Anda di halaman 1dari 4

Mohammad Sigit Pamungkas

17105030046
HERMENEUTIKA AL-QUR'AN /A
Jumat, 1 Nopember 2019
Hermeneutika Jorge Gracia
Biografi Singkat
Jorge J. E. Gracia merupakan seorang profesor dalam bidang filsafat di
Department of Philosophy, University at Buffalo, New York. Gracia lahir pada
tahun 1942 di Kuba. Ia menempuh bidang filsafat jenjang undergraduateprogram
(B.A.) di Wheaton College (lulus tahun 1965), graduateprogram (M.A.) di
University of Chicago, dan doctoral program di University of Toronto.
Adapun karya Gracia yang paling inti dijadikan sumber primer
hermeneutiknya, yakni ada dua. Pertama, A Theory of Textuality dan kedua, Text:
Ontological Status, Identity, Author, Audience.
Pemikiran Hermeneutikanya
a. Teori tentang Teks
Gracia mendefinisikan sebuah "teks" berupa seperangkat entitas, yang
digunakan sebagai tanda, yang dipilih, ditata, dimaksudkan oleh seorang
pengarang dalam konteks tertentu untuk menyampaikan makna spesifik kepada
audiens. Berdasarkan definisi ini, kemudian Gracia menyebutkan ada enam
elemen penting yang terkandung di dalamnya, selain pengarang teks dan
audiens, yakni:
(1) Entities that constitute text (entitas-entitas/bagian-bagian yang
membentuk teks), artinya bahwa teks harus tersusun dari dua atau lebih entitas.
Adapun enititas di sini maksudnya seperti huruf-huruf yang tersusun
membentuk suatu kata.; (2) Sign (tanda), artinya bahwa masing-masing entitas
(kata) mengandung arti; (3) Specific Meaning (makna spesifik), artinya bahwa
kumpulan entitas (kata) itu mengandung makna khusus sesuai dengan struktur;
(4) Intention (maksud pengarang); (5) Selection and arrangement (pilihan dan
penataan kata); dan (6) Context (konteks).
Selanjutnya, Gracia juga melakukan kategorisasi (taksonomi) teks, bahwa
teks dapat ditinjau dari dua segi, antara lain segi eksistensi dan segi
fungsionalnya. Adapun teks dari segi eksistensinya dapat dibagi ke dalam tiga
macam bentuk: (1) Teks aktual, yaitu pemikiran seseorang yang sudah
dituangkan dalam bentuk tulisan maupun ucapan. Teks aktual dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yakni (a) teks historis, merupakan teks yang disusun oleh
seorang pengarang pada masa lalu dan masih eksis hingga sekarang, (b) teks
kontemporer, merupakan teks yang disusun oleh seseorang dan sampai kepada
kita dalam bahasanya yang asli, tetapi sudah melalui penyuntingan oleh orang

1
lain, dan (c) teks perantara, ialah teks yang pernah ditulis oleh seseorang, namun
saat ini telah hilang atau dihancurkan, dan hanya diketahui melalui informasi
dalam buku-buku yang menyebutkan karya-karya para pengarang terdahulu; (2)
Teks yang dimaksudkan, ialah teks yang ingin dibuat oleh pengarang, tetapi
tidak terlaksana, maksudnya masih berada dalam pikiran pengarang; (3) Teks
yang ideal, ialah teks yang dibuat oleh penafsir atas dasar perbaikan dan
penyempurnaan dari teks yang dibuat oleh pengarang asli. Tujuan dari
klasifikasi ini ialah untuk mengetahui peran pengarang dan penafsir terkait
dengan teks.
Sementara itu, teks dari segi fungsionalnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
fungsi linguistik dan fungsi kultural. Adapun teks ditinjau dari fungsi
linguistiknya dapat dibagi menjadi lima macam: teks informasi, teks arahan,
teks ekspresif, teks evaluatif (pernilaian), dan teks performatif (berisi tindakan
tertentu). Sedangkan teks ditinjau dari fungsi kulturalnya memiliki
keberagaman, seperti teks hukum, teks sastra, teks keagamaan, dan sebagainya.
Tujuan terpenting dari pembagian teks secara fungsi ini untuk menentukan
makna tekstual dan menetapkan parameter-parameter pemahaman tekstual dan
interpretasi.
b. Teori tentang Authorship dan Audience
Perihal tentang pengarang (author), Gracia membahasnya dari segi
identitasnya dan fungsinya. Pengarang (author), baik berdasarkan tinjauan dari
segi identitasnya maupun fungsinya dapat dibagi menjadi empat macam, antara
lain:
(1) Pengarang historis (historical author), yakni seseorang yang menyusun teks
di masa lalu, namun keberadaan teksnya hingga kini masih eksis. Adapun
fungsinya adalah pengarang tersebut menjadi penyebab utama munculnya teks
historis yang sebenarnya;
(2) Pengarang historis yang bukan sesungguhnya (pseudohistorical author),
ialah seseorang yang seakan-akan menjadi pengarang asli dari sebuah teks
historis sebab namanya digunakan oleh pengarang asli sehingga ia lebih tenar
dari pengarang aslinya. Sementara itu, fungsinya adalah untuk membantu
audiens dalam mengtahui identitas pengarangnya dan maksud teks tersebut;
(3) Orang yang terlibat dalam produksi teks tertentu/ pengarang bersama
(composite author), yaitu orang-orang yang berperan (terlibat) dalam
melakukan penyusunan, penyalinan, penyuntingan, dan perbaikan terhadap
suatu teks historis, termasuk pengarang asli. Adapun fungsinya ialah sebagai
hasil rekonstruksi terhadap teks historis (asli);
(4) Pengarang interpretatif, merupakan pengarang karya tafsir atau audiens
yang berusaha mengembangkan suatu pemahaman terhadap suatu teks atau
dapat juga berupa audiens yang berupaya menambahkan keterangan (syarah)
kepada teks yang sedang ditafsirkan. Fungsi dari adanya pengarang interpretatif
ini ialah untuk memudahkan pembaca dalam memahami teks tersebut.

2
c. Teori tentang Makna dan Pemahaman
Definisi dari makna ialah sesuatu yang dipahami oleh seseorang ketika
membaca teks. Sedangkan pemahaman merupakan aktivitas mental yang timbul
darinya. Dengan begitu, makna dan pemahaman itu tidak dapat dipisahkan.
Gracia menambahkan bahwasannya makna dalam suatu teks itu terbatas, namun
tidak hanya dibatasi oleh apa yang dimaksud pengarang teks, melainkan karena
keterbatasan itulah sehingga makna dapat juga dikembangkan (meluas). Begitu
juga terkait pemahaman, bahwasannya pemahaman terhadap teks itu plural,
namun bukan berarti pemahaman yang plural itu timbul berdasarkan
kesewenang-wenangan, melainkan berdasarkan kualifikasi.
Sementara itu, pemahaman dapat diapndang benar (teks tidak salah
dipahami) apabila tidak berimplikasi pada perbedaan esensial makna dan
identitas teks. Inilah yang kemudian disebut dengan pemahaman tekstual
(pemahaman yang terbatas). Maka demikian, baik makna maupun pemahaman
pada dasarnya mempunyai batasan. Batasan itu dipengaruhi oleh sebuah faktor
penentu berupa faktor kultural teks yang bersangkutan, seperti pengetahuan
tentang proses dan tujuan teks itu dibuat.
d. Teori tentang Penafsiran (Interpretation)
Menurut Gracia bahwa interpretasi (penafsiran) itu melibatkan tiga hal:
(1) teks yang ditafsirkan (interpretandum), (2) penafsir, (3) keterangan
tambahan (interpretans), dan ia (interpretasi) seharusnya menjembatani
kesenjangan antara situasi-situasi di mana teks itu muncul/diproduksi dan
situasi-situasi yang ada di sekitar audiens kontemporer (pembaca/penafsir teks)
yang berusaha menangkap makna dan implikasi dari teks historis tersebut.
Sementara itu lanjut Gracia, fungsi interpretasi itu ada tiga, yakni (1)
fungsi historis, yaitu menciptakan kembali di benak audiens kontemporer
pemahaman yang dimiliki oleh pengarang teks dan audiens historis; (2) fungsi
makna, dan (3) fungsi implikatif. Ketiga fungsi ini dapat diraih, khususnya
fungsi historis, apabila auidens memegang prinsip pemahaman proporsional,
yakni rasio/jumlah pemahaman yang dimiliki oleh audiens kontemporer harus
sama dengan rasio/jumlah pemahaman yang dimiliki oleh penyusun teks yang
ditafsirkan dan audiens historis. Dengan begitu, interpretasi yang dilakukan
mempunyai tujuan mampu menciptakan teks penafsiran yang dapat membentuk
di benak audiens kontemporer pemahaman-pemahaman yang secara intensional
sama dengan pemahaman-pemahaman yang diciptakan oleh teks historis dalam
benak pengarang dan audiens historis dari teks historis tersebut.
Gracia kemudian membagi interpretasi ke dalam dua bagian:
(1) Interpretasi tekstual, ialah penafsiran terhadap teks dengan cara
menambahkan terhadap teks yang sedang ditafsirkan itu berupa keterangan
apapun yang dipandang oleh penafsir sangat penting untuk mendapatkan hasil-
hasil (fungsi) tertentu di benak audiens kontemporer terkait dengan teks
tersebut. Hasil dari penafsiran ini adalah satu dari tiga bentuk, antara lain: (a)

3
menciptakan pemahaman pengarang teks historis dan audiens historis (fungsi
historis); (b) menciptakan pemahaman di mana makna teks itu dimengerti oleh
audiens kontemporer, terlepas dari apakah makna yang dipahami tersebut
memang persis sama dengan makna yang dimiliki oleh pengarang teks dan
audiens historis atau tidak (fungsi makna); (c) menciptakan pemahaman di
mana iplikasi dari makna teks itu dimengerti oleh audiens kontemporer (fungsi
implikatif).
(2) Interpretasi non-tekstual, yaitu model penafsiran yang mencoba menguak
sesuatu di balik makna tekstual, meskipun hal ini didasarkan juga dengan
melakuan interpretasi tekstual terlebih dahulu. Adapun yang termasuk ke dalam
interpretasi non-tekstual, yakni interpretasi historis, interpretasi psikologis, dan
sebagainya.
Selanjutnya, perihal nilai kebenaran pada interpretasi itu bukan terukur
pada benar atau salahnya penafsiran, melainkan pada efektifitas/kecocokkan
atau tidaknya. Gracia juga melanjutkan bahwa setiap interpretasi itu
mengandung nilai obyektivitas dan subyektivitas dalam waktu yang bersamaan.
Poin penting dalam hal ini tentuny sejauhmana subyektivitas penafsir dan
sejauhmana obyektivitas makna teks yang ditafsirkan (interpretandum)
mengambil peran dalam sebuah interpretasi.
Atas dasar itu, maka sebuah penafsiran dipandang "sangat subyektif"
apabila penafsir hanya memberikan sedikit perhatian terhadap teks yang
ditafsirkan dan faktor-faktor historis yang berperan dalam menentukan makna
teks. Begitupun sebaliknya, interpretasi dipandang "sangat obyektif" apabila
dalam interpretasi tersebut teks historis (interpretandum) dan faktor-faktor
penentu makna historis mendapatkan priotitas perhatian penafsir.

Anda mungkin juga menyukai