementara sumber sekunder,

peneliti menggunakan tulisan ilmiah atau buku yang menyingung topik penelitian

yang diperoleh dari berbagai sumber.

Langkah-langkah metodis yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis

deskriptif dan komparatif. Metode deskriptif digunakan untuk memaparkan data


12

yang berkaitan dengan teori lima kekal al-Rāzī dan emanasi al-Fārābī. Sedangkan

metode komparatif digunakan untuk membandingkan kedua teori tersebut. Dalam

komparasi ini dikemukakan persamaan dan perbedaan antar kedua teori yang

dicetuskan al-Rāzī dan al-Fārābī tersebut.


BAB II

LATAR KEHIDUPAN AL-RĀZĪ DAN AL-FĀRĀBĪ

A. Riwayat Hidup al-Rāzī

Berikut ini merupakan gambaran kehidupan al-Rāzī yang disebutkan oleh

al-Biruni (1048 M.)23:

―Dia dilahirkan di Rayy, pada awal bulan Sya‘ban tahun 251 H (850

M). Tidak ada yang dapat kita ketahui tentang dia, selain bahwa dia adalah

seorang praktisi Kimia. (Ketika bekerja), dia membiarkan matanya tidak berkedip,

mudah terluka dan terkena penyakit. Karna terlalu sering berhbungan dengan api

dan asap-asap yang menyengat, terpaksa dia harus mencari pengobatan. Situasi ini

menjadikannya tertarik pada praktik kedoteran, dan kemudia terhadap apa saja

yang beradad dibalik itu, terhadap sesuatu yang karenanya dia banyak dicemooh.

Dia mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam hal keterampilan

(Kedokteran). Para penguasa (banyak yang) memakai dia dan mengundangnya,

serta memberikan penghargaan yang tinggi kepadanya. Dia sesantiasa sibuk

dengan kajian-kajian. Dia menempatkan lampunya dalam satu tempat pada

tembok yang menghadap kepadanya dan menyandarkan buku pada tembok (itu).

Dengan cara seperti ini, ketika dia tertidur sejenak, maka bukunya akan lepas dari

tangannya dan menjadikannya terbangun, dan ia kemudian kembali ke bagian

yang sebelumnya sedang ia baca.

23
Dikenal sebagai astronom, matematikawan, fisikawan dan sejarawan. Lih.Sayyed Hossein
Nasr, Science and Civilization in Islam, h. 133-137

14
15

Ini merupakan salahsatu diantara hal yang menyebabkan pandangan

matanya rusak, disamping juga karna kegemaran dan kecanduan makan bncis.

Pada akhirnya dia buta untuuk selamanya. Di akhir hayatnya, kedua matanya

terserang katarak.

Seseorang yang ditunjk oleh murid-muridnya untuk mengobatinya, datang

dari daerah Tabaristan. Al-Rāzī menanyakan cara yang dipakai untuk

mengobatinya, dan orang itumenceritakan kepadanya. Kemudia, al-Rāzī

mengatakan: ―Saya menyatakan bahwa Anda adalah ahli bedah mata terbaik

dan dapat diakui. Akan tetapi Anda tahu bahwa pengobatan seperti ini buukan

tanpa usaha yang sebenarnya hatiku segan (untuuk melakukannya); ia

memerlukan usaha-usaha yang menyulitkan dan menyusahkan untuk waktu yang

panjang, sesuatu yang saya sendiri tidak dapat bersikap sabar terhadapnya.

Barangkali hanya tersisa waktu yang pendek bagiku untuk hidup, dan waktu yang

saya tetapkan semakin dekat. Bagi orang seperti saya, patut dicela kalau memilih

bersusah payah dan menderita daripada menikmati sisa hidupnya. Lakukan saja

dan terimakasi atas perhatian dan usaha-usaha Anda,‖ dan dia menyerahkan

dirinya kepadadnya.

Setelah itu, dia tidak hidup lama. Dia meniggal di Rayy pada tanggal 6

Sya‘ban tahun 313 H./925 M24. Dia berusia 62 tahun menurut perhitungan tahun

24
Dari beberapa data yang tersedia, ada banyak pendapat yang berbeda-beda tentang tahun
kelahiran dan kematian al-Rāzī. Tien Rohmatien menyebutkan mulai dari 863-925 M. (Harun
Nasution 1999), 865-922/923 M. (Montgomery Watt, 1987; M.M Sharif, 1995), hingga yang
terkuat menurutnya yaitu 865-925 (Rasail Falsafiyat al-Rāzī. Disamping pandangan tokoh yang
disebut Tien Rohmatien, ada tokoh lain lagi yang memiliki pandangan tahun yang berbeda, yaitu
Mehdi Mohaghegh yang menyebut 932 M. sebagai tahun kematian al-Rāzī. Lih. Tien Rohmatien,
al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, (Jakarta: Hipius, 2013), h.21-22. Lihat juga. Mehdi Mohaghegh,
Notes on the ―Spiritual Physics‖ of al-Rāzī, dalam Jurnal Studia Islamica No. 26 (1967), h. 6.
16

hijriyyah, yang sepadan dengan usia 60 tahun menurut perhitungan tahun masehi,

lebih dua bulan satu hari‖.25

Beberapa sarjana lain telah melakukan kajian terhadap berbagai aspek

falsafah Al-Rāzī. Mehdi Mohaghegh mempersembahkan sebuah kumpulan kajian

yang berjudul "The Philosopher From Rayy" (Failasuf dari Rayy) dan juga telah

mempublikasikan karya yang berjudul "al-Syukuk ala al-Jalinus" A.J.Arberry

menerjemahkan karya al-Rāzī, Spiritual physick. Beberapa tahun belakangan ini,

beberapa kajian umum dipersembahkan untuk al-Rāzī. Kajian-kajian ini

memberikan fokus pada pendekatan empiris al-Rāzī terhadap kedokteran dan

kimia,pada sistem etikanya, kaitan-kaitannya dengan tradisi Galenik, mitos

penciptaannya, dan juga teori politiknya (atau tepatnya, sisi kekurangan dari teori

politiknya). Al-Rāzī sering digambarkan sebagai "sarjana non-kompromis terbesar

di sepanjang sejarah Islam," atau "sarjana yang paling radikal dan yang paling

tidak suka melakukan pemujaan terhadap institusi; dan barang kali satu-satunya

tokoh yang paling dicela dan tidak di setujui sebagai seorang heretik dalam

sejarah pemikiran Islam berikutnya.

Dapat diasumsikan bahwa al-Rāzī adalah seorang muslim radikal, namun

pemikiran Islam pada masanya agak dapat menerima sikapnya radiikal itu. Akan

tetapi, jika ucapan-ucapan yang di nisbatkan kepadanya benar, maka ajarannya

muncul sebagai sebagai sesuatu yang tidak dapat dipertemukan dengan dengan

jenis Islam manapun, tanpa prasangka. Lebih dari itu, setelah kajian kraus, tidak

25
Al-Biruni, Risalah al-Biruni fii Fihrist kutub Muhammad bin Zakariyyah al-Rāzī, ed. P.
Kraus, (Paris: t,p., 1936), h. 4-6.
17

ada lagi perhatian serius yang diberikan terhadap komponen paling penting dari

doktrin-doktrin heretik al-Rāzī, yaitu Anti kenabian.

Tentunya benar bahwa heterodoksi Al-Rāzī terdapat di seluruh aspek

pemikirannya: etika individualistiknya hampir tidak dapat disejajarkan dengan

kepatuhan yang kuat kepada pemimpin-pemimpin agama, dan mitos

penciptaannya dianggap oleh Nasir Husraw sebagai sangat heretik melebihi ajaran

al-Iransyahri.26 Akan tetapi, untuk menunjukkan dengan tepat sumber dan watak

sebenarnya dari sikap non-kompromis al-Rāzī, kita harus mengkonsentrasikan

pada pemikiran bebasnya dalam pengertian yang sempit, yakni pada

penolakannya terhadap agama-agama Wahyu.

Meskipun tidak ada data yang pasti mengenai kapan al-Rāzī meninggal,

akan tetapi masalah ini tidak begitu menimbulkan kontroversi seperti halnya Ibn

ar-Rawandi. Selain itu, dalam kasus ar-Rāzī, implikasi dari kapal sebenarnya dia

meninggal tidak begitu signifikan.Tahun meninggalnya biasa di tulis 250 H./854

M-313 H./925 M. atau sekitar 323 H./935 M. Kematangan pemikirannya, dengan

demikian, sejajar dengan periode di mana pemikiran Islam mencapai kematangan

di berbagai bidang. Tahun-tahun yang sama menjadi saksi bagi puncak

perkembangan mu'tazilah, berakhirnya putaran pertama "gerakan penerjemahan,"

kristalisasi falsafah, dan Neoplatonisme Isma'iliyyah. Dalam konteks maraknya

perkembangan intelektual inilah falsafah al-Rāzī dan ide-ide heretiknya harus di

lihat.27

26
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, h.132
27
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, h.132
18

Sedikit sekali informasi yang dapat diketahui menyangkut pendidikan

ataupun tahun-tahun pertumbuhannya. Akan tetapi, beberapa sumber yang kami

pakai menunjukkan bahwa al-Iransyahri yang menjadi teka-teki itu, merupakan

gurunya. Fakta ini dapat memberikan kesan akan permulaan menuju kepemilikan

bebas. al-Rāzī dikenal pertama kali dan terutama sebagai ahli fisika, "ahli fisika

Arab yang tiada taranya," dan pendekatan medisnya tidak dapat dipisahkan dari

minat falsafahnya. Pines Dan kraus melukiskan dia sebagai "ahli fisika Arab yang

tidak begitu dogmatis." Dan bahkan spirit kebebasannya tampak dalam

pembicaraannya tentang problem-problem kedokteran yang spesifik. Selain materi

yang dikumpulkan dari para pendahulunya dan sejarah-sejarah kasus dari

pasiennya, kumpulan besar dari catatan klinisnya, al-Hawi, juga berisi observasi-

observasi al-Rāzī, refleksi-refleksinya, saran-sarannya, petunjuk-petunjuk

diagnostiknya. Sumbangan-sumbangan pribadi ini dia perkenalkan dengan

ungkapan otoritatif: "menurut saya" ungkapan ini, yang diulang berkali-kali di

semua volume buku al-Hawi yang mencapai 20 volume lebih, memperlihatkan

semangat oleh asy-Syahrastani yang di sebut sebagai istibdad bi ar-ra'y dalam

bentuk yang paling bagus: penerapan pendapat pribadi secara telanjang-meskipun

di dasarkan pada pengetahuan empiris, dan karenanya sama sekali bukan

serampangan.

Pada masanya, al-Rāzī dalam bidang kedokteran diakui secara menyeluruh,

ia mendapat penghargaan sebagai Jalinus al-Arabi (The Galen of Arab)28. hingga

kini, ia disebut ―The Greatest and most original of all the muslim Physicians, and

28
Tien Rohmatien, al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, h. 22
19

one of of the most profilic as an author‖29. Pada bidang ini, diantara guru-guru al-

Rāzī ialah al-Balkhi dan Abu Hasan Ali ibn Rabban al-Thabari.30

Semasa hidupnya, pemikiran al-Rāzī banyak mendapat penolakan, bahkan

―lawan‖ tidak segan melabelinya zindiq bahkan mulhid. Diantaranya ialah,

Abu Qasim al-Balkhi (931 M.), Syuhaid Ibn al-Husayn al-Balkhi, Abu Hatim al-

Rāzī (934 M.), Abu Bakr Husayn al-Tammar.31

Sebuah penilaian yang sama rendahnya terhadap kemampuan failasufis al-

Rāzī juga muncul di masa setelahnya yakni dari Ibn Maimun (Maimonides) yang

memberikan penilaian terhadap al-Rāzī sebagai "hanya seorang ahli fisika," dalam

arti bahwa dia tidak pantas disebut sebagai failasuf.32

B. Riwayat Hidup al-Fārābī

Nama al-Fārābī mempunyai nama lain Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn ṭorhan

Al- Fārābī. Sebenarnya nama Al-Fārābī diambil dari nama kota Farab, tempat ia

dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H. Nama lengkapnya

adalah Abu Naṣr Muḥammad bin Muḥammad bin Tarkhan bin Uzlag al-Fārābī,

yang biasa disingkat saja menjadi al-Fārābī. Ia dilahirkan di Wasij, Distrik farab,

Turkistan pada tahun 257 H. bersamaan 870 M. Ayahnya seorang jenderal

berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.33

Pada masa remajanya ia telah hijrah bersama orang tuanya ke Bagdad, tapi

menurut informasi lain, ia telah bekerja sebagai hakim dan kemudian baru berada

29
Edward G. Browne, Arabian Medicine, (Cambridge: Cambridge Press, 1921), h. 44.
30
Tien Rohmatien, al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, h. 23
31
Tien Rohmatien, al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, h. 25-26
32
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, h.132
33
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009), h. 15.
20

di Bagdad pada usia 50 tahun atau pada usia 40 tahun. Disana ia dapat berdiskusi

dan saling mengambil manfaat dengan banyak ahli dalam berbagai bidang. Al-

Fārābī mendapat gelar kehormatan sebagai guru kedua dengan catatan bahwa

gelar guru pertama dialamatkan orang kepada Aristoteles.

Selama hidupnya al-Fārābī selalu berpindah tempat tinggal dari waktu ke

waktu. Saat kecil ia dikenal sangat rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas. Ia

banyak memelajari agama dan bahasa di tempat kelahirannya yaitu desa kecil

bernama Wasij, Farab, daerah dekat sungai Jaxartes dan di daerah Transoxiana

yang masih masuk wilayah Turkistan.34

Pada saat muda ia belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhara. Setelah

mendapat pendidikan awal, al-Fārābī belajar logika kepada seorang Kristen

Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhannah ibn Haylan. Pada masa

kekhalifahan al-Mu‘tadīd (892-902), al-Fārābī dan Yuḥannah ibn Haylan pergi ke

Bahgdad dan al-Fārābī unggul dalam ilmu logika. Al-Fārābī selanjutnya banyak

memberi sumbangsih dalam penempaan falsafah baru dalam bahasa Arab

meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab.

Pada kekhalifahan al-Muktafi (902-908 M) dan awal kekhalifahan al-

Muqtadir (908-932 M) al-Fārābī unggul dalam ilmu logika. Al-Fārābī pergi ke

Konstantinopel dan tinggal di sana selama delapan tahun serta memelajari seluruh

silabus falsafah. Pada tahun 297 H. bersamaan 910 M., ia telah kembali ke

Baghdad. Kembalinya ia ke Baghdad adalah untuk belajar, mengajar, mengaji

34
M.M. Syarif (Ed), Para Filosof Muslim, terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan,
1994), cet.7, h.55-58.
21

buku-buku yang ditulis oleh Aristoteles dan menulis karya-karya. Setelah hijrah

ke Baghdad dan tinggal di sana selama 20 tahun, ia memerdalam ilmu-ilmu

falsafah, logika, etika, ilmu politk, musik dan lain sebagainya.35

Pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan

Saif al-Daulah al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan

memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang

besar sekali, tetapi al-Fārābī lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak

tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham

saja sehari untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi, hal yang

menggembirakannya di tempat yang baru ini, al-Fārābī bertemu dengan para

sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fikih, dan kaum cendekiawan lainnya. Al-

Fārābī adalah seorang failasuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak

bidang keilmuan dan memandang falsafah secara utuh dan menyeluruh serta

mengupasnya dengan sempurna, sehingga failasuf yang datang sesudahnya,

seperti Ibn Sînâ dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem

falsafahnya. Pengetahuan al-Fārābī yang mendalam mengenai falsafah Yunani,

seperti Plato dan Aristoteles, sehingga ia dijuluki al-Mu‟allim al-Tsani (guru

kedua).36

Al-Fārābī wafat di Damaskus pada 950 M. Usianya pada saat itu sekitar

delapan puluh tahun.37 Ia dikebumikan di sebuah perkuburan di bagian luar pintu

35
Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), Vol.1,
Cet. Ke-4, h. 331.
36
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.33.
37
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
h.57.
22

selatan dan pintu sampingan kota tersebut. Syaf al-Dawlah sendiri yang memberi

tahu para pembesar negeri untuk menyalati jenazah al-Fārābī.38

C. Antara al-Rāzī dan al-Fārābī

Periode akhir Abbasiyah merupakan masa yang di dalamnya kekuasaan

khalifah mengalami kemunduran, sedangkan yang sesungguhnya berkuasa adalah

dinasti-dinasti baru yaitu Turki dan Persia yang berada di batas luar. Pada

akhirnya, dinasti ini menguasai Bagdad itu sendiri, dan khalifahpun praktis seperti

boneka di tangan mereka.39

Al-Fārābī dan al-Rāzī hidup pada zaman kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang

digoncang oleh berbagai macam gejolak, pertentangan, dan pemberontakan,

dengan berbagai motif, agama, kesukuan dan kebendaan. Banyak anak-anak raja

berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekayaan milik nenek moyang

mereka khususnya orang-orang Persia dan Turki. Mereka mencoba bermaksud

mengkudeta, bekerja sama dengan kelompok Syiah yang berkeyakinan lebih

berhak memerintah dan berkuasa dari keturunan Abbas, paman Nabi Muḥammad.

Stabilitas lebih kacau lagi dengan hilangnya Imam Muḥammad Mahdi (Imam

keduabelas dari Syiah Imamiyyah) dalam usia empat atau lima tahun. 40 Diantara

banyaknya gejolak, pertikaian antara aliran teologis merupakan hal paling krusial.

Meski demikian, Ilmu pengetahuan terus berkembang dan mengalami

kemajuan di segala aspek. Tiga perempat abad setelah berdirinya Bagdad, dunia
38
Muhammad Fanshobi, Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Farabi, (Ciputat:
Skripsi UIN Jakarta, 2014), h. 12.
39
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.52
40
Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997), cet. Ke-1, h.79.
23

literatur Arab telah miliki karya-karya falsafah utama Aristoteles, karya para

komentator Neo-Platonis, tulisan-tulisan kedokteran Galen dan karya-karya ilmiah

persia dan india.41

Pada masa Manshur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn As‘ad sebagai gubernur Ray,

Ar-Rāzī diserahi kepercayaan memimpin rumah sakit selama enam tahun (290-

296 H). Pada masa ini juga Ar-Rāzī menulis buku al-Thibb al-Mansuri yang

dipersembahkan kepada sang gubernur Rayy era Khalifah Al-Muktafi (289-295

H) tersebut. Dari Ray kemudian al-Rāzī pergi ke Baghdad. Atas permintaan

Khalifah, ia didapuk sebagai pimpinan lembaga ilmiah dan rumah sakit Maristan

di Baghdad.42

Pada era khalifah yang sama, tepatnya pada kekhalifahan al-Muktafi (902-

908 M) dan awal kekhalifahan al- Muqtadir (908-932 M) al-Fārābī telah populer

sebagai failasuf yang unggul dalam logika. Sayangnya di era itu juga, Al-Fārābī

pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama delapan tahun untuk

mempelajari seluruh silabus falsafah. Kemudian pada tahun 297 H. (910 M.) ia

akhirnya kembali ke ibu kota Baghdad dan menetap di sana selama 20 tahun, ia

kembali memerdalam ilmu-ilmu falsafah, logika, etika, ilmu politk, musik dan

41
Philip K.Hitti, History of Arab.., h.381
42
Di lembaga Maristan ini Ar-Rāzī mengajar ilmu kedokteran dengan metode yang paling
modern pada masa itu, yaitu mengintegrasikan studi teori dengan studi lapangan, antara tempat
belajar ilmu kedokteran dan rumah sakit menjadi satu kesatuan. Metode studi ilmu kedokteran
Maristan menjadi standar kedokteran yang progressif dan orsinil Islam, dimana pembelajaran ilmu
kedokteran secara ilmiah dan praktik amaliah secara langsung. Metode ini kemudian berkembang
di Barat dan di Rimur. Ali Al-Jumbulati, Dirasat al-Muqaranat fi at-Tarbiyah al-Islamiyah,
terjemahan Prof. HM. Arifin M. (Ed)., 1994, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 34
24

lain sebagainya.43 Pada hidupnya al-Fārābī tidak terlalu dekat dengan penguasa

dan tidak menduduki salah satu jabatan pemerintah.

Dari seting riwayat ini, dapat ditelisik bahwa kedua failasuf ini tumbuh

dimana ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat, keduanya sama-sama

menjadikan argumen-argumen failasuf yunani sebagai dasar failasufisnya, bahkan

keduanya memiliki dinilai memiliki latarbelakang teologi (Syiah) yang sama.

Hal yang tak kalah pentingnya, kedua failasuf ini merupakan tokoh yang

sangat populer pada tempat (Bagdad) dan era (Terutama era al-Muktafi) yang

sama. Karna itulah, bagi peneliti, besar kemungkinan kedua failasuf ini sudah

saling mengenal semasa hidupnya. Sayangnya peneliti tidak menemukan data-data

konkret yang menunjukkan bahwa kedua failasuf ini pernah bertemu satusama

lain.

43
Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), Vol.1,
Cet. Ke-4, h. 331.
BAB III

METAFISIKA ISLAM

A. Pengertian dan Perkembangan Metafisika dalam Islam

Kata ―meta‖ bagi orang Yunani mempunyai arti ―sesudah atau di belakang‖.

Kata metafisika digunakan untuk mengungkapkan isi pandangan mengenai,

―hal- hal di belakang gejala fisik‖. Ketika Andronikos dari Rhodos menyusun

karya- karya Aristoteles, ia menemukan 14 pasal tanpa sebuah judul, setelah

seluruh karya-karya mengenai fisika tersusun. Ia memeberi judul ke-14 pasal

tersebut dengan nama ―buku-buku yang datang sesudah fisika‖ (ta meta ta

physica). Dalam buku ini, ia menemukan pembahasan mengenai realitas, kualitas,

kesempurnaan, yang ada, yang tidak terdapat pada dunia fisik, tetapi mengatur

dunia fisik.44

Sejak tahun 1950-an, pendirian ini tidak dapat dipertahankan lagi. Dalam

bukunya yang diterbitkan tahun 1951, sarjana Perancis P. Moraux membuktikan

bahwa kata metafisika lazim dipakai oleh kalangan Aristotelian, jauh sebelum

Andronikos. Dengan demikian, nampak jelas bahwa nama ini bukan berasal dari

Andronikos. Moraux menyebut bahwa metafisika telah dipakai oleh Ariston dari

Keos yang menjadi kepala mazhab Aristotelian tahun 226 SM.45

Terlepas dari hal itu, 14 pasal yang oleh W D Ross diberi judul Aristotle

Metaphysycs ini, telah menjadi rujukan utama dalam pembahasan keilmuan

metafisika. Dalam buku tersebut, Atistoteles menyebut beberapa istilah yang

maknanya setara dengan metafisika, yaitu: filsafat Pertama (First Philosophy),

44
Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), 17-18
45
Beretens, Sejarah falsafah.., 153

25
26

pengetahuan tentang sebab (knowledge of Cause), Studi tentang Ada sebagai Ada

(the study of Being as Being), Studi tentang Ousia (Being), studi tentang hal-hal

abadi dan yang tidak dapat bergerak (the study of the eternal and immovable), dan

Teologi.46

Penggunaan istilah-istilah tersebut, digunakan untuk mengkaji hal-hal yang

sifatnya diluar fisik. Hal ini karena investigasi ilmiah terfokus pada hal-hal yang

partisan dari sesuatu, seperti adanya beberapa pengelompokan suatu benda.

Metafisika membicarakan keberadaan tertinggi atau objek yang ada. Bagi

Aristoteles, metafisika merupakan suatu tujuan yang tidak dapat terelakan dari

semua pengkajian.

“For the science which it would be most meet for God to have is a divine

science, and so is any science that deals with divine objects; and this science

alone has both these qualities; for (1) God is thought to be among the causes of

all things and to be a first principle, and (2) such a science either God alone can

have, or God above all others. All the sciences, indeed, are more necessary than

this, but none is better”47

Kemudian Aristoteles melanjutkan:

“We answer that if there is no substance other than those which are formed

by nature, natural science will be the first science; but if there is an immovable

substance, the science of this must be prior and must be first philosophy, and

46
Alan R. White. Methods of Metaphysics, (Taylor and Francis Group, 1987), h.31
47
Aristoteles, ta Meta ta Physica, terj. W. D. Ross (Oxford: The Clarendon Press, 1924),
Book 1, CH 2.
27

universal in this way, because it is first. And it will belong to this to consider

being qua being-both what it is and the attributes which belong to it qua being”48

Pada proses pencariannya mengenai The First ini, Aristoteles memulainya

dengan menjelaskan tentang pemikiran failasuf-failasuf yunani klasik

sebelumnya. Ia menyebut bahwa tradisi perbincangan kosmologi failasuf

sebelumnya, tidak lain merupakan proses pencarian tentang ―prinsip pertama‖.

“For some speak of the first principle as matter, whether they suppose one

or more first principles, and whether they suppose this to be a body or to be

incorporeal; e.g. Plato spoke of the great and the small, the Italians of the infinite,

Empedocles of fire, earth, water, and air, Anaxagoras of the infinity of things

composed of similar parts. These, then, have all had a notion of this kind of cause,

and so have all who speak of air or fire or water, or something denser than fire

and rarer than air; for some have said the prime element is of this kind. These

thinkers grasped this cause only; but certain others have mentioned the source of

movement, e.g. those who make friendship and strife, or reason, or love, a

principle.”49

Semua failasuf tersebut, sebut Aristoteles, belum memberi jawaban yang

memuaskan. Sebab menurutnya pembahasan mengenai yang pertama tidak bisa

dilihat melalui hal-hal fisik. Aristoteles bahkan menyebut mereka (failasuf-

failasuf sebelumnya) telah menyingkirkan penyebab adanya gerakan:

“Those, then, who say the universe is one and posit one kind of thing as matter,

and as corporeal matter which has spatial magnitude, evidently go astray in many

48
Aristoteles, ta Meta ta Physica, Book 6, CH 1.
49
Aristoteles, ta Meta ta Physica, Book 1, CH 7
28

ways. For they posit the elements of bodies only, not of incorporeal things, though

there are also incorporeal things. And in trying to state the causes of generation

and destruction, and in giving a physical account of all things, they do away with

the cause of movement.”50

Penyebab adanya gerakan ini menurut Aristoteles, mesti terbebas dari

materi, tidak digerakan dan menyebabkan gerak secara terus-menerus. The

Unmoved Mover merupakan realitas Utama (Supreme Rality) yang beraksi

terhadap alam semesta melalui kekuatan menariknya. Penggerak yang tidak

Bergerak (The Unmoved Mover) merupakan konsepsi yang ditafsirkan sebagai

Tuhan51 dalam metafisika Aristoteles.

“That there must be an immortal, unchanging being, ultimately responsible

for all wholeness and orderliness in the sensible world”52

Selain The Unmoved Mover, Aristoteles menggunakan beberapa padanan

kata yang lain. Terkadang ia menggunakan istilah The Prime Mover, The First

Cause, dan terkadang menggunakan The Form of Form. Istilah-istilah ini pada

intinya merujuk kepada satu entitas yang ia sebut Aktus Murni (Actus Purus);

Tuhan.

Rujukan utama mengenai metafisika disamping Aristoteles diusung oleh

Philon dari Alexandria. Setelah itu, pada abad ke-3 M, Plotinos akan menjadi

orang yang secara eksplisit memberikan gambaran cukup mendetail mengenai

konsep emanasi dan isi kosmos noetos (dunia idea). Plotinus mengatakan:

50
Aristoteles, ta Meta ta Physica, Book 1, CH 8.
51
Penggerak utama Aristoteles ini oleh Levi Ben Gershom (Gersonides) disebut sebagai
Tuhan (God). Lihat Gersonides, The Wards Of The Lord: Book Five The Heavenly Bodies and
Their Movers, ter. Seymour Feldman (Philadelphia: The Jewish Publication Society, 1999), h.5
52
Aristoteles, ta Meta ta Physica, Book 12, CH 1.
29

―For all things there are heaven (en panti oikountes toi ekei ouranoi), and

earth and sea and plants and animals and men are heaven, everything which

belongs to that higher heaven is heavenly. The gods in it do not reject as unworthy

men or anything else that is there; it is worthy because it is there, and they travel,

always at rest, through all that higher country and region‖53.

Plato, sebagai failasuf yang banyak dirujuk mengenai dunia idea, memang

tidak pernah secara eksplisit memberi gambaran tentang dunia ideal (dunia

intelligibel), kecuali lewat mitos dan perumpamaan. Plotinus lah orang yang

menafsirkan pemikiran Plato menjadi dualisme seperti itu; dunia dan dunia idea.

Plotinus menyebutkan:

“In the intelligible world is true being (en toi kosmoi toi noetoi he alethine

ousia); Intellect is the best part of it; but souls are There too ; for it is because

they have come Thence that they are here too. That world has souls without

bodies, but this world has the souls which have come to be in bodies and are

divided by bodies. There the whole of the Intellect is all together and not

separated or divided, and all souls are together in the world which is eternity, not

in spatial separation.‖54

Jauhnya lagi, Plotinos juga menguraikan dengan ekplisit tentang ―pohon

di dunia idea‖ sebagai model bagi pohon di dunia kita:

“And how in general can these things here be there in the intelligible? Well,

the plants could fit into the argument; for the plant here is a rational forming

principle (logos) resting in life. If then indeed the forming principle in matter (ho
53
Plotinus, Ennead V 8 [31] , 32-37, The Loeb Classical Library, London: Harvard
University Press, 1984.
54
Plotinus, Ennead V 21 (IV 1), 1-8
30

enhulos logos), that of the plant, by which the plant exists, is a particular life and

a soul, and the forming principle (logos) in some one thing, then this principle is

either the first plant or it is not, but the first plant is before it, and this plant here

derives from it. For that first plant is certainly one, and these plants here are

many, and necessarily come from one. If this is really so, that plant must be much

more primarily alive and be this very thing, plant, and these here must live from it

in the second and third degree and from its traces”55

Bila gambaran Plotinus tentang dunia idea sangat jelas, menjadi berbeda

bila dilihat dari teks-teks Plato. Gabungan kata kosmos-noetos sendiri absen

dalam seluruh corpus platonisian56. Kalau pun ada pembicaraan tentang idea,

Plato membicarakannya dengan lumayan rumit dan abstrak. Idea itu dibicarakan

misalnya saat berbicara tentang ―kesamaan initself‖ atau ―keindahan in itself‖ atau

juga ―keadilan‖. Terlepas dari hal itu, penafsiran plotinus tentang plato inilah

yang akhirnya banyak mempengaruhi neoplatonis kedepannya, bahkan masuk

dalam ranah teologi Islam dan Kristen.

Hal terpenting lainnya dari pembacaan Plotinus, ada pada teori emanasinya.

Dimana menurutnya ada tiga tahap wujud emanasi dari "Yang Esa", yaitu: nous

(akal budi, rasio, roh), psyche (jiwa), dan me on/ hyle (materi, benda, hal fisik)57.

55
Plotinus, Ennead VI 7 [38] 11, 9-17
56
Istilah dunia intelligibel (atau dunia idea) baru muncul beberapa abad setelah Platon. Luc
Brisson dan Jean-François Pradeau, entry ―Monde‖, Dictionnaire Platon, Paris: Ellipses, 2007, h.
92
57
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume I. Greece & Rome part II,
Maryland: The Newman Press, 1962, hlm. 208.
31

Dari sinilah akar muara cara tafsir neoplatonisian terhadap Plato khususnya

mengenai konsep Tuhan58. Driyakara menyebutkan:

―Kelak oleh Plato Yang-Baik itu disebut Yang Satu. Jika kita mengingat lagi

pikiran Plato ini, tak heranlah kita bahwa oleh banyak juru tafsir dikatakan

bahwa yang dimaksud oleh Plato dengan Idea Kebaikan (atau Yang-Baik) itu

Tuhan. (…) yang dimaksud Plato (dengan Yang-Baik itu) betul-betul Roh Yang

Sempurna, Yang Transenden (mengatasi segala-galanya), yang menguasai

semesta alam. Menurut sarjana ini juga di lain-lain tempat, Plato mengajarkan

bahwa Roh Yang mengatasi semua, yang menyebabkan adanya aturan dalam

kosmos dan memimpin segala-galanya dengan Maha Penyelenggaranya

(Providence). Pendapat ini sudah dikeluarkan di depan Konggres Filsafat yang

ke- 10 di Amsterdam pada tahun 1948: „Meskipun dia (Plato) tidak pernah

menggunakan istilah „Tuhan‟ untuk menunjuk dunia idea-idea, namun dengan

alasan yang benar orang dapat mempertahankan monoteisme filsafat Plato‟.

Akan tetapi, di samping itu harus juga dikemukakan bahwa Plato belum pernah

memberi paparan tentang Roh Yang Transenden itu dengan cara yang terang dan

lengkap.Andaikata ajaran Plato tentang soal ini sudah lengkap, bagaimanakah

pandangannya tentang idea-idea itu? Barangkali akan dipandang sebagai

pikiran dalam Maha Pengertian Tuhan sehingga tidak lagi akan berupa barang-

58
Perlu ditekankan bahwa Plato bukan pemikir berlatar belakang monotheisme. Ia tidak
mengenal teori penciptaan, sehingga kita harus menempatkan diri dalam alur berpikir di mana
tidak ada Tuhan Pencipta (yang sering direpresentasikan sebagai causa produktris bagi segala
sesuatu, titik pijak akhir aktivitas berpikir).Idea bagi Platon bukanlah penyebab efektif (dalam arti
produsen) munculnya realitas dunia kita.Dalam mitos di Timaios, figur mitis bernama Demiourgos
praktis menjadi fabrikator alam kita. Ia tidak menciptakan dunia, Demiourgos hanyalah menata
agar kontemplasinya pada idea yang ia terapkan pada bahan-bahan (yang selalu sudah ada
sebelumnya) memunculkan dunia kita sebaik mungkin. Demiourgos bukan Tuhan Mahakuasa, ia
keillahian yang terbatas.
32

barang yang berdiri sendiri? Kita tidak dapat mengatakan hal ini. Yang pasti

ialah Plato sendiri pada usia yang lanjut rupa-rupanya tidak lagi percaya

sepenuhnya atas teorinya itu”59

Melalui proses helenisme60, konsep-konsep sedemikian akhirnya masuk ke

dalam dunia Islam melalui proses penerjemahan. Pada awal-awal masuknya

konsep-konsep demikian, persoalan pemadanan istilah-istilah metafisika menjadi

permasalahanl yang dihadapi para sarjana muslim.

Dalam literatur falsafah Islam, metafisika sering disebut dengan bermacam-

macam ungkapan, seperti Ma‟ba‟d al-Thabi‟ah (sesuatu yang berada setelah

alam), al-falsafah al-Ula (filsafat pertama), al-Illahiyat (ketuhanan) atau bahkan

al-Hikmah (kebijaksanaan). Istilah-istilah ini merupakan suatu upaya

penyepadanan yang di lakukan para failasuf muslim dengan model pengistilahan

metafisika Yunani.

Sebelum lebih jauh membahas tentang metafisika dalam Islam, dimana

tema-tema seperti creatio ex nihilo, lima kekal dan emanasi akan dibahas, peneliti

merangkum beberapa istilah yang digunakan para failasuf tersebut antara lain:

Tuhan God Al-Ilah61

Akal Intelegence Al-Aql

Wujud Being/Existence Al-Wujud

59
Sudiarja, Budi Subanar, St. Sunarki, T. Sarkim dkk, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-
esai Filsafat Pemikir yang terlibat penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, h. 1155-1156
60
Menurut Watt, helenisme terjadi dalam dua gelombang. Pertama, terjadi selama dua abad
yaitu antara 750-950 M. kedua, terjadi pada 1095-1258 M. lihat. W. Mongommery Watt,
Pemikiran Teologi dan Falsafaha Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987) h.54 dan 114
61
Khusus perihal Tuhan, para failasuf Islam berbeda-beda istilah terhadap-Nya. Bahkan
satu failasuf Islam, seringkali memiliki banyak sebutan terhadap-Nya
33

Jiwa Soul AL-Nafs

Materi Matter Al-Hayuli

Ruang Spache Al-Makan

Gerak Motion Al-Harakat

Waktu Time Al-Zaman

Anasir Element Al-Jism

Alam Semesta Universe Alam

Para failasuf seringkali menggunakan dua istilah dengan kata yang sama

namun berbeda secara makna. Sehingga pembaca/peneliti seringkali terkecoh saat

mencari padanan kata yang sesuai. Pada pemikiran al-Fārābī misalkan, dikenal

dua macam kata akal, akal hasil pancaran langsung dari Tuhan (bersifat makro)

dan akal yang dimiliki manusia (bersifat mikro). Keduanya memiliki makna dan

pembahsan yang jauh berbeda, namun dilafadzkan dengan satu kata yang sama;

aql.62 Sama halnya dengan beberapa kata lain seperti Jiwa dan Materi yang rentan

disalahpahami. Maka sangat perlu ditegaskan bahwa semua istilah yang disebut

diatas merupakan entitas-entitas makro bukan hal-hal yang bersifat fisik.

Dari entitas-entitas diatas, juga dapat ditelisik bahwa pembahasan

metafisika memiliki kaitan langsung dengan beberapa tema seperti ontologi,

teologi dan kosmologi.

B. Al-Kindī sebagai Pelopor Metafisika Islam

62
Lihat dalam Al-Farabi, Arad al-Madinah al-Fadilah
34

Abū Yusuf Ya‗qub Ibn Isḥaq al-Kindī atau al-Kindī (lahir di Kūfah tahun

796 M. dan meninggal di Baghdad tahun 873 M. 63), berasal dari suku Kindah,

bangsawan Arab termasyhur juga dalam kebudayaannya.64 Kakek buyut al-Kindī

bernama al-Asy‗asy ibn Qays. Ia adalah seorang sahabat Nabi yang gugur sebagai

syahid bersama dengan Sa‗d ibn Abi Waqqas ketika perang antara umat Muslim

melawan Persia di Irak. Ayahnya bernama Ibn Isḥaq al-Ṣabbah adalah Gubernur

Kūfah pada masa khalifah al-Mahdī (775-785) dan al-Rasyīd (786-809). Al-Kindī

hidup pada masa kekhalifahan Abbassiyah, yakni masa al-Amin (809-813), al-

Ma‗mun (813-833), al-Mu‗taṣim (833-842), al-Watsiq (842-847) dan al-

Mutawakkil (847-861).65

Mengenai kelahiran dan kematian al-Kindī, serta siapa-siapa saja yang

menjadi gurunya tidak diketahui secara pasti. Seperti dijelaskan oleh L.

Massignon, al-Kindī meninggal pada tahun 246 H/860 M. Menurut C. Nallino, al-

Kindī meninggal pada tahun 260 H/ 873 M. Menurut T.J. De Boer, al-Kindī

meninggal pada tahun 257 H/ 870 M. Menurut Mustafa Abd al-Rāzīq (Mantan

Rektor Al-Azhar), al-Kindī meninggal pada tahun 252 H/ 866 M. Menurut Yaqut

al-Himawi, al-Kindī meninggal setelah berusia 80 tahun atau lebih sedikit. 66 Dan

pendapat Hendry Corbin sama dengan pendapat C. Nallino.67

63
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II (Jakarta: UI-Press, 1985),
h. 43.
64
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno
(Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983), h. 5.
65
Sirajuddin Zar, Falsafah Islam: Failasuf dan Falsafahnya (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012), h. 37-38.
66
Hasyimsyah Nasution, Falsafah Islam, h. 16.
67
Sirajuddin Zar, Falsafah Islam: Failasuf dan Falsafahnya, h. 41.
35

Al-Kindī adalah orang yang rajin belajar. Saat kecil, al-Kindī belajar ilmu

pengetahuan di Basrah. Saat itu Basrah adalah pusat ilmu pengetahuan paling

terkemuka di zamannya serta merupakan pusat gerakan Kalam terbesar yakni

Mu‗tazilah dan Asy‗ariyah. Di Basrah juga lahir sekolah pertama untuk ahli-ahli

tata bahasa yang didasari oleh logika Yunani. 68 Ia sangat tertarik kepada berbagai

ilmu pengetahuan seperti falsafat, astronomi, astrologi, fisika, metafisika,

matematika, kalām (theology), kedokteran, biologi, kimia dan lain sebagainya. 69

Selain itu, ia juga rajin menghafal al-Qur‘ān, memelajari sastra Arab, bahasa Arab

dan ilmu fiqh.70

Kemudian, al-Kindī pindah ke Baghdad. Setelah menyelesaikan

pendidikannya di Baghdad, ia mengabdikan hidupnya untuk falsafat dan ilmu

pengetahuan. Selain itu juga ia bertemu dengan berbagai cendekiawan dari Suriah

dan Persia. Dari merekalah al-Kindī mulai diperkenalkan dan dibimbing membaca

karya-karya Yunani baik falsafat, logika dan berbagai ilmu lainnya. 71Al-Ahwani

mengatakan bahwa al-Kindī juga termasuk penerjemah besar bersama Ḥunayn ibn

Isḥāq, Tsābit ibn Qurrah dan ‗Umar ibn al-Farkhān al-Ṭabarī.72

Meski belum jelas kepastiannya, George N. Atiyeh dalam buku berjudul Al-

Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, al-Kindī diduga menguasai bahasa Suriah dan

Yunani.73 Sedangkan dalam buku Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, dikatakan

bahwa al-Kindī tidak menguasai bahasa Suriah dan Yunani. Maka al-Kindī belajar

68
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h. 5.
69
George N. Atiyeh, Al-Kindī, h. 5.
70
M. M. Sharif, Para Failasuf Muslim, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1996), h. 12.
71
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h. 5-6.
72
Sirajuddin Zar, Falsafah Islam, h. 39.
73
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h. 5-6.
36

karya-karya Yunani dari terjemahan seperti terjemahan ibn Na‗imah, Eustathius

(Asthat) dan ibn al-Bithriq.74 Setelah mahsyur, al-Kindī dijuluki juga sebagai

Faylasūf al-‗Arab (Failasuf Bangsa Arab). Sebab ia merupakan failasuf Muslim

pertama dari Arab yang menggeluti falsafat.75

Pada masanya, al-Kindī memecahkan banyak permasalahan ilmiah dan

falsafat. Kemudian al-Kindī juga mendapatkan dukungan untuk memperluaskan

pemikiran rasional Mu‗tazilah dari al-Ma‗mūn. 76 Karena al-Ma‗mūn menjadikan

Mu‗tazilah sebagai paham Negara. Dampaknya, karya-karya falsafat Yunani yang

bersifat rasional bisa diterima di kalangan masyarakat luas. 77 Karna itu pulalah,

penjelasan-penjelasan falsafahnya seringkali bercampurbaur dengan cara berpikir

aliran teologis ketika itu; Muktazilah.78

Aroma falsafah Aristoteles memang cukup kuat dalam karya-karya al-Kindī,

terutama dalam Falsafah al-Ula. Al-Kindī bahkan seringkali menyebut nama

Aristoteles dalam karyanya tersebut. Bukan hanya itu, bahkan al-Kindī juga

menggunakan istilah-istilah metafisika Aristoteles seperti The One, Pure form,

The First Philosophy79. Namun, metafisika al-Kindī tidak bisa dipandang sebagai

hasil terjemahan atau nukilan dari filsafat Aristoteles semata, sebagaimana

74
Felix Klein-Franke, ―Al-Kindī,‖Ensiklopedi Tematis Falsafah Islam Jilid I, ed.
Oliver Leaman dan Seyyed Hossein Nasr, terj. Tim Penyusun Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h.
209.
75
M. M. Sharif, Para Failasuf Muslim,h. 12.
76
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h. 6.
77
Sirajuddin Zar, Falsafah Islam: Failasuf dan Falsafahnya, h. 39.
78
Khusus pada persoalan metafisika, peneliti menilai bahwa catatan-catatan al-Kindī pada
persoalan itu murni menggunakan argumen-argumen falsafah. Dalam menjawab persoalan
tersebut, secara dalil al-Kindī menggunakan argumen-argumen Aristoteles serta failasuf yunani
lainnya ketimbang dalil-dalil ayat suci. Peneliti tidak menemukan satu pun ayat suci yang
digunakan oleh al-Kindī dalam kitabnya al-Falsafah al-Ula khusus pada bab-bab yang membahas
metafisika. Lih. Al-Kindī, fi al-Falsafah al-Ula, h.1-152
79
Istilah-istilah Aristoteles hasil penerjemahan W. D. Ross. Aristoteles, Metaphysics,
diterjemahkan W. D. Ross, (Oxford: Clarendon Press, 1924).
37

tuduhan Renan dan Duhem80. Terdapat banyak tema dalam risalah al-Kindī yang

berbeda dari argumen-argumen Aristoteles, bahkan beberapa diantaranya

menunjukkan penentangan terhadap wacana Aristoteles. 81 Sederhananya, al-Kindī

memiliki pandangan metafisika sendiri yang berbeda jauh dari pola yunani.

Bagi al-Kindī, metafisika adalah ilmu pengetahuan tentang apa yang tidak

bergerak, atau ilmu tentang hal-hal ilahiyah. Falsafah al-Ula, padanan kata atas

metafisika yang diberikan al-Kinde dengan mengikuti Aristoteles (First

Phiilosophy), adalah ilmu tentang kebenaran sebab yang pertama. 82 Definisi ini

didasarkan pembacaan al-Kindī atas metafisika Aristoteles, yang kemudian

diperbaharui melalui diktumnya yang populer, bahwa metafisika adalah

pengkajian masalah wujud sebagai wujud itu sendiri.

C. Diskursus Creatio ex Nihilo al-Kindī

Bilamana Tuhan Aristoteles ialah entitas penggerak yang tidak bergerak,

maka al-Kindī secara konsisten menyebut bahwa Tuhan adalah pencipta, realitas

utama penyebab dari ―tiada suatu apapun‖ (al-Mubdi‟) yang memelihara

dalam eksistensi apa yang telah diciptakan dari tiada suatu apapun.83
84
‫ىس‬ٞ ِ‫سجس ػ‬١ٝ‫أس ث‬ٝ‫ فئُ ص‬:‫جز مو ػيّز‬ٝ‫ٕ ٘ غ‬

Al-Kindī menggunakan kata al-Ibda`, hampir semakna dengan khalq

(penciptaan), dalam melihat Tuhan dengan entitas selain-Nya. Kata al-Ibda`

menunjukkan arti lebih luas daripada khalq yakni menciptakan sesuatu dari

80
Lihat Olever Leaman, Pengantar Falsafah Islam, terj. HM Amin Abdullah (Jakarta,
Rajawali Press, 1989), h.8
81
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h.
82
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h.
83
Atiyeh, Al-Kindī, h.55
84
Al-Kindī, ―Rasail al-Kindī‖, h.183
38

ketiadaan di samping menunjukkan arti ―pengurusan‖ dan ―pengaturan‖

sesuatu yang diciptakan.85 Menurut padanan istilah, al-Ibda sepadan dengan

dengan

istilah Creatio ex Nihilo:

86
‫ىس‬ٞ ِ‫ثإلدذع – إٖظ جس ثىشب ػ‬

Dan Secara tegas Al-Kindī menyebutkan bahwa proses penciptaan dari

ketiadaan ini merupakan daya khusus yang tidak dimiliki oleh sesuatu yang lain

selain Tuhan:

87
٘ ‫ٕٗ زث ثىفؼو ٕ٘ ثَىح‬
‫صص دجٌس ثإلدذثع‬

Selain pencipta, Tuhan dalam istilah al-Kindī juga disebut al-Failat, al-Illat

al-Awwal, dan al-Mutammimat al-Kull, ghair al-Mutaharrikat.88

Menurut al-Kindī, alam semesta diciptakan dalam waktu (muhdats) dan

sudah pasti Tuhan lah pencipta alam tersebut. Al-Kindī kemudian mengajukan

lima bukti, empat buah diantaranya argumen sebab-akibat kosmologis yang

didasarkan atas dalil-dalil kebaharuan (dalil al-Huduts), sedangkan yang terakhir

berdasarkan dalil teleologis.

Pertama, al-Kindī menyebut adanya keharusan entitas pencipta melalui

proses ―prinsip penentuan‖. Prinsip ini mempunyai arti bahwa sebelum

alam semesta memiliki eksistensi, maka sama-sama mungkin bagi alam semesta

untuk

85
Fuad Ahwani, Falsafah Islam, h.101
86
Al-Kindī, ―Rasail al-Kindī‖, h.165
87
Al-Kindī, Rasail al-Kindī, h.183
88
Al-Kindī, Rasail al-Kindī, h.165
39

ada atau tidak ada. Agar menjadikan kemungkinan ada itu diatas tidak ada, maka

suatu prinsip penentuan diperlukan, dan Tuhan memiliki hak atas penentuan ini.89

Kedua, al-Kindī menjelaskan konsep Tuhan yang ia sebut dengan istilah al-

Ula. Menurutnya, istilah ―satu‖ mempunyai dua arti; dapat diartikan objek-

objek tunggal dari dunia penciptaan dan juga tunggal sebagai pencipta. Konsep ini

terinspirasi dari pembedaan Aristoteles antara ke-satu-an sebagai sebuah bilangan

dan ke-satu-an sebagai sebuah ketunggalan. Al-Kindī menguatkan bahwa satu

sebagai sebuah bilangan dapat ditujukan kepada objek apapun namun satu sebagai

tunggal tidak dapat ditujukan kepada objek apapun kecuali Tuhan. Semua wujud

tunggal adalah majemuk dalam dirinya, yaitu dapat terbagi-bagi dalam

ketersusunan.90

Ketiga, al-Kindī menyatakan tentang keharusan penyebab yang pertama.

Menurut al-Kindī, sesuatu tidak dapat menjadi sebab bagi dirinya, sesuatu yang

dimaksud ialah alam semesta. Argumennya untuk menunjukkan bahwa segala

sesuat tidak mungkin menjadi sebab bagi dirinya sendiri dibangun dengan

menjabarkan segala kemungkinan bilamana alam lah penyebab bagi dirinya

sendiri. Dengan hal itu, al-Kindī membuktikan kemustahilan kemungkinan-

kemungkinan ini.91

Keempat, al-Kindī memberi analogi antara makrokosmos dan mikrokosmos.

Menurutnya, alam semesta tepat seperti tubuh manusia, dimana ia memiliki

pengatur dan penggerak yang cerdas yaitu jiwa dan alam semesta pun demikian.

89
Atiyeh, Al-Kindī, h.55
90
Atiyeh, Al-Kindī, h.57
91
Atiyeh, Al-Kindī, h.57
40

Tak ada entitas lain yang layak dan memiliki kekuatan sebagai penggerak dan

pengatur kecuali Tuhan.

Kelima, didasarkan atas argumen telelogis (dalil al-Inayah). Al-Kindī

menyebut: ―Susunan yang mengagumkan dari alam semeseta ini,

keteraturannya, interaksi antar bagian-bagiannya, cara yang menakjubkan dimana

beberapa bagian tundukkepadad pengarahan bagian-bagian lainnya. Pengaturan

yang begitu sempurna sehingga yang terbaik selalu terpelihara dan yang terburuk

selalu terbinasakan, semua ini adalah petunjuk yang paling baik tentang adanya

suatu pengaturan yang paling cerdas, dan dengan demikian berarti pula adadnya

pengatur yang cerdas.92

Dalam tulisan al-Kindī ―Tentang Sebab Efisien yang Dekat‖,

setelah menerangkan tentang gejala-gejala fisik yang yang berkaitan dengan

bintang- bintang, al-Kindī menyinggung tatanan alam dan kesempurnaannya. Al-

Kindī memandang bahwa eksistensi keteraturan, ketertiban dan keselarasan dalam

alam merupakan akibat dari pengaturan-Nya yang bijaksana.93

Al-Kindī merupakan tokoh pertama yang mensistematiskan wacana filsafat,

terutama fisalafat yunani ke dalam falsafah islam. Dalam falsafahnya, al-Kindī lah

yang pertama kali memunculkan wacana penciptaan dari ketiadaan (creation ex

nihilo). Menurutnya, semesta ini terbatas, tidak abadi dan tercipta dari yang tiada.

Ada dua prinsip Aristoteles yang digunakan oleh al-Kindī: (1) bahwa sesuatu

yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam

bentuk yang aktual; (2) bahwa materi, waktu dan gerak adalah muncul secara

92
Atiyeh, Al-Kindī, h.58-59
93
Atiyeh, Al-Kindī, h.59
41

serentak, bersamaan. Dua prinsip ini oleh al-Kindī kemudian dikembangkan

menjadi enam pernyataan:

ٜ ٌٍِ‫ش ء أػظ‬ٜ ‫ىسٍْ ٖج‬ٞ ‫ض‬ٜ‫ ُأ مو ثالجشًث ثى‬1.


‫ز‬ٝ‫ٍ ضٗسج‬, ‫شء‬

‫ج صٖج ٗثحذر دجثىفؼو ٗثىق٘ر‬ٝ ‫د ّٖج‬ِٞ ‫ أدؼجد ٍج‬, ‫ٗجز‬ٝ‫ ٗثَىضس‬2.

‫ز ٔى‬ٝ‫ىس ّٖالج‬ٞ ‫جز‬ْٖٝ‫ ٗ ٗرثى‬3.

ً ‫صذ ػو ٗثحذٍْ ٖج‬ٝ ‫ ثرث‬, ‫ٗج ز‬ٝ‫جشًث ثىَضس‬١‫ ٗمو ث‬4.


‫ ٗمُج أػظٌ ٍَج‬, ‫ مُج أػَٖظ ج‬, ‫جش‬

‫ػي رثىل ثىجش‬ٞٔ ‫ضثد‬ٝ ‫مُج ٍِ قذو ُأ‬

‫ ٕٗزث‬: ٌ‫ٕ ثىؼظ‬ٜ‫جش ثىنجِة ػَْٖج ضٍ ْج‬


ً ‫ مجُ ثى‬, ‫ ثرثَج ؼج‬, ٌ‫ٕ ثىظ‬ٜ‫ٍِ ضْج‬ٞ‫ ٗمو جٍش‬5.

ٌ‫ر ػظ‬ٛ ‫ٗ ثجخ ف مجه ػٌظ ٗمجه‬

94
ِٞ ّ‫ ٍضجج‬ِٞ‫شت‬ٞ ‫صغشٍِ مو‬١‫ ٗ ُأ ث‬6.
‫ػظٌ ٍَْٖج ٗأ دؼذ دؼٔع‬١‫ دؼذ ث‬, ‫س‬

Berdasarkan atas dua prinsip dan 6 pernyataan di atas, al-Kindī kemudian

membuktikan kebenaran pandangannya. Pertama, jika kita menyatakan bahwa

semesta ini tidak terbatas, maka kita juga harus menyatakan bahwa wujud aktual

dari semesta ini juga tidak terbatas. Namun, ini bertentangan dengan prinsip

pertama Aristoteles yang menyatakan bahwa wujud aktual adalah terbatas.

Kedua. jika wujud semesta yang diasumsikan tidak terbatas ini kita ambil

sebagiannya, maka sisanya dapat berupa wujud tidak terbatas sebagaimana

keseluruhannya, atau menjadi wujud terbatas. Namun, jika dikatakan tidak

terbatas, maka berarti ada dua hal yang sama-sama tidak terbatas, dan itu

94
Al-Kindī, ―Fî Wahdâniyah Allah wa Tanâhi Jirm al-Alam‖ Abu Ridah (ed), Rasâil al-
Kindī, h.202.
42

mengimplikasikan bahwa keseluruhan adalah sama dengan bagiannya dan itu

tidak masuk akal; jika dikatakan menjadi wujud terbatas, maka hal itu

bertentangan dengan pernyataan bahwa yang tidak terbatas tidak mungkin

melahirkan yang terbatas.

Ketiga, jika sebagiannya yang diambil tadi kita dikembalikan lagi, maka

hasilnya adalah sebagaimana yang ada sebelumnya. Namun, ini

mengimplikasikan ada sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) yang lebih besar

dari dari sesuatu yang tidak terbatas lainnya (bagian); sesuatu yang tidak masuk

akal95. Berdasarkan kontradiksi-kontradiksi logis tersebut, maka menurut al-

Kindī, semesta yang ada dalam aktualitas ini tidak dapat lain kecuali harus bersifat

terbatas; dan karena terbatas, maka semesta ini berarti tidak kekal dan tercipta dari

yang tiada (creatio ex nihilo).

Konsep al-Kindī tentang yang terbatas, tidak kekal dan tidak abadi

sebelumnya, tidak hanya berkaitan dengan hal-hal fisik semesta melainkan juga

menyangkut hal-hal yang dalam perspektif metafisika Aristoteles dianggap abadi.

Menurut al-Kindī, waktu tidak sama dengan gerak; justru waktu adalah

bilangan pengukur gerak.

96
‫جضثء‬١‫ش ثجدضز ث‬ٞ‫ٍ ذر صؼ ّذٕج ثىحشمز غ‬

Bilangan sendiri ada dua: tersendiri dan berkesinammbungan. Waktu tidak

termasuk bilangan tersendiri melainkan berkesinambungan karena waktu

merupakan jumlah dari bilangan yang dahulu dan berikutnya.97

95
George N Atiyeh, Al-Kindī Tokoh Failasuf Muslim, h.51
96
Al-Kindī, ―Rasail al-Kindī‖, h.183
43

Kemudian, jika waktu adalah kekal, tanpa permulaan seperti yang dipahami

Aristoteles (bergerak secara terus-menerus) maka waktu berarti adalah tidak

terbatas. Jika waktu adalah tidak terbatas, maka berarti tidak ada istilah

―waktu lalu‖ dan ―waktu sekarang‖, karena hal ini mengindikasikan bahwa

waktu telah memasuki alam aktualitas yang terbatas; padahal, sesuatu yang tidak

terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas. Berdasarkan hal itu, menurut al-

Kindī kita tidak dapat membayangkan adanya waktu yang tanpa permulaan, kekal

dan tidak terbatas; sebaliknya, waktu adalah dan harus ada permulaan dan

terbatas. Hal yang sama juga terjadi dengan gerak. Kesimpulannya, jika waktu

dan gerak adalah ada permulaan dan terbatas, maka ia berarti tercipta, tercipta

dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada.

Begitupun dengan jiwa yang juga dianggap baharu oleh al-Kindī. Jiwa

adalah prinsip kehidupan yang terdapat dalam benda langit. Jiwa berfungsi

membentuk dan mengatur keseimbangan gerakan yang ada pada benda langit.

Jika tidak ada jiwa, maka gerak benda-benda langit tidak akan seimbang.

Akibatnya, jika gerak benda langit tidak seimbang seperti Matahari terlalu jauh

atau terlalu dekat dengan benda langit lainnya, konsekuensinya ialah chaos yang

dapat memusnahkan. Al-Kindī menyebut bahwa Jiwa pada benda langit memiliki

kemampuan nalar. Kemampuan nalar tersebut memiliki dua daya yaitu daya

melihat dan mendengar yang berfungsi sebagai sarana pengetahuan. Karna itu,

benda-benda langit dapat bergerak secara teratur (cosmos), melalui jiwa yang

memiliki daya-daya tersebut.

97
Fuad el-Ahwani, ―Al-Kindī‖ dalam MM. Syarif, Para Failasuf Muslim, terj. A. Muslim,
(Bandung, Mizan, 1996), h.24
44

Dalam kitab Rasa‘il al-Kindī, al-Kindī memiliki beberapa pengertian

tentang jiwa, yaitu:

‫يحز‬ٞ ‫ؼ آىز قذو ىث‬ٚٞ‫ز جًش غذ‬ٞ‫ صٍَج‬-

‫ٕ ٕ٘جشػقو ٍضحشك ٍِ رثٔص‬ٜ - ‫حجر دجى٘قر‬ٞ ‫ر‬ٙ ‫ؼ‬ٚ ‫ذ‬ٞ‫ٕ ثسضَنجه ثٗه ىجٌس غ‬ٜ -

‫دؼذد ٍؤىّف‬

Berdasarkan hal itu, al-Kindī berarti mempunyai konsep sendiri yang tidak

sama dengan Aristoteles (384–322 SM) yang menyatakan bahwa semesta adalah

terbatas dalam ruang (materi) tetapi tidak terbatas dalam waktu dan gerak. Begitu

pula, al-Kindī tidak sesuai dengan Plato (428-347 SM) yang menyatakan bahwa

semesta adalah terbatas dalam waktu tetapi tidak terbatas dalam materi (ruang).

Sebab, bagi al-Kindī, ruang, waktu dan gerak, ketiganya adalah sama-sama

terbatas dan tercipta. Meski demikian, al-Kindī berkesesuaian dengan Plato dalam

masalah hubungan antara gerak dan waktu. Menurut keduanya, waktu muncul

seiring bersama gerak dan perubahan, di mana ada gerak dan perubahan berarti di

situ ada waktu, begitu juga sebaliknya. Tuhan, karena tidak berubah, maka tidak

berkaitan dengan waktu, dan karena itu Dialah satu-satunya entitas tidak bermula

(kekal) dan abadi98.

98
Fuad Ahwani, Falsafah Islam, h.24. Lihat juga Atiyeh, Al-Kindī, h.53.
BAB IV

STUDI KOMPARASI TEORI LIMA KEKAL AL-RĀZĪ DAN EMANASI

AL-FĀRĀBĪ

A. Teori Lima Kekal al-Rāzī

1. Dasar dan Sumber Teori Lima Kekal

Metafisika al-Razi, Teori Lima Kekal al-Razi, merupakan hasil pemikiran

yang sering menjadi polemik dalam literatur falsafah Islam. Kalangan ilmuan

klasik menisbatkan doktrin lima kekal ini pada ajaran kaum kuno Sabian/Shobi‘ah

dari Harran99. Belakangan diketahui melalui P. Kraus bahwa teori metafisika

tersebut berasal dari failasuf yunani kuno sebelum Aristoteles:

‫ال٘جذ إال‬ٝ ّٔ‫ص مجأ‬ٛ‫ّث قذو ىث شث‬ِٞٞ‫ى ثىخش‬ٜ‫ف ثىقذٍجءثىَخسز دٍْ٘س ج ث‬ٜ ‫٘جذ رمش ثىق٘ه‬ٝ ‫ ال‬1 ).

.‫ز‬ٞ‫ص ٗآسثٔػ ثىفيسف‬ٛ‫ِ ٌٖى ؼٍ شفز دنضخ ثىشث‬ٞ‫ْػذ ٍؤىف‬


‫أ‬ْٝ
‫ّث‬ِٞ ‫ف مضجح ثى ٌؼي ثإل آسثء ثىصجدؼز ثىحش‬ٜ ‫ص دسػ‬ٛ‫ف ثىفصو ثىسجدق ُأ ىث شث‬ٜ ‫ س ج‬2 ).
‫ٖى‬ٜ
.‫ف ثىقذٍجءثىخَسز‬ٜ ‫ ٍٕز ٔذ‬ٞٔ‫مجّٔأ دسػ ف‬

ِّٞ‫ّ٘ج‬ٞ‫ػ ُأ ٕزث ٍٕز خ ثىفالسفز ثى‬ٜ ‫ف ثىقذٍجءثىَخسز ثد‬ٜ ‫ص ْػذ ق٘ٔى‬ٛ‫ظٖش ُأ ىث شث‬ٝ 3).

.100‫س‬ٞ‫ز مّ٘ج ث قذو أسسطجغي‬ِٝ‫ثى‬

Pernyataan di atas, merupakan bantahan-bantahan P. Kraus terhadap

beberapa ilmuan klasik seperti, Al-Mas‘udi, al-Qazwini, dan Ibn al-Jawziyyah

99
Sabian/Shobi‘ah dari Harran disebut sebagai aliran kuno/pagan yang bersifat dualis, dari
pengikut Zoroaster dan Manichean. Aliran ini juga terkadang diidentifikasi melalui tradisi filosofi
Alexandrian, yang telah menemukan jalannya dari Baghdad melalui Antiokh dan Harran. Kunci
untuk memahami bagaimana aliran Sabian itu melalui seorang tokoh bernama al-Sarakhsi, murid
al-Kindī yang juga sering dikait-kaitkan dengan al-Rāzī. Al-Sarakhsi pernah menyebut bahwa
agama mereka (dualis) adalah agama yang sesuai dengan pengetahuan serta fitrah manusia.
Begitupun dengan nabi-nabi mereka seperti Hermes dan Aghathodaimon, yang terkadang juga
disebut sebagai ―para Rasul‖ dan terkadang juga disebut sebagai ―Malaikat‖.
100
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 192-193.

45
46

bahwa Sabian dari Harran merupakan ―sumber utama yang mempengaruhi

filsafat al-Rāzī‖.101 Pada komentar ketiga di atas, Kraus dengan menukil

perkataan al- Rāzī secara tegas menjawab bahwa ini (teori lima kekal) adalah

aliran filsafat orang-orang Yunani sebelum Aristoteles.

Sebagai penguat temuan, Kraus menambahkan beberapa nukilan komentar

dari beberapa tokoh yang juga membahas teori lima kekal; ―Al-Biruni

berkata:

―Muhammad bin Zakariya al-Rāzī telah mengisahkan tentang Kekekalan dari

Lima Hal dari kaum Yunani awal...‖ Al-Marzuuqy berkata: ―Inilah apa

yang dikisahkan dari Kaum Awal. Ibnu Zakariya berputar-putar dalam omong

kosong pada argumen-argumennya sekitar topik yang sudah kami sebutkan. Dia

tidak menjelaskan argumentasi mereka dan tidak pula memahami maksud

mereka. Oleh karena itulah dia menjadi pengikut mereka.‖ Al-Marzuuqy

juga berkata:

―Sebagian dari mereka menerangkan (topik tersebut), sembari mengisahkan

Kaum Yang awal...‖ Al-Kaatiby berkata: ―Muhammad bin Zakariya mengira

bahwa ini adalah aliran sejumlah filsuf sebelum Guru yang Pertama.‖

Adapun Fakhruddiin al-Rāzī, dia telah menghubungkan pandangan

mengenai Lima Yang Kekal dengan Para Filsuf yang Terdahulu. Al-Jirjaany

berkata: ―Imam al-Rāzī berkata bahwa aliran ini tersembunyi di antara

aliran- aliran yang lain. Maka Ibnu Zakariya al-Thabiib al-Rāzī condong

kepadanya dan mengemukakannya, serta menyusun satu buku mengenainya

yang diberi judul

„Pandangan Tentang Lima Yang Kekal‟.‖ Semua ini sejalan dengan perkataan

Shaa‘id al-Andalusy bahwasanya al-Rāzī dalam bukunya al-„Ilm al-Ilaahy


47

101
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, ter., Khoiron Nahdiyyin, h. 241-242.
48

―sangat menyimpang dari Aristoteles dan merupakan sebuah aib baginya saat dia

menyelisihi sang guru, Plato, dan selainnya dari kalangan filsuf pendahulu

mereka,‖ dan bahwasanya dirinya ―berada pada aliran Phytagoras dan

para pendukungnya, serta menolong filsafat alam Yunani kuno.‖

Lantas kemudian, kepada aliran manakah teori lima kekal ini dirujuk, yang

oleh al-Rāzī dan para komentator di atas disebut dengan istilah ―aliran

sebelum Aristoteles‖. Kraus dengan menukil pendapat Ibn Taimiyah

berpandangan bahwa Demokritus adalah orang yang mengatakan tentang Lima

Yang Kekal dan al-Rāzī mengambil pandangan tersebut darinya:

‫ص أخز‬ٛ‫ ٘ه دجىقذٍجءثىَخسزٗ ّٔأ ىث شث‬ٝ‫س مجُ ق‬ٞ‫َقشثغ‬ٝ‫ى ُأ د‬ٜ‫ٕز خ إ‬ٝ ‫ز‬ٞ‫ص‬َٞ ‫فُج ٗجذّج ثِد‬
102
ْٔ ٍ‫رثىل ثىق٘ه‬

Sebagai tambahan, peneliti kontemporer seperti Abdurrahman Badawi

menilai bahwa al-Rāzī memang tidak mengikuti aliran filsafat tertentu tokoh

tertentu secara konsisten. Ia bahkan menyebutnya tidak memiliki sistem falsafah

yang teratur (no organized system of philosophy). Dalam beberapa hal, al-Rāzī

menyebut Plato sebagai gurunya tapi ternyata tidak seluruh pemikirannya

diterima. Pemikiran Aristoteles, Galen hingga Sokrates yang banyak dikritik oleh

al-Rāzī sendiri, dalam kesempatan lain justru dikembangkan dan dipadukan satu

sama lain.103

2. Struktur Teori Lima Kekal

a. Tuhan

102
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 194.
103
Abdurrahman Badawi, Muhammad Ibn Zakariah, dalam M.M Sharif, MM. Syarif, Para
Failasuf Muslim, terj. A. Muslim, (Bandung, Mizan, 1996), h.448
49

Tuhan dalam skema al-Rāzī disebut dengan istilah al-Bari, yaitu penguasa

segala hal yang memulai kehidupan dengan daya yang disebut akal. Karena itu,

al-Rāzī menyebut bahwa Tuhan sesungguhnya ialah akal murni:

‫ط ثىْ٘س ِػ‬ٞ‫ثىحجر مف‬ ٖ٘ ‫يحٔق‬ٝ ‫ََفج صٍٔء ُث ثدجسا صجً ثىحَنز ال‬
ٞ ‫ط ٍْٖج‬ٞ‫س ٗال غفيز ٗصف‬
104
‫قشصز ثىشَس ٕ٘ٗ ثىؼقو ثىٌض ثَىحط‬

Akal dalam skema al-Rāzī memiliki posisi penting yang disebut seperti

energi yang dipancarkan Tuhan kepada Jiwa. Hal ini disebut al-Rāzī sebagai

pancaran sebagaimana matahari memancarkan sinarnya.

105
‫شجء ؼٍ شفز صج ٍّز‬ٞ١‫ شف ث‬ٝ‫ى ؼ‬ٜ‫فط ىث ْ٘سػِ ثىقشصٕٗ ٘ صؼج‬ٞ‫ط ءّٔ ثىؼقو م‬ٞ‫ٗ ف‬ٝ

Dia Yang Maha Tinggi, Memancar dari-Nya Akal seperti cahaya yang

memancar dari sumbernya. Tuhan adalah sebab yang mengharuskan keberadaan

esensi yang murni dari materi. Artinya esensi tersebut tidak condong dan tidak

terikat dengan materi. Keberadaan esensi ini bukanlah pilihan, melainkan

keharusan yang ada pada dirinya sendiri. Sebagaimana pancaran cahaya pada

matahari, atau sinar pada lampu, dan juga panas pada api, bukanlah suatu pilihan,

melainkan keharusan. Esensi ini yang muncul pertama kali dari Sang Pencipta

secara sengaja. Selainnya, muncul dari-Nya Yang Maha Tinggi melalui

perantaraan. Sebab sesungguhnya yang hakikatnya adalah satu, tidaklah muncul

darinya kecuali sesuatu yang satu pula. Hal ini adalah juga pandangan para filsuf.

Bersamaan dengan itu mereka meyakini kenyataan bahwa Dia Yang Maha Tinggi

mengetahui hakikat segala sesuatu dan pengertian dasarnya secara sempurna.

104
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 197.
105
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 203.
50

b. Jiwa dan Materi

ٌ‫ش جء ٍجى‬ٞ‫فط ثىْ٘سػِ ثىقشص ىنْٖج جٕج يز الصؼ ٌي ثال‬ٞ ‫ثىح٘ثر‬


ٞ ‫ط ْٖػج‬ٞ‫ف‬ٝ ّٔ‫ٗ ٍثج ثّفس فج‬
106
‫َصجسٖس ج‬

‗Adapun Jiwa,‘ yaitu esensi yang murni. Jiwa kekal dan merupakan sebab

bagi kehidupan. Ketersebabannya itu adalah harus, ‗seperti cahaya yang

memancar dari sumbernya,‘ yakni matahari. ‗Akan tetapi Jiwa ini bodoh. Dia

tidak mengetahui sesuatu,‘ dan pengertian dasarnya, ‗sebelum mempelajarinya.‘

Sebagaimana manusia, tidaklah dia megetahui bagaimana membuat panah, dan

juga perkakas buatan lainnya, sebelum mempelajarinya. Dengan kebodohan Jiwa

ini, dia tidak mengetahui kondisinya sebagai sesuatu yang kekal. Dia juga tidak

mengetahui keadaannya pada saat itu. Dengan argumen ini, al-Rāzī membantah

sangkalan pemikiran yang tidak mengakui kekalan Jiwa. Di mana argumen ini

berbunyi; kalau seandainya Jiwa itu kekal, tentu dia akan mengingat keadaannya

pada saat terdahulu itu, dan dia juga akan mengetahui kondisinya sebagai sesuatu

yang kekal. Argumentasi ini menurut al-Rāzī tidak benar. Sebab baginya,

keharusan semacam itu tidaklah mesti.

Menurut al-Rāzī, hal tersebut akan membenarkan kondisi Jiwa yang

mengetahui sesuatu sebelum mempelajarinya, dan itu tidaklah mungkin. Jiwa itu

sebelum terikat dengan Materi, adalah bodoh. Kosong dari pengetahuan. Dia

mencapai pengetahuan hanya setelah mempelajarinya. Pencapaian itu tidak terjadi

kecuali setelah Jiwa itu terikat dengan Materi. Patut diperhatikan, al-Rāzī tidak

meniadakan semua pengetahuan dari Jiwa sebelum keterikatannya dengan Materi.

106
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 204-205.
51

Sebab bagi al-Rāzī penciptaan Alam adalah ketika kejadian di mana Jiwa menoleh

ke Materi, yang mana hal ini mengharuskan adanya sebuah anggapan bahwa pada

saat itu Jiwa memiliki suatu bentuk pengetahuan akan kebijaksanaan.

‫ى ٗ صؼشٖقج ٗ صطجح ثىيزس‬ٜٞ٘‫ى ثىضؼيق دجٖى‬ٜ‫و إث‬ٞ‫ى ػجَىج دُأ ثىْفس َص‬ٜ‫ٗ مجُ ثىذجسا صؼج‬
107
‫جسًج صٗ ْس ّٖفسج‬١‫َس ز ٗصنٓشٍ فجسقز ث‬ٞ‫ثىج‬

Sang Pencipta Yang Maha Tinggi, dengan kesempurnaan ilmunya,

‗Mengetahui bahwa Jiwa akan condong kepada keterikatan dengan materi dan

merindukannya, dia menuntut kenikmatan jasmaniyah, membenci

keterpisahannya dari jasad dan melupakan dirinya sendiri,‘ serta tempat asal dan

pusat hakikatnya. ‗Karena memang merupakan urusan Sang Pencipta Yang

Maha Tinggi,‘ puncak, ‗kebijaksanaan,‘ Dia menciptakan segala sesuatu yang

ada dalam rupanya yang paling baik dan paling layak sebisa mungkin yang

mencakup manfaat dan maslahat, ‗Dia pun membangun materi, setelah Jiwa

terikat dengannya, dan menyusunnya menjadi berbagai macam bentuk,‘ artinya,

Sang Pencipta melekatkan pada materi itu berbagai macam bentuk dari rupa-rupa

sehingga menjadi bentuk-bentuk susunan, ‗seperti langit dan unsur-unsur

lainnya, Dia juga menyusun rupa-rupa hewan dalam bentuknya yang paling

sempurna.‘ Al-Rāzī menyebut:

‫ج‬ٖٞ‫ى دؼذ صؼيق ثىْفس ٖدج فشم‬ٜٞ٘‫ى ثٖى‬ٜ‫ى ثىحَنش ثىضٍجز َػذ إ‬ٜ‫ٗ ى َّجمجُ ٍِ شجُ ثىذجسا صؼج‬

,‫َم و‬١‫ي ثى٘ٔج ث‬ٜ‫حثّجس ػ‬ٞ٘‫جسج ثى‬ ٞ ‫ظٗش دج ٍِ ث‬


ً ‫ىضشمخ ٍثو ىث َ٘سثس ٗثىؼْجصش ٗسمخ أ‬
108
‫ِن إصثىٔض‬َٝ ‫ ال‬١ّٔ ‫جٍِ ثىفسذ فزىل‬ٖٞ‫ق ف‬ٜ‫ز د‬ٛ‫ٗ ثى‬

107
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 206.
108
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 206.
52

Maka, ―Bentuk dan rupa‖ dalam skema al-Rāzī merupakan konsekuensi atas

‖perkataan, Kemudian, Materi. dan Jiwa ―bersatunya ‗ ‫فٖج ٍِ ثىفسذ فزىل‬ٞ ‫ق‬ٜ‫ز د‬ٛ‫ٗ ثى‬

١ّٔ‫نِ ال‬َٝ ‫ ‘إصثىٔض‬di atas, adalah jawaban bagi pertanyaan yang aksiologis, yakni; kalau

memang Tuhan Yang Maha Tinggi sempurna ilmu dan kebijaksanaan-Nya

mengapa keburukan, kesia-siaan, dan kerusakan, sebab jasad hewani muncul dari-

Nya dan jasad tersebut mengandung suatu bentuk kerusakan tersendiri? Jawaban

atas argumen tersebut adalah bahwasanya bagi al-Rāzī keburukan, kesia-siaan,

dan kerusakan itu tidak mungkin dihilangkan dari ciptaan. Sesungguhnya api

tidaklah menjadi api kecuali dia membakar apapun yang dapat terbakar meskipun

pada pembakaran itu ada suatu bentuk kerusakan tersendiri. Kalau api itu tidak

dapat membakar, tentulah dia bukanlah api.

Sementara itu, tidak mungkin bagi api membakar sesuatu kecuali diiringi

dengan kondisi di mana kalau ada baju yang mengenainya maka baju itu akan dia

bakar. Seperti itu pula tidak mungkinnya membuat pisau dalam keadaan yang

mampu dimanfaatkan kecuali diiringi dengan kondisi di mana kalau dia mengenai

tangan seseorang. Ketika tidak mungkin lagi melepaskan keburukan-keburukan

dan kesia-siaan ini dan pada saat yang sama keterikatan antara Jiwa dan Materi itu

adalah suatu keharusan, Sang Pencipta yang Maha Bijaksana lantas mengubah

keterikatan itu menjadi rupa yang paling baik sebisa mungkin. Maka

penciptaannya dalam rupa tersebut tidak mencederai kebijksanaan dan ilmu yang

sempurna. Dengan ini hilanglah kerancuan yang sudah disebutkan.109

109
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 208.
53

Kembali ke persoalan Jiwa dan Materi. Menurut al-Rāzī, Tuhan, ketika

mengetahui kebodohan Jiwa dan keterikatannya dengan Materi, kerinduannya

padanya, bencinya perpisahan dengannya, lupanya akan alam asalnya, bodohnya

akan dirinya sendiri, yang mana pada semua itu ada kerusakan besar yang tidak

selayaknya bagi hikmah Yang Maha Bijaksana, Dia pun ―mengoreksi‖ kerusakan

ini dengan, ‗meluapkan Akal dan Persepsi dari Jiwa. Keduanya menjadi sebab

Jiwa mengingat alam asalnya,‘ yaitu alam ruh, ‗dan sebab bagi

pengetahuannya,‘ bahwa dirinya adalah asing di alam ini dan, ‗bahwa selama dia

berada di alam Materi ini, dia tidak akan terbebas dari bermacam penderitaan.‘

Al-Rāzī mengatakan:

‫سج‬ٞ ٗ ‫سجّ ىضزمش ػجَٖىز‬ٞ ‫ى أفجض ػو ثىْفس ػقال ٗإدسثمج ٗصجس رثىل‬ٜ‫ثٌ إّٔ سذحجّٔ صٗ ؼج‬
110
‫ثاًل‬ٟ ‫ال الْصفل ِػ‬
ّٜ ٞ٘ ‫ف ثىؼجٌى ثٖى‬ٜ ‫ىؼيَٖج دّأٖج ٍجدٍثش‬

Semua yang pada alam ini diyakini sebagai kenikmatan, pada hakikatnya

bukan suatu kenikmatan, melainkan upaya pembebasan dari penderitaan.

Sesungguhnya kenikmatan duniawi tidaklah mengandung kebahagiaan yang

otentik, sebab setiap kenikmatan itu tidaklah terlepas dari kekurangan-kekurangan

yang krusial. Kenikmatan jasmani paling tinggi adalah hubungan seksual, di mana

seks itu sendiri sebenarnya hanyalah karena saripati mani telah terkumpul di

dalam tempayannya sehingga tabiat menuntut pengurangan agar bebannya hilang

dan dapat terhindar dari kerugian. Oleh karenanya seseorang akan merasakan,

setelah melepaskannya, keringanan dan kelegaan pada jiwa. Seperti itu pula

kenikmatan tertinggi lainnya setelah kenikmatan seks, yaitu makan pada saat lapar

110
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 206.
54

dan minum pada saat haus. Keduanya dibuntuti dengan banyak penderitaan. Dari

keduanya lahir zat-zat yang menyebabkan bermacam penyakit. Sehingga

kemudian keduanya membutuhkan pengurangan kelebihan kotoran dan buang air,

besar dan kecil, pada tempat-tempat yang kotor. Semua kenikmatan lainnya dapat

dianalogikan dari kedua bentuk kenikmatan ini, di mana semuanya tidak akan

lepas dari kekurangan dan banyak penderitaan.

‫ى رثىل‬ٜ‫ثاًل ثشضجقجس إ‬ٟ ِ‫ز ػ‬ٞ‫ف ػجَٖى ج إىيزثس ثىخجى‬ٜ ‫ٗ إرث ػشفضٔ ثىْفس رثىل ػٗ شفش ُأ ىٖج‬
111
‫ز ثىٖذ جز ثٗ ىسؼجدر‬ٝ‫ف ّٖج‬ٜ ‫أدجد‬ٟ ‫قش ْٕجك أدذ‬ٞ‫ثىؼجٌى ػٗ شجش دؼذ ثَىفجسقز ٗد‬

Ketika Jiwa mengetahui apa-apa yang Tuhan berikan kepadanya berupa

Akal dan ―ingatan” tentang alam asalnya, yaitu alam ruh, (kenikmatan

yang terlepas dari penderitaan) maka Jiwa akan meyakini bahwa alam Materi ini

sebagai kenikmatan yang pada hakikatnya bukanlah kenikmatan, melainkan suatu

prasangka dan perkiraan semata. Pada saat itulah kata al-Rāzī, Jiwa ―mendengar

Sang Penyeru‖ ... dan ―melantukan kepadanya‖ ...112 ‗dia akan merindukan alam

itu,‘ sebagaimana seorang pengembara yang merindukan kampung halamannya;

tempat kelahirannya, asal kemuliaannya, tempat tinggal keluarga dan

kecintaannya. Untuk sampai ke ―sana‖ tidak bisa tidak kecuali dengan

memutuskan ikatan-ikatan duniawi dan ikatan materi. Menurut al-Rāzī, pada saat

Jiwa itu berpisah dari Materi, ‗dia akan naik menuju alam itu dan tinggal di sana

selama-lamanya dalam puncak kenikmatan.‘


111
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 207.
112
Titik-titik setelah frasa ‗Sang Penyeru‘ dan juga ‗dan melantukan kepadanya‘ sepertinya
dimaksudkan penulis sebagai tempat untuk ayat Irji‟ii ilaa rabbika (surat 89 ayat 28) dan untuk
ayat Ilaihi Yash‟adu al-Kalimuth-Thayyib (surat 35 ayat 10) atau ayat Ta‟rujul-Malaa-ikatu war-
Ruuhu ilaihi (surat 70 ayat 4). Rujuk surat Awazbir Jibril kepada Syihaabuddiin Yahya bin Habsy
As-Suhrawardy (diterbitkan oleh H. Corbin dan P. Krunus pada majalah Journal Asialique tahun
1935, edisi 2 halaman 59). Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 207.
55

Sekarang tinggal dua pertanyaan. Pertama, mengapa Jiwa bisa terikat

dengan Materi padahal sebelumnya tidak terikat? Apabila keterikatan itu terjadi

tanpa sebab, maka boleh jadi kejadian keseluruhan Alam juga tanpa sebab. Kedua,

mengapa Sang Pencipta tidak menahan Jiwa dari keterikatan dengan Materi?

Padahal karna keterikatan itu, muncul keburukan.

Pertama, al-Rāzī menjawab, bahwa pertanyaan ini tidak dapat diterima jika

berasal dari kalangan Ahli Kalam karena ―mereka‖ berpandangan bahwa

sesuatu yang mampu memilih kadang memilih salah satu pilihan dari sekian

pilihan yang ada tanpa perlu pertimbangan. Lantas mengapa mereka tidak

menerapkan pandangan serupa pula pada kasus jiwa.

Jiwa dalam pandangan al-Rāzī, mampu memilih. Lantas jiwa pun memilih

keterikatan dengan Materi pada waktu itu, bukan sebelum atau sesudahnya, tanpa

pertimbangan apa-apa. Karena, ‗sesuatu yang mampu memilih,‘ boleh untuk,

‗kadang memilih salah satu pilihan dari sekian pilihan yang ada tanpa

pertimbangan.‘ Sebagaimana Ahli Kalam juga berpandangan bahwa Alam

tercipta pada waktu tertentu karena Tuhan Yang Maha Tinggi memilih

penciptaannya pada waktu itu, bukan sebelumnya atau sesudahnya, tanpa

pertimbangan apa-apa karena Tuhan memang mampu untuk memilih itu, dan

sesuatu yang mampu memilih sudah jadi haknya untuk melakukan itu.

Bagi al-Rāzī, pertanyaan ini juga tidak dapat diterima jika datang dari

kalangan failasuf sebab para failasuf meyakini hukum kausalitas, maka mengapa

para failasuf tidak membolehkan perkataan bahwa Jiwa itu kekal dan memiliki

konsepsi-konsepsi yang terus terbaharui, tidak saling bertentangan, dan setiap


56

yang sebelumnya adalah sebab bagi yang setelahnya hingga berujung pada

konsepsi yang mengharuskan keterikatan tersebut? Sederhananya, al-Rāzī, dengan

mengikuti prinsip para failasuf, menetapkan bahwa, ‗yang sebelumnya adalah

sebab yang mengakibatkan yang setelahnya,‘ tanpa ada penghabisan.

‗Kedua,‘ kalau Tuhan telah tahu, ketika Jiwa cenderung kepada keterikatan

dengan Materi, bahwa keterikatan tersebut sebab bagi kerusakan dan keburukan,

hal itu akan mengharuskan sesuatu yang mustahil. Karena apabila Tuhan tidak

mampu menahan Jiwa dari keterikatan itu, maka itu berarti dia dikalahkah oleh

Jiwa, dan kalau seperti itu keadaannya, sesungguhnya hal tersebut tidak absah

bagi ketuhanan-Nya dan bertentangan dengan premis dasar al-Rāzī, Tuhan Yang

Maha Tinggi. Namun apabila Tuhan mampu menahan skema keterikatan itu, dan

pada saat yang sama Tuhan tidak menahannya, hal tersebut menjadikan Tuhan

tidak menjadi lagi sempurna dalam Ilmu dan Kebijaksanaan sebab sesuatu yang

tidak mengandung kebaikan telah terjadi dalam kekuasaan-Nya.

Artinya, pernyataan tersebut hanya harus dipertanyakan apabila tidak

terdapat kebaikan pada ketiadaan penahanan Jiwa dari keterikatan dengan Materi,

dan hal itu tidak benar, sebab menurut al-Rāzī, ada kebaikan yang besar di balik

―ketidak mauan-Nya‖ Tuhan menahan Jiwa atas Materi. Kebaikan itu menurut al-

Rāzī adalah pengetahuan-pengetahuan, kesempurnaan indrawi dan kenikmatan

hakiki setelah berpisahnya jiwa dan materi.


57

‫ض ّإٖج دْفسٖج َصْضغ‬ٜ‫ص ش ػجَىز َدعجس ٕزث ثىضؼيق ح‬ٞ‫صيح ىيْفس ُأ ص‬١‫ُدأ ثىذشا ػٌي دُأ ث‬

ِ‫ز ٍ ٌي صن‬ٞ‫ى صنضسخ ٍ ِ ثىفعجةو ثىؼقي‬ٜٖٞ٘‫أعجّ فجىْفس ثَىخجىٖط ج ثى‬ٝ ٗ .‫ػِ صيل ثَىخيطز‬
113
.‫ٍ٘ ٘ج در‬

Jiwa itu bodoh mengenai hakikat segala sesuatu, tidak memiliki

kesempurnaan-kesempurnaan “logis dan praktis,‖ maka dia pun mengikatkan diri

dengan Materi agar materi itu mampu menjadi alat yang menolongnya

memperoleh keutamaan-keutamaan dan pengetahuan-pengetahuan. Artinya,

Tuhan dengan kuasanya dapat menahan kejadian terikatnya jiwa dengan materi,

namun karena kebijaksanaan-Nya, Tuhan membiarkan skema demikian terjadi

demi kesempurnaan Jiwa dan juga materi:

114
‫٘ى‬ٜ ٞ‫غ ثىذجسا ثىْفس ٍِ ثىضؼيق ٖدجى‬ْٝ ‫ ٌى‬ِٞ‫ز ثىؼشظ‬ِٝ ‫فٖي‬

Lantas kemudian, kalau seandainya Tuhan itu Maha Tinggi sempurna Ilmu

dan Kebijaksanaannya, Tuhan pasti menciptakan bagi Jiwa suatu pengetahuan

mengenai bahaya-bahaya keterikatan dan menciptakan baginya pula keutamaan-

keutamaan logis dan praktis tanpa perlu diperantarai ―kejadian keterikatan‖.

Al- Rāzī mengatakan, pola demikian tidak bisa diterima. Hal tersebut dapat

menjadi benar hanya apabila Jiwa dapat menerima pengetahuan tanpa terikat

dengan materi, sedangkan hal tersebut dalam skema al-Rāzī ialah suatu

ketidakmungkinan.

115
‫ثىز ٗث٘ىثسٔط‬ٟ ‫شتج ٍِ ثىؼيً٘ إالٖدٓز‬ٞ ‫فُج ثىْفس الصقذو‬

113
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 211.
114
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 212.
115
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 213.
58

Dengan itu, mustahil bagi Jiwa menerima pancara ilmu dari Tuhan tanpa

adanya Materi yang melekat pada jiwa. Dalam skema ini, al-Rāzī memperlihatkan

kejadian pancaran melalui Tuhan, Akal, Jiwa Universal, dan Materi Pertama, yang

akhirnya membentuk alam hingga manusia. Jiwa akan tetap tinggal dalam materi

selama ia tidak dapat mensucikan diri. Penyucian diri ini dapat dilakukan melalui

Falsafah, dan bila jiwa telah suci, maka jiwa dapat kembali ke asal-muasalnya

yang memang telah eksis sebelumnya. Pada saat itulah jasad alam semesta hancur

dan kembali menjadi materi pertama.116

c. Ruang dan Waktu

Menurut al-Rāzī, al-Dahr dan al-Khala‟ merupakan pengetahuan yang

tertanam dalam naluri dasar manusia tanpa perlu diberi penjelas argumentasi

apapun117. Secara sederhana, al-Rāzī menyebut karena tidak ada seorang yang

tidak dapat membayangkan dengan akalnya keberadaan sesuatu serupa

―tampungan‖ atau ―bungkusan‖ bagi segala jasad, juga keberadaan sesuatu

yang memberi tahu mana ―yang dahulu‖ dan mana ―yang kemudian‖, dan bahwa

waktu kita bukanlah waktu yang sudah berlalu maupun yang akan datang nanti,

melainkan ia berada di antara keduanya dan bahwasanya ada kepastian sesuatu

yang memiliki jarak dan bentangan.

Al-Rāzī menyebutkan bahwa Ruang dan Waktu mutlak dengan Ruang dan

Waktu relatif berbeda jauh sekali. Karena Ruang yang Relatif adalah tempat bagi

sesuatu yang bertempat. Apabila ia tidak bertempat, maka ia bukanlah tempat.

Sedangkan waktu yang diukur dengan jumlah gerakan jism maka akan ada dua hal
116
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 56.
117
Tien Rohmatien memberi 10 alasan mengapa, dalam hal ini waktu, tak memerlukan
argumen-argumen penjelas lagi. Lihat, Tien Rohmatien, al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, h. 91-95.
59

yang bergerak dalam satu waktu dengan dua bilangan yang berbeda. Keberadaan

entitas yang diukur dengan pergerakannya adalah sesuatu yang reatif.

Adapun Ruang yang Mutlak adalah ruang yang di dalamnya ada Jasad

maupun tidak ada Jasad, dan Waktu yang Mutlak adalah durasi yang terukur

maupun tidak terukur. Gerakan bukanlah faktor bagi Durasi, melainkan

pengukurnya, dan bertempat bukanlah faktor bagi Ruang melainkan keadaan di

dalamnya.

“Sebagian kalangan menduga-duga bahwa Kekosongan (khala‟) adalah

Ruang dan bahwa Masa (dahr) adalah Waktu. Namun masalahnya tidak

sepenuhnya seperti itu. Kekosongan adalah keterpencilan yang hampa dari

Jasad, dan mungkin bagi Jasad untuk menempatinya. Sedangkan Ruang adalah

hamparan yang terdiri dari yang mencakupi dan yang tercakupi. Adapun Waktu

adalah sesuatu yang diukur dengan Gerakan dari saat yang durasinya tidak

terhitung.

Al-Rāzī, setidaknya ingin menyebut bahwa ruang relatif tercakupi oleh sekat

tinggi, lebar, dan panjang. Tercakupi di dalamnya materi dengan kuantitas berat

dan ringan. Sedangkan waktu relatif ialah hitungan gerak jism. Hitungan yang

menghasilkan awal dan akhir. Mengenai ruang dan waktu yang mutlak, secara

tegas al-Rāzī menyebut bahwa kedua entitas ini keberadaannya ada dengan

dirinya sendiri, dan tidak bergantung atas entitas-entitas lainnya.


60

ٔ ‫ح ثىفطشر َدضْجع ثسصفج‬ٝ‫ٖشذ صش‬ٝ ‫ ثى٘ثجخ ىزثٔص‬١ُ ‫عج ثٗ جخ ىزثٔص‬ٝ‫ٗ أ ٍّج ثىفعجء ٖف٘ أ‬
,‫ػ‬

‫غ ش‬ٞ ‫َض ضر دحسخ ثإلشجسس ٗ رثىل‬ٞ ٍ ‫قش ثىٖج جس‬ٞ‫ ٘ى ثس صفغ ثَىج د‬١ّٔ ‫ٗ ثىفعجء مزىل‬
118
‫ثَىؼق٘ه‬

Adapun Ruang,‘ maka al-Rāzī berargumentasi untuk kekekalannya-nya

dengan mengatakan bahwa dia, ‗harus karena dirinya sendiri,‘ sebab

ketiadaannya mengharuskan ketidakmungkinan, dan segala sesuatu yang

keadaannya seperti itu maka keberadaannya adalah harus karena dirinya sendiri.

Ungkapan, ‗Apabila ruang itu tiada maka tidak ada arah berbeda-beda yang

tertinggal,‘ maksudnya adalah arah atas tidak akan berbeda dengan arah bawah,

arah kanan tidak akan berbeda dengan arah kiri, yang mana semua itu pasti

mustahil. Adapun ungkapan setelahnya maka sudah jelas.

Adapun Waktu, maka al-Rāzī berargumen atas kekekalan waktu bahwa

apabila dia adalah ciptaan maka wajar baginya ketiadaan. Segala sesuatu yang

mungkin ada, keharusan keberadaannya tidak mengharuskan ketidakmungkinan.

Sedangkan keharusan ketiadaan zaman mengharuskan ketidakmungkinan. Sebab

kalau waktu itu musnah menjadi tiada, ketiadaaannya itu didahului oleh

keberadaan dalam suatu waktu sehingga mengharuskan adanya waktu bagi

Waktu. Maka Waktu itu tetap ada pada waktu dia diharuskan tiada dan itu tentu

saja mustahil. Sebagaimana tiada awal baginya, tiada pula akhirannya karena,

‗kalau ketiadaan itu terjadi setelah keberadaannya, maka ketiadaan setelah

keberadaannya itu terjadi dalam suatu waktu, yaitu „setelah‟,‘ maka hal ini

118
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 213.
61

mengharuskan kemustahilan yang sudah disebutkan. ‗Sesuatu yang keharusan

ketiadaannya mengharuskan kemustahilan maka keberadaannya harus pada

dirinya sendiri,‘ maka Waktu itu harus ada karena dirinya sendiri.

ُ٘‫ن‬ٞ‫ ف‬,‫ْز‬ٞ‫ذ ز ٍص‬ٝ‫ي ثىؼذً مجُ ػذٍٔ دؼذ ٗجذٓ دؼ‬ٞٔ‫صح ػ‬ٝ ‫ مو ٍج‬١ُ ً‫ش قجدو ىيؼذ‬ٞ‫ٕ ٘ غ‬

‫ فئرث قذ ىضً ٍِ فشض ػذً ثىٍضجُ ٍحجه‬,‫ثىٍضجُ ٍ٘٘جدث حجه ٍج فشض ؼٍ ذٍٗج ٕزث خيف‬
119
‫فنُ٘ ٗثجذج ىزٔص‬ٞ ‫ىزثٔص‬

Bagi al-Rāzī, Ruang adalah tempat keberadaan materi. Dan sebagaimana

talah dikatakan bahwa materi itu kekal, maka tidak bisa tidak Ruang dengan

sendirinya pun bersifat kekal.120 Menurutnya, wujud yang memerlukan ruang

tidak dapat maujud tanpa adanya ruang, meski ruang bisa maujud tanpa adanya

wujud tersebut. Ruang tak lain adalah tempat bagi wujud-wujud yang

membutuhkan ruang.

Keduanya berisi wujud dan bukan wujud. Bila wujud maka ia harus berada

di dalam ruang dan di luar wujud adalah ruang atau tiada ruang; bila tiada ruang

maka ia adalah wujud dan terbatas. Bila bukan wujud, ia berarti ruang.

Karenanya, ruang itu tak terbatas, bila orang berkata bahwa ruang mutlak ini

terbatas, maka ini berarti batasnya adalah wujud. Karna setiap wujud itu terbatas,

sedang setiap wujud itu berada di ruang, maka ruang bagaimana pun tak terbatas.

Yang tak terbatas itu kekal, karenanya ruang itu kekal.121

119
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 216.
120
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 253-254.
121
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 444-445.
62

B. Teori Emanasi al-Fārābī

1. Dasar dan Sumber Teori Emanasi

Emanasi yang dicetuskan al-Fārābī berdasar pada dua pilar kosmologi

geometrik Ptolemaik (berhubungan dengan Ptolemaus) dan teori ketuhanan.

Adopsi al-Fārābī terhadap metafisika Neoplatonik telah memberikan sarana

sehingga filsafat Aristoteles dapat ditempatkan dalam kerangka acuan yang lebih

sistematis dibanding karya-karya Aristoteles itu sendiri.

Tetapi, al-Fārābī tidak membatasi diskusi tentang masalah ini dengan

persepsi Aristoteles semata. Sebaliknya, ia mencampur dan meramu dengan ide-

ide lain dari zaman kuno, seperti yang berasal dari Ptolemaeus. Lebih jauh,

meskipun al-Fārābī memilih untuk menggunakan Plotinus secara konsisten dalam

bab-bab pemikirannya, kemudian, ketika dia beralih ke subjek psikologi, dia

meninggalkan pemikir ini sama sekali demi penafsiran Alexander yang bergerak

cepat dari interpretasi Aphrodisias tentang Aristoteles.

Memang, dari semua sumber Yunani al-Fārābī berkonsultasi tentang

kosmologi, Alexander adalah orang yang paling ia reproduksi. Tetapi, terlepas

dari melompat-lompat di antara sumber-sumber ini, jelaslah bahwa pemikiran

Yunani digunakan secara luas oleh al-Fārābī di setiap bagian terutama dalam ara‘

al-madinah al-fadilah, metafisika yang disorot dalam penelitian ini, sehingga

membentuk sifat dominan dari ideologi ini.

Mengenai tokoh sebelumnya, yakni al-Kindī, menurut Alexander Wain, al-

Fārābī hanya sekali menyebut nama al-Kindī dalam kitab-kitabnya. Terlepas dari
63

hal itu, Wain menyebutkan bahwa terdapat beberapa indikasi, pemikiran al-Fārābī

dipengaruhi oleh Filsuf Muslim pertama tersebut.

“it is possible that al-Fārābī was influenced by him, and so developed a

similar line of thought, of which the above account of prophecy is an indication.

But, such a supposition would stand in contrast to the fact that, in all of his

surviving texts, al-Fārābī only mentions al-Kindī once, and then in order to

critique his approach to music”122

Pada persoalan metafisika, pemikiran al-Fārābī terlihat bertentangan dengan

pemikiran al-Kindī. Bilamana al-Kindī menyebut bahwa alam semesta diciptakan

dari ketiadaan, maka al-Fārābī menyebut bahwa alam semesta dciptakan dari

sesuatu yang telah ada sebelumnya, yang kemudian memancar menjadi alam

semesta. Model pemikiran demikian, akhirnya disebut dengan teori emanasi.

Menurutnya, maujudat itu banyak, dan banyak keutamaannya. Jauharnya

juga banyak dari setiap wujud, bisa sempurna (incorporeal) dan bisa menjadi

berkurang (corporeal). Apabila berlimpah darinya semua maujudat dengan urutan

tingkatannya, akan menhasilkan setiap maujudat, yang memiliki wujud dan

tingkatan. Maka kesempurnaan dan wujudnya dimulai, akan terus menunjukkan

berkurangnya kesempurnaan, kemudian kekurangannya itu masih menunjukkan

sampai maujud aslinya habis. Maka terlepaslah maujudat itu dari wujud. Setiap

wujud menghasilkan pembagiannya dari wujud, tergantung tingkatannya.

122
Alexander Wain, ―A Critical Study of Mabadi‘ Ahl al-Madinah al-Fadilah: The Role of Islam
in the Philosophy of Abu Nasr al-Farabi‖, Jurnal of Islamic Philsophy, USA, Vol.8, 2012.
64

Apabila maujudatnya sampai pada tingkatan tertentu, akan bersatu dan

terikat dan tersusun antara satu dengan lainnya, yang mana ikatan, persatuan, dan

rangkaian ini menyatukan sesuatu yang banyak, dan menghasilkan sesuatu yang

satu. Yang terikat dan bersatu inilah beberapa entitas-entitas dalam jauharnya,

sampai jauharnya yang wujudnya itu bersatu dan berikat. Dan yang sebagian

lainnya menjadi tabiatnya jauhar itu.

Mulainya kesempurnaan di alam superlunar menurut al-Farabi:

1. Al-Awwal / God

2. Tsawani / Nine Intellect of the spehres

3. Akal fa‟al / Active Intellect

4. Nafs / Soul

5. Suroh / Form

6. Maddah / Matter123.

2. Struktur Teori Emanasi

a. Tuhan

Al-Fārābī dalam bukunya Fushus al-Hikam membagi wujud kepada dua

bagian, yaitu wujud yang mumkin (wajib al-wujub li ghairihi). Dan wujud yang

nyata dengan sendirinya (wajib al-wujub li dzatihi).124

1) mumkin (wajib al-wujub li ghairihi)

ْٚ ‫ فال‬.‫ضه ػْٔ ٍحجه‬ٝ ‫ ٌى‬،‫ "فشْظٓج غذش ٍ٘٘جد‬:‫ٍَ ِن ثى٘٘جد‬


‫ ٗإرث‬،‫غ ٘د٘جدٓ ػِ ػيز‬

.ٔ‫ ضه ٍَنِ ثى٘٘جد دزثص‬ٝ ‫فيًض ٍِ ٕ زث أّٔ مجُ ٍَج ٌى‬ٞ ،ٓ‫ش‬ٞ‫ٗ جذ صجس ٗثجخ ثى٘٘جد دغ‬

123
Mashhad al-Allaf, The Essential Ideas of Islamic Philosophy, (Edwin Mellen Pres: 2006),

.‫ٕجز‬ٞ‫د ػْذ ث ٘ى٘جد ٗ ثَى‬ٜ‫ ثىفجسث‬,‫شر‬ٞ‫ذ خ‬َٛٞ‫طز ح‬


h.123-124
124
ٞ ‫ = "٘د جي‬Essence and Existence in Al-Farabi's philosophy."
Academic Journal of Social and Human Studies 10 (2013), h. 30-40.
65

‫دو‬...‫ف ٖمّ٘ج ػيز ٍٗؼي٘ال‬ٜ ‫ٖج‬ّٝٔ ‫جص ُأ ٌص دال‬ٝ٘ ‫جء ىث ََنْز ال‬ٞ‫ش‬١‫ٗث‬...‫ٓش‬ٞ‫ٗ ثجخ ثى٘٘جد دغ‬
125
.‫ه‬١ٗ‫ب ٕ٘ ثَى٘٘جد ث‬ٞ‫ى ش‬ٚ‫الدذٍِ ّثٖضجةٖج إ‬

Wujud yang mumkin, menurut al-Fārābī adalah wujud yang adanya karena

wujud yang lain, seperti adanya cahaya karena adanya matahari.126 Dengan

demikian wujud yang mumkin ini menjadi saksi adanya wujud pertama yang

menyebabkannya ada. Segala yang mumkin harus berakhir pada sesuatu yang

pertama kali ada, yang ada pada dirinya sendiri. Sepanjang apapun rangkaian

kausalitas wujud mumkin, wujud mumkin tetap membutuhkan wujud yang

memberi ada kepadanya, sebab wujud mumkin tidak dapat ada pada dirinya

sendiri.

2) wajib al-wujub li dzatihi/sabab awwal

،‫ىس دَجدر‬ٞ ّٔ‫ فئ‬.ٓ‫ أٗ ٔى مجُ ٘ٗجد‬،ْٔ‫ أٗ ػ‬، ‫ نُ٘ ٔى سذخ ٔد‬ُٝ‫ نِ أ‬َٝ‫ز ال‬ٛ ‫ٗ ٕ٘ ثَى٘٘جد ثى‬

،‫ظع‬ ٘ ٓ‫دو ٘ٗجد‬. ‫ف ٍ٘ظ٘ع أصال‬ٜ ‫ ٗال‬.‫ف ٍجدر‬ٜ ‫ٗ ال ٘ق ٍٔث‬


٘ ٍ٘ ‫خي ٍِ مو ٍجدر ٍِٗ مو‬

٘ ‫ ٘ٗى مّجش ٔى‬،‫ف ٍجدر‬ٜ ‫َنِ ُأ صنُ٘ إال‬ٝ ‫ ثى٘ص سر ال‬١ُ ،‫أعج ٔى ص٘سر‬ٝ ‫ٗ ال‬
‫صسر ىنجّش‬

ُ‫ ٗىنج‬،‫ز ٍَْٖج ةث ضيف‬ِٝ‫ةٖجىي‬ٞ‫ ٘ٗى مجُ مزىل ىُنج ٘ق ٍٔث دجض‬،‫صسر‬


٘ ٗ ‫رثصٔ ٍؤصيفز ٍِ ٍجدر‬
127
‫ ٗقذ ٗظ ْؼج أّٔ سذخ ٗأه‬،ٔ‫ فئُ مو ٗثحذ ٍِ أجضثٔة سذخ ى٘٘جد َج يض‬،‫ى٘٘جدٓ سذخ‬

Sedangkan wajib al-wujub li dzatihi, adalah yang adanya karena dirinya

sendiri tanpa ada campur tangan yang lain. Adanya tersebut apabila diperkiraan

tidak ada, maka yang lain pun tidak akan ada sama sekali. 128 Wujud ini menjadi

dasar bagi wujud-wujud mumkin. Wujud ini adalah Causa Prima atau sebab

125
Al-Farabi, „Uyun al-Masail, h. 247
126
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h. 90
127
Al-Farabi, Ara ahl al-Madinah al-Fadhilah wa Madhodatiha, h.2
128
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h. 90
66

pertama, Sang Ada Yang Pertama. Wajib al-wujub li dzatihi atau dalam istilah al-

Fārābī disebut sebab pertama tersebut hanya satu, yaitu Tuhan (Allah).

Tuhan adalah substansi yang tiada bermula, azali, sudah ada dengan

sendirinya, dan akan ada untuk selamanya. Esensi Tuhan begitu sederhana dan tak

dapat dibagi. Substansi-Nya sendiri telah cukup menjadi sebab Ada-Nya yang

kekal.129 Al-Fārābī mengatakan:


130
‫ه ٘ى٘جد سجةش ثَى٘٘جدثس مٖي ج‬١ٗ‫ه ٕ٘ ثىسذخ ث‬١ٗ‫ثَى٘٘جد ث‬

Proposisi ini merupakan dasar al-Fārābī dalam memulai filsafat emanasi

nya bahwa ―Yang Pertama (al-Awwal) adalah yang darinya segala sesuatu

yang ada muncul.‖ Jadi, segala sesuatu yang bereksistensi berasal dari Yang

Pertama, atau Tuhan yang al-Fārābī klaim sebagai hal pertama yang telah ada.

Lebih lanjut, ―Asal mula dari apa yang muncul darinya yaitu, Yang

Pertama terjadi melalui suatu emanasi‖. Sehingga keberadaan sesuatu yang

berbeda dari Yang Pertama berasal dari keberadaan Yang Pertama.131

Dengan demikian, proses penciptaan digambarkan sebagai jenis emanasi

— yaitu, 'kemunculan' entitas lain dari keberadaan ―Sang Pertama‖ itu

sendiri. Sifat pasti dari kemunculan ini tetap tidak jelas, tetapi istilah bahasa

Arab yang digunakan adalah fayḍ, yang memberikan rasa sesuatu yang meluap

— yaitu, bahwa 'limpahan Pertama' dengan cara tertentu untuk memunculkan

entitas lain.

129
Zimmermann, Friedrich Wilhelm. Al-Farabi's commentary and short treatise on Aristotle's De
interpretatione. Vol. 3. (Oxford University Press, USA, 1981)
130
Al-Farabi, Ara ahl al-Madinah al-Fadhilah, h. 25
131
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 89-91
67

Emanasi terjadi melalui proses perenungan diri ―Sang Pertama‖, hal

ini menunjukkan bahwa emanasi (atau setidaknya yang pertama) adalah

produk dari citra diri ―Sang Pertama‖, atau apa yang dipikirkannya sendiri.

Meskipun demikian, di samping itu, emanasi juga digambarkan terjadi karena

ketiadaan (yaitu, tidak ada materi yang sudah ada sebelumnya) karena fakta

bahwa ―Sang Pertama‖ adalah entitas inkorporeal (karena ia dapat mengakui

tidak ada batasan), dan sebagainya -kurang. Untuk al-Fārābī juga terjadi karena

waktu, menurutnya, berasal dari pergerakan benda-benda yang diciptakan

(yaitu, langit-langit).

Dengan demikian, itu tidak dapat digunakan untuk mengukur kemajuan

emanasi jika itu sendiri hanya muncul setelah peristiwa ini, ketika emanasi

telah memunculkan objek-objek yang, pada gilirannya, menciptakannya. Perlu

juga dicatat bahwa emanasi, meskipun memunculkan segala sesuatu yang ada,

apakah sempurna atau kurang, bukanlah penyebab ―Sang Pertama‖ itu

sendiri.132 Hal ini karena, menurut klaim al-Fārābī, ―Yang Pertama‖ harus

sempurna dan tanpa kekurangan — yang pada akhirnya berarti ia tidak

kekurangan apa-apa. Dengan demikian, tidak mungkin untuk mengakui sebab

apa pun sebelumnya karena, jika memang ada hal seperti itu, maka itu akan

tergantung padanya sejauh itu ada dan menjadi kurang dalam

ketidakhadirannya (dalam hal itu tidak akan lagi ada). Memang, karena

―Yang Pertama‖ itu sempurna dalam cara yang dijelaskan, tidak mungkin

bahwa itu tidak ada pada suatu titik untuk diciptakan karena, jika ini benar,

maka itu

132
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 89
68

berarti bahwa itu kurang sebelum waktu itu (karena itu tidak memiliki

keberadaan).

b. Intelek, Wujud dan Langit

Kemudian, dari hal-hal yang berasal dari ―Yang Pertama‖

berkembang sebagai Intelek — yaitu, sebagai entitas inkorporeal (juga disebut

'Movers' oleh al-Fārābī)133. Jadi, ketika Yang Kedua (sebagai yang pertama

berasal) Munculnya juga tidak berbentuk, karena ―meluap‖ dari Yang

Pertama, ia berbagi dalam sifatnya. Akan tetapi, ia tidak tetap seperti ini

karena pemikirannya mengarah pada substantifikasi-diri (atau realisasinya),

yang pada gilirannya memunculkan Langit Pertama yang material (bagaimana

atau mengapa tidak dijelaskan).

‫ف‬ٜ ٕٜٟٗ ،٠‫جس أصي‬ ٞ ‫أ ط ٕ٘جش‬ٝ ‫ْث ٕ٘ث‬ٜ‫ ٖفز ثى‬،‫ْث‬ٜ‫ه ٗ٘جد ثى‬١ٗ‫ط ٍِ ث‬ٞ‫ ف‬ٝ
ٌ ‫غشٍ ض‬

ٕ٘ ‫ قو ٍِ رثٔص‬ٝ‫س ٍج ؼ‬ٜٞ‫ ٗى‬،‫ه‬١ٗ‫ قو ث‬ٝ‫ؼقوٍِ رثصٔ ٗ ؼ‬ٝ ٘‫ ٖف‬.‫ٍ جدر‬

ْٔ‫ ًض ػ‬ٝ‫ض صخصٔ ي‬ٜ‫ ٍٗج ٕ٘ثٍ ض٘جٕش دزثٔص ثى‬,‫يًض ْٔػ ٗ٘جد ثجىث‬ٝ ‫ه‬١ٗ‫ قوٍِ ث‬ٝ‫ فَج ؼ‬.ٔ‫غش رثص‬
ٞ ‫شء‬
ٜ

‫٘ٗجد‬
134
‫ى‬ٜ١ٗ‫ثىَس جء ث‬

Untuk yang Kedua ini (sebagai intelek) melekat, mengakibatkan ia

menjadi terhambat oleh materi dari langit itu karena materi (atau bahan yang

objek korporeal tersusun) adalah batasan. Dengan kata lain, materi adalah

struktur terbatas dengan awal dan akhir duniawi, dan batas-batas yang dapat

ditentukan. Dengan demikian, objek apa pun yang tersusun darinya juga akan

memiliki permulaan temporal yang jelas (kelahiran / penciptaan), akhir

133
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 91
134
Al-Farabi, Ara‟ al-Madinah al-Fadhilah, h.52
69

(kematian / kehancuran), dan dibatasi oleh bentuk fisiknya. Namun, dalam

kaitan dengan Intelek-intelek ini, materi menghambat mereka dengan

membungkusnya. Ini memiliki efek mengaburkan, yang berarti bahwa Intelek

yang terbungkus tidak lagi mampu murni (atau, seperti yang dikatakan al-

Fārābī, 'aktual') karena ia tidak dapat lagi melampaui dirinya sendiri secara

efektif. Sebagai akibatnya, persepsinya dikatakan telah menjadi potensial dan,

setelah Yang Kedua melekat pada langitnya dan kemudian 'berpikir' tentang

Yang Pertama, ia (sebagai intelek) tidak dapat melihatnya dengan tepat karena

ia tidak lagi sepenuhnya aktual.

Sebaliknya, gambaran tentang Yang Pertama sedikit kurang (atau

potensial), dan versi yang sedikit kurang dari Yang Pertama inilah yang

kemudian meluap dari Yang Kedua untuk menjadi Intelek (atau Penggerak)

inkorporeal lain, yang disebut Yang Ketiga. Dengan demikian, Yang Ketiga

memancar dari Yang Kedua sebagai persepsi atas Yang Pertama, yang

merupakan versi yang kurang aktual. Yang Ketiga kemudian dikuantifikasi

sendiri dan dihubungkan dengan Langit sebagaimana Yang Kedua, melanjutkan

dengan memikirkan Yang Pertama untuk memunculkan dengan cara yang sama

ke Yang Keempat. Dengan cara ini proses berlanjut sampai ada total sebelas

emanasi dan sembilan Langit, masing-masing lebih rendah dari sebelumnya.135

ٍِٗ ,ً‫ٍِٕ أجسج‬ٜ ‫ىسش دأجسًج ٗال‬ٞ ٕٜ ‫ فأفعٖي ج دجىَج جر‬.‫ه‬١ٗ‫ش جء ىنجْةز ػِ ث‬ٞ‫فأٍجأ‬

‫ٖض‬ْٜٝ ‫ى ُأ‬ٜ‫صخ إ‬ٞ‫جةشج ػو ثىضش‬


ٕ ‫ ٌث س‬, ‫ّج‬ٜ‫ أٗ فعو ثَىفشقزٍ ِٕ ٓز ٕ٘ ثىث‬,‫دؼٕذ ج ثىَ٘سثس‬

135
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 101-105
70

ٕ ‫ ٌث سج‬,‫ز‬ٞ‫ ٌث ثىثّج‬, ‫ى‬ٜ١ٗ‫ٕ ثىَس جء ث‬ٜ ‫ٗز‬ٝ‫ أٗ فعو ثىَسج‬.‫د ػشش‬ٛ‫ى ثىحج‬ٜ‫إ‬
,‫صخ‬ٞ‫ةشج ػو ثىضش‬

.136‫ى ثىضجسغ ٕ٘ٗ مشر ثىَقش‬ٜ‫ٖض إ‬ْٜٝ ‫ى ُأ‬ٜ‫إ‬

Lebih lengkapnya adalah: Langit Kedua dan ‗Langit Pertama;‘ Bintang

Ketiga dan tetap; Keempat dan Saturnus; Kelima dan Jupiter; Keenam dan

Mars; Ketujuh dan Matahari; Kedelapan dan Venus; Kesembilan dan

Merkurius; Kesepuluh dan bulan; dan kemudian emanasi terakhir adalah entitas

yang sedikit berbeda yang disebut Intelek Aktif, 137 Semua ini "diatur dalam

urutan pangkat (sesuai dengan kesempurnaannya), dan. . . setiap yang ada

mendapat bagian dan peringkat eksistensi yang diberikan darinya (Yang

Pertama). ‖138

Hal yang menarik dari argumen al-Fārābī diatas, karna ia menyebut

bahwa berakhirnya emanasi ada pada Yang Kesebelas139 ‗ ‫ػشش‬ ‫ض ُأ‬ْٝ ‫ إ‬ٛ‫‘ثىحجد‬.
ٖٜ ‫ى‬ٜ
Bahkan secara jelas al-Fārābī memberikan rangkaian narasi bagaimana Yang

Pertama beremanasi ke sesuatu yang disebut Yang Kesebelas ini:

ِ‫ ٗىن‬. ‫ى‬ٜ١ٗ‫ٗؼقو ث‬ٝ ‫ قو رثٔص‬ٝ‫ ٕٗ٘ ؼ‬,‫ف ٍجدر‬ٜ ‫أ عج ٘ٗجدٓ ال‬ٝ ‫د ػشش ٕ٘ث‬ٛ‫ٕٗ ز ثىحج‬

ٕٜٗ .‫٘جذ رثىل ثى٘٘جد إه ثَىجدرٍٗ ٘ظغ أصو‬ٝ ‫حضجج ٍج‬ٝ ‫ز ال‬ٛ ‫ٖض ثى٘٘جد ىث‬ْٜٝ ٓ‫ْػذ‬

136
Al-Farabi, Ara‟ al-Madinah al-Fadhilah, h. 59-
60 137Richard Walzer, on the Perfect State, h. 101-
105 138Richard Walzer, on the Perfect State, h. 95
139
Para sejarawan berselisih mengenai filsafat Al-Farabi; apakah akal-akal dalam pandangannya
ada sepuluh sebagaimana pandangan beberapa filsuf lain? Ataukah ada sebelas akal? Perselisihan
ini berlandaskan bahwa Al-Farabi sendiri tidak memberikan defenisinya di Al-Bidayah dalam
suatu defenisi yang jelas, dan bahwa dia pernah berkata, di dalam bukunya, Uyunul Masail, ―Kita
tidak dapat mengetahui jumlah akal-akal serta orbit-orbit ini kecuali dari alur secara umum saja,
bahwa jumlahnya itu sampai hingga di mana akal-akal aktif itu berhenti pada akal aktif yang murni
dari maddah, dan di sanalah lengkapnya bilangan orbit-orbit itu.‖
71

‫ْ ثى٘٘جد‬ٝ ‫ ػٗ ْذ مشر ثىَقش‬.‫ف ٘جٕثشٕج ػ٘قهؼٍٗ ٘ق ىش‬ٜ ٕٜ ‫ض‬ٜ‫جء ثَىفجسٔق ثى‬ٞ‫ش‬١‫ث‬


‫ٖض‬ٜ
.140‫ذؼٖضج صضحشك ٗد سأ‬ٞ‫ض دط‬ٜ‫ٕ ثى‬ٜٗ ,‫ٗجش‬ٝ‫جسج ىث َس‬ ً ١‫ث‬

Pada bagian ini Dr Ali Bu-Malham sebagai editor kitab Ara‟ al-Madinah al-Fadhilah, memberi fo
Menurutnya:

‫د ػششٕ٘ػقو ثىفؼجه‬ٛ‫ثىحج‬

Akhirnya, ―Yang Kesebelas‖ ini ialah entitas yang disebut dengan Intelek

Aktif.

Al-Awwal

Al-Tsani

Al-Tsalis al-Sama‘ al-Ula (1)

Al-Rabi‘ al-Kawakib (2)

Al-Khomis al-Zuhal (3)

Al-Sadis al-Musytara (4)

140
Al-Farabi, Ara‟ al-Madinah al-Fadhilah, h. 45
72

Al-Sabi‘ al-Mirikh (5)

Al-Tsamin al-Syams (6)

Al-Tasi‘ al-Zuhrah (7)

Al-Asyr Utharad (8)

Al-Hadi al-Asyr al-Qmr (9)

c. Materi, Bentuk dan Jiwa

Sampai Intelek Aktif ini, proses emanasi terhenti, sehingga munculnya

benda-benda langit juga berhenti pada kosmos, yang senantiasa mempunyai tabiat

gerak melingkar. Akan tetapi sebagai gantinya, dari akal fa‘al muncul jiwa-jiwa

bumi dan materi dasar (al-hayula) yang dimiliki secara bersamaan oleh seluruh

benda-benda bumi. Dari hayula ini, yang kemudian berproses melalui gerakan

kosmos, terbentuk unsur-unsur benda: air, udara, api, dan tanah, yang dari unsur-

unsur itu terciptalah benda-benda bumi. Dari intelek kesepuluh teremansi bentuk

(ash-shura), sehingga intelek kesepuluh disebut sebagai wahib ash-shuwar

(pemberi bentuk), atau sebagai akal aktif (al-„aql al-fa‟al). Benda-benda yang

terbentuk itu kemudian berproses dan akhirnya menjadi benda-benda hidup,


73

seperti tumbuhan, hewan, dan manusia, yang semuanya itu terdiri dari materi (al-

maddah) dan bentuk (ash-shurah). 141

Hal-hal ini, bersama dengan langit material mereka yang terkait, yang

paling sempurna dari emanasi dan dikatakan ada di atas dunia bulan, sebagai

tubuh superlunary. Dari langit mereka, bagaimanapun, muncul apa yang oleh

al-Fārābī disebut sebagai Materi Utama - zat purba, homogen yang membentuk

blok bangunan dasar dari segala sesuatu yang jasmani dan ada di bawah tingkat

bulan. Dengan demikian, setiap langit menghasilkan (atau memancarkan)

Materi Utama ini berdasarkan sifatnya sebagai langit material. Demikian pula,

menurut al-Fārābī, perbedaan dalam benda langit, yang dapat mencapai tingkat

contrariety (yaitu, masing-masing surga begitu berbeda dari yang lain sehingga

saling bertentangan), mempengaruhi Materi Utama untuk menghasilkan objek

lain. Dengan kata lain, al-Fārābī berpendapat bahwa langit akan mendekat atau

menjauh dari hal-hal lain yang ada terpisah dari diri mereka sendiri (bahkan

jika ini hanyalah langit lain) sesuai dengan tingkat simpati yang mereka miliki

dengan hal-hal itu (karena hal-hal di simpati akan secara alami tertarik satu

sama lain sebagai tindakan persahabatan). Dengan demikian, benda-benda

langit yang bertentangan dalam simpati dengan hal yang sama dapat

menemukan diri mereka semakin dekat satu sama lain ketika mereka mendekati

benda itu. Dalam keadaan pergerakan ini, Prime Matter menerima bentuk-

bentuk yang bertentangan yang terkait dengan langit-langit itu (bagaimana

tepatnya tidak dijelaskan) yang bercampur dalam upaya menetralkan

141
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 95
74

kontradiksi mereka dan, dalam prosesnya, menciptakan bentuk-bentuk baru dan

lebih kompleks (karena mereka menggabungkan semua fitur asli dari batas

yang awalnya terpisah) dari substansi asli Prime Matter.142

Melalui hal ini, bentuk-bentuk pertama yang muncul adalah anasir-anasir,

ini menjadi badan material paling sederhana setelah first Matter. Tubuh-tubuh

material baru ini kemudian mendapatkan kemampuan untuk bergerak dan

bertindak satu sama lain, sehingga memungkinkan pelawan baru yang muncul

di dalamnya untuk bercampur dan bergabung untuk menghasilkan badan yang

baru, lagi-lagi dengan meningkatnya kompleksitas. Setiap generasi tubuh baru

bergerak semakin jauh dari Fisrt Matter di alam dan kompleksitas sampai titik

tercapai di mana tidak ada tubuh baru dapat dibentuk, kompleksitas tertinggi

telah tercapai. Tahap ini mewakili kemunculan tubuh manusia, yang paling

kompleks dan canggih dari semua materi yang ada di bawah bulan. 143 Tetapi,

terlepas dari kerumitannya, semua entitas jasmani semacam itu kurang

sempurna daripada tubuh superlunary yang mendahuluinya144.

Ini mengakhiri garis besar singkat pemikiran al-Fārābī mengenai

kemunculan alam semesta dan entitas di dalamnya. Dari sini kita melihat bahwa

alam semesta dibagi menjadi dua bagian, yang keduanya mengandung entitas

yang diberi peringkat sesuai dengan tingkat kesempurnaannya. Lebih jauh lagi,

sejauh Pertama membagi bagian-bagian dari jagat raya ini kepada entitas-

entitas ini dengan cara ini, ia sama-sama murah hati (dalam hal itu memberi)

dan adil (dalam hal itu memberi sesuai dengan apa yang telah jatuh tempo).
142
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 95
143
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 139-141
144
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 135
75

Al-Asyr

Al-Hadi al-Asyr al-Qmr (Langit 9)

(Al-Shuroh al-Ula)

al-Madat al-Ula

al-Ustuqshat

C. Refleksi Kritis

Setelah memperhatikan aspek-aspek dari entitas metafisik al-Rāzī dan al-

Fārābī, dibagian ini peneliti akan merefleksikan pemikiran kedua tokoh dengan

melihat persamaan dan perbedaan unsur-unsur metafisiknya. Kemudian peneliti

juga akan membandingkan struktur metafisika al-Rāzī dan al-Fārābī dengan

beberapa pandangan metafisika failasuf setelahnya (failasuf periode sebelum Ibn

Rusyd). Dengan begitu kekhasan dan ciri utama metafisika Islam akan

terpampang dengan jelas. Namun, peneliti akui, perbandingan detail antara

metafisika ini berada diluar jangkauan penelitian ini. Oleh karnanya, yang akan

dilakukan hanyalah perbandingan secara umum.

Berbeda dari pendahulunya, yakni al-Kindī yang memiliki pandangan

bahwa alam semesta dicipitakan Tuhan dari ketiadaan (Creatio Ex Nihilo), al-Rāzī

dan al-Fārābī memahami penciptaan alam semesta melalui proses yang disebut

pancaran. Al-Rāzī dalam skema lima kekal nya menyebut pancaran terebut ialah

pancaran akal kepada jiwa hingga mengakibatkan bersatunya jiwa dengan materi,

sedangkan al-Fārābī dalam skema emanasinya menyebut pancaran tersebut


76

sebagai akibat atas kontempalsi Tuhan terhadap dirinya sendiri yang

menghasilkan Wujud, Akal, Jiwa, Materi, langit, hingga membentuk alam

semesta.

Sebagaimana al-Kindī, skema metafisika al-Rāzī dan al-Fārābī, sama-sama

memulai falsafahnya ―setelah adanya Tuhan‖. Tak satupun dari mereka

yang membicarakan ―sebelum Tuhan‖. Artinya, kedua failasuf ini (sama

seperti al- Kindī) memandang Tuhan sebagai penyebab adanya alam semesta,

Meski demikian, al-Rāzī dan al-Fārābī juga meyakini bahwa selain Tuhan

terdapat entitas lain yang juga bersifat kekal. Al-Rāzī dengan skema Lima kekal

menyebut Tuhan, Jiwa, Materi, Ruang dan Waktu itu ada secara bersamaan (co-

eksis) sedangkan al-Fārābī pun demikian, hal yang membedakan keduanya ialah

menurut al-Rāzī, lima entitas yang ia sebutkan ada secara bersamaan, sedangkan

al-Fārābī menyebut entitas kekal itu ada sebelum adanya waktu. Atinya, terdapat

perbedaan mengenai konsep kekal diantara dua failasuf ini.

Khusus pada proses pancaran, al-Rāzī dan al-Fārābī sama-sama

menggunakan term ―al-Faydh‖ sebagai istilahnya dan ―al-Nur‖ sebagai

metafor bahasanya ketika menjelaskan konsep pemancaran. Kendati demikian, al-

Rāzī memiliki konsep yang berbeda dibanding al-Fārābī. Bila al-Fārābī menyebut

bahwa proses pancaran menghasilkan entitas-entitas lain, al-Rāzī menyebut proses

pancaran seperti pemberian ―daya‖ terhadap entitas yang sebelumnya telah eksis.

Memang, penjelasan pertama yang sistematis tentang Neo-Platonik dalam

bahasa arab, tidak salah lagi ialah karya al-Fārābī. Namun, melalui penelitian ini,

kecenderungan neo-platonik, secara implisit, sesungguhnya juga terdapat melalui


77

karya al-Rāzī. Maka sangat wajar, bila kedua tokoh ini, menentang konsep

penciptaan filsuf pendahulunya dimana unsur Aristotelian cukup dominan; al-

Kindī. Namun, walaupun al-Rāzī tidak sedetail al-Fārābī, keunggulannya ia

mampu meramu tradisi Yunani dengan corak keislaman, juga dengan tradisi mitos

penciptaan kaum Sabi‘in guna menghasilkan suatu pemikiran teori metafisika

baru.

Berikut merupakan tabel wujud-wujud metafiska yang oleh al-Rāzī disebut

Lima Wujud Metafisika dan al-Fārābī menyebutnya dengan istilah wujud-wujud

inkoporeal:

Creatio ex Nihilo al-Kindī

Teori Lima Kekal al-Rāzī Emanasi al-Fārābī

Entitas Tuhan, Akal, Jiwa Universal, Tuhan, Akal I-Akal Aktif,

Materi Pertama, Ruang, Waktu Langit I-IX, Jiwa, Bentuk

Pertama, Materi Pertama

Proses Pancaran Pancaran

Hasil Alam Semesta Alam Semesta


78

Entitas-entitas metafisik al-Rāzī diatas, tampak lebih dekat dengan

emanasi primer plotinus, dimana gradasi emanasi mencakup dari ―Yang

Satu‖, akal, jiwa, kemudian materi. Dengan kata lain, al-Fārābī telah melakukan

modifikasi emanasi yang sangat jauh dibanding yang dilakukan oleh al-Fārābī.

Entitas-entitas metafisik al-Rāzī juga sangat dekat dengan model emanasi filsuf

setelahnya yakni Ikhwan al-Shafa. Secara hirarkis, Ikhwan al-Shafa‘

membagistruktur entitas ruhani menjadi 3 macam: (1) Akal Aktif Universal (al-

„Aql al-Kulli al-Fa‟al); (2) Jiwa Universal (al-nafs al-Kulliyyah); (3) Materi

Pertama (al-Hayula al-Ula). Akal universal adalah substansi sederhana yang

dapat menangkap hakikat dan realitas segala sesuatu. Sedangkan jiwa universal

merupakan substansi sederhana yang aktif (fa‟alah) dan memiliki daya untuk

mengetahui („allamah). Adapun Materi Pertama dimaknai sebagai substansi

sederhana (jawhar basith) yang pasif (munfa‟il), dapat dicerap secara rasional

(ma‘qul) dan menerima berbagai bentuk. Pembagian hirarkis metafisik ini diambil

dari pembagian struktur entitas semesta yang dilakukan oleh Ikhwan al-Shafa‘

pada 2 pertama adalah entitas spiritual (al-jawahiral-ruhaniyyah) yang berada

pada alam spiritual, atau dibahasakan sebagai alamtransenden (al-„alam al-a„la).

Sedangkan yang kedua adalah entitas fisik (al-jawahir al-jismaniyyah) yang

diklasifikasikan berada pada2 alam lainnya, yakni alam atas (al-„alam al-„alawi)

yang sering disebut sebagai celestial universe dan alam bawah (al-„alam al-

sufla), yakni alam orbit-orbit dan bintang, sertaalam yang mengalami proses

kejadian dan kehancuran yang letaknya di bawah bulan, atau sering disebut

sebagai alam
79

sublunar, yakni terrestrial universe. Akal aktif, Jiwa Universal termasuk dalam

struktur pada alam spiritual.145

Al-Rāzī Ikhwan al-Shafa

Akal Universal adalah daya yang Akal Universal adalah entitas yang

diberikan Tuhan kepada Jiwa meneruskan Pancaran yang berasal

Universal dari Tuhan kepada Jiwa Universal

Jiwa Universal merupakan penyebab Jiwa Universal merupakan sebab

adanya rupa dan bentuk. Yakni formal bagi keberadaan Materi

ketika Jiwa telah bersatu dengan Pertama. Jiwa Universal berfungsi

Materi Pertama. memberi bentuk terhadap Materi

Pertama

Penyatuan antara Materi Pertama Materi Pertama bersama dengan

dengan Jiwa Universal menghadirkan Bentuk Mutlak merupakan bahan

Bentuk dan Rupa yang merupakan dasar alam semesta

bahan dasar alam semesta

Sementara entitas-entitas metafisik al-Fārābī lebih dekat dengan model

emanasi Ibn Sînâ. Hal ini tentunya tidak aneh, sebab dalam penelusuran sejarah

falsafah Islam, memang diketahui bahwa Ibn Sînâ merupakan murid dari al-

Fārābī. Sejalan dengan al-Fārābī, Ibn Sînâ juga menggunakan skema akal pertama

hingga akal aktif, jumlah benda-benda langit beserta struktur urutannya versi Ibn

Sînâ juga masih sejalan dengan al-Fararbi. Peneliti menilai, perbedaan corak

145
Rasail Ikhwan al-Shafa, buku II, Departemen Agama RI tahun 2007, hal. 6-7
80

emanasi al-Fārābī dan Ibn Sînâ hanya terletak pada wilayah Jiwa yang mengatur

benda-benda langit. Sejauh pencarian penelitian ini, penulis tidak menemukan

redaksi tegas dari al-Fārābī yang menyebutkan bahwa benda-benda langit

digerakkan oleh masing-masing jiwa sebagaimana Ibn Sînâ sebut dalam kitab al-

Syifa.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sampai di akhir penelitian ini, perkenankan penulis untuk menarik

kesimpulan dari pembahasan-pembahasan sebelumnya. Kesimpulan pertama yang

harus ditegaskan ialak baik Teori Lima Kekal al-Rāzī maupun Emanasi al-Fārābī,

keduanya menolak terori Creatio ex nihilo al-Kindī. Karna itu, kedua pemikir ini

pun mendapat kritik yang berujung pada pengkafiran. Perbedaannya, al-Rāzī

mendapat kritikan ketika ia masih hidup oleh lawan debatnya, yaitu Abu Hatim al-

Rāzī, sementara al-Fārābī mendapatkan kritik serupa, jauh semasa ia hidup, oleh

al-Ghazali. Maka, cukup wajar bilamana teori lima kekal seolah berhenti hanya

pada pemikiran al-Rāzī, sementara teori emanasi cukup banyak mendapat

perhatian, bahkan pemikiran itu dikembangkan sedemikian rupa oleh failasuf

muslim setelahnya. Hal ini bagi penulis, memperlihatkan kondisi sosio-kultural

masing-masing daerah; al-Rāzī di Rayy dan al-Fārābī di Baghdad pada waktu

yang hampir bersamaan.

Kedua, al-Rāzī dan al-Fārābī satu pendapat dalam medekskripsikan

metafisika. Menurut keduanya, metafisika merupakan ilmu yang mempelajari

entitas-entitas sebelum adanya alam semesta. Mereka juga bersepakat bahwa

selain wujud Tuhan, yang oleh keduanya disebut maha segalanya, terdapat entitas

lain yang pula bersifat kekal. Al-Rāzī menyebutnya lima entitas kekal, sementara

al-Fārābī menyebutnya wujud-wujud inkoporeal.

80
81

Dalam meramu entitas-entitas tersebut, keduanya menggunakan kata

pancaran dalam falsafahnya. Perbedaannya, pancaran dalam pola al-Rāzī tidak

menjelaskan lahirnya wujud-wujud metafisika sebagaimana emanasi al-Fārābī. al-

Rāzī menyebut proses pancaran seperti pemberian ―daya‖ terhadap entitas

yang sebelumnya telah eksis guna menghasilkan alam semesta.

Keduanya sama-sama terpengaruh metafisika Neo-Platonis. Dalam hal ini,

Emanasi al-Fārābī cenderung lebih komprehensif dan sistematis dibanding al-

Rāzī. Namun, walaupun al-Rāzī tidak sedetail al-Fārābī, keunggulannya ia mampu

meramu tradisi Yunani dengan corak keislaman, juga dengan tradisi mitos

penciptaan kaum Sabi‘in guna menghasilkan suatu pemikiran teori metafisika

baru.

B. Saran

Sepanjang penelitian ini, banyak hal yang tentunya masih sangat dangkal,

belum cukup didalami dan diklarifikasi dalam korpus metafisika Islam, terutama

metafisika al-Rāzī dan al-Fārābī. Hal paling sederhana saja misalkan, terkait

terminologi kata dalam pemikiran kedua tokoh tersebut. Pembaca Falsafah Islam

pasti mengetahui bahwa failasuf cenderung menggunakan istilah-istilah yang

memiliki makna khas zamannya. Kita mesti berhati-hati untuk tidak menyematkan

satu referen terhadap satu istilah dalam semua penggunaannya. Karna itu

diperlukan survei menyeluruh untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan

makna yang dimaksudkan al-Rāzī dan al-Fārābī terutama soal term-term tersebut

digunakan dalam setiap konteks yang berbeda. Istilah-istilah ini, berlaku dalam

seluruh cabang keilmuan Falsafah Islam.


82

Lebih jauh lagi, perihal sisi praktis peralihan dari entitas superlunar menuju

sublunar. Penelitian ini dibatasi pembahasannya hanya pada tataran entitas-entitas

superlunar al-Rāzī dan al-Fārābī. Karna itu, pada skema al-Rāzī misalnya penulis

hanya sampai pada tataran entitas lima kekal dan tidak sampai pada wilayah

bagaimana kelima entitas tersebut membentuk alam semesta. Begitupun pada

skema al-Fārābī, penulis hanya sedikit menggambarkan tentang akal Fa‘al dan

tidak sampai pada wilayah bagaimana akal Fa‘al itu membentuk dan mengatur

jalannya alam sublunar secara praktis.

Akhirnya, masih dibutuhkan banyak penyelidikan khusus terkait konten

Metafisika dalam teori al-Rāzī dan al-Fārābī. Disamping kajian tersebut

merupakan garapan intelektual menarik, wacana demikian juga akan semakin

mempertegas ilmu metafisika secara umum sebagai ilmu mandiri yang cukup

komprehensif. Pada masanya, metafisika sempat dianggap sebagai induk

keilmuan. Namun hari ini, metafisika seolah telah ―disingkirkan‖ oleh ilmu fisik

dalam dunia falsafah Barat. Bahkan dalam falsafah Islam pun juga ada anggapan

demikian. Metafisika ―hanya‖lah dinggap bagian dari ilmu Tasawuf, dan

bukan falsafah.
DAFTAR PUSTAKA

Al-abd, Abdul Latif Muhammad, Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyat, kairo:


Maktabat al-Nahdah al-Misriyyat, 1979

Al-Allaf, Mashhad, The Essential Ideas of Islamic Philosophy, New York: Edwin
Mellen Pres: 2006

Abboud, Tony, Al-Kindī: The Father of Arab, London: Rosen Pub Group, 2006.

Ali Husayn Ibn Sina, Abu, al-Najat: fi al-Hikmah al-Manthiqiyyat wa al-


Thab’iyat wa al-Ilahiyat, Beirut: Dar al-Afaq, 1982.

Al-Farabi, Abu Nashr Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh, Ara ahl al-Madinah
al-Fadhilah wa Madhodatiha, Beirut: Dar al-Maktabah Hall. 1995

Al-Jumbulati, Ali, Dirasat al-Muqaranat fi at-Tarbiyah al-Islamiyah, terj Prof.


HM. Arifin M. (Ed), Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Al-Kindi, Abu Yusuf Ya’qub, fi al-Falsafah al-Ula, terj., Alfred L. Ivry, New
York: State University New York Press, 1974.

Al-Razi, Abu Bakr, Rasail al-Falsafiyat, Beirut: Mansyur al-Dar al-Afaq al-
Jadidah, 1982.

Al-Shafa, Ikhwan, Rasa’il Ikhwan al-Shafa, Buku III, Departemen Agama RI,
2007

Aristoteles, ta Meta ta Physica, terj. W. D. Ross, Oxford: The Clarendon Press,


1924

Atiyeh, George N., Al-Kindi: Tokoh Failasuf Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno
Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983

Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat,


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, cet. Ke-1, h.79.

Badawi, Abdurrahman, Sejarah Ateis Islam, terj., Khoiron Nahdiyyin, Yogjakarta:


Lkis, 2003.

Bagus, Lorens, Metafisika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991

Copleston, Frederick, A History of Philosophy: Volume I. Greece & Rome part II,
Maryland: The Newman Press, 1962

Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan, 2003

De Boer, T.J, The History of Philosophy in Islam, terj., Edward R Jones, B.D.,
New York: Dover Publication, 1967
Fakhry, Majid, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and
Mysticism, Oxford: Oneworld Publications, 1997.

Fanshobi, Muhammad, Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Farabi,


Ciputat: Skripsi UIN Jakarta, 2014

G. Browne, Edward, Arabian Medicine, Cambridge: Cambridge University Press,


1921.

Gersonides, The Wards Of The Lord: Book Five The Heavenly Bodies and Their
Movers, ter. Seymour Feldman, Philadelphia: The Jewish Publication
Society, 1999

Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, New York, Toronto dan
London: New American Library, 1970.

Nasr, Seyyed Hossein, An Introduction toI slamic Cosmological Doctrines,


Cambridge: Harvard University Press, 1964.

K. Hitti, Philip, History of the Arabs, terj., R.Cecep L.Y. dan Dedi S.R. Jakarta:
Serambi, 2006.

M. Sharif, M., a History of Muslim Philosophy, Delhi: Low Price Publication,


1995.

Mohaghegh, Mehdi, Notes on the “Spiritual Physics” of al-Razi, dalam Jurnal


Studia Islamica No. 26 (1967).

Nasuotion, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.

, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II, Jakarta: UI-


Press, 1985

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Plotinus, Ennead, The Loeb Classical Library, London: Harvard University Press,
1984

Ridwan, Kahrawi (ed.), Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, Vol.1,
Cet. Ke-4, 1999

Rohmatien, Tien, al-Razi Sang Penolak Nabi?, Jakarta: Hipius, 2013

Stroumsa, Sarah, Para Pemikir Bebas Islam, terj. Khoiron Nahdiyyin, Yogjakarta:
Lkis, 2006

Sudiarja, Budi Subanar, St. Sunarki, T. Sarkim dkk, Karya Lengkap Driyarkara:
Esai-esai Filsafat Pemikir yang terlibat penuh dalam Perjuangan
Bangsanya, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2006
Wain, Alexander, “A Critical Study of Mabadi’ Ahl al-Madinah al-Fadilah: The
Role of Islam in the Philosophy of Abu Nasr al-Farabi”, Jurnal of Islamic
Philsophy, USA, Vol.8, 2012.

Walzer, Richard, On the Perfect State, Cambridge: Kazi Publications, Inc.;


Revised edition, 1998

Watt, Mongommery, Pemikiran Teologi dan Falsafaha Islam, terj. Umar Basalim,
Jakarta: P3M, 1987
White, Alan R., Methods of Metaphysics, Taylor and Francis Group, 1987 Yamani, Antara Al-Farabi
2002

Zar, Sirajuddin, Falsafah Islam: Failasuf dan Falsafahnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012

Zimmermann, Friedrich Wilhelm. Al-Farabi's commentary and short treatise on Aristotle's De interp

Anda mungkin juga menyukai