Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Selaku makhluk sosial,manusia saling membutuhkan satu sama lain dalam mengisi
kehidupannya. Betapa banyak orang yang tidak tahu bagaimana cara membeli atau menjual
barang mereka. Adapula di antara yang karena kondisinya tidak memungkinkan untuk turun
kepasar menemui penjual atau pembeli. Maka dalam keadaan yang demikian, diperlukan
bantuan orang lain yang berprofesi sebagai makelar yang menerima upah atau komisi.

Dalam berbagai aktifitas ekonomi,kehadiran makelar mampu menambah kegiatan


aktifitas perekonomian dengan mengalami kemudahan dalam pemenuhan barang-barang
kebutuhan. Tidak jarang seorang makelar mampu menghubungkan antara penjual dan
pembeli tanpa menghadirkan keduanya dalam satu akad atau dalam suatu transaksi perjanjian
yang dibuat keduanya. Tetapai makelarlah yang membuat pengikatan janji tersebut dalam
menghubungkan keduanya.Dikarenakan tugas makelar ialah menjadi penghubung dan
perantara barang dari si pemilik barang dengan calon pembeli.

Dalam aktifitas seorang makelar tidak terikat dengan suatu barang,seperti yang kita
ketahui sekarang yaitu sebutan dengan mekelar tanah. Orang yang menjadi perantara antara
pemilik tanah dengan calon pembeli. Namun terkadang istilah makelar hanya tertuju pada
hal-hal yag berbau tanah saja atau tertuju padanya. Tetapi semua kegiatan dan aktifitas
ekonomi yang menghubungkan antara penjual dengan pembeli, maka ia disebut dengan
makelar.

Selain harus mengetahui bagaimana jual beli yang di perbolehkan dan sah menurut
hukum islam, kita juga dituntut untuk tahu apa saja jual beli yang dilarang oleh Islam, agar
kita tidak terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Allah SWT, untuk itulah dalam makalah
sederhana ini saya akan membahas tentang simsar dan ihtikar. Tentang apa dan bagaimana
ihtikar itu menurut pandangan hukum islam.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu Simsar dan ihtikar?


2. Bagaimana pandangan islam terhadap Simsar dan Ihtikar?
3. Apa hukumnya dalam islam?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Simsar

Dalam kamus Bahasa Indonesia, makelar didefinisikan sebagai perantara pada jual
beli. Makelar dalam bahasa Arab disebut dengan simsar. Dan kerja makelar disebut
simsarah, ialah perantara perdagangan yaitu orang yang menjualkan atau yang mencarikan
pembeli. Atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar
dalam kitab-kitab fiqih terdahulu disebut denga istilah“samsarah” atau “simsarah”. Sayyid
Sabiq mendefinisikan simsar adalah orang yang menjadi perantara antara pihak penjual dan
pembeli guna lancarnya transaksi jual beli.

Pada zaman modern ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi,sudah bergeser
kepada jasa pengacara,jasa konsultan,tidak hanya sekedar mempertemukan orang yang
menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang dicari
dan menjualkan barang saja.

B. Hukum Simsar

Imam Bukhari berkata: “Ibnu Sirin,Artha,Ibrahim,dan Hasan memandang bahwa


simsar itu boleh”. Ibnu Abbas berkata dalam sebuah hadits dinyatakan:

:‫ال با س ا ن يقو ل‬:‫ءن ا بن عبا س ر ضي ا هلل عنهما فى معني ا لسمسار قا ل‬


‫بع هذا الثو ب بكذا فما زاد فهو لك‬
Artinya:

“Dari Ibnu Abbas r.a.,dalam perkara pengertian simsar,ia berkata,”Tidak mengapa, kalau
seseorang berkata, “Jualah kain ini dengan harga sekian,berapapun lebihnya (dari penjualan
itu) adalah untuk engkau.”(HR.Bukhari)

Adapun kelebihan yang dinyatakan dalam hadits ini adalah: pertama, harga yang
lebih tinggi daripada harga yang ditentukan si penjual barang. Kedua, kelebihan barang
setelah dijual menurut harga yang telah ditentukan oleh si pemilik barang kepada si pembeli.

Orang yang menjadi simsar dinamakan komisioner, makelar dan agen.Keberadaannya


bergantung pada persyaratan atau ketentuan menurut hukum dengan sekarang ini.

Apapun namanya, misalnya simsar,komisioner,makelar dan agen,mereka bertugas


sebagai perantara dalam menjualkan barang-barang dagangan, baik atas nama sendiri maupun
atas nama perusahaan pemilik barang. Berdagang secara simsar ini dibolehkan dalam agama
selama dalam pelaksanaanya tidak terjadi penipuan. Dengan demikian antara pemilik barang

2
dan makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang
diperoleh pihak makelar.

Kemudian seorang Makelar berhak menerima imbalan setelah berhasil memenuhi


akadnya, sedangkan pihak yang menggunakan jasa makelar harus memenuhi dengan segera
memberikan imbalannya, sesuai dengan hadis Nabi:

“berilah kepada pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya”.(HR.Ibnu Majah dari Ibnu
Umar, Abu Ya’la dari Abu Huraira, dan Al-Thabrani dari Anas)

C. Transaksi Makelar (agen barang) Yang Diperbolehkan

Ada satu hal yang perlu diingat,bahwa profesi makelar itu tidak boleh disalahgunakan
seperti untuk menjual atau mencari barang yang dilarang oleh agama. Umpamanya saja
menjual atau mencari narkotika sebagai pesanan dari orang tertentu, mencari rumah untuk
tempat berjudi atau tempat maksiat lainnya.

Transaksi makelar yang diharamkan merupakan praktek-praktek yang merugikan,


seperti contoh pada mafia tanah yang sering disebut makelar. Kerja mereka adalah
memborong tanah penduduk dengan harga semurah-murahnya dan terkadang dengan
pemaksaan,intimidasi, gangguan dan sebagainya. Sebab mereka tahu tanah disekitar wilayah
itu akan dibangun proyek tertentu. Maka bermuncullah para makelar dan mafia tanah
mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari proyek itu. Dan tentunya negara dirugikan
karena tanah yang semula dihitung dengan harga yang wajar,tiba-tiba naik hingga berkali
lipat.

Atau seperti yang dilakukan oleh para calo tiket. Pada dasarnya membeli tiket resmi untuk
dijual lagi dengan mengambil keuntungan boleh-boleh saja asal rela sama rela dan tidak
merugikan pihak konsumen. Misalnya, dari pada capek antre dan belum tentu kebagian,
seseorang mengupah orang lain untuk antre diloket dan untuk jasanya itu, orang itu
mendapatkan upah. Inilah argumen pembenaran yang selalu dijadikan tameng oleh para calo
tiket itu.

Namun disisi lain, yang terjadi adalah semua tiket habis diborong para calo sehingga harga
yang seharusnya terjangkau calon penumpang menjadi naik berkali lipat. Tentu saja ini
merupakan tindakan yang merugikan konsumen, karena mereka diharuskan untuk membayar
lebih. Maka dalam contoh kasus ini, calo tiket mengambil kesempatan dalam kesempitan
orang lain. Ini contoh bentuk kemakelaran yang merugikan orang lain.

Termasuk dalam larangan Nabi saw., orang kota menjadi makelar orang desa,
sebagaimana diterangkan dalam hadits dibawah ini:

‫نهى ا لنبى ص م ان يبيع حا ضر لبا د‬


“Rasulullah melarang orang kota menjualkan untuk orang desa (HR.Bukhari dan Nasa’i)

3
Adapun pengertian hadits tersebut,dapat diketahui dari sahabat Nabi ialah apa yang
dikemukakan oleh Thawus:

‫ اليكون سمسارا‬:‫ ما قو له (واليبع حا ضر لبا د)؟ قا ل‬:‫قلت ال بن عباس‬


saya bertanya kepada Ibnu Abbas: “apakah arti sabda Nabi: janganlah orang kota
menjualkan buat orang desa? Jawabnya (artinya):”janganlah ia menjadi perantara (makelar)
baginya. (Muttafaq ‘Alaih)

Sesungguhpun telah ada penjelasan dari Ibnu Abbas,namun masih terdapat perbedaan
diantara fuqaha mengenai persoalan ini. Menurut keterangan Imam Bukhari, yang
dimaksudkan “simsar” dalam tafsirn Ibnu Abbas itu,ialah orang yang bertindak menguruskan
jual beli untuk orang lain dengan upah. Dengan demikian jika pengertian Imam Bukhari
diterima, maka perantara atau makelar yang tidak mengambil upah, kedudukannya dapat
dianggap sebagai penasehat atau penolong. Perantara seperti itu tidak termasuk dalam
larangan tersebut dan dibolehkan.

Segolongan ulama memasukan kedalam larangan ini semua makelar,baik yang


menerima upah maupun yang tidak menerimanya. Sebagian ulama menafsirkan “bentuk
penjualan orang kota untuk orang desa” yaitu dengan cara seorang asing datang kesuatu
negeri dengan membawa barang dagangan yang hendak dijualnya dengan harga yang berlaku
pada hari itu. Lalu orang kota datang kepadanya dengan mengatakan: “berikanlah barangmu
itu kepadaku,biar saya beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi”. Bentuk inilah yag
dilarang menurut Syafi’iah dan Hanabilah.

Ada pula yang membatasi larangan itu,yaitu hanya kepada menjadi makelar untuk
orang desa semata-mata. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa orang kota disamakan
dengan orang desa apabila dia tidak mengetahui perkembanga harga pasaran. Sebaliknya
biarpun orang desa jika dia tau perkembangan harag pasar,maka dipandang sudah termasuk
orang desa lagi. Jadi dalam hal ini tergantung kepada kebiasaan umum.

Ada lagi ulama yang membatasi pengertian “perantara yang terlarang” dengan syarat
ia mengetahui larangan ini,dan ia pun tahu bahwa barang-barang itu adalah barang-barang
yang dibutuhkan umum,dan ditawar oleh orang kota kepada orang desa. Tetapi apabila orang
desa sendiri yang menawarkan barangnya kepada makelar orang kota, maka hal in tidaklah
terlarang.

Menurut Imam as-Shan’ani penulis Subulus-Salam, semua pembatasan ini tidak ada
alasannya dalam hadits,melainkan mereka menyimpulkan saja dari sebab yang mereka
dapatkan dari hadits. Sekelompok ulama lagi menyatakan secara mutlak kebolehan orang
kota menjadi makelar (perantara) buat orang desa,dengan memandang perbuatan tersebut dari
sudut “nasihat”, sebab ada hadits yang menganjurkan memberi nasihat kepada saudara yang
minta nasihat. Mereka juga memandang bahwa hadits “larangan orang kota menjadi perantara
orang desa”,sudah dihapuskan hukumnya (mansukh). Pendapat ini dipegang oleh
Atha’,Mujahid, Abu Hanifah dan al-Hadi. Pandangan ini dibantah oleh fuqaha lain; bahwa
keterangan yang sharih tentang mansukhnya hadits itu tidak ada.

4
D. Ihtikar

Ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu
harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat
dirugikan. Menurut Adimarwan "Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya ada satu
penjual". Berdasarkan hadist :

‫سلَّ َم َم ِن‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ِّث أ َ َّن َم ْع َم ًرا قَا َل قَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ب يُ َح ِد‬ َ ‫س ِعيدُ ب ُْن ْال ُم‬
ِ َّ‫سي‬ َ ‫َع ْن‬
ِ ‫احت َ َك َر فَ ُه َو خ‬
‫َاطئ‬ ْ
Artinya :

dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah saw.
bersabda, 'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim (1605).

jelas monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan
demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta mementingkan diri sendiri
dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga menunjukan bahwa pelakunya mempunyai
moral dan mental yang rendah.

E. Hukum Ihtikar

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai
berikut:

1. Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh
sabda Nabi SAW:

ِ ‫احت َ َك َر فَ ُه َو خ‬
‫َاطئ‬ ْ ‫َم ِن‬
Artinya :

“Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa.” (HR. Muslim 1605)

Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:

 Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa
satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari
satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
 Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan
kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya
dengan harga mahal.
 Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang
dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang.

5
2. Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan
ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan
bagi umatnya.
3. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka
dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat
tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana
riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:

ُ ‫س ِعيد ِإ َّن َم ْع َم ًرا الَّذِي َكانَ يُ َح ِد‬


‫ِّث‬ َ ‫س ِعي ٍد فَإِنَّ َك ت َ ْحت َ ِك ُر قَا َل‬
َ ‫َاطئ فَ ِقي َل ِل‬ ِ ‫احت َ َك َر فَ ُه َو خ‬
ْ ‫َم ِن‬
َ ‫َهذَا ْال َحد‬
‫ِيث َكانَ يَ ْحت َ ِك ُر‬
Artinya :

Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya, "Kenapa engkau
lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini
telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605)

Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar
(perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang
adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang
sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in [mulia] yang
bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu
mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan
saja).

4. Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah,
sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini
lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga
apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka
perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan
barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang
menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian
manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5. Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang
memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat
tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya
ihtikar, seperti dalam hadits:

‫ام ُم َجازَ َفةً َعلَى َع ْه ِد‬ َّ َ‫َّللاُ َع ْن ُه َما قَا َل َرأ َ ْيتُ الَّذِينَ َي ْشت َ ُرون‬
َ ‫الط َع‬ َّ ‫ي‬َ ‫ض‬ ُ ‫َع ْن اب ِْن‬
ِ ‫ع َم َر َر‬
‫سلَّ َم يَ ْن َه ْونَ أ َ ْن يَ ِبيعُوهُ َحتَّى يُؤْ ُووهُ ِإلَى ِر َحا ِلـ ِه ْم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو ِل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َر‬

6
Artinya:

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan
dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali
harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (HR. Bukhori dan Muslim)

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:

"Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan (hadits ini),
karena Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya mengangkutnya terlebih
dahulu ke rumah-rumah mereka sebelum menjualnya kembali, dan seandainya ihtikar itu
dilarang, maka Rosulullah SAW tidak akan memerintahkan hal itu." (Fathul Bari)

Demikian pula pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama yang
mengharamkan ihtikar setiap waktu secara mutlaku, tanpa membedakan masa paceklik
dengan masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan terhadap monopoli dari hadits
yang sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan salaf.

F. Kesimpulan

makelar didefinisikan sebagai perantara pada jual beli. Makelar dalam bahasa Arab
disebut dengan simsar. Dan kerja makelar disebut simsarah, ialah perantara perdagangan
yaitu orang yang menjualkan atau yang mencarikan pembeli. Atau perantara antara penjual
dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar dalam kitab-kitab fiqih terdahulu disebut
denga istilah“samsarah” atau “simsarah”. Sayyid Sabiq mendefinisikan simsar adalah orang
yang menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna lancarnya transaksi jual beli.

Ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu
harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat
dirugikan. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar ada yang berpendapat Haram
secara mutlak, makruh secara mutlak, haram apabila berupa bahan makanan saja , haram
ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah dan pula yang
berpendapat bahwa ihtiakr itu boleh.

7
DAFTAR PUSTAKA

 Dr. Rachmat Syafe’I, MA. Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan
Umum. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.2001.

 Rachmat Syafe’I, Fiqh Mu’amalah, Bandung, CV Pustaka Setia, 2001, hal 16.

 Dimyaudin Djuwaini, Fiqh Mu’amalah, Yogyakarta, Puataka Belajar, 2010, hal 7.

 PENGERTIAN FIQIH MUAMALAH – Artikel Ilmiah Lengkap.htm, diakses Kamis


10 maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai