Tafsir adalah kajian yang terus berkembang dari masa ke masa, salah satunya
ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya terkait penafsiran dari
yang tekstualis hingga kontekstualis yang semakin gempar pada abad 20 ini dengan memunculkan pendekatan-pendekatan salah satunya dengan pendekatan ma‘nā-cum- maghzā yang berhasil dipaparkan oleh bapak Sahiron dalam artikelnya “metode penafsiran dengan pendekatan ma‘nā-cum-maghzā. Hal ini dilatar belakangi dari pengembangan dari aliran yang beliau sebutkan (baca: hermenutika dan penembangan ulumul quran) yaitu mereka yang mempunyai aliran quasi-objektivis progresif : Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdullah Saeed dan Muhammad at-Talibi. Pendekatan ini dilakukan dengan tujuan menggali dan merekontruksi makna dan pesan utama yang dimaksud pengarang teks atau audiens historis lalu mngembangkan signifikasnsi teks untuk konteks saat ini dengan menggali pada makna historis (al-ma’na al-tarikh), signifikansi fenomenal historis (al-maghza al- tarikh), dan signifikansi fenomenal dinamis (al-maghza al mutaharik) untuk konteks ketika teks ditafsirkan. Adapun langkah metode yang Bapak Sahiron sampaikan adalah dengan menganalisis bahasa dari segi kosa kata dan strukturnya, menganalisi secara intratektualitas dan intertekstualitas, memperhatikan konteks historis pewahyuan ayat Al-Qur’an, lalu penggalian pada tujuan atau pesan dari ayat Al-Qur’an yang sudah dicermati (maqsad atau maghza al-ayah). Dan selanjutnya guna membangun signifikansi fenomela dinamis maka dilakukan dengan menentukan kategori ayat, mengembangkan signifikansi historis untuk kepentingan saat ini, menangkap makna simbolik ar Al-Qur’an, lalu mengembangkan penafsiran dengan menggunakan perspektif yang lebih luas melalui ilmu bantu lainnya. Dari paparan artikel yang ditulis oleh bapak Sahiron mengenai pendekatan ma‘nā-cum-maghzā, bisa disimpulkan bahwa metode yang diterapkan bisa menjaga eksistensi Al-Qur’an (shalih li kulli zaman wa makan) karena memberikan kontekstualisasi dengan mengembangkan signifikansi saat turunnya ayat ke masa dimana Al-Qur’an ditafsirkan (kontemporer) sehingga dari sini metode ini mampu memberi signifikansi yang jelas dan berbeda daripada pendekatan tafsir sebelumnya, dan berharap umat islam tidak lagi buta (taqlid) serta kaku ketika berhadapan dengan teks al-Qur’an ataupun realitas yang membutuhkan landasan ayat al-Qur’an, namun yang perlu dipertanyakan dan dijelaskan oleh penulis adalah apakah metode ini sesuai atau cocok jika diaplikasikan pada seluruh ayat atau hanya ayat tertentu. Dan yang belum dijelaskan dalam artikel ini adalah mengenai kedudukan dalam penafsiran menggunakan pendekatan ma‘nā-cum-maghzā, apakah ia sebagai objek atau sebagai subjek yang berbicara. Selain itu penting juga untuk menyebutkan kaidah dasar alhukmu bi umumi al-lafdzhi laa bikhususi al-sabab atau alhukmu bikhususi al-sababi laa bi umumi al-lafdzhi, atau justru kaidah yang digunakan adalah alhukmu bi umumi al-lafdzhi wa bikhususi al-sabab. Adapun posisi penelusuran makna asal/historis setingkat dengan makna zahir menurut kami, sebab hal ini penulis katakan bahwasannya untuk memperoleh makna asal paling tidak penafsir melakukan kajian gramatikal, intratekstualitas, dan intertekstualitas, sedangkan signifikansinya diperoleh melalui kajian konteks sosio- historis ayat tersebut ketika turun. Sementara itu, ketiga makna lainnya, yakni makna hukum, makna batin, dan makna spiritual diperoleh dengan pendekatan dialogis, dan pada poin ini kami kurang memahami pendekatan dialogis dan kami rasa tidak cukup apabila pendekatan dialogis digunakan untuk memperoleh ketiga makna tersebut. Kami berpendapat bahwasannya ketiga makna ini dapat diperoleh juga dengan langkah-langkah kerja filosofis (nalar burhani) hingga sufistik (nalar irfani). Sayangnya kedua langkah kerja ini bisa dibilang kurang diminati oleh penafsir- penafsir kontemporer saat ini, kebanyakan penafsiran hanya sebatas mengandalkan nalar bayani, mungkin ini hanyalah asumsi yang tentu kebenarannya bisa dibuktikan lebih lanjut oleh penulis. Dan sebagai pendekatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan ayat al-Quran pada konteks kekinian, maka saya berpendapat perlu adanya sebuah metode tambahan untuk mewujudkan hasil penafsiran kepada nilai-nilai praksis yang ada di masyarakat. Bagi masyarakat dalam lingkup kecil desa maupun kota-kota tertentu, masih belum banyak orang yang mampu menafsirkan sendiri karena tidak memenuhi kriteria atau ilmu yang mumpuni untuk menafsirkan al-Qur’an.