BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dan kemajuan berpikir manusia senantiasa disertai oleh wahyu yang
sesuai dan dapat memecahkan problem-problem yang dihadapi oleh kaum setiap rasul itu,
Muhammad SAW muncul didunia ini. Maka diutuslah beliau disaat manusia sedang
pendahulunya (para Rasul) dengan syariatnya yang universal dan abadi serta dengan kitab
dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu diantaranya adalah bahwa ia merupakan
kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah dan ia adalah kitab yang selalu terpelihara
RÎ) ß`øtwU $uZø9¨“tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒȯ$
Terjemahnya:
memeliaranya.[3]
Maka dari itu salah satu cara Allah membuktikan bahwa al-Quran itu adalah kitab
terpelihara dan mempunyai bahasa yang sangat indah dan mempunyai makna yang sangat
luas. Maka dari itu banyak ulama yang tertarik ingin mengkajinya lebih dalam sehingga
muncullah beberapa kitab tafsir. Kemudian dalam memahami al-Quran atau dalam
menafsirkan al-Quran yang apabila dilihat dari segi redaksi penafsiran para ulama, yang
dimana para ulama misalnya ada ulama yang keahliannya dalam fiqih maka dia menafsirkan
al-Quran yang bercorak fiqih misalnya dalam kitab Rawa>’i al-Baya>n yang dimana dalam
kitab tafsir tersebut membahas mengenai fiqih dan masih banyak lagi contoh kitab tafsir lain
yang membahas al-Quran sesuai dengan potensinya masing-masing. Maka dari itu pemakalah
akan membahas sedikit dari salah satu kitab tafsir, yang dimana dalam kitab tafsir tersebut
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Tawzi> al-Balkhi. Ada yang menyatakan bahwa Abu al-Lais\ bernama Nas}r bin Muhammad
mendalami ilmu fiqhi. Gelar ini sebenarnya didasarkan atas mimpinya ketika melihat Nabi
saw dalam tidurnya lalu Nabi memberikan gelar ini. Gelar kedua adalah Imam al-
Huda. Tidak diketahui secara pasti tentang tahun kelahirannya. Hanya ada dugaan bahwa dia
lahir antara tahun 301–310 H. Adapun mengenai tahun kewafatannya juga terjadi perbedaan,
Lais| wafat pada malam selasa 11 Jumadil Akhir 398 H. Ada pula yang berpendapat, ia wafat
383 H, sedang yang lainnya 373 H. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, yang
berbeda hanya berkisar tentang tahun, akan tetapi dalam hal hari dan bulan kematiaannya
Yang pasti bahwa Abu al-Lais\ mempunyai beberapa guru yang ahli dalam bidangnya
masing-masing dan murid-murid serta karya tulis dengan berbagai bidang ilmu keislaman.
Sementara mazhab yang dianut adalah mazhab Hanafi. Hal ini terlihat dari beberapa kitab-
tafsir ini termasuk tafsir berdasarkan atas riwayat atau dikenal dengan tafsir bi al-Ma’s\u>r.
[7] Sementara dalam kitabnya sendiri yang ditahqiq oleh Ali Muhammad Mu’awwad
[8] Kitab tafsirnya ini disebut dengan nama “Bah}r ‘Ulu>m” karena kedalaman ilmu yang
berpendapat bahwa barang siapa yang ingin menafsirkan al-Qur’an, yang pertama harus
dilihat adalah al-Qur’an karena tidak ada sebuah penafsiran yang paling akurat keculi dengan
al-Qur’an.
Sumber kedua dalam menafsirkan al-Qur’an adalah hadis. Menurut abu al-Lais\
bahwa bilamana tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an, maka sebagian penjelasan
Sumber ketiga adalah perkataan sahabat. Di antara sahabat yang banyak dinukil oleh
Abu al-Lais\ adalah Ali bin Abi T{alib, ‘Umar bin Khat}t}a>b, Ubay bin Ka’b, Ibnu Abba>s,
Ja>bir bin Abdullah, Abdullah bin Zubair dan sahabat yang lainnya. Sumber keempat adalah
perkataan tabi’in Di antara mereka yang dijadikan sumber tafsir di kalangan tabiin adalah al-
H}asan, Said bin Jubair, At}a’, ‘Ikrimah, Wahhab bin Munabbih, al-Suddy, Muqatil, dan
berupa ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu tafsir, karena hal itu sangat diperlukan dalam
Abu al-Lais\ menyatakan bahwa tidak boleh seseorang menafsirkan al-Qur’an dengan
pendapatnya sendiri sebelum mengenal dan mengetahui Bahasa Arab dan asbab al-nuzul.
[11] Dalam aspek kebahasan ini Abu al-Lais\ memeperhatikan beberapa hal, yaitu dari segi
makna lafaz, jika tidak ditemukan makna dari al-Qur’an maka kembali kepada kalam Arab
atau syair yang berkaitan dengan kata itu. Disisi lain pula dari aspek kebahasaan ini adalah
2) Pendekatan As\ar
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa tafsir Abu al-Lais\ adalah sebuah tafsir
beliau tidak menyebutkan sanad-sanadnya. Kitab ini terdiri dari dua jilid dan salah satu dari
al-ma’s\u>r, tidak semuanya ayat yang ditafsirkan berdasarkan riwayat, bahkan dalam satu
Pendekatan kebahasaan hal ini dapat dilihat ketika menafsirkan kalimat “alh}amd
Lilla>h” menurtnya bahwa kalimat ini bermakna “al-Sykr Lillah” pendapat ini sejalan yang
kemukakan oleh Ibn Abbas, yaitu syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya. Menurut ahli
bahasa bahwa kata ini (al-h}amd) sama artinya dengan al-syukr, akan tetapi sebagian yang
lainnya tetap membedakan pengertian keduanya. Kata al-h}amd lebih umum dari kata al-
dari kata al-h}amd, karena kata al-syukur digunakan baik dalam bentuk kata-kata maupun
Quraish Shihab bahwa ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh orang yang dipuji, sehingga dia
atau perbuatannya layak dipuji, yaitu, indah, diperbuat secara sadar dan tidak dipaksa. Jadi
memperhatikan qiraat-qiraat jika dalam ayat tersebut terdapat perbedaan qiraat dengan
mengemukakan pen\dapat masing-masing ahli qiraat. Misalnya dalam ayat ke4 dan ke-6,
menurutnya bahwa ayat ke-4 terdapat dua bacaan, yaitu ada yang membaca dengan
memanjangkan huruf mim-nya “ ماكل
” dan kedua dengan memendekkan mim-nya “ ”. مكل
Bacaan ini didasarkan beberapa riwayat yang shahih. Ulama yang membaca tanpa alif seperti
Na>fi’, Ibn Kas|i>r, H}amzah, Ibn ‘Amr bi Al-‘Ala>’ dan Ibn ‘A>mir dengan makna ‘raja’.
Sementara yang membaca dengan alif yaitu al-Kisa>’i dengan mengartikan ‘pemilik’. Abu
al-Lais\ dalam menyikapi kedua pendapat ini, agaknya condong kepada pendapat kedua
sekalipun pada awalnya dia membaca tanpa alif, akan tetapi dengan motivasi salah satu hadis
Nabi, bahwa siapa saja yang memabaca al-Qur’an maka baginya setiap huruf sepuluh
kebaikan.[15]
Terjemahnya:
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?. Maka itulah orang-orang yang menghardik
anak yatim. Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang
shalat. Yaitu orang-orang yang telah lalai terhadap shalatnya. Yang berbuat riya’. Dan
Surah ini menurut mayoritas ulama adalah surah Makkiyyah. Sebagian menyatakan
Madaniyah dan ada lagi yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai ayat ketiga turun di
Mekkah dan sisanya di Madinah. Ini dengan alasan bahwa ayat yang dikecam oleh ayat
keempat dan seterusnya ialah orang-orang munafik baru dikenal keberedaannya setelah hijrah
surah al-Ma>’u>n.
kiamat dan yang tidak memerhatikan substansi shalatnya. Menurut al-Biqa>’i, tujuan
sumber dari segala kejahatan karena dia yang mendorong yang bersangkutan untuk
Surah ini wahyu yang ke 17 yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW ia turun
2. Munasabah Surah
Pada surah Quraisy, dijelaskan bahwa Allah SWT, memberi anugerah pangan kepada
manusia dalam arti mempersiapkan lahan dan sumber daya alam sehingga dengan anugerah
itu mereka tidak kelaparan. Sedang dalam surah al-Ma>’u>n ini Allah mengecam mereka
yang berkemampuan, tetapi enggan, jangankan memberi, menganjurkan pun tidak. Allah
berfirman apakah engkau wahai Nabi Muhammad atau siapa pun , telah melihat yakni
beritahulah aku tentang orang yang mendustakan hari kemudian? Jika engkau belum
mengetahui maka ketahuilah bahwa dia itu adalah yang mendorong dengan keras yaitu
menghardik dan memperlakukan dengan sewenag-wenang anak yatim dan tidak senantiasa
menganjurkan dirinya, keluarganya, dan orang lain memberi pangan buat orang miskin.[18]
3. Asba>b Nuzu>l
Sebab turunnya atau asba>b nuzu>l dalam surah tersebut pada ayat pertama dan
kedua diterangkan dalam suatu riwayat yang mengatakan bahwa ayat pertama dan kedua
berkenaan ketika Abu> Sufya>n ibn H}arb menyembelih dua kambing setiap minggu suatu
ketika dia didatangi oleh anak yatim lalu anak yatim ini meminta sesuatu atau daging yang
telah disembelih namun anak yatim ini dipukul dengan tongkak maka turunlah ayat ini yaitu
ayat pertama dan kedua.[19] Kemudian pada ayat keempat ibnu al-Munz|ir meriwayatkan
dari T}a’if ibn Abu> T}alhah dari ibn Abba>s mengenai firman Allah (maka kecelakaanlah
bagi orang-orang yang shalat) ayat terwsebut turun berkenaan dengan orang-orang munafik
yang berbuat riya’ dalam shalatnya ketika mereka menunaikan shalat dan mereka
meninggalkan ketika tidak hadir menunaikan shalat. Mereka juga menolak memberikan
bantuan.[20]
dibaca ara’aita yaitu apakah engkau wahai Muhammad tidak melihat orang kafir ini yang
mendustakan agama atau pada hari kiamat?. Samarqandi> mengatakan maknanya apa yang
engkau katakan wahai Muhammad pada orang kafir ini yang mendustakan hari kiamat atau
Qata>dah berkata ayat ini turun berkenaan mengenai Wahhab ibn ‘A>yil sedangkan
menurut Ju’dah ibn Hubairah ayat ini turun berkenaan mengenai al-‘A>s} ibn Wa>’il, ini
mereka dilihat oleh manusia mereka shalat dan jika tidak ada manusia melihatnya mereka
tidak shalat. َ ون الْامع
ُون َ وي َ ْمنَ ُع َ
Muqa>til mengatakan mereka enggan mengeluarkan zakat dan
5. Makna ijma>li
Dalam ayat pertama sampai ayat ketiga bahwa orang-orang yang tidak percaya
terhadap kebenaran agama itu mempunyai ciri-ciri yaitu: pertama suka menghina orang-orang
yang tidak mampu. Kedua bersikap sombong terhadap mereka. Keduanya merupakan
kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan, atau orang itu tidak mau memberi
tahukan kepada orang yang mampu agar mereka bisa memberikan pertolongan kepada orang-
orag yang benar-benar miskin dan tidak bekerja, sehingga mereka dapat terlepas dari
kesengsaraannya.
Sekalipun orang-orang yang suka menghina orang lain, bakhil dan tidak mau
menghimbau orang lain untuk berbuat kebajikan itu adalah orang-orang yang shalat ataupu
tidak, maka mereka tetap dikelompokkan sebagai orang yang tidak percaya kepada agama.
Shalat yang mereka lakukan ternyata tidak bisa melepaskan diri dari penggolongan ini.
Karena orang yang percaya kepada agama pasti akan menepati dan tidak melanggar
keyakinannya. Jika ia benar-benar percaya kepada agama pasti ia akan menjadi orang-orang
yang tawaddu’ dan tidak takabbur terhadap fakir miskin dan tidak mengusir atau
menghardik mereka.[23]
Sebelum terlalu jauh pembahasan maka yang perlu dibahas adalah masalah miskin.
Dalam pembahasan masalah miskin ini Maka perlu dibedakan antara miskin dengan fakir
karena biasanya ada yang menyamakannya. Kata miskin terambil dari kata sakana yaitu
Malikiyyah adalah orang yang tidak memiliki harta sama sekali sedangkan menurut ulama
Syafi’iyyah dan Hanabilah yaitu orang yang memiliki harta namun tidak mencukupi
hartanya[26]sedangkan menurut istilah ialah menurut ulama Hanafiyah adalah orang yang
memiliki harta berkembang kurang dari satu nihsab namun habis untuk memenuhi kebutuhan
primer. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah orang yang tidak memiliki harta
sama sekali. Sedangkan menurut Hanafiyah ialah orang yang memiliki harta namun tetapi
tidak sampai satu nishab. Sedangkan menurut Malikiyah ialah orang yang memiliki harta tapi
Hubungan pada ayat-ayat sebelumnya dengan ayat 5 sampai selesai bahwa karena
tidak adanya perhatian pada yatim dan miskin merupakan tanda-tanda pendustaan dan
perbuatan dosa maka celakalah bagi orang-orang yang shalat itu.[28] Karena ayat
sebelumnya menerangkan mengenai beberapa masalah maka pada ayat ke lima menjawabnya
Siksaan bagi orang-orang yang melakukan shalat hanya dengan gerak jasadnya saja
tanpa membawa bekas didalam jiwa sedikit pun, dan tidak membuahkan hasil dari tujuan
shalat. Hal ini karena hatinya kosong tidak menghayati apa yang dikatakan oleh mulutnya,
dan shalatnya tidak membekas atau berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Shalatnya hanya
gerakan-gerkana rutin yang biasa dilakukan tanpa adanya penghayatan dan tidak dapat
ingin mendapatkan pujian orang lain. Tetapi hati mereka sama sekali tidak mengetahui
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
menyatakan bahwa Abu al-Lais\ bernama Nas}r bin Muhammad bin Ah}mad bin Ibra>him
menafsirkan berdasarkan riwayat baik itu dari Rasulullah, Sahabat dan Tabi’in. Kemudian
tafsrinya syair atau balagah jika pengarang tidak menemukan kaidah kebahasaan.
3. Kelemahannya ialah dimana kalau pengarang mengutip hadis ataupun riwayat dari
sehingga riwayat tersebut tidak diketahui apakah sahih, hasan atau da’if.
Dalam penelitian pemakalah pada tafsir Samarqandi diatas yang dimana beliau
mampu menafsirkan sesuatu yang berlandaskan dengan riwayat yang menjadi salah satu
contoh bagi para mufassir lainnya dan kemungkinan latar belakang pengarang waktu menulis
Kemudian setelah diketahui maksud dan makna yang terkandung dalam surah al-
Ma>’u>n maka sepantasnyalah kita sebagai hamba Allah yang beriman mengaplikasikan apa
maksud dan makna dalam surah tersebut yang dimana yang ditekankan didalam surah
tersebut ialah menghindari menghinakan orang lain serta melalaikan shalat sebagai kewajiban
Setelah pemakalah mengkaji atau meneliti dari apa yang ada diatas, maka pemakalah
atau penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan atau masih banyak yang perlu
dibahas dalam makalah tersebut, meskipun penulis telah berusaha menyajikan yang terbaik
sesuai dengan kemampuan penulis. Sehingga, kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat diharapkan, sehingga makalah yang akan disajikan kedepannya nanti lebih
al-Fuyu>miy, Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Aliy, al-Mis}ba>h} al-Muni>r Fi> Gari>b al-Syarh
al-Lais, Abu \, Tafsir al- Samarqandi> al-Musamma Bah}r al-‘Ulum, Cet. I, Beiru>t: Da>r al-Kutub
al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Terjemah tafsir al-Maragi, Cet II. Semarang; PT.Karya Toha Putra,
1993.
H}adi>s|, diterj, Mudzakir AS, Studi-Studi Ilmu al-Qur’an, Cet XVI. Bogor; Pustaka Litera
al-Samarqandi, Abu> al-Lais| Nas}r ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Ibra>him >, Bah}r
al-Suyuti, Imam, Asba>b al-Nuzu>l , Kairo; Da>r al-Fajr li al-Tura>s|, t.th, diterj oleh Andi
Amanah, St., Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, cet. 1, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993.
Mus}t}afa, Abu al-Su’u>d al-‘Ima>diy Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn >, Tafsi>r Abi> al-
Roy fadli, M. Syakur Dewa, Kamus Pintar Santri, Cet I. t.tp; Pustaka ‘Azm, 2013.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Cet V. Jakarta;
Komprehensif, Terjemahan Hasan Basri dan Amr Oeni, Cet. I; Jakarta: Risda Cipta, 2000.