Anda di halaman 1dari 19

AJARAN TASAWUF NAZARI DAN AMALI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Makalah Mata Kuliah

FILSAFAT DAN TASAWWUF

Dosen Pengampu

Dr. A. Khudori Soleh, M. Ag

Oleh

M. AL-AMIN
NIM: 17770044

Program Pasca Sarjana

Magister Pendidikan Agama Islam

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Semester 2

2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf merupakan salah satu aspek penting dalam islam, sekaligus sebagai

perwujudan dari ihsan yang menyadari adanya hubungan langsung antara hamba

dan Tuhannya. Sufisme bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan.

Intinya ada kesadaran akan adanya hubungan atau komunikasi rohaniah antara

manusia dan Tuhan melalui aspek spiritual. Dengan bertasawuf, seseorang akan

menjadi bersih hati dan jiwanya, berarti pula ia akan dibimbing oleh cahaya Illahi.

Kajian-kajian tasawuf tidak lain adalah mementingkan kebersihan batin dan

kesucian jiwa dan lebih mementingkan aktivitas untuk mendekatkan diri kepada

Allah.

Era industrial mengakibatkan terkjadinya kehidupan yang serba modern.

Kehidupan modern ditandai dengan terciptanya sarana hidup yang serba canggih.

Ada dampak negatif yang sering ditimbulkan oleh kemajuan industri ; yaitu

semakin kuatnya paham materialistik, dimana manusia selalu mengejar nilai materi

dengan melupakan bahwa nilai spiritual juga sangat besar artinya dalam kehidupan

manusia. Keberhasilan ini sering menimbulkan gangguan rohani karena tuntutan

agama kurang mendapat perhatian lagi, hingga mencapai puncaknya; yaitu

timbulnya berbagai macam gangguan kejiwaan yang diderita oleh masyarakat.

Makalah ini kami kaji dengan menggunakan tasawuf amali dan nazari yaitu

tasawuf yang ajarannya menekankan pembahasannya mengenai cara-cara yang

harus dilalui oleh hamba, untuk dapat mendekatkan diri kepada Tuhan-nya, dengan

meningkatkan ibadah sunahnya, menekankan kecenderungan hawa nafsunya (al-

2
mujahadah) dan melatih rohaninya dengan memperbanyak dzikir kepada Allah (Al-

Riyadah).

Al-kalabaziy mengatakan bahwa tasawuf amali tergolong ilmu tentang

keadaan hati (‘ulum al-ahwal). Dan tergolong juga sebagai ilmu hikmah; yaitu ilmu

yang mempelajari faktor penyebab terjadinya penyakit jiwa serta cara-cara

melakukan latihan-latihan kerohanian untuk mengobatinya.

B. Pokok Pembahasan
1. Apakah Pengertian tasawuf amali dan nazari?
2. Apakah istilah-istilah dalam tasawuf amali dan nazari?
3. Siapa saja tokoh aliran tasawuf amali dan nazari?

3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Amali

Tasawuf amali adalah tasawuf yang menekankan pada amaliah berupa wirid

dan amaliah lainnya. Tasawuf amali/haddah, menghapuskan sifat-sifat yang tercela,

melintasi semua hambatan itu, dan menghadapi total dari segenap esensi diri hanya

kepada Allah SWT1. Tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang

bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf amali adalah seperti

yang dipraktekan di dalam kelompok tarekat, dimana dalam kelompok ini terdapat

sejumlah sufi yang mendapat bimbingan dan petujuk dari seorang guru tentang

bacaan dan amalan yang harus di tempuh oleh seorang sufi dalam mencapai

kesempurnaan rohani agar dapat berhubungan langsung dengan Allah. Setiap

kelompk tarekat memiliki metode, cara dan amalan yang berbeda satu sama lain.

Berikut macam-macam maqom yang harus dilalui seorang sufi, yaitu:

1. Al-Maqamat

Untuk mencapai tujuan tasawuf seseorang harus menempuh jalan yang

panjang dan berat, perjalanan panjang dan berat tersebut dapat di pelajari

melalui tahapan-tahapan tertentu atau yang biasa disebut dengan istilah al-

Maqamat (stasiun-tahap-tahap). Perjalanan panjang itu dibagi kepada 7

macam, yaitu: Al-Taubah, Al-Wara’, Al-Zuhd, Al-Shabr, Al-Tawakkal dan

Al-Ridho.

1
http://referensi agama.blogspot.com/maret/2019. diakses 1 Maret 2019

4
2. Al-Ahwal

Al-Ahwal adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai

karunia Allah, bukan dari usahanya. Mengenai jumlah dan formasi al-

Ahwal ini sebagian besar sufi berpendapat ada delapan, yaitu: Al-

Muraqabah, Al-Khauf, Al-Raja’, Al-Syauq, Al-Uns, Al-Thoma’ninah, Al-

Musyahadah dan Al-Yakin2

B. Istilah-Istilah dalam Tasawuf Amali

Beberapa istilah penting dalam tasawuf apabila dilihat dari tingkatan dalam

komunitas itu, terdapat beberapa istilah sebagai berikut:

1. Murid

Munurut Al-Kallabazi dlaam bukunya “At-Taarruf li al-Madshabi Ahli ash-

shaufiyah, menyatakan bahwa murid yaitu orang yang mencari pengetahuan dan

bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan memusatkan segala

perhatian dan usahanya kearah itu, melepas segala kemauannya dengan

menggantungkan diri dan nasibnya kepada iradah Allah. (Al-kalabazi: 167)

Murid dalam dunia tasawuf ada tiga klas yaitu:

1) Mubtadi atau Permula

Yaitu mereka yang baru mempelajari syar’at. Jiwanya masih terikat pada

kehidupan duniawi, klas pemula ini berlatih melakukan amalan-amalah zhahir

secara tetap dengan cara dalam waktu tertentu

2) Mutawassith, atau menengah

Yaitu tingkatan menengah, orang yang sudah dapat melewati kelas

pemula telah mempunyai pengetahuan yang cukup tetang syari’at. Klas ini

2
Miswar, Akhlak Tasawuf, (Citapustaka Media Perintis: 2013), 124-137

5
sudah mulai memasuki pengetahuan dan amalan yang bersifat bathiniyah.

Tahap ini adalah tahap belajar dan berlatih mensucikan bathin agar tercapai

akhlak yang baik

3) Muntahi, atau Atas

Tingkatan atas yaitu yang telah matang ilmu syar’atnya, sudah menjalani

thariqat dan mendalami ilmu bathiniah. Sudah bebas dari perbuatan maksiat

sehingga jiwanya bersih, orang yang sudah sampai kepada tingkat ini disebut

orang ‘arif, yaitu orang yang sudah diperkenakan mendalam ilmu hakikat.

Setelah itu ia pun bebas dari bimbingan guru, berjalan sendiri.

Bagi orang yang sudah matang dalam fase ini masih ada kelanjutan untuk

mendapatkan tingkatan yang lebih tinggi yaitu dengan mendalami ilmu

ma’rikah.

2. Syekh

Yaitu seorang pemimpin kelompok kerohanian, pengawas murid-murid dalam

segala kehidupannya, penunjuk jalan dan sewaktu-waktu dianggap sebagai

perantara antara seorang murid dengan Tuhannya. Syekh ini disebut mursyid, yaitu

orang yang sudah melalui tingkat khalifah. Ia adalah seorang yang mempunyai

tingkat kerohanian yang tinggi sempurna ilmu syari’atnya, matang ilmu hakikatnya,

dal ilmu ma’rifatnya.

Hubungan antara murid dengan Syekh atau Mursyid, adalah hubungang

pergerakan diri sepenuhnya, seorang murid harus tunduk, setia dan rela dengan

pelakuan apa saja yang ia terima dari syekhnya, ia harus mampu bersikap seperti

Jenazah yang sedang dimandikan, rela dan ikhlas dibolak-balik tampa ada merasa

menyesal dan menolak. Demikian pasrahnya seorang murid kepada gurunya.

6
3. Wali dan Quthub

Yaitu seorang yang telah sampai ke puncak kesucian bathin, memperoleh ilmu

laduni yang tinggi sehingga tersingkap tabir rahasia yang gaib-gaib. Orang seperti

ini akan memperoleh karunia dari Allah dan itulah yang disebut Wali. Jadi, seorang

Wali adalah seorang yang mencapai puncak kesempurnaan, kecintaan Allah, karena

pengabdian dan amalannya yang luar biasa kepada Allah. Ia memperoleh berbagai

kemampuan yang luar biasa, yang supra-insani sebagai karunia Allah. Menurut Al-

Kalabazi, inilah yang disebut karomah itu. (Al-Kalabazi: 89). Orang yang mulia

seperti itu, menurut sufi adalah “wakil-wakil” nabi, pelanjut perjuagan Nabi, inilah

yang dimaksud dengan Quthub.

Mereka ini mempunyai kedudukan yang hampir sama dengan Nabi dalam hal

kesucian rohani, kedalaman ilmu dan keta’atan kepada Allah. Quthub memperoleh

ilmu melalui ilham, sedangkan Nabi memperoleh melalui Wahyu.

Apabila dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang dipelajari, maka

terdapat beberapa istilah yang khas dalam dunia tasawuf, yaitu : ilmu lahir dan ilmu

bathin. Ajaran- ajaran agama itu mengandung lahiriyah dan arti bathiniyah yang

merupakan inti setiap ajaran itu. Oleh karena itu cara memahami dan

mengamalkannya juga harus melalui aspek lahir dan aspek bathin. Kedua aspek

yang terkandung dalam ilmu itu mereka bagai kepada empat kelompok yaitu:

a. Syari’at

Syari’at mereka mengartikan sebagai amalan-amalan lahir yang difardukan

dalam agama, yang biasa dikenal rukun islam dan segala hal yang berhubungan

dengan itu, bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Seorang yang ingin

memasuki dunia tasawuf, harus dahulu mengetahui secara mendalam tentang

7
al-Qur’an dan Hadist yang dimulai dengan amalan zhahir baik yang wajib

maupun yang sunnah (H. Zainal Arifin Abbas: 143)

Oleh karena rasa kenikmatan dalam beribadah itu telah termasuk dalam

jiwa, maka timbullah amalan Sunnat yang ditetapkan cara dan waktunya seperti

: zikir sekian kali pada waktu tertentu. Akibatnya hampir seluruh waktu mereka

dipergunakan untuk shalat dan zikir dengan cara dan jumlah yang telah

ditentukan oleh alirannya masing-masing (Qamar Kailany : 2930). Dengan

demikian setiap sufi, pada hakikatnya adalah orang-orang yang telah

mengamalkan perintah ilahi secara tuntas dan menyeluruh3.

b. Thariqat

Thariqat menurut istilah tasawuf adalah jalan yang harus ditempuh oleh

seorang sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan.4

Thariqat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan digambarkan sebagai jalan

yang berpangkal dari syari’at, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak

jalan disebut dengan thariq.5

Dalam melakasanakan syari’at tersebut, harus berdasarkan tata cara yang

telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghambaan diri

kepada Allah, karena kecintaan kepada Allah dan karana ingin berjumpa

dengannya. Perjalanan menuju kepada Allah itulah yang mereka maksud dengan

Thariqat, yaitu Thariqat Tasawuf (Hamka: 104)

3
Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf, (Yogyakarta: Aura
Media, 2009), hlm. 217
4
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo: Penerbit AMZAH,
2005), hlm. 239
5
Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf … hlm.75

8
c. Hakikat

Secara Luqhawi, hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal dari

sesuatu. Dalam dunia sufi. Hakikat diartikan sebagai aspek lain dari syarai’at

yang bersifat lahiriyah, yaitu aspek bathiniyah. Dengan demikian dapat diartikan

sebagai rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syari’at dan akhir

dari perjalanan yang ditempuh oleh sufi (al-kalabazi: 158)

Dengan demikian, bahwa hakikat itu tidak bisa lepas dari syari’at, bertalian

dengan Thariqat dan juga terdapat dalam ma’rifat. Sering ditemukan pengertian

antara hakikat dan ma’rifah, karena masing-masing mengadung arti puncak dari

segala amal dan penjalanan, inti dan segala ilmu dan pengalaman

d. Ma’rifat

Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa-yurifu-irfan, marifah artinya pengetahuan,

pengalaman dan pengetahuan ilahi. Ma’rifah adalah kumpulan ilmu

pengetahuan, perasaan, pengalaman dan amal dan ibadah kepada Allah

swt.6Dalam istilah tasawuf, ma’rifah adalah pengetahuan yang jelas dan sangat

pasti tentang tuhan yang diperoleh melaluia sanubari.

Imam Al-Ghozali secara terperinci mengemukakan pengertian ma’rifah

kedalam hal-hal berikut :

a) Ma’rifat adalah mengenal rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya

yang melingkupi seluruh yang ada;

b) Seseorang yang sudah sampai pada ma’rifat berada dekat dengan Allah,

bahkan ia dapat memandang wajahnya;

c) Ma’rifat datang sebelum mahabbah

6
Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf … hlm.76

9
Al-Mahabbah, adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan

ma’rifah, baik dalam penepatannya maupun dalam pengertiannya, kalau ma’rifah

merupakan tingkat pengetahuan kepada tuahn melalui mata hati., maka mahabbah

adalah perasaan kedekatan dengan tuhan melalui cinta, seluruh jiwannya terisi oleh

rasa kasih dan cinta kepda Allah. Rasa cinta itu jumlah kepada pengetahuan dan

pengelanal kepada tuhan sudah mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasakan

bukan lagi cinta tetapi “diri yang dicintai” oleh karena itu menurut Al-Gazali

mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan.

C. Tokoh-Tokoh Aliran Tasawuf Amali

Tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara

mendekatkan diri kepada Tuhan. Tasawuf amali berkonotasi dengan tarekat. Tokoh

tasawuf ini antara lain Dzun Nun Al-misri dan Hasan Al- Basri.

1. Riwayat hidup Dzun Nun Al-Misri dan pandangan tasawufnya

Dzun Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal

disekitar pertengahan abad ke-3 H. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Faidl

bin Ibrahim Dzun Nun Al-Misri. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi

Mesir tahun 180 H/796 M. Ia berasal dari salah satu kota di daerah

pedalaman Mesir. Ayahnya seorang Nubian (sebutan bagi penduduk

Nubiah, dan termasuk keturunan pembesar Quraisy). Dzun Nun Al-Misri

meninggal pada tahun 246 H/856 M. Ia dimakamkan di pemakaman As-

Syafi’i. Tatkala orang mengusung jenazahnya, muncullah sekawanan

burung hijau yang memayungi jenazahnya dan seluruh pengiring jenazah

dengan sayap-sayap hijau burung tersebut. Dan pada hari ke-2, orang-orang

menemukan tulisan pada nisan makam beliau, “Dzun Nun adalah kekasih

10
Allah, diwafatkan karena rindu” dan setiap kali orang akan menghapus

tulisan itu, maka muncul kembali seperti sedia kala.

Pandangan tasawuf Dzun Nun pernah mengatakan, bahwa neraka

bukanlah sesuatu hal yang harus ditakuti, yang lebih ditakuti adalah ketika

berpisah dari kekasih sejati. Ketakutannya tak lebih dari setetes air yang

dibuang ke samudera cinta Allah.

Dzun Nun mengatakan bahwa sufi ialah orang yang tidak meminta dan

tidak merasa kesusahan karena ketiadaan. Beliau mengatakan bahwa

“Ahlak seorang Arif Billah adalah Allah, dan orang yang arif selalu akan

bersifat seperti sifat-sifat Tuhan dan selalu menjaga perilakunya agar tidak

terjebak dalam kenistaan dunia yang menghanyutkan dan menghinakan

orang yang dekat kepada Allah SWT.

Secara umum, pandangan tasawuf sedikit berbeda dengan pemikiran-

pemikiran tasawuf para sufi lainnya. Dia pun menjelaskan konsep

tasawufnya yang menonjol yaitu tentang ma’rifat. Sebagai sufi, Dzun Nun

AL-Misri dikenal sebagai bapak paham ma’rifat. Karena teorinya tentang

ilmu tersebut sangat mencolok. Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari

dekat sehingga hati sanubari dapat melihatNya. Selain konsep ma’rifat, juga

mengungkapkan pengalamannya tentang khauf (rasa takut kepada Allah dan

mahabbah)7.

2. Riwayat hidup Hasan AL-Basri dan pandangan tasawufnya

Hasan Al-Basri nama lengkapnya adalah Al-Hasan bin Abi Al-Hasan

Abu Said. Tempat lahirnya adalah di Madinah pada tahun 21 H/642 M, dan

7
A. Bangun Nasution dan Rayani Hanum S, Ahlak Tasawuf, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada,
2013), hlm. 235-237

11
dia meninggal di basroh pada tahun 110 H/728 M. Hasan Al- Basri hidup di

lingkungan orang-orang yang shaleh yang mendalami agama. Ibunya

bernama Ummu Salamah seorang hamba sahaya istri Nabi.

Hasan Al- Basri seorang zahid yang termasyhur di kalangan tabi’in.

Prinsip ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa

diukurnya dengan semangatnya. Dasar pendirian Hasan Al- Basri adalah

hidup zuhud terhadap kehidupan duniawi yang tahu dosanya dan yang selalu

beribadah kepada Allah. Tentang kehidupan zuhud beliau berkata ”dunia

adalah tempat kerja bagi orang yang disertai perasaan bersamanya atau

dalam menyertainya. Barang siapa menyertainya dengan perasaan ingin

memilikinya dan mencintainya, dia akan dibuat menderita oleh dunia serta

di antarkan pada hal-hal yang tidak tertanggungkan oleh kesabarannya.8

D. Pengertian Tasawuf Nazari

Tasawuf al-Nazari adalah tasawuf yang dibangun untuk mempromosikan dan

memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu

mufassir menekankan makna yang tidak terikat, terutam jika berkaitan dengan

tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia. Al-Zahabi mengatakan bahwa

tasawuf nazari dalam prakteknya adalah pensyarahan Al-Qur’an yang tidak

memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’9

Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazari yaitu Muhyiddin Ibn al-

‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tasawuf nazari (nadhory) yang

8
A. Bangun Nasution dan Rayani Hanum S, Ahlak Tasawuf,…206
9
Ignas Goldziher, Madzahib at-Tafsir, terj. Abdul Halim al-Najar, Baerut Libanon: Dar Iqra’, 1983
M/1403 H, hlm. 31.

12
meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan Al-Qur’an.10 Karya tafsir Ibn

al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush al-Hikam.11

Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-

nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara

manusia dengan Tuhan.12

Dalil al-Qur’an tentang paham ini di antaranya: Pertama, Al-Qur’an surat Al-

Baqarah ayat 186:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka


(jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.
Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a

dalam arti doa’ yang lazim kita dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung

arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya

kepada mereka.

Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan

menampakkan dirinya kepada mereka. Kedua, yaitu ayat 115 dari surat Al-

Baqarah:

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui. Dalam keterangan dijelaskan, kata “disitulah wajah Allah”
maksudnya adalah kekuasaan Allah meliputi seluruh alam. Sebab itu di mana saja
manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan
dengan Allah.

10
Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Baerut: Markaz Dirasat al-Wahdat al-Arabiyah,
1990, hlm. 137
11
Titus Burchardt, Op.Cit. hlm. 129
12
Kautzar Azhari Noor, Ibn Arabi: Fantaesme dan Wujud, Paramdina, Jakarta, 1995, hlm. 45

13
Kaum sufi yang menganut tasawuf nazari menafsirkannya dengan di mana saja

Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan

tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.

Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh

paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam

tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas pahamnya.

Al-Zahabi berpendapat bahwa Ibn ‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an

telah keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu,

al-Zahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari

maksud dilalah ayat.13

Tafi menurut Kautsar Azhari Noer dlam disertasinya yang kemudian

dibukukan, Ibn ‘Arabi tidak menyimpang. Ia masih dalam garis-garis yang

ditetpkan oleh Islam. Bahwa paham wahdat al-wujud-nya sama sekali tidak

dimaksudkan untuk mensejajarkan manusia dengan Tuhan.14 Contoh penafsiran Ibn

al-‘Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat al- wujud-nya di

antaranya: Ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi:

Wadkhuli jannati, menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu

(manusia) untuk mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sediri

(manusia). manusia untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah

dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika

kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masuk dalam diri kamu,

13
Al-Zahabi, Muhammad Husein, Op.Cit, hlm. 108
14
Kautsar zhari Noer, Ibn Arabi dan Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan, Paramadina, Jakarta, 1995,
hlm. 345

14
dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa

kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga adalah Hamba.15

Selanjutnya al-Zahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan karekteristik

atau ciri-ciri dalam penafsiran nazary yang dapat diringkas sebagai berikut :

Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhory sangat besar

dipengaruhi oleh filsafat. Al-Zahabi memberikan contoh tafsir al-Nazari yang

dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al-’Arabi terhadap ayat 57 dari surat

Maryam : Tapi menurut al-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat

dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lapaz makanan

‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang). 16


Kedua, di dalam tafsir al-Nazari, hal-

hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak. Dengan perkataan

lain, mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata. Ketiga, terkadang tidak

memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan

dengan ruh dan jiwa sang mufassir.17 Kelihatannya apa yang dimaksud tasawuf

nazari adalah tasawuf yang berdasarkan pada penafsiran takwil, yang berbeda

dengan tafsir. Dan menurut hemat penulis tafsir al-Nazari pada hakikatnya adalah

tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir al-Nazari ini

dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat

jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara eksoterik karena terlampau

menekankan yang esoterik. Padahal keseimbangan keduanya amat dibutuhkan, tapi

tasawuf nazari tampak hanya menekankan makna batin di atas makna lahir.

15
Ibid., hlm. 109
16
Ibid., hlm. 110
17
Muhammad Abid Al-Jabiri, Op.Cit., hlm. 66

15
E. Tokoh- Tokoh Tasawuf Falsafi
1. Ibnu Arabi
a. Biodata singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad bin
Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami Al-Andalusia. Ia lahir di Murcia, Andalusia,
Spanyol, tahun 560 H dari keluarga terpandang dan wafat pada tahun 638 H.
orang tuanya sendiri adalah seorang suf yang memiliki kebiasaan berkelana.
Pada usia 8 tahun ibnu arabi sudah merantau ke Lisabon untuk belajar agama
dari seorang ulama yang bernama Syaikh Abu Bakar bin Khalaf.
b. Ajaran-ajaran Tasawuf Ibnu Arabi
1) Wahdah Al-Wujud
Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdah al-wujud (kesatuan
wujud). Istilah ini sebenarnya tidak berasal darinya melainkan dari Ibnu
Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran
tersebut. Setidaknya Ibnu Taimiyah lah yang yang telah berjasa dalam
mempopulerkan wahdah al-wujud ditengah masyarakat islam. Menurut
Ibnu Arabi , wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya
wujud makhluk adalah wujud khalik juga. Tidak ada perbedaan antara
keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Jika ada yang mengira
terdapatnya perbedaan wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat adri sudut
pandang panca indra dan akal. Sementara itu, panca indra dan akal terbatas
kemampuannya dalam menangkap hakikat Dzat Tuhan. Hal ini tersimpul
dalam ucapan Ibnu Arabi yan artinya “Mahasuci Tuhan yang telah
menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu
itu”.
Menurut Ibnu Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan
Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud qadim yang
disebut khalik dan wujud baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan
antara ‘Abid (penyembah) dari ma’bud (yang disembah). Antara yang
menyembah dan disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada bentuk
dan ragam dari hakikat yang satu.

16
2) Insan kamil
Insan kamil adalah nama yang dipergunakan oleh kaum sufi unutk
menamakan sorang muslim yang telah sampai ke tingkat tertinggi. Tingkat
tertinggi itu menurut sebagian sufi adalah ketika seseorang telah sampai
pada fana’ fillah.
Masalah insan kamil dalam pandangan Ibnu Arabi tidak dapat dilepaskan
kaitannya dengan Nur Muhammad, seperti ditegaskan ketahuilah yang
dimaksud insan kamil hanyalah Nur Muhammad, yaitu roh ilahi yang Dia
tiupkan kepada Nabi Adam. Ia adalah esensi kehidupan dan awal manusia.
Sementara nabi Muhammad adalah insan kamil yang paling sempurna.
Selanjutnya yang dimaksud insan kamil disini ialah al-haqiqah al-
muhammadiyah. Dengan ini seseorang dapat mencapai derajat insan
kamil. Menurut Ibnu Arabi, untuk mencapai derajat itu harus melalui jalan
sebagai berikut.
Semua ini menurut Ibnu Arabi, merupakan upaya pencapaian ke tingkat
insan kamil yang hanya dapat diperoleh melalui pengembangan daya
institusi atau dzauq.

17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf amali adalah seperti yang
dipraktekan di dalam kelompok tarekat, dimana dalam kelompok ini terdapat
sejumlah sufi yang mendapat bimbingan dan petujuk dari seorang guru tentang
bacaan dan amalan yang harus di tempuh oleh seorang sufi dalam mencapai
kesempurnaan rohani agar dapat berhubungan langsung dengan Allah.

2. Tasawuf Falsafi ini lebih bersifat teoritis dengan menggunakan pertnyataan-


pernyataan ganjil yang mereka miliki. Aliran ini menekankan pada aspek
pemikiran metafisik dengan memadukan tasawuf dengan filsafat.

18
Dafta Pustaka
A. Bangun Nasution dan Rayani Hanum S, 2013. Ahlak Tasawuf (Depok: PT. Raja
Grafindo Persada)
http://referensi agama.blogspot.com/maret/2019. diakses 1 Maret 2019
Ignas Goldziher, 1983 M/1403 H . Madzahib at-Tafsir, terj. Abdul Halim al-Najar,
(Baerut Libanon: Dar Iqra’)
Kautsar zhari Noer, 1995. Ibn Arabi dan Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan,
Paramadina: Jakarta
Kautzar Azhari Noor, 1995. Ibn Arabi: Fantaesme dan Wujud (Paramdina:Jakarta)
Miswar, Akhlak Tasawuf, 2013 (Citapustaka Media Perintis)
Muhammad Abid Al-Jabiri, 1990. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Baerut: Markaz Dirasat
al-Wahdat al-Arabiyah)
Mukhtar Hadi, 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf,
(Yogyakarta: Aura Media)
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, 2005. Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo:
Penerbit AMZAH)

19

Anda mungkin juga menyukai