Anda di halaman 1dari 13

tafsir samarqandi (bahr ulum)

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

            Perkembangan dan kemajuan berpikir manusia senantiasa disertai oleh wahyu yang

sesuai dan dapat memecahkan problem-problem yang dihadapi oleh kaum setiap rasul itu,

sampai perkembangan itu mengalami kematangannya. Allah menghendaki agar risalah

Muhammad SAW muncul didunia ini. Maka diutuslah beliau disaat manusia sedang

mengalami kekosongan para Rasul, untuk menyempurnakan bangunan saudara-saudara

pendahulunya (para Rasul) dengan syariatnya yang universal dan abadi serta dengan kitab

yang diturunkan kepadanya yaitu al-Quran al-karim.[1] Al-Quran al-karim memperkenalkan

dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu diantaranya adalah bahwa ia merupakan

kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah dan ia adalah kitab yang selalu terpelihara

seperti dalam firman Allah dalam QS. al-Hijr: 9[2]

    RÎ) ß`øtwU $uZø9¨“tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒȯ$

Terjemahnya:

Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Quran dan kamilah yang benar-benar

memeliaranya.[3]

            Maka dari itu salah satu cara Allah membuktikan bahwa al-Quran itu adalah kitab

terpelihara dan mempunyai bahasa yang sangat indah dan mempunyai makna yang sangat

luas. Maka dari itu banyak ulama yang tertarik ingin mengkajinya lebih dalam sehingga

muncullah beberapa kitab tafsir. Kemudian dalam memahami al-Quran atau dalam

menafsirkan al-Quran yang apabila dilihat dari segi redaksi penafsiran para ulama, yang

dimana para ulama misalnya ada ulama yang keahliannya dalam fiqih maka dia menafsirkan

al-Quran yang bercorak fiqih misalnya dalam kitab Rawa>’i al-Baya>n yang dimana dalam

kitab tafsir tersebut membahas mengenai fiqih dan masih banyak lagi contoh kitab tafsir lain

yang membahas al-Quran sesuai dengan potensinya masing-masing. Maka dari itu pemakalah
akan membahas sedikit dari salah satu kitab tafsir, yang dimana dalam kitab tafsir tersebut

bercorak fiqih yaitu Tafsir Samarqandi.  

B.    Rumusan Masalah

1.      Siapa pengarang Tafsir Samarqandi  dan bagaimana corak Tafsirnya?

2.      Bagaimana penafsiran surah al-Ma>’u>n dalam kitab Tafsir Samarqandi?

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Biografi Pengarang Tafsi>r Bah}r al-‘Ulu>m

Abu al-Lais\ bernama Nas}r Muhammad bin Ibra>him al-Qitabi al-Samarqandi[4] al-

Tawzi> al-Balkhi. Ada yang menyatakan bahwa Abu al-Lais\ bernama Nas}r bin Muhammad

bin Ah}mad bin Ibra>him al-Samarqandi.[5] Ia digelari dengan al-Fak}ih, karena ia sangat

mendalami ilmu fiqhi. Gelar ini sebenarnya didasarkan atas mimpinya ketika melihat Nabi

saw dalam tidurnya lalu Nabi memberikan gelar ini. Gelar kedua adalah Imam al-

Huda. Tidak diketahui secara pasti tentang tahun kelahirannya. Hanya ada dugaan bahwa dia

lahir antara tahun 301–310 H. Adapun mengenai tahun kewafatannya juga terjadi perbedaan,

di antaranya disebutkan oleh al-Dawidi> dalam kitabnya T{abaqa>t al-Mufassiri>n Abu al-

Lais| wafat pada malam selasa 11 Jumadil Akhir 398 H. Ada pula yang berpendapat, ia wafat

383 H, sedang yang lainnya 373 H. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, yang

berbeda hanya berkisar tentang tahun, akan tetapi dalam hal hari dan bulan kematiaannya

hampir-hampir tidak ada perbedaan.[6]

Yang pasti bahwa Abu al-Lais\ mempunyai beberapa guru yang ahli dalam bidangnya

masing-masing dan murid-murid serta karya tulis dengan berbagai bidang ilmu keislaman.

Sementara mazhab yang dianut adalah mazhab Hanafi. Hal ini terlihat dari beberapa kitab-

kitab fiqhi yang ditulis, banyak bercorak mazhab Hanafi.


            Tafsir al-Samarqandi masih satu generasi dengan kitab tafsir al-T{abari>, sehingga

tafsir ini termasuk tafsir berdasarkan atas riwayat atau dikenal dengan tafsir bi al-Ma’s\u>r.

[7] Sementara dalam kitabnya sendiri yang ditahqiq oleh Ali Muhammad Mu’awwad

menganggapnya sebagai gabungan antara tafsir bi al-ma’s\u>r dengan tafsir bi al-ra’yi.

[8] Kitab tafsirnya ini disebut dengan nama “Bah}r ‘Ulu>m” karena kedalaman ilmu yang

dimiliki oleh Abu> al-Lais\.

a.      Manha>j Tafsir Bah{r ‘Ulu>m

Sebagai tafsir yang bercorak riwayat, tafsir al-Samarqandi termasuk

tafsir tahlili dengan demikian, operasional dalam tafsirnya menggunakan sumber-sumber dan

pendekatan yang digunakan dalam penafsirannya:

Yang pertama menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dalam hal ini, Al-Suyut}i

berpendapat bahwa barang siapa yang ingin menafsirkan al-Qur’an, yang pertama harus

dilihat adalah al-Qur’an karena tidak ada sebuah penafsiran yang paling akurat keculi dengan

al-Qur’an.

Sumber kedua dalam menafsirkan al-Qur’an adalah hadis. Menurut abu al-Lais\

bahwa bilamana tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an, maka sebagian penjelasan

diambil dari hadis.

Sumber ketiga adalah perkataan sahabat. Di antara sahabat yang banyak dinukil oleh

Abu al-Lais\ adalah Ali bin Abi T{alib, ‘Umar bin Khat}t}a>b, Ubay bin Ka’b, Ibnu Abba>s,

Ja>bir bin Abdullah, Abdullah bin Zubair dan sahabat yang lainnya. Sumber keempat adalah

perkataan tabi’in Di antara mereka yang dijadikan sumber tafsir di kalangan tabiin adalah al-

H}asan, Said bin Jubair, At}a’, ‘Ikrimah, Wahhab bin Munabbih, al-Suddy, Muqatil, dan

sumber paling banyak diambil dari Mujahid.[9]

b.      Pendekatan yang digunakan Al-Samarqandi>

Abu Al-lais\ dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an digunakan beberapa pendekatan

berupa ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu tafsir, karena hal itu sangat diperlukan dalam

menafsirkan al-Qur’an. Di antaranya adalah:[10]


1)      al-Lugawi>.

Abu al-Lais\ menyatakan bahwa tidak boleh seseorang menafsirkan al-Qur’an dengan

pendapatnya sendiri sebelum mengenal dan mengetahui Bahasa Arab dan asbab al-nuzul.

[11] Dalam aspek kebahasan ini Abu al-Lais\ memeperhatikan beberapa hal, yaitu dari segi

makna lafaz, jika tidak ditemukan makna dari al-Qur’an maka kembali kepada kalam Arab

atau syair yang berkaitan dengan kata itu. Disisi lain pula dari aspek kebahasaan ini adalah

aspek nahwu, sharaf dan balagahnya.

2)      Pendekatan As\ar

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa tafsir Abu al-Lais\ adalah sebuah tafsir

yang memiliki corak bi al-ma’s\u>r yang sebagai acuannya dalam menafsirkan

ayat. Karena Didalamnya banyak memuat pendapat para sahabat dan tabi’in, sayangnya

beliau tidak menyebutkan sanad-sanadnya. Kitab ini terdiri dari dua jilid dan salah satu dari

naskah-naskahnya masih ada di perpustakaan Al-Azhar.[12]

Namun menurut penelitian penulis, sekalipun tafsirnya dikategorikan sebagai tafsir bi

al-ma’s\u>r, tidak semuanya ayat yang ditafsirkan berdasarkan riwayat, bahkan dalam satu

ayat tidak dikemukakan riwayat.

Pendekatan kebahasaan hal ini dapat dilihat ketika menafsirkan kalimat “alh}amd
Lilla>h” menurtnya bahwa kalimat ini bermakna “al-Sykr Lillah” pendapat ini sejalan yang

kemukakan oleh Ibn Abbas, yaitu syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya. Menurut ahli

bahasa bahwa kata ini (al-h}amd) sama artinya dengan al-syukr, akan tetapi sebagian yang

lainnya tetap membedakan pengertian keduanya. Kata al-h}amd lebih umum dari kata al-

syukur, yang lainnya Muhammad Khad}ary berpendapat bahwa kata al-syukr lebih umum

dari kata al-h}amd, karena kata al-syukur digunakan baik dalam bentuk kata-kata maupun

dalam bentuk perbuatan, sementara al-h{amd hanya dalam bentuk biasa.[13] Menurut

Quraish Shihab bahwa ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh orang yang dipuji, sehingga dia

atau perbuatannya layak dipuji, yaitu, indah, diperbuat secara sadar dan tidak dipaksa. Jadi

kata al-h}amd dalam surah al-Fatihah ditujukan kepada Allah.[14] Pendekatan Qira’at


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Abu al-Lais\ dalam menafsirkan ayat sangat

memperhatikan qiraat-qiraat jika dalam ayat tersebut terdapat perbedaan qiraat dengan

mengemukakan pen\dapat masing-masing ahli qiraat. Misalnya dalam ayat ke4 dan ke-6,

menurutnya bahwa ayat ke-4 terdapat dua bacaan, yaitu ada yang membaca dengan
memanjangkan huruf mim-nya “ ‫ماكل‬
” dan kedua dengan memendekkan mim-nya “ ”. ‫مكل‬
Bacaan ini didasarkan beberapa riwayat yang shahih. Ulama yang membaca tanpa alif seperti

Na>fi’, Ibn Kas|i>r, H}amzah, Ibn ‘Amr bi Al-‘Ala>’ dan Ibn ‘A>mir dengan makna ‘raja’.

Sementara yang membaca dengan alif yaitu al-Kisa>’i dengan mengartikan ‘pemilik’. Abu

al-Lais\ dalam menyikapi kedua pendapat ini, agaknya condong kepada pendapat kedua

sekalipun pada awalnya dia membaca tanpa alif, akan tetapi dengan motivasi salah satu hadis

Nabi, bahwa siapa saja yang memabaca al-Qur’an maka baginya setiap huruf sepuluh

kebaikan.[15]

B.   Tafsi>r Surah al-Ma>’u>n

1.      Teks dan terjemahan


)3( ِ‫) َواَل حَي ُ ُّض عَىَل َط َعا ِم الْ ِم ْس ِكني‬2( ‫) فَ َذكِل َ اذَّل ِ ي يَدُ ُّع الْ َي ِت َمي‬1( ‫َأ َرَأيْ َت اذَّل ِ ي يُ َك ِّذ ُب اِب ِّدل ِين‬
َ ‫ون الْ َماع‬
)7( ‫ُون‬ َ ‫) َوي َ ْمنَ ُع‬6( ‫ون‬ َ ‫) اذَّل ِ َين مُه ْ يُ َرا ُء‬5( ‫ُون‬ َ ‫) اذَّل ِ َين مُه ْ َع ْن َصاَل هِت ِ ْم َساه‬4( ‫فَ َويْ ٌل ِللْ ُم َص ِل ّ َني‬

Terjemahnya:

Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?. Maka itulah orang-orang yang menghardik

anak yatim. Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang

shalat. Yaitu orang-orang yang telah lalai terhadap shalatnya. Yang berbuat riya’. Dan

enggan memberikan bantuan.[16]

Surah ini menurut mayoritas ulama adalah surah Makkiyyah. Sebagian menyatakan

Madaniyah dan ada lagi yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai ayat ketiga turun di
Mekkah dan sisanya di Madinah. Ini  dengan alasan bahwa ayat yang dikecam oleh ayat

keempat dan seterusnya ialah orang-orang munafik baru dikenal keberedaannya setelah hijrah

Nabi Muhammad SAW ke Madinah.

Nama surah ini cukup banyak, ada yang menamainya surah al-Di>n. Surah al-Takz|

i>b, surah al-Yati>m, surah Ara’aita, surah Ara’aita allaz|i, dan yang paling populer adalah

surah al-Ma>’u>n.

Tema utamanya adalah kecaman terhadap mereka yang mengingkari keniscayaan

kiamat dan yang tidak memerhatikan substansi shalatnya. Menurut al-Biqa>’i, tujuan

utamanya adalah peringatan bahwa pengingkaran terhadap hari kebangkitan merupakan

sumber dari segala kejahatan karena dia yang mendorong yang bersangkutan untuk

melakukan aneka akhlak yang buruk serta melecehkan aneka kebajikan.

Surah ini wahyu yang ke 17 yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW ia turun

sesudah surah al-Takas|u>r dan sebelum surah al-Ka>firu>n.[17]

2.      Munasabah Surah

Pada surah Quraisy, dijelaskan bahwa Allah SWT, memberi anugerah pangan kepada

manusia dalam arti mempersiapkan lahan dan sumber daya alam sehingga dengan anugerah

itu mereka tidak kelaparan. Sedang dalam surah al-Ma>’u>n ini Allah mengecam mereka
yang berkemampuan, tetapi enggan, jangankan memberi, menganjurkan pun tidak. Allah

berfirman apakah engkau wahai Nabi Muhammad atau siapa pun , telah melihat yakni

beritahulah aku tentang orang yang mendustakan hari kemudian? Jika engkau belum

mengetahui maka ketahuilah bahwa dia itu adalah yang mendorong dengan keras yaitu

menghardik dan memperlakukan dengan sewenag-wenang anak yatim dan tidak senantiasa

menganjurkan dirinya, keluarganya, dan orang lain memberi pangan buat orang miskin.[18]

3.      Asba>b Nuzu>l

Sebab turunnya atau asba>b nuzu>l dalam surah tersebut pada ayat pertama dan

kedua diterangkan dalam suatu riwayat yang mengatakan bahwa ayat pertama dan kedua

berkenaan ketika Abu> Sufya>n ibn H}arb menyembelih dua kambing setiap minggu suatu
ketika dia didatangi oleh anak yatim lalu anak yatim  ini meminta sesuatu atau daging yang

telah disembelih namun anak yatim ini dipukul dengan tongkak maka turunlah ayat ini yaitu

ayat pertama dan kedua.[19] Kemudian pada ayat keempat ibnu al-Munz|ir meriwayatkan

dari T}a’if ibn Abu> T}alhah dari ibn Abba>s mengenai firman Allah (maka kecelakaanlah

bagi orang-orang yang shalat) ayat terwsebut turun berkenaan dengan orang-orang munafik

yang berbuat riya’ dalam shalatnya ketika mereka menunaikan shalat dan mereka

meninggalkan ketika tidak hadir menunaikan shalat. Mereka juga menolak memberikan

bantuan.[20]

4.      Tafsir Surah al-Ma>’u>n Dalam Kitab Bah}r al-‘Ulu>m


Dalam ayat  ‫َأ َرَأيْ َت اذَّل ِ ي يُ َك ِّذ ُب اِب ِّدل ِين‬ al-Kisa>’i membaca ara’aita tanpa alif

menjadi raita, sedangkan Na>fi’ membacanya tanpa hamzah menajdi araita dan al-Ba>qu>n

membacanya dengan alif dan hamzah yaitu ara’aita adapun maknanya jika

dibaca ara’aita yaitu apakah engkau wahai Muhammad tidak melihat orang kafir ini yang

mendustakan agama atau pada hari kiamat?. Samarqandi> mengatakan maknanya apa yang

engkau katakan wahai Muhammad pada orang kafir ini yang mendustakan hari kiamat atau

hari pembalasan lalu bagaimana keadaannya nanti pada hari kiamat.

Qata>dah berkata ayat ini turun berkenaan mengenai Wahhab ibn ‘A>yil sedangkan
menurut Ju’dah ibn Hubairah ayat ini turun berkenaan mengenai al-‘A>s} ibn Wa>’il, ini

ancaman bagi seluruh kaum kafir.[21]


Selanjutnya pada ayat  ‫فَ َذكِل َ اذَّل ِ ي ي َ دُ ُّع الْ َي ِت َمي‬   yakni tidak memberikan haknya kepada
anak yatim dan dikatakan pula menzaliminya. Kemudian ‫ض عَىل‬ ُّ ُ ‫َوال حَي‬
ِ‫الْ ِم ْس ِكني‬  ‫ َطع ا ِم‬ yakni tidak memberikan makan kepada orang miskin. Kemudian ‫فَ َويْ ٌل‬
‫ ِللْ ُم َص ِل ّ َني‬ yaitu bagi orang-orang munafik. ‫ُون‬ َ ‫اذَّل ِ َين مُه ْ َع ْن َص الهِت ِ ْم س اه‬ maksudnya mereka
menunda nunda sampai habis waktunya. ‫راؤ َن‬ ُ ُ‫اذَّل ِ َين مُه ْ ي‬ yaitu mereka ingin dilihat oleh
manusia dengan shalatnya dan mereka tidak menginginkan keridhaan Allah sampai apabila

mereka dilihat oleh manusia mereka shalat dan jika tidak ada manusia melihatnya mereka
tidak shalat.  َ ‫ون الْامع‬
‫ُون‬ َ ‫وي َ ْمنَ ُع‬ َ
Muqa>til mengatakan mereka enggan mengeluarkan zakat dan

kata al-ma>’u>n yaitu kebodohannya yang selalu mengumpulkan harta, dari Ikrimah berkata


yang dimaksud al-ma>’u>n ialah kapak,  panci, kemampuan, timba. Dia mengatakan siapa

yang enggan mengeluarkan ini maka dia akan celaka[22]

5.      Makna ijma>li

Dalam ayat pertama sampai ayat ketiga bahwa orang-orang yang tidak percaya

terhadap kebenaran agama itu mempunyai ciri-ciri yaitu: pertama suka menghina orang-orang

yang tidak mampu. Kedua bersikap sombong terhadap mereka. Keduanya merupakan

perbuatan bakhil terhadap kekayaannya tidak mau memberikan sebagian kekayaannya 

kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan, atau orang itu tidak mau memberi

tahukan kepada orang yang mampu agar mereka bisa memberikan pertolongan kepada orang-

orag yang benar-benar miskin dan tidak bekerja, sehingga mereka dapat terlepas dari

kesengsaraannya.

Sekalipun orang-orang yang suka menghina orang lain, bakhil dan tidak mau

menghimbau orang lain untuk berbuat kebajikan itu adalah orang-orang yang shalat ataupu

tidak, maka mereka tetap dikelompokkan sebagai orang yang tidak percaya kepada agama.

Shalat yang mereka lakukan ternyata tidak bisa melepaskan diri dari penggolongan ini.

Karena orang yang percaya kepada agama pasti akan menepati dan tidak melanggar

keyakinannya. Jika ia benar-benar percaya kepada agama pasti ia akan menjadi orang-orang
yang tawaddu’ dan tidak takabbur terhadap fakir miskin dan tidak mengusir atau

menghardik mereka.[23]

Sebelum terlalu jauh pembahasan maka yang perlu dibahas adalah masalah miskin.

Dalam pembahasan masalah miskin ini Maka perlu dibedakan antara miskin dengan fakir

karena biasanya ada yang menyamakannya. Kata miskin terambil dari kata sakana yaitu

diamnya sesuatu[24]sedangkan menurut istilah yaitu menurut ulama Hanafiyyah dan

Malikiyyah adalah orang yang tidak memiliki harta sama sekali  sedangkan menurut ulama

Syafi’iyyah dan Hanabilah yaitu orang yang memiliki harta namun tidak mencukupi

kebutuhan hidupnya secara penuh.[25] Sedangkan kata faqara menurut bahasa ialah sedikit

hartanya[26]sedangkan menurut istilah ialah menurut ulama Hanafiyah adalah orang yang

memiliki harta berkembang kurang dari satu nihsab namun habis untuk memenuhi kebutuhan
primer. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah orang yang tidak memiliki harta

sama sekali. Sedangkan menurut Hanafiyah ialah orang yang memiliki harta namun tetapi

tidak sampai satu nishab. Sedangkan menurut Malikiyah ialah orang yang memiliki harta tapi

tidak mencukupi sampai satu tahun.[27]

 Hubungan pada ayat-ayat sebelumnya dengan ayat 5 sampai selesai  bahwa karena

tidak adanya perhatian pada yatim dan miskin merupakan tanda-tanda pendustaan dan

perbuatan dosa maka celakalah bagi orang-orang yang shalat itu.[28] Karena ayat

sebelumnya menerangkan mengenai beberapa masalah maka pada ayat ke lima menjawabnya

dengan tegas bahwa celakalah orang yang berbuat demikian.

Siksaan bagi orang-orang yang melakukan shalat hanya dengan gerak jasadnya saja

tanpa membawa bekas didalam jiwa sedikit pun, dan tidak membuahkan hasil dari tujuan

shalat. Hal ini karena hatinya kosong tidak menghayati apa yang dikatakan oleh mulutnya,

dan shalatnya tidak membekas atau berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Shalatnya hanya

gerakan-gerkana rutin yang biasa dilakukan tanpa adanya penghayatan dan tidak dapat

menikmati pengaruh shalatnya. Mereka melakukan perbuatan-perbuatan itu hanya karena

ingin mendapatkan pujian orang lain. Tetapi hati mereka sama sekali tidak mengetahui

hikmah dan rahasih-rahasiahnya.[29]

BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

1.      Nama lengkap pengarang kitab Tafsir Samarqandi yaitu Abu al-Lais\ bernama Nas}r

Muhammad bin Ibra>him al-Qitabi al-Samarqandi al-Tawzi> al-Balkhi. Ada yang

menyatakan bahwa Abu al-Lais\ bernama Nas}r bin Muhammad bin Ah}mad bin Ibra>him

al-Samarqandi. Adapun corak tafsirnya yaitu bil ma’s|u>r.


2.      Kelebihannya dalam Tafsir Samarqandi ialah dimana dalam tafsir tersebut pengarang

menafsirkan berdasarkan riwayat baik itu dari Rasulullah, Sahabat dan Tabi’in. Kemudian

pengarang menafsirkan sesuai kaidah kebahasaan dan dalam tafsrinya tersebut

menyebutkan asbab al-nuzul. Bahkan kadang-kadang pengarang memasukkan kedalam

tafsrinya syair atau balagah jika pengarang tidak menemukan kaidah kebahasaan.

3.      Kelemahannya ialah dimana kalau pengarang mengutip hadis ataupun riwayat dari

Rasulullah, Sahabat ataupun dari Tabi’in pengarang tidak mencantumkan sanad-sanadnya

sehingga riwayat tersebut tidak diketahui apakah sahih, hasan atau da’if.

B.   Implikasi dan Saran

Dalam penelitian pemakalah pada tafsir Samarqandi diatas yang dimana beliau

mampu menafsirkan sesuatu yang berlandaskan dengan riwayat yang menjadi salah satu

contoh bagi para mufassir lainnya dan kemungkinan latar belakang pengarang waktu menulis

dalam kitabnya tersebut sehingga tidak mencantumkan beberapa yang seharusnya di

masukkan dalam tafsiran tersebut 

Kemudian setelah diketahui maksud dan makna yang terkandung dalam surah al-

Ma>’u>n maka sepantasnyalah kita sebagai hamba Allah yang beriman mengaplikasikan apa

maksud dan makna dalam surah tersebut yang dimana  yang ditekankan didalam surah
tersebut ialah menghindari menghinakan orang lain serta melalaikan shalat sebagai kewajiban

hamba kepada sang penciptanya.

            Setelah pemakalah mengkaji atau meneliti dari apa yang ada diatas, maka pemakalah

atau penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan atau masih banyak yang perlu

dibahas dalam makalah tersebut, meskipun penulis telah berusaha menyajikan yang terbaik

sesuai dengan kemampuan penulis. Sehingga, kritik dan saran yang membangun dari

pembaca sangat diharapkan, sehingga makalah yang akan disajikan kedepannya nanti lebih

baik dan bermanfaat.


DAFTAR PUSTAKA

al-Fuyu>miy, Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Aliy, al-Mis}ba>h} al-Muni>r Fi> Gari>b al-Syarh

al-Kabi>r, Beiru>t; al-Maktabah al-‘Alamiyyah, t.th.

al-Lais, Abu \, Tafsir al- Samarqandi> al-Musamma Bah}r al-‘Ulum, Cet. I, Beiru>t: Da>r al-Kutub

al-‘Ilmiyah, 1993 M/1413 H.

al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Terjemah tafsir al-Maragi, Cet II. Semarang; PT.Karya Toha Putra,

1993.

al-Naisa>bu>riy, Abi> al-H}usain ‘ALiy ibn Ah}mad al-Wa>h}idiy, Asba>b al-Nuzu>l, Cet I.

Jakarta; Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 2010.

Al-Qatta>n, Manna’ Khali>l, Maba>h}is| fi ‘Ulu>m al-Qur’an, t.tp; al-Mansyu>rat al-’As}r al-

H}adi>s|, diterj, Mudzakir AS, Studi-Studi Ilmu al-Qur’an, Cet XVI. Bogor; Pustaka Litera

Antar Nusa, 2013.

al-Ra>ziy, Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariyya>’ al-Quzainiy, Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah, t.tp;

Da>r al-Fikr, 1979.

al-Samarqandi, Abu> al-Lais| Nas}r ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Ibra>him >, Bah}r

al-‘Ulu>m,  t.tp; t.t, t.th.

al-Suyuti, Imam, Asba>b al-Nuzu>l , Kairo; Da>r al-Fajr li al-Tura>s|, t.th, diterj oleh Andi

Muhammad Syahril dan Yasir Maqasid, Sebab-Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, Cet I.

Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 2014.

Amanah, St., Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, cet. 1, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993.

Mus}t}afa, Abu al-Su’u>d al-‘Ima>diy Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn >, Tafsi>r Abi> al-

Su’u>d Irsya>d al-‘Aql al-Sali>m ila> Miza>ya> al-Kita>b al-Kari>m, Beiru>t; Da>r

Ih}ya>’ al-Tura>s| al-‘Arabiy, t.th.

Ri, Kementerian Agama, al-Wasim al-Qur’an Tajwid Kode Transliterasi Perkata Terjemah

Perkata, Bekasi; Cipta Bagus Segera, 2013.

Roy fadli, M. Syakur Dewa, Kamus Pintar Santri, Cet I. t.tp; Pustaka ‘Azm, 2013.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Cet V. Jakarta; 

Lentera Hati, 2002.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Qur’an al-Karim; Tafsir Surah-Surah Pendek Berdasarkan

urutanTurunnya Wahyu,  Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

Shihab, M. Quraish,Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan

Masyarakat, Cet I. Bandung; PT Mizan Pustaka, 2013.

Us}ama, Tehemen, Metodologi Tafsir al-Qur’an; Kajian Kritis, Obyektif, dan

Komprehensif, Terjemahan Hasan Basri dan Amr Oeni, Cet. I; Jakarta: Risda Cipta, 2000.

Wiza>rah  al-Auqa>f wa al-Syu’u>n al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Cet.

I. Mesir; Mut}a>bi’ Da>r al-S}ufwah, 1427-1404.

[1]Manna’ Khali>l Al-Qatta>n, Maba>h}is| fi ‘Ulu>m al-Qur’an, (t.tp; al-Mansyu>rat al-’As}r al-


H}adi>s|), diterj, Mudzakir AS, Studi-Studi Ilmu al-Qur’an, Cet XVI. (Bogor; Pustaka Litera Antar Nusa,
2013), h 10.
[2]M. Quraish Shihab,Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, Cet I (Bandung; PT Mizan Pustaka, 2013), h 27.
[3]Kementerian Agama Ri, al-Wasim al-Qur’an Tajwid Kode Transliterasi Perkata Terjemah
Perkata, (Bekasi; Cipta Bagus Segera, 2013), h 262.
[4]Gelar al-Samark{andi adalah nama daerah atau salah satu kota di Harrasan dimana daerah ini
banyak menelorkan ulama besar dari berbagai ilmu. Lihat selengkapnya Abu al-Lais\, Tafsir al- Samarqandi>
al-Musamma Bah}r al-‘Ulum, Cet. I (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993 M/1413 H), Juz I, h. 8-9.
selanjutnya disebut al-Samarqandi.
[5]Abû, al-Lai|s, Tafsîr. al-Samarqandi> al-Musammî Bah}r al-‘Ulûm, h. 6.
[6]Abû, al-Lai|s, Tafsîr. al-Samarqandi> al-Musammî Bah}r al-‘Ulûm, h. 7. Lihat pula Tehemen
Us}ama, Metodologi Tafsir al-Qur’an; Kajian Kritis, Obyektif, dan Komprehensif, Terjemahan Hasan Basri dan
Amr Oeni, (Cet. I; Jakarta: Risda Cipta, 2000), h. 64.
[7]Tafsir al-Samarqandi masih satu generasi dengan kitab tafsir al-T{abary, sehingga tafsir ini
termasuk tafsir berdasarkan atas riwayat atau dikenal dengan tafsir bi al-Ma’s\ur
[8]Abû Al-La|s|, Tafsîr. al-Samarqandi> al-Musammî Bah}r al-‘Ulûm, h. 50.
[9]Abû, al-Lais|, Tafsîr al-Samarqandi> al-Musammî Bah}r al-‘Ulûm, h. 54.
[10]Abû, al-Lais|, Ta fsîr al-Samarqandi> al-Musammî Bah}r al-‘Ulûm, h. 79
[11]Abû, al-Lai|s, Tafsîr al-Samarqandi> al-Musammî Bah}r al-‘Ulûm, h. 60.
[12]St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, cet. 1,(Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993), h.
348.
[13]Abû Al-Lai|s, Tafsîr al-Samarqandi> al-Musammî Bah}r al-‘Ulûm,h. 79.
[14]Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim; Tafsir Surah-Surah Pendek Berdasarkan
urutanTurunnya Wahyu, (Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 18.
[15]Abû, al-Lai|s, Tafsîr al-Samarqandi> al-Musammî Bahr al-‘Ulûm,,  h 81.
[16]Kementerian Agama Ri, al-Wasim al-Qur’an Tajwid Kode Transliterasi Perkata Terjemah
Perkata, (Bekasi; Cipta Bagus Segera, 2013), h 602.
[17]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Cet V (Jakarta; 
Lentera Hati, 2002), Vol XV, h 641-642.
[18]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h 644.
[19]Abi> al-H}usain ‘ALiy ibn Ah}mad al-Wa>h}idiy al-Naisa>bu>riy, Asba>b al-Nuzu>l, Cet I
(Jakarta; Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 2010), h 287.
[20]Imam al-Suyuti, Asba>b al-Nuzu>l , (Kairo; Da>r al-Fajr li al-Tura>s|, t.th), diterj oleh Andi
Muhammad Syahril dan Yasir Maqasid, Sebab-Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, Cet I (Jakarta; Pustaka al-
Kautsar, 2014),
[21]Abu> al-Lais| Nas}r ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Ibra>him al-Samarqandi>, Bah}r
al-‘Ulu>m, (t.tp; t.t, t.th), Juz III, h 625.
[22]Abu> al-Lais| Nas}r ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Ibra>him al-Samarqandi>, Bah}r
al-‘Ulu>m, h 626.
[23]Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah tafsir al-Maragi, Cet II (Semarang; PT.Karya Toha Putra,
1993), Jilid XXX, h 436.
[24]Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariyya>’ al-Quzainiy al-Ra>ziy, Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah, (t.tp;
Da>r al-Fikr, 1979),  Juz III, h 88.
[25]M. Syakur Dewa dan Roy fadli, Kamus Pintar Santri, Cet I (t.tp; Pustaka ‘Azm, 2013), h 81-82.
[26]Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Aliy al-Fuyu>miy, al-Mis}ba>h} al-Muni>r Fi> Gari>b al-Syarh
al-Kabi>r, (Beiru>t; al-Maktabah al-‘Alamiyyah, t.th), Juz II, h 478

[27]Wiza>rah  al-Auqa>f wa al-Syu’u>n al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-


Kuwaitiyyah, Cet .I (Mesir; Mut}a>bi’ Da>r al-S}ufwah, 1427-1404), Juz XXXII, h 199.
[28]Abu al-Su’u>d al-‘Ima>diy Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Mus}t}afa>, Tafsi>r Abi> al-
Su’u>d Irsya>d al-‘Aql al-Sali>m ila> Miza>ya> al-Kita>b al-Kari>m, (Beiru>t; Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s|
al-‘Arabiy, t.th), Juz IX, h 203-204.
[29]Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah tafsir al-Maragi, h 437.

Anda mungkin juga menyukai