Oleh:
Dedy Ibmar
NIM: 1113033100005
ii
BAB I
PENDAHULUAN
“All the sciences, indeed, are more necessary than this, but none is better”, 1
diluar/melampaui fisik seperti Tuhan, Jiwa, Wujud, Ruang dan Waktu. metafisika
memiliki kaitan langsung dengan beberapa tema seperti ontologi, teologi dan
kosmologi.
macam ungkapan, seperti ma‟ba‟d al-thabi‟ah (sesuatu yang berada setelah alam),
ialah Abu Yusuf Ya‘qub ibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imran al-Ash‘ats ibn Qais al-
Falsafah al-Ula. Dalam buku tersebut, al-Kindī menyebut Tuhan dengan istilah
1
Aristoteles, ta Meta ta Physica, terj. W. D. Ross (Oxford: The Clarendon Press, 1924),
Book 1, CH 2.
2
Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj., R.Cecep L.Y. dan Dedi S.R. (Jakarta:
Serambi, 2006), h.463
3
Istilah al-Wahid al-Haqq oleh Alfred L. Ivry diterjemahkan dengan kata ―The
True One‖. Lih. Al-Kindī, fi al-Falsafah al-Ula, terj., Alfred L. Ivry, (New York: State
University New York Press, 1974), h.14.
1
2
bersifat kekal. Dengan kata lain, entitas selainnya merupakan entitas baharu yang
Hal-hal baharu tersebut bukan hanya merujuk pada fisik alam semata,
termasuk di dalamnya juga mengenai ruang, gerak dan waktu. Menurutnya, ketiga
hal ini memiliki permulaan dan tentu saja akan berakhir. Oleh peneliti-peneliti
kontemporer, pola metafisika al-Kindī ini disebut dengan istilah creatio ex nihilo,4
suatu proses penciptaan dari tiada menjadi ada yang seringkali disebut paling
tersebut. Bahkan terdapat banyak filososf yang menolak paham tersebut dan
buku ―Waktu dan Ruang‖ karya Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin al-Hasan al-
“Kalangan yang mengira bahwa yang kekal itu lebih dari satu, terbagi
kekal itu ada dua; Subjek dan Substansi. Maksud dari substansi adalah materi.
Kedua, golongan yang mendaulat kekekalan pada tiga hal; Subjek. Substansi
4
Tony Abboud, Al-Kindī: The Father of Arab, (Rosen Pub Group, 2006), h.50.
5
Wafat tahun 421 H, lihat Mu‟jam al-Udabaa karya Yaquut jilid 2 halaman 103, dan
Bagiyyatul Wi‟aah karya as-Suyuuthy halaman 159 dalam ―Rasail Falsafiyah‖
3
Abu Bakr Muhammad ibn Zakariyya al-Rāzī atau al-Rāzī dari Reyy
(Rhazez, 865-925 M7),8 satu diantara yang paling vokal menolak Creatio ex
seorang yang dikenal sebagai pengikut al-Kindī yang terpercaya. Murid itu
bernama Ahmad Ibn al-Thayyib al-Sarakhsi 10. Dari daftar judul buku-buku al-
Dalam skema lima kekal, pada awalnya kelima wujud ini ada secara
berdampingan (co-exist). Tuhan dan Jiwa berada diluar ruang dan waktu,
6
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, (Beirut: Mansyur al-Dar al-Afaq al-Jadidah, 1982), h.
196.
7
Dari beberapa data yang tersedia, ada banyak pendapat yang berbeda-beda tentang
tahun kelahiran dan kematian al-Rāzī. Tien Rohmatien menyebutkan mulai dari 863-925 M.
(Harun Nasution 1999), 865-922/923 M. (Montgomery Watt, 1987; M.M Sharif, 1995), hingga
yang terkuat menurutnya yaitu 865-925 (Rasail Falsafiyat al-Rāzī. Disamping pandangan tokoh
yang disebut Tien Rohmatien, ada tokoh lain lagi yang memiliki pandangan tahun yang
berbeda, yaitu Mehdi Mohaghegh yang menyebut 932 M. sebagai tahun kematian al-Rāzī. Lih.
Tien Rohmatien, al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, (Jakarta: Hipius, 2013), h.21-22. Lihat juga.
Mehdi Mohaghegh, Notes on the ―Spiritual Physics‖ of al-Rāzī, dalam Jurnal Studia Islamica
No. 26 (1967), h. 6.
8
Pada tahun 1930-an, Paul Kraus mengumpulkan bagian-bagian dari karya orisinil al-
Rāzī. Upaya ini menghasilkan antologi yang luar biasa, yang disertai dengan sebuah analisis
mengenai implikasi dari bagian-bagian tersebut. Meskipun telah berlalu lebih dari setengah
abad, semenjak Kraus mempublikasikan karya al-Rāzī, hasil kerja Kraus hingga saat ini
berhasil menjadi landasan bagi setiap kajian tentang al-Rāzī. Lih. Sarah Stroumsa, Para
Pemikir Bebas Islam, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogjakarta: Lkis, 2006), h.132
9
Tien Rohmatien menerjemahkannya dengan sebutan ―Doktrin Lima Kekal‖ sementara
Harun Nasution menyebutnya dengan istilah ―Prinsip Lima Kekal‖, lih. Tien Rohmatien,
al- Rāzī Sang Penolak Nabi?, h.50. Bandingkan dengan, Harun Nasuotion, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam, h. 22.
10
Lihat F. Rosenthal, ―al-Sarakhsi; Articel al-Sarakhsi‖, The enciklopedia of Islam (2),
Vol. IX, h. 35. Dalam sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, h.243
11
Sayangnya buku tersebut telah lenyap bersamaan dengan karya-karya al-Rāzī lainnya.
4
sedangkan materi diperluas dalam ruang dan waktu. Namun bukan sepanjang
ruang dan waktu sehingga menyisakan ruang bagi kekosongan. Materi pertama ini
yang memiliki hasrat untuk berbaur dengan materi. Karna itu, sebagai hasil dari
pancaran akal dari tuhan dan berbaurnya jiwa dengan materi terjadilah tatanan
Hatim al-Rāzī, al-Rāzī, al-Rāzī dituduh sebagai penganut pagan, mulhid, hingga
ateis. Dan bukan hanya lawan debatnya, beberapa penelliti kontemporer bahkan
juga melihat al-Rāzī dengan nada yang serupa, sehingga al-Rāzī dinilai
Pada masa yang kuarng lebih bersamaan, di belahan dunia Islam yang lain,
hidup seorang failasuf yang juga menolak paham creatio ex nihilo, dengan
Tarkhan ibn Auzalagh, yang populer dengan nama al-Fārābī (Farabhius, 870-950
M).
12
Sayyed Hossen Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, buku
pertama (Banudng: Mizan, 2003), h.252.
13
Beberapa tokoh yang menyebut al-Rāzī menolak kenabian ialah Harun Nasuiton dan
Sayyed Hossein Nasr, lih. Harun Nasuotion, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), h. 22. Lih. Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(New York, Toronto dan London: New American Library, 1970), h. 269.
14
Abdurrahman Badawi, Sejarah Ateis Islam, terj., Khoiron Nahdiyyin, (Yogjakarta:
Lkis, 2003), h. 245.
5
dari perenungan itu, terjadilah pelimpahan (al-Faidh) berupa intelek kedua dari
Tuhan. Intelek kedua itu, seperti Tuhan, dicirikan oleh aktivitas kontemplasi diri
dan selain itu juga memikirkan wujud Tuhan. Berdasarkan perenungan atas
langit, Intelek Aktif, Jiwa, Bentuk dan Materi. Kesemua itu menurutnya bersifat
kekal, dalam artian telah ada bersama dengan adanya Tuhan (co-eksis).
Skema emanasi ini, tentu saja berlawanan dengan creatio ex nihilo al-Kindī,
karna itu beberapa abad setelahnya, al-Ghazali sebagai penganut paham creatio ex
nihilo selanjutnya melabeli failasuf dengan paham ini sebagai kafir. Meskipun
tradisi falsafah Islam, yang tentu saja telah mengalami pembaharuan seiring
15
Sayyed Hossen Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.., h.237
6
Bertolak dari latar belakang ini, sebagai hasil penolakan atas creatio ex
nihilo yaitu lima kekal al-Rāzī dan emanasi al-Fārābī, menjadi menarik dan tentu
oleh al-Kindī. Dalam formulasinya, kedua teori ini sama-sama menggunakan term
al-Faidh sebagai alternatif term dari al-Ibda‟16 dalam Falsafah al-Ula sistem al-
Kindī. Pada skema emanasi al-Fārābī, jiwa muncul karna aktifitas pemikiran akal
dirinya. Setelah Tuhan, hirarkisnya, akal pertama hingga kesebelas adalah hal
paling transenden, kemudian jiwa, langit, dan terakhir dunia materi.17 Sedang
dalam skema lima kekal al-Rāzī, jiwa merupakan pancaran langsung dari Tuhan
yang disebut akal murni. Secara hirarkis, jiwa ialah al-Mabda‟ al-Qadim al-Tsani
Keduanya juga menganggap bahwa selain Tuhan, terdapat entitas lain yang
juga bersifat kekal. Al-Rāzī menyebut Jiwa, Materi, Ruang dan Waktu, al-Fārābī
bahkan menyatakan keseluruhan dari skema emanasi tidak memiliki awalan dan
akhiran19.
16
Kata ibda` menunjukkan arti yang lebih luas dari pada khalq yakni menciptakan
sesuatu dari ketiadaan. Selain itu, ia juga menunjukkan arti ―pengurusan‖ dan
―pengaturan‖ sesuatu yang diciptakan. Fuad Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1985), h. 101.
17
M.M. Sharif, a History of Muslim Philosophy, (Delhi: Low Price Publication, 1995),
h. 488-489.
18
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 197
19
T.J.De Boer, The History of Philosophy in Islam, terj., Edward R Jones, B.D., (New
York: Dover Publication, 1967), h.107.
7
Hal yang tidak kalah menarik lainnya ialah al-Rāzī dan al-Fārābī merupakan
dua failasuf yang mewakili zaman yang sama, bahkan beberapa peneliti juga
menyebut keduanya mewakili doktrin aliran teologis yang sama (Syiah). Tapi
anehnya, teori lima kekal al-Rāzī ditolak dan dinilai sesat ketika itu (bahkan
namun emanasi ketika itu terus dilanjutkan dan diperbaharui sedemikian banyak.
wilayah di masa itu; al-Rāzī mewakili Rayy dan al-Fārābī mewakili ibu kota
Bagdad.
8
Lima Kekal al-Rāzī dan Emanasi al-Fārābī‖ ini, memiliki masalah pokok yang
emanasi al-Fārābī?
Pertama, menjelaskan struktur dari teori lima kekal al-Rāzī dan emanasi al-
Fārābī sebagai tawaran lain dari sistem creatio ex nihilo. Kedua, mengungkap titik
singgung persamaan dan perbedaan antara teori lima kekal dan emanasi.
manfaat, diantaranya:
pengetahuan.
Islam Klasik di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN
yang mengkaji tentang teori lima kekal al-Rāzī dan emanasi al-Fārābī.
9
dua poin terakhir merupakan manfaat praktis yang dapat diaktualisasikan dalam
D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa karya yang telah membahas mengenai pemikiran Abu Bakar
al-Rāzī semisal, buku yang berjudul Usul al-Fikr al-Falsafi inda Abi Bakr al-Rāzī
karya Abdul Latif Muhammad al-Abd. Buku ini terbagi kedalam dua bagian.
Bagian pertama berisi upaya Abdul Latif memposisikan al-Rāzī sebagai failasuf
dan dokter yang jenius. Sedangkan bagian kedua berisi pembahasan tentang
Kesimpulan yang diberikan Abdul Latif dalam buku ini cukup menarik, ia
secara tegas menyebutkan bahwa al-Rāzī adalah seorang intelektual muslim yang
Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyah, karya lain dari Abdul Latif pada bab 5
dalam buku tersebut juga membahas tentang pemikiran al-Rāzī, khususnya perihal
akal dalam pemikiran filsafat al-Rāzī. Beberapa bagian dari buku tersebut
menyebutkan bahwa al-Rāzī adalah failasuf rasional dan pemikir jenius. Salah-
satu yang menarik dalam buku itu ialah Abdul Latif juga menulis tentang mazhab
al-Rāzī yang sejauh ini masih minim dijadikan objek peneleitian di lingkungan
akademis.20
20
Abdul Latif Muhammad al-Abd, Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyat (kairo: Maktabat
al-Nahdah al-Misriyyat, 1979), hal. 281.
10
failasuf Islam yang disunting oleh Sayyed Hosein Nasr dan Oliver Leaman.
Dalam buku ini terdapat satu tulisan Lenn E.Goodman, salah seorang pengajar di
tentang pengaruh Galen terhadap karya kedokteran al-Rāzī dan hipotesa Epikurus
Pemikir Bebas Islam‖. Buku ini menyajikan dua tokoh pemikir bebas; Ibn
Rawandi dan Abu Bakr al-Rāzī. Perihal pembacaannya tentang al-Rāzī, Stroumsa
menilai bahwa ia sebagai satu fenomena khas yang pernah tercatat dalam
Kemudian, ―Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam‖ oleh Harun Nasution dan
keseriusan penulisan serta kredibilitas kedua penulis diatas, kedua buku belum
memberi cukup ruang penelusuran dan penjelasan tentang teori lima kekal al-
Rāzī. Meski tidak dapat dipungkiri, buku ini ditujukan sebagai pengantar
Penelitian lain yang cukup dekat dengan isi penelitian ini, yaitu tesis Tien
Rohmatien yang berjudul Pemikiran Filsafat Abu Bakr al-Rāzī. Tesis yang
21
Sayyed Hosein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam 1,
(Bandung: Mizan, 2003) hal. 243.
22
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, ter., Khoiron Nahdiyyin (Yogjakarta:
Lkis, 2006) hal. 207
11
ditujukan pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, membahas pemikiran al-
Rāzī mulai dari riwayat hidup, pemikiran metafisika, kenabian, hingga pemikiran
beberapa persoalan posisi teologis dari al-Rāzī hingga kemudian secara tegas
menyimpulkan bahwa al-Rāzī adalah Failasuf yang mukmin dan saleh, memiliki
yang belum diteliti secara kompleks. Peneliti belum menemukan kajian pustaka
yang membahas studi komparatif al-Rāzī dan al-Fārābī, khususnya mengenai teori
E. Metode Penelitian
permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini dari berbagai macam sumber dan
literatur, baik sumber primer maupun sekunder. Adapun sumber primer, karya
atau buku yang paling pokok peneliti gunakan ialah al-Falsafah al-Ula karya al-
Kindī dibantu dengan komentar Alfred L. Ivry, al-Sirah al-falsafiyah karya al-
peneliti menggunakan tulisan ilmiah atau buku yang menyingung topik penelitian
yang berkaitan dengan teori lima kekal al-Rāzī dan emanasi al-Fārābī. Sedangkan
komparasi ini dikemukakan persamaan dan perbedaan antar kedua teori yang
―Dia dilahirkan di Rayy, pada awal bulan Sya‘ban tahun 251 H (850
M). Tidak ada yang dapat kita ketahui tentang dia, selain bahwa dia adalah
seorang praktisi Kimia. (Ketika bekerja), dia membiarkan matanya tidak berkedip,
mudah terluka dan terkena penyakit. Karna terlalu sering berhbungan dengan api
dan asap-asap yang menyengat, terpaksa dia harus mencari pengobatan. Situasi ini
menjadikannya tertarik pada praktik kedoteran, dan kemudia terhadap apa saja
yang beradad dibalik itu, terhadap sesuatu yang karenanya dia banyak dicemooh.
tembok yang menghadap kepadanya dan menyandarkan buku pada tembok (itu).
Dengan cara seperti ini, ketika dia tertidur sejenak, maka bukunya akan lepas dari
23
Dikenal sebagai astronom, matematikawan, fisikawan dan sejarawan. Lih.Sayyed Hossein
Nasr, Science and Civilization in Islam, h. 133-137
14
15
matanya rusak, disamping juga karna kegemaran dan kecanduan makan bncis.
Pada akhirnya dia buta untuuk selamanya. Di akhir hayatnya, kedua matanya
terserang katarak.
mengatakan: ―Saya menyatakan bahwa Anda adalah ahli bedah mata terbaik
dan dapat diakui. Akan tetapi Anda tahu bahwa pengobatan seperti ini buukan
panjang, sesuatu yang saya sendiri tidak dapat bersikap sabar terhadapnya.
Barangkali hanya tersisa waktu yang pendek bagiku untuk hidup, dan waktu yang
saya tetapkan semakin dekat. Bagi orang seperti saya, patut dicela kalau memilih
bersusah payah dan menderita daripada menikmati sisa hidupnya. Lakukan saja
dan terimakasi atas perhatian dan usaha-usaha Anda,‖ dan dia menyerahkan
dirinya kepadadnya.
Setelah itu, dia tidak hidup lama. Dia meniggal di Rayy pada tanggal 6
Sya‘ban tahun 313 H./925 M24. Dia berusia 62 tahun menurut perhitungan tahun
24
Dari beberapa data yang tersedia, ada banyak pendapat yang berbeda-beda tentang tahun
kelahiran dan kematian al-Rāzī. Tien Rohmatien menyebutkan mulai dari 863-925 M. (Harun
Nasution 1999), 865-922/923 M. (Montgomery Watt, 1987; M.M Sharif, 1995), hingga yang
terkuat menurutnya yaitu 865-925 (Rasail Falsafiyat al-Rāzī. Disamping pandangan tokoh yang
disebut Tien Rohmatien, ada tokoh lain lagi yang memiliki pandangan tahun yang berbeda, yaitu
Mehdi Mohaghegh yang menyebut 932 M. sebagai tahun kematian al-Rāzī. Lih. Tien Rohmatien,
al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, (Jakarta: Hipius, 2013), h.21-22. Lihat juga. Mehdi Mohaghegh,
Notes on the ―Spiritual Physics‖ of al-Rāzī, dalam Jurnal Studia Islamica No. 26 (1967), h. 6.
16
hijriyyah, yang sepadan dengan usia 60 tahun menurut perhitungan tahun masehi,
yang berjudul "The Philosopher From Rayy" (Failasuf dari Rayy) dan juga telah
penciptaannya, dan juga teori politiknya (atau tepatnya, sisi kekurangan dari teori
di sepanjang sejarah Islam," atau "sarjana yang paling radikal dan yang paling
tidak suka melakukan pemujaan terhadap institusi; dan barang kali satu-satunya
tokoh yang paling dicela dan tidak di setujui sebagai seorang heretik dalam
pemikiran Islam pada masanya agak dapat menerima sikapnya radiikal itu. Akan
muncul sebagai sebagai sesuatu yang tidak dapat dipertemukan dengan dengan
jenis Islam manapun, tanpa prasangka. Lebih dari itu, setelah kajian kraus, tidak
25
Al-Biruni, Risalah al-Biruni fii Fihrist kutub Muhammad bin Zakariyyah al-Rāzī, ed. P.
Kraus, (Paris: t,p., 1936), h. 4-6.
17
ada lagi perhatian serius yang diberikan terhadap komponen paling penting dari
penciptaannya dianggap oleh Nasir Husraw sebagai sangat heretik melebihi ajaran
al-Iransyahri.26 Akan tetapi, untuk menunjukkan dengan tepat sumber dan watak
Meskipun tidak ada data yang pasti mengenai kapan al-Rāzī meninggal,
akan tetapi masalah ini tidak begitu menimbulkan kontroversi seperti halnya Ibn
ar-Rawandi. Selain itu, dalam kasus ar-Rāzī, implikasi dari kapal sebenarnya dia
lihat.27
26
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, h.132
27
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, h.132
18
gurunya. Fakta ini dapat memberikan kesan akan permulaan menuju kepemilikan
bebas. al-Rāzī dikenal pertama kali dan terutama sebagai ahli fisika, "ahli fisika
Arab yang tiada taranya," dan pendekatan medisnya tidak dapat dipisahkan dari
minat falsafahnya. Pines Dan kraus melukiskan dia sebagai "ahli fisika Arab yang
pasiennya, kumpulan besar dari catatan klinisnya, al-Hawi, juga berisi observasi-
serampangan.
kini, ia disebut ―The Greatest and most original of all the muslim Physicians, and
28
Tien Rohmatien, al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, h. 22
19
one of of the most profilic as an author‖29. Pada bidang ini, diantara guru-guru al-
Rāzī ialah al-Balkhi dan Abu Hasan Ali ibn Rabban al-Thabari.30
Abu Qasim al-Balkhi (931 M.), Syuhaid Ibn al-Husayn al-Balkhi, Abu Hatim al-
Rāzī juga muncul di masa setelahnya yakni dari Ibn Maimun (Maimonides) yang
memberikan penilaian terhadap al-Rāzī sebagai "hanya seorang ahli fisika," dalam
Nama al-Fārābī mempunyai nama lain Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn ṭorhan
Al- Fārābī. Sebenarnya nama Al-Fārābī diambil dari nama kota Farab, tempat ia
dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H. Nama lengkapnya
adalah Abu Naṣr Muḥammad bin Muḥammad bin Tarkhan bin Uzlag al-Fārābī,
yang biasa disingkat saja menjadi al-Fārābī. Ia dilahirkan di Wasij, Distrik farab,
Pada masa remajanya ia telah hijrah bersama orang tuanya ke Bagdad, tapi
menurut informasi lain, ia telah bekerja sebagai hakim dan kemudian baru berada
29
Edward G. Browne, Arabian Medicine, (Cambridge: Cambridge Press, 1921), h. 44.
30
Tien Rohmatien, al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, h. 23
31
Tien Rohmatien, al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, h. 25-26
32
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, h.132
33
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009), h. 15.
20
di Bagdad pada usia 50 tahun atau pada usia 40 tahun. Disana ia dapat berdiskusi
dan saling mengambil manfaat dengan banyak ahli dalam berbagai bidang. Al-
Fārābī mendapat gelar kehormatan sebagai guru kedua dengan catatan bahwa
waktu. Saat kecil ia dikenal sangat rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas. Ia
banyak memelajari agama dan bahasa di tempat kelahirannya yaitu desa kecil
bernama Wasij, Farab, daerah dekat sungai Jaxartes dan di daerah Transoxiana
Pada saat muda ia belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhara. Setelah
Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhannah ibn Haylan. Pada masa
Bahgdad dan al-Fārābī unggul dalam ilmu logika. Al-Fārābī selanjutnya banyak
Konstantinopel dan tinggal di sana selama delapan tahun serta memelajari seluruh
silabus falsafah. Pada tahun 297 H. bersamaan 910 M., ia telah kembali ke
34
M.M. Syarif (Ed), Para Filosof Muslim, terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan,
1994), cet.7, h.55-58.
21
buku-buku yang ditulis oleh Aristoteles dan menulis karya-karya. Setelah hijrah
Pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan
besar sekali, tetapi al-Fārābī lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak
saja sehari untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi, hal yang
sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fikih, dan kaum cendekiawan lainnya. Al-
Fārābī adalah seorang failasuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan dan memandang falsafah secara utuh dan menyeluruh serta
seperti Ibn Sînâ dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem
kedua).36
Al-Fārābī wafat di Damaskus pada 950 M. Usianya pada saat itu sekitar
35
Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), Vol.1,
Cet. Ke-4, h. 331.
36
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.33.
37
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
h.57.
22
selatan dan pintu sampingan kota tersebut. Syaf al-Dawlah sendiri yang memberi
dinasti-dinasti baru yaitu Turki dan Persia yang berada di batas luar. Pada
akhirnya, dinasti ini menguasai Bagdad itu sendiri, dan khalifahpun praktis seperti
Al-Fārābī dan al-Rāzī hidup pada zaman kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang
dengan berbagai motif, agama, kesukuan dan kebendaan. Banyak anak-anak raja
berhak memerintah dan berkuasa dari keturunan Abbas, paman Nabi Muḥammad.
Stabilitas lebih kacau lagi dengan hilangnya Imam Muḥammad Mahdi (Imam
keduabelas dari Syiah Imamiyyah) dalam usia empat atau lima tahun. 40 Diantara
banyaknya gejolak, pertikaian antara aliran teologis merupakan hal paling krusial.
kemajuan di segala aspek. Tiga perempat abad setelah berdirinya Bagdad, dunia
38
Muhammad Fanshobi, Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Farabi, (Ciputat:
Skripsi UIN Jakarta, 2014), h. 12.
39
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.52
40
Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997), cet. Ke-1, h.79.
23
literatur Arab telah miliki karya-karya falsafah utama Aristoteles, karya para
Pada masa Manshur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn As‘ad sebagai gubernur Ray,
Ar-Rāzī diserahi kepercayaan memimpin rumah sakit selama enam tahun (290-
296 H). Pada masa ini juga Ar-Rāzī menulis buku al-Thibb al-Mansuri yang
Khalifah, ia didapuk sebagai pimpinan lembaga ilmiah dan rumah sakit Maristan
di Baghdad.42
Pada era khalifah yang sama, tepatnya pada kekhalifahan al-Muktafi (902-
908 M) dan awal kekhalifahan al- Muqtadir (908-932 M) al-Fārābī telah populer
sebagai failasuf yang unggul dalam logika. Sayangnya di era itu juga, Al-Fārābī
mempelajari seluruh silabus falsafah. Kemudian pada tahun 297 H. (910 M.) ia
akhirnya kembali ke ibu kota Baghdad dan menetap di sana selama 20 tahun, ia
kembali memerdalam ilmu-ilmu falsafah, logika, etika, ilmu politk, musik dan
41
Philip K.Hitti, History of Arab.., h.381
42
Di lembaga Maristan ini Ar-Rāzī mengajar ilmu kedokteran dengan metode yang paling
modern pada masa itu, yaitu mengintegrasikan studi teori dengan studi lapangan, antara tempat
belajar ilmu kedokteran dan rumah sakit menjadi satu kesatuan. Metode studi ilmu kedokteran
Maristan menjadi standar kedokteran yang progressif dan orsinil Islam, dimana pembelajaran ilmu
kedokteran secara ilmiah dan praktik amaliah secara langsung. Metode ini kemudian berkembang
di Barat dan di Rimur. Ali Al-Jumbulati, Dirasat al-Muqaranat fi at-Tarbiyah al-Islamiyah,
terjemahan Prof. HM. Arifin M. (Ed)., 1994, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 34
24
lain sebagainya.43 Pada hidupnya al-Fārābī tidak terlalu dekat dengan penguasa
Dari seting riwayat ini, dapat ditelisik bahwa kedua failasuf ini tumbuh
Hal yang tak kalah pentingnya, kedua failasuf ini merupakan tokoh yang
sangat populer pada tempat (Bagdad) dan era (Terutama era al-Muktafi) yang
sama. Karna itulah, bagi peneliti, besar kemungkinan kedua failasuf ini sudah
konkret yang menunjukkan bahwa kedua failasuf ini pernah bertemu satusama
lain.
43
Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), Vol.1,
Cet. Ke-4, h. 331.
BAB III
METAFISIKA ISLAM
Kata ―meta‖ bagi orang Yunani mempunyai arti ―sesudah atau di belakang‖.
―hal- hal di belakang gejala fisik‖. Ketika Andronikos dari Rhodos menyusun
tersebut dengan nama ―buku-buku yang datang sesudah fisika‖ (ta meta ta
kesempurnaan, yang ada, yang tidak terdapat pada dunia fisik, tetapi mengatur
dunia fisik.44
Sejak tahun 1950-an, pendirian ini tidak dapat dipertahankan lagi. Dalam
bahwa kata metafisika lazim dipakai oleh kalangan Aristotelian, jauh sebelum
Andronikos. Dengan demikian, nampak jelas bahwa nama ini bukan berasal dari
Andronikos. Moraux menyebut bahwa metafisika telah dipakai oleh Ariston dari
Terlepas dari hal itu, 14 pasal yang oleh W D Ross diberi judul Aristotle
44
Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), 17-18
45
Beretens, Sejarah falsafah.., 153
25
26
pengetahuan tentang sebab (knowledge of Cause), Studi tentang Ada sebagai Ada
(the study of Being as Being), Studi tentang Ousia (Being), studi tentang hal-hal
abadi dan yang tidak dapat bergerak (the study of the eternal and immovable), dan
Teologi.46
sifatnya diluar fisik. Hal ini karena investigasi ilmiah terfokus pada hal-hal yang
Aristoteles, metafisika merupakan suatu tujuan yang tidak dapat terelakan dari
semua pengkajian.
“For the science which it would be most meet for God to have is a divine
science, and so is any science that deals with divine objects; and this science
alone has both these qualities; for (1) God is thought to be among the causes of
all things and to be a first principle, and (2) such a science either God alone can
have, or God above all others. All the sciences, indeed, are more necessary than
“We answer that if there is no substance other than those which are formed
by nature, natural science will be the first science; but if there is an immovable
substance, the science of this must be prior and must be first philosophy, and
46
Alan R. White. Methods of Metaphysics, (Taylor and Francis Group, 1987), h.31
47
Aristoteles, ta Meta ta Physica, terj. W. D. Ross (Oxford: The Clarendon Press, 1924),
Book 1, CH 2.
27
universal in this way, because it is first. And it will belong to this to consider
being qua being-both what it is and the attributes which belong to it qua being”48
“For some speak of the first principle as matter, whether they suppose one
incorporeal; e.g. Plato spoke of the great and the small, the Italians of the infinite,
Empedocles of fire, earth, water, and air, Anaxagoras of the infinity of things
composed of similar parts. These, then, have all had a notion of this kind of cause,
and so have all who speak of air or fire or water, or something denser than fire
and rarer than air; for some have said the prime element is of this kind. These
thinkers grasped this cause only; but certain others have mentioned the source of
movement, e.g. those who make friendship and strife, or reason, or love, a
principle.”49
“Those, then, who say the universe is one and posit one kind of thing as matter,
and as corporeal matter which has spatial magnitude, evidently go astray in many
48
Aristoteles, ta Meta ta Physica, Book 6, CH 1.
49
Aristoteles, ta Meta ta Physica, Book 1, CH 7
28
ways. For they posit the elements of bodies only, not of incorporeal things, though
there are also incorporeal things. And in trying to state the causes of generation
and destruction, and in giving a physical account of all things, they do away with
kata yang lain. Terkadang ia menggunakan istilah The Prime Mover, The First
Cause, dan terkadang menggunakan The Form of Form. Istilah-istilah ini pada
intinya merujuk kepada satu entitas yang ia sebut Aktus Murni (Actus Purus);
Tuhan.
Philon dari Alexandria. Setelah itu, pada abad ke-3 M, Plotinos akan menjadi
konsep emanasi dan isi kosmos noetos (dunia idea). Plotinus mengatakan:
50
Aristoteles, ta Meta ta Physica, Book 1, CH 8.
51
Penggerak utama Aristoteles ini oleh Levi Ben Gershom (Gersonides) disebut sebagai
Tuhan (God). Lihat Gersonides, The Wards Of The Lord: Book Five The Heavenly Bodies and
Their Movers, ter. Seymour Feldman (Philadelphia: The Jewish Publication Society, 1999), h.5
52
Aristoteles, ta Meta ta Physica, Book 12, CH 1.
29
―For all things there are heaven (en panti oikountes toi ekei ouranoi), and
earth and sea and plants and animals and men are heaven, everything which
belongs to that higher heaven is heavenly. The gods in it do not reject as unworthy
men or anything else that is there; it is worthy because it is there, and they travel,
Plato, sebagai failasuf yang banyak dirujuk mengenai dunia idea, memang
tidak pernah secara eksplisit memberi gambaran tentang dunia ideal (dunia
intelligibel), kecuali lewat mitos dan perumpamaan. Plotinus lah orang yang
menafsirkan pemikiran Plato menjadi dualisme seperti itu; dunia dan dunia idea.
Plotinus menyebutkan:
“In the intelligible world is true being (en toi kosmoi toi noetoi he alethine
ousia); Intellect is the best part of it; but souls are There too ; for it is because
they have come Thence that they are here too. That world has souls without
bodies, but this world has the souls which have come to be in bodies and are
divided by bodies. There the whole of the Intellect is all together and not
separated or divided, and all souls are together in the world which is eternity, not
in spatial separation.‖54
“And how in general can these things here be there in the intelligible? Well,
the plants could fit into the argument; for the plant here is a rational forming
principle (logos) resting in life. If then indeed the forming principle in matter (ho
53
Plotinus, Ennead V 8 [31] , 32-37, The Loeb Classical Library, London: Harvard
University Press, 1984.
54
Plotinus, Ennead V 21 (IV 1), 1-8
30
enhulos logos), that of the plant, by which the plant exists, is a particular life and
a soul, and the forming principle (logos) in some one thing, then this principle is
either the first plant or it is not, but the first plant is before it, and this plant here
derives from it. For that first plant is certainly one, and these plants here are
many, and necessarily come from one. If this is really so, that plant must be much
more primarily alive and be this very thing, plant, and these here must live from it
Bila gambaran Plotinus tentang dunia idea sangat jelas, menjadi berbeda
bila dilihat dari teks-teks Plato. Gabungan kata kosmos-noetos sendiri absen
dalam seluruh corpus platonisian56. Kalau pun ada pembicaraan tentang idea,
Plato membicarakannya dengan lumayan rumit dan abstrak. Idea itu dibicarakan
misalnya saat berbicara tentang ―kesamaan initself‖ atau ―keindahan in itself‖ atau
juga ―keadilan‖. Terlepas dari hal itu, penafsiran plotinus tentang plato inilah
Hal terpenting lainnya dari pembacaan Plotinus, ada pada teori emanasinya.
Dimana menurutnya ada tiga tahap wujud emanasi dari "Yang Esa", yaitu: nous
(akal budi, rasio, roh), psyche (jiwa), dan me on/ hyle (materi, benda, hal fisik)57.
55
Plotinus, Ennead VI 7 [38] 11, 9-17
56
Istilah dunia intelligibel (atau dunia idea) baru muncul beberapa abad setelah Platon. Luc
Brisson dan Jean-François Pradeau, entry ―Monde‖, Dictionnaire Platon, Paris: Ellipses, 2007, h.
92
57
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume I. Greece & Rome part II,
Maryland: The Newman Press, 1962, hlm. 208.
31
Dari sinilah akar muara cara tafsir neoplatonisian terhadap Plato khususnya
―Kelak oleh Plato Yang-Baik itu disebut Yang Satu. Jika kita mengingat lagi
pikiran Plato ini, tak heranlah kita bahwa oleh banyak juru tafsir dikatakan
bahwa yang dimaksud oleh Plato dengan Idea Kebaikan (atau Yang-Baik) itu
Tuhan. (…) yang dimaksud Plato (dengan Yang-Baik itu) betul-betul Roh Yang
semesta alam. Menurut sarjana ini juga di lain-lain tempat, Plato mengajarkan
bahwa Roh Yang mengatasi semua, yang menyebabkan adanya aturan dalam
ke- 10 di Amsterdam pada tahun 1948: „Meskipun dia (Plato) tidak pernah
Akan tetapi, di samping itu harus juga dikemukakan bahwa Plato belum pernah
memberi paparan tentang Roh Yang Transenden itu dengan cara yang terang dan
pikiran dalam Maha Pengertian Tuhan sehingga tidak lagi akan berupa barang-
58
Perlu ditekankan bahwa Plato bukan pemikir berlatar belakang monotheisme. Ia tidak
mengenal teori penciptaan, sehingga kita harus menempatkan diri dalam alur berpikir di mana
tidak ada Tuhan Pencipta (yang sering direpresentasikan sebagai causa produktris bagi segala
sesuatu, titik pijak akhir aktivitas berpikir).Idea bagi Platon bukanlah penyebab efektif (dalam arti
produsen) munculnya realitas dunia kita.Dalam mitos di Timaios, figur mitis bernama Demiourgos
praktis menjadi fabrikator alam kita. Ia tidak menciptakan dunia, Demiourgos hanyalah menata
agar kontemplasinya pada idea yang ia terapkan pada bahan-bahan (yang selalu sudah ada
sebelumnya) memunculkan dunia kita sebaik mungkin. Demiourgos bukan Tuhan Mahakuasa, ia
keillahian yang terbatas.
32
barang yang berdiri sendiri? Kita tidak dapat mengatakan hal ini. Yang pasti
ialah Plato sendiri pada usia yang lanjut rupa-rupanya tidak lagi percaya
metafisika Yunani.
tema-tema seperti creatio ex nihilo, lima kekal dan emanasi akan dibahas, peneliti
merangkum beberapa istilah yang digunakan para failasuf tersebut antara lain:
59
Sudiarja, Budi Subanar, St. Sunarki, T. Sarkim dkk, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-
esai Filsafat Pemikir yang terlibat penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, h. 1155-1156
60
Menurut Watt, helenisme terjadi dalam dua gelombang. Pertama, terjadi selama dua abad
yaitu antara 750-950 M. kedua, terjadi pada 1095-1258 M. lihat. W. Mongommery Watt,
Pemikiran Teologi dan Falsafaha Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987) h.54 dan 114
61
Khusus perihal Tuhan, para failasuf Islam berbeda-beda istilah terhadap-Nya. Bahkan
satu failasuf Islam, seringkali memiliki banyak sebutan terhadap-Nya
33
Para failasuf seringkali menggunakan dua istilah dengan kata yang sama
mencari padanan kata yang sesuai. Pada pemikiran al-Fārābī misalkan, dikenal
dua macam kata akal, akal hasil pancaran langsung dari Tuhan (bersifat makro)
dan akal yang dimiliki manusia (bersifat mikro). Keduanya memiliki makna dan
pembahsan yang jauh berbeda, namun dilafadzkan dengan satu kata yang sama;
aql.62 Sama halnya dengan beberapa kata lain seperti Jiwa dan Materi yang rentan
disalahpahami. Maka sangat perlu ditegaskan bahwa semua istilah yang disebut
62
Lihat dalam Al-Farabi, Arad al-Madinah al-Fadilah
34
Abū Yusuf Ya‗qub Ibn Isḥaq al-Kindī atau al-Kindī (lahir di Kūfah tahun
796 M. dan meninggal di Baghdad tahun 873 M. 63), berasal dari suku Kindah,
bernama al-Asy‗asy ibn Qays. Ia adalah seorang sahabat Nabi yang gugur sebagai
syahid bersama dengan Sa‗d ibn Abi Waqqas ketika perang antara umat Muslim
melawan Persia di Irak. Ayahnya bernama Ibn Isḥaq al-Ṣabbah adalah Gubernur
Kūfah pada masa khalifah al-Mahdī (775-785) dan al-Rasyīd (786-809). Al-Kindī
hidup pada masa kekhalifahan Abbassiyah, yakni masa al-Amin (809-813), al-
Mutawakkil (847-861).65
Massignon, al-Kindī meninggal pada tahun 246 H/860 M. Menurut C. Nallino, al-
Kindī meninggal pada tahun 260 H/ 873 M. Menurut T.J. De Boer, al-Kindī
meninggal pada tahun 257 H/ 870 M. Menurut Mustafa Abd al-Rāzīq (Mantan
Rektor Al-Azhar), al-Kindī meninggal pada tahun 252 H/ 866 M. Menurut Yaqut
al-Himawi, al-Kindī meninggal setelah berusia 80 tahun atau lebih sedikit. 66 Dan
63
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II (Jakarta: UI-Press, 1985),
h. 43.
64
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno
(Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983), h. 5.
65
Sirajuddin Zar, Falsafah Islam: Failasuf dan Falsafahnya (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012), h. 37-38.
66
Hasyimsyah Nasution, Falsafah Islam, h. 16.
67
Sirajuddin Zar, Falsafah Islam: Failasuf dan Falsafahnya, h. 41.
35
Al-Kindī adalah orang yang rajin belajar. Saat kecil, al-Kindī belajar ilmu
pengetahuan di Basrah. Saat itu Basrah adalah pusat ilmu pengetahuan paling
Mu‗tazilah dan Asy‗ariyah. Di Basrah juga lahir sekolah pertama untuk ahli-ahli
tata bahasa yang didasari oleh logika Yunani. 68 Ia sangat tertarik kepada berbagai
Selain itu, ia juga rajin menghafal al-Qur‘ān, memelajari sastra Arab, bahasa Arab
pengetahuan. Selain itu juga ia bertemu dengan berbagai cendekiawan dari Suriah
dan Persia. Dari merekalah al-Kindī mulai diperkenalkan dan dibimbing membaca
karya-karya Yunani baik falsafat, logika dan berbagai ilmu lainnya. 71Al-Ahwani
mengatakan bahwa al-Kindī juga termasuk penerjemah besar bersama Ḥunayn ibn
Meski belum jelas kepastiannya, George N. Atiyeh dalam buku berjudul Al-
Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, al-Kindī diduga menguasai bahasa Suriah dan
bahwa al-Kindī tidak menguasai bahasa Suriah dan Yunani. Maka al-Kindī belajar
68
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h. 5.
69
George N. Atiyeh, Al-Kindī, h. 5.
70
M. M. Sharif, Para Failasuf Muslim, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1996), h. 12.
71
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h. 5-6.
72
Sirajuddin Zar, Falsafah Islam, h. 39.
73
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h. 5-6.
36
(Asthat) dan ibn al-Bithriq.74 Setelah mahsyur, al-Kindī dijuluki juga sebagai
bersifat rasional bisa diterima di kalangan masyarakat luas. 77 Karna itu pulalah,
Aristoteles dalam karyanya tersebut. Bukan hanya itu, bahkan al-Kindī juga
The First Philosophy79. Namun, metafisika al-Kindī tidak bisa dipandang sebagai
74
Felix Klein-Franke, ―Al-Kindī,‖Ensiklopedi Tematis Falsafah Islam Jilid I, ed.
Oliver Leaman dan Seyyed Hossein Nasr, terj. Tim Penyusun Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h.
209.
75
M. M. Sharif, Para Failasuf Muslim,h. 12.
76
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h. 6.
77
Sirajuddin Zar, Falsafah Islam: Failasuf dan Falsafahnya, h. 39.
78
Khusus pada persoalan metafisika, peneliti menilai bahwa catatan-catatan al-Kindī pada
persoalan itu murni menggunakan argumen-argumen falsafah. Dalam menjawab persoalan
tersebut, secara dalil al-Kindī menggunakan argumen-argumen Aristoteles serta failasuf yunani
lainnya ketimbang dalil-dalil ayat suci. Peneliti tidak menemukan satu pun ayat suci yang
digunakan oleh al-Kindī dalam kitabnya al-Falsafah al-Ula khusus pada bab-bab yang membahas
metafisika. Lih. Al-Kindī, fi al-Falsafah al-Ula, h.1-152
79
Istilah-istilah Aristoteles hasil penerjemahan W. D. Ross. Aristoteles, Metaphysics,
diterjemahkan W. D. Ross, (Oxford: Clarendon Press, 1924).
37
tuduhan Renan dan Duhem80. Terdapat banyak tema dalam risalah al-Kindī yang
memiliki pandangan metafisika sendiri yang berbeda jauh dari pola yunani.
Bagi al-Kindī, metafisika adalah ilmu pengetahuan tentang apa yang tidak
bergerak, atau ilmu tentang hal-hal ilahiyah. Falsafah al-Ula, padanan kata atas
Phiilosophy), adalah ilmu tentang kebenaran sebab yang pertama. 82 Definisi ini
maka al-Kindī secara konsisten menyebut bahwa Tuhan adalah pencipta, realitas
dalam eksistensi apa yang telah diciptakan dari tiada suatu apapun.83
84
ىسٞ ِسجس ػ١ٝأس ثٝ فئُ ص:جز مو ػيّزٕٝ ٘ غ
menunjukkan arti lebih luas daripada khalq yakni menciptakan sesuatu dari
80
Lihat Olever Leaman, Pengantar Falsafah Islam, terj. HM Amin Abdullah (Jakarta,
Rajawali Press, 1989), h.8
81
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h.
82
George N. Atiyeh, Al-Kindī: Tokoh Failasuf Muslim, h.
83
Atiyeh, Al-Kindī, h.55
84
Al-Kindī, ―Rasail al-Kindī‖, h.183
38
dengan
86
ىسٞ ِثإلدذع – إٖظ جس ثىشب ػ
ketiadaan ini merupakan daya khusus yang tidak dimiliki oleh sesuatu yang lain
selain Tuhan:
87
٘ ٕٗ زث ثىفؼو ٕ٘ ثَىح
صص دجٌس ثإلدذثع
Selain pencipta, Tuhan dalam istilah al-Kindī juga disebut al-Failat, al-Illat
sudah pasti Tuhan lah pencipta alam tersebut. Al-Kindī kemudian mengajukan
alam semesta memiliki eksistensi, maka sama-sama mungkin bagi alam semesta
untuk
85
Fuad Ahwani, Falsafah Islam, h.101
86
Al-Kindī, ―Rasail al-Kindī‖, h.165
87
Al-Kindī, Rasail al-Kindī, h.183
88
Al-Kindī, Rasail al-Kindī, h.165
39
ada atau tidak ada. Agar menjadikan kemungkinan ada itu diatas tidak ada, maka
suatu prinsip penentuan diperlukan, dan Tuhan memiliki hak atas penentuan ini.89
Kedua, al-Kindī menjelaskan konsep Tuhan yang ia sebut dengan istilah al-
Ula. Menurutnya, istilah ―satu‖ mempunyai dua arti; dapat diartikan objek-
objek tunggal dari dunia penciptaan dan juga tunggal sebagai pencipta. Konsep ini
sebagai sebuah bilangan dapat ditujukan kepada objek apapun namun satu sebagai
tunggal tidak dapat ditujukan kepada objek apapun kecuali Tuhan. Semua wujud
ketersusunan.90
Menurut al-Kindī, sesuatu tidak dapat menjadi sebab bagi dirinya, sesuatu yang
sesuat tidak mungkin menjadi sebab bagi dirinya sendiri dibangun dengan
kemungkinan ini.91
pengatur dan penggerak yang cerdas yaitu jiwa dan alam semesta pun demikian.
89
Atiyeh, Al-Kindī, h.55
90
Atiyeh, Al-Kindī, h.57
91
Atiyeh, Al-Kindī, h.57
40
Tak ada entitas lain yang layak dan memiliki kekuatan sebagai penggerak dan
yang begitu sempurna sehingga yang terbaik selalu terpelihara dan yang terburuk
selalu terbinasakan, semua ini adalah petunjuk yang paling baik tentang adanya
suatu pengaturan yang paling cerdas, dan dengan demikian berarti pula adadnya
terutama fisalafat yunani ke dalam falsafah islam. Dalam falsafahnya, al-Kindī lah
nihilo). Menurutnya, semesta ini terbatas, tidak abadi dan tercipta dari yang tiada.
Ada dua prinsip Aristoteles yang digunakan oleh al-Kindī: (1) bahwa sesuatu
yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam
bentuk yang aktual; (2) bahwa materi, waktu dan gerak adalah muncul secara
92
Atiyeh, Al-Kindī, h.58-59
93
Atiyeh, Al-Kindī, h.59
41
94
ِٞ ّ ٍضججِٞشتٞ صغشٍِ مو١ ٗ ُأ ث6.
ػظٌ ٍَْٖج ٗأ دؼذ دؼٔع١ دؼذ ث, س
semesta ini tidak terbatas, maka kita juga harus menyatakan bahwa wujud aktual
dari semesta ini juga tidak terbatas. Namun, ini bertentangan dengan prinsip
Kedua. jika wujud semesta yang diasumsikan tidak terbatas ini kita ambil
terbatas, maka berarti ada dua hal yang sama-sama tidak terbatas, dan itu
94
Al-Kindī, ―Fî Wahdâniyah Allah wa Tanâhi Jirm al-Alam‖ Abu Ridah (ed), Rasâil al-
Kindī, h.202.
42
tidak masuk akal; jika dikatakan menjadi wujud terbatas, maka hal itu
Ketiga, jika sebagiannya yang diambil tadi kita dikembalikan lagi, maka
mengimplikasikan ada sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) yang lebih besar
dari dari sesuatu yang tidak terbatas lainnya (bagian); sesuatu yang tidak masuk
Kindī, semesta yang ada dalam aktualitas ini tidak dapat lain kecuali harus bersifat
terbatas; dan karena terbatas, maka semesta ini berarti tidak kekal dan tercipta dari
Konsep al-Kindī tentang yang terbatas, tidak kekal dan tidak abadi
sebelumnya, tidak hanya berkaitan dengan hal-hal fisik semesta melainkan juga
Menurut al-Kindī, waktu tidak sama dengan gerak; justru waktu adalah
96
جضثء١ش ثجدضز ثٍٞ ذر صؼ ّذٕج ثىحشمز غ
95
George N Atiyeh, Al-Kindī Tokoh Failasuf Muslim, h.51
96
Al-Kindī, ―Rasail al-Kindī‖, h.183
43
Kemudian, jika waktu adalah kekal, tanpa permulaan seperti yang dipahami
terbatas. Jika waktu adalah tidak terbatas, maka berarti tidak ada istilah
―waktu lalu‖ dan ―waktu sekarang‖, karena hal ini mengindikasikan bahwa
waktu telah memasuki alam aktualitas yang terbatas; padahal, sesuatu yang tidak
terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas. Berdasarkan hal itu, menurut al-
Kindī kita tidak dapat membayangkan adanya waktu yang tanpa permulaan, kekal
dan tidak terbatas; sebaliknya, waktu adalah dan harus ada permulaan dan
terbatas. Hal yang sama juga terjadi dengan gerak. Kesimpulannya, jika waktu
dan gerak adalah ada permulaan dan terbatas, maka ia berarti tercipta, tercipta
Begitupun dengan jiwa yang juga dianggap baharu oleh al-Kindī. Jiwa
adalah prinsip kehidupan yang terdapat dalam benda langit. Jiwa berfungsi
membentuk dan mengatur keseimbangan gerakan yang ada pada benda langit.
Jika tidak ada jiwa, maka gerak benda-benda langit tidak akan seimbang.
Akibatnya, jika gerak benda langit tidak seimbang seperti Matahari terlalu jauh
atau terlalu dekat dengan benda langit lainnya, konsekuensinya ialah chaos yang
dapat memusnahkan. Al-Kindī menyebut bahwa Jiwa pada benda langit memiliki
kemampuan nalar. Kemampuan nalar tersebut memiliki dua daya yaitu daya
melihat dan mendengar yang berfungsi sebagai sarana pengetahuan. Karna itu,
benda-benda langit dapat bergerak secara teratur (cosmos), melalui jiwa yang
97
Fuad el-Ahwani, ―Al-Kindī‖ dalam MM. Syarif, Para Failasuf Muslim, terj. A. Muslim,
(Bandung, Mizan, 1996), h.24
44
ٕ ٕ٘جشػقو ٍضحشك ٍِ رثٔصٜ - حجر دجى٘قرٞ رٙ ؼٚ ذٕٞ ثسضَنجه ثٗه ىجٌس غٜ -
دؼذد ٍؤىّف
Berdasarkan hal itu, al-Kindī berarti mempunyai konsep sendiri yang tidak
sama dengan Aristoteles (384–322 SM) yang menyatakan bahwa semesta adalah
terbatas dalam ruang (materi) tetapi tidak terbatas dalam waktu dan gerak. Begitu
pula, al-Kindī tidak sesuai dengan Plato (428-347 SM) yang menyatakan bahwa
semesta adalah terbatas dalam waktu tetapi tidak terbatas dalam materi (ruang).
Sebab, bagi al-Kindī, ruang, waktu dan gerak, ketiganya adalah sama-sama
terbatas dan tercipta. Meski demikian, al-Kindī berkesesuaian dengan Plato dalam
masalah hubungan antara gerak dan waktu. Menurut keduanya, waktu muncul
seiring bersama gerak dan perubahan, di mana ada gerak dan perubahan berarti di
situ ada waktu, begitu juga sebaliknya. Tuhan, karena tidak berubah, maka tidak
berkaitan dengan waktu, dan karena itu Dialah satu-satunya entitas tidak bermula
98
Fuad Ahwani, Falsafah Islam, h.24. Lihat juga Atiyeh, Al-Kindī, h.53.
BAB IV
AL-FĀRĀBĪ
yang sering menjadi polemik dalam literatur falsafah Islam. Kalangan ilmuan
klasik menisbatkan doktrin lima kekal ini pada ajaran kaum kuno Sabian/Shobi‘ah
ال٘جذ إالٝ ّٔص مجأّٛث قذو ىث شثِٞٞى ثىخشٜف ثىقذٍجءثىَخسز دٍْ٘س ج ثٜ ٘جذ رمش ثىق٘هٝ ال1 ).
ِّّٞ٘جٞػ ُأ ٕزث ٍٕز خ ثىفالسفز ثىٜ ف ثىقذٍجءثىَخسز ثدٜ ص ْػذ ق٘ٔىٛظٖش ُأ ىث شثٝ 3).
99
Sabian/Shobi‘ah dari Harran disebut sebagai aliran kuno/pagan yang bersifat dualis, dari
pengikut Zoroaster dan Manichean. Aliran ini juga terkadang diidentifikasi melalui tradisi filosofi
Alexandrian, yang telah menemukan jalannya dari Baghdad melalui Antiokh dan Harran. Kunci
untuk memahami bagaimana aliran Sabian itu melalui seorang tokoh bernama al-Sarakhsi, murid
al-Kindī yang juga sering dikait-kaitkan dengan al-Rāzī. Al-Sarakhsi pernah menyebut bahwa
agama mereka (dualis) adalah agama yang sesuai dengan pengetahuan serta fitrah manusia.
Begitupun dengan nabi-nabi mereka seperti Hermes dan Aghathodaimon, yang terkadang juga
disebut sebagai ―para Rasul‖ dan terkadang juga disebut sebagai ―Malaikat‖.
100
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 192-193.
45
46
perkataan al- Rāzī secara tegas menjawab bahwa ini (teori lima kekal) adalah
dari beberapa tokoh yang juga membahas teori lima kekal; ―Al-Biruni
berkata:
Lima Hal dari kaum Yunani awal...‖ Al-Marzuuqy berkata: ―Inilah apa
yang dikisahkan dari Kaum Awal. Ibnu Zakariya berputar-putar dalam omong
kosong pada argumen-argumennya sekitar topik yang sudah kami sebutkan. Dia
juga berkata:
bahwa ini adalah aliran sejumlah filsuf sebelum Guru yang Pertama.‖
mengenai Lima Yang Kekal dengan Para Filsuf yang Terdahulu. Al-Jirjaany
aliran- aliran yang lain. Maka Ibnu Zakariya al-Thabiib al-Rāzī condong
„Pandangan Tentang Lima Yang Kekal‟.‖ Semua ini sejalan dengan perkataan
101
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, ter., Khoiron Nahdiyyin, h. 241-242.
48
―sangat menyimpang dari Aristoteles dan merupakan sebuah aib baginya saat dia
menyelisihi sang guru, Plato, dan selainnya dari kalangan filsuf pendahulu
Lantas kemudian, kepada aliran manakah teori lima kekal ini dirujuk, yang
oleh al-Rāzī dan para komentator di atas disebut dengan istilah ―aliran
ص أخزٛ ٘ه دجىقذٍجءثىَخسزٗ ّٔأ ىث شثٝس مجُ قَٞقشثغٝى ُأ دٜٕز خ إٝ زٞصَٞ فُج ٗجذّج ثِد
102
ْٔ ٍرثىل ثىق٘ه
menilai bahwa al-Rāzī memang tidak mengikuti aliran filsafat tertentu tokoh
yang teratur (no organized system of philosophy). Dalam beberapa hal, al-Rāzī
diterima. Pemikiran Aristoteles, Galen hingga Sokrates yang banyak dikritik oleh
al-Rāzī sendiri, dalam kesempatan lain justru dikembangkan dan dipadukan satu
sama lain.103
a. Tuhan
102
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 194.
103
Abdurrahman Badawi, Muhammad Ibn Zakariah, dalam M.M Sharif, MM. Syarif, Para
Failasuf Muslim, terj. A. Muslim, (Bandung, Mizan, 1996), h.448
49
Tuhan dalam skema al-Rāzī disebut dengan istilah al-Bari, yaitu penguasa
segala hal yang memulai kehidupan dengan daya yang disebut akal. Karena itu,
ط ثىْ٘س ِػٞثىحجر مف ٖ٘ يحٔقٝ ََفج صٍٔء ُث ثدجسا صجً ثىحَنز ال
ٞ ط ٍْٖجٞس ٗال غفيز ٗصف
104
قشصز ثىشَس ٕ٘ٗ ثىؼقو ثىٌض ثَىحط
Akal dalam skema al-Rāzī memiliki posisi penting yang disebut seperti
energi yang dipancarkan Tuhan kepada Jiwa. Hal ini disebut al-Rāzī sebagai
105
شجء ؼٍ شفز صج ٍّزٞ١ شف ثٝى ؼٜفط ىث ْ٘سػِ ثىقشصٕٗ ٘ صؼجٞط ءّٔ ثىؼقو مٞٗ فٝ
Dia Yang Maha Tinggi, Memancar dari-Nya Akal seperti cahaya yang
esensi yang murni dari materi. Artinya esensi tersebut tidak condong dan tidak
keharusan yang ada pada dirinya sendiri. Sebagaimana pancaran cahaya pada
matahari, atau sinar pada lampu, dan juga panas pada api, bukanlah suatu pilihan,
melainkan keharusan. Esensi ini yang muncul pertama kali dari Sang Pencipta
darinya kecuali sesuatu yang satu pula. Hal ini adalah juga pandangan para filsuf.
Bersamaan dengan itu mereka meyakini kenyataan bahwa Dia Yang Maha Tinggi
104
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 197.
105
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 203.
50
‗Adapun Jiwa,‘ yaitu esensi yang murni. Jiwa kekal dan merupakan sebab
memancar dari sumbernya,‘ yakni matahari. ‗Akan tetapi Jiwa ini bodoh. Dia
ini, dia tidak mengetahui kondisinya sebagai sesuatu yang kekal. Dia juga tidak
mengetahui keadaannya pada saat itu. Dengan argumen ini, al-Rāzī membantah
sangkalan pemikiran yang tidak mengakui kekalan Jiwa. Di mana argumen ini
berbunyi; kalau seandainya Jiwa itu kekal, tentu dia akan mengingat keadaannya
pada saat terdahulu itu, dan dia juga akan mengetahui kondisinya sebagai sesuatu
yang kekal. Argumentasi ini menurut al-Rāzī tidak benar. Sebab baginya,
mengetahui sesuatu sebelum mempelajarinya, dan itu tidaklah mungkin. Jiwa itu
sebelum terikat dengan Materi, adalah bodoh. Kosong dari pengetahuan. Dia
kecuali setelah Jiwa itu terikat dengan Materi. Patut diperhatikan, al-Rāzī tidak
106
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 204-205.
51
Sebab bagi al-Rāzī penciptaan Alam adalah ketika kejadian di mana Jiwa menoleh
ke Materi, yang mana hal ini mengharuskan adanya sebuah anggapan bahwa pada
ى ٗ صؼشٖقج ٗ صطجح ثىيزسٜٞ٘ى ثىضؼيق دجٖىٜو إثٞى ػجَىج دُأ ثىْفس َصٜٗ مجُ ثىذجسا صؼج
107
جسًج صٗ ْس ّٖفسج١َس ز ٗصنٓشٍ فجسقز ثٞثىج
‗Mengetahui bahwa Jiwa akan condong kepada keterikatan dengan materi dan
keterpisahannya dari jasad dan melupakan dirinya sendiri,‘ serta tempat asal dan
ada dalam rupanya yang paling baik dan paling layak sebisa mungkin yang
mencakup manfaat dan maslahat, ‗Dia pun membangun materi, setelah Jiwa
Sang Pencipta melekatkan pada materi itu berbagai macam bentuk dari rupa-rupa
lainnya, Dia juga menyusun rupa-rupa hewan dalam bentuknya yang paling
جٖٞى دؼذ صؼيق ثىْفس ٖدج فشمٜٞ٘ى ثٖىٜى ثىحَنش ثىضٍجز َػذ إٜٗ ى َّجمجُ ٍِ شجُ ثىذجسا صؼج
107
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 206.
108
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 206.
52
Maka, ―Bentuk dan rupa‖ dalam skema al-Rāzī merupakan konsekuensi atas
‖perkataan, Kemudian, Materi. dan Jiwa ―bersatunya ‗ فٖج ٍِ ثىفسذ فزىلٞ قٜز دٛٗ ثى
١ّٔنِ الَٝ ‘إصثىٔضdi atas, adalah jawaban bagi pertanyaan yang aksiologis, yakni; kalau
mengapa keburukan, kesia-siaan, dan kerusakan, sebab jasad hewani muncul dari-
Nya dan jasad tersebut mengandung suatu bentuk kerusakan tersendiri? Jawaban
dan kerusakan itu tidak mungkin dihilangkan dari ciptaan. Sesungguhnya api
tidaklah menjadi api kecuali dia membakar apapun yang dapat terbakar meskipun
pada pembakaran itu ada suatu bentuk kerusakan tersendiri. Kalau api itu tidak
Sementara itu, tidak mungkin bagi api membakar sesuatu kecuali diiringi
dengan kondisi di mana kalau ada baju yang mengenainya maka baju itu akan dia
bakar. Seperti itu pula tidak mungkinnya membuat pisau dalam keadaan yang
mampu dimanfaatkan kecuali diiringi dengan kondisi di mana kalau dia mengenai
dan kesia-siaan ini dan pada saat yang sama keterikatan antara Jiwa dan Materi itu
adalah suatu keharusan, Sang Pencipta yang Maha Bijaksana lantas mengubah
keterikatan itu menjadi rupa yang paling baik sebisa mungkin. Maka
penciptaannya dalam rupa tersebut tidak mencederai kebijksanaan dan ilmu yang
109
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 208.
53
akan dirinya sendiri, yang mana pada semua itu ada kerusakan besar yang tidak
selayaknya bagi hikmah Yang Maha Bijaksana, Dia pun ―mengoreksi‖ kerusakan
ini dengan, ‗meluapkan Akal dan Persepsi dari Jiwa. Keduanya menjadi sebab
Jiwa mengingat alam asalnya,‘ yaitu alam ruh, ‗dan sebab bagi
pengetahuannya,‘ bahwa dirinya adalah asing di alam ini dan, ‗bahwa selama dia
berada di alam Materi ini, dia tidak akan terbebas dari bermacam penderitaan.‘
Al-Rāzī mengatakan:
سجٞ ٗ سجّ ىضزمش ػجَٖىزٞ ى أفجض ػو ثىْفس ػقال ٗإدسثمج ٗصجس رثىلٜثٌ إّٔ سذحجّٔ صٗ ؼج
110
ثاًلٟ ال الْصفل ِػ
ّٜ ٞ٘ ف ثىؼجٌى ثٖىٜ ىؼيَٖج دّأٖج ٍجدٍثش
Semua yang pada alam ini diyakini sebagai kenikmatan, pada hakikatnya
yang krusial. Kenikmatan jasmani paling tinggi adalah hubungan seksual, di mana
seks itu sendiri sebenarnya hanyalah karena saripati mani telah terkumpul di
dan dapat terhindar dari kerugian. Oleh karenanya seseorang akan merasakan,
setelah melepaskannya, keringanan dan kelegaan pada jiwa. Seperti itu pula
kenikmatan tertinggi lainnya setelah kenikmatan seks, yaitu makan pada saat lapar
110
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 206.
54
dan minum pada saat haus. Keduanya dibuntuti dengan banyak penderitaan. Dari
besar dan kecil, pada tempat-tempat yang kotor. Semua kenikmatan lainnya dapat
dianalogikan dari kedua bentuk kenikmatan ini, di mana semuanya tidak akan
ى رثىلٜثاًل ثشضجقجس إٟ ِز ػٞف ػجَٖى ج إىيزثس ثىخجىٜ ٗ إرث ػشفضٔ ثىْفس رثىل ػٗ شفش ُأ ىٖج
111
ز ثىٖذ جز ثٗ ىسؼجدرٝف ّٖجٜ أدجدٟ قش ْٕجك أدذٞثىؼجٌى ػٗ شجش دؼذ ثَىفجسقز ٗد
Akal dan ―ingatan” tentang alam asalnya, yaitu alam ruh, (kenikmatan
yang terlepas dari penderitaan) maka Jiwa akan meyakini bahwa alam Materi ini
prasangka dan perkiraan semata. Pada saat itulah kata al-Rāzī, Jiwa ―mendengar
Sang Penyeru‖ ... dan ―melantukan kepadanya‖ ...112 ‗dia akan merindukan alam
memutuskan ikatan-ikatan duniawi dan ikatan materi. Menurut al-Rāzī, pada saat
Jiwa itu berpisah dari Materi, ‗dia akan naik menuju alam itu dan tinggal di sana
dengan Materi padahal sebelumnya tidak terikat? Apabila keterikatan itu terjadi
tanpa sebab, maka boleh jadi kejadian keseluruhan Alam juga tanpa sebab. Kedua,
mengapa Sang Pencipta tidak menahan Jiwa dari keterikatan dengan Materi?
Pertama, al-Rāzī menjawab, bahwa pertanyaan ini tidak dapat diterima jika
sesuatu yang mampu memilih kadang memilih salah satu pilihan dari sekian
pilihan yang ada tanpa perlu pertimbangan. Lantas mengapa mereka tidak
Jiwa dalam pandangan al-Rāzī, mampu memilih. Lantas jiwa pun memilih
keterikatan dengan Materi pada waktu itu, bukan sebelum atau sesudahnya, tanpa
‗kadang memilih salah satu pilihan dari sekian pilihan yang ada tanpa
tercipta pada waktu tertentu karena Tuhan Yang Maha Tinggi memilih
pertimbangan apa-apa karena Tuhan memang mampu untuk memilih itu, dan
sesuatu yang mampu memilih sudah jadi haknya untuk melakukan itu.
Bagi al-Rāzī, pertanyaan ini juga tidak dapat diterima jika datang dari
kalangan failasuf sebab para failasuf meyakini hukum kausalitas, maka mengapa
para failasuf tidak membolehkan perkataan bahwa Jiwa itu kekal dan memiliki
yang sebelumnya adalah sebab bagi yang setelahnya hingga berujung pada
‗Kedua,‘ kalau Tuhan telah tahu, ketika Jiwa cenderung kepada keterikatan
dengan Materi, bahwa keterikatan tersebut sebab bagi kerusakan dan keburukan,
hal itu akan mengharuskan sesuatu yang mustahil. Karena apabila Tuhan tidak
mampu menahan Jiwa dari keterikatan itu, maka itu berarti dia dikalahkah oleh
Jiwa, dan kalau seperti itu keadaannya, sesungguhnya hal tersebut tidak absah
bagi ketuhanan-Nya dan bertentangan dengan premis dasar al-Rāzī, Tuhan Yang
Maha Tinggi. Namun apabila Tuhan mampu menahan skema keterikatan itu, dan
pada saat yang sama Tuhan tidak menahannya, hal tersebut menjadikan Tuhan
tidak menjadi lagi sempurna dalam Ilmu dan Kebijaksanaan sebab sesuatu yang
terdapat kebaikan pada ketiadaan penahanan Jiwa dari keterikatan dengan Materi,
dan hal itu tidak benar, sebab menurut al-Rāzī, ada kebaikan yang besar di balik
―ketidak mauan-Nya‖ Tuhan menahan Jiwa atas Materi. Kebaikan itu menurut al-
ض ّإٖج دْفسٖج َصْضغٜص ش ػجَىز َدعجس ٕزث ثىضؼيق حٞصيح ىيْفس ُأ ص١ُدأ ثىذشا ػٌي دُأ ث
ِز ٍ ٌي صنٞى صنضسخ ٍ ِ ثىفعجةو ثىؼقيٜٖٞ٘أعجّ فجىْفس ثَىخجىٖط ج ثىٝ ٗ .ػِ صيل ثَىخيطز
113
.ٍ٘ ٘ج در
dengan Materi agar materi itu mampu menjadi alat yang menolongnya
Tuhan dengan kuasanya dapat menahan kejadian terikatnya jiwa dengan materi,
114
٘ىٜ ٞغ ثىذجسا ثىْفس ٍِ ثىضؼيق ٖدجىْٝ ٌىِٞز ثىؼشظِٝ فٖي
Lantas kemudian, kalau seandainya Tuhan itu Maha Tinggi sempurna Ilmu
Al- Rāzī mengatakan, pola demikian tidak bisa diterima. Hal tersebut dapat
menjadi benar hanya apabila Jiwa dapat menerima pengetahuan tanpa terikat
dengan materi, sedangkan hal tersebut dalam skema al-Rāzī ialah suatu
ketidakmungkinan.
115
ثىز ٗث٘ىثسٔطٟ شتج ٍِ ثىؼيً٘ إالٖدٓزٞ فُج ثىْفس الصقذو
113
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 211.
114
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 212.
115
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 213.
58
Dengan itu, mustahil bagi Jiwa menerima pancara ilmu dari Tuhan tanpa
adanya Materi yang melekat pada jiwa. Dalam skema ini, al-Rāzī memperlihatkan
kejadian pancaran melalui Tuhan, Akal, Jiwa Universal, dan Materi Pertama, yang
akhirnya membentuk alam hingga manusia. Jiwa akan tetap tinggal dalam materi
selama ia tidak dapat mensucikan diri. Penyucian diri ini dapat dilakukan melalui
Falsafah, dan bila jiwa telah suci, maka jiwa dapat kembali ke asal-muasalnya
yang memang telah eksis sebelumnya. Pada saat itulah jasad alam semesta hancur
tertanam dalam naluri dasar manusia tanpa perlu diberi penjelas argumentasi
apapun117. Secara sederhana, al-Rāzī menyebut karena tidak ada seorang yang
yang memberi tahu mana ―yang dahulu‖ dan mana ―yang kemudian‖, dan bahwa
waktu kita bukanlah waktu yang sudah berlalu maupun yang akan datang nanti,
Al-Rāzī menyebutkan bahwa Ruang dan Waktu mutlak dengan Ruang dan
Waktu relatif berbeda jauh sekali. Karena Ruang yang Relatif adalah tempat bagi
Sedangkan waktu yang diukur dengan jumlah gerakan jism maka akan ada dua hal
116
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 56.
117
Tien Rohmatien memberi 10 alasan mengapa, dalam hal ini waktu, tak memerlukan
argumen-argumen penjelas lagi. Lihat, Tien Rohmatien, al-Rāzī Sang Penolak Nabi?, h. 91-95.
59
yang bergerak dalam satu waktu dengan dua bilangan yang berbeda. Keberadaan
Adapun Ruang yang Mutlak adalah ruang yang di dalamnya ada Jasad
maupun tidak ada Jasad, dan Waktu yang Mutlak adalah durasi yang terukur
dalamnya.
Ruang dan bahwa Masa (dahr) adalah Waktu. Namun masalahnya tidak
Jasad, dan mungkin bagi Jasad untuk menempatinya. Sedangkan Ruang adalah
hamparan yang terdiri dari yang mencakupi dan yang tercakupi. Adapun Waktu
adalah sesuatu yang diukur dengan Gerakan dari saat yang durasinya tidak
terhitung.
Al-Rāzī, setidaknya ingin menyebut bahwa ruang relatif tercakupi oleh sekat
tinggi, lebar, dan panjang. Tercakupi di dalamnya materi dengan kuantitas berat
dan ringan. Sedangkan waktu relatif ialah hitungan gerak jism. Hitungan yang
menghasilkan awal dan akhir. Mengenai ruang dan waktu yang mutlak, secara
tegas al-Rāzī menyebut bahwa kedua entitas ini keberadaannya ada dengan
ٔ ح ثىفطشر َدضْجع ثسصفجٖٝشذ صشٝ ثى٘ثجخ ىزثٔص١ُ عج ثٗ جخ ىزثٔصٝٗ أ ٍّج ثىفعجء ٖف٘ أ
,ػ
غ شٞ َض ضر دحسخ ثإلشجسس ٗ رثىلٞ ٍ قش ثىٖج جسٞ ٘ى ثس صفغ ثَىج د١ّٔ ٗ ثىفعجء مزىل
118
ثَىؼق٘ه
keadaannya seperti itu maka keberadaannya adalah harus karena dirinya sendiri.
Ungkapan, ‗Apabila ruang itu tiada maka tidak ada arah berbeda-beda yang
tertinggal,‘ maksudnya adalah arah atas tidak akan berbeda dengan arah bawah,
arah kanan tidak akan berbeda dengan arah kiri, yang mana semua itu pasti
apabila dia adalah ciptaan maka wajar baginya ketiadaan. Segala sesuatu yang
kalau waktu itu musnah menjadi tiada, ketiadaaannya itu didahului oleh
Waktu. Maka Waktu itu tetap ada pada waktu dia diharuskan tiada dan itu tentu
saja mustahil. Sebagaimana tiada awal baginya, tiada pula akhirannya karena,
keberadaannya itu terjadi dalam suatu waktu, yaitu „setelah‟,‘ maka hal ini
118
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 213.
61
dirinya sendiri,‘ maka Waktu itu harus ada karena dirinya sendiri.
ُ٘نٞ ف,ْزٞذ ز ٍصٝي ثىؼذً مجُ ػذٍٔ دؼذ ٗجذٓ دؼٞٔصح ػٝ مو ٍج١ُ ًش قجدو ىيؼذٕٞ ٘ غ
فئرث قذ ىضً ٍِ فشض ػذً ثىٍضجُ ٍحجه,ثىٍضجُ ٍ٘٘جدث حجه ٍج فشض ؼٍ ذٍٗج ٕزث خيف
119
فنُ٘ ٗثجذج ىزٔصٞ ىزثٔص
talah dikatakan bahwa materi itu kekal, maka tidak bisa tidak Ruang dengan
tidak dapat maujud tanpa adanya ruang, meski ruang bisa maujud tanpa adanya
wujud tersebut. Ruang tak lain adalah tempat bagi wujud-wujud yang
membutuhkan ruang.
Keduanya berisi wujud dan bukan wujud. Bila wujud maka ia harus berada
di dalam ruang dan di luar wujud adalah ruang atau tiada ruang; bila tiada ruang
maka ia adalah wujud dan terbatas. Bila bukan wujud, ia berarti ruang.
Karenanya, ruang itu tak terbatas, bila orang berkata bahwa ruang mutlak ini
terbatas, maka ini berarti batasnya adalah wujud. Karna setiap wujud itu terbatas,
sedang setiap wujud itu berada di ruang, maka ruang bagaimana pun tak terbatas.
119
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 216.
120
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 253-254.
121
Al-Rāzī, Rasail al-Falsafiyat, h. 444-445.
62
sehingga filsafat Aristoteles dapat ditempatkan dalam kerangka acuan yang lebih
ide lain dari zaman kuno, seperti yang berasal dari Ptolemaeus. Lebih jauh,
meninggalkan pemikir ini sama sekali demi penafsiran Alexander yang bergerak
Yunani digunakan secara luas oleh al-Fārābī di setiap bagian terutama dalam ara‘
Fārābī hanya sekali menyebut nama al-Kindī dalam kitab-kitabnya. Terlepas dari
63
hal itu, Wain menyebutkan bahwa terdapat beberapa indikasi, pemikiran al-Fārābī
But, such a supposition would stand in contrast to the fact that, in all of his
surviving texts, al-Fārābī only mentions al-Kindī once, and then in order to
dari ketiadaan, maka al-Fārābī menyebut bahwa alam semesta dciptakan dari
sesuatu yang telah ada sebelumnya, yang kemudian memancar menjadi alam
juga banyak dari setiap wujud, bisa sempurna (incorporeal) dan bisa menjadi
sampai maujud aslinya habis. Maka terlepaslah maujudat itu dari wujud. Setiap
122
Alexander Wain, ―A Critical Study of Mabadi‘ Ahl al-Madinah al-Fadilah: The Role of Islam
in the Philosophy of Abu Nasr al-Farabi‖, Jurnal of Islamic Philsophy, USA, Vol.8, 2012.
64
terikat dan tersusun antara satu dengan lainnya, yang mana ikatan, persatuan, dan
rangkaian ini menyatukan sesuatu yang banyak, dan menghasilkan sesuatu yang
satu. Yang terikat dan bersatu inilah beberapa entitas-entitas dalam jauharnya,
sampai jauharnya yang wujudnya itu bersatu dan berikat. Dan yang sebagian
1. Al-Awwal / God
4. Nafs / Soul
5. Suroh / Form
6. Maddah / Matter123.
a. Tuhan
bagian, yaitu wujud yang mumkin (wajib al-wujub li ghairihi). Dan wujud yang
.ٔ ضه ٍَنِ ثى٘٘جد دزثصٝ فيًض ٍِ ٕ زث أّٔ مجُ ٍَج ٌىٞ ،ٓشٞٗ جذ صجس ٗثجخ ثى٘٘جد دغ
123
Mashhad al-Allaf, The Essential Ideas of Islamic Philosophy, (Edwin Mellen Pres: 2006),
دو...ف ٖمّ٘ج ػيز ٍٗؼي٘الٜ ٖجّٝٔ جص ُأ ٌص دالٝ٘ جء ىث ََنْز الٞش١ٗث...ٓشٞٗ ثجخ ثى٘٘جد دغ
125
.ه١ٗب ٕ٘ ثَى٘٘جد ثٞى شٚالدذٍِ ّثٖضجةٖج إ
Wujud yang mumkin, menurut al-Fārābī adalah wujud yang adanya karena
wujud yang lain, seperti adanya cahaya karena adanya matahari.126 Dengan
demikian wujud yang mumkin ini menjadi saksi adanya wujud pertama yang
menyebabkannya ada. Segala yang mumkin harus berakhir pada sesuatu yang
pertama kali ada, yang ada pada dirinya sendiri. Sepanjang apapun rangkaian
memberi ada kepadanya, sebab wujud mumkin tidak dapat ada pada dirinya
sendiri.
،ىس دَجدرٞ ّٔ فئ.ٓ أٗ ٔى مجُ ٘ٗجد،ْٔ أٗ ػ، نُ٘ ٔى سذخ ٔدُٝ نِ أَٝز الٛ ٗ ٕ٘ ثَى٘٘جد ثى
٘ ٘ٗى مّجش ٔى،ف ٍجدرٜ َنِ ُأ صنُ٘ إالٝ ثى٘ص سر ال١ُ ،أعج ٔى ص٘سرٝ ٗ ال
صسر ىنجّش
sendiri tanpa ada campur tangan yang lain. Adanya tersebut apabila diperkiraan
tidak ada, maka yang lain pun tidak akan ada sama sekali. 128 Wujud ini menjadi
dasar bagi wujud-wujud mumkin. Wujud ini adalah Causa Prima atau sebab
125
Al-Farabi, „Uyun al-Masail, h. 247
126
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h. 90
127
Al-Farabi, Ara ahl al-Madinah al-Fadhilah wa Madhodatiha, h.2
128
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h. 90
66
pertama, Sang Ada Yang Pertama. Wajib al-wujub li dzatihi atau dalam istilah al-
Fārābī disebut sebab pertama tersebut hanya satu, yaitu Tuhan (Allah).
Tuhan adalah substansi yang tiada bermula, azali, sudah ada dengan
sendirinya, dan akan ada untuk selamanya. Esensi Tuhan begitu sederhana dan tak
dapat dibagi. Substansi-Nya sendiri telah cukup menjadi sebab Ada-Nya yang
nya bahwa ―Yang Pertama (al-Awwal) adalah yang darinya segala sesuatu
yang ada muncul.‖ Jadi, segala sesuatu yang bereksistensi berasal dari Yang
Pertama, atau Tuhan yang al-Fārābī klaim sebagai hal pertama yang telah ada.
Lebih lanjut, ―Asal mula dari apa yang muncul darinya yaitu, Yang
sendiri. Sifat pasti dari kemunculan ini tetap tidak jelas, tetapi istilah bahasa
Arab yang digunakan adalah fayḍ, yang memberikan rasa sesuatu yang meluap
entitas lain.
129
Zimmermann, Friedrich Wilhelm. Al-Farabi's commentary and short treatise on Aristotle's De
interpretatione. Vol. 3. (Oxford University Press, USA, 1981)
130
Al-Farabi, Ara ahl al-Madinah al-Fadhilah, h. 25
131
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 89-91
67
produk dari citra diri ―Sang Pertama‖, atau apa yang dipikirkannya sendiri.
ketiadaan (yaitu, tidak ada materi yang sudah ada sebelumnya) karena fakta
tidak ada batasan), dan sebagainya -kurang. Untuk al-Fārābī juga terjadi karena
(yaitu, langit-langit).
emanasi jika itu sendiri hanya muncul setelah peristiwa ini, ketika emanasi
juga dicatat bahwa emanasi, meskipun memunculkan segala sesuatu yang ada,
sendiri.132 Hal ini karena, menurut klaim al-Fārābī, ―Yang Pertama‖ harus
apa pun sebelumnya karena, jika memang ada hal seperti itu, maka itu akan
ketidakhadirannya (dalam hal itu tidak akan lagi ada). Memang, karena
―Yang Pertama‖ itu sempurna dalam cara yang dijelaskan, tidak mungkin
bahwa itu tidak ada pada suatu titik untuk diciptakan karena, jika ini benar,
maka itu
132
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 89
68
berarti bahwa itu kurang sebelum waktu itu (karena itu tidak memiliki
keberadaan).
'Movers' oleh al-Fārābī)133. Jadi, ketika Yang Kedua (sebagai yang pertama
Pertama, ia berbagi dalam sifatnya. Akan tetapi, ia tidak tetap seperti ini
فٜ ٕٜٟٗ ،٠جس أصي ٞ أ ط ٕ٘جشٝ ْث ٕ٘ثٜ ٖفز ثى،ْثٜه ٗ٘جد ثى١ٗط ٍِ ثٞ فٝ
ٌ غشٍ ض
ْٔ ًض ػٝض صخصٔ يٜ ٍٗج ٕ٘ثٍ ض٘جٕش دزثٔص ثى,يًض ْٔػ ٗ٘جد ثجىثٝ ه١ٗ قوٍِ ثٝ فَج ؼ.ٔغش رثص
ٞ شء
ٜ
٘ٗجد
134
ىٜ١ٗثىَس جء ث
menjadi terhambat oleh materi dari langit itu karena materi (atau bahan yang
objek korporeal tersusun) adalah batasan. Dengan kata lain, materi adalah
struktur terbatas dengan awal dan akhir duniawi, dan batas-batas yang dapat
ditentukan. Dengan demikian, objek apa pun yang tersusun darinya juga akan
133
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 91
134
Al-Farabi, Ara‟ al-Madinah al-Fadhilah, h.52
69
yang terbungkus tidak lagi mampu murni (atau, seperti yang dikatakan al-
Fārābī, 'aktual') karena ia tidak dapat lagi melampaui dirinya sendiri secara
setelah Yang Kedua melekat pada langitnya dan kemudian 'berpikir' tentang
Yang Pertama, ia (sebagai intelek) tidak dapat melihatnya dengan tepat karena
potensial), dan versi yang sedikit kurang dari Yang Pertama inilah yang
kemudian meluap dari Yang Kedua untuk menjadi Intelek (atau Penggerak)
inkorporeal lain, yang disebut Yang Ketiga. Dengan demikian, Yang Ketiga
memancar dari Yang Kedua sebagai persepsi atas Yang Pertama, yang
dengan memikirkan Yang Pertama untuk memunculkan dengan cara yang sama
ke Yang Keempat. Dengan cara ini proses berlanjut sampai ada total sebelas
ٍِٗ ,ًٍِٕ أجسجٜ ىسش دأجسًج ٗالٞ ٕٜ فأفعٖي ج دجىَج جر.ه١ٗش جء ىنجْةز ػِ ثٞفأٍجأ
135
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 101-105
70
ٕ ٌث سج,زٞ ٌث ثىثّج, ىٜ١ٕٗ ثىَس جء ثٜ ٗزٝ أٗ فعو ثىَسج.د ػششٛى ثىحجٜإ
,صخٞةشج ػو ثىضش
Ketiga dan tetap; Keempat dan Saturnus; Kelima dan Jupiter; Keenam dan
Merkurius; Kesepuluh dan bulan; dan kemudian emanasi terakhir adalah entitas
yang sedikit berbeda yang disebut Intelek Aktif, 137 Semua ini "diatur dalam
Pertama). ‖138
bahwa berakhirnya emanasi ada pada Yang Kesebelas139 ‗ ػشش ض ُأْٝ إٛ‘ثىحجد.
ٖٜ ىٜ
Bahkan secara jelas al-Fārābī memberikan rangkaian narasi bagaimana Yang
ِ ٗىن. ىٜ١ٗٗؼقو ثٝ قو رثٔصٝ ٕٗ٘ ؼ,ف ٍجدرٜ أ عج ٘ٗجدٓ الٝ د ػشش ٕ٘ثٕٛٗ ز ثىحج
ٕٜٗ .٘جذ رثىل ثى٘٘جد إه ثَىجدرٍٗ ٘ظغ أصوٝ حضجج ٍجٝ ز الٛ ٖض ثى٘٘جد ىثْٜٝ ْٓػذ
136
Al-Farabi, Ara‟ al-Madinah al-Fadhilah, h. 59-
60 137Richard Walzer, on the Perfect State, h. 101-
105 138Richard Walzer, on the Perfect State, h. 95
139
Para sejarawan berselisih mengenai filsafat Al-Farabi; apakah akal-akal dalam pandangannya
ada sepuluh sebagaimana pandangan beberapa filsuf lain? Ataukah ada sebelas akal? Perselisihan
ini berlandaskan bahwa Al-Farabi sendiri tidak memberikan defenisinya di Al-Bidayah dalam
suatu defenisi yang jelas, dan bahwa dia pernah berkata, di dalam bukunya, Uyunul Masail, ―Kita
tidak dapat mengetahui jumlah akal-akal serta orbit-orbit ini kecuali dari alur secara umum saja,
bahwa jumlahnya itu sampai hingga di mana akal-akal aktif itu berhenti pada akal aktif yang murni
dari maddah, dan di sanalah lengkapnya bilangan orbit-orbit itu.‖
71
Pada bagian ini Dr Ali Bu-Malham sebagai editor kitab Ara‟ al-Madinah al-Fadhilah, memberi fo
Menurutnya:
د ػششٕ٘ػقو ثىفؼجهٛثىحج
Akhirnya, ―Yang Kesebelas‖ ini ialah entitas yang disebut dengan Intelek
Aktif.
Al-Awwal
Al-Tsani
140
Al-Farabi, Ara‟ al-Madinah al-Fadhilah, h. 45
72
benda-benda langit juga berhenti pada kosmos, yang senantiasa mempunyai tabiat
gerak melingkar. Akan tetapi sebagai gantinya, dari akal fa‘al muncul jiwa-jiwa
bumi dan materi dasar (al-hayula) yang dimiliki secara bersamaan oleh seluruh
benda-benda bumi. Dari hayula ini, yang kemudian berproses melalui gerakan
kosmos, terbentuk unsur-unsur benda: air, udara, api, dan tanah, yang dari unsur-
unsur itu terciptalah benda-benda bumi. Dari intelek kesepuluh teremansi bentuk
(pemberi bentuk), atau sebagai akal aktif (al-„aql al-fa‟al). Benda-benda yang
seperti tumbuhan, hewan, dan manusia, yang semuanya itu terdiri dari materi (al-
Hal-hal ini, bersama dengan langit material mereka yang terkait, yang
paling sempurna dari emanasi dan dikatakan ada di atas dunia bulan, sebagai
tubuh superlunary. Dari langit mereka, bagaimanapun, muncul apa yang oleh
al-Fārābī disebut sebagai Materi Utama - zat purba, homogen yang membentuk
blok bangunan dasar dari segala sesuatu yang jasmani dan ada di bawah tingkat
Materi Utama ini berdasarkan sifatnya sebagai langit material. Demikian pula,
menurut al-Fārābī, perbedaan dalam benda langit, yang dapat mencapai tingkat
contrariety (yaitu, masing-masing surga begitu berbeda dari yang lain sehingga
lain. Dengan kata lain, al-Fārābī berpendapat bahwa langit akan mendekat atau
menjauh dari hal-hal lain yang ada terpisah dari diri mereka sendiri (bahkan
jika ini hanyalah langit lain) sesuai dengan tingkat simpati yang mereka miliki
dengan hal-hal itu (karena hal-hal di simpati akan secara alami tertarik satu
langit yang bertentangan dalam simpati dengan hal yang sama dapat
menemukan diri mereka semakin dekat satu sama lain ketika mereka mendekati
benda itu. Dalam keadaan pergerakan ini, Prime Matter menerima bentuk-
141
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 95
74
lebih kompleks (karena mereka menggabungkan semua fitur asli dari batas
ini menjadi badan material paling sederhana setelah first Matter. Tubuh-tubuh
bertindak satu sama lain, sehingga memungkinkan pelawan baru yang muncul
bergerak semakin jauh dari Fisrt Matter di alam dan kompleksitas sampai titik
tercapai di mana tidak ada tubuh baru dapat dibentuk, kompleksitas tertinggi
telah tercapai. Tahap ini mewakili kemunculan tubuh manusia, yang paling
kompleks dan canggih dari semua materi yang ada di bawah bulan. 143 Tetapi,
kemunculan alam semesta dan entitas di dalamnya. Dari sini kita melihat bahwa
alam semesta dibagi menjadi dua bagian, yang keduanya mengandung entitas
yang diberi peringkat sesuai dengan tingkat kesempurnaannya. Lebih jauh lagi,
sejauh Pertama membagi bagian-bagian dari jagat raya ini kepada entitas-
entitas ini dengan cara ini, ia sama-sama murah hati (dalam hal itu memberi)
dan adil (dalam hal itu memberi sesuai dengan apa yang telah jatuh tempo).
142
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 95
143
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 139-141
144
Richard Walzer, on the Perfect State, h. 135
75
Al-Asyr
(Al-Shuroh al-Ula)
al-Madat al-Ula
al-Ustuqshat
C. Refleksi Kritis
Fārābī, dibagian ini peneliti akan merefleksikan pemikiran kedua tokoh dengan
Rusyd). Dengan begitu kekhasan dan ciri utama metafisika Islam akan
metafisika ini berada diluar jangkauan penelitian ini. Oleh karnanya, yang akan
bahwa alam semesta dicipitakan Tuhan dari ketiadaan (Creatio Ex Nihilo), al-Rāzī
dan al-Fārābī memahami penciptaan alam semesta melalui proses yang disebut
pancaran. Al-Rāzī dalam skema lima kekal nya menyebut pancaran terebut ialah
pancaran akal kepada jiwa hingga mengakibatkan bersatunya jiwa dengan materi,
semesta.
seperti al- Kindī) memandang Tuhan sebagai penyebab adanya alam semesta,
Meski demikian, al-Rāzī dan al-Fārābī juga meyakini bahwa selain Tuhan
terdapat entitas lain yang juga bersifat kekal. Al-Rāzī dengan skema Lima kekal
menyebut Tuhan, Jiwa, Materi, Ruang dan Waktu itu ada secara bersamaan (co-
eksis) sedangkan al-Fārābī pun demikian, hal yang membedakan keduanya ialah
menurut al-Rāzī, lima entitas yang ia sebutkan ada secara bersamaan, sedangkan
al-Fārābī menyebut entitas kekal itu ada sebelum adanya waktu. Atinya, terdapat
Rāzī memiliki konsep yang berbeda dibanding al-Fārābī. Bila al-Fārābī menyebut
pancaran seperti pemberian ―daya‖ terhadap entitas yang sebelumnya telah eksis.
bahasa arab, tidak salah lagi ialah karya al-Fārābī. Namun, melalui penelitian ini,
karya al-Rāzī. Maka sangat wajar, bila kedua tokoh ini, menentang konsep
mampu meramu tradisi Yunani dengan corak keislaman, juga dengan tradisi mitos
baru.
inkoporeal:
Satu‖, akal, jiwa, kemudian materi. Dengan kata lain, al-Fārābī telah melakukan
modifikasi emanasi yang sangat jauh dibanding yang dilakukan oleh al-Fārābī.
Entitas-entitas metafisik al-Rāzī juga sangat dekat dengan model emanasi filsuf
membagistruktur entitas ruhani menjadi 3 macam: (1) Akal Aktif Universal (al-
„Aql al-Kulli al-Fa‟al); (2) Jiwa Universal (al-nafs al-Kulliyyah); (3) Materi
dapat menangkap hakikat dan realitas segala sesuatu. Sedangkan jiwa universal
merupakan substansi sederhana yang aktif (fa‟alah) dan memiliki daya untuk
sederhana (jawhar basith) yang pasif (munfa‟il), dapat dicerap secara rasional
(ma‘qul) dan menerima berbagai bentuk. Pembagian hirarkis metafisik ini diambil
dari pembagian struktur entitas semesta yang dilakukan oleh Ikhwan al-Shafa‘
diklasifikasikan berada pada2 alam lainnya, yakni alam atas (al-„alam al-„alawi)
yang sering disebut sebagai celestial universe dan alam bawah (al-„alam al-
sufla), yakni alam orbit-orbit dan bintang, sertaalam yang mengalami proses
kejadian dan kehancuran yang letaknya di bawah bulan, atau sering disebut
sebagai alam
79
sublunar, yakni terrestrial universe. Akal aktif, Jiwa Universal termasuk dalam
Akal Universal adalah daya yang Akal Universal adalah entitas yang
Pertama
emanasi Ibn Sînâ. Hal ini tentunya tidak aneh, sebab dalam penelusuran sejarah
falsafah Islam, memang diketahui bahwa Ibn Sînâ merupakan murid dari al-
Fārābī. Sejalan dengan al-Fārābī, Ibn Sînâ juga menggunakan skema akal pertama
hingga akal aktif, jumlah benda-benda langit beserta struktur urutannya versi Ibn
Sînâ juga masih sejalan dengan al-Fararbi. Peneliti menilai, perbedaan corak
145
Rasail Ikhwan al-Shafa, buku II, Departemen Agama RI tahun 2007, hal. 6-7
80
emanasi al-Fārābī dan Ibn Sînâ hanya terletak pada wilayah Jiwa yang mengatur
digerakkan oleh masing-masing jiwa sebagaimana Ibn Sînâ sebut dalam kitab al-
Syifa.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
harus ditegaskan ialak baik Teori Lima Kekal al-Rāzī maupun Emanasi al-Fārābī,
keduanya menolak terori Creatio ex nihilo al-Kindī. Karna itu, kedua pemikir ini
mendapat kritikan ketika ia masih hidup oleh lawan debatnya, yaitu Abu Hatim al-
Rāzī, sementara al-Fārābī mendapatkan kritik serupa, jauh semasa ia hidup, oleh
al-Ghazali. Maka, cukup wajar bilamana teori lima kekal seolah berhenti hanya
selain wujud Tuhan, yang oleh keduanya disebut maha segalanya, terdapat entitas
lain yang pula bersifat kekal. Al-Rāzī menyebutnya lima entitas kekal, sementara
80
81
meramu tradisi Yunani dengan corak keislaman, juga dengan tradisi mitos
baru.
B. Saran
Sepanjang penelitian ini, banyak hal yang tentunya masih sangat dangkal,
belum cukup didalami dan diklarifikasi dalam korpus metafisika Islam, terutama
metafisika al-Rāzī dan al-Fārābī. Hal paling sederhana saja misalkan, terkait
terminologi kata dalam pemikiran kedua tokoh tersebut. Pembaca Falsafah Islam
memiliki makna khas zamannya. Kita mesti berhati-hati untuk tidak menyematkan
satu referen terhadap satu istilah dalam semua penggunaannya. Karna itu
makna yang dimaksudkan al-Rāzī dan al-Fārābī terutama soal term-term tersebut
digunakan dalam setiap konteks yang berbeda. Istilah-istilah ini, berlaku dalam
Lebih jauh lagi, perihal sisi praktis peralihan dari entitas superlunar menuju
superlunar al-Rāzī dan al-Fārābī. Karna itu, pada skema al-Rāzī misalnya penulis
hanya sampai pada tataran entitas lima kekal dan tidak sampai pada wilayah
skema al-Fārābī, penulis hanya sedikit menggambarkan tentang akal Fa‘al dan
tidak sampai pada wilayah bagaimana akal Fa‘al itu membentuk dan mengatur
mempertegas ilmu metafisika secara umum sebagai ilmu mandiri yang cukup
keilmuan. Namun hari ini, metafisika seolah telah ―disingkirkan‖ oleh ilmu fisik
dalam dunia falsafah Barat. Bahkan dalam falsafah Islam pun juga ada anggapan
bukan falsafah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Allaf, Mashhad, The Essential Ideas of Islamic Philosophy, New York: Edwin
Mellen Pres: 2006
Abboud, Tony, Al-Kindī: The Father of Arab, London: Rosen Pub Group, 2006.
Al-Farabi, Abu Nashr Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh, Ara ahl al-Madinah
al-Fadhilah wa Madhodatiha, Beirut: Dar al-Maktabah Hall. 1995
Al-Kindi, Abu Yusuf Ya’qub, fi al-Falsafah al-Ula, terj., Alfred L. Ivry, New
York: State University New York Press, 1974.
Al-Razi, Abu Bakr, Rasail al-Falsafiyat, Beirut: Mansyur al-Dar al-Afaq al-
Jadidah, 1982.
Al-Shafa, Ikhwan, Rasa’il Ikhwan al-Shafa, Buku III, Departemen Agama RI,
2007
Atiyeh, George N., Al-Kindi: Tokoh Failasuf Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno
Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983
Copleston, Frederick, A History of Philosophy: Volume I. Greece & Rome part II,
Maryland: The Newman Press, 1962
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan, 2003
De Boer, T.J, The History of Philosophy in Islam, terj., Edward R Jones, B.D.,
New York: Dover Publication, 1967
Fakhry, Majid, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and
Mysticism, Oxford: Oneworld Publications, 1997.
Gersonides, The Wards Of The Lord: Book Five The Heavenly Bodies and Their
Movers, ter. Seymour Feldman, Philadelphia: The Jewish Publication
Society, 1999
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, New York, Toronto dan
London: New American Library, 1970.
K. Hitti, Philip, History of the Arabs, terj., R.Cecep L.Y. dan Dedi S.R. Jakarta:
Serambi, 2006.
Nasuotion, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Plotinus, Ennead, The Loeb Classical Library, London: Harvard University Press,
1984
Ridwan, Kahrawi (ed.), Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, Vol.1,
Cet. Ke-4, 1999
Stroumsa, Sarah, Para Pemikir Bebas Islam, terj. Khoiron Nahdiyyin, Yogjakarta:
Lkis, 2006
Sudiarja, Budi Subanar, St. Sunarki, T. Sarkim dkk, Karya Lengkap Driyarkara:
Esai-esai Filsafat Pemikir yang terlibat penuh dalam Perjuangan
Bangsanya, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2006
Wain, Alexander, “A Critical Study of Mabadi’ Ahl al-Madinah al-Fadilah: The
Role of Islam in the Philosophy of Abu Nasr al-Farabi”, Jurnal of Islamic
Philsophy, USA, Vol.8, 2012.
Watt, Mongommery, Pemikiran Teologi dan Falsafaha Islam, terj. Umar Basalim,
Jakarta: P3M, 1987
White, Alan R., Methods of Metaphysics, Taylor and Francis Group, 1987 Yamani, Antara Al-Farabi
2002
Zar, Sirajuddin, Falsafah Islam: Failasuf dan Falsafahnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012
Zimmermann, Friedrich Wilhelm. Al-Farabi's commentary and short treatise on Aristotle's De interp