Anda di halaman 1dari 13

Tokoh-Tokoh Filsafat Islam

dan Pemikirannya
October 1, 2016

Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia atau Philosophos; “philo” berarti cinta dan
“sophia” atau “sophos” berarti pengetahuan atau kebijaksanaan. Jadi, secara sederhana dapat
dikatakan bahwa filsafat berarti cinta pengetahuan atau cinta kebijaksanaan. Cinta disini berarti
rasa ingin mencapai sesuatu, dan pengetahuan disini berarti tahu dengan sangat mendalam
sampai ke akarnya.

Pembahsan kali ini adalah tentang tokoh-tokoh filsuf Islam dan pemikirannya. Filsafat sendiri
merupakan hasil berfikir tentang hakikat dengan sistematis, radikal, dan universal. Sedangkan
Filsafat Islam yaitu pemikiran para filfus tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam
semesta yang didasarkan pada ajaran Islam dalam suatu aturan yang logis dan sistematis.

Tokoh dan Pemikiran

1. AL-KINDI

Nama Al-Kindi dari nama sebuah suku, yaitu banu kindah yang suku keturunan kindah, yang
berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab, dan nama lengkap: Abu Yusuf Ya’kub Ibnu Ishak al-
sabah, Ibnu Imran, Ibnu al-Asha’ath, Ibnu Kays al-Kindi, keturunan susu kays. Gelar Abu Yusuf
(bapak dari anak yang bernama Yusuf), lahir tahun 185 H (801 M) di Kufah, nama orang tua
Ishak Ashshabbah dengan jabatan Gubernur di Kufah, pada masa pemerintahan al-Mahdi dan
Harun al-Rasyid dari Bani Abbas.

Al-Kindi (801-873 M), di dunia Barat terkenal dengan nama al-Kindus. Beliau adalah keturunan
bangsawan Arab dari kerajaan Kinda (Yaman), lahir di Basrah pada tahun 185 H anak Ishak al-
Shabbah , gubernur di Kufah (Irak) semasa pemerintahan khalifah-khalifah al-Mahdi dan Harun
al-Rasyid.

Al-Kindi mengalami kemajuan pikiran islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam
bahasa Arab, bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam-macam ilmu telah dikajinya, terutama
filsafat, dalam suasana yang penuh pertentangan agama dan mashab, dan dibanjiri oleh paham
golongan Mutazilahserta ajaran-ajaran Syah.

Karyanya al-Kandi banyak mengarang buku yang kurang lebih berjumlah 241 dalam berbagai
bidang ilmu terutama bidang filsafat, logika, aritmatika, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik
optika, musik, matematika, dan sebagainya.

Isi karangan-karangan tersebut bermacam-macam antara lain bidang filsafat, logika, aritmatika,
astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik optika, musik, matematika, dan sebagainya. Al-kindi
tidak banyak membicarakan persoalan-persoalan filsafat yang rumit dan yang telah dibahas
sebelumnya, akan tetapi dia tertarik dengan definisi-definisi dan penjelasan kata-kata dan lebih
mengutamakan ketelitian kata-kata dari pada menyelami problema-problema filsafat.

Karangan-karannya terkenaldikemukakan oleh seorang ahli penemuan jerman, yang hillmuth


Ritter diperpustakaan aya sofra, istambul, dan terdiri dari 29 risalah yang membicarakan
persoalan alam dan filsafat yaitu ke-Esahan Tuhan, akal, jiwa, filsafat, pertama. Risalah-risalah
tersebut diterbitkan dimesir oleh M. Abdul-Radi Aburaidah.

Unsur-unsur pada pemikiran al-Kindi adalah:

1. Aliran Pythagoras tentang matematika sebagai jalan kearah filsafat.


2. Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metefisika, meskipun al-Kindi tidak
sependapat dengan Aristoteles dengan qadimnya alam.
3. Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
4. Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
5. Wahyu dan Imam (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungandengan tuhan
dan sifat-sifat.
6. Aliran Mutazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-
ayat Al-Quran.

Pandangan Al-Kindi tentang Filsafat

Filsafat ialah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia, yang
mencakup ilmu ketuhanan, ilmu ke-Esaan. Ilmu keutamaan (Fadillah), ilmu tentang semua yang
berguna dan cara memperolehnya, serta cara menjahui perkara-perkara yang merugikan. Jadi
tujuan-tujuan filosof bersifat teori, yang mengetahui kebenaran, dan bersifat amalan, yaitu
mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan, semakin dekat kepada kebenaran semakin
dekat pula kepada kesempurnaan.

2. AL-FARABI

Abunasr Muhammad Al-Farabi (870-950 M). Beliau adalah seorang muslim keturunan Paris,
yang didirikan dikota Farab (turkestan), anak muhammad Ibnu Auzaigh panglima perang persia
dan kemudian berdiam di Damsyil. Al-Farabi belajar di Baqdhah dan harran, kemudian ia pergi
ke suria dan mesir, Al-Farabi diambil dari kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H
(870 M). Ayahnya adalah seorang Iran dan kawin dengan wanita Turkestan. Kemudian ia
menjadi perwira tentara turkestan, karena itu al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan turkestan
dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.

Ibnu Sina pernah mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles dari empat kali, tetap belum
juga mengartikan maksudnya, setelah ia membaca karangan al-Farabi yang berjudul Aghradi
kitabi ma ba’da at-Thabi’ah (intisari buku metafisika), baru mengerti apa yang selama ini
dirasakan sukar.

Karya-karyanya
1. Aghadlu ma Ba’da at-Thabi’ah
2. Al-Jam’u bai’na Ra’yai al-hakimain (mempertemukan pendapat kedua filosof,
maksudnya Plato dan Aristoteles)
3. Tahsil as-sa’adah (mencari kebahagiaan)
4. Uyun ul-masail (pokok-pokok persoalan)
5. Ara-u Ahl-il madinah al-fadilah (pikiran-pikiran penduduk kota utama , nageri utama)
6. Ih-sha’u al-ulum (statistik ilmu)

Tuhan itu Maha Esa, tidak terbatas dalam segala sesuatunya, hal-hal yang membatasi berarti
tuhan tidak Esa lagi. Seperti memberi definisi kepada sesuatu benda atau barang, lain halnya
dengan sebagai mana juga manusia, yang dapat diberi definisi sehingga dapat diketahui
pengertian tentang manusia.

Pada manusia dapat didefinisikan sebagai hewan yang berakal, hewan menunjukkan perbedaan
yang ada dari golongannya. Tidak demikian dengan Tuhan yang mutlak, sebagai substansi oleh
sebab itu definisi tentang Tuhan musthahillah dapat dirumuskan. Suatu rumusan definisi tentang
Tuhan berarti akan mehilangkan ke-Esahan Tuhan, hal ini di kemukakan oleh Al-Farabi dalam
pendapatnya.

3. IBNU SINA

Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan dimana khalifat abbasiyah mengalami kemunduran
dan negeri-negeri yang mula-mula berada dibawah kekuasaan khalifat tersebut mulai melepaskan
diri persatu untuk berdiri sendiri.

Menurut penyelesaiannya sendiri, Ibnu Sina dilahirkan di desa Afsyanah, tidak jauh dari di
Transoxiana (persia utara).

Ibnu Sina juga mahir dalam kedokteran, ketika ia mencapai usia 17 tahun. Hibnu Ibnu Sina
penuh dengan kesibukan bekerja mengarang: penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan
hidup bersama-sama. Ibnu Sina meninggal pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal Hamadzan
pada usia 58 tahun.

Ibnu Sina mempelajari beberapa bidang ilmu pemgetahuan, antara lain:

 Ilmu-ilmu agama
 Ilmu-ilmu falsafah
 Ilmu-ilmu politik
 Ilmu-ilmu kedokteran

Metafikasi Ibnu Sina

Pemikiran metafikasi Ibnu Sina bertitik tolak kepada pandangan filsafatnya yang menbagi tiga
jenis hal, yaitu:
1. Penting dalam dirinya sendiri, ada perlu kepada sebab lain untuk kejadiannya, selain
dirinya sendiri yaitu Tuhan.
2. Berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang menjadikannya.
3. Makhluk mungkin, yaitu bisa ada, bisa pula tidak, dan ia sendiri tidak butuh kepada
kejadiannya, maksudnya benda-benda yang tidak berakal seperti pohon, air, batu, api, dan
lain-lain.

4. AR-RAZI

Ar-Razi dilahirkan di Ravy, di povinsi Khusaran, dikatakan oleh beberapa ahli telah pandai
memainkan harpa pada usia remajanya, dan oleh yang lain (dikatakan) telah menjadi seorang
penukar uang sebelum beralih ke filsafat dan kedokteran.

Karya-karyanya adalah sebagai berikut:

1. Sekumpulan risalah logika bekenaan dengan katagori-katagori, demostrasi, ijogage,


dengan logika, seperti yang dikatakan dalam ungkapan lama islam.
2. Sekumpulan risalah tentang metafikasi pada umumnya.
3. Mateni mutlak dan partikular.
4. Plenum dan vacum, ruang dan waktu.
5. Fisika.
6. Bahwa dunia mempunyai pencipta yang bijaksana.
7. Tentang keabadian dan ketidakabadian Tuhan.
8. Sanggakan terhadap proclus.
9. Opini fisika “plutarch” (placita philosophorum).
10. Sebuah komentar tentang timaeus.
11. Sebuah komentar terhadap komentar plutarch tentang timacus.
12. Sebuah risalah yang menunjukkan bahwa benda-benda bergerak dengan sendirinya dan
bahwa gerakan itu pada hakikatnya adalah milik mereka.
13. Obat pencahar rohani (spritual physic).
14. Jalan filosofis.
15. Tentang jiwa.
16. Tentang perkataan imam yang tidak bisa salah.
17. Sebuah sanggahan terhadap kaum mutazilah.
18. Metafisikan menurut ajaran plato.
19. Metafisikan menurut ajaran sokrates.

Sedangkan bukunya yang paling besar adalah “al-Hawi”. Buku tersebut merupakan sebuah
ensiklopedia dan telah diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh seorang yahudi: namanya adalah
Faraj Ibnu Salim. Adapun diantara karya-karyanya yang lain ialah: risalah tentang metafisika,
maqhotah fi’imaaraatil al-iqbali wa al daulah, tentang kelezatan dan ilmu ketuhanan serta ilmu
prinsip yang kekal.

5. AL-GHAZALI
Abu Hamid Muhammad Al-ghazali lahir pada tahun 1059 M di Ghazaleh suatu kota kecil yang
terletak didekat Thus di Khusaran (Iran), ia berbelar hujjarui islam, sebutan al-Ghazali diambil
dari kata-kata “Ghazalah” yakni nama kampung kelahiran al-Ghazali, sebutan tersebut kadang-
kadang diucapkan dengan “Al-Ghazzali”. Istilah ini berakal kata pada “Ghazal” artinya tukang
printak benang sebab pekerjaan ayah al-Ghazali adalah memintal benang wool.

Tokoh terbesar dalam sejarah reksi islam Neo-Platonisme adalah al-Ghazali seorang ahli Hukum,
teolog, filosof, dan sufi, dilahirkan di Thus (khusaran) pada tahun 1059, pertama-tama al-
Ghazali memutuskan perhatiannya pada ajaran yuris prudensi (fiqh) dengan salah seorang
Radzkani, kemudian berpindah kejurjan dimana ia meneruskan studinya dengan Abu al-Qasim
al-Isma’ili. Meskipun begitu, gurunya yang paling besar adalah al-Juwayni, seorang teolog
Asy’ariyah yang termukakan saat itu. Al-Juwayni memprakasai muridnya yang brilian ini
kedalam studi kalam, filsafat dan logika, perkenalannya dengan teori dan praktek miskitisme
adalah berkat jasa al-farmatzi (W. 1084). Seorang sufi terkemuka saat itu.

Karya-karya dan pandangan kefilsafannya

Sebagai seorang ilmuan, al-Ghazali berhasil menyusun buku-buku Tahafutul Falasifah, al-
Munqizminadi Dialal, Ihya Ulumuddin, manthik, faqih, tafsir, akhlak, adat persoalan.

Buku al-Muqidz Minadh (penyelamat dan kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam
pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan
untuk mencapai Tuhan.
Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Filsafat Ilmu
Author - Mesriah Ria Date - 22:09:00 filsafat

1. Rasionalisme Plato dan Descartes

Rasionalisme adalah aliran yang meyakini hanya rasio/akal yang menjadi dasar kepastian.

Rasionalisme tidak menyangkal fungsi indra sebagai alat untuk memperoleh indra pengetahuan, namun

indra hanya diperlukan untuk merangsang dan memberikan pada rasio bahan-bahan agar rasio dapat

bekerja. Rasio mengatur bahan yang berasal dari indra sehingga terbentuklah pengetahuan yang benar.

Akan tetapi, keberadaan indra tidak mutlak bagi rasio karena rasio dapat enghasilkan pengetahuan yang

tidak berasal dari indra, seperti terlihat dalam matematika. Terdapat banyak tokoh yang menjadi

eksponen aliran rasionalisme, diantaranya Plato (427-347 SM) dan Descartes (1596-1650).

2. Empirisme : dari Aristoteles sampai David Hume

Empirisme sebagai suatu aliran dalam filsafat ilrnu merupakan lawan dari rasionalme. Empirisme

menjadikan pengalaman indra (emperia) sebagai sumber kebenaran. Menurut Aristoteles, ilmu didapat

dari hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang banyak dan berubah. Kemudian secara

bertahap sampai pada kebenaran yang bersifat “universal”. Dalam arti inilah Aristoteles dapat disebut

sebagai salah seorang eksponen empirisme, malah pada tahap awalnya. Di kemudian hari muncul pemikir

bernama Francois Bacon (1561-1626) yang memperkenalkan cara kerja induksi untuk memperoleh ilmu.

John Locke (1632- 1704) dengan bukunya Essay Concerning Human Understanding (1689) yang ditulis

berdasarkan premis bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman, dianggap sebagai tokoh utama

empiris pada era modern. Tokoh lain dari kalangan empiris adalah filsuf Inggris David Hume (1711-1776).

Ia seorang penganut empiris yang sangat radikal, bukan saja karena ia menekankan pengalaman indrawi
sebagai dasar dari semua pengetahuan, melainkan juga ia juga menolak adanya kausalitas, hokum sebab

akibat yang diterangkan akal.

3. Positivisme Comte dan Neopositivisme serta Perlawanan Popper

Positivisme merupakan suatu aliran filasafat yang dibangun oleh Auguste Comte (17981857). Intinya

positivisme ingin membersihkan ilmu dari spekulasispekulasi yang tidak dapat dibuktikan secara positif.

Comte ingin mengembangkan ilmu dengan melakukan percobaan (eksperimen) terhadap bahan faktual

yang terdapat dalam kenyataan empirik, bukan dengan jalan menyusun spekulas ispekulasi rasional yang

tidak dapat dibuktikan secara positif lewat eksperirnen. Bagi Comte, positivisme merupakan tahap akhir

atau puncak dalam perkembangan pemikiran manusia. Comte membagi perkembangan pernikiran

manusia dalam tiga.tahap, yaitu:

a) Tahap mistik-teologik;

b) Tahap metafisik;

c) Tahap positif.

4.2 Ilmu dan Nilai

Kaum positivisme yang tidak membedakan ilmu alam, sosial dan ilmu kemanusiaan merupakan

pembela gigih gagasan ilmu bebas nilai. Arti bebas nilai bagi mereka antara lain tampak pada penggunaan

metodologi yang sama bagi semua ilmu tanpa mempersoalkan perbedaan objek tiap ilmu yang memiliki

cirri khas. Dalam sejarah pemikiran Descartes (1596-1650) yang mencoba dengan keraguan metodisnya

mencari titik tolak kebenaran yang tidak dikaitkan baik pada dogma maupun nilai tertentu. Ia menemukan
bahwa dasar yang pasti dari kebenaran adalah “Akuyang berpikir”. Dari titik tolak itulah kebenaran lain

harus diturunkan. Auguste Comte (1798-1857) bahkan berpendapat lebih tajam, penjelasan berbagai

gejala yang didasarkan pada titik tolak ajaran agama (teologi) disamakan dengan tahap berpikir manusia

sewaktu masih anak-anak.

Penjelasan berbagai gejala dalam rangka mencari kebenaran haruslah dengan cara positif lewat

percobaan (eksperimen) dalam pengalaman indrawi. Inilah yang disebut ilmu. Perjalanan pemikiran ilmu

dan filsafatnya bahkan mencatat munculnya kaum neopositivisme yang beranggapan pernbicaraan

tentang niiai, metafisika, dan Tuhan tidak bermakna karena tidak bisa diuji secara empiris (diverifikasi).

Peinbicaraan lebih lanjut mengenai masalah ini dapat dibaca pada tulisan “AliranAliran dan Tokoh-

Tokoh Filsafat Ilmu”. Perkembangan lebih lanjut khususnya dalam ilmu sosial dan kemanusiaan

menunjukkan bahwa persoalan metodologi pun tidak bebas dari perdebatan mengenai nilai. Mazhab

Frankfurt yang dimotori Horkheimer bahkan menuduh ilmu sosial yang bebas nilai lebih merupakan

ideologi ketimbang ilmu karena dengan mempertahankan gagasan bebas niiai, ilmu-ilmu sosial itu

sebenarnya bersikap membenarkan keadaan sosial yang terjadi di tengah masyarakat yang ingin

dipertahankannya dalam terminologi bebas nilai.

Ilrnu-ilmu sosial seperti itu tidak lagi memiliki daya kritis untuk mempertanyakan niiai-nilai yang

ingin dipertahankan. Pertanyaan di sekitar tujuan-tujuan dan cara pengembangan ilmu yang tidak dapat

dijawab sendiri oleh ilmu kiranya akan memaksa ilmu untuk mencari referensi kepada patokanpatokan

lain, seperti moral dan agama. Tentu saja, keadaan ini tidak akan memaksa kita kembali ke abad
pertengahan ketika Galileo diadili, melainkan untuk memberi makna barn baik kepada ilmu maupun nilai.

Inilah tantangan bare yang harus dihadapi dewasa ini.

4.3 Kajian Filsafat

Filsafat tidak berkutat dengan menghasilkan sebanyak mungkin jawaban atas pertanyaan yang

dikemukakan, melainkan lebih dulu memusatkan perhatiannya pada pemeriksaan atas pertanyaan-

pertanyaan, merumuskannya secara tepat dan benar, baru kemudian mencoba menjawabnya. Jawaban

yang muncul terbuka untuk dikritik, dipertanyakan kembali. Mengapa pemeriksaan terhadap pertanyaan?

Karena pertanyaan yang salah akan menimbulkan kekacauan berpikir dan kerancuan jawaban.

Pertanyaan-pertanyaan jenis apakah yang ditelaah dan dicoba untuk dijawab oleh filsafat? Tentulah

pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundamental bagi manusia. Filsafat tidak berurusan dengan

pertanyaan-pertanyaan remeh.

Imanuel Kant filsuf besar Jerman menyebutkan empat pertanyaan pokok, yaitu:

1) Apa yang dapat saya ketahui?

2) Apa yang harus saya lakukan?

3) Apa yang dapat saya harapkan?

4) Apakah manusia itu?

Bidang kajian itu adalah:

1) Kenyataan manusia yang hidup (filsafat manusia);

2) Yang hidup di dunianya (filsafat alam, kosmologi);

3) Mengembara menuju akhirat/Allah (filsafat ketuhanan);


4) Susunan dasar terdalam dari segala yang ada (rnetafisika atau ontology);

5) Disadari atau diketahui (filsafat pengetahuan);

6) Keterarahan atau penujuan (etika).

Arsip Kategori: TOKOH – TOKOH


FILSAFAT PENDIDIKAN
TOKOH – TOKOH FILSAFAT PENDIDIKAN
20 Mei

Pendidikan dihadapkan pada perumusan tujuan yang mendasar dan mendalam, sehingga
diperlukan analisis dan pemikiran filosofis. Selain perumusan tujuan, seluruh aspek dalam
pendidikan mulai dari konsep, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi membutuhkan
pemikiran filosofis.

Dalam perkembangan pendidikan menjadi cabang ilmu yang mandiri dipengaruhi oleh
pandangan dan konsep yang dikemukan oleh para filosofi..

· Plato (428-348 SM)[3]

Plato merupakan filosofi yunani yang aktif mengembangkan filsafat dengan mendirikan sekolah
khusus yang disebut ‘academia’. Plato berpandangan bahwa konsep ide merupakan pandangan
terdapat suatu dunia di balik alam kenyataan, sebagai hakikat dari segala yang ada. Artinya apa
yang diamati sehari-hari adalah ide tersebut, sebagai sumber segala yang ada: kebaikan dan
keburukan. Ide merupakan suatu hal yang objektif yang didalamnya berpusat dan dikendalikan
oleh puncak ide yang digambarkan sebagai ide tentang kebaikan yang diformulasikan sebagai
tuhan

· Aristoteles (384 – 348 SM)[4]

Aristoteles yang merupakan bapak ilmu berpandangan bahwa ilmu pendidikan dibangun melalui
riset pendidikan. Riset merupakan suatu gerak maju dan kegiatan-kegiatan observasi menuju
prinsip-prinsip umum yang bersifat menerangkan dan kembali kepada observasi. Pandangan ini
berkembang pada abad 13 – 14.

Aristoteles berpandangan bahwa ilmuan hendaknya menarik kesimpulan secara induksi dan
deduksi. Dalam tahapan induksi, generalisasi-generalisasi (kesimpulan-kesimpulan umum)
tentang bentuk ditarik dari pengalaman pengindraan. Selanjutnya kesimpulan yang diperoleh dari
tahapan induksi dipergunakan untuk premis-premis untuk deduksi dari pernyataan-pernyataan
tentang observasi.

Penyempurnaan teori aristoteles dilakukan oleh beberapa filosofi lain yaitu:

§ Robert Grosseteste yang menyebutkan bahwa metode induktif-deduktif Aristoteles sebagai


Metode perincian dan penggabungan. Tahap Induksi meruapakan sebuah perincian gejala yang
menjadi unsur-unsur pokok dan tahap deduksi sebagai penggabungan unsur-unsur poko yang
membentuk gejala asli.

§ Roger Bacon mengusulkan agar matematika dan eksperimen merupakan dua instrumen utama
dari penyelidikan ilmiah. Dia mengemukakan ada tiga hak istimewa Ilmu Eksperimental : (1)
kesimpulan yang diperoleh melalui penalaran induksi diuji lebih dulu dengan eksperimen; (2)
penggunaan eksperimen dalam penyelidikan ilmiah menambah ketelitian dan keluasan
pengetahuan faktual; (3) dengan kekuatannya sendiri, tanpa bantuan ilmu-ilmu lainnya,
eksperimen dapat menyelidiki rahasia alam.

§ John Duns Scotus yang menegaskan sebuah metode induksi dalam bentuk persamaan, yaitu
merupakan teknis analisis sejumlah hal khusus yang mempunyai pengaruh khusus terhadap
peristiwa.

§ Ockham yang menegaskan metode induksi dalan bentuk perbedaan, bahwa ilmuwan dalam
menyusun pengetahuan tentang apa yang diciptakan Tuhan dengan melalui induksi hanya
terdapat kesatuan-kesatuan yang bersifat pembawaan di antara gejala-gejala. Metode Ockham
membandingkan dua hal khusus dimana yang satu ada pengaruhnya dan satunya lagi tidak ada
pengaruhnya.

· Johan Amos Comenius[5]

Filsuf pertama yang memperhatikan dan memberikan konsidensi terhadap orientasi pemikiran
filsafat pendidikan adalah Johan Amos Comenius seorang pendeta Protestan. ia berpandangan
bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan dan untuk Tuhan. Manusia diciptakan dan ditempatkan
di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius
berpengaruh pada teori-teori pendidikannya. Salah satunya adalah peserta didik harus
dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan.

Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam bidang pendidikan bahwa dari pada
membuat kerusakan pada proses alam, lebih baik bersahabat dengan proses alam tersebut.
Pendapatnya ini berimplikasi pada pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak
alam dan meniru perkembangan alam. Artinya proses pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-
gesa, melainkan dilakukan secara terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan
fisik dan psikis peserta didik.
Hal tersebut awal dari pemikiran filsafat pendidikan naturalisme yang lahir pada abad 17 dan
mengalami perkembangan pada abad 18.

Dimensi mengenai pemikiran filsafat pendidikan naturalisme adalah sebagai berikut:


§ Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang
pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Hal tersebut
sesuai dengan yang dikemukan oleh comenius

§ Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Comenius
adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra.

§ Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian pemahaman
pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui observasi. Observasi berarti
mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan cerdas. Pendapat
Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad ini dikenal dengan
sebutan abad rasio (age of reason) atau Rasionalisme.

§ Demensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga dikembangkan
oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis mengatakan bahwa
pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu ; alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang
anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam semesta.

Naturalisme di bidang pendidikan juga dielaborasi oleh kerangka pemikiran John Locke, Ia
mengemukakan bahwa teori dalam jiwa diperoleh dari pengalaman nyata, tidak ada sesuatu
dalam jiwa tanpa melalui indra. Jiwa senantiasa kosong dan hanya terisi apabila ada pengalaman.
Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka proses pendidikan harus
mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam serba teratur, ia menghendaki
pengajaranpun harus teratur. Mata pelajaran harus diajarkan secara berurutan (sequence) , step by
step dan tidak bersamaan.

Selain tokoh-tokoh barat, filsafat pendidikan dalam pandangan tokoh filosofi islam sebagaimana
diuraikan berikut[6]

§ Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M)

Filosofi Islam yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan merupakan kemampuan manusia
untuk membuat analisis dan strategis sebagai hasil dari proses berfikir. Pendidikan merupakan
transformasi nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk mempertahankan eksistensi
manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan juga merupakan upaya melestarikan dan
mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.

§ Abduh Ibnu Hasan Khairullah (1849 – ….M)

Filosofi Islam dari Mesir mengemukakan bahwa pendidikan bertujuan mendidik akal dan jiwa
serta mengembangkannya hingga batas-batas yang memungkinkan anak didik mencapai
kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Proses pendidikan dapat membentuk kepribadian muslim
yang seimbang, pendidikan tidak hanya mengembangkan aspek kognitif (akal) semata tapi perlu
menyeleraskan dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik (keterampilan).

§ Muhammad Iqbal (1877 – 1938M)


Filosofi Islam dari India, berpandangan bahwa pendidikan merupakan bagian tidak dapat
dipisahkan dari peradaban manusia, bahkan pendidikan merupakan subtansi dari peradaban
manusia. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu memadukan dualisme (antara
aspek keduniaan dan aspek keakhiratan secara sama dan seimbang).

§ Ahmad Dahlan (1869 – 1923M)

Ahmad Dahlan adalah tokoh pendiri Muhammadiyah yang berpandangan bahwa pendidikan
bertujuan menciptakan manusia yang (1) baik budi, yaitu alim dalam agama; (2) luas pandangan,
yaitu alam dalam ilmu-ilmu umum dan (3) bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat.
Pendidikan agama dan pendidikan umum dipadukan secara selaras dan berpegang kepada Al-
Qur’an dan Al-Sunnah.

Anda mungkin juga menyukai